Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

“GAS TREATMENT PROCESS”

Mata Kuliah : Fasilitas Permukaan dan Transportasi


Dosen : Hadziqul Abror, S.Si., M. T.

Disusun Oleh :
Achmad Fauzi (201910801048)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2023
I. PENDAHULUAN
Zat-zat pengotor yang terdapat dalam minyak mentah
bervariasi dalam jumlah dan jenisnya. Zat-zat tersebut terdiri
dari senyawa-senyawa organik yang mengandung sulfur, nitrogen,
dan oksigen; logam-logam terlarut dan garam-garam anorganik;
garam-garam yang terlarut yang larut dalam air yang terbawa
minyak membentuk emulsi. Zat-zat pengotor yang tidak diingini,
biasanya dipisahkan atau dirubah ke dalam bentuk yang tidak
berbahaya.
Tujuan dari pengolahan ini adalah untuk menjaga : a) korosi
peralatan, b) kerusakan katalis, c) menurunkan mutu produk
akhir seperti warna yang jelek, ketidakstabilan terhadap
cahaya, korosif, bau yang tidak enak, dan lain-lain.
Pemilihan proses pengolahan untuk situasi kilang tertentu
tergantung pada keadaan alam fraksi minyak yang diolah dan
spesifikasi yang diingini untuk produk akhir atau produk
menengah. Berikut akan dijelaskan mengenai beberapa metode
atau cara yang dapat digunakan dalam proses pemisahan gas.
II. Teknologi Penghilangan Hidrogen Sulfida (H2S)
a) Pengertian Gas H2S dan Bahayanya
H2S adalah materi yang sangat beracun, tidak berwarna,
dalam konsentrasi yang rendah berbau seperti telur busuk dan
juga lebih berat daripada udara. Oleh karenanya, H 2S sering
disebut juga gas telur busuk, gas asam, asam belerang ataupun
uap bau. Keberadaan gas Hidrogen Sulfida (H2S) dapat ditemukan
di berbagai macam lokasi area kerja. Aktifitas pengeboran dan
produksi minyak dan gas bumi sangat berpotensi terjadinya
paparan gas H2S ke udara yang sangat berbahaya terhadap
tubuh manusia. Tingginya kandungan hidrogen sulfida ini dapat
menurunkan mutu produk bahkan mengakibatkan korosi pada
pengolahan minyak bumi, kandungan hidrogen sulfida yang tinggi
juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang sangat
membahayakan bagi makhluk hidup, karena dalam konsentrasi yang
rendah hidrogen sulfida sangat beracun. Untuk memperoleh
produk dari minyak bumi berkualitas yang rendah akan kandungan
gas H2S, maka diperlukan pengetahuan mengenai penanganan
terhadap kandungan hidrogen sulfida di industri minyak dan gas
bumi (Wandira Bande & Bakri, 2016).
Bau tak sedap dari gas H2S dapat terdeteksi bahkan pada
konsentrasi 0,5 ppb , ambang baunya yang rendah menyebabkan
banyak keluhan dari warga sekitar tempat penambangan. Selain
itu, menghirup H2S dapat memicu masalah kesehatan pernapasan ,
dengan studi komprehensif tentang kesehatan manusia
menunjukkan kematian yang cepat setelah terpapar udara yang
terkontaminasi dengan 700 ppm H2S. Bahaya H2S juga terkait
dengan serangan sistem saraf dan organ dalam seperti hati dan
ginjal. Selain itu, sifat korosif yang tinggi dari H 2S dapat
merusak permukaan beton, pipa saluran pembuangan, dan
fasilitas produksi (Yang, 2021).

Gambar 1. Tingkat Paparan Gas H2S dan Bahayanya

Efek buruk dari paparan H2S dirangkum dalam gambar 1. Karena


risiko tinggi ini, paparan sangat dibatasi oleh badan
pengatur. Misalnya, Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA)
telah merekomendasikan dosis referensi oral (RFD) 0,003
mg/kg/hari dan konsentrasi referensi inhalasi (RFC) 0,001
mg/m3. Untuk melindungi karyawan, Administrasi Keselamatan dan
Kesehatan Kerja AS(OSHA) menegaskan bahwa tempat kerja
industri harus memelihara kadar H2S di bawah 20 ppm selama hari
kerja. Untuk air minum, konsentrasi H2S dibatasi hingga tingkat
0,05 mg/liter oleh Peraturan Air Minum Sekunder Sementara
Nasional AS (NISDWR) (Yang, 2021).
b) Adsorption
Proses adsorpsi digunakan untuk menghilangkan kontaminan
dari gas menggunakan sorben padat. Teknologi pemurnian gas
yang telah terbukti dengan baik ini telah berhasil diadopsi di
berbagai bidang untuk perlindungan lingkungan seperti
pemisahan biogas, penangkapan CO2, pemurnian H2 dan CH4, dan
penghapusan H2S. Karena adsorbat diadsorpsi ke permukaan
sorbent selama proses ini, kemampuan adsorpsi secara
signifikan dipengaruhi oleh luas permukaan sorbent. Adsorpsi
diklasifikasikan sebagai adsorpsi fisik (physisorption) atau
adsorpsi kimia (chemisorption) sesuai dengan sifat ikatan
antara molekul gas dan sorbent. Fisorpsi terjadi ketika
molekul gas tertarik ke permukaan sorbent oleh gaya van der
Waals tanpa berbagi elektron antara adsorbat dan permukaan
sorbent. Suhu rendah menguntungkan untuk menghindari desorpsi
molekul teradsorpsi, dan energi aktivasi kecil dalam fisorpsi.
Sebaliknya, Karbon aktif, zeolit, silika mesopori, dan
kerangka logam organik (MOFs)telah dipelajari secara ekstensif
untuk adsorpsi H2S. Bahan-bahan ini umumnya memiliki kapasitas
adsorpsi yang besar karena struktur berpori, luas permukaan
yang tinggi, dan volume pori yang besar (Yang, 2021).

Pendekatan lain adalah penggunaan oksida logam untuk


menyerap H2S melalui reaksi kimia yang mengarah pada
pembentukan logam sulfida dengan mengikuti reaksi berikut
(Yang, 2021):

MOx + xH2S MSx + xH2O (1)

dimana M adalah logam. Reaksi ini sebagian besar terjadi pada


suhu rendah atau sedang (25-300OC). Oksida logam representatif
untuk Adsorpsi H2S meliputi oksida besi, tembaga oksida,dan
seng oksida. Meskipun bahan ini secara termodinamika layak
untuk desulfurisasi, luas permukaannya yang relatif rendah
dibandingkan dengan bahan nanopori merupakan kelemahan utama
dari sorbent berbasis oksida logam. Oleh karena itu, merupakan
strategi yang masuk akal untuk memisahkan oksida logam pada
bahan pendukung dengan porositas tinggi (Yang, 2021).
c.) Catalytic Oxidation
Berbeda dengan adsorpsi, oksidasi katalitik digunakan untuk
menghilangkan H 2S melalui oksidasi selektif menjadi unsur
belerang oleh katalis di atmosfer yang mengandung oksigen.
Metode ini digunakan dalam proses Claus, pertama kali
dipatenkan pada tahun 1883. Dalam proses ini gas umpan
biasanya terdiri dari H2S, CO2 dan H2O bersama dengan pecahan
kecil dari N2, HNH3, dan hidrokarbon. Konversi H2S menjadi
belerang terjadi dalam dua tahap reaksi, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1 (Yang, 2021).
Gambar 2. Diagram Alir Proses Claus 2 Tahap

Pada tahap pertama, sepertiga dari H2S diubah menjadi SO2 dalam
ruang bakar yang beroperasi pada suhu tinggi, menurut
persamaan berikut (Yang, 2021):

H2S+3/2O2 SO2+H20 (2)

Meskipun reaksi ini menguntungkan secara termodinamika (


r
∆ G =−518 ¿, efisiensi konversinya buruk di bawah 1.000
o O
C. Oleh

karena itu, suhu proses harus dijaga pada kisaran 1.000-1.200
O
C untuk mendapatkan hasil tertinggi. Produk dan sisa H 2S lalu
masuk ke reaktor kedua, di mana elemen belerang mental
dihasilkan oleh reaksi berikut (Yang, 2021):


SO2+2H2S 2H2O+3/2S2 (3)

r
Karena reaksi ini secara termodinamik tidak spontan(∆ Go = +47

kJ/mol), gas ekor (gas sisa dari proses Claus) mengandung 3-5%
H2S awal. Karena peraturan yang baru-baru ini diperkuat, ini
harus diperlakukan lebih jauh untuk menghilangkan H2S. Berbagai
teknologi pembersihan telah dipelajari dan diterapkan untuk
pengolahan gas buang, termasuk penyerapan, adsorpsi, oksidasi
basah, dan oksidasi katalitik selektif. Di antaranya, oksidasi
katalitik selektif telah mendapat perhatian penelitian baru-
baru ini karena hasil belerang yang sangat baik dan biaya
rendah. Dalam teknik ini, H2S secara langsung diubah menjadi
unsur belerang melalui oksidasi katalitik selektif dengan
reaksi ireversibel berikut (Yang, 2021):


H2S+1/2O2 S+H2O (4)

Tantangan utama dalam oksidasi katalitik selektif adalah


menghindari reaksi Claus terbalik dan oksidasi mendalam H 2S
dimana belerang dioksida yang tidak diinginkan dihasilkan
menurut reaksi berikut (Yang, 2021):


3S+2H2O 2H2S+SO2 (5)


H2S+3/2O2 SO2+H2O (6)

Oleh karena itu, uap air dan rasio H 2S/O2 berperan penting
dalam konversi H2S dan selektivitas sulfur. Berbagai oksida
logam telah dipelajari sebagai zat aktif katalis untuk
oksidasi katalitik selektif H2S. Di antaranya, V2O5, MgO, dan
Fe2O3 dapat dianggap menjanjikan karena aktivitas katalitik dan
selektivitasnya (Yang, 2021).

d.) Membran
Membran polimer (yang tidak mengandung lubang atau pori)
bukanlah teknologi baru untuk pemisahan gas. Pemisahan ini
didasarkan pada prinsip bahwa senyawa gas tertentu larut dan
berdifusi bahan polimer pada tingkat yang lebih cepat daripada
yang lain. Karbon dioksida, hidrogen, helium, hidrogen sulfida
dan uap air sangat permeabel (gas cepat). Sebaliknya,
nitrogen, metana dan Senyawa parafin yang lebih berat kurang
permeabel (gas lambat). Aplikasi terbaik untuk pemisahan
membran adalah untuk memisahkan gas dalam kategori pemisahan
cepat atau (Permeate) dari gas di pemisahan menjadi lambat
( Residue Gas ). Misalnya, CO2 akan melewati membran polimer 15
sampai 40 kali lebih cepat dari metana (Fatimura et al.,
2018).

Banyak keuntungan yang diperoleh dari penggunaan teknologi


membran seperti (Fatimura et al., 2018):
- Praktis
- Mudah dalam proses instalisasi dan pengoperasian
- Biaya perawatan yang murah
- Tidak boros tempat
- Fleksibilitas proses yang tinggi
- Biaya investasi modal yang rendah
Meski demikian, teknologi membran juga memiliki sedikit
kekurangan seperti (Fatimura et al., 2018):
- Fluks permeasi yang rendah
- Permselektivitas yang kurang memadai
- Adanya fouling membran

Gambar 3.Pemisahan gas alam dari sour gas dengan membrane

Pada gambar 3. pemisahan dengan membrane proses dimana


kandungan CO2 yang tinggi dalam gas alam dalam feed > 60 vol%
CO2 , feed gas dengan tekanan 1,000 psig (69 bar) dengan laju
alir 0.01 - 500 MMscfd, dimana hasil pemisahanan setelah
dikontakan dengan membrane didapat CO2 yang masih tersisa dalam
kandungan gas alam < 2% CO2 jadi untuk > 95% recovery gas
methane dan > 95% CO2 dapat dihilangkan dalam gas alam
(Fatimura et al., 2018).

III. Dehydration Technology


a.) Gas Dehydration dan Glycol Dehydration
Gas dehydration adalah suatu proses pemisahan uap air yang
terkandung didalam gas. Secara umum proses dehidrasi gas
terbagi atas 2 (dua) macam yaitu gas dehydration menggunakan
glycol dan gas dehydration menggunakan solid desiccants
(Nurisman, 2011).
Pemilihan metode fase gas dehydration yang digunakan harus
menyesuaikan dengan kebutuhan proses. Namun gas dehydration
menggunakan glycol paling sering digunakan karena memiliki
keuntungan dari pada menggunakan solid desiccants. Gas
dehydration dengan solid desiccants digunakan pada proses
yang membutuhkan dew point yang sangat rendah (Nurisman,
2011).
Dehidrasi gas menggunakan glycol adalah suatu proses
absorbs dimana uap air didalam gas dilarutkan dengan cairan
pelarut glycol yang relative murni. Dehidrasi dengan glycol
relative murah, dimana air dapat dengan mudah diuapkan keluar
dari glycol dengan cara memberikannya panas. Tahap ini
disebut dengan regenerasi atau rekonsentrasi dan memungkinkan
glycol dapat digunakan kembali pada proses absorbsi air pada
kolom absorber (Nurisman, 2011).
Terdapat 4 (empat) jenis glycol yang dapat digunakan dalam
proses gas dehydration yaitu Ethylene Glycol, Diethylene
Glycol, Triethylene Glycol , Tetraethylene Glycol. Namun
jenis glycol yang paling umum digunakan adalah triethylene
glycol. Triethylene Glycol adalah cairan kental yang sedikit
berwarna dan sedikit berbau dengan rumus molekul C6H14O4. TEG
merupakan larutan higroskopis dan larut dengan air serta
memiliki kemampuan dehumidify cairan (Nurisman, 2011).

HO O O OH

(Gambar 4. Struktur Molekul Triethylene Glycol (TEG))

Triethylene glycol merupakan senyawa kimia yang termasuk


kedalam senyawa alcohol dengan viskositas rendah dan titik
didih yang tinggi. Di bawah ini adalah spesifikasi dari
larutan triethylene glycol (TEG) (Nurisman, 2011) :

Tabel Spesifikasi Triethylene Glycol (TEG)


NO PROPERTIS KETERANGAN
1 Rumus Molekul C6H14O4
2 Massa Molar 150,17 g/mol
3 Densitas 1,1 g/mol
4 Titik Lebur -7 C, 266 K, 19oF
o

5 Titik Didih 285oC, 558 K, 545oF

Keuntungan penggunaan Triethyline Glycol (TEG) antara lain


adalah (Nurisman, 2011):
1. Penguapan yang terjadi lebih kecil dari pada ethylene
glycol dan diethylenen glycol.
2. Harga dan biaya produksi yang lebih rendah.
3. Triethylene glycol (TEG) lebih mudah diregenerasi untuk
kemurnian yang tinggi.
4. Triethylene glycol (TEG) tidak terlalu kental diatas
suhu 70oF.
 Proses Gas Dehydration Dengan Glycol
Diagram alir sederhana mengenai dehidrasi gas menggunakan
glycol dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Nurisman,
2011).

WATER OUT
DRY GAS TO SALES

AIR COOLED FINS

STRIPPING
COLUMN
LEAN GLYCOL
IN

ABSORBER
(CONTACTOR)
REBOILER
INLET
SEPARATOR
RICH GLYCOL
OUT

GLYCOL
PUMP

ACCUMULATOR

Gambar 5. Diagram ALir Sederhana Proses Gas


Dehidration Menggunakan Glycol
Seperti yang terlihat pada gambar di atas wet gas
mengalir masuk dan menuju ke atas kolom absorber atau
kontaktor dimana gas berkontakan dengan glycol untuk
dikeringkan. Gas yang telah kering diteruskan ke jalur gas
kering untuk digunakan pada proses selanjutnya (Nurisman,
2011).
Lean glycol masuk melalui bagian atas kontaktor dimana
ia akan mengalir ke bawah dari satu tray ke tray yang
lainnya dan kemudian menyerap air dari gas alam yang naik
keatas. Lalu rich glycol meninggalkan kolom absorber dan
mengalir ke surge tank dimana akan terjadi pemanasan awal
dengan lean glycol yang panas. Setelah terjadi pertukaran
antara glycol, rich glycol masuk ke kolom stripping dan
mengalir ke bawah menuju reboiler. Steam yang dibuat di
reboiler akan melepaskan air dari cairan glycol dan naik
keatas. Kemudian uap air akan lepas dai natural gas dan
dibuang keluar dari bagian atas stripper (Nurisman, 2011).
Glycol panas yang telah direkomendasi mengalir keluar
dari reboiler menuju surge tank dimana ia akan mendinginkan
dan saling bertukar panas dengan rich glycol. Kemudian, lean
glycol dipompakan kembali menuju bagian atas kolom absorber
(Nurisman, 2011).
 Peralatan Gas Dehydration Menggunakan Glycol
Peralatan utama yang digunakan dalam proses gas
dehydration menggunakan glycol adalah kolom absorber,
reboiler, filter, glycol pump, heat exchanger, surge tank, dan
stripping column (Nurisman, 2011).
1. Kolom Absorber
Kolom absorber ini berfungsi sebagai tempat dimana
terjadinya proses absorpsi atau pengeringan gas dari uap air
yang terkandung didalamnya. Di dalam kolom absorber ini
terjadi kontak antara glycol dan wet gas dimana glycol
masuk kedalam kolom absorber melalui bagian atas kolom
sedangkan wet gas masuk dari bagian bawah kolom (Nurisman,
2011).
Pada bagian dalam kolom absorber gas mengalir ke atas
dan kontak dengan glycol. Pada saat terjadinya kontak antara
glycol dan gas digunakan buble cap atau valve tray sebagai
tempat proses absorbs (Nurisman, 2011).
2. Reboiler
Reboiler berfungsi untuk memanaskan air agar terlepas
dari glycol sehingga glycol dapat digunakan kembali pada
proses absorbs (Nurisman, 2011).
3. Filter
Kandungan padatan di dalam glycol harus dijaga dibawah
0.01 % untuk mencegah terjadinya sumbatan pada heat
exchanger, fire tubes, pompa, tray pada kolom absorber dan
peralatan instrument lain. Untuk mencegahnya maka
digunakanlah saringan atau filter sehingga proses dehidrasi
dapat tetap berjalan dengan baik. Filter ini diletakan
setelah kolom absorber untuk menyaring glycol yang keluar
dari kolom absorber (Nurisman, 2011).
4. Glycol Pump
Pompa glycol berfungsi untuk mentranfers glycol masuk
kedalam kolom absorber. Jenis pompa yang digunakan adalah
pompa reciprocating (Nurisman, 2011).
5. Heat Exchanger
Heat Exchanger berfungsi untuk menghemat penggunaan
energy pada proses dehidrasi. Glycol yang keluar dari kolom
absorber akan dipanaskan terlebih dahulu dengan glycol panas
yang keluar dari bagian rekonsentrasi sebelum masuk ke boiler
sedangkan glycol panas tersbut akan didinginkan oleh glycol
yang keluar dari kolom absorber sebelum masuk ke kolom
absorber (Nurisman, 2011).
Dengan demikian, energi yang dibutuhkan untuk memanaskan
glycol pada saat proses rekonsentrasi atau regenerasi tidak
terlalu besar dan dapat menghemat biaya operasi (Nurisman,
2011).
6. Surge Tank
Surge tank berfungsi untuk menampung TEG yang keluar
dari kolom absorber, dan harus terisi setengah penuh selama
operasi normal (Nurisman, 2011).
7. Stripping Column
Stripping kolom ini berfungsi untuk meregenerasi atau
merekonsentrasi glycol. Glycol yang keluar dari kolom
absorber akan masuk ke dalam stripping kolom untuk
dipisahkan kandungan air yang terdapat didalam glycol dengan
adanya panas dari reboiler. Lalu glycol mengalir ke bawah
menuju reboiler untuk dipanaskan lagi hingga glycol menjadi
murni kembali (Nurisman, 2011).
b.) Gas Dehydration dengan Pengering Padat
Ada beberapa pengering padat yang memiliki sifat fisik
untuk menyerap air dari gas alam. Sistem dehidrasi umumnya
terdiri dari dua atau lebih menara dan peralatan regenerasi
terkait (Gambar 6). Satu menara berada di aliran menyerap air
dari gas sementara menara lainnya dibuat ulang dan
didinginkan. Gas panas digunakan untuk menghilangkan air yang
terserap dari pengering, setelah itu menara didinginkan
dengan aliran gas yang tidak dipanaskan. Secara umum,
penggunaan pengering padat sebagai pengganti cairan dikaitkan
dengan persyaratan titik embun air yang sangat rendah,
diaplikasikasikan pada kandungan gas H2S yang tinggi,
persyaratan kontrol simultan hidrokarbon dan titik embun air.
Pada suhu kriogenik atau sangat rendah biasanya lebih disukai
penggunaan pengering padat daripada inhibitor untuk
menghindari pembentukan hidrat dan/atau formasi es (Ebrahiem
et al., 2018).
Gambar 6. Skema Aliran Dasar untuk Pengering Padat

c.) Dehydrasi Gas Alam Menggunakan Gel Silica


Desain dan analisis unit dehidrasi menggunakan silika
gel dalam sebuah unit dehidrasi dua menara untuk mengeringkan
satu juta meter kubik standar gas alam per hari serta
pengaruh dari berbagai parameter operasional terhadap desain
unit telah dipelajari. Perhitungan dilakukan untuk desain
pengering menggunakan desikan padat silika gel sebagai salah
satu desikan padat yang paling serbaguna untuk dehidrasi gas
alam (Ge et al., 2019).
d.) Membrane Dehydration
Pemisahan membran digunakan untuk campuran azeotropik
atau yang mendekati titik didih ketika proses konvensional,
seperti distilasi, adsorpsi, atau absorpsi. Pemisahan dengan
membran membutuhkan konsumsi energi yang tinggi atau
konfigurasi yang kompleks. Namun, untuk menghindari hal
tersebut maka digunakanlah penggabungan metode pemisahan
membran dengan proses pemisahan konvensional. Pada pemisahan
dengan membran ada dua metode yang biasanya dipertimbangkan,
yaitu pervaporasi dan perembesan uap. Perbedaan antara proses
pemisahan pervaporasi (PV) dan perembesan uap (VP) bergantung
pada kondisi umpan, cairan untuk PV dan uap untuk VP. Sisi
aliran umpan berada pada tekanan tinggi, sedangkan sisi
lainnya pada tekanan rendah, menghasilkan uap bertekanan
rendah. Uap yang dihasilkan disebut permeate, sedangkan
aliran yang tertinggal di feed side disebut retentate.
Meskipun fenomena transpor massa melalui membran tidak
sepenuhnya diketahui, model difusi larutan sering digunakan,
karena telah terbukti memberikan hasil yang baik untuk
perilaku sistem pemisahan membrane (Conde-Mejía & Jiménez-Gutiérrez,
2020) .
DAFTAR PUSTAKA

Conde-Mejía, C., & Jiménez-Gutiérrez, A. (2020). Analysis of ethanol dehydration using


membrane separation processes. Open Life Sciences, 15(1), 122–132.
https://doi.org/10.1515/biol-2020-0013
Ebrahiem, E. E., Ashour, I. A., Nassar, M. M., & Aziz, A. (2018). A Comparison of Natural Gas
Dehydration Methods. In Minia Journal of Engineering & Technology (MJET) (Vol. 37,
Issue 2).
Fatimura, M., Fitriyanti, R., Masriatini, R., Universitas, D., & Palembang, P. (2018).
PENANGANAN GAS ASAM ( SOUR GAS ) YANG TERKANDUNG DALAM GAS
ALAM MENJADI SWEETENING GAS. In Muhrinsyah Fatimura (Vol. 3, Issue 2).
Ge, N., Banerjee, R., Muirhead, D., Lee, J., Liu, H., Shrestha, P., Wong, A. K. C., Jankovic, J.,
Tam, M., Susac, D., Stumper, J., & Bazylak, A. (2019). Membrane dehydration with
increasing current density at high inlet gas relative humidity in polymer electrolyte membrane
fuel cells. Journal of Power Sources, 422, 163–174.
https://doi.org/10.1016/j.jpowsour.2019.03.001
’Nurisman, “Enggal.” (2011). Studi Perhitungan Laju Alir Triethylene Glycol (TEG) yang
Dibutuhkan Dalam Proses Dehidrasi Gas Bumi. Jurnal Teknik Patra Akademika, 3, 1–92.
Wandira Bande, A., & Bakri, H. (2016). ANALISIS PENANGANAN KONSENTRASI
HIDROGEN SULFIDA DALAM MINYAK BUMI LAPANGAN TIAKA KABUPATEN
MOROWALI UTARA PROVINSI SULAWESI TENGAH. In Jurnal Geomine (Vol. 4, Issue
2). Agustus.
Yang, J. H. (2021). Hydrogen sulfide removal technology: A focused review on adsorption and
catalytic oxidation. In Korean Journal of Chemical Engineering (Vol. 38, Issue 4, pp. 674–
691). Springer. https://doi.org/10.1007/s11814-021-0755-y
 

Anda mungkin juga menyukai