Anda di halaman 1dari 3

Menakar Demokrasi untuk Penguatan Karakter

Taupik Rohmansyah*)

Diksi demokrasi telah menjadi bagian dari upaya penguatan karakter, ia dianggap
mampu membawa semangat perubahan dalam tata kehidupan sosial masyarakat menuju
ke arah yang lebih baik, menghargai pluralitas, persatuan dan harmoni. Demokrasi telah
mendampingi bangsa ini melewati beberapa fase perubahan kehidupannya.
Fakta ini mengharuskan semua elemen masyarakat untuk senantiasa melakukan
pengawalan secara terus menerus atas praktik demokrasi yang telah dan tengah terjadi,
agar demokrasi terjaga dan mampu membuahkan hasil optimum dalam mengembangkan
karakter bangsa yang lebih baik.

Memaknai Demokrasi

Menurut Dahl (dalam Hendriks, 2010), bahwa demokrasi terbangun atas dua istilah
yaitu demos dan kratia, yang memiliki makna kekuasaan berada di tangan rakyat. Ide
dasarnya adalah bahwa rakyat mengendalikan kekuasaan dan semua domain publik. The
Oxford Classical Dictionary menyebutkan bahwa demokrasi adalah kata yang pertama
muncul di sekitar pergantian abad 5 ke 4 SM setelah pemberontakan di Athena yang
menghapus sebuah dinasti tiran dari kekuasaan.
Kaitan dengan ini, Abraham Lincoln (Catt, 1999) menyatakan demokrasi sebagai
komitmen untuk 'pemerintahan rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat'. Demokrasi juga
digunakan untuk menjelaskan seperangkat hak-hak atau seluruh cara mengorganisir
kehidupan politik dan ekonomi suatu negara. Demokrasi dianggap juga sebagai sebuah
rosedur yang dapat digunakan oleh anggota kelompok untuk mencapai keputusan kolektif,
dan menentukan perilaku demokratis kelompok dianggap sebagai manifestasi yang
berbeda dari demokrasi, atau sejalan dengan pendapat (Hedriks, 2010) yang menyatakan
bahwa “democracy is a political system in which citizens govern, either by themselves or
through others that are elected, influenced, and controlled by the people, in a way that puts
each citizen on a par with every other”.
Demokrasi, juga dianggap tidak hanya sebagai system politik semata, tetapi juga suatu
gaya hidup serta tata masyarakat tertentu, yang karena itu juga mengandung unsur-unsur
moral (Budiardjo, 2008). Sehingga demokrasi bukan semata mengatur kelembagaan
Negara, namun juga membantu meningkatkan hak-hak individu warga Negara dan
kehendak demokratik rakyat. (Cunningham, 2002).
Dalam rangka itu dapat dikatakan bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai
(values). Henry B. Mayo (Budiardjo, 2008) telah mencoba untuk merinci nilai-nilai ini
dengan catatan bahwa perincian ini tidak berarti bahwa setiap masyarakat demokratis
menganut semua nilai yang dirinci itu, tetapi tergantung pada perkembangan sejarah serta
budaya politik masing-masing.
Nilai-nilai Demokrasi (democratic values) tersebut adalah, Kesatu, Menyelesaikan
perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peaceful
settlement of conflict). Dalam setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat serta
kepentingan, yang dalam alam demokrasi dianggap wajar untuk diperjuangkan.
Perselisihan-perselisihan ini harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog
terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, consensus atau mufakat. Kalau
golongan-golongan yang berkepentingan tidak mampu mencapai kompromi, maka ada
bahaya bahwa keadaan semacam ini akan mengundang kekuatan-kekuatan dari luar
untuk campur tangan dan memaksakan dengan kekerasan tercapainya kompromi atau
mufakat. Dalam rangka ini dapat dikatakan bahwa setiap pemerintah mempergunakan
persuasi (persuasion) serta paksaan (coercion). Dalam beberapa negara perbedaan
antara dukungan yang dipaksakan dan dukungan yang diberikan secara sukarela hanya
terletak dalam intensitas dari pemakaian paksaan dan persuasi tadi. Intensitas ini dapat
diukur dengan misalnya memerhatikan betapa sering kekuasaan dipakai, saluran apa yang
tersedia untuk memengaruhi orang lain atau untuk mengadakan perundingan dan dialog.
Kedua, Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang sedang berubah (peaceful change in a changing society). Dalam setiap masyarakat
yang memodernisasikan diri terjadi perubahan sosial, yang disebabkan oleh faktor-faktor
seperti misalnya majunya teknologi, perubahan-perubahan dalam pola kepadatan
penduduk, dalam pola-pola perdagangan, dan sebagainya. Pemerintah harus dapat
menyesuaikan kebijaksanaannya dengan perubahan-perubahan ini, dan sedapat mungkin
membinanya jangan sampai tidak terkendalikan lagi. Sebab kalau hal ini terjadi, ada
kemungkinan sistem demokratis tidak dapat berjalan, sehingga timbul sistem diktator.
Ketiga, Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur . (orderly succession of
rulers}. Pergantian atas dasar keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri sendiri, atau
pun melalui coup d'etat, dianggap tidak wajar dalam suatu demokrasi.
Keempat, Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion).
Golongan-golongan minoritas yang sedikit banyak akan kena paksaan akan lebih
menerimanya kalau diberi kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi yang
terbuka dan kreatif; mereka akan lebih terdorong untuk memberikan dukungan sekalipun
bersyarat, karena merasa turut bertanggung jawab.
Kelima, Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam
masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah
laku. Untuk hal ini perlu terselenggaranya suatu masyarakat terbuka (open society) serta
kebebasan-kebebasan politik (political liberties) yang memungkinkan timbulnya fleksibilitas
dan tersedianya alternatif dalam jumlah yang cukup banyak. Dalam hubungan ini
demokrasi sering disebut suatu gaya hidup (way of life). Tetapi keanekaragaman perlu
dijaga jangan sampai melampaui batas, sebab di samping keanekaragaman diperlukan
juga persatuan serta integrasi.
Keenam, Menjamin tegaknya keadilan. Dalam suatu demokrasi umumnya pelanggaran
terhadap keadilan tidak akan terlalu sering terjadi karena golongan-golongan terbesar
diwakili dalam lembaga-lembaga per-wakilan, tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa
beberapa golongan akan merasa diperlakukan tidak adit. Maka yang dapat dicapai secara
maksimal ialah suatu keadilan yang relatif (relative justice). Keadilan yang dapat dicapai
barangkali lebih bersifat keadilan dalam jangka panjang.
Dalam kaitan ini, Kristiadi (dalam Haramain & Nurhuda, 2000:xxvi) mengemukakan
tentang pilar-pilar demokrasi yaitu 1)kedaulatan rakyat, 2)pemerintahan berdasarkan
persetujuan yang diperintah, (3) kekuasaan mayoritas, (4) jaminan hak-hak minoritas, (5)
Jaminan hak-hak azasi manusia, (6) persamaan di depan hukum, (7) proses hukum yang
berkeadilan, (8)pembatasan kekuasaan pemerintah melalui konstitusi, (9) pluralisme
sosial, ekonomi dan politik, dan (10) dikembangkannya nilai-nilai toleransi, pragmatisme,
kerjasama dan mufakat.
Dari paparan diatas, bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu
diselenggarakan beberapa lembaga yaitu 1)Pemerintahan yang bertanggung jawab; 2)
Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-
kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan
rahasia dan atas dasar se-kurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi. Dewan
perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol), memungkinkan oposisi yang konstruktif
dan memungkinkan penilaian terhadap kebijaksanaan pemerintah secara kontinu; 3) Suatu
organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik (sistem dwi-partai, multi-
partai). Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang kontinyu antara masyarakat
umumnya dan pemimpin-pemimpinnya; 4)Pers dan media massa yang bebas untuk
menyatakan pendapat; 5) Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan
mempertahankan keadilan.(Budiardjo, 2008)

