Anda di halaman 1dari 16

Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

7.2.4 Pengolahan Lanjutan

7.2.4.1 Umum

Pengolahan lanjutan diterapkan jika dalam pengolahan sebelumnya belum


menghasilkan kualitas air olahan yang memenuhi baku mutu. Berbagai macam
pengolahan lanjut diantaranya: adsorbsi karbon aktif, denitrifikasi dan dephorphorisasi,
pertukaran ion, ultra filtrasi, reverse osmosis.

7.2.4.2 Adsorpsi Karbon Aktif


Adsorbsi karbon aktif sering diterapkan untuk pengolahan air bersih. Namun juga
digunakan dalam proses pengolahan air limbah. Sebagai adsorber, pada suatu saat sifat
adsorbernya tidak mempunyai efek lagi, karena pori-pori sebagai adsorber telah jenuh
dengan bahan yang diserap, sehingga perlu penggantian media karbon aktif. Carbon
aktif diregenerasi menjadi bersih kembali dengan menghilangkan bahan yang terserap.

(1) Sifat Karbon Aktif.


Bahan karbon aktif berasal dari batok kelapa (coconut shell) atau batu bara
muda (bituminous coal). Komposisi karbon aktif adalah; karbon 85 – 95 %,
oksigen 3 – 11 %, hydrogen 0,6 – 7,8 %, nitrogen 0,3 – 0,5 %, Phosphat 1 – 3
%, Sulphur 0 – 2 %, besi 0 – 1 %, CaO 0 – 1 % , tembaga 0 – 2 %, sodium 0 – 3
%, Chloride 0 – 0.5 %, dan sebagainya.

Karbon aktif terdiri dari 2 jenis yaitu bubuk (powder) dan granular. Ukuran
bubuk di bawah 200 mesh dan granular 3,5 - 30 mesh. Bentuk karbon aktif lain
adalah bentuk silindris ukuran 2 – 4 mm.

Carbon aktif dengan ukuran diameter pori-pori 0 – 100 nm disebut mikro pores,
sedangkan antara 100 – 10.000 disebut makro pores. Luas permukaan pori-pori
sebesar 600 - 1.800 m2/g. Luas permukaan yang besar memungkinkan dapat
bersifat sebagai adsorbent/penyerap. 
Nilai iodine number (IN) adalah bilangan oksidasi yang menyatakan tingkat
kinerja karbon aktif. Nilai IN karbon aktif berkisar 400 - 1200. Nilai 400
mempunyai kinerja rendah sedangkan nilai IN 1200 mempunyai kinerja baik
sekali. Nilai iodine number yang sama untuk bahan yang berbeda akan
memberikan kinerja yang berbeda. Nilai IN bahan batubara jauh lebih baik.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


151
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

(2) Cara Kerja Penyerapan Karbon Aktif (Liquid Phase Adsorption)


Pertama-tama terjadi kontak antara cairan dan karbon aktif. Kontak pertama
hanya terjadi di permukaan. Tahap ke dua cairan disebarkan ke permukaan di
bagian pori-pori dengan cara adsorpsi yang disebut dengan intra granular
diffusion. Hubungan antara jumlah terserap dan konsentrasi larutan seringkali
digambarkan dengan persamaan adsoption isotherm Freundlich, yaitu
X = kCn

Dimana : X = jumlah kotoran yang diadsorpsi per berat karbon aktif.


C = konsentrasi larutan.
K, n = konstanta yang nilainya ditentukan oleh adsorben
(bahan yang diserap).

(3) Metode Pengolahan


(a) Metode Fixed Bed (Unggun Tetap)
Metode unggun tetap biasa digunakan di air limbah. Peralatan yang
diperlukan adalah tanki tempat media karbon aktif. Air limbah dialirkan
dari atas tangki secara merata. Selama perjalanan, karbon aktif akan
menyerap (adsorption) material yang ada di air limbah.

Air Masuk

Distributor

Filter
Proces
s
Carbon Active

Air Keluar

Gambar 7.38 Karbon Aktif Unggun Tetap

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


152
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

(b) Metode Lapisan Yang Bergerak (mobillayer bed type).


