Anda di halaman 1dari 200

KOMPOSISI ETNISITAS BIROKRASI PEMERINTAHAN DAN


DAMPAK ETNISITAS TERHADAP AKSES PELAYANAN
PUBLIK DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
KETAHANAN WILAYAH
(Studi Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat)

Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi Ketahanan Nasional

Diajukan oleh:
FERINANDUS LEONARDO SNANFI
11/322017/PMU/06972

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

 
 
iii 
 

Kupersembahkan Kepada:

Bapa Allah di dalam anaknya Jesus Kristus sang pencipta yang telah

memberikan nafas hidup, hikmat, pengetahuan serta kasih karunia-Nya dan damai

sejahtera sepanjang hidupku

dan

Kedua orang tua peneliti tercinta yang susah payah telah membiayai dan berdoa
untuk kelancaran studi, keberhasilanku di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Bapakku tercinta Hermanus Snanfi dan Mamaku tercinta Marlina Thesia.

Motto

“Berdoa Dan Meminta Kepada Bapa Jesus Kristus Di Dalam Surga Pada
Waktu Orang Lain Sedang Tidur Nyenyak Di Waktu Malam ”
(Yogyakarta 25 September 2013, Jam 20; 56 WIB).

“ Kenapa Kalo Susah Harus Di Gampangkan..? Dan Kenapa Kalo Gampang


Harus Di Susahkan..? ” (Yogyakarta 1 Oktober 2013, Jam 21; 49 WIB)

“Jikalau Kamu Tinggal Di Dalam Aku Dan Firmanku Tinggal Di Dalam Kamu,
Mintalah Apa Saja Yang Kamu Kehendaki, Dan Kamu Akan Menerimanya “

(Johanes 15:7).

iii
 
 
iv 
 

PRAKATA

Segala puji hormat dan ucapan syukur peneliti panjatkan kehadirat Bapa Yesus

Kristus Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, berkat dan anugerah-Nya,

sehingga terselesaikannya Tesis dengan judul “Komposisi Etnisitas Birokrasi

Pemerintahan Dan Dampak Etnisitas Terhadap Akses Pelayanan Publik Dalam

Implementasi Otonomi Khusus Serta Implikasinya Terhadap Ketahanan

Wilayah (Studi Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, Provinsi Papua

Barat)”. Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan

studi, di Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Dalam kesempatan ini, peneliti menyampaikan penghargaan dan ucapan terima

kasih atas segenap dukungan kepada semua pihak yang telah membantu, baik selama

proses studi maupun proses penyusunan Tesis ini. Untuk itu, peneliti merasa perlu

untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

2. Bapak Dr. Armaidy Armawi, M.Si. Selaku Pengelola Program Studi Ketahanan

Nasional Universitas Gadjah Mada.

3. Bapak Prof. Dr. Kasto, MA. Selaku Dosen Pengajar Di Prodi Tannas Dan Tim

Penguji Tesis.

4. Bapak Dr. Agus Pramusinto, MDA. Selaku dosen Pembimbing Utama yang

dengan ketulusan dan kesabarannya bersedia membimbing dari proposal sampai

Tesis. Di samping itu suatu hal yang amat berkesan dan membanggakan adalah

iv 
 
 

 

kapasitas beliau yang tidak hanya sekedar sebagai pembimbing proposal sampai

Tesis melainkan juga memotivasi peneliti untuk selalu maju berprestasi.

5. Bapak Drs. Ahmad Zubaidi, M.Si. Selaku dosen pembimbing pendamping yang

dengan keilmuan, kesabaran dan kesibukan beliau masih berkenan memberikan

saran, bimbingan proposal samapai Tesis dan dorongan kepada peneliti untuk

menyelesaikan Tesis ini.

6. Kakak-Kakakku: Apolos Thesia, SE, Frengki Thesia TNI AD, Benny B. Snanfi,

Andolita A. Snanfi, S.IP, Alm Novita Nelece Snanfi D-III Keperawatan.

7. Buat Ade-Adeku: Alfaro Salmon Snanfi, Stelnly Alexandro Snanfi, Marlina

Thesia dan Novita Nelece Vince Snanfi.

8. Buat Semua Keluarga Besar Snanfi yang telah membantu baik berupa doa,

motivasi, maupun bantuan finasial.

9. Buat Semua Keluarga Besar Thesia yang telah membantu baik berupa doa,

motivasi, maupun bantuan finasial.

10. Sahabat peneliti: Kakak Demianus Snanfi, Kakak Sem Kocu, Kakak Imanuel

Jitmau, Kakak Natalsen Basna, Kakak Alfrida Yamanop, Kakak Susan Salosa,

Gerson Duwith, Rendy Jitmau, Emon Salamuk, Riano Rumbiak your are my best

friends, terima kasih banyak buat kebersamaan dan kekompakannya selama ini.

Peneliti menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan Tesis

ini, semoga kritik dan saran dari semua pihak dapat lebih menyempurnakan penulisan

untuk penelitian berikutnya.

 
 
vi 
 

Akhirnya peneliti berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak yang memerlukannya.

Yogyakarta, 2 Desember 2013


Peneliti

Ferinandus L. Snanfi

   

 
 
vii 
 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………… ii
HALAMAN PERYATAAN.............................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………… iv
PRAKATA…………………………………………………………………….. v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………... viii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xii
DAFTAR GAMBAR/ BAGAN……………………………………………… xv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xvi
INTISARI……………………………………………………………………… xvii
ABSTRACT…………………………………………………………………… xviii
BAB I. PENGANTAR…………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………….. 1
1.2 Permasalahan Penelitian…………………………..………….. 5
1.3 Keaslian Penelitian……………………………..…………….. 6
1.4 Tujuan Penelitian……………………………..………………. 7
1.5 Manfaat Penelitian……………………………..…………….. 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI………… 9
2.1 Tinjauan Pustaka…………………………………...…………. 9
2.2 Landasan Teori………………………………...……………… 14
2.2.1 Komposisi………………………………………………. 14
2.2.2 Etnisitas………………………….……………………… 14
2.2.3 Birokrasi Pemerintahan ……………………...………… 17
2.2.4 Dampak……………….………………………………… 19
2.2.5 Akses Pelayanan Publik………………………………… 20
2.2.6 Desentralisasi Dan Otonomi Daerah.…………………… 24

    vii 
 
 
viii 
 

2.2.7 Desentralisasi Asimetris Otonomi Khusus Papua.……… 28


2.2.8 Ketahanan Wilayah……………………………………... 32
2.3 Kerangka Pemikiran ……………………..…………………… 37
BAB III. METODE PENELITIAN………………………………………. 39
3.1 Jenis Penelitian………………………………………………... 39
3.2 Lokasi Penelitian…………………………………………….... 40
3.3 Definisi Operasional………………………………………….. 41
3.4 Teknik Pengumpulan Sampel.………………………………… 44
3.5 Sumber Dan Jenis Data.………………………………………. 45
3.6 Teknik Pengumpulan Data.…………………………………… 46
3.7 Teknik Analisis Data…………………………………………. 48
BAB IV. GAMBARAN UMUM KOTA SORONG…………………….. 51
4.1 Sejarah Perkembangan Kota Sorong…………………………. 51
4.2 Kondisi Geografis…………………………………………….. 57
4.3 Kondisi Demografis/ Sektor Kependudukan………………… 64
4.4 Objek Wisata Daerah Yang Belum Dimanfaatkan …………… 67
4.5 Sektor Pendidikan, Sektor Agama, Sektor Kesehatan……….. 69
BAB V. KOMPOSISI ETNISITAS TERHADAP PEMBAGIAN KERJA
DALAM BIROKRASI PEMERINTAHAN KOTA SORONG. 81
5.1 Komposisi Penduduk Menurut Etnis-Etnis Di Kota Sorong…. 81
5.2 Deskripsi Komposisi Etnis Dalam Internal Birokrasi Pemerintahan
Kota Sorong………………………………………………... 83
5.2.1.Struktur Organisasi Pemerintah Kota Sorong Provinsi Papua
Barat………………………………………………... 84
5.2.2 Etnis Pejabat Struktural Pemerintah Kota Sorong……. 85
5.2.3 Sekretariat Daerah Kota Sorong………………………. 86
5.2.4 Sekretariat DPRD Kota Sorong………………………. 88
5.3 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Besar……………… 90

