Anda di halaman 1dari 14

1.

Gastrointestinal
c. Fisiologi
1) Deglutasi (Proses Menelan)1
Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring
membantu fungsi pernapasan dan menelan. Faring diubah hanya dalam
beberapa detik menjadi traktus untuk mendorong masuk makanan. Hal
yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak terganggu karena
proses menelan. Pada umumnya, menelan dapat dibagi menjadi (1)
tahap volunter yang mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal
yang bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui
faring ke dalam esofagus; dan (3) tahap esofageal, yaitu fase involunter
lain yang mengangkut makanan dari faring ke lambung.
a. Tahap Volunter
Bila makanan sudah siap untuk ditelan, "secara sadar" makanan
ditekan atau didorong ke arah posterior ke dalam faring oleh tekanan
lidah ke atas dan ke belakang terhadap palatum. Dari sini, proses
menelan menjadi seluruhnya atau hampir seluruhnya berlangsung
secara otomatis dan umumnya tidak dapat dihentikan.
b. Tahap Faringeal
Saat bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan
faring, bolus merangsang daerah epitel reseptor menelan di
sekeliling pintu faring, khususnya pada tiang-tiang tonsil, dan sinyal-
sinyal dari sini berjalan ke batang otak untuk mencetuskan
serangkaian kontraksi otot faringeal secara otomatis sebagai berikut:
a) Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi nares posterior,
untuk mencegah refluks makanan ke rongga hidung.
b) Lipatan palatofaringeal pada setiap sisi faring tertarik ke arah
medial untuk saling mendekat satu sama lain. Dengan cara ini
lipatan-lipatan tersebut membentuk celah sagital yang harus
dilewati oleh makanan untuk masuk ke dalam faring posterior.
Celah ini melakukan kerja selektif, sehingga makanan yang
telah cukup dikunyah dapat lewat dengan mudah. Oleh karena
tahap penelanan ini berlangsung kurang dari 1 detik, setiap
benda besar apa pun biasanya sangat dihambat untuk lewat
masuk ke esofagus.
c) Pita suara pada laring menjadi sangat berdekatan, dan laring
tertarik ke atas dan anterior oleh otot-otot leher. Hal ini,
digabung dengan adanya ligamen yang mencegah gerakan
epiglotis ke atas, menyebabkan epiglotis bergerak ke belakang
di atas pembukaan laring. Seluruh efek ini bekerja bersama
mencegah masuknya makanan ke dalam hidung dan trakea. Hal
yang paling penting adalah sangat berdekatannya pita suara,
namun epiglotis membantu mencegah makanan agar sejauh
mungkin dari pita suara. Kerusakan pita suara atau otot-otot
yang membuatnya berdekatan dapat menyebabkan strangulasi.
d) Gerakan laring ke atas juga menarik dan melebarkan pembukaan
ke esofagus. Pada saat yang bersamaan, 3-4 cm di atas dinding
otot esofagus, yang dinamakan sfingter esofagus atas (juga
disebut sfingter faringoesofageal) berelaksasi. Dengan demikian,
makanan dapat bergerak dengan mudah dan bebas dari faring
posterior ke dalam esofagus bagian atas. Di antara penelanan,
sfingter ini tetap berkontraksi dengan kuat, sehingga mencegah
udara masuk ke esofagus selama respirasi. Gerakan laring ke
atas juga mengangkat glotis keluar dari jalan utama makanan,
sehingga makanan terutama hanya melewati setiap sisi epiglotis
dan bukan melintas di atas permukaannya; hal ini menambah
pencegahan terhadap masuknya makanan ke dalam trakea.
e) Setelah laring terangkat dan sfingter faringoesofageal
mengalami relaksasi, seluruh otot dinding faring berkontraksi,
mulai dari bagian superior faring, lalu menyebar ke bawah
melintasi daerah faring media dan inferior, yang mendorong
makanan ke dalam esofagus melalui proses peristaltik.
c. Tahap Esofageal
Normalnya, esofagus memperlihatkan dua tipe gerakan
peristaltik: peristaltik primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik
primer hanya merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang
dimulai di faring dan menyebar ke esofagus selama tahap faringeal
dari proses menelan. Gelombang ini berjalan dari faring ke lambung
dalam waktu sekitar 8 sampai 10 detik.
Makanan yang ditelan seseorang pada posisi tegak biasanya
dihantarkan ke ujung bawah esofagus, bahkan lebih cepat daripada
gelombang peristaltik itu sendiri, sekitar 5 sampai 8 detik, akibat
adanya efek gravitasi tambahan yang menarik makanan ke bawah.
Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan
yang telah masuk esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang
peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan esofagus oleh
makanan yang tertahan, gelombang ini terus berlanjut sampai semua
makanan dikosongkan ke dalam lambung.
2) Regulasi asam lambung
Asam hidroklorida disekresikan oleh sel parietal dan mengaktifkan
pepsinogen. Sel parietal lambung secara aktif menyekresi H+ dan Cl-
melalui dua pompa terpisah. Ion hydrogen disekresikan ke dalam lumen
oleh pompa transport aktif H+-K+ ATPase primer di membrane luminal
sel parietal. K+ yang dipindahkan ke dalam sel pompa ini segera keluar
melalui saluran K+ di membrane luminal sehingga ion ini mengalami