Peralatan yang dipakai adalah tanki tempat media carbon aktif.
Pemasukan cairan melalui bawah tanki, sehingga akan terjadi olakan dan
karbon aktif akan bergerak. Penggantian karbon aktif yang telah jenuh
dilakukan setiap hari dengan membuang dan menambahkan sebesar
sekitar 5 % perhari melalui bagian bawah.

(c) Fluidize Bed.


Pada proses ini cairan dimasukan secara upflow (aliran ke atas).
Penggunaan karbon aktif bisa lebih kecil sehingga biaya awal lebih
rendah. Permasalahan penyumbatan bisa dihindari karena karbon aktif
dapat melayang secara bebas.

(4) Regenerasi Karbon Aktif


Karbon aktif dapat diregenerasi dengan berbagai cara sehingga dapat dipakai
ulang. Disamping itu harga karbon aktif relatif mahal sehingga dalam
penggunaan skala besar cukup membantu dalam merunkan biaya.

(1) Pemanasan Type Kering


Regenerasi dengan pemanasan suhu 700 - 1000 oC di multi stages rotary
kiln. Pemanasan akan menguapkan bahan teradsorb.
(2) Pembakaran Type Basah
Pemanasan pada suhu 200 oC atau lebih dan tekanan tinggi. Dengan cara
seperti ini bahan teradsorb akan terdekomposisi dan menguap.
(3) Regenerasi Secara Kimia
Regenerasi memakai bahan kimia yang berfungsi melarutkan kotoran yang
melekat di pori-pori karbon aktif.
(4) Regenerasi Dengan Mikroorganisme
Regenerasi dengan mikroorganisme dilakukan terhadap karbon aktif jenuh
dengan kotoran organik biodegradable. Cara ini biasanya dipakai dalam
sistem PACT (Powder Active Carbon Treatment).

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


153
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

7.2.4.3 Pertukaran ion (Ion Exchange)

Penurunan polutan berupa ion garam anorganik dan logam dilakukan dalam proses
pertukaran ion untuk menarik ion tersebut oleh suatu media yang mempunyai
kemampuan menarik ion. Penukar ion bisa berasal dari zeolit tapi yang banyak
diaplikasikan adalah resin organik.

Regenerasi resin jenuh dilakukan dengan cara mengalirkan asam kuat atau basa kuat
agar dapat bertukar dengan ion limbah yang menempel resin, sehingga resin kembali
seperti semula. Kelemahan sistem ini adalah dibutuhkan bahan kimia untuk regenerasi
dan sisa air regenerasi harus diolah lebih lanjut.
(1) Resin Pertukaran Ion (Ion Exchange Resin)
Resin terdiri dari dua jenis, yaitu resin penukar kation (cationic exchanger resin)
dan resin penukar anion (anionic exchanger resin).
1. Reaksi Resin Pertukaran Ion
Pertukaran ion baik yang bersifat asam maupun basa dapat terjadi dengan
mudah. Reaksinya sebagai berikut:

R - S03H + NaCI  R - S03Na + HCI


R - N(CH3) OH + HCI  R - N (CH3) CI + H2O

dimana R adalah bahan utama resin.

Setelah pertukaran ion terjadi, resin diregenerasi dengan menambahkan asam


kuat atau basa kuat konsentrasi tinggi. Regenerasi dilakukan jika resin telah
hampir jenuh, sehingga relatif tidak bisa difungsikan.

2. Kapasitas Pertukaran Ion (Ion Exchange Capacity)


Kapasitas pertukaran ion merupakan kemampuan resin mempertukarkan ion
yang biasanya dinyatakan dalam kapasitas pertukaran per-unit volume resin
basah dengan satuan equivalent/L-resin (eq/L - R), kilo equivalent/m3 resin atau
kg CaCO/m3-R.

Dalam prakteknya, volume resin yang digunakan lebih besar dari desain,
biasanya kapasitas terpasang diasumsikan akan mampu untuk 50 % sampai 80
%nya. Nilai ini sesuai dengan breakthrough point dan breakthrough capacity
yang dipergunakan dalam perencanaan.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


154
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

3. Contoh Penghilangan Ion


Teknologi pertukaran ion dapat dilakukan untuk menghilangkan bahan beracun
seperti cadmium, sianida, chromium hexavalent, dan seng.

