Anda di halaman 1dari 7

Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

7.2.5 Pengenalan Proses Pengolahan Bahan Berbahaya Dan Beracun


7.2.5.1 Umum
Pada bagian ini dibahas cara pengolahan bahan-bahan yang berbahaya dan beracun
yang mungkin terdapat dalam air limbah. Zat-zat berbahaya tersebut harus diubah
menjadi senyawa yang tidak berbahaya atau dihilangkan atau diperkecil hingga
mencapai baku mutu yang ditetapkan.

7.2.5.2 Phenol (C6H5OH)


Phenol banyak dijumpai dalam air limbah industri batubara, perminyakan, petrokimia,
dan tekstil. Phenol senyawa yang cukup beracun bagi mahluk hidup. Pengolahan phenol
dilakukan dengan beberapa metode yaitu ekstraksi, oksidasi, adsorpsi, dan peruraian
biologi lumpur aktif. Metode ekstraksi menggunakan solvent organik seperti benzen,
toluent, buthylacetate, isopropylether dapat dilakukan untuk air limbah dengan
kandungan phenol tinggi. Metode ekstraksi yang sering digunakan adalah Phenosolvan
Process, yaitu ekstraksi dengan solvent isopropylether. Setelah phenol diekstrak oleh
solvent, kemudian phenol yang terkandung dalam solvent dipisahkan dengan distilasi,
yaitu pemisahan dengan cara penguapan berdasarkan perbedaan titik didihnya.

Oksidasi phenol menggunakan ozon, kaporit dan sodium hipoklorit banyak dilakukan.
Metode adsorpsi phenol dilakukan dengan melewatkan air limbah mengandung phenol
konsentrasi rendah ke dalam kolom yang berisi karbon aktif. Lumpur aktif hanya dapat
mengolah air limbah dengan konsentrasi phenol rendah, karena phenol bersifat toxic
(racun) bagi mikroorganisme pengurai. Penguraian phenol dalam lumpur aktif
dilakukan bersama-sama dengan penguraian bahan organik lainnya. Dengan metode ini
konsentrasi phenol yang bisa diolah yang pernah dilaporkan adalah maksimum 80 mg/l.

7.2.5.3 Cadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Seng (Zn)

Metode pengolahan cadmium, timbal dan seng adalah presipitasi, berdasarkan nilai
kelarutan zat pada pH tertentu. Zat diendapkan dalam bentuk senyawa hidroksidanya.
Pembentukan senyawa hidroksida dilakukan dengan menambahkan caustic soda atau
kapur. Dengan demikian proses tersebut berjalan pada pH basa. Sebagian besar logam
berat dapat diolah dengan cara ini. Kelarutan cadmium disajikan dalam tabel 7.19.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


167
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Tabel 7.19. Kelarutan Cadmium pada berbagai pH.

pH larutan Konsentrasi Cd2+ (mg/L)


9 44
10 0.44
10.3 0.11
10.5 0.044

Pada pH 9 kelarutan cadmium 44 mg/L. Semakin naik pHnya nilainya semakin turun
dan pada pH 10.5 mempunyai nilai minimal yaitu 0,044 mg/L. Begitupun untuk
parameter Pb, Zn, Ni, Cu, Cr3+, dan Fe bisa dilakukan dengan presipitasi. Nilai pH pada
kelarutan minimal untuk tiap-tiap unsur tidak sama. Nilai minimal untuk Pb adalah 9.5.
Namun jika dalam larutan terdapat banyak senyawa, nilai pH ditentukan oleh nilai pH
efek presipitasi bersama, dimana nilainya dapat diketahui dengan percobaan.

Reaksi presipitasi cadmium dan timbal, sebagai berikut:

CdCl2 + Ca(OH)2  Cd(OH)2 + CaCl2


PbCl2 + Ca(OH)2  Pb(OH)2 + CaCl2

Untuk presipitasi Pb harus dilakukan lebih berhati-hati karena pada keadaan alkali
berlebih dapat membentuk senyawa komplek hidroksida yang sulit untuk dipisahkan.
Proses pengolahan Cd bisa dengan metode lain yaitu; substitusi, pengendapan dengan
senyawa sulfur, metode Ferrite dan penukar ion (ion exchange).
Metode substitusi diterapkan jika pengolahan secara hidroksida sulit dilakukan. Jika
larutan mengandung asam organik dan EDTA (Ethylen Diamin Tetra Acetic Acid),
akan membentuk senyawa komplek dengan ion Cd dan Pb yang sulit dipisahkan dengan
cara hidroksida, sehingga harus disubstitusi dengan ion logam lain. Misal ditambahkan
ferri chlorida dan kapur untuk pengolahan garam Cd.

XCd + FeCl3  XFe + CdCl2


XFe + CdCl2 + Ca(OH)2  XCa + Fe(OH)3 + Cd(OH)2

Cara lain pengolahan Cd adalah dengan penambahan senyawa sulfur kuning, metode
ferrite dan pertukaran ion (ion exchange). Dengan penambahan sulfur kuning ke dalam
larutan yang mengandung Cd2+, misalnya ditambahkan natrium sulfida (Na2S), akan
menghasilkan endapan CdS. Jika cara ini dipilih harus hati-hati karena jika jumlah ion
S2-nya berlebih akan terbentuk dispersi dan terlarut kembali.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


168
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Ion Cd2+ dan Pb2+ dapat dihilangkan menggunakan resin penukar ion. Jika air limbah
terdapat berbagai macam logam berat dan yang akan dihilangkan ion-ion tertentu saja
maka digunakan resin chelate. Ion tersebut akan diambil dengan ikatan chelate.

7.2.5.4 Chromium (VI)


Proses pengolahan chrome meliputi senyawa chrome bervalensi 6+ dan senyawa
chrome bervalensi 3+. Chrome bervalensi 3+ bisa langsung diolah dengan cara
presipitasi pada kondisi basa. Tidak seperti logam berat lainnya, dimana pada kondisi
basa dapat berubah menjadi endapan senyawa hidroksida, chrome valensi 6+ harus
direduksi terlebih dahulu menjadi chrome valensi 3+. Hal ini dikarenakan chrome (VI)
pada kondisi basa terjadi reaksi kesetimbangan senyawa dichromat dan chromat :

Cr2O72- + 2OH- 2CrO42- + H2O


Oranye kuning

Pada kondisi asam reaksi akan bergerak ke kiri menjadi dichromat, sedangkan pada
kondisi basa kesetimbangan akan bergerak ke kanan.
Reduksi chrome 6+ menjadi 3+ dilakukan dalam suasana asam. Air limbah
dikondisikan pada pH 2,0 sampai 2,5 dengan asam sulfat atau asam chlorida. Kemudian
direduksi dengan sodium metabisulfit (NaHSO 3), gas SO2, Na2S, H2S, garam ferro atau
bahan pereduksi lainnya. Reaksi reduksi-oksidasi (redox) berlangsung cepat dan
ditandai perubahan warna dari warna oranye/kuning menjadi hijau kebiruan. Perubahan
warna ini menandakan telah terjadi perubahan ke senyawa chrom 3+. Selanjutnya
presipitasi dengan menambahkan NaOH atau kapur hidroksida pada pH 8,5 sampai 9,0.
Pada kondisi ini akan terbentuk chrom 3+ hidroksida sesuai dengan reaksi berikut:

Cr6+ + Fe2+  Cr3+ + Fe3+ (proses reduksi)


Cr3+ + 3OH-  Cr(OH)3 (proses presipitasi)

Pengolahan chrom 6+ bisa dengan cara elektrolisis. Metode ini lebih cocok untuk air
limbah konsentrasi tinggi (penyamakan kulit), sesuai dengan reaksi berikut ini:

Cr2O72- + 14H+ + 6e  2Cr3+ + 7H2O.

Metode lainn adalah penukar ion (ion exchange) meski jarang dilakukan.Untuk air
limbah organik asam chromat digunakan resin penukar anion basa kuat.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


169
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

7.2.5.5 Air Raksa (Mercury)

Proses pengolahan air raksa yang terikat dalam senyawa inorganik dan organik bisa
dilakukan dengan cara pengendapan sebagai senyawa sulfida. Namun untuk air raksa
yang terikat dalam senyawa organik, harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu, yaitu
dengan penambahan asam klorida (HCl) agar terbentuk senyawa klorida. Reaksi
pengendapan senyawa anorganik Hg sebagai berikut:

Hg2+ + S2-  HgS


(anorganik)

Penambahan S2- diusahakan tidak berlebih karena endapan yang terbentuk akan larut
kembali dan terbentuk ion kompleks tio HgS2-. Jika ini terjadi, kelebihan S2- diikat oleh
garam besi atau seng (Zn).
Metode lain yaitu adsorpsi resin chelate khusus untuk air raksa kadar rendah yaitu di
bawah 1 mg/L dan akan dihasilkan larutan dengan kandungan air raksa kurang dari
0,0005 mg/L. Dengan metode ini harus dilakukan pretreatment terlebih dahulu yaitu
pertama dengan penghilangan zat-zat tersuspensi dengan sand filter dan karbon aktif.
Kemudian pH diatur 2 - 6 dengan menambahkan asam klorida maksimal 5 mg/l hingga
terbentuk koloid. Proses selanjutnya adalah adsorbsi di kolom resin chelate.

7.2.5.6 Sianida (CN)

Proses pengolahan air limbah mengandung cianida (CN), dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara, yaitu metode Berlin Blue, oksidasi dengan menggunakan sodium
hipoklorit pada suasana basa, dengan proses biologi, dan metode ozon.
(1) Metode Berlin Blue.
Air limbah ditambahkan garam besi (II) atau besi (III) yang menghasilkan senyawa
kompleks sukar larut berwarna biru melalui reaksi:

3[Fe(CN)6]4- + 4Fe3+  Fe4[Fe(CN)6]3 biru muda


Ion ferosianida senyawa kompleks ferifero

2[Fe(CN)6]3- + 3Fe2+  Fe3[Fe(CN)6]2 biru tua


Ion ferisianida senyawa kompleks ferifero

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


170
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Penambahan besi klorida harus mencukupi karena jika kurang akan terbentuk senyawa
lain yang mudah larut. Kelebihan metode ini adalah bisa mengolah air limbah cianida
yang mengandung logam besi, nikel, cobalt, dll. Kekurangan metode ini adalah
senyawa sianida tidak terurai menjadi komponen sederhana dan stabil tetapi berubah
menjadi bentuk lain yaitu endapan atau lumpur.

(2) Metode Oksidasi Hipoklorit.


Metode ini menguraikan senyawa sianida menjadi gas N2 yang tidak berbahaya. Proses
terjadi pada suasana basa dan berjalan dalam 2 tahapan.
Tahap 1:
NaCN + NaOCl  NaCNO + NaCl

Nilai pH diatur 10.5 dan proses dapat berjalan sempurna sekitar 5 -10 menit.

Tahap 2:

2NaCNO + 3NaOCl + H2O  N2 + 3 NaCl + 2NaHCO3

pH berlangsung 7 - 8 dan lama waktu reaksi sekitar 30 menit.

Kelebihan sistem ini adalah sianida diuraikan menjadi gas N2 yang tidak berbahaya.
Metode ini tidak dapat dipakai jika dalam air limbah mengandung logam besi, nikel,
cobalt emas dan perak, karena NaOCl akan bereaksi dulu dengan logam tersebut.

(3) Metode Oksidasi dengan Ozon.


Oksidasi dengan ozon menguraikan sianida menjadi gas N2 dan karbonat. Proses
berlangsung cepat dengan penambahan katalis ion tembaga dan ion mangan. Proses
berjalan baik pada pH 11 -12. Metode ini diterapkan untuk air limbah yang
mengandung kompleks nikel, namun jika terdapat kompleks besi, emas dan perak sulit
untuk dilakukan.

(4) Metode Biologi.


Peruraian sianida (CN) dapat berlangsung bersama-sama dengan bahan organik oleh
mikroorganisme di dalam proses lumpur aktif. Yang perlu diperhatikan adalah karena
sianida juga merupakan zat toxic bagi mikroorganisme sehingga kadar sianida yang
aman untuk bisa diolah adalah sekitar 20 - 50 ppm. Kondisi inipun dapat dilakukan
terhadap mikroorganisme yang terbiasa dengan adanya sianida. Jika lebih dari 50 mg/l
Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)
171
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

mikroorganisme akan mati.

7.2.5.7 Phosphor Organik

Phosphor organik biasanya terdapat dalam air limbah pestisida baik di pertanian
maupun di industri pertisida, termasuk diantaranya dari jenis parathion. Secara umum,
phosphor organik memiliki sifat sukar larut. Dalam suasana basa bersifat tidak stabil
dan mudah terdekomposisi. Sifat inilah yang dimanfaatkan dalam proses
pengolahannya.
Metode lain yang sering dilakukan adalah dengan metode lumpur aktif yaitu dengan
menambahkan batubara sehingga terjadi proses hidrolisa. Proses lain adalah koagulasi
dengan menambahkan koagulan dan flokulan. Setelah terbentuk endapan, lumpur
dipisahkan dan supernatannya dialikan ke saringan pasir.

7.2.5.8 Polybiphenyl Chlorida (PCB).

PCB banyak digunakan di industri yang memproduksi dan menggunakan kertas


thermal, media pemanas, oil isolator industri daur ulang kertas thermal bekas dan lain-
lain. Metode pengolahan adalah kertas-kertas thermal yang mengandung PCB dilakukan
dengan pembakaran pada suhu 1200 sampai 1500 oC. Jika konsentrasi PCB dalam air
limbah berkonsentrasi rendah dilakukan dengan metode koagulasi biasa dengan
koagulan berbasis alum. Untuk air limbah yang mengandung PCB dengan bilangan klor
tingkat 2 dapat diproses dengan metode lumpur aktif.

7.2.5.9 Flour

Flour alam biasanya dalam bentuk senyawa batuan silika (CaF), batu kristal es
(Na3AlF6) dan bentuk lainnya. Bila bereaksi dengan air, dapat membentuk hidrogen
florida (HF), oksigen dan ozon. HF merupakan cairan mudah terbakar dan sering
digunakan di industri pembuatan senyawa flour organik dan anorganik.
Proses pengolahan air limbah yang mengandung flour, dilakukan dengan mereaksikan
dengan senyawa yang mengandung kalsium sehingga terbentuk CaF 2. Untuk
mendapatkan hasil yang baik pH diatur antara 6 - 8, karena pada pH ini kelarutan CaF 2
paling minimal. Metode lain dengan adsorpsi flourin secara selektif. Adsorber ini dapat
diregenerasi menggunakan caustic soda.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


172
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

7.2.5.10 Detergen
Air limbah buangan domestik dan hampir semua industri mempunyai komponen
detergen. Hal ini dikarenakan sebagai bahan pencuci (pelarut) seperti minyak, lemak
dan kotoran lainnya. Detergen sintetis ada 2 jenis, yaitu yang bersifat biodegradable
(bisa diuraikan oleh mikroorganisme) dan yang nonbiodegradable (sulit untuk
didegradasi). Deterjen biodegradable dapat diolah dengan proses biologi baik aerobik
maupun anaerobik. Detergen nonbiodegradable harus dilakukan pengolahan
pendahuluan, seperti koagulasi dengan koagulan berbasis besi atau aluminium. Hal ini
disebabkan detergent tidak berdiri sendiri melainkan saling mengikat dengan kotoran
minyak dan lemak. Dalam kasus ini minyak dan lemak dapat dipisahkan. Proses
berikutnya adalah dengan oksidasi dengan menggunakan ozon. Tidak semua komponen
detergen dapat diubah menjadi CO2 dan H2O, tetapi sebagian berubah menjadi
senyawa organik yang lebih sederhana yang lebih mudah diuraikan dengan proses
biologi lumpur aktif.
Pemilihan jenis deterjen merupakan hal yang sangat direkomentasikan. Sebaiknya
deterjen yang digunakan adalah yang bersifat biodegradable, memiliki rantai lurus
(LAS), dan tidak mengandung belerang.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


173

Anda mungkin juga menyukai