Demokratis sebagai Nilai Karakter


Kehidupan demokratis sebagai harapan semua mengharuskan seluruh elemen warga
bangsa untuk segera menata ulang pemaknaan dan pengejawantahan nilai-nilai
demokrasi; dimana ia harus menjadi karakter bangsa yang terus dijaga. Demokrasi
sebagai karakter berarti bagaimana menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam tindakan
nyata atau perilaku sehari-hari. Karakter demokrasi yang baik memaknakan terjadinya
proses demokratisasi dalam setiap proses kehidupan (sosial).
Upaya pelembagaan nilai-nilai demokrasi bisa dilakukan melalui komunikasi intensif
antar berbagai kelompok sosial yang ada dengan mengedepankan semangat
kebersamaan menata harmoni, bukannya dengan cara memperlakukan kelompok lain
dianggap kurang bermakna. Harmoni sosial menjadi penanda bahwa nilai-nilai demokrasi
telah hidup sebagai hasil dialog antar budaya yang berbeda.
Demokrasi sebagai gagasan moral dan nilai bisa diterima oleh siapapun. Sebab nilai
sifatnya universal. Schwartz (Sanusi:2017) mencatat, bahwa manakala kita berfikir tentang nilai,
maka kita berfikir tentang apa yang penting dalam kehidupan kita seperti rasa aman,
kemerdekaan, kearifan, keberhasilan, kebajikan, kesenangan. Setiap orang menganut sejumlah
nilai dengan tingkat-tingkat arti penting yang berbeda. Nilai tertentu sangat penting bagi seseorang
namun tidak penting bagi orang lain.
Kemudian Schwartz memerinci nilai-nilai itu kedalam 10 (sepuluh) nilai dasar manusia, yaitu
Mandiri, yaitu berpikir dan bertindak independen; memilih, mencifta, dan mengeksplorasi. Kedua,
Stimulai yaitu kegembiraan, kebaruan, dan tantanga hidup. Ketiga, hedonism yaitu kesenangan
dan pemuasan indrawi untuk dirinya sendiri. Keempat, prestasi yaitu keberhasilan pribadi dengan
menunjukan komptensi sesuai dengan standar social. Kelima, kekuasaan yaitu status dan prestise
social, kendali dan dominasi terhadap manusia dan sumberdaya. Keenam, keamanan yaitu rasa
aman, harmoni, dan stabilitas masyarakat, dalam hubungan dengan orang lain dan diri sendiri.
Ketujuh, konformitas yaitu kendala tindakan, kesenangan dan impuls-impuls yang mungkin
mengecewakan atau mempermalukan orang lain dan mengabaikan norma dan ekspektasi sosial.
Kedelapan, tradisi yaitu hormat, komitmen, penerimaan adat istiadat dan ide-ide budaya tradisi
atau agama. Kesembilan, kebajikan yaitu menjaga dan memperkaya kesejahteraan orang-orang
yang bersama diri kita dan sering melakukan kontak pribadi. Kesepuluh, universalisme yaitu
memahami, apresiasi, toleransi, proteksi untuk kesejahteraan bersama dan terpeliharanya alam.
Maka, ketika demokrasi diterima sebagai sebuah nilai karakter, sepantasnya seluruh
warga bangsa menjaga nilai-nilai ini sebagai “ something what you really really really need’.
Masihkah demokrasi penting?.

*) Taupik Rohmansyah, Mengajar IPS di SMPN 3 Cilaku-Cianjur.

Anda mungkin juga menyukai