Anda di halaman 1dari 2

SABTU SUNYI: Apa Yang ‘Kan Ku Lakukan Dalam Sunyi, ya Tuhan?

Mazmur 31:1-4, 15-16 dan Matius 27:57-66

Di laboratorium Orfield, Minnesota, Amerika Serikat terdapat sebuah ruangan yang dinobatkan sebagai
tempat terhening di muka bumi. Ruangan ini merupakan salah satu bentuk eskperimen yang dengan
sengaja dirancang hingga mampu meredam noise atau kebisingan hingga -9.4 dBA (desible). Saking
heningnya kondisi di dalam ruang ini, Steven Orfield, sang penemu ruangan mengklaim bahwa manusia
hanya mampu bertahan tidak lebih dari 45 menit. Beberapa subjek penelitian diminta untuk duduk di
tengah ruangan tersebut dalam kondisi gelap, setelah beberapa menit dan berusaha berdiri ternyata
mereka mengalami disorientasi keseimbangan. Hal ini diakibatkan ketiadaan otak untuk mengatur
keseimbangan di tengah ruangan akibat ketiadaan frekuensi suara yang ditangkap oleh telinga. Saking
heningnya ruangan tersebut, manusia pun dapat mendengar suara detak jantung dan paru-paru yang
bekerja. Itulah mengapa Orfield berpendapat bahwa, “di dalam ruangan sunyi ini, kamulah yang menjadi
sumber suara”.

Kesunyian pada titik tertentu dapat menjadi kesempatan bagi seorang manusia untuk mencari,
mendalami, memahami dan memaknai diri serta kehidupannya. Di dalam kesunyian, manusia memiliki
ruang untuk melakukan semua itu tanpa adanya gangguan dari luar. Namun, kesunyian juga dapat
berubah menjadi sebuah pengalaman yang menakutkan karena di dalamnya manusia telah terasing dari
segala hal yang biasa ada di sekitarnya. Kesunyian ini pula yang muncul dalam kehidupan para murid
pasca kematian Yesus di kayu salib. Setelah beberapa tahun terakhir mereka hidup bersama Yesus, kini
para murid harus mengalami keterpisahan yang menuntut mereka untuk hidup dalam keterasingan dari
sang Guru.

Di tengah kekosongan dan kegamangan yang dialami para murid Yesus, injil Matius menampilkan satu
peran yang sama sekali baru dalam narasi Yesus. Sejak awal namanya tidak pernah muncul,
kehadirannya pun tidak secara eksplisit ditampilkan oleh Injil ini. Justru, pada bagian akhir, tepatnya
setelah Yesus mengalami kematianlah kehadirannya menjadi nyata. Ia adalah Yusuf dari Arimatea.
Identitasnya cukup jelas ditunjukkan oleh penulis injil Matius, bahwa ia adalah salah seorang murid
Yesus dengan harta yang cukup banyak. Bahkan, dapat disimpulkan bahwa ia bukanlah seorang yang
biasa-biasa saja. Paling tidak Yusuf, orang Arimatea ini memiliki pengaruh secara politis atau cukup
dipandang di kalangan pemimpin wilayah. Injil Markus jauh lebih eksplisit memperkenalkan sosoknya,
bahwa Yusuf, orang Arimate adalah salah seorang anggota Majelis Besar yang terkemuka. Itulah yang
membuat ia memiliki akses dan berani menghadap Pilatus untuk meminta jasad Yesus sehingga ia dapat
melakukan penguburan yang layak. Yusuf ini jugalah yang mempersiapkan kubur baru dan kain lenan
baru yang putih bersih. Bagi Yusuf, tubuh sang Guru yang sudah kaku itu tetap berharga dan layak untuk
dijaga.

Iman dan cinta yang dimiliki Yusuf kepada sang Guru tidak ikut mati di tengah kesunyian kematian Yesus.
Semua tindakan Yusuf sudah cukup membuktikan hal tersebut. Hal serupa juga muncul dalam diri para
murid perempuan Yesus, yakni Maria Magdalena dan Maria yang lain. Kondisi kedua perempuan itu
mungkin lebih ironis, mereka hanya dapat memandang tubuh yang tergantung itu meski mereka ingin
melakukan sesuatu yang lebih sebagai bentuk cinta kepada sang Guru. Namun, syukurlah kehadiran
Yusuf, orang Arimatea dapat menjadi jalan bagi terciptanya pendalaman spiritualitas para murid yang
tetap mempertahankan iman di tengah kesunyian kematian Yesus.

Ketiga murid ini tetap berusaha mengarahkan hati dan pikirannya kepada Yesus Kristus di tengah
kesunyian yang begitu besar. Mereka tidak dapat lagi mendengar seruan dan pengajaran sang Guru.
Mereka sudah tidak dapat lagi mendengar teguran atas kesalahan atau kekeliruan yang mereka buat.
Mereka sudah tidak dapat lagi mendengar pernyataan Yesus yang meneduhkan hati yang panas. Namun,
di dalam kehampaan dari suara Yesus tersebut, mereka tidak membiarkan diri terhanyut dalam
disorientiasi (keadaan di mana seseorang mulai kehilangan jati dirinya/tidak mengenali dirinya sendiri).
Mereka tidak ingin kehilangan suara Yesus yang selama ini mereka dengar. Mereka tidak ingin
membiarkan imannya tersesat di tengah kematian sang Guru. Justru, mereka berupaya maksimal untuk
menghidupkan kembali suara Yesus, tidak lagi secara fisik melainkan meluap dari hati mereka, dari
dalam diri mereka sendiri.

Kematian Yesus dan keheningan dari suara-Nya ternyata tidak melenyapkan pengharapan dari para
murid. Kondisi iman inilah yang menjadi sebuah pembelajaran penting bagi setiap umat Kristen yang
sedang menjalani Sabtu Sunyi, sebuah hari dimana kita secara liturgis mengalami waktu keheningan
dalam masa 3 hari kematian Yesus Kristus. Namun, itu tidak berarti iman ini ikut mati atau tertidur untuk
sementara. Justru, pada hari inilah kita kembali diajak untuk membangkitkan suara iman, suara Yesus,
segala pengajaran dan kebenaran firman TUHAN untuk meluap dan berbunyi dari dalam ke luar diri kita
masing-masing. AMIN.

Anda mungkin juga menyukai