 
 
ix 
 

5.3.1 Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Sorong……… 90


5.3.2 Dinas Pekerjaan Umum Kota Sorong………………… 91
5.3.3 Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kota
Sorong………………………………………………. 92
5.3.4 Dinas Sosial Kota Sorong…………………………….. 94
5.3.5 BAPPEDA Kota Sorong…………………………….. 95
5.4 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kecil……………….. 97
5.4.1 Badan Kesbangpol Dan Linmas Kota Sorong……….... 97
5.4.2Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota
Sorong………………………………………………. 98
5.4.3 Dinas Kebersihan Kota Sorong……………………….. 100
5.4.4 Dinas Tenaga Kerja Kota Sorong…………………….. 101
5.4.5 Dinas Kesehatan Kota Sorong………………………... 102
5.4.6 Badan Lingkungan Hidup Kota Sorong……………… 103
5.4.7 Distrik Sorong………………………………………… 104
5.4.8 Distrik Sorong Timur…………………………………. 105
5.4.9 Distrik Sorong Barat………………………………….. 107
5.5 Analisis Terhadap Etnis Penguasa Dan Etnis Non Penguasa Di
Internal Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong……………. 111
5.5.1 Komposisi Etnis Dalam Pembagian Kerja Di Internal
Birokrasi Pemerintah Kota Sorong dalam Implementasi
Otonomi Khusus………………………………….… 111
5.5.2 Relasi Di Internal Birokrasi Pemerintahan Antara
Kelompok Etnis Penguasa Dan KelompokEtnis Non
Penguasa……………………………………………. 121

 
 

 

BAB VI. DAMPAK ETNISITAS TERHADAP AKSES PELAYANAN PUBLIK


DI KOTA SORONG……………………………………………… 129
6.1 Akses Pelayanan Publik Di Kota Sorong Dalam Implementasi Otonomi
Khusus……………………………………………………… 129
6.2 Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah……………………. 144
6.2.1 Aspek Ideologi.…………………………………………… 146
6.2.2 Aspek Politik…...………………………………….……… 149
6.2.3 Aspek Ekonomi…...……………………………….……… 151
6.2.4 Aspek Sosial Budaya…..…………………………………. 153
6.2.5 Aspek Pertahanan Dan Keamanan…...…………………… 155
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN...……………….……………… 159
7.1 Kesimpulan…………………………………………………… 159
7.2 Saran………………………………………………………….. 161
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 163
LAMPIRAN

 
 
 
xi 
 

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sejarah Kepemimpinan Kota Sorong…………………………….. 53


Tabel 2. Luas Wilayah Kota Sorong Berdasarkan Luas Distrik dan
Kelurahan.………………………………………………………… 58
Tabel 3. Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) Kota
Sorong Tahun 2013……………………………………………….. 62
Tabel 4. Penduduk Menurut Jenis Kelamin Distrik dan Sex Ratio
Tahun 2010……………………………………………………….. 65
Tabel 5. Kepadatan Penduduk per Km2 di Kota Sorong Tahun 2013…….. 66
Tabel 6. Jumlah sekolah setiap distrik tahun 2013.………………………… 70
Tabel 7. Jumlah SD, Guru, Murid dan Ratio Murid menurut Distrik Tahun
2013………………………………………………………………. 71
Tabel 8. Jumlah SLTP, Guru dan Ratio Murid Menurut Distrik Tahun 2013. 72
Tabel 9. Jumlah SLTA, Guru dan Ratio Murid Menurut Distrik Tahun 2013. 73
Tabel 10. Jumlah pemeluk Agama Menurut Gologan Agama dan Distrik Tahun
2013………………………………………………………………. 74
Tabel 11. Jumlah Tempat Peribadatan Menurut Distrik Tahun 2013……….. 75
Tabel 12. Jumlah Rumah sakit Pemerintah dan Swasta Menurut Kapasitas, Tempat
Tidur dan Distrik Tahun 2013……………………………………. 76
Tabel 13. Jumlah Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Balai Pengobatan
Menurut Distrik Tahun 2013……………………………………… 77
Tabel 14. Jumlah Puskesmas Keliling Menurut Distrik Tahun 2013……….. 78
Tabel 15. Jumlah Dokter Menurut Distrik Tahun 2013……………………... 78
Tabel 16. Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Distrik Tahun 2013..……….. 79
Tabel 17. Komposisi Peduduk Menurut Etnis-Etnis Di Kota Sorong.……… 81
Tabel 18. Etnis Pejabat Struktural Pemerintah Kota Sorong 2013………….. 85

    xi 
 
 
xii 
 

Tabel 19. Komposisi Pejabat Menurut Esalon, Golongan/ Ruang, Etnis di


Sekretariat Daerah Kota Sorong Tahun 2013…………………….. 86
Tabel 20. Komposisi Pejabat Menurut Etnis di Sekretariat DPRD Kota Sorong
Tahun 2013.…………..................................................................... 89
Tabel 21. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Pendidikan Dan Pengajaran
Kota Sorong……………………..................................................... 90
Tabel 22. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Pekerjaan Umum Kota
Sorong..…………………………………………………………… 91
Tabel 23. Komposisi Pejabat Menurut Etnis di Dinas Pengelolaan Keuangan Dan
Asset Daerah Kota Sorong……………………………………….. 93
Tabel 24. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Sosial Kota Sorong Tahun
2013..……………………………………………………………... 94
Tabel 25. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di BAPPEDA Kota Sorong…. 96
Tabel 26. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Badan Kesbangpol Dan Linmas
Kota Sorong……………................................................................. 97
Tabel 27. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Kependudukan Dan
Pencatatan Sipil Kota Sorong…………………………………….. 99
Tabel 28. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Kebersihan Kota Sorong
Tahun 2013……………………………………………………….. 100
Tabel 29. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Tenaga Kerja Kota Sorong
Tahun 2013……………………………………………………….. 101
Tabel 30. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Kesehatan Sorong….. 102
Tabel 31. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Badan Lingkungan Hidup Kota
Sorong…………………………………………………………….. 103
Tabel 32. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Distrik Sorong Kota Sorong Tahun
2013………………………………………………………………. 104
Tabel 33. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Distrik Sorong Timur Kota Sorong
Tahun 2013……………………………………………………….. 106

 
 
xiii 
 

Tabel 34. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Distrik Sorong Barat……… 107

Tabel 35. Koposisi Jabatan Menurut Etnis Di Internal Birokrasi Pemerintahan Kota
Sorong…………………………………………………………….. 110

