Anda di halaman 1dari 5

Bahan Khotbah Sabtu Sunyi Sabtu, 8 April 2023

MENARUH HARAP DALAM HARI PERGUMULAN


Ma’rannuan lan allo kamara’tasan
Bacaan Mazmur : Mazmur 31:1-16
Bacaan 1 : Ayub 14:1-15 (BU)
Bacaan 2 : 1 Petrus 4:1-8
Bacaan 3 : Matius 27:57-66
Nas Persembahan : Mazmur 31:8
Petunjuk Hidup Baru : 1 Petrus 4:1, 2

Tujuan
1. Jemaat memahami hanya Tuhanlah sumber pertolongan dalam segala pergumulan.
2. Jemaat senantiasa mempercayakan hidup kepada Tuhan.
Sidang jemaat yang dikasihi Tuhan…
Perayaan Sabtu Sunyi merupakan hal baru bagi sebagian orang, Masih banyak orang
merasa heran, jika Ibadah Sabtu sunyi yang tidak lepas dari peristiwa penderitaan, dan
khususnya kematian, kita rayakan dan maknai, seperti yang kita lakukan saat ini. Karena bagi
banyak orang, peristiwa penderitaan dan kematian adalah menjadi peristiwa yang paling kita
takutkan dan kalau perlu kita hindari dalam hidup ini.

Perayaan Sabtu Sunyi ini akan membawa kita pada kesadaran tentang apa arti
kematian dalam hidup kita dan bagaimana kematian itu dimaknai secara baru, sehingga kita
tetp dapat menikmti kehidupan meskipun berhdapan dengan penderitaan dan maut sekalipun

Itulah yang ingin Tuhan kita tahu melalui firmanNya hari ini di dalam Ayub 14:1-15.
Tema khotbah hari ini berbicara tentang: ‘….. Jika demikian halnya, apakah hidup manusia
ini sia2 saja? Toh…pasti kita akan mati juga kan? Ataukah ‘kalau kematian bukti ketidak
berdayaan manusia, apakah itu berarti memang manusia tidak bisa berbuat banyak untuk
hidupnya dlam menghdapi kematian? Toh kematian membuat dia tidak berdaya? Karena itu,
marilah kita mendengr apa yang Tuhan katakan tentang kematian melalui firman-Nya hari
ini.

Jemaat yang baik hatinya…

Secara keseluruhan, kitab Ayub ini mengungkapkan pergumulan teologis tentang


penderitaan. Di dalam kacamata pemikiran teologis Israel pada umumnya, khususnya yang
diwarnai pemikiran Deutronomis. Aliran ini, memandang penderitaan itu sebagai akibat dosa
manusia. Dan pemikiran itu juga banyak hidup di kalangan jemaat. Banyak orang menjudge
orang yang mengalami penderitaan mungkin karena kena musibah atau sakit atau hal yang
menydihkan itu dikaitkan langsung dengan dosa orang tersebut. Akan tetapi, penulis kitab

1
Ayub ini, melihat bahwa penderitaan itu tidak selalu bisa dikaitkan dengan dosa manusia.
Artinya, tidak selamanya penderitaan seseorang itu karena dosanya. Sebab banyak contoh
penderitaan yang dialami oleh manusia, namun bukan karena ia berbuat dosa, Yesus
contohnya. Paulus contohnya. Stefanus contohnya. Ahok contohnya. Dlsbg. Dirumah sakit
juga tidak tertulis, yang sakit kanker, yang sakit tumor, hanyalah orang berdosa: penjudi,
pemabuk, pezinah, dlsbg. Toh banyak juga orang yang baik, yang beriman menderita karena
sakit. Karena itu, bagi penulis kitab Ayub, penderitaan itu adalah kenyataan yang pasti terjadi
dalam hidup manusia, sama seperti kematian yang selalu mengakhiri perjalanan hidup
manusia.
Jemaat yang baik hatinya…

Jika kita memperhatikan isi dari pasal 14:1-14, maka kita akan menemukan kesan
bahwa Ayub ingin mengatakan kalau kematian itu harus kita pandang sebagai kenyataan
yang membatasi hidup manusia. Dan karena itu, harapan manusia yang hidup di dunia yang
terbatas ini adalah menikmati kehidupannya.

Pertanyaan kritisnya adalah: mengapa di dalam pasal 14 ini, ‘Ayub membahas tentang
kematian dan harapan manusia di tengah kehidupan yang terbatas ini’? Apakah yang
sebenarnya Ayub alami sampai ia berkta seperti ini? Maka untuk memahami maksud Ayub di
Pasal 14 ini, itu hanya dimungkinkan jika kita kembali ke belakang, menengok perdebatan
antara Ayub dan sahabatnya yang bernama Zofar.

Saudara…Zofar ini berasal dari kota Naam, di lereng Barat Gunung Lebanon antara
Beirut dan Damsyik. Dalam penderitaan sahabatnya yang bernama Ayub, Zofar begitu yakin,
kalau penderitaan Ayub itu diakibatkan karena dosanya. Karena itu, Zofar memberi saran
supaya Ayub mengakui dosanya dan meminta pengampunan Tuhan. Tapi Ayub menolak
saran itu, sebab memang Ayub merasa tidak berdosa. Dan memang ALkitab sendiri memberi
kesaksian, bahwa Ayub adalah orang yang jujur dan saleh. Dia adalah orang yang takut akan
Allah. Dan bukan itu saja, Ayub menjauhi kejahatan. (1:1).

Tapi atas sikap Ayub ini, justru oleh Zofar, Ayub malah dipandang sebagai orang
yang sombong, yang tidak mau mengakui bahwa penderitaannya itu karena akibat dari
dosanya. Dalam tekanan penilaian sahabat-sahabatnya itu, Ayub mengharapkan Tuhan hadir
sebagai hakim bagi dirinya. Untuk memutuskan apakah Ayub salah ataukah sahabat-
sahabatnya yang benar. Ayub sepertinya putus harapan, sebab Allah tak kunjung juga
memberikan respon jawaban untuk membela perkara Ayub (bnd. 13:13-28). Dan dalam putus

2
harapannya, sebab Allah tak kunjung datang, kini bagi Ayub di dalam penderitannya itu, kini
hanya tinggal kematian yang ada di depannya. Dan Ayub merenungkan hal itu.

Perhatikan perktaan-perkataan Ayub di ayat 1-6. Sebuah pernyataan-pernyataan yang


putus harapan. Ayub putus harapan bukan karena Tuhan tidak menolongnya atau
menyembuhkannya. No! Melainkan, Ayub putus harapan karena ternyata sampai saat itu
Tuhan tidak juga datang membela perkara Ayub, membenarkan Ayub dan mempersalahkan
sahabt-sahabat Ayub yang menuduh bahwa Ayub menderita karena Ayub berdosa. Pernytaan
Ayub di ayat 1-6 ini seolah-olah mau mengatakan: bahwa tidak ada artinya jika Tuhan
membenarkan sesudah Ayub mati. Tidak ada gunanya. Karena bagi Ayub, pembenaran
setelah kematian tidak memberi makna apa-apa bagi kehidupan manusia. Nakana orang
Makssar, apa poeng kalau mati maki. Tidak ada gunanya.

Ayub berkata begitu, karena bukankah yang diharapkan manusia adalah menikmati
kehidupan di dunia yang terbatas ini, termasuk di dalmnya bersih dari tuduhan dosa yang
menyesakkan, yang tidak pernah diperbuatnya? Dan saya berfikir, dalam kerangka berfikir
inilah, hingga Ahok dan kuasa hukumnya mencoba melakukan PK (Peninjauan Kembali) atas
putusan Pengadilan yang menimpa kasusnya. Walau usaha Ahok kali ini juga gagal.

Apakah itu berarti Ayub bukanlah orang berdosa? Bukan begitu pemahamannya. Tapi
sekali lagi, Ayub mau mengcounter (melawan/menangkal) pandangan para sahabtnya, yang
menyatakan penderitaan Ayub itu disebabkan karena Ayub melakukan suatu perbuatan dosa
tertentu, sehingga akibatnya Tuhan menghukum dia. Padahal bagi Ayub, ia merasa tidak
pernah berbuat sesuatu. Kalaupun ada, jauh sebelumnya Ayub senantiasa (tanpa henti)
mempersembahkan korban bakaran karena pikirnya jangan-jangan ada dosa yang dibuat, baik
oleh anak-anaknya dan tentu dirinya (1:5).

Jadi, Ayub menderita, iya. Karena itu Ayub ingin tahu apa sebabnya ia menderita.
Dan dia menolak dengan tegas jawaban dari teman-temannya yang menuduh bahwa
penderitaan Ayub itu karena akibat kesalahan tertentu yang dia buat. Memang bagi Ayub,
tidak ada manusia yang tidak berdosa, namun bagi Ayub, pendertiaanya kali ini, bukan
karena dosa tetentu, atau karena kesalahan tertentu yang Ayub buat. Sebab memang Ayub
‘senantiasa menghindari kejahatan’ dan berusaha membuat yang benar dan adil bahkan
hormat kepada Allah (1:1).

Jika begitu; apa jawaban Ayub dalam pergumulan penderitaannya? Atau dengan kata
lain, jika Ayub menolak bahwa penderitaannya itu bukan karena keslahan atau perbuatan

3
dosa tertentu, lalu apa yang menyebabkan Ayub harus menderita begitu berat dalam hidup
ini?
Jawaban Ayub baru dapat kita lihat pada ayat selanjutnya: pada ayat 15-22. Disitu,
bagi Ayub, kalau Ayub menderita, itu karena Tuhan mengizinkan hal itu terjadi. Tapi, jika
ditanya mengapa Allah mengizinkannya? Bagi Ayub, ia sendiri tidak tahu, apa alasan Tuhan
mengizinkan hal itu. Namun Ayub meminta Tuhan membela perkaranya, sehingga Ayub
dapat menikmati kembali kehidupannya. Bebas dari tuduhan yang bukan-bukan dari orang-
orang, termasuk dari sahabat-sahabatnya sendiri.

APLIKASI : (mainkan musik ma’marakka- deangan alunan music yang lembut.


Atau mainkan instrumen)
Jemaat kekasih Tuhan….
Apa yang Ayub alami, bisa saja kita alami. Dalam perenungan Sabtu sunyi ini, ketika
jenazah Yesus telah dimasukkan ke dalam liang kubur, kita diajak kembali merenungkan
gambaran/situasi kematian: disitu ada sunyi-sepi, hampa, gelap, dan tak bertepi. Bukankah
dalam hidup ini, kita juga sering merasakan kesendirian. Bukankah dalam hidup ini, kita juga
kadang merasa bahwa hidup yang kita jalani ini terasa hampa dan kegelapan karena
ditinggalkan oleh orang-orang yang kita kasihi. Bahkan kadang dalam hidup ini, kita
mungkin pernah merasa dipojokkan oleh tuduhan-tuduhan yang menyesakkan, dimana
tuduhan-tuduhan itu tidaklah benar! Kita dipojokkan sebagai orang tua yang tidak tahu
mendidik anak. Kita dipojokkan sebagai orang tua yang tidak perduli dengan anaknya. Kita
dipojokkan dengan tuduhan sebagai anak yang tidak tahu balas budi. Kita dipojokkan dengan
tuduhan sebagai menantu yang tidak sayang pada mertua. Kita dipojokkan dengan tuduhan-
tuduhan yang tidak serius pada tugas pekerjaan dikantor. Kita dipojokkan dengan tuduhan,
bahwa saudara selalu cari-cari muka kepada atasan. Kita dipojokkan dengan tuduhan sebagai
orang yang sok suci, sok alim. Kita dipojokkan dengan tuduhan sebagai orang yang sering
abai dan tidak serius pada pelayanan. Kita dipojokkan dengan tuduhan-tuduhan bahwa kita
adalah suami atau isteri yg kurang peka dengan kebutuhan keluarga, dengan kebutuha
pasangan kita. Kita dipojokkan dengan tuduhan tidak perhatian dengan kehidupan keluarga.
Kita dipojokkan dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan hati, yang begitu menyayat hati
dan sering mmbuat kita memendam amarah dan menarik nafas panjang menahan emosi.
Semua tuduhan-tuduhan itu...mungkin membuat saudara harus menangis terseduh-seduh di
pojok kamar mu….di salah satu sudut tempat didurmu, dalam kegelapan, saudara bersoa
sambil berseru…Tuhan….mengapa mereka begitu kejam pada diriku….! Mungkin….!!!

4
Saudara…ketika engkau merasa sendiri menjalani gelapnya hidupmu. Penderitaan
hidupmu. Pergumulan hidupmu. Ingatlah…bahwa Ayub pun pernah mengalami hal yang
sama seperti yang engkau rasakan. Yesuspun pernah mengalami bergumul dalam kesendirian.
Dituduh yang bukan-bukan. Menanggung beratnya hidup seorang diri. Sejak Yesus diadili,
memikul salib, hingga menghembuskan nafas terakhir-Nya, Yesus bergumul seorng diri. Ia
mati; mati terpentang di atas kayu salib dalam kesendirian-Nya. Ia masuk dalam kesunyian,
kegelapan dan kehampan yang tak bertepi. Semuanya pergi. Ia sendiri. Orang-orang yang
pernah mengelu-elukannya justru turut juga menuduhnya yang bukan-bukan. Menyakitkan.

Namun dalam kesendirian menggumuli pendertiaan dan beratnya beban hidup itu,
Ayub hanya pasrah-berserah dengan penuh iman, mengharapkan Tuhan membela perkara-
nya. Dalam kesendirian-Nya di kayu salib Yesus berseru: ‘Eloi, Eloi lama sabakhtani?’ yang
artinya: Allah-Ku-Allah-Ku mengapa Engkau meningglkan Aku? (Mrk. 15:34). Yang berarti
janganlah Allah lagi menghukum manusia! Janganlah lagi Allah meninggalkan manusia
karena dosa. Sebab semuanya telah Yesus bayar di kayu salib. Biarlah amarah penghukuman
Tuhan yang menyala-nyala, oleh derita Yesus disalib dan oleh kamatiannya tergantikan
dengan kasih Allah yang memberikan kehidupan. Dalam pendertiaan-Nya, kita belajar dan
melihat Yesus pun tetap berseru kepada Allah dan mengingt akan kasih Allah bagi manusia.

Jangan menyerah, walau engkau merasa menjalaninya seorng diri. Jangan menyerah.
Teruslah berharap hanya pada Yesus Tuhanmu, walau engkau sendiri sampai hari ini,
mungkin merasa tidak mengerti, tidak memahami mengapa engkau harus mengalami
penderitaan yang berat seperti itu dalam hidupmu. Tetaplah berharap pada Tuhan. Doaku…
dalam harap yang besar kepada Tuhan, kelak… Tuhan akan berkata: mari anak-Ku, engkau
sudah begitu lelah menjalani hidup ini dan engkau tetap setia… masuklah…dan duduklah
makan bersama-Ku. (Bnd. Why. 3:20). Semoga penghayatan Sabtu-Sunyi ini membuahkan
iman yang baik bagi hidup kita. Kini dan selamanya. Kiranya Tuhan menyertai kita. -Amin- .

Anda mungkin juga menyukai