Anda di halaman 1dari 5

Nama : Aldino Maranatha Las Roha Hutagaol

NIM : 13030122130033
Prodi/Kelas : Sejarah S1/A
Dosen Wali : Dr. Dra. Endah Sri Hartatik, M.Hum

John Lie Si Hantu Selat Malaka


A. Pendahuluan
Diskriminasi etnis atau suku di Indonesia sampai saat ini masih sering terjadi, saling
membandingkan antar suku-padahal setiap suku pasti berbeda- lalu menganggap suku lain
rendah adalah sikap yang harus dhilangkan di zaman saat ini. Termasuk pada etnis Chinese,
semenjak Orde Baru sampai saat ini, etnis Chinese mendapat perlakuan yang kurang baik dalam
bermasyarakat di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari cerita masa lalu yang dimana etnis
Chinese dianggap sebagai minoritas pembangkang, pembuat masalah, dan para pemuja setan.
Padahal secara kajian sejarah yang lebih dalam dan jauh, etnis Chinese sudah lama menetap di
Indonesia dan bersosial dengan etnis-etnis lainnya. Padahal dalam kemerdekaan Indonesia
banyak etnis-etnis Chinese yang berperan, seperti Lie Eng Hok , Sho Bun Seng, Ong Tjong
Bing, dan yang paling terkneal Soe Hok Gie. Dari contoh beberapa diatas membuktikan bahwa
etnis Chinese sebenarnya bukan etnis baru di Indonesia, dan dari sini juga kita sadar bahwa
negeri kita hingga saat ini dirawat juga oleh etnis-etnis Chinese. Sangat miris rasanya jika
sekarang banyak orang Indonesia menilai etnis Chinese dengan negatif padahal sejarah
membuktikan bahwa etnis Chinese dan Indonesia (Hindia-Belanda) sudah hidup saling
berdampingan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diperoleh beberapa rumusan masalahnya yaitu antara lain:
1. Prasangka buruk masyarakat Indonesia terhadap etnis Chinese
2. Apa perjuangan seorang etnis Chinese dalam mewujudkan kemerdekan Negara Kesatuan
Republik Indonesia?
3.
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diperoleh beberapa tujuannya yaitu antara lain:
1. Untuk membantah skeptis buruk masyarakat Indonesia mengenai etnis Chinese
2. Untuk menceritakan seorang perjuangan etnis Chinese dalam kemerdekaan Indonesia
D. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan ilmu yang memperlajari tentang cara penelitian ilmu tentang alat-
alat dalam suatu penelitian. Oleh karena itu metode penelitian membahas tentang konsep teoritis
berbagai metode, kelebihan dan kelemahan yang dalam suatu laporan. Kemudian dilanjutkan
dengan pemilihan meotde yang akan digunakan dalam penelitian nantinya.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode “Studi Pustaka” yang teknik
pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai
laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan (Nazir,2003).

E. Isi

Jahja Daniel Dharma atau lebih akrab dipanggil John Lie, sang perwira TNI AL berketurunan
Tionghoa pertama dalam sejarah kemiliteran Republik Indonesia yang namanya diabadikan
disalah satu KRI (Kapal Perang Republik Indonesia) yaitu, KRI John Lie 358.

Masa kecil John Lie terbilang berkecukupan karena lahir dari keluarga pemilik perusahaan
pengangkutan Vetol Lie Kay Thai. Tapi jiwa petualang menggerakkan John Lie muda merantau
ke Batavia (kini Jakarta) untuk jadi pelaut. Kursus navigasi djalaninya dengan bekerja sambilan
sebagai buruh pelabuhan, hingga akhirnya jadi kelari rendahan di Koninklijke Paketvaart
Maatschapij (KPM) atau Maspakai Pelayaran Belanda pada 1929, ketika usianya baru 18 tahun.
Hingga saat jepang masuk Indonesia 1942, John Lie masih berlayar di atas kapal uap MV Tosari
(kapal ini menjadi bagian dari armada sekutu pada PD II) pangangkut karet milik KPM. Akam
tetapi karena Pulai Jawa sudah tidak lagi dipegang Hindia Belanda, perjalanan MV Tosari
beralih ke Sri Lank dan kemudian Bombay (kini Mumbai) di India.

Di India, John Lie menimba ilmu-ilmu tentang kemiliteran di laut, seperti pengoperasian senjata,
prosedur pengapalan logistik, taktik perang laut, hingga sistem komunikasi. Ilmu-ilmu tersebut ia
pelajari hingga benar-benar menguasinya hingga kepulangannya ke Indonesia sekitar Febuari
1946 atau pasca PD II. Saat ia pulang Indonesia sudah merdeka, John Lie berniat gabung ke
laskar Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Barisan Laut. Singkat cerita, John Lie
disarankan menghadap Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana III Mas Pardi di
Yogyakarta. Berbekal surat pengantar dan referensi dari KRIS dan Menteri Mr Alexander
Andries (AA) Maramis, John Lie bisa bertemu KSAL dan sempat ditawari mau pangkat apa.
“John Lie maunya pangkat apa? Karea pengalaman Saudara banyak,” cetus Lasksamana Mas
Pardi. Dengan tegas, John Lie merespons “Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang
mau berjuang di medan laut karena hanya ini yang saya miliki, pengalaman dan pengetahuan laut
sekadarnya,”. Pertemuan singkat membuahkan pangkat yang terbilang rendah buat John Lie,
yaitu Matroos Deerde atau Kelasi III. John Lie kemudian mengajukan permohonan untuk
ditempatkan di Pelabuhan Cilacap karena menganggap pelabuhan tersebut strategis sebagai pintu
belakang Pulau Jawa. Permohonan itu dikabulkan dan setelah membenahi Pelabuhan Cilacap,
John Lie memulai petualangannya sebagai penyelundup logistik dan senjata. Mengandalkan
sebuah kapal cepat zonder tanpa senjata PPB 58LB “The Outlaw” dengan 15 anak buah, dalam
kurun waktu 1946 sampai 1949. Tugas-tugasnya sukses saat itu, seperti membersihkan pantai
dari ranjau air, menjaga keamanan Pelabuhan Cilacap, dan melatih para naviga muda. Suksesnya
tugas-tugasnya John Lie yang diberi oleh atasan membuatnya naik pangkat menjadi Mayor Laut.

Selama itu pula, John Lie tidak pernah tertangkap dan sukses menembus blokade Belanda.
Saking sulitnya disergap bagai belut oleh kapal-kapal Belanda mulai dari jenis korvet hingga
destroyer (perusak), media Inggris, BBC, sempat tebar pujian dengan menjuluki The Outlaw
sebagai “The Black Speedboat”. Wilayah operasinya dimulai dari Aceh Timur, Penang
(Malaysia), Phuket (Thailand), Rangoon (Myanmar), hingga Manila (Fillipina). Tugasnya
menyelundupkan berbagai jenis senjata, hingga bahkan pesawat angkut. Tapi tidak begitu saja
mudah dilakukan oleh John Lie dan awak-awaknya karena mereka hampir mendapat serangan
dari blokade pesawat tempur Belanda yang selisih jaraknya hanya 50 meter berlokasi di Labuan
Bilik, Sumatera, namun karena bahan bakar pesawat tersebut ingin habis, John Lie dan rekannya
tidak jadi mendapat serangan. Dengan kecerdikannya ia mampu membawa barang-barang
selundupannya dari luar Indonesia, karena dianggap vital bagi keterlanjutan perlawanan di
berbagai daerah.

Ia diprediksi sedikitnya telah melakukan lima belas kali aksi penyelundupan. Salah satunya pada
saat ia sedang mengangkut delapan belas drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap oleh perwira
Inggris lalu dibawa ke pengadilan di Singapura. Pengadilan Singapura menyatakan John Lie
tidak bersalah karena tidak melanggar hukum. Di sisi lain, John Lie adalah seorang nahkoda
yang religius, hingga media asing memberi julukan “Smuggled With Bible” atau Sang
Penyelundup dengan Injil.

John Lie baru berpisah dengan The Outlaw pada 30 September 1949. Sehari pada pelayaran
perdana dengan kapten baru, Kapten Laut Kusno, The Outlaw malah dikabarkan ditangkap
Belanda. Setelah sempat ditugaskan di Pos Hubungan Luar Negeri di Bangkok, Thailang. John
Lie dipanggil kembali ke Indonesia untuk berbagai misi militer. Seperti pemberantasan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Republik Maluku Selatan (RMS), hingga Pemerintahan
Revolusioner Republik Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta). Baru pada
Desember 1966, John Lie pensiun dengan dua bintang pangkatya (Laksamana Muda). Dia juga
mengubah namanya jadi Jahja Daniel Dharma dan baru menikah di usia 45 tahun dengan
Margaretha Dharma Angkuw. John Lie wafat pada 27 Agustus 1988.

F. Simpulan
Diskriminasi terhadap etnis Chinese yang masih sering terjadi ditengah masyarakat Indonesia
saat ini, seharusnya harus sudah mulai ditinggalkan dan dibuang jauh-jauh pemikiran seperti itu.
Karena dari kisah John Lie kita mendapat pengetahuan baru bahwa etnis Chinese banyak
berperan dalam kemerdekaan Indonesia, dalam bidang militer lebih khusus lagi pada matra
angkatan laut. Tidak ada John Lie mungkin saja Indonesia tidak akan bisa mengatasi DI/TII,
PRRI/Permesta. John Lie pernah berkata bahwa membela negara bukan berdasarkan dari mana
asalnya, siapa keturunannya, apakah orang asli atau asing, tetapi membela negara soal siapa yang
dia bela.

DAFTAR PUSTAKA

Youtube Melawan Lupa Metro TV. (2021). Melawan Lupa-John Lie Hantu Selat Malaka

Firdaus, nasional.okezone.com. (2022). John Lir ‘Hantu Selat Malaka’ Menembus Blokade
Belanda yang Menjadi Laksamana Tionghoa Pertama.

Anda mungkin juga menyukai