 
 
xiv 
 

DAFTAR GAMBAR/ BAGAN

Gambar/ Bagan 1. Model Kerangka Pemikiran oleh Peneliti............................... 37


Gambar/ Bagan 2. Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif dari
M.B.Milles dan A.M.Huberman yang sudah mengalami perubahan…… 46
Gambar/ Bagan 3. Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Sorong Provinsi Papua
Barat……………………………………………………………………. 83

xiv 
 
 
xv 
 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Permohonan Ijin Penelitian Dari Sekolah Pascasarjana Universitas


Gadjah Mada……………………………………………………... 1
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian dari Pemerintah Kota Sorong………………... 2
Lampiran 3 Peta Lokasi Penelitian……………………………………………… 3
Lampiran 4 Pedoman Wawancara Penelitian…………………………………… 5
Lampiran 5 Foto/ Dokumentasi Penelitian……………………………………… 7

xv

 
 
xvi 
 

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) bagaimana komposisi


etnisitas di birokrasi pemerintahan Kota Sorong, dan (2) bagaimana dampak etnisitas
terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus (3) serta
implikasinya terhadap ketahanan wilayah di Pemerintah Kota Sorong.
Dalam penelitian digunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan
studi di birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat. Untuk
mengumpulkan data dan fakta tersebut digunakan dengan teknik observasi,
wawancara mendalam dan data sekunder.
Dominasi yang dilakukan oleh etnis/suku Ayamaru menciptakan diskriminasi
dalam birokrasi dan pelayanan publik di Pemerintahan Kota Sorong. Dominasi yang
dimaksud adalah mayoritas jumlah anggota etnis Ayamaru yang hampir ada di setiap
SKPD dibanding etnis lain. Hal ini terbukti dalam struktur organisasi di setiap SKPD
pejabat-pejabat yang menduduki posisi strategis berasal dari etnis Ayamaru. Memang
hal ini tidak mengakibatkan konflik yang berarti, namun cukup menjadi keresahan
terutama bagi suku asli Kota Sorong lainya, karena keterwakilan kelompoknya dalam
pemerintahan cukup terbatas sehingga kepentingan mereka kurang mampu
terakomodir, secara tidak langsung hal ini tentu akan berpengaruh terhadap ketahanan
wilayah.
Secara umum pemerintahan Kota Sorong, konflik yang timbul hanya sekedar
konflik ringan. Konflik yang ada di Sorong cukup bisa dikendalikan dibandingkan
beberapa wilayah lain di Provinsi Papua Barat. Namun jika dominasi etnis tetap
bertahan, bisa saja kedepannya mampu menciptakan konflik yang lebih besar serta
menjadi bom waktu dari etnis di luar etnis berkuasa yang mungkin tidak terima
dengan dominasi yang tercipta. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi stabilitas
keamanan Kota Sorong yang telah terjaga, yang tentu juga bisa mempengaruhi
ketahanan wilayah maupun nasional.

Kata Kunci: Etnisitas, Birokrasi, Pelayanan Publik, Otonomi Khusus,


Ketahanan Wilayah.

xvi
 
 
xvii 
 

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out (1) ethnicity composition of the
government bureaucracy at Sorong, and (2) the ethnicity effect on public service in
implementing special autonomy, (3) its implication on regional resilience at Sorong
government.
The research method in use is qualitative descriptive. The research is the study
on government bureaucracy at Sorong, West Papua province. The data and facts
collected with observation, in-depth interviews technique and secondary data.
Domination of the Ayamaru tribe/ ethnic creates discrimination in the
bureaucracy and public service at the Sorong local government. The domination
shows the majority of Ayamaru ethnic existence at every SPKD more than other
ethnic. It also shows on the organization structure at every SPKD, where official with
strategic position is of Ayamaru tribe. There is not a significant conflict; however
there is a subtle restlessness especially on other native tribes in Sorong because of the
limit of their tribe representation at the local government. This condition will threat
the regional resilience.
The Sorong local government works smoothly. The conflict is only a light one
which the security able to control. It is easier to control than conflict at other areas in
West Papua province. Therefore the politics and dynasty and discrimination last will
create a bigger conflict. It will be a time bomb from the outside ethnic to the ethnic in
power. The Sorong security stability will be disturbed, which in turn affects the area
and national defense.

Key Words: Ethnicity, Bureaucracy, Public Service, Special Autonomy, Regional


resilience.

xvii
 
 
1

BAB I.

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang

Tesis ini mendiskusikan komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan

dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi

khusus serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Undang-undang No. 21

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan instrumen kebijakan

publik Pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk memberikan solusi atas

masalah krusial yang terjadi di Papua. Masalah tersebut meliputi: 1) konflik

politik, berfokus pada isu tuntutan Papua merdeka yang dipandang oleh

pemerintah Indonesia sebagai gerakan separatis, 2) konflik sosial antar warga,

sebagai akibat tidak adanya solusi yang memadai atas menguatnya konflik politik

yang muncul lebih dahulu, serta 3) ketertinggalan pembangunan ekonomi

masyarakat, terutama masyarakat asli Papua, dibandingkan sebagian besar

Provinsi lain di Indonesia.

Sudah cukup banyak kajian yang dilakukan oleh para ilmuwan

sebelumnya yang menggambarkan Otsus Papua dalam pelaksanaan pembangunan

politik, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, budaya di Provinsi Papua

(ICS 2003; Pekei, 2003; Karma 2003; Winar, 2005; Solossa, 2003; Hugi, 2010;

Lefaan, 2012; Baho, 2009). Kajian yang dilakukan oleh ICS (2003) menegaskan

Otsus belum efektif karena lemahnya sosialisasi pemerintah. Kajian yang

1
2

dilakukan oleh Pekei (2003) menegaskan pembangunan dalam rangka Otsus tidak

dilakukan secara murni, konsekuen dan tidak merata.

Kajian yang dilakukan oleh Karma (2003) menegaskan otsus bermasalah

pada kewenangan pelaksanaan pembangunan strategi yakni pendidikan,

kesehatan, infrastruktur dan ekonomi. Kajian yang dilakukan oleh Winar (2005)

menegaskan dana otsus tidak efektif di gunakan untuk pendidikan dan perbaikan

gizi masyarakat. Karya ilmiah disertasi yang dilakukan oleh Lefaan (2012)

menegaskan kuatnya etnosentrisme dan politik representasi di era Otsus Papua.

Karya ilmiah tesis yang dilakukan oleh Baho (2009) menegaskan dampak dana

otsus terhadap indeks pembangunan manusia di Kabupaten Sorong. Kajian yang

dilakukan oleh Salossa (2003) menegaskan evaluasi pelaksanaan satu tahun Otsus

dan lain-lain.

Bergulirnya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada tahun 2001 sampai

dengan sekarang, perkembangan Otsus mengalami perubahan yang signifikan.

Otsus meberikan keluasaan, peluang seluas-luasnya bagi pemerintah daerah untuk

mengatur pemerintahannya dan meracang pembangunan sesuai dengan kondisi

permasalahan di daerahnya. Otsus juga memberikan peluang untuk putra-putri asli

Papua untuk memegang jabatan-jabatan strategis politik dengan menetapkan

bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Walikota di Provinsi

Papua harus berasal dari warga keturunan asli Papua. Jabatan Kepala-kepala

Dinas Birokrasi Pemerintahan dalam pelayanan publik juga di dominasi oleh

putra-putri asli Papua.


