Anda di halaman 1dari 14

1.

Mastikasi (Mengunyah)
Gigi sudah dirancang dengan sangat tepat untuk mengunyah. Gigi geligi anterior
(insisivi) bekerja sebagai pemotong yang kuat dan gigi geligi posterior (molar) bekerja
untuk menggiling. Semua otot rahang yang bekerja bersama-sama dapat menghasilkan
5 kekuatan gigit sebesar 55 pon pada insisivus dan 200 pon pada molar. Pada umumnya
otot-otot pengunyah dipersarafi oleh cabang motorik saraf kranial kelima, dan proses
mengunyah dikontrol oleh nukleus dalam batang otak. Perangsangan daerah retikularis
spesifik pada pusat pengecapan di batang otak akan menimbulkan gerakan mengunyah
yang ritmis. Demikian pula, perangsangan area di hipotalamus, amigdala, dan bahkan di
10 korteks serebri dekat area sensoris untuk pengecapan dan penghidu sering kali dapat
menimbulkan gerakan mengunyah.
Kebanyakan proses mengunyah disebabkan oleh suatu refleks mengunyah. Adanya
bolus makanan di dalam mulut pada awalnya menimbulkan inhibisi refleks otot-otot
pengunyahan, yang menyebabkan rahang bawah turun ke bawah. Penurunan ini
15 kemudian menimbulkan refleks regang pada otot-otot rahang bawah yang menimbulkan
kontraksi rebound. Keadaan ini secara otomatis mengangkat rahang bawah yang
menimbulkan pengatupan gigi geligi, tetapi juga menekan bolus pada mukosa mulut,
yang menghambat otot-otot rahang bawah sekali lagi, menyebabkan rahang bawah turun
dan kembali rebound pada saat yang lain, dan ini terjadi berulang-ulang.
20 Mengunyah penting untuk pencernaan semua makanan, tetapi terutama sekali untuk
sebagian besar buah-buahan dan sayur-sayuran mentah karena mereka mempunyai
membran selulosa yang tidak dapat dicerna. Membran ini melingkupi bagian-bagian zat
nutrisi sehingga harus diuraikan sebelum makanan dapat dicerna. Selain itu, mengunyah
akan membantu pencernaan makanan untuk alasan sederhana berikut: Enzim enzim
25 pencernaan hanya bekerja pada permukaan partikel makanan; sehingga, kecepatan
pencernaan seluruhnya bergantung pada area permukaan total yang terpapar dengan
sekresi pencernaan. Selain itu, menggiling makanan hingga menjadi partikel-partikel
dengan konsistensi sangat halus akan mencegah ekskoriasi traktus gastrointestinal dan
meningkatkan kemudahan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus halus,
30 kemudian ke semua segmen usus berikutnya.
2. Proses Menelan (Deglutasi)
Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring membantu
fungsi pernapasan dan menelan. Faring diubah hanya dalam beberapa detik menjadi
traktus untuk mendorong masuk makanan. Hal yang terutama penting adalah bahwa
5 respirasi tidak terganggu karena proses menelan. Pada umumnya, menelan dapat dibagi
menjadi (1) tahap volunter yang mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal yang
bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus;
dan (3) tahap esofageal, yaitu fase involunter lain yang mengangkut makanan dari faring
ke lambung.
10 Tahap Volunter dan Proses Menelan. Bila makanan sudah siap untuk ditelan,
"secara sadar" makanan ditekan atau didorong ke arah posterior ke dalam faring oleh
tekanan lidah ke atas dan ke belakang terhadap palatum. Dari sini, proses menelan
menjadi seluruhnya atau hampir seluruhnya berlangsung secara otomatis dan umumnya
tidak dapat dihentikan.
15 Tahap Faringeal dan Proses Menelan. Saat bolus makanan memasuki bagian
posterior mulut dan faring, bolus merangsang daerah epitel reseptor menelan di