daur ulang antara sel dan lumen. H+ yang disekresikan berasal dari
penguraian H2O menjadi H+ dan OH-. Dengan dikatalasis oleh
karbonat anhydrase, OH- bergabung dengan CO2 (yang diproduksi
secara metabolic di sel atau berdifusi masuk dari plasma) untuk
membentuk HCO3-. Klorida disekresikan oleh transport aktif sekunder.
Dengan didorong oleh gradien konsentrasi HCO3-, antiporter CL—
HCO3- di membrane basolateral memindahkan HCO3- menuruni
gradien konsentrasinya ke dalam plasma secara bersamaan
memindahkan Cl- ke dalam sel parietal melawan gradien
konsentrasinya. Sekresi klorida tuntas ketika Cl- yang masuk dari
plasma berdifusi keluar sel menuruni gradien elektrokimiawinya
melalui saluran Cl- di membrane luminal menuju lumen lambung.2
Sumber:
1) Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 12. Philadelphia :
Elsevier. 2011.
2) 14. Sherwood L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. 8th ed. Jakarta:
EGC; 2014.
2. Gastritis
g. Faktor Risiko
Gastritis terjadi karena berbagai sebab paling umum akibat
peningkatan produksi asam lambung atau menurunnya daya tahan dinding
lambung terhadap pengaruh luar. Gastritis akut yang tidak diobati akan
berkembang menjadi kronis. Gastritis yang disertai borok atau luka pada
dinding lambung disebut tukak lambung. Faktor-faktor yang dapat memicu
timbulnya penyakit gastritis adalah sebagai berikut.
1) Umur
Penyakit gastritis dapat timbul atau menyerang segala usia, mulai
anak- anak hingga usia tua.1 Walaupun gastritis dapat menyerang
segala usia tapi mencapai puncaknya pada usia lebih dari 40 tahun.2
2) Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih sering terkena penyakit
gastritis. Hal ini disebabkan karena wanita sering diet terlalu ketat,
karena takut gemuk, makan tidak beraturan, disamping itu wanita
lebih emosional dibandingkan pria.1
3) Sosial ekonomi
Bakteri Helicobakter Pylori ialah penyebab atau paling sedikit
penyebab utama, suatu bentuk gastritis yang disebut gastritis kronik
aktif. H. Pylori aktif pada 100% pasien.3 Bakteri ini terdapat diseluruh
dunia dan berkolerasi dengan tingkat sosio- ekonomi masyarakat.
Prevalensi meningkat dengan meningkatnya umur (di negara maju
50% penderita terkena infeksi kuman ini setelah usia 50 tahun). Di
negara berkembang yang tingkat ekonominya lebih rendah, terjadi
infeksi pada 80% penduduk setelah usia 30 tahun.4
Besarnya pengaruh sosial ekonomi dengan tingginya prevalensi
infeksi Helicobacter pylori pada masyarakat. Makin rendah tingkat
sosial ekonomi makin tinggi prevalensi infeksinya. Perbaikan tingkat
sosial ekonomi dapat menurunkan prevalensi kejadian.5
4) Makanan.
Penyimpangan kebiasaan makan, cara makan serta konsumsi jenis
makanan yang tidak sehat dapat menyebabkan gastritis akut, faktor
penyimpangan makanan merupakan titik awal yang mempengaruhi
terjadinya perubahan dinding lambung.
Peningkatan produksi cairan lambung dapat dirangsang oleh
konsumsi makanan atau minuman. Cuka, cabai, kopi, alkohol, serta
makanan lain yang bersifat merangsang juga dapat mendorong
timbulnya kondisi tersebut. Pada akhirnya kekuatan dinding lambung
menjadi semakin parah sehingga akan menimbulkan luka pada
dinding lambung. Jika tidak lekas ditangani, penyakit ini akan berubah
menjadi gastritis kronis.6 Namun, gastritis juga dapat timbul setelah
makan makanan pedas, asam, minum kopi atau alkohol.7
5) Faktor Psikologi
Stres adalah suatu kondisi dimana seseorang ada dalam keadaan
yang sangat tertekan. Stres adalah sebuah keadaan yang kita alami
ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang
diterima dan kemampuan untuk mengatasinya. Adapun tanda-tanda
atau gejala stres sebagai berikut:8
1. Gejala fisik meliputi berdebar-debar, gangguan pencernaan, sakit
kepala, lesu, letih, sulit tidur, berkeringat dingin, nafsu makan
menurun dan sejumlah gejala lainnya.
2. Gejala mental meliputi cemas, kecewa, merasa putus asa dan tanpa
daya, tidak sabar, mudah tersinggung, marah, tergesa-gesa, sulit
berpikir jernih, berkonsentrasi, dan membuat keputusan, gelisah dan
sebagainya.
6) Obat yang mengiritasi lambung
Beberapa macam obat yang bersifat asam atau basa keras dapat
menyebabkan gastritis. Obat-obatan yang mengandung salisilat
misalnya aspirin (sering digunakan sebagai obat pereda sakit kepala)
dalam tingkat konsumsi yang berlebihan dapat menimbulkan gastritis.6
Obat-obat tertentu yang mengandung aspirin, obat-obat reumatik,
dan golongan kortikosteroid dapat menyebabkan penyakit gastitis bila
lambung penderitanya terlalu peka terhadap bahan-bahan tersebut.1
Radang lambung atau gastritis dapat pula disebabkan oleh
beberapa obat seperti NSAIDs (asetosal, indometasin, dan lain-lain ),
kortikosteroid. Obat tersebut dapat menghambat produksi
prostaglandin tertentu dengan efek pelindung terhadap mukosa. Selain
itu penggunaan dalam kadar tinggi dapat merusak barrier mucus
lambung dan dapat mengakibatkan pendarahan.9
7) Kondisi jamban
Helicobacter pylori bersifat mikroaerofilik yaitu tumbuh baik

pada lingkungan dengan kandung CO2 10%, O2 tidak lebih dari 5%,
suhu antara 33-40° C, kelembaban 100%, pH 5,5-8,5, mati dalam
suasana anaerobik, kadar O2 normal, dan suhu dibawah 28° C.5
Penularan Helicobacter pylori melalui fekal-oral ditemukan dalam
tinja dan penularan terjadi melalui air yang terkontaminasi tinja. Di
Chili, membuktikan bahwa mereka yang mengkonsumsi sayuran
mentah atau tidak dimasak yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi tinja/kotoran dikaitkan dengan seropositif Helicobacter
pylori (Yvonne dan Rob de jonge, 2001).
Sumber :
1. Ronal H. Sitorus, 1996, Pedoman Perawatan Dan Pengobatan Berbagai
Penyakit, Bandung : Pionir Jaya.

2. Sujono Hadi, 2002, Gastroenterologi, Bandung: P. T. ALUMNI


3. Ahmad. H. Asdie, 2002, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
(Harrison Principles Of Internal Medicine), Yogyakarta: Buku
Kedokteran EGC.
4. Boedhi Darmojo, 2006, Geriatri, Edisi ke-3, cetakan ke-2, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
5. Sudaryat Suraatmaja, 2007, Kapita Selekta Gastroenterologi Anak,
Jakarta: CV. Sagung Seto.
6. Vera uripi, 2001, Menu Untuk Penderita Hepatitis Dan Gangguan
Saluran Pencernaan, cetakan 1, Jakarta: Puspa Swara.
7. Endang Lanywati, 2001, Penyakit Maag dan Gangguan Pencernaan,
Yogyakarta: Kanisius.
8. Terry Looker And Olga Gregson, 2005, Managing Stres, cetakan 1,
terjemahan Haris Setiawati, Yogyakarta: BACA
9. Tan Hoan Tjay&Kirana Rahardja, 2002, Obat-obat Penting: Khasiat,
Penggunaan, dan Efek Sampingnya Edisi Ke-5, Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
10. Yvonne van THp Dynhoven dan Rob de Jonge , 2001, Transmisi
Helicobacter pylori : Peran Untuk Makanan?, Vol.79, Buletin Organisasi
Kesehatan Dunia.

3. Ulkus Peptikum
f. Tata Laksana
Sejumlah pilihan pengobatan tersedia untuk menyembuhkan ulkus
peptikum. Termasuk antasida, ARH2, dan PPI. Antacida adalah agen
berpotensi efektif untuk menyembuhkan ulkus dan mengendalikan gejala,
namun, karena antacida menetralisir hanya asam yang sudah dikeluarkan,
kapasitas buffer terbesar aktif ketika diberikan 1 jam setelah makan. Dari
perspektif praktis, frekuensi dosis ini tidak nyaman dan efek samping dari
terapi, seperti diare, membatasi penggunaan antasida untuk mengontrol
gejala saja.1
Pengobatan ulkus peptikum harus mencakup pemberantasan H.
pylori pada pasien infeksi ini. Pemberantasan H. pylori mempercepat laju
penyembuhan, lama pengobatan dengan omeprazole 4 minggu, sampai
penyembuhannya. Terapi eradikasi jauh lebih efektif daripada obat
penyembuhan lambung dan lebih baik ditoleransi oleh pasien, harus rutin
dikerjakan bila memungkinkan.1,2
Pengobatan pasien dengan ARH2 atau PPI selama 4 minggu
menginduksi kesembuhan pada kebanyakan pasien ulkus duodeni. PPI
lebih superior untuk supresi asam, kesembuhan lebih tinggi, dan mengatasi
gejala lebih baik sehingga direkomendasikan sebagai terapi awal untuk
kebanyakan pasien.3
Sumber:
1. Qadeer MA, Falk GW. Acid Peptic Disorders.cleveland Clinic Center
for Continuing Medical Education. 2010.
2. Ford AC, Delaney BC, Forman D, Moayyedi P: Eradication therapy
for peptic ulcer disease in Helicobacter pylori positive patients.
Cochrane Database Syst Rev 2006;(2)
3. Ramakrishnan K, and Salinas RC. Peptic Ulcer Disease. Am Fam
Physician 2007;76:1005-12.
4. GERD
c. Patofisiologi
Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh sfingter. Sfingter adalah
struktur berototberbentuk seperti cincin yang jika tertutup, mencegah
lewatnya benda melalui saluran yangdijaganya. Sfingter esofagus untuk
bagian atas disebut dengan sfingter faringoesofagussedangkan sfingter
bawahnya disebut sfingter gastroesofagus.
Kecuali sewaktu menelan, sfingter faringoesofagus menjaga pintu
masuk esofagus tetaptertutup untuk mencegah masuknya sejumlah besar
udara ke dalam esofagus dan lambung saatbenapas. Apabila tidak ada
sfingter faringoesofagus, saluran pencernan akan menerima banyak gas
dan menyebabkan bersendawa yang berlebihan pada seseorang. Selama
menelan, sfingter iniakan berkontraksi sehingga sfingter terbuka dan bolus
dapat lewat ke dalam esofagus. Setelahbolus berada dalam esofagus,
sfingter akan menutup, saluran pernapasan terbuka dan bernapas dapat
kembali dilakukan.
Tahap orofaring selesai dan tahap ini kira-kira memakan waktu
satudetik setelah proses menelan dimulai.Tahap esofagus menelan
sekarang dimulai. Pusat menelan memulai gelombang peristaltik primer
yang mengalir dari pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di
depannya melewati esofagus ke lambung. Peristaltik mengacu pada
kontraksi berbentuk cincin otot polos sirkuler yang bergerak secara
progresif ke depan dengan gerakan mengosongkan, mendorong bolus
kedepan dengan cara kontraksi otot polos tersebut. Gelombang peristaltik
berlangsung sekitar limasampai sembilan detik untuk mencapai ujung
bawah esofagus. Sfingter gastroesofagus akanmelemas secara refleks saat
gelombang peristaltik mencapai bagian bawah esofagus sehinggabolus
dapat masuk ke dalam lambung. Setelah bolus masuk ke lambung, sfingter
gastroesofaguskembali berkontraksi untuk mempertahankan sawar antara
esofagus dan lambung, sehinggamengurangi kemungkinan refluks isi
lambung yang asam kembali ke dalam esofagus. Apabila isilambung
mengalir kembali ke esofagus akibat dari sfingter yang tidak berkontraksi
ataupunrelaksasi yang tidak adekuat, keasaman isi lambung tersebut akan
mengiritasi esofagus,menimbulkan sensasi terbakar pada esofagus hingga
dada yang dikenal sebagai heartburn .Kondisi ini disebut dengan GERD:
Gastroesophageal Reflux Disease.
Pada kebanyakan orang dengan GERD, mekanisme pertahanan
endogen sebenarnya berfungsi dengan baik untuk membatasi jumlah bahan
berbahaya yang masuk ke esofagus ataucepat membersihkan materi-materi
berbahaya yang ada sehingga gejala dan iritasi mukosaesofagus
diminimalkan. Contoh mekanisme pertahanan ini mencakup tindakan dari
mekanismepembersihan dengan saliva, mekanisme lower esophageal
sphincter (LES) dan motilitasesofagus normal. Ketika mekanisme
pertahanan rusak atau menjadi kewalahan dan tekananintraabdominal terus
meningkat maka esofagus akan penuh dengan asam lambung untuk
periodeyang lama. Hal inilah yang menyebabkan tanda dan gejala GERD
tidak dapat terelakkan terjadi.
GERD dapat menyebabkan terjadinya heartburn, regurgitasi
(mengalirnya kembali isilambung atau esofagus ke faring), aspirasi isi
lambung ke dalam pohon treakeobronkial sehinggapenderita mengalami
gejala batuk atau mengi, disfagia (kesulitan menelan karena
melemahnyaotot-otot esofagus), iritasi pada pita suara (suara serak), pada
anak disertai dengan rewel terusmenerus, dan tidak mau makan. Jika
terjadi secara bekerpanjangan, GERD menyebabkanterjadinya striktur
esophageal, tukak kerongkongan, dan sindrom Barret.
Striktur esophageal adalah suatu kondisi medis yang ditandai
dengan peradangan pada esofagus. Kondisi ini terjadi ketika lapisan
esofagus menjadi jaringan parut atau rusak karenaasam lambung pada
peristiwa refluks dan menyebabkan terbentuknya jaringan yang rusak
padacincin esofagus sehingga terjadi penyempitan pada esofagus.
Adanya striktur esophagealmenyebabkan pasien menjadi lebih
kesulitan pada saat menelan makanan padat sehingga pasienanak
khususnya tidak mau makan dan akhirnya dapat mengalami penurunan
berat badan yang tidak diinginkan dan mengganggu proses
pertumbuhannya. Tanda dan gejala pada strikturesophageal adalah
kesulitan menelan, hematemesis, rasa sakit saat menelan,
regurgitasimakanan, sering bersendawa, cegukan, dan tinja berwarna
hitam. GERD yang berat dan lama juga dapat menyebabkan esofagus
Barrett yaitu suatu kondisi medis dimana paparan jangka panjang terhadap
asam lambung akibat refluks menyebabkan perubahan abnormal pada sel-
sel dibagian bawah esofagus yang dapat meningkatkan resiko untuk
berkembangnya kanker esofagus.

Sumber:
Putnam PE. Gastroesophageal Reflux. In : Bluestone CD, et al. Pediatric
Otolaryngology, Vol.2, 3rd ed., Philadelphia : WB Saunders Co, 1996. 1144-
56.
5. Mekanisme Nyeri Tekan Epigastrium
Nyeri tekan epigastrium terjadi disebabkan adanya tekanan dari organ
pada daerah tersebut, biasanya akibat adanya edema atau perdarahan. Hal ini
berarti bahwa terdapat gangguan pada organ. Adanya nyeri tekan epigastrium
tidak dapat membedakan dispepsia organik dan fungsional secara akurat.
Nyeri tekan abdominal dengan palpasi harus dievaluasi dengan Carnett sign
untuk menentukan apakah nyeri berasal dari dinding abdomen atau berasal
dari inflamasi organ dalam. Adanya peningkatan nyeri tekan lokal selama otot
menegang (Carnett Sign positif) dapat mengarah pada adanya nyeri dinding
abdomen. Namun jika nyeri menurun (Carnett Sign negatif) maka rasa nyeri
bukan berasal dari dinding abdomen melainkan sepertinya dari organ intra-
abdomen.
Sumber:
Thistle JL, Longstreth GF, Romero Y, et al. Factors that predict relief from
upper abdominal pain after cholecystectomy. Clin Gastroenterol Hepatol
2011; 9:891.
8. Hubungan Mengonsumsi Minuman Bersoda dengan Kasus
Meminum minuman ringan berkarbonasi bukanlah hal yang baru lagi
bagi sebagian besar masyarakat. Seperti minuman pada umumnya, minuman
ringan berkarbonasi diminum atau masuk ke sistem pencernaan manusia
dimulai melalui ingesti oral melewati mulut faring dan esophagus sampai
akhirnya masuk ke lambung. Lambung yang sering terpapar dengan zat iritan
seperti kopi, obat anti inflamasi non-steroid (OAINS), alkohol, makan
minuman yang bersifat asam seperi minuman ringan berkarbonasi akan
mengalami iritasi akibat perangsangan sekresi asam lambung meningkat.
Iritasi lambung adalah kehilangan integritas yang karakteristik dari mukosa
lambung yang terbatas pada mukosa dan tidak tidak meluas di bawah
muskularis mukosa. Iritasi dapat berupa hiperemi ringan dan edema disertai
sebukan sel radang, limfosit, makrofag, kadang-kadang polimorfonuclear
(PMN), dan eosinofil pada lapisan permukaan dari lamina propia. Kadang-
kadang terjadi pelepasan mukosa setempat dan jarang mengenai seluruh
mukosa. Peningkatan sekresi asam lambung ini juga akan merangsang
penurunan dari kadar enzim siklooksigenase (COX-1), prostaglandin (PG-2),
dan sitoptotektif gater.1,2
Apabila sawar mukosa lambung mengalami kerusakan, sel epitel
gaster pada bagian tersebut dapat bermigrasi untuk memperbaiki daerah yang
telah rusak (restitution). Proses ini terjadi pada pembelahan sel secara
independen dan membutuhkan aliran darah yang optimal serta pH alkali di
lingkungan sekitarnya. Beberapa faktor pertumbuhan (growth factor)
termasuk epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF) α
dan basic fibroblast growth factor (FGF), memodulasi proses pemulihan.
Regenerasi sel epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor pertumbuhan
(growth factor) seperti EGF dan TGF α. Bersamaan dengan pembaharuan dari
sel epitel, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) juga terjadi pada
kerusakan mikrovaskular. Kedua faktor yaitu FGF dan VEGF penting untuk
meregulasi angiogenesis di mukosa lambung.3 Oleh karena itu, kebiasaan
mengonsumsi minuman bersoda menyebabkan terjadinya iritasi lambung dari
ibu W dan menimbulkan gejala yang dialami oleh ibu W tersebut.
Sumber:
1) Katz OIm Gersib LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and
management of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol.
2013;108:308-28.
2) Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis. Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2012.
3) Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih
bahasa. Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC.

13. Tata Laksana dan Edukasi Pasien pada Kasus


OAINS merupakan salah satu obat yang paling sering diresepkan
untuk pasien dengan gastritis. Obat ini dianggap sebagai first line therapy
untuk arthritis dan digunakan secara luas pada kasus trauma, nyeri pasca
pembedahan dan nyeri-nyeri yang lain. Sebagian besar efek samping OAINS
pada saluran cerna bersifat ringan dan reversibel. Hanya sebagian kecil yang
menjadi berat yakni tukak peptik, perdarahan saluran cerna dan perforasi.1
Edukasi pasien dengan memberitahukan bahwa untuk berhenti
mengonsumsi minuman bersoda, kebiasaan minum minuman bersoda
merupakan salah satu faktor yang mencetus terjadinya kerusakan pada
lambung sehingga menimbulkan gejala yang dialami oleh pasien.
Seperti minuman pada umumnya, minuman ringan berkarbonasi
diminum atau masuk ke sistem pencernaan manusia dimulai melalui ingesti
oral melewati mulut faring dan esophagus sampai akhirnya masuk ke
lambung. Lambung yang sering terpapar dengan zat iritan seperti kopi, obat
anti inflamasi non-steroid (OAINS), alkohol, makan minuman yang bersifat
asam seperi minuman ringan berkarbonasi akan mengalami iritasi akibat
perangsangan sekresi asam lambung meningkat.2,3
Sumber:
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
2. Katz OIm Gersib LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and
management of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol.
2013;108:308-28.

3. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis. Proses-


Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2012.

Anda mungkin juga menyukai