3

Undang-undang Nomor 32 Tahun tentang cara pemilihan kepala daerah

dari tidak langsung menjadi langsung (Pemilukada). Dengan adanya perubahan

kebijakan sistem politik itu, maka menguatnya politik identitas etnisitas di daerah

semakin menguat di Provinsi Papua, semakin menojol peran elite-elite lokal asli

Papua dan kekuasaan birokrasi pemerintahan di daerah memiliki kesempatan yang

lebih untuk memainkan perannya. Para elite daerah juga lebih leluasa

menjalankan strategi-strategi politik untuk mencapai kepentingan politiknya.

Acapkali etnisitas dan agama di manfaatkan untuk menjadi senjata yang ampuh

mematikan untuk posisi nilai tawar menciptakan isu sebagai “Kendaran” politik

kekuasaan dalam birokrasi pemerintah daerah Provinsi Papua.

Terjadi fenomena politik Otsus di Papua dengan menguatnya isu etnisitas

dan agama yang mempunyai banyak pengikut yang memiliki ikatan-ikatan

primodial dengan Si pemimpin, itu semakin menonjol di birokrasi pemerintahan

daerah Provinsi Papua, serta meningkatnya dominasi salah satu suku/etnisitas di

dalam struktur Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berasal dari salah satu etnisitas

tertetu di Provinsi Papua. Dalam rekrutmen pegawai pemerintahan lebih banyak

terakomodir pada salah satu marga-marga suku/etnis tertentu di Provinsi Papua.

Juga kepala-kepala Dinas esalon I hingga esalon IV kini banyak dipegang oleh

salah satu suku/etnis tertentuh asli Papua yang mendominasi hirarki kekuasaan

birokrasi pemerintahan di Provinsi Papua.

Dalam penyelenggaraan kekuasaan Birokrasi pemerintahan pada

umumnya birokrasi pemerintahan harus mampu berkerja secara profesional dan

berkompenten dalam memberikan pelayanan publik dan akses secara optimal


4

pada, etnik-etnik asli di Provinsi Papua. Pelayanana publik sebagai kewajiban

aparatur pemerintahan Papua harus memberikan akses pelayanan kepada setiap

etnik-etnik asli di Papua dengan merata, berkeadilan, transparansi, akuntabel,

terjangkau dan tidak membeda-bedakan suku, agama yang dilayani di instansi

birokrasi Pemerintahan Provinsi Papua. Kota Sorong merupakan salah satu Kota

yang terletak di bagian kepala burung atau pintu masuk Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat, yang tidak lepas dari kemajemukan etnisitas. Masyarakat

Kota Sorong adalah masyarakat majemuk dengan etnisitas yang bersifat dinamis

dan terbuka. Budaya-budaya yang dimiliki oleh masyarakat Kota Sorong sangat

beragam. Kerangaman ini dapat dilihat dari adanya beberapa etnik masyarakat asli

Papua yang telah mendiami sebagian besar Kota Sorong dan dengan lebel nama

suku/etnis masing-masing kampung, yaitu: Teminabuan, Maybrat, Raja Ampat,

Biak , Moy, Serui dan lain-lain sebagainya.

Suku-suku yang banyak yang tersusun oleh berbagai keragaman tradisi-

budaya kelompok masyarakat itu, tidak hanya berpeluang menjadikan kuat di

masa mendatang, tetapi juga perpotensi mendorong timbulnya benih-benih konflik

sosial yang dapat mengancam sendi-sendi Ketahanan Wilayah Kota Sorong

Provinsi Papua Barat, jika dinamika kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat

dikelola dengan baik. Hubungan sosial didalam masyarakat juga akan terganggu

baik secara vertikal maupun secara horizontal. Konflik secara vertikal dapat

dilihat dengan adanya saling merebut kekuasaan antara pejabat publik, partai

politik dan adanya perilaku KKN serta perilaku negatif lainnya. Konflik secara

horizontal dialami oleh masyarakat lapisan bawah adalah terabaikan pelayanan


5

publik salah satu kelompok suku atau mendiskriminasi salah satu suku, secara

tidak langsung tidak merasakan dampak dari kebijakan Pemerintah serta program

otsus itu sendiri. Apa yang dialami oleh masyarakat kalangan bawah ini menjadi

menarik untuk dikaji karena terdapat berbagai macam etnis dengan berbagai

macam latar belakang etnisitas yang berbeda turut serta berperan serta mengisi

implementasi otonomi khusus Papua. Dengan demikian tulisan ini mencoba

menganalisis komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas

terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta

implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Studi Birokrasi Pemerintahan Kota

Sorong Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk

mengetahui permasalahan dampak etnisitas terhadap birokrasi pemerintahan dan

akses pelayanan publik selama ini yang terjadi setelah pelaksanaan otonomi

khusus. Untuk maksud tersebut, peneliti melakukan pengamatan di Birokrasi

Pemerintahan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat. Maka peneliti mengambil judul

“komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses

pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap

ketahanan wilayah,” (Studi di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, Provinsi

Papua Barat) agar masalah tersebut dapat dikaji lebih mendalam.

1.2 Permasalahan Penelitian

Berdasarka dari uraian latar belakang masalah yang dipaparkan di atas,

maka perumusan masalah pokok dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut ini:
6

1. Bagaimana komposisi etnisitas di birokrasi pemerintahan dalam

implementasi otonomi khusus di Kota Sorong ?

2. Bagaimana dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam

implementasi otonomi khusus dan bagaimana implikasinya terhadap

ketahanan wilayah di Kota Sorong ?

1.3 Keaslian Penelitian

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa pasca bergulirnya Otonomi

Khusus bagi Provinsi Papua pada tahun 2001 sampai dengan sekarang, sudah

sangat banyak penelitian-penelitian yang dilakukan secara kritis baik oleh

mahasiswa, Intitusi, Pemerintah, LIPI, LSM, ICS, maupun kajian-kajian ilmiah

yang berkaitan dengan Otonomi Khusus di Provinsi Papua, dan di seluruh

Kabupaten, Kota, di Provinsi Papua dengan sudut pandang yang berbeda. Banyak

juga individu yang melakukan penelitian berkenaan dengan implementasi

Otonomi Khusus maupun etnisitas yang dilakukan di wilayah Papua, antar lain:

Lefaan Avelinus (2012), Asri (2009), Maryanah Tebah (2007), Pakei Beni (2003),

Karma Constan (2003), Winar Ditto (2005), dan Baho Yunus (2009).

Namun sejauh yang peneliti telusuri, sejumlah penelitian di Perpustakaan

Pascasarjana UGM maupun dalam katalog Tesis dan Disertasi di Komputer

Perpustakaan Pusat Pascasarjana UGM belum ditemukan penelitian tentang

komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses

pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap


7

ketahanan wilayah, (Studi di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong Provinsi Papua

Barat) belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya.

1.4 Tujuan Penelitian

Terkait dengan Tujuan dari Penelitian ini ialah:

1. Untuk mengetahui bagaimana komposisi etnisitas di birokrasi

pemerintahan dalam implementasi otonomi khusus di Kota Sorong.

2. Untuk mengetahui bagaimana dampak etnisitas terhadap akses

pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus dan bagaimana

implikasinya terhadap ketahanan wilayah di Kota Sorong.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran

yang positif bagi:

1. Informasi kepada masyarakat khususnya di Kota Sorong terhadap

Dampak Etnisitas dalam Akses Pelayanan Publik dalam Implementasi

Otonomi Khusus.