sekeliling pintu faring, khususnya pada tiang-tiang tonsil, dan sinyal-sinyal dari sini
berjalan ke batang otak untuk mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara
otomatis sebagai berikut.
20 1. Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi nares posterior, untuk mencegah
refluks makanan ke rongga hidung.
2. Lipatan palatofaringeal pada setiap sisi faring tertarik ke arah medial untuk
saling mendekat satu sama lain. Dengan cara ini lipatan-lipatan tersebut
membentuk celah sagital yang harus dilewati oleh makanan untuk masuk ke
25 dalam faring posterior. Celah ini melakukan kerja selektif, sehingga makanan
yang telah cukup dikunyah dapat lewat dengan mudah. Oleh karena tahap
penelanan ini berlangsung kurang dari 1 detik, setiap benda besar apa pun
biasanya sangat dihambat untuk lewat masuk ke esofagus.
3. Pita suara pada laring menjadi sangat berdekatan, dan laring tertarik ke atas dan
30 anterior oleh otot-otot leher. Hal ini, digabung dengan adanya ligamen yang
mencegah gerakan epiglotis ke atas, menyebabkan epiglotis bergerak ke
belakang di atas pembukaan laring. Seluruh efek ini bekerja bersama mencegah
masuknya makanan ke dalam hidung dan trakea. Hal yang paling penting adalah
sangat berdekatannya pita suara, namun epiglotis membantu mencegah makanan
agar sejauh mungkin dari pita suara. Kerusakan pita suara atau otot-otot yang
5 membuatnya berdekatan dapat menyebabkan strangulasi.
4. Gerakan laring ke atas juga menarik dan melebarkan pembukaan ke esofagus.
Pada saat yang bersamaan, 3-4 cm di atas dinding otot esofagus, yang dinamakan
sfingter esofagus atas (juga disebut sfingter faringoesofageal) berelaksasi.
Dengan demikian, makanan dapat bergerak dengan mudah dan bebas dari faring
10 posterior ke dalam esofagus bagian atas. Di antara penelanan, sfingter ini tetap
berkontraksi dengan kuat, sehingga mencegah udara masuk ke esofagus selama
respirasi. Gerakan laring ke atas juga mengangkat glotis keluar dari jalan utama
makanan, sehingga makanan terutama hanya melewati setiap sisi epiglotis dan
bukan melintas di atas permukaannya; hal ini menambah pencegahan terhadap
15 masuknya makanan ke dalam trakea.
5. Setelah laring terangkat dan sfingter faringoesofageal mengalami relaksasi,
seluruh otot dinding faring berkontraksi, mulai dari bagian superior faring, lalu
menyebar ke bawah melintasi daerah faring media dan inferior, yang mendorong
makanan ke dalam esofagus melalui proses peristaltik.
20 Tahap Esofageal Proses Menelan. Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan
makanan secara cepat dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk
fungsi tersebut.
Normalnya, esofagus memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik: peristaltik
primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari
25 gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esofagus selama tahap
faringeal dari proses menelan. Gelombang ini berjalan dari faring ke lambung dalam
waktu sekitar 8 sampai 10 detik. Makanan yang ditelan seseorang pada posisi tegak
biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus, bahkan lebih cepat daripada gelombang
peristaltik itu sendiri, sekitar 5 sampai 8 detik, akibat adanya efek gravitasi tambahan
30 yang menarik makanan ke bawah.
Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang telah
masuk esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang
dihasilkan dari peregangan esofagus oleh makanan yang tertahan, gelombang ini terus
berlanjut sampai semua makanan dikosongkan ke dalam lambung. Gelombang peristaltik
5 sekunder ini sebagian dimulai oleh sirkuit saraf intrinsik dalam sistem saraf mienterikus
dan sebagian oleh refleks-refleks yang dimulai pada faring lalu dihantarkan ke atas
melalui seratserat aferen vagus ke medula dan kembali lagi ke esofagus melalui serat-
serat saraf aferen glosofaringeal dan vagus.
Susunan otot dinding faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah otot lurik.
10 Oleh karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini diatur oleh sinyal saraf rangka dari
saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada dua pertiga bagian bawah esofagus, susunan
ototnya merupakan otot polos, namun bagian esofagus ini juga secara kuat diatur oleh
saraf vagus yang bekerja melalui perhubungan dengan sistem saraf mienterikus
esofageal. Jika saraf vagus yang menuju esofagus dipotong, setelah beberapa hari pleksus
15 saraf mienterikus esofagus menjadi cukup peka rangsang untuk menimbulkan gelombang
peristaltik sekunder yang kuat bahkan tanpa bantuan refleks vagal. Oleh karena itu,
bahkan sesudah paralisis refleks penelanan batang otak, makanan yang dimasukkan
melalui selang atau dengan cara lain ke dalam esofagus tetap siap memasuki lambung.
3. Pencampuran dan Propulsi Makanan dalam Lambung
20 Getah pencernaan lambung disekresikan oleh kelenjar gastrik, yang berada pada
hampir seluruh dinding korpus lambung kecuali sepanjang garis sempit di kurvatura
minor lambung. Sekresi ini terjadi dengan segera saat berkontak dengan bagian makanan
yang disimpan terletak berhadapan dengan permukaan mukosa lambung. Selama
lambung berisi makanan, gelombang konstriktor peristaltik lemah, juga disebut
25 gelombang pencampur, mulai timbul di bagian tengah sampai ke bagian yang lebih atas
dinding lambung dan bergerak ke arah antrum sekitar satu kali setiap 15 sampai 20 detik.
Gelombang ini ditimbulkan oleh irama listrik dasar dinding lambung, yang telah
didiskusikan dalam Bab 62, terdiri atas "gelombang pendek" listrik yang terjadi secara
spontan pada dinding lambung. Saat gelombang konstriktor berjalan dari korpus lambung
30 ke dalam antrum, gelombang tersebut menjadi lebih kuat, beberapa menjadi sangat kuat
dan menimbulkan cincin konstriktor yang digerakkan oleh potensial aksi peristaltik yang
kuat, yang mendorong isi antrum di bawah tekanan yang semakin lama semakin tinggi ke
arah pilorus.
Cincin konstriktor ini juga memainkan peran penting dalam mencampur isi lambung
melalui cara berikut. Setiap kali gelombang peristaltik melewati dinding antrum bergerak
5 ke bawah menuju pilorus, gelombang itu menembus isi makanan semakin dalam pada
antrum. Tetapi pembukaan pilorus masih cukup sempit sehingga hanya beberapa mililiter
atau kurang isi antrum yang dikeluarkan ke dalam duodenum pada setiap gelombang
peristaltik. Demikian juga, ketika setiap gelombang peristaltik mendekati pilorus, otot
pilorus itu sendiri sering berkontraksi, yang selanjutnya menghalangi pengosongan
10 melalui pilorus. Oleh karena itu, sebagian besar isi antrum akan diperas terbalik arahnya
melalui cincin peristaltik menuju korpus lambung, tidak menuju pilorus. Sehingga,
gerakan cincin konstriktif peristaltik, digabung dengan kerja memeras dengan arah
terbalik, disebut "retropulsi": adalah mekanisme pencampuran yang sangat penting dalam
lambung.

15
Sumber gambar : Sherwood.fisiologi manusia.edisi 8.2014

Kimus. Sesudah makanan dalam lambung seluruhnya bercampur dengan sekresi


lambung, hasil campuran yang berjalan ke usus disebut kimus. Derajat keenceran kimus
20 bergantung pada jumlah relatif makanan, air, dan sekresi lambung serta pada derajat
pencernaan yang telah terjadi. Ciriciri kimus adalah cairan keruh setengah cair atau
seperti pasta.
Kontraksi Lapar. Selain kontraksi peristaltik yang terjadi ketika makanan terdapat
di dalam lambung, terdapat suatu jenis kontraksi lain yang kuat, disebut kontraksi lapar,
5 sering terjadi bila lambung telah kosong selama beberapa jam atau lebih. Kontraksi ini
adalah kontraksi peristaltik yang ritmis di dalam korpus lambung, Ketika kontraksi
berturutan tersebut menjadi sangat kuat, kontraksi-kontraksi ini akan menimbulkan
kontraksi tetanik yang kontinu yang kadang berlangsung selama 2-3 menit.
Kontraksi lapar terjadi paling kuat pada orang muda, sehat yang memiliki derajat
10 tonus gastrointestinal yang tinggi; kontraksi juga dapat sangat meningkat jika orang
tersebut memiliki kadar gula darah yang lebih rendah dari normal. Bila kontraksi lapar
terjadi di dalam lambung, orang kadang akan mengalami sensasi nyeri ringan pada
bagian bawah lambung, disebut hunger pangs (rasa nyeri mendadak waktu lapar).
Hunger pangs biasanya tidak terjadi sampai 12 hingga 24 jam sesudah masuknya
15 makanan yang terakhir; pada kondisi kelaparan, hunger pangs mencapai intensitas
terbesar dalam waktu 3 sampai 4 hari, dan melemah secara bertahap pada hari-hari
berikutnya.

Sumber gambar : Sherwood.fisiologi manusia.edisi 8.2014


Pengosongan lambung ditimbulkan oleh kontraksi peristaltik yang kuat di dalam
antrum lambung. Pada saat yang sama, pengosongan dilawan oleh berbagai tingkat
resistansi terhadap berlalunya kimus di pilorus.
5 4. Pengaturan Pengosongan Lambung
Kecepatan pengosongan lambung diatur oleh sinyal dari lambung dan duodenum.
Akan tetapi, duodenum memberi sinyal yang lebih kuat, mengontrol pengosongan kimus
ke dalam duodenum pada kecepatan yang tidak melebihi kecepatan kimus dicerna dan
diabsorbsi dalam usus halus.
10 Faktor-Faktor Lambung yang Mendorong Pengosongan
Efek Volume Makanan pada Lambung terhadap Kecepatan Pengosongan.
Peningkatan volume makanandalam lambung menimbulkan peningkatan pengosongan
lambung. Namun, peningkatan pengosongan ini tidak terjadi seperti yang diperkirakan
orang. Bukanlah peningkatan tekanan makanan yang disimpan dalam lambung yang
15 menyebabkan peningkatan pengosongan, karena dalam kisaran volume normal biasa,
peningkatan volume tidak cukup meningkatkan tekanan. Sebaliknya, peregangan dinding
lambung ternyata menghasilkan refleks-refleks mienterik setempat dalam dinding yang
sangat memperkuat aktivitas pompa pilorus, dan pada saat bersamaan menghambat
pilorus.
20 Efek Hormon Gastrin terhadap Pengosongan Lambung. Peregangan dinding
lambung dan adanya jenis makanan tertentu dalam lambung terutama hasil pencernaan
daging menyebabkan pelepasan hormon gastrin dari mukosa antrum. Gastrin mempunyai
efek yang kuat untuk menyebabkan kelenjar lambung menyekresi getah lambung yang
sangat asam. Gastrin juga mempunyai efek perangsangan fungsi motorik dari ringan
25 sampai sedang pada korpus lambung. Hal yang paling penting, gastrin rupanya
meningkatkan aktivitas pompa pilorus. Jadi, gastrin, mungkin membantu terjadinya
pengosongan lambung.
Faktor-Faktor Duodenum yang Kuat Menghambat Pengosongan Lambung
Pengaruh Penghambatan oleh Refleks-Refleks Saraf Enterogastrik dari Duodenum.
30 Saat makanan masuk ke dalam duodenum, berbagai refleks saraf timbul dari dinding
duodenum. Mereka kembali melewati lambung untuk melambatkan atau bahkan
menghentikan pengosongan lambung jika volume kimus di dalam duodenum menjadi
terlalu banyak. Refleks-refleks ini diperantara oleh tiga jalur: (1) langsung dari duodenum
ke lambung melalui sistem saraf enterik pada dinding lambung, (2) melalui saraf-saraf
ekstrinsik yang berjalan ke ganglia simpatis prevertebra dan kemudian kembali ke
5 lambung melalui serat-serat saraf simpatis penghambat; dan (3) mungkin lebih jauh lagi
melalui nervus vagus ke batang otak, sehingga menghambat sinyal eksitatorik normal
yang ditransmisikan ke lambung melalui nervus vagus. Semua refleks paralel ini
mempunyai dua efek pada pengosongan lambung: Pertama, refleks paralel tersebut
dengan kuat menghambat kontraksi pendorongan "pompa pilorus," dan kedua, refleks
10 tersebut meningkatkan tonus sfingter pilorus.
Jenis-jenis faktor yang terus-menerus dimonitor di dalam duodenum dan yang dapat
mengawali refleks penghambatan enterogastrik adalah sebagai berikut.
1. Derajat peregangan duodenum
2. Adanya iritasi dengan derajat berapa pun dalam mukosa duodenum
15 3. Derajat keasaman kimus duodenum
4. Derajat osmolalitas kimus
5. Adanya hasil-hasil pemecahan produk tertentu dalam kimus, terutama hasil
pemecahan protein dan mungkin sedikit lemak.
Refleks-refleks penghambat enterogastrik terutama sensitif terhadap adanya zat-zat
20 iritan dan asam di dalam kimus duodenum, dan refleks tersebut sering kali menjadi
teraktivasi dengan kuat dalam waktu sesingkat 30 detik. Sebagai contoh, kapan pun pH
kimus dalam duodenum turun di bawah sekitar 3,5 sampai 4; refleks sering kali
menghambat pelepasan lebih lanjut isi lambung yang asam ke dalam duodenum hingga
kimus duodenum dapat dinetralisasi oleh sekresi pankreas atau sekresi Iainnya.
25 5. Kontraksi Pencampuran (Kontraksi Segmentasi)
Bila bagian tertentu usus halus teregang oleh kimus, peregangan dinding usus
menimbulkan kontraksi konsentris lokal dengan jarak interval tertentu sepanjang usus
dan berlangsung sesaat dalam semenit. Kontraksi ini menimbulkan "segmentasi" pada
usus halus. Artinya, kontraksi membagi usus menjadi segmen-segmen ruang yang
30 mempunyai bentuk rantai sosis. Bila satu rangkaian kontraksi segmentasi berelaksasi,
sering timbul satu rangkaian baru, tetapi kontraksi kali ini terjadi terutama pada titik baru
di antara kontraksi-kontraksi sebelumnya. Oleh karena itu, kontraksi segmentasi ini
"memotong" kimus sekitar dua sampai tiga kali per menit, dengan cara ini membantu
pencampuran makanan dengan sekresi usus halus.
6. Gerakan Propulsif
5 Peristaltik dalam Usus Halus. Kimus didorong melalui usus halus oleh gelombang
peristaltik. Ini dapat terjadi pada bagian usus halus mana pun, dan bergerak menuju anus
dengan kecepatan 0,5 sampai 2,0 cm/detik, lebih cepat di usus bagian proksimal dan lebih
lambat di usus bagian terminal. Gelombang peristaltik tersebut secara normal lemah dan
biasanya berhenti sesudah menempuh jarak 3 sampai 5 cm, jarang lebih jauh dari 10 cm,
10 sehingga pergerakan maju kimus sangat lambat, begitu lambatnya sehingga pergerakan
neto sepanjang usus halus ratarata hanya 1 cm/menit. Ini berarti bahwa dibutuhkan waktu
3 sampai 5 jam untuk perjalanan kimus dari pilorus sampai ke katup ileosekal.
7. Gerakan Mencampur—"Haustrasi".
Melalui cara yang sama dengan terjadinya gerakan segmentasi dalam usus halus,
15 konstriksi-konstriksi sirkular yang besar terjadi dalam usus besar. Pada setiap konstriksi
ini, kira-kira 2,5 cm otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen kolon
sampai hampir tersumbat. Pada saat yang sama, otot longitudinal kolon, yang terkumpul
menjadi tiga pita longitudinal yang disebut taenia coli, akan berkontraksi. Kontraksi
gabungan dari pita otot sirkular dan longitudinal menyebabkan bagian usus besar yang
20 tidak terangsang menonjol ke luar memberikan bentuk serupa-kantung yang disebut
haustrasi.

Sumber gambar : Sherwood.fisiologi manusia.edisi 8.2014


Setiap haustrasi biasanya mencapai intensitas puncak padat dalam waktu sekitar 30
detik dan kemudian menghilang selama 60 detik berikutnya. Kadang-kadang kontraksi
juga bergerak lambat menuju ke anus selama masa kontraksinya, terutama pada sekum
dan kolon asenden, dan karena itu menyebabkan sejumlah kecil dorongan isi kolon ke
5 depan. Beberapa menit kemudian, timbul kontraksi haustrae yang baru pada daerah lain
yang berdekatan. Oleh karena itu, bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan
diputar dengan cara yang hampir sama seperti orang menyekop tanah. Dengan cara ini
semua bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar,
dan cairan serta zat-zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga hanya terdapat 80
10 sampai 200 ml feses yang dikeluarkan setiap hari.

Sumber gambar : Sherwood.fisiologi manusia.edisi 8.2014


Sumber gambar : Sherwood.fisiologi manusia.edisi 8.2014

5 Sumber gambar : Sherwood.fisiologi manusia.edisi 8.2014


8. Gerakan Mendorong—"Gerakan Massa"
Banyak dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi
haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten, yang membutuhkan waktu 8 sampai
15 jam untuk menggerakkan kimus dari katup ileosekal melalui kolon, sementara
5 kimusnya sendiri menjadi feses dengan karakteristik lumpur setengah padat bukan lagi
setengah cair.
Dari sekum sampai sigmoid, gerakan massa dapat mengambil alih peran
pendorongan untuk beberapa menit dalam satu waktu. Gerakan ini biasanya hanya terjadi
satu sampai tiga kali setiap hari pada kebanyakan orang, terutama untuk kira-kira 15
10 menit selama jam pertama sesudah makan pagi.
Gerakan massa adalah jenis peristaltik yang dimodifikasi yang ditandai oleh
rangkaian peristiwa sebagai berikut: Pertama, timbul sebuah cincin konstriksi sebagai
respons dari tempat yang teregang atau teriritasi di kolon, biasanya pada kolon
transversum. Kemudian, dengan cepat kolon, sepanjang 20 cm atau lebih, pada bagian
15 distal cincin konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan justru berkontraksi sebagai
satu unit, mendorong maju materi feses pada segmen ini sekaligus untuk lebih menuruni
kolon. Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira
30 detik, dan terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya. Lalu, timbul
pengerakan massa yang lain, kali ini mungkin berjalan lebih jauh sepanjang kolon.
20 Satu rangkaian gerakan massa biasanya menetap selama 10 sampai 30 menit. Lalu
mereda dan mungkin timbul kembali setengah hari kemudian. Bila gerakan sudah
mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi.
9. Refleks Gastrokolik dan Refleks Duodenokolik.
Timbulnya gerakan massa sesudah makan dipermudah oleh refleks gastrokolik dan
25 duodenokolik. Refleks ini disebabkan oleh distensi lambung dan duodenum. Refleks
tersebut tidak timbul sama sekali atau hampir tidak timbul sama sekali bila saraf-saraf
otonom ekstrinsik yang menuju kolon telah diangkat; oleh karena itu, refleks tersebut
hampir secara pasti dijalarkan melalui jalur sistem saraf otonom. Iritasi dalam kolon
dapat juga menimbulkan gerakan massa yang kuat. Sebagai contoh, seseorang yang
30 menderita tukak pada mukosa kolon (kolitis ulserativa) sering mengalami gerakan massa
yang menetap hampir setiap saat.
10. Defekasi
Pada sebagian besar waktu, rektum tidak berisi feses. Hal ini sebagian adalah akibat
dari kenyataan bahwa terdapat sfingter fungsional yang lemah sekitar 20 cm dari anus
pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rektum. Di sini terdapat juga sebuah sudut
5 tajam yang menambah resistansi terhadap pengisian rektum.
Bila gerakan massa mendorong feses masuk ke dalam rektum, segera timbul
keinginan untuk defekasi, termasuk refleks kontraksi rektum dan relaksasi sfingter anus.
Pendorongan massa feses yang terus-menerus melalui anus dicegah oleh konstriksi
tonik dari (1) sfingter ani internus, penebalan otot polos sirkular sepanjang beberapa
10 sentimeter yang terletak tepat di sebelah dalam anus, dan (2) sfingter ani eksternus, yang
terdiri atas otot lurik volunter yang mengelilingi sfingter internus dan meluas ke sebelah
distal. Sfingter eksternus diatur oleh serat-serat saraf dalam nervus pudendus, yang
merupakan bagian sistem saraf somatis dan karena itu di bawah pengaruh volunter,
dalam keadaan sadar atau setidaknya dalam bawah sadar; secara bawah sadar, sfingter
15 eksternal biasanya secara terus-menerus mengalami konstriksi kecuali bila ada impuls
kesadaran yang menghambat konstriksi.
11. Refleks Defekasi.
Biasanya, defekasi ditimbulkan oleh refleks defekasi. Satu dari refleks-refleks ini
adalah refleks intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat di dalam
20 dinding rektum. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila feses memasuki rektum,
distensi dinding rektum menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui
pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristalik di dalam kolon desenden,
sigmoid, dan rektum, mendorong feses ke arah anus. Pada saat gelombang peristaltik
mendekati anus, sfingter ani internus relaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari
25 pleksus mienterikus; jika sfingter ani eksternus juga secara sadar, dan volunter
berelaksasi pada waktu yang bersamaan, terjadilah defekasi.
Refleks defekasi mienterik intrinsik yang berfungsi dengan sendirinya secara normal
bersifat relatif lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi, refleks
biasanya harus diperkuat oleh refleks defekasi jenis lain, suatu refleks defekasi
30 parasimpatis yang melibatkan segmen sakral medula spinalis. Bila ujung-ujung saraf
dalam rektum dirangsang, sinyal-sinyal dihantarkan pertama ke dalam medula spinalis
dan kemudian secara refleks kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum, dan anus
melalui serat-serat saraf parasimpatis dalam nervus pelvikus. Sinyal-sinyal parasimpatis
ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan juga merelaksasikan sfingter ani
internus, dengan demikian mengubah refleks defekasi mienterik intrinsik dari suatu usaha
5 yang lemah menjadi suatu proses defekasi yang kuat, yang kadang efektif dalam
mengosongkan usus besar sepanjang jalan dari fleksura splenikus kolon sampai ke anus.
Sinyal-sinyal defekasi yang masuk ke medula spinalis menimbulkan efek-efek lain,
seperti mengambil napas dalam, penutupan glotis, dan kontraksi otot-otot dinding
abdomen untuk mendorong isi feses dari kolon ke bawah dan pada saat yang bersamaan
10 menyebabkan dasar pelvis mengalami relaksasi ke bawah dan menarik keluar cincin anus
untuk mengeluarkan feses.

15 Sumber bacaan :
1. Sherwood. Fisiologi manusia.edisi 8. 2014
2. Guyton. Fisiologi kedokteran. Edisi 9. 1997

Anda mungkin juga menyukai