(2) Resin Chelating


Resin chelating adalah suatu adsorpsi yang bereaksi dengan ion tertentu (biasanya
dari ion logam). Ion yang teradsorsi akan membentuk chelate yang kemudian
dikumpulkan dan dibuang. Resin ini mempunyai daya seleksi (selectivity) unsur
tertentu lebih besar dari penukar ion biasa dan digunakan dalam pengolahan air
limbah untuk mengikat logam tertentu secara selektif/spesifik, seperti ion mercury.
Bahan dasar resin chelating adalah styrene-divynilbenzen copolymer
dikombinasikan dengan, misalnya, group iminodiacetate sebagai gugus fungsional.

(3) Bahan Penukar Ion Anorganik


Bahan penukar ion anorganik yang dapat dipakai adalah zeolite, lumpur asam (acid
cley), kulit kerang (oyster shell) dan sebagainya. Dari berbagai jenis tersebut, bahan
zeolite yang sering dipergunakan. Zeolite adalah bahan batuan alami atau bisa juga
secara sintesis, yang merupakan silikat dari besi, aluminium, potasium dan dapat
melakukan pertukaran ion seperti ditunjukkan oleh persamaan berikut:
Z - Na2 + Ca (HCO)2  Z – Ca + 2 Na HCO3
Z - Na2 + MgSO4  Z – Mg + Na S04
dimana Z mewakili materi induk zeolite
Di dalam pengolahan amonia dengan curinoputiolite yaitu sejenis zeolite, mampu
menangani lebih dari 99% NH3 - N dengan konsentrasi 10 sampai 19 mg/L.

7.2.4.4 Teknologi Membran

(1) Prinsip Dasar


Teknologi membran merupakan proses pemisahan secara fisika atas dasar ukuran
partikel. Berbagai jenis proses membran dikategorikan berdasarkan driving force, jenis
dan konfigurasi membran dan kemampuan penyisihannya. Proses membran digunakan
dalam sistem pengolahan air minum dan air buangan seperti dalam proses desalinasi,
pelunakan, penyisihan bahan organik, penyisihan warna, dan partikel. Proses membran

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


155
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

telah ada sejak 25 tahun yang lalu dan saat ini proses tersebut telah mengalami
perkembangan yang pesat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan teknologi membrane adalah:
 Tekanan
 Daya listrik
 Suhu
 Gradien konsentrasi
 Kombinasi lebih dari satu driving force

Proses membran menggunakan tekanan dan tenaga listrik telah umum digunakan untuk
proses pengolahan air minum dan buangan. Proses membran yang paling umum adalah
proses yang dijalankan dengan tekanan, dimana tekanan di dalam dan di luar membrane
berbeda.

Berdasarkan ukuran pori membrane, membran dapat dibagi menjadi empat tipe:
1. Reverse osmosis (RO)
2. Nanofiltration (NF)
3. Ultrafiltration (UF)
4. Microfiltration (MF)
Reverse osmosis merupakan proses filtrasi paling baik yang dapat menyisihkan partikel
berukuran 1Ao sampai 10Ao, sedangkan ultrafiltrasi mampu menyisihkan partikel
berukuran 10Ao sampai 1000Ao. Mikrofiltrasi dapat menyisihkan bakteri dan
pseudomonas.

Gambar 7.39 Jenis-jenis Teknologi Membran

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


156
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Air yang akan diolah membran harus dilakukan pengolahan pendahuluan agar tidak
mengganggu kinerja alat dan merusak membran. Tabel 7.16 memperlihatkan materi
yang dapat dipisahkan oleh proses membrane, sedangkan Tabel 7.17. mencantumkan
teknologi pemisahan dengan membran untuk pengolahan air buangan.
.
Tabel 7.16 Ukuran Materi yang Dapat Dipisahkan Membran
Materi yang Dipisahkan Perkiraan Proses
ukuran (nm)
Ion 1-20 Difusi atau reverse
osmosis
Organik terlarut 5-200 Difusi
koloidal 200-10.000 Aliran berpori
Materi koloid & partikulat 75.000 Aliran berpori

Tabel 7.17 Teknologi Pemisahan dengan Membran untuk Pengolahan Air Buangan
Parameter MF UF NF RO Penguapan *
Pemisahan TSS Sangat Tidak praktis Tidak praktis Tidak praktis Tidak cocok
baik
Pemisahan zat Tidak Sempurna Sangat baik Sangat baik Baik
organic terlarut cocok
Pemisahan Volatile Tidak Buruk Cukup Cukup-baik Sangat baik
Organic Carbon cocok
(VOC)
Pemisahan zat Tidak Tidak cocok Baik untuk Sangat baik Tidak cocok
anorganik terlarut cocok garam (pemisahan
inorganik 90-99%)
terlarut
Efek tekanan Tidak ada Kecil Signifikan High Tidak ada
osmosis
Batasan konsentrasi total solid total organic sampai sampai Tidak cocok
sampai sampai 50% dengan 15% dengan 15%
5%
Kualitas Permeate Sangat Sangat baik Baik Sangat baik Sangat baik
baik
Tekanan Kerja 1-3 bars 3-7 bars 5-10 bars 15-70 bars <25% dari
proses
Biaya capital 0.15-1.5 0.15-1.85 0.15-1.5 0.15-1.5 1.85-4.00
($/gallon per hari)
Biaya operasi 0.15-1.10 0.15-0.80 0.20-0.80 0.25-0.80 0.80-1.30
($/1000 liter input)
* sebagai pembanding

(2) Reverse Osmosis (RO)


Prinsip kerja RO merupakan kebalikan dari proses osmosis biasa. Pada proses osmosis
biasa terjadi perpindahan dengan sendirinya dari cairan yang murni atau cairan yang
encer ke cairan yang pekat melalui membrane yang semipermiabel. Perpindahan cairan

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


157
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

murni atau encer ke cairan yang pekat lewat membrane semipermiabel menandakan
adanya perbedaan tekanan osmosis.

Fenomena tersebut membuat para ahli berpifir terbalik, bagaimana memisahkan cairan
murni dari komponen lainnya. Dengan penambahan tekanan di larutan pekat, ternyata
cairan murni dapat melalui membrane semipermiabel yang merupakan kebalikan proses
osmosis. Atas dasar tersebut teknologi ini disebut reverse osmosis (osmosis terbalik).

Sebagaimana Gambar 7.40, pada gambar paling kiri, ke dalam tabung yang dipisahkan
oleh membrane semipermiable ditempatkan air murni di sisi kiri dan cairan garam pekat
(konsentrasi tinggi) disisi lain. Meski ketinggian cairannya sama, air murni akan
mengalir ke cairan yang pekat dengan sendirinya melalui membrane semipermeabel
sampai mencapai titik kesetimbangan (equilibrium). Dengan demikian terjadi beda
ketinggian cairan (gambar tengah). Perbedaan ketinggian ini dinamakan tekanan
osmosis. Apabila dikenakan tekanan pada cairan konsentrat, maka air murni akan
kembali mengalir melalui membrane semipermiable (gambar kanan). Sedangkan bahan
yang membuat konsentrat tidak bisa melalui membrane semipermiable. Dengan
demikian terdapat dua keluaran dari proses reverse osmosis yaitu permeate sebagai
cairan hasil olahan dan konsentrat sebagai reject. Reject bisa sebagai waste tetapi bisa
juga sebagai bahan untuk produk. Kecepatan permeate (permeation flow) adalah sekitar
0,5 sampai 1,0 m3/m2.jam. Reject water yang dihasilkan antara 30 sampai 40 %.

Gambar 7.40 Proses Osmosis dan Reverse Osmosis

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


158
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Kriteria unjuk kerja membran bisa dilihat dari derajat impermeabilitas, yaitu seberapa
baik membran menolak aliran dari larutan pekat, dan dari derajat permeabilitasnya,
yaitu berapa mudahnya material murni melalui aliran menembus membran. Membran
selulosa asetat merupakan bahan membran yang baik dari segi impermeabilitas dan
permeabilitasnya. Bahan membrane lain yaitu etyl-cellulose, polyvinyl alcohol, dan
methyl polymetharcylate.

Gambar 7.41. Prinsip Kerja Filtrasi Membran

Beberapa sistem reverse-osmosis yang sering dipergunakan, yaitu :


1. Tubular, dibuat dari keramik, karbon atau plastik berpori dengan diameter dalam
(inside diameter) bervariasi antara 1/8” (3,2 mm) - 1” (25,4mm).
2. Hollow fiber
3. Spiral wound
4. Plate and frame

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


159
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Gambar 7.42. Berbagai sistem reverse-osmosis.

Gambar 7.43 dan gambar 7.44 memperlihatkan modul tunggal dan modul rangkaian
sistem tubular revesrse osmosis.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


160
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Gambar 7.43 Sistem Tubular Reverse-Osmosis

Gambar 7.44 Rangakaian Modul Reverse-Osmosis

Gambar 7.45 menggambarkan serangkaian pengolahan awal air sebelum melalui proses
reverse-osmosis.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


161
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Gambar 7.45 Pretreatment Sebelum Proses Reverse-Osmosis

Jika membrane kotor karena adanya material-material yang tidak bisa lewat akan
menyebabkan penyumbatan membrane. Oleh karena itu perlu pembersihan
menggunakan larutan pembersih yang khusus (asam). Bahan ini bisa melarutkan
kotoran tetapi tidak merusak membrane. Proses pencucian dilakukan dengan
mensirkulasi larutan pencuci ke membrane selama kurang lebih 45 menit.

(3) Ultrafiltrasi
Cara kerja ultrafiltrasi mirip dengan proses revesrse-osmosis, yaitu pemisahan partikel
berdasarkan ukurannya dengan menggunakan tekanan pada membrane berpori. Ukuran
pori membrane ultrafiltrasi lebih besar yaitu berdiameter 0,1 - 1 µm. Yang membedakan
adalah jenis membrane dan tekanan yang digunakan. Bahan membrane ultrafiltrasi
terbuat dari polyamide, polysulfone, selulosa, keramik, gelas berpori. Kecepatan hasil
permeate (permeation flow) berkisar 1,0 - 10 m3/m2.jam. Pembersihan membrane
dilakukan dengan larutan caustic soda, sodium hypochlorite, atau asam sulfat.
Ultrafiltrasi lebih banyak dipakai karena mudah digunakan sebagai mikrofiltrasi dan
tidak sesensitif reverse-osmosis. Pemanfaataanya mencakup pengolahan air limbah di
industri pulp dan kertas, air limbah domestik, filtrasi MLSS di tangki aerasi.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


162
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Tabel 7.18. Perbandingan Kinerja Ultrafiltrasi dan Reverse-Osmosis


Uraian Ultrafiltrasi Reverse-osmosis
Fraksi berat molekul 1.000 min 500 max
Tekanan osmosis Dapat diabaikan Signifikan
Tekanan operasi 1 sampai 7 kg/cm2 20 sampai 140 kg/cm2
Mekanisme fraksi Filtrasi Diffusi
Material membrane Dapat menggunakan berbagai Mempengaruhi fraksi hasil
jenis secara signifikan
Distribusi pori-pori halus Signifikan/dapat diamati Tidak nampak
Permiation flow rate 1,0 - 10 m3/m2.jam 0,1 – 1,0 m3/m2.jam

7.2.4.5 Denitrifikasi dan Dephosporisasi Secara biologi

(1) Umum
Perairan yang banyak mengandung unsur nitrogen dan phospor ditandai dengan
pertumbuhan ganggang seperti lumut dan eceng gondok. Padahal nitrogen dan
phosphor banyak sekali diproduksi sehari-hari baik terbawa sebagai komponen
limbah domestik maupun limbah industri. Agar ekosistem dapat terjaga dengan
baik maka perlu dilakukan pengolahan terhadap unsur nitrogen dan phosphor.

(2) Proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi Secara Biologi.

a. Proses Nitrifikasi
Proses nitrifikasi dan denitrifikasi tidak dapat dipisahkan dalam siklus nitrogen.
Nitrogen akan dihasilkan secara berlebihan karena dalam air limbah domestik
total nitrogen sekitar 15 – sampai 20 % dari nilai BOD. Belum lagi yang
dihasilkan oleh industri. Nitrogen dalam air limbah bisa dalam bentuk organic
nitrogen atau dalam bentuk ammonia. Oksidasi ammonia menjadi oksida nitrogen
terjadi dalam dua tahap dan dilakukan oleh dua jenis mikroorganisme yaitu
Nitrosomonas dan Nitrobacter sesuai dengan reaksi:

2NH4+ + 3O2  2NO2 - + 2H20 + 4H+ (oleh Nitrosomonas)

2NO2 - + O2  2NO3 - (oleh Nitrobacter)

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


163
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

2NH4+ + 4O2  2NO3 - + 2H2O + 4H+ (Overall)

Dari reaksi diatas dapat dilihat bahwa kebutuhan oksigen 4,6 kali dari ammonia
nitrogen yang dioksidasi. Asam (H+) yang dihasilkan akan menurunkan alkalinitas
sebesar 7,1 mg/L untuk setiap mg/L ammonia nitrogen yang dioksidasi. Jika
kandungan alkalinitas cukup maka pengaruh produksi H + tidak akan menurunkan
pH. Tetapi jika alkalinitas terbatas, maka setiap terjadi nitrifikasi akan
menurunkan pH. Oleh karena itu ke dalam bak aerasi diperlukan penambahan
basa, seperti kapur.

Berbeda dengan bakteri pengurai BOD, bakteri Nitrosomonas dan nitrobacter


bersifat autrotroph, yaitu perkembangbiakan dan pertumbuhannya tidak
diperlukan nutrisi organik tetapi dari sumber senyawa karbon inorganic dan
mendapatkan energi dari hasil oksidasi ammonia dan nitrit. Bila bakteri ini
bersama-sama dengan bakteri non autotrop, maka perkembangbiakannya dapat
terganggu. Dengan demikian untuk meningkatkan proses nitrifikasi diperlukan
penurunan BOD.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecepatan proses nitrifikasi adalah:


 Konsentrasi oksigen (DO)
 Adanya toxic material. Mikroba nitrifier sangat sensitif terhadap zat toxic.
 Nilai pH yang baik adalah 7,2 sampai 8,5. Di luar rentang tersebut
pertumbuhannya melambat.
 Temperatur. Pertumbuhan akan lebih cepat seiring dengan kenaikan
temperatur.

b. Proses Denitrifikasi.
Pada kondisi adanya nitrat tapi oksigen tidak ada disebut kondisi anoxic. Tetapi
jika kondisi nitrat dan oksigen tidak ada maka disebut kondisi anaerobic (septic).
Kondisi anoxic sangat diperlukan untuk proses denitrifikasi. Pada kondisi ini
nitrat merupakan sumber oksigen bagi mikroorganisme pengurai BOD. Respirasi
nitrat disebut proses denitrifikasi karena nitrat pada akhirnya diubah menjadi gas
nitrogen.

5C6H12O6 + 24NO3  30CO2 + 18H2O + 12N2 + 24OH -

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


164
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

Pada reaksi di atas glukosa sebagai sumber organik. Dari reaksi di atas didapat:
 untuk setiap mg NO3-N yang didenitrifikasi setara dengan 2,9 mg oksigen.
 Alkali diproduksi selama proses denitrifikasi yang setara dengan 3,6 mg/L
untuk setiap mg/L NO3-N yang didenitrifikasi.
Bahan organik yang sering dipakai diproses denitrifikasi adalah methanol, asam
asetat atau BOD yang ada dalam air limbah.

Proses pengolahan denitrifikasi biologis memerlukan tanki nitrifikasi, tanki


denitrifikasi dan tanki pengendapan.