2. Upaya pemberian saran dan masukan serta informasi bagi Birokrasi

Pemerintahan Kota Sorong dalam kaitannya Komposisi etnisitas di

birokrasi pemerintahan dalam implementasi otonomi khusus di Kota

Sorong.
8

3. Perkembangan teori dan konsep ilmu pengetahuan pada umumnya dan

lebih khusus ilmu pengetahuan, yaitu sebagai Implikasinya Terhadap

Ketahanan Wilayah.
9

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Karya ilmiah yang mengkaji komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan

dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi

khusus serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah, (Studi di Birokrasi

Pemerintahan Kota Sorong Provinsi Papua Barat), sepengetahuan peneliti belum

pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang dilakukan berkenaan tema penelitian

pernah dilakukan oleh LIPI, LSM, ICS. Banyak juga individu yang melakukan

penelitian berkenaan dengan implementasi Otonomi Khusus maupun etnisitas

yang dilakukan di wilayah Papua, antar lain: Lefaan Avelinus (2012), Asri (2009),

Maryanah Tebah (2007), Pakei Beni (2003), Karma Constan (2003), Winar Ditto

dan (2005), Baho Yunus (2009).

Namun beberapa kajian karya ilmiah tersebut yang cukup terkait dengan

penelitian ini sehingga menjadi bahan acuan, di antaranya yaitu:

1. Karya ilmiah Disertasi Lefaan Avelinus (2012), “Etnosentrisme dan

Politik Representasi Di Era Otonomi Khusus Papua” dalam fokus

kajiannya yaitu etnosentrisme masih menguat di Papua. Praktik

etnosentrikme itu berlangung pada ranah politik, birokrasi, dan sosial-

ekonomi. Dalam ranah politik, praktik etnosentrisme berlangsung

dalam dinamika politik kepartaian pilkada, isu etnisitas bahwa

9
10

Gubernur dan Wakli Gubernur, Bupati/Waklikota dan Wakil

Bupati/WakliWalikota harus berasal dari etnis Papua asli.

2. Hasil penelitian studi ICS (2003), “OTSUS Belum Efektif Karena

Lemahnya Sosialisasi Pemerintah” menunjukkan bahwa pelaksanaan

dan kebijakan otonomi khusus yang telah berjalan selama satu tahun

belum efektif. Hal itu disebabkan karena masih rendahnya pemahaman

tentang materi muatan undang-undang maupun makna otsus oleh

sebagian besar aparat pemerintah daerah, anggota legislatif daerah

provinsi, kabupaten dan kota serta masyarakat.

Penyebab utamanya adalah lemahnya jangkauan dan terbatasnya

cara sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi, kabupaten,

dan kota pada aparat di lingkungan pemerintah, anggota legislatif, dan

warga terutama di seluruh kampung.

3. Pekei Beni (2003), dalam penelitiannya“ Pembangunan Dalam Rangka

Otonomi Khusus” menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan

pembangunan dan Otonomi Khusus (Otsus) secara murni, konsekuen

dan merata, maka masyarakat dan pemerintah Papua harus memahami

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua. Dengan memahami Undang-undang ini, maka rakyat

dan pemerintah akan berpacu untuk menyelesaikan tujuan OTSUS itu

dengan baik, dan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan

berkelajuntan, pelestarian lingkungan.


11

Pemanfaatan alam kasus memperhatikan rencana tata ruang kota

dan wilayah. Untuk itu dalam melaksanakan proyek pembangunan di

tanah Papua, kewenangan rakya lebih luas dan tanggung jawab yang

lebih besar bagi Provinsi Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan

dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam serta kemakmuran rakyat

Papua dalam rangka pelaksanaan pembangunan. Untuk itu, otonomi

khusus juga merupakan suatu langka awal yang yang positif dalam

rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus

merupakan langka strategis untuk meletakkan kerangkah dasar dalam

penyelesaian masalah-masalah dan menjawab pelaksanaan

pembangunan yang merata di tanah Papua.

4. Karma Constan (2003), dalam penelitiannya “Pelaksanan OTSUS

Bermasalah pada Kewenangan” menyatakan bahwa pelaksanaan

otonomi khusus Papua diarahkan pada 4 (empat) bidang pembangunan

strategis, yakni Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, dan

pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Namun dalam pelaksanaannya masih

terdapat banyak masalah seperti kewenangan (struktur) dari pada

masing-masing instansi. Seperti dalam bidang kesehatan, dimana

RSUD seolah-olah terpisah dari Dinas Kesehatan yang diakibatkan ada

Krepres yang mengatur di Kabupaten/Kota.

Puskesmas itu berada di bawah Dinas Kesehatan, sementara RSUD

tidak di bawah Dinas Kesehatan, tetapi berada di bawah

Bupati/Walikota dan di Provinsi di bawah Gubernur. Dalam bidang


12

Pendidikan, Gubernur telah membuat kebijakan, dimana sekolah-

sekolah akan dibebaskan dari SPP dan biaya Ebta/Ebtanas, dan

Gubernur juga telah melakukan Mou dengan 14 (empat belas)

Perguruan Tinggi (PT) di Papua mamupun di luar negeri. Sementara

dalam bidang infrastruktur 11 (sebelas) ruang jalan strategis di seluruh

wilayah Papua. masyarakat selalu minta jalan untuk dibangun

Pemerintah, hal ini tepat untuk menembus daerah terisolasi yang

mmenguasai alam Papua, dangan dibangunnya jalan akan menarik

masyarakat untuk membuka lahan perkebunan sepanjang jalan yang

dibangun tersebut.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat telah dibuat konsepnya dimana

ada 9 instansi yang mengurus hal itu, dengan program pendampingan

bagi masyarakat untuk distribusi produksi ekonomi mikro dengan

membangun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Kantor Pegadaian di

daerah-daerah, sehingga masyarakat dapat memperoleh modal dari

kedua instansi tersebut. Masyarakat harus dapat digerakan dalam

bidang pertanian, maka Dinas Pertanian mempunyai tugas dalam

pengembangan teknologi pertanian.

5. Winar Ditto (2005), mengemukakan bahwa alasan utama

diberikannnya otonomi khusus kepada Provinsi Papua terutama

dilatarbelakangi oleh faktor politis, untuk mereduksi keinginan

sebagian masyarakat Papua untuk melepaskan diri dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selama 3 tahun pemberlakuannya, dana


13

otonomi khusus juga ternyata tidak efektif, karena bagian terbesar dana

otonomi khusus tidak digunakan untuk pendidikan dan kesehatan

(perbaikan gizi masyarakat), namun dibagikan secara merata ke semua

sektor pemerintahan yang menjadikan kewenangan Provinsi Papua.

Pemberian dana otonomi khusus Papua ternyata bertentangan

dengan dasar pemberian dana perimbangan. Dana otonomi khusus tidak

memberikan keseimbangan fiskal, baik vertikal maupun horizontal,

bahkan sebaliknya menambah kesenjangan fiskal, mengingat sebagian

besar kapasitas fiskal kabupaten/kota di Provinsi Papua termasuk

kategori sedang dan tinggi. Selain itu, ternyata ternyata terdapat

peraturan pelaksanaan pengelolaan dan otonomi khusus yang saling

berbeda, sehingga dapat menimbulkan perbedaan persepsi.

Adapun dalam karya ilmiah ini topik pembahasan yang dikaji dalam

penelitian-penelitian terkemuka memberikan inspirasi/gambaran yang signifikan

bagi peneliti dalam melakukan penelitian. Maka perbedaan penelitian peneliti

dengan penelitian-penelitan terdahulu yaitu: Lokasi Daerah Penelitian, Tahun

Penelitian, Waktu Penelitian, Topik Penelitian, Potensi Masalah yang berbeda

pada Judul Penelitian komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak

etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus

serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah, (Studi di Birokrasi Pemerintahan

Kota Sorong Provinsi Papua Barat).


14

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Komposisi

Menurut Kamus Bahasa Indonesia Konterporer (Salim,1991), komposisi

adalah susunan; tata gubahan instrumental maupun vocal; cara menyusun

karangan agar diperoleh cerita yang indah selaras; integrasi warna, garis, dan

bidang untuk mencapai kesatuan yang harmonis. Komposisi juga bisa diartikan

sebagai susunan/ tata susun dalam suatu kumpulan. Suatu komposisi akan lebih

kuat atau menyatu jika unsur dari susunannya terdiri atas unsur yang sama.

Namun sering juga susunan dari suatu komposisi terdiri atas unsur-unsur yang

berbeda sama sekali, hal semacam ini tentu membuat suatu komposisi sulit

menyatu, kecuali jika ada sisten/ cara yang tepat sehingga unsure-unsur yang ada

justru mampu menyatu untuk saling melengkapi. Komposisi dalam penelitian ini

adalah susunan etnis-etnis yang ada dalam struktur organisasi pada birokrasi

Pemerintah Kota Sorong.

2.2.2 Etnisitas

2.2.1 Etnis

Kata etnik atau etnis berasal dari bahasa Yunani yaitu ethnos, yang menuju

pada pengertian bangsa atau orang. Acapkali ethnos diartikan sebagai setiap

kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa, nilai dan norma

budaya dan lain-lain, yang pada gilirannya menjadikasikan adanya kenyataan

kelompok yang minoritas dalam suatu masyarakat (Liliweri, 2005:8).


15

Kata etnis menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau

kelompok atau individu yang menyatukan diri dalam kolektivitas, menurut Rex

dalam (Abdilah, 2002:15). Etnik dalam wacana primitif identik dengan suku atau

kelompok suku (tribe) yang terpisah dan terisolir, hidup dihutan atau jauh dari

orang kebanyakan dengan budaya yang masih sederhana animisme dan

menampilkan diri sebagai apa adanya.

Kemudian, etnik dalam wacana politik budaya kontemporer adalah suatu

wacana batas (frontier) kami dan mereka, sebuah makna budaya yang intinya

adalah wacana perbedaan. Seperti peran-peran politik etnis saat ini yang

merupakan pembacaan terhadap realitas “kami” dan “mereka”.

Menurut Narnol (Liliweri, 2005,9) kelompok etnis adalah suatu populasi

yang:

1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa

kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

3. Membentuk ciri kelompoknya dan interaksi sendiri dan.

4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh

kelompok lain dan dapat di bedakan dari kelompok populasi lain.

Sementara Thomas Sowell (Liweri, 2005:9) mengemukakan bahwa

kelompok etnis merupakan sekelompok orang yang mempunyai pandang dan

praktek hidup yang sama atas suatu nilai dan norma. Misalnya kesamaan agama,

negara, asal, suku bangsa, kebudayaan, bahasa, dan lain-lain yang semuanya

berpayung pada satu kelompok.


16

2.2.2 Etnisitas

Etnisitas merupakan kategori-kategori yang diterapkan pada kelompok

atau kumpulan orang yang dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan

atau kolektifitas. Lebih menujuk pada kolektifitas dari pada individual, menurut

Rex (Abdilah 2002:75). Etnisitas telah berkembang menjadi salah satu dari

banyak kecendrungan globalisasi pada saat ini maka dari itu kajian tentang

etnisitas menjadi hal yang penting untuk member arah dalam menyikapi persoalan

etnisitas ini.

Menurut Ubed Abdillah bahwa ikatan-ikatan etnis terwujud dalam

kumpulan orang, kelengkapan-kelengkapan primordial seperti derajat, martabat,

bahasa, adat istiadat dan atau kepercayaan dibebankan atas setiap anggota yang

dilahirkan dalam kelompok tersebut dan menjadikan serupa dan menjadi serupa

dengan kelompok lain. Karakter yang melekat pada satu kelompok etnis

(etnisitas) adalah tumbuhnya perasaan dalam satu komunitas (sense of community)

diantara anggotanya sehingga terwujudlah rasa kekerabatan, selain itu tumbuh

pula perasaan “ kekitaan” pada diri anggotanya maka terselenggaralah rasa

kekerabatan.

Kita dalam identifikasi kelompok etnis, ada dua pandangan pengertian: 1)

sebagai sebuah unit obyektif yang di dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya

seseorang; 2) hanya sekedar produk pemikiran seseorang yang kemudian

menyatakan sebagai kelompok etnis tertentu (Abdillah, 2005:15). Etnisitas

merupakan suatu aspek yang sekarang ini menjadi aspek yang penting dalam

konteks hubungan antara kelompok. Pada dasarnya, kemunculan tem ini


17

menyangkut gagasan tentang pembedaan, dikotomi “ kami” dan “ mereka” dan

pembedaan atas klaim terhadap dasar asal usul dan karakteristik budaya. Jika

tidak ada pembedaan anatara “ orang dalam” dan “ orang luar”, tidak aka nada

yang namanya etnisitas.

Syarat kemunculan etnisitas adalah bahwa kelompok tersebut paling

sedikit telah menjadi hubungan atau kontak dengan etnis yang lain dan masing-

masing menerima gagasan dan ide-ide perbadaan diantara mereka, karena etnisitas

pada hakekatnya adalah sebuah aspek hubungan. Hubungan relasi tersebut tidak

selamanya merupakan hubungan yang harmonis. Konflik atau ketegangan antara

kelompok etnis merupakan bagian dari relasi tersebut. Di masa yang akan datang

masalah-masalah yang menyangkut etnisitas bukan tidak mungkin akan

berkembang dan berlanjut sebagai arena politik nasional bahkan internasional.

2.2.3 Birokrasi Pemerintahan

Menurut Priyo (1997:2) bahwa, dengan model birokrasi ini organisasi

pemerintahan akan ditata sebagai organisasi yang “ lega rasional”, yang ditandai

oleh: a) Tingkat spesialisasi yang tinggi; b) Struktur kewenangan hirarki dengan

batas-batas kewenangan yang jelas; c) Rekrutmen yang didasarkan atas anggota

organisasi yang bersifat impersonal; d) Rekrutmen yang didasarkan atas

kemampuan tehnis; e) Diferensiasi antara penadapatan resmi dan pribadi. Kualitas

ini akan dicapai melalui pengaturan struktural seperti hirarki kewenangan,

pembagian kerja, profesionalisme, tata-kerja; dan sistem pengupahan, yang

kesemuanya berlandaskan peraturan-peraturan.


18

Menurut sendermayanti (2000:25), juga menyatakan, “ model mekanik itu

banyak berpengaruh terhadap penyelenggaraan administrasi negara, khususnya di

negara-negara sedang berkembang, sebab organisasi di lingkungan pemerintahan

bercirikan model organisasi birokrasi, yaitu struktur organisasi tipikal yang

berusaha mengkoordinasikan kegiatan manusia di dalam suatu organisasi ”.

Konsep birokrasi ala Weber yang terlalu kaku tersebut, untuk saat ini jelas tidak

cocok lagi, sebagaimana dikatakan oleh Miftah (2003:87) bahwa, “ konsep

birokrasi Weber tidak akan popular lagi pada masyarakat saat ini”. ketidak

sesuaian itu antara lain terletak pada kekakuan struktur birokrasi dan aturan, serta

tata hubungan impersonal. Sehingga organisasi sulit melakukan perubahan, karena

kecenderungan rendahnya insiatif, kreatifitas, tanggungjawab, dan lain-lain.

Terlebih lagi jika dikaitkan dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat Indonesia

yang hubungan kekeluargaanya (personalitasnya) sangat tinggi. Pernyataan diatas

memperkuat pendapat dari Sedarmayanti (2000:25), pada masyarakat yang tingkat

kehidupannya tinggi, dinamis, dan banyak berinteraksi dengan kelompok lain

yang sering-kali lebih besar, maka sifat dan ciri organisasi yang kaku tidak dapat

dipertahankan lagi.

Menurut Mifta (2002:15), administrator publik sangat perhatian terhadap

tata pemerintahan yang baik (good governance) yang akan mendukung

terwujudnya tatanan pemerintahan yang demokrasi dan diselenggarakan dengan

baik, transparan, bersih, dan berwibawa. Pendapat itu disumpulkan pula oleh

Wilson dalam Mifta (2002:15), bahwa administrasi publik dapat diartikan sebagai
19

administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk

kepentingan masyarakkat.

2.2.4 Pengertian Dampak

Pengertian dampak dalam penelitian adalah akibat dari sesuatu perubahan

atau aktivitas yang terjadi secara alami maupun buatan manusia. Aktivitas

tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisika, maupun biologi (Anwar

1993:123).

Akibat dari perubahan tersebut menyebabkan adanya perubahan fan

konsekuensi yang timbul dari adanya suatu aktivitas atau kegiatan oleh manusia

terbagi menjadi dua macam, yaitu: (1) akibat yang menyebabkan peningkatan atau

kemajuan kualitas hidup manusia atau disebut sebagai dampak posistif dan (2)

akibat yang menyebabkan penurunan atau kemunduran kualitas hidup manusia

atau disebut sebagai dampak negatif.

Dampak positif dalam arti luas akan mengakibatkan adanya peningkatan

kesejahtaraan manusia dan kondisi lingkungan menjadi lebih baik, pengaruh dan

konsekuensi dari adanya perubahan yang dilakukan oleh manusia.

Dampak negatif yang terjadi terhadap lingkungan dapat mengurangi daya

dukung alam yang berarti akan mengurangi kemampuan alam untuk mendukung

kelangsungan hidup manusia. Dampaknya terhadap manusia jelas akan

menurunkan kualitas hidup manusia itu sendiri, sehingga perlu dicarikan suatu

usaha untuk penyelesaian masalah bagi tercapainya keinginan untuk mendqapat

kualitas hidup dan kenyamanan yang baik.


20

2.2.5 Akses Pelayanan Publik

2.2.5.1 Akses

Kata akses merupakan kata serapan dari bahasa Inggris access yang

diterjemahkan menjadi jalan masuk. Sedangkan kata aksesibilitas juga merupakan

kata serapan dari bahasa Inggris accessibility yang diterjemahkan menjadi hal

dapat masuk, hal mudah dicapai (Echols dan Shadily: 1995:5). Sedangkan

menurut Al Barny (1994), secara etimologi kata akses berarti jalan masuk atau

terusan.

Sementara itu dalam kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Aday

dan Andersen (1975) dalam, Hartono (1999:5) untuk studi tentang akses terhadap

pelayanan kesehatan ditegaskan bahwa akses diartikan sebagai pemanfaatan

pelayanan yang ada yang dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempermudah

proses pemanfaatan tersebut. Dengan berpedoman pada pendapat-pendapat

tersebut di atas, maka aksesibilitas dapat diartikan sebagai peluang, kesempatan

atau kemudahan untuk mendapatkan atau memanfaatkan sesuatu. Jadi

aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik adalah peluang, kesempatan

atau kemudahan yang dimiliki oleh masyarakat untuk mendapatkan atau

memanfaatkan suatu jenis pelayanan publik.

Banyak program pembangunan yang tidak mampu meningkatkan akses

masyarakat terhadap program tersebut atau bahkan gagal untuk mencapai

tujuannya. Menurut korten (1983), kegagalan program pembangunan

meningkatkan akses masyarakat karena dalam penyusunannya sering terdapat: (a)

ketergantungan pada organisasi-organisasi birokrasi terpusat yang hanya


21

mempunyai sedikit kemampuan untuk memecahkan masalah, (b) investasi yang

tidak memadai dalam proses pengembangan kemampuan masyarakat untuk

memecahkan masalah (c) perhatian yang kurang dalam menangani

keanekaragaman masyarakat terutama dalam hal struktur sosial pedesaan yang

berlapis-berlapis dan (d) tidak cukupnya integrasi antara komponen-komponen

teknis dengan sosial dalam upaya pembangunan.

Aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik akan baik apabila

terdapat pemerataan kesempatan yang berlaku bagi masyarakat untuk

mamanfaatkan pelayanan. Apabila terjadi pembiasan dalam pemberian pelayanan,

baik pembiasan yang bersifat struktural maupun pembiasan yang bersifat spasial,

maka kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat akan dirugikan karena tidak

mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan pelayanan. Terbatasnya

kemampuan kelompok masyarakat tertentu untuk memanfaatkan suatu jenis

pelayanan publik pada akhirnya akan memperkecil aksesibilitas mereka terhadap

pelayanan tersebut.

Untuk melihat pemerataan pelayanan kredit pedesaan, Agus Pramusinto

(1989) menggunakan indikator jumlah cakupan kredit, penyebaran nasabah tiap-

tiap desa, jenis pekerjaan nasabah, tingkat pendapatan nasabah, dan nilai kredit

yang diperoleh suatu gambaran mengenai pemerataan pelayanan kredit pedesaan.

Apabilah pelayanan kredit pedesaan sudah merata ke seluruh masyarakat maka

aksesibilitas mereka untuk memanfaatkan pelayanan kredit dapat di kategorikan

baik.
22

Rasyid (1998) menyebut pelayanan publik dapat diartikan sebagai

pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai

kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang

telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan

pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah

diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat

mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama

(Mote, 2008:20).

2.2.5.2 Pelayanan Publik

Pelayanan publik aparatur negara, sebagai sebuah tindakan sosial, tidak

dapat melepaskan diri dari masalah penilaian tentang baik dan buruk sebuah

tindakan. Mencuri membunuh, merampas hak orang lain, memperdaya atau

memanipulasi orang lain, pembagian yang tidak adil, dan sengaja melakukan

tindakan yang merugikan orang lain termasuk kategori tindakan yang dinilai

buruk secara moral. Sebaliknya, tindakan yang adil, melindungi orang lain,

terbuka dan jujur, bertanggungjawab, transparan dan akuntabel, demokrasi dan

partisipatif adalah tindakan yang dinilai baik secara moral. Penilain terhadap baik

dan buruknya sebuah tindakan masuk dalam ranah etika.

Etika dipahami Bertens (2005;6), pertama, sebagai nilai-nilai dan norma-

norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok orang dalam

mengatur tingkah lakunya seperti etika agama pada umumnya. Kedua, sebagai

kumpulan asas atau nilai moral yang disebut dengan kode etik, misalnya etika
23

rumah sakit Indonesia, etika jurnalistik, etika kedokteran, etika bisnis. Etika

sebagai kode etik erat kaitanya dengan etika profesi. Ketiga, sebagai ilmu tentang

masalah baik dan buruk. Di sini, etika sama dengan filsafat yakni filsafat moral.

Pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan

oleh instansi pemerintah yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat

maupun untuk pelaksanaan peraturan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjatmo

(1997;132),

Pelayanan publik adalah segalah bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh

instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik

Negara/Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka pemenuhan

kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-

undangan.

Lebih lanjut Sudjatmo menguraikan bahwa pelayanan umum dilaksanakan

dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar,

tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Oleh karena itu maka setiap pelayanan

publik harus mengandung unsur: pertama, hak dan kewajiban bagi pemberi

maupun penerima pelayanan harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan

kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efesiensi dan efektifitas.

Kedua, mutu proses dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar dapat

memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan. ketiga, apabila pelayanan publik yang dilaksanakan oleh

instansi pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah terpaksa


24

harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban

memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakan sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2.6 Desentralisasi dan Otonomi Daerah

2.2.6.1 Desentralisasi

Pelaksanaan pemerintahan di Indonesia menganut sistem desentralisasi.

Perwujudkan sistem tersebut mengacu pada pasal UUD 1945 Bab VI, pasal 18

yang berbunyi: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang” .

Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eeheidstaat, maka Indonesia tak

akan mempunyai daerah dalam lingkungan yang bersifat staat juga. Bagian lain

dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 dikatakan: daerah Indonesia akan dibagi

pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil. Dari ketentuan pasal 18 tersebut dapat

ditarik kesimpulan:

1. Wilayah Indonesia di bagi kedalam daerah-daerah, baik

yang bersifat otonomi maupun yang bersifat administratif;

2. Daerah-daerah itu mempunyai pemerintahan;

3. Pembagian wilayah seperti dan bentuk susunan

pemerintahannya ditetapkan dengan atau kuasa undang-

undang;
25

4. Dalam pembentukan daerah-daerah otonomi dan dalam

menentukan susunan pemerintahannya harus diingat

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan

hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat

istimewa (asli) ( Kaho, 2002:4).

Secara teoritik, kemampuan pemerintah terbentuk melalui penerapan azas

desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi

kepada tingkat bawahnya secara hirarkis (Ryaas Rasyid,1977). Melalui

pelimpahan wewenang itulah pemerintah pada tingkat bawah diberi kesempatan

untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreativitas, mencari solusi terbaik

atas setiap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Selain itu,

desentralisasi dapat juga dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan

perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen

pemerintah dari pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub Nasional

(Daerah/Wilayah) Administrasi Negara atau kepada kelompok-kelopok fungsional

atau organisasi non pemerintah/swasta (Rondinelli 1988).

beberapa alasan mengapa Pemerintah perlu melaksanakan desentralisasi

kekuasaan kepada Pemerintah Daerah. Alasan-alasan ini didasarkan pada kondisi

ideal yang diingginkan, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi

penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai sistem pemerintahan yang dianut

oleh negara. Mengenai alasan-alasan ini, Joseph Riwu Kaho (1991) menyatakan

sebagai berikut:
26

1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan (game

teori), desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah

penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada

akhirnya dapat menimpulkan tirani.

2. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap

sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut

serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam

mempergunakan hak-hak demokrasi.

3. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya

perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan

suatu daerah, seperti georafis, keadaan penduduk, kegiatan

ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya

(Hosio, 2009: 1-2).

2.2.6.2 Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh

pemerintah yang lebih tinggi kepada daerah bawahannya untuk dapat mengatur

dan mengurus rumah tangganya sendiri. Menurut Karim (2003:329), pembicaraan

mengenai otonomi daerah tidak bisa lepas dari asas desentralisasi adalah prinsip

pembelahan wilayah satu negara ke wilayah yang lebih kecil, dan di wilayah-

wilayah itu dibentuk institusi politik dan institusi administrasi untuk melayani

kebutuhan orang atau masyarakat secepat, sedekat, dan setepat mungkin. Untuk

menwujudkan prinsip desentralisasi seperti dipaparkan di atas, dibutuhkan:


27

a. Resources, atau sumber daya, baik alam maupun manusia;

b. Struktur, jaringan institusi maupun fungsi yang benar-benar

dibutuhkan namun tidak kompleks sehingga membingungkan

masyarkat yang dilayani;

c. Technology, sarana komunikasi yang sangat membantu mengatasi

kendala spasial dalam penyelenggaraan pemerintahan;

d. Leadership, gaya kepemimpinan yang sesuai dengan perkembangan

masyarakat (utamanya kecerdasan masyarakat).

Dalam ketentuan umum UU Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 Pasal 1

ayat (5) “ Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Lebih lanjut dalam penjelasan UU Otonomi Daerah, melalui otonomi luas

daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta

potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Salah satu visi otonomi daerah menurut Rasyid (2007: 173-174) yakni di

bidang politik karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan

demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka

ruang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan

berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap


28

kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan

keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

Filosofi dasar otonomi itu sendiri masih berkisar pada otonomi

pemerintahan daerah, bukan otonomi masyarakat lokal. Kecenderungan itu adalah

terjadinya distorsi dalam implementasi, yaitu bahwa otonomi daerah ternya hanya

dinikmati oleh elit politik daerah. Sedangkan masyarakat sebagai subyektif

terpenting dari kebijakan otonomi daerah. Konsekuensi logisnya yakni, kebijakan

otonomi daerah harus berorientasi pada pemberdayaan dan kesejahteraan bagi

masyarakat lokal, dan otonomi daerah sebagai hak masyarakat tidak dapat dicabut

oleh pemerintah pusat. Dalam kaitan ini otoritas pemerintah pusat hanya terbatas

pada penyerahan dan pengatur wewenang yang sudah ada pada daerah melalui

berbagai bentuk kebijakan yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak

(Haris, 2007: 73-74).

2.2.7 Desentralisasi Asimetris Otonomi Khusus Papua

Desentralisasi Indonesia kontemporer mengenal beberapa bentuk

asimetrisme pengaturan tata Pemerintahan dan Kewenangan di daerah. Papua

adalah sebuah daerah yang penting dalam kajian pemerintah daerah di Indonesia.

Secara umum asimetris Papua dilatar belakangi oleh tiga faktor: (1) tantangan

yang bersifat politik (regional question); (2) mengakomodasi keunikan budaya

dan perbedaan alur kesejarahan; (3) tantangan untuk mengatasi ungovernabilitiy;

dan (4) kawasan perbatasan.


29

Ada dua problema dasar yang melatarbelakangi implementasi Otonomi

Khusus Papua adalah: ungovernability dan pertanyaan tentang kedaerahan.

Sedangkan permasalahan perbatasan tidak secara spesifik menjadi latar belakang

dibangunnya asimetrisme pemerintahan daerah di Papua. pun demikian, persoalan

perbatasan tetap penting untuk diketengahkan dalam pembahasan di sini

mengingat pengelolaