Matius 27: 57-60 Pada setiap ibadah minggu atau ibadah lainnya, secara berulang diikrarkan pengakuan iman yang didasarkan pada rumusan pengakuan iman rasuli. Bagian pengakuan iman itu berbunyi: “. . . Yang menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut, pada hari yang ke-3 bangkit pula dari antara orang mati . . .” Di antara kematian (jumat agung) dan kebangkitan (minggu paskah), ada momen penting yang dirumuskan melalui kalimat “turun ke dalam kerajaan maut”. Momen inilah yang dirayakan sebagai “sabtu teduh” atau sabtu sunyi. Suasana sabtu teduh hendak menuntun umat beriman untuk memasuki ruang “kontemplasi diri” yakni perenungan, dan penghayatan kembali keseluruhan hidup supaya semakin memaknai pengorbanan Yesus. Matius 27:57-60 memperlihatkan teladan kemuridan yang ditampilkan oleh Yusuf Arimatea. Dikisahkan bahwa pada waktu menjelang malam Yusuf Arimatea yang telah menjadi murid Yesus (ayt. 57), datang menghadap Pilatus untuk meminta mayat Yesus (ayt. 58). Yusuf Arimatea kemudian mengambil mayat Yesus, mengapaninya lalu menguburkan Yesus (ayt. 59-60). Siapakah Yusuf Arimatea ini? Dan di manakah para murid Yesus yang dulunya selalu bersama-sama dengan Yesus semasa hidupNya itu? Kenapa tidak seorangpun di antara mereka yang datang menghadap Pilatus untuk meminta mayat Yesus untuk dikuburkan? Terdapat 2 model kemuridan yang kembali ditampilkan oleh injil Matius; pertama, model para murid yang dulunya selalu bersama Yesus, namun pada saat penderitaan dan kematian-Nya, seakan menghilang. Kedua, model Yusuf Arimatea yang menjadi murid dan dengan berani menghadap Pilatus, meminta mayat Yesus lalu menguburkannya. Kontras antara para murid dengan Yusuf Arimatea yang juga murid Yesus dimaksudkan untuk menegaskan kembali “spiritualitas kemuridan”, tabiat, cara hidop, kalakuang sebagai seorang murid yang sejati. Kemuridan yang sejati adalah kemuridan yang berani. Kemuridan yang kabaresi, pemberani dan tidak cari jalan selamat sendiri. Kontemplasi dan perenungan diri pada sabtu sunyi, menggugah sekaligus menantang kita untuk bertanya ke dalam diri? Sudahkah kita menghidupi teladan kemuridan yang berani seperti yang ditunjukkan oleh Yusuf Arimatea. Sabtu sunyi, bukanlah sabtu sembunyi, tetapi sabtu tentang berani. Suasana sabtu sunyi menuntun umat beriman menjalani teladan kemuridan yang berani, kemuridan kabaresi. Renungan Sabtu Sunyi Jemaat GPM Wayame
Akhirnya, marilah hidup dengan tabiat murid kabaresi, seperti puisi di bawah ini:
Murid kabaresi, itu pemberani
Kabaresi bukan tentang basa-basi Kabaresi juga bukan karena jago minom sopi Beta murid kabaresi, karena beta tahu diri, Hormati orang tatua yang sudah s’tengah mati Karja voor hidup, biar deng kurang sana sini Beta murid kabaresi Hargai Yesus yang sudah rela mati Jadi murid yang setia, iko Yesus sampe mati