Metode aerobic-anoxic merupakan serangkaian proses lumpur aktif, yaitu


dipasang serangkaian unit proses. Unit proses pertama adalah proses Lumpur aktif
biasa yaitu serangkaian bak aerasi dan sedimentasi. Seteleh keluar bak
sedimentasi aliran diolah di bak denitrifikasi. Setelah keluar proses denitrifikasi
dimasukkan ke bak sedimentasi lain. Untuk metode aerobic anoxic lainnya,
setelah proses aerobic langsung diproses denitrifikasi baru kemudian masuk bak
sedimentasi. Pada bak denitrifikasi ditambahkan bahan organik yang mudah diurai
seperti methanol atau asam acetate.

(3) Proses Dephosporisasi Secara Biologi


Beberapa metode penghilangan phosphor (dephosphorisasi) yang sering dipakai
adalah pengendapan kimia (koagulasi), dengan katalis atau dengan cara biologi.

Senyawa phosphor di dalam air sukar larut, sehingga dapat dipisahkan secara
koagulasi dengan menambahkan logam. Garam alkali yang ditambahkan biasanya
calsium chloride, aluminium chloride, besi klorida. Penghilangkan phosphor
dengan cara ini dapat berdiri sendiri atau dapat pula digabungkan dengan proses
Lumpur aktif dengan cara memasukkan koagulan ke dalam bak Lumpur aktif.
Pemisahan dilakukan di bak sedimentasi sebagai endapan dan dikeluarkan
bersama excess sludge. Gambaran reaksi:

3 HPO4 2- + 5 Ca2+ + 4 OH-  Ca5(OH)(PO4)3 + 3 H20

Metode dephosphorisasi katalis merupakan metode deposisi phosphor yang


terdapat di dalam air limbah. Ke dalam tangki reaksi yang di dalamnya sudah

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


165
Bab VII Teknologi Pengolahan Air Limbah

dimasukkan batuan phosphat ditambahkan kalsium klorida sehingga terbentuk


kristal kalsium hidroksi apatite di permukaan batuan phosphat. Pada proses
pengolahan limbah dengan lumpur aktif atau yang lainnya, dephosphorisasi
dilakukan dengan cara menambahkan kapur 50-70 mg /L ke tanki aerasi atau tanki
reaksi dengan pH sekitar 9.

Metode dephosphorisasi secara biologi dilakukan dengan bantuan sel-sel


mikroorganisma. Phosphor diperlukan untuk sintesa sel-sel yang terjadi dalam
keadaan aerob. Pada proses lumpur aktif phosphor dikeluarkan dalam keadaan
anaerob, kemudian phosphor tersebut akan diserap oleh mikroorganisme untuk
sintesa sel.

Beberapa metode dephosphorisasi secara biologis diantaranya metode A2O dan


metode Phostrip. Pada metode A2O terdapat serangkaian unit proses, pertama bak
anoxic untuk menghilangkan seluruh nitrogen, kemudian dilanjutkan di bak
anaerobic yang berfungsi untuk melepaskan phosphor. Langkah selanjutnya
masuk ke bak aerobic yang berfungsi disamping sebagai pengurai BOD dan
terjadinya proses nitrifikasi juga berfungsi untuk menghilangkan phosphor
berlebih. Proses berikutnya adalah proses pemisahan di bak pengendapan. Pada
metode ini resirkulasi lumpur aktif dari bak pengendap menuju bak anoxic. Pada
aliran sebelum bak pengendap juga dilakukan sebagian aliran disirkulasi ke bak
aerobic. Terlihat bahwa phosphor dikeluarkan pada tahap anaerobic dan
dipergunakan untuk sintesa sel pada tahap aerobic.

Pada metode Phostrip pemisahan phosphor dalam lumpur aktif dilakukan secara
gabungan secara biologi dan koagulasi. Phosphor dikeluarkan pada saat kondisi
anaerobik, kemudian endapan phosphate yang terbentuk dikoagulasi dititik return
active sludgenya. Sebagian return active sludge dikembalikan ke bak aerasi dan
sebagian lagi masuk ke kolam pengendap phosphat.

Enviromental Pollution Control Manager (EPCM)


166

Anda mungkin juga menyukai