Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341251705

"Pengujian Alat Ukur Skala Thurstone Sikap Mahasiswa Remaja


terhadap Homoseksual di Perguruan Tinggi"

Article · May 2020

CITATIONS
READS
0
793

1 author:

Erisca Melia Safitri


Universitas Pembangunan Jaya
6 PUBLICATIONS 5 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

“Pengujian Alat Ukur Skala Thurstone Sikap Mahasiswa Remaja terhadap Homoseksual di Perguruan Tinggi View project

All content following this page was uploaded by Erisca Melia Safitri on 08 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


“Pengujian Alat Ukur Skala Thurstone Sikap Mahasiswa Remaja
terhadap Homoseksual di Perguruan Tinggi”

Disusun Oleh:
Erisca Melia Safitri 2017031039

Mata Kuliah
Konstruk Alat Ukur Psikologi

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA

TANGERANG SELATAN

2020
ABSTRAK
Homoseksual adalah daya pikat sexual seseorang terhadap sesama jenis. Di Indonesia
masyaraktnya masih memiliki stigma negatif terhadap kaum homoseksual. Seringkali, Kaum
homoseksual mendapatkan diskriminasi, kebencian, dan perlakuan yang tidak menyenangkan
oleh masyarakat karena orientasi seksual mereka kurang diterima masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu, seseorang yang homoseksual tidak menunjukkan dirinya bahwa
dia adalah seorang homoseksual, karena takut oleh stigma dari masyarakat umum.
Homoseksual mudah sekali terjadi pada remaja, karena pada tahap perkembangan remaja
menuju dewasa awal masa mencari identitas diri. Mahasiswa merupakan remaja dewasa yang
memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri untuk memenuhi
keinginannya dan juga masyarakat yang dapat memberikan stigma negatif seperti penolakan
terhadap mahasiswa lain yang termasuk kaum homoseksual. Kaum homoseksual berpeluang
besar untuk menunjukkan dirinya di perguruan tinggi, karena berpendapat bahwa lingkungan
di perguruan tinggi sangat besar toleransinya. Oleh karena itu, peneliti ingin membuat alat
ukur untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap homoseksual di perguruan tinggi. Metode
dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner menggunakan google
form. Instrumen pada penelitian ini menggunakan skala Thurstone. Hasil pada penelitian ini
menunjukkan bahwa sikap positif mahasiswa terhadap homoseksual di perguruan tinggi
dengan jumlah 57 subjek dengan persentase 55.9%.

Kata kunci : homoseksual, sikap, mahasiswa.

ABSTRACT

Homosexuality is a person's sexual allure of the same sex. In Indonesia the society still
has a negative stigma against homosexuals. Often, homosexuals get discrimination, hatred and
unpleasant treatment by the community because their sexual orientation is less acceptable to
the general public. Therefore, someone who is homosexual does not show himself that he is a
homosexual, for fear of the stigma of the general public. Homosexuality is very easy to occur
in adolescents, because at the stage of development of adolescents into early adulthood looking
for self-identity. Students are adult teenagers who have the freedom to determine their own
way of life to fulfill their desires and also society that can provide negative stigma such as
rejection of other students who are homosexuals. Homosexuals have a great opportunity to
show themselves in college, because they think that the environment in universities is very
tolerant. Therefore, the researcher wants to make a measuring tool to measure students'
attitudes towards homosexuals in college. The method in this research is quantitative by
distributing questionnaires using Google form. The instrument in this study uses the Thurstone
scale. The results of this study indicate that the positive attitude of students towards
homosexuals in higher education with a total of 57 subjects with a percentage of 55.9%.

Key word : homosexuals, attitudes, students


PENDAHULUAN
Homoseksual adalah daya pikat sexual seseorang terhadap sesama jenis. Kata “homo”
diturunkan dari bahasa Yunani yang berarti sama dan “seksual” dari bahasa latin yag berarti
jenis kelamin. Homoseksual laki-laki disebut dengan “gey” dan homoseksual perempuan
disebut dengan “lesbian.” Menurut Riyanti dalam (Zainuri, 2019), homoseksual adalah
seseorang yang mengalami kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya
rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai jenis kelamin atau identitas gender yang
sama. Menurut Kaplan dalam (Zainuri, 2019) mengemukakan bahwa homoseksual adalah
penyimpangan psikoseksual di mana seseorang dewasa tertarik gairah seksualnya dengan
teman sejenis. Sedangkan Menurut Greene & Croom dalam (Ollyn et al., 2016) homoseksual
menjadi sebuah perbedaan, kurang dapat diterima masyarakat karena heteroseksual
(ketertarikan fisik, emosi dan afeksi yang ditujukan pada orang dari jenis kelamin yang
berbeda) adalah orientasi seksual yang dianggap benar dan dapat diterima oleh sebagian
besar masyarakat.

Di Indonesia dengan nilai-nilai ketimurannya menganggap homoseksual sebagai hal


yang tabu, dianggap salah, dan tidak diakui keberadaannya. Menurut masyarakat Indonesia
seseorang yang yang berpakaian tidak sesuai dengan jenis kelaminnya seperti pria berpakian
wanita dianggap salah apa lagi pasangan sesama jenis. Menurut Hastaning dalam (Zainuri,
2019) kehadiran kaum homoseksual hingga saat ini masih menjadi kontroversi dan
menganggap homoseksual sebagai kelainan sedangkan ada yang menganggap sebagai trend
atau gaya hidup. Hal tersebut juga dikatakan oleh Ariyanto & Rido Triawan dalam (Zainuri,
2019) bahwa kelompok homoseksual sering mendapat stigma sebagai manusia abnormal
karena diangggap menyalahi kodrat dan dianggap sampah masyarakat, menyebarkan
penyakit menular, tidak normal, tidak alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan
penyandang cacat mental. Seseorang yang homoseksual sangat rentan terkena diskriminasi,
kebencian, dan perlakuan yang tidak menyenangkan oleh masyarakat karena orientasi
seksual mereka kurang diterima masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, banyak negara
barat yang sudah menerima dan mengakui keberadaan homoseksual, hal ini tidak membuat
individu homoseksual terbebas dari dikriminasi dan perlakuan tidak menyenangkan, terutama
perlakuan tidak menyenangkan yang disebabkan oleh ketakutan tidak beralasan terhadap
homoseksual (homophobia). Bentuk perlakuan tidak menyenangkan yang diterima individu
homoseksual dapat berupa ancaman, kekerasan verbal, kekerasan fisik, pengrusakan, bahkan
sampai pembunuhan (Ollyn et al., 2016). Dengan adanya perilaku tidak baik yang dilakukan
oleh masyarakat umum (heteroseksual) kepada kaum homoseksual, bukan berarti
kemungkinan seseorang homoseksual di Indonesia akan menurun jumlahnya. Bahkan ada
seseorang homoseksual yang tidak menunjukkan dirinya bahwa dia adalah seorang
homoseksual, karena takut oleh stigma dari masyarakat umum.

Dari data Gessang (Gerakan Sosial Advoad dan HAM untuk Gay) pada tahun 2010
jumlah gay di Jawa Tengah mencapai 114.400 orang dan pada tahun 2015 meningkat sekitar
150.70 orang (Hania, 2018). Menurut survey Centre Intelligency of Agency (CIA) dalam (Putri
et al., 2018), jumlah LGBT di Indonesia berada pada urutan ke-5 terbanyak di dunia. Sekitar
7,5 juta penduduk Indonesia adalah LGBT. Ketua Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia
(PKVHI) Wilayah Sumatera Barat, Katherina Welong dalam (Putri et al., 2018)
mengungkapkan jumlah pelaku LGBT di Sumbar hingga April 2018 mencapai 14.469 orang.
Dari data tersebut membuktikan bahwa kaum homoseksual jumlahnya selalu bertambah.
Bahkan Indonesia pada tahun 2015 berada di peringkat 5 jumlah LGBT terbanyak, padahal
stigma masyarakat di Indonesia sangat menolak kaum homoseksual. Terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan seseorang menjadi homoseksual.

Menurut Sa’dan dalam (Putri et al., 2018) faktor-faktor yang dapat menyebabkan
seseorang homoseksual yaitu (1) keluarga, pengalaman/trauma dimasa anak-anak akrena
mendapatkan kekerasan dari ayah/ibu. (2) pergaulan dan lingkungan, lingkungan yang
memisahkan antara laki-laki dan perempuan. (3) biologis, mendapatkan dorongan dari dalam
diri untuk melakukan hubungan sesama jenis yang sifatnya menurun/genetik. Seseorang dapat
menjadi homoseksual karena ketiga faktor tersebut. Dapat disimpulkan bahwa orang
disekeliling berpengaruh besar untuk mempengaruhi seseorang menjadi homoseksual. Oleh
karena itu, penting sekali memberikan edukasi kepada masyarakat tentang homoseksual,
bagaimana cara menyikapi kaum homoseksual dan juga memberikan edukasi tentang orientasi
seksual kepada remaja hingga dewasa awal, karena pada tahap perkembangan remaja menuju
dewasa awal masa mencari identitas diri.

Mahasiswa merupakan remaja dewasa yang memiliki kebebasan untuk menentukan jalan
hidupnya sendiri untuk memenuhi keinginannya. Remaja adalah masa dimana remaja
mengalami gejolak seperti emosional yang tinggi, rasa ingin tahu yang besar, menuntut
kebebasan yang tinggi tanpa memikirkan resiko dan tanggung jawab (Dores, 2015). Menurut
Stanley Hall dalam (Muti’ah, 2011) umur remaja awal sampai dewasa awal adalah masa antara
12 sampai 23 tahun dengan penuh topan dan tekanan (strom and stress). Terdapat perbedaan
pandangan terhadap homoseksual antara remaja, karena remja mudah sekali dipengaruhi oleh
lingkungan seperti teman-temannya. Remaja sudah dapat memandang suatu kaum
homoseksual yang dapat mempengaruhi pandangan atau sikap remaja tersebut (Anjani et al.,
2020). Oleh karena itu, kemungkinan mahasiswa menjadi homoseksual berpeluang besar.

Mahasiswa juga merupakan masyarakat yang dapat memberikan stigma negatif seperti
penolakan terhadap mahasiswa lain yang termasuk kaum homoseksual. Sebuah penelitian yang
dilakukan Dewi dalam (Diniati, 2018) menyebarkan kuesioner mengenai penilaian pandangan
terhadap kaum gay memndapatkan hasil bahwa 104 mahasiswa dari 182 mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Pandjadjaran memiliki penilaian yang negatif terhadap kaum gay dengan
alasan bahwa gay menyimpang, seram, jijik, tidak sesuai norma, negatif, dan perlu
diselamatkan. Akifitas mahasiswa biasanya berada di perguruan tinggi yang menjadi tempat
mahasiswa untuk menimba ilmu dan bertemu dengan mahasiswa lainnya, dosen, dan staf
lainnya yang merupakan bagian dari tenaga kerja di perguruan tinggi. Di lingkungan
masyarakat luas kaum homoseksual enggan untuk menunjukkan dirinya ke publik. Tetapi
menuru Dadun & Dwiwantik dalam (Yulianto, 2019), kaum homoseksual dapat
mengungkapkan jati dirinya ketika berada di perguruan tinggi, karena menurutnya
lingkungan di perguruan tinggi toleransi lebih besar untuk menyikapi masalah orientasi
seksual. Oleh karena itu, menarik untuk melihat keinginan mahsiswa untuk berinteraksi
dengan kaum homoseksual. Keinginan untuk berinteraksi disebut dengan jarak sosial.
Menuru Brown &
Langer dalam (Yulianto, 2019) jarak sosial adalah fungsi kuantitas dan kualitas interaksi antar
individu. Jarak sosial dapat diukur dengan pengukuran jarak sosial, yaitu biasanya
dinyatakan dengan bentuk kedekatan hingga kejauhan. Sedangkan menurut Bogardus dalam
(Yulianto, 2019) jarak sosial adalah tingkat keintiman dan pemahaman yang ada antara
individu atau kelompok sosial. Pengukuran jarak sosial dapat melihat situasi sosial pada
suatu kelompok yang diteliti (Yulianto, 2019).

Jarak sosial terhadap mahasiswa di kampus, dapat dilihat dari interaksi yang biasanya
dilakukan oleh mahasiswa. Biasanya mahasiswa akan melakukan interaksi dengan mahasiswa
dan non mahasiswa. Non mahasiswa di kampus seperti dosen pengajar mahasiswa, pelatih unit
kegiatan mahasiswa (UKM), pembina keagamaan, pimpinan universitas, dan staf administrasi
kampus. Mahasiswa yang memiliki adanya perbedaan besar dengan homoseksual maka jarak
sosialnya tinggi, sehingga ia tidak mau berinteraksi dengan kaum homoseksual. Sebaliknya,
mahasiswa yang menganggap perbedaan sosial kecil dengan kaum homoseksual maka jarak
sosialnya kecil, sehingga ia akan bersedia untuk berinteraksi dengan kaum homoseksual
(Yulianto, 2019). Selain jarak sosial, status jabatan yang dianggap penting berada di kampus
juga mempengaruhi penerimaan mahasiswa terhadap kaum homoseksual (Yulianto, 2019).
Seperti, mahasiswa akan lebih menerima dosen dibandingkan pimpinan universitas karena
jabatannya yang tinggi.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk membuat alat ukur yang dapat
mengukur sikap mahasiswa terhadap penerimaan kaum homoseksual di lingkungan perguruan
tinggi. Alat ukur yang telah dibuat akan di uji psikometri menggunakan skala Thurstone.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Pelaksanaannya terdiri
dari beberapa bagian penelitian yang saling terkait, yaitu penelitian pengembangan instrumen,
proses penskalaan pada data hasil uji coba dan perbandingan hasil penskalaan. Menurut Hendri
dalam (Pratiwi, 2014) metode atau alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu kuesioner online menggunakan google form. Kuesioner online merupakan daftar
pernyataan yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data dari sumbernya secara
langsung melalui proses komunikasi atau dengan mengajukan pernyataan.

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini memiliki karakteristik yaitu mahasiswa remaja. Usia
partisipan dalam penelitian ini adalah 17-23 tahun yang termasuk dalam kategori remaja hingga
dewasa awal.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang akan diuji pada penelitian ini adalah sikap mahasiswa terhadap
homoseksual. Aitem alat ukur sikap mahasiswa terhadap homoseksual dibuat berjumlah 87
yang akan diuji menggunakan metode skala Thurstone. Skala Thurstone dibuat oleh ahli
psikologi Louis Thurstone dalam (Ismail et al., 2018) yang mempercayai bahwa manusia boleh
membuat pertimbangan-pertimbangan dan penilaian-penilaian secara psikologi ke atas diri
mereka sendiri, yaitu apabila seseorang itu diberi dua penyataan yang berbeda, dia mampu
membuat pemilihan penyataan yang mana lebih dipersetujuinya. Thurstone dapat
menempatkan sikap seseorang pada rentan dari yang sangat unfavourable hingga sangat
favourable terhadap suatu sikap, lalu 87 aitem tersebut diberikan kepada para ahli yang telah
ditentukan derajat favorabilitasnya. Derajatnya yaitu dari 1 sangat unfavorable hingga 10
sangat favorable. Dari hasil data yang telah diisi oleh para ahli, peneliti mencari S dan Q dari
masing-masing aitem. Setelah itu, aitem dieliminasi dengan melihat nilai S dan Q yang
didapatkan. Hasilnya mendapatkan 20 aitem pernyataan yang dapat digunakan sebagai
derajat (ukuran) untuk melihat sikap mahasiswa terhadap homoseksual. Skala dalam 20
pernyataan tersebut menggunakan skala Thurstone, jadi pilihan jawaban pada setiap aitem
pernyataan ada 2 pilihan yaitu; “setuju” dengan skor 1 dan “tidak setuju” dengan skor 0. Ke-
20 aitem pernyataan yang akan dipakai dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1
No PERNYATAAN S Q
1 Apabila seorang mahasiswa terlibat hubungan sesama jenis,
sebaiknya ia dikeluarkan dari universitas 1,279412 2,66299
2 Saya menolak bila ada mahasiswa homoseksual di
jurusan/program studi/fakultas saya 1,733333 3,161376
3 Mahasiswa homoseksual hanya boleh berkuliah di
jurusan/program studi/fakultas tertentu 2 2,658816
4 Saya tidak mau ikut kegiatan mahasiswa bila ada mahasiswa
homoseksual yang juga terlibat kegiatan tersebut 2,105263 3,165278
5 Saya tidak mau berteman dengan mahasiswa homoseksual 2,365385 2,517857
6 Setiap mahasiswa baru harus ditanyakan orientasi
seksualnya 2,583333 2,934091
7 Orang yang bergaul dengan homoseksual akan juga tertular
menjadi homoseksual 3,28125 3,407843
8 Sebaiknya pihak universitas menyediakan tempat khusus
bagi mahasiswa homoseksual untuk beraktivitas 3,818182 3,605556
9 Dosen/pembimbing akademik harus
menyadarkan/menyembuhkan mahasiswa homoseksual 4,705882 4,274148
10 Mahasiswa homoseksual harus lebih banyak diikutsertakan
dalam kegiatan keagamaan 4,952381 3,816239
11 Homoseksual merupakan pengaruh dari budaya barat 5,074074 3,722222
12 Saya tidak peduli bila ada orang di sekitar saya yang
menjadi homoseksua 5,6875 3,177083
13 Setiap orang berhak untuk menjadi homoseksual 6,75 5,340278
14 Lembaga kemahasiswaan sebaiknya memberikan
advokasi/perlindungan kepada mahasiswa homoseksual 6,909091 3,607287
15 Prestasi seseorang lebih penting dibandingkan orientasi
seksualnya 7,222222 4,10866
16 Saya bersedia menolong mahasiswa homoseksual bila ia
mengalami kesulitan 7,472222 2,766414
17 Saya salut terhadap keberanian mahasiswa homoseksual
untuk menyatakan diri 7,72 2,659722
18 Mahasiswa homoseksual jangan dikucilkan 8,107143 2,778743
19 Setiap orang berhak menentukan pasangannya sendiri 8,26087 2,78125
20 Mahasiswa homoseksual berhak mendapatkan pelayanan
akademik yang sama seperti mahasiswa pada umumnya 8,816667 2,055804

Selain itu, peneliti juga membuat aitem alat ukur jarak sosial sikap mahasiswa terhadap
homoseksual di lingkungan perguruan tinggi menggunakan skala Guttman untuk mencari
validitas dengan mengkorelasikan skala sikap dan skala jarak sosial. Skala Guttman adalah
skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi, dan lainnya (Suprobo, 2014).
Setelah itu instrumen yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator yang akan dijadikan
patokan untuk menyusun aitem-aitem pernyataan. Pilihan jawaban pada skala Guttman hanya
ada dua seperti setuju/tidak setuju, ya/tidak, baik/buruk, dan seterusnya. Pada penelitian ini
peneliti memakai pilihan jawaban “setuju” dengan nilai skor 2 dan “tidak setuju” dengan
nilai skor 0. Pernyataan tersebut disusun berdasarkan prinsip jarak sosial Bogardus dari yang
paling dekat hingga yang paling jauh secara fisik menurut responden, serta memfariasikan
status homoseksual yang berada di perguruan tinggi. Pada tabel 2 mengurutkan pernyataan
variasi peran homoseksual dari yang paling dekat hingga paling jauh menurut responden.
Tabel 2
Saya bersedia untuk menerima homoseksual sebagai ............................
No PERNYATAAN
1 Mahasiswa
2 Staf administrasi mahasiswa
3 Pelatih UKM olahraga/seni
4 Pembimbing/pembina keagamaan
5 Dosen
6 Pimpinan Universitas
Pernyataan ‘mahasiswa’ dianggap paling dekat dengan responden dan ‘pimpinan
universitas’ dianggap paling jauh dengan responden. Partisipan diminta untuk menyatakan
persetujuannya pada sepuluh pernyataan sikap mahasiswa terhadap homoseksual apakah sikap
mahasiswa menerima atau tidak menerima homoseksual dengan status yang telah dijadikan
aitem dalam pernyataan.

Prosedur Penelitian
Alat ukur sikap mahasiswa terhadap homoseksual akan diuji dengan melihat reliabilitas
dan validitasnya.

 Reliabilitas
Sebuah alat ukur yang baik harus memiliki reliabilitas yang baik. Menurut Sugiyono
(Kaunang et al., 2020) reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai untuk
mengukur gejala yang sama maka hasil pengukuran akan relative konsisten, dan setelah
itu dapat dikatakan bahwa alat pengukur tersebut reriabel. Reliabilitas menunjukan konsistensi
suatu alat pengukuran didalam mengukur suatu gejala yang sama. Pengukuran reliabilitas
pada penelitian ini menggunakan metode Spearman-Brown dengan teknik belah dua (split
halve method). Prosedur dalam penggunaan Spearman Brown ini dengan cara membelah
setiap aitem yang ganjil dan genap. Dengan jumlah aitem terdiri dari 20 pernyataan, 10
pernyataan aitem ganjil dan 10 pernyataan aitem genap. Setelah itu skor ganjil dan genap
dikorelasikan dengan product moment menggunakan bantuan JASP 0.10.2.0 dengan rumus
Correlation Matrix dan Spearman. Menurut Budiman dalam (Kaunang et al., 2020)
pengukuran reliabilitas menggunakan bantuan JASP 0.10.2.0. Suatu variabel dikatakan
reabibel jika memberikan nilai > 0,60. Sedangkan menurut Arikuntu dalam (Sridiarsih &
Pratiwi, 2014) terdapat kriteria tingkat reliabilitas instrumen angka korelasi kriteria dapat
dilihat pada tabel 3.

Tabel 3
No Kategori Angka Kriteria
1 Tinggi 0.800-1.000
2 Cukup 0.600-0.800
3 Agak Rendah 0.400-0.600
4 Rendah 0.200-0.400
5 Sangat Rendah 0.200-0.000

 Validitas
Uji validitas berfungsi untuk mengetahui apakah instrumen yang dibuat dapat
mengukur apa yang akan diukur. Pengujian validitas menggunakan metode construct group.
construct group berfungsi untuk membandingkan dua alat ukur yang memiliki topik yang
sama (Shuultz et al., 2014). Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan antara skor
sikap dan skor jarak sosial mahasiswa terhadap homoseksual di perguruan tinggi. Menurut
Muliyardi dalam (Sari, 2017) terdapat kriteria penetapan validitas. Dapat dilihat pada
tabel 4.

Tabel 4

No Kategori Angka Kriteria


1 Tidak valid 1.00 – 1.99
2 Kurang Valid 2.00 – 2.99
3 Valid 3.00 – 3.49
4 Sangat Valid 3.50 – 4.00
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Subjek Penelitian


Subjek pada penelitian ini berjumlah berjumlah 102 subjek. Kriteria subjek dalam
penelitian ini adalah mahasiswa aktif yang berusia 17-23 tahun yang masih dalam kategori
remaja awal hingga dewasa awal. Selanjutnya akan ditampilkan tentang deskripsi subjek
berdasarkan jenis kelasmin dan usia.

Tabel 5
Keterangan N Persent
(%)
1 Jenis Kelamin
Laki-laki 31 30.4%
Perempuan 71 69.6%
2 Usia
18 tahun 6 5.9%
19 tahun 23 22.6%
20 tahun 40 39.2%
21 tahun 33 32.3%
102 100%
Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa partisipan dalam penelitian ini adalah 102
mahasiswa dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 31 subjek dengan persentase sebesar
30.4% dan perempuan berjumlah 71 subjek dengan persentase sebesar 69.6%. Dan tabel di
atas juga menunjukan bahwa partisipan dalam penelitian ini berusia 18 tahun berjumlah 6
subjek dengan persentase 30.4%, 19 tahun berjumlah 23 subjek dengan persentase 22.6%, 20
tahun berjumlah 40 subjek dengan persentase 39.2%, dan 21 tahun berjumlah 33 subjek dengan
persentase 32.3%.

Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas diukur untuk melihat tinggi atau rendahnya hasil dari pengukuran alat
ukur sikap mahasiswa terhadap homoseksual di perguruan tinggi. Pada penelitian ini
reliabilitas didapatkan dari hasil korelasi antara skor aitem ganjil dan genap.

Tabel 6
Spearman Correlations
Skor Median Genap
(Spearman-Brown)
Skor Median Spearman’s rho 0.747
Ganjil (Spearman- p-value < .001
Brown)
Berdasarkan tabel di atas hasil korelasi antara pernyataan aitem ganjil dan genap
menunjukkan bahwa reliabilitas pada penelitian ini adalah 0.747. Hasil uji reliabilitas skala
sikap mahasiswa terhadap homoseksual di perguruan tinggi terdapat korelasi. Hal tersebut
didukung oleh teori Kaunang et al penelitian ini reliabil karena minimum hasil >0.60, jika lebih
maka lebih baik. Sedangkan menurut Arikuntu, reliabilitas penelitian ini berada pada
kategori cukup.
Uji Validitas
Uji validitas diukur untuk melihat korelasi antara alat ukur sikap mahasiswa terhadap
homoseksual di perguruan tinggi dengan alat ukur jarak sosial terhadap homoseksual. Pada
penelitian ini vaiditas didapatkan dari hasil korelasi antara kedua alat ukur.

Tabel 7
Pearson Correlations
Sikap
Pearsons r 0.357
Jarak Sosial p-value < .001
Berdasarkan uji validitas antara skor sikap dan jarak sosial didapatkan validitas sebesar
0.357. Dari hasil uji validitas antara kedua alat ukur menunjukan bahwa adanya korelasi. Hal
tersebut didukung oleh Muliyardi, validitas penelitian ini berada pada interval 3.50 – 4.00 yang
artinya berada pada ketegori sangat valid.

Gambaran Sikap Mahasiswa Terhadap Homoseksual di perguruan Tinggi

Dari data yang diperoleh peneliti, sikap mahasiswa terhadap homoseksual di perguruan
tinggi terbagi menjadi tiga kelompok yang dibedakan sesuai dengan kategori interval penilaian
skala Thurstone. Nilai yang digunakan oleh peneliti yaitu dari 0 untuk aitem sangat unfavorable
hingga 10 untuk aitem sangat favorable. sikap mahasiswa terhadap homoseksual di
perguruan tinggi dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8
Intervensi
Keterangan Interval Subjek Persentase
Positif 0 – 3.5 57 55.9%
Netral 3.6 – 6.5 44 43.2%
Negatif 6.6 – 10 1 0.9%
Jumlah 102 100%
Tabel 7 menunjukkan bahwa sikap mahasiswa terhadap homoseksual di perguruan tinggi
dalam penelitian ini menunjukkan kelompok tersebut dalam kategori 3 skala interval. Dalam
tabel 7 paling banyak respon positif sebesar 57 subjek dengan persentase 55.9%.

KESIMPULAN
Hasil pengujian yang didapatkan dari penelitian ini memperoleh hasil data reliabilitas
sebesar 0.747 dapat diartikan bahwa 20 item penyatannya baik dan dapat digunakan. Hasil
uji validitas menunjukkan bahwa adanya korelasi antara alat ukur sikap dan jarak sosial
mahasiswa terhadap homoseksual di perguruan tinggi.

Berdasarkan hasil analisis data yang didapatkan pada penelitian ini, instrumen penelitian
yang dibuat dan diuji menggunakan skala Thurstone untuk mengukur sikap mahasiswa
terhadap homoseksual di perguruan tinggi. Diperoleh kesimpulan bahwa mahasiswa memiliki
keinginan yang tinggi dalam berinteraksi dengan homoseksual. Hal tersebut didukung dari
hasil perhitungan skala interval yang menunjukkan paling banyak sikap positif sebanyak 57
subjek dengan persentase 55.9%.
Daftar Referensi

Anjani, P. Z., Aura, G., & Florensia, F. (2020). Perbedaan sikap terhadap homoseksual pada
remaja dan dewasa awal di kota tangerang. Researchgate, March.
https://www.researchgate.net/publication/340096427%0APERBEDAAN
Diniati, A. (2018). Konstruksi sosial melalui komunikasi intrapribadi mahasiswa gay di kota
Bandung. Jurnal Kajian Komunikasi, 6(2), 147–159.
Dores, A. (2015). Konsep bimbingan konseling islam dalam mengatasi remaja terjerumus
dalam perilaku homoseksual. Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang.
Hania, H. (2018). Hubungan antara persepsi terhadap stigma masyarakat dan harga diri pada
homoseksual (gay) di Rumah Pelangi Indonesia kota Semarang [Universitas Islam Sultan
Agung]. In Statistical Field Theor. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Ismail, M. S., Abdullah, A. H., Zain, A. D. M., Shuhari, M. H., & Ariffin, M. R. (2018).
Kematangan kerjaya pelajar: implikasinya terhadap kaunseling kerjaya. Jurnal Islam Dan
Masyarakat Kontemporari, 18(1), 45–55.
https://journal.unisza.edu.my/jimk/index.php/jimk/article/view/295/219
Kaunang, V. N. P., Citraningtyas, G., & Lolo, W. A. (2020). Analisis kepuasan pasien rawat
jalan terhadap pelayanan di instalasi farmasi rumah sakit Bhayangkara Manado.
PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi, 9(1), 237–242.
Muti’ah, T. (2011). Studi hubungan antara identitas diri dan kecenderungan homoseksual
remaja di Yogyakarta. Jurnal SPIRITS, 1(2), 1–17.
Ollyn, E., Rusli, E., & Yulianto, A. (2016). Ac ce p us t. Jurnal Noetic UKRIDA, 6(1).
https://doi.org/10.1016/j.apcata.2009.10.028
Pratiwi, Y. E. (2014). Penggunaan media permainan Tic-Tac-Toe melalui model pengajaran
langsung dalam pembelajaran bahasa Perancis Di SMA. Universitas pendidikan
Indonesia.
Putri, S. I., Sumarsih, G., & Wenny, B. P. (2018). Gambaran persepsi mahasiswa terhadap
perilaku LGBT di Universitas Andalas [Universitas Andalas]. In Penelitian keperawatan
komunitas. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Sari, R. T. (2017). Uji validitas modul pembelajaran Biologi pada materi sistem reproduksi
manusia melalui pendekatan konstruktivisme untuk kelas IX SMP. Scientiae Educatia :
Jurnal Pendidikan Saint, 6(1), 22–26. https://doi.org/10.24235/sc.educatia.v6i1.1296
Shuultz, K. S., David J, W., & Zickar, M. J. (2014). Measurement theory in action: Case studies
and exercises. In Routledge Taylor & Francis Group (Second Edi).
Sridiarsih, L. N., & Pratiwi, T. I. (2014). Pengembangan software inventori gaya belajar bagi
siswa sekolah menengah pertama (SMP). Jurnal BK UNESA, 4(3), 630–640.
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-unesa/article/view/8766
Suprobo, W. A. (2014). Pengaruh Sistem Pengendalian Manajemen ( SPM ) terhadap
kinerja karyawan dengan inovasi sebagai variabel intervening pada Usaha Mikro Kecil
Menengah ( UMKM ) sektor kuliner wilayah Banyuwangi. 1–6.
Yulianto, A. (2019). Penyusunan skala guttman untuk pengukuran psikologi (A. Yulianto (ed.);
1st ed.). Universitas Pembangunan Jaya.
Zainuri, M. I. (2019). Analisis perilaku homoseksual pada mahasiswa STKIP kota bima
[Universitas Negeri Makassar]. http://eprints.unm.ac.id/id/eprint/13131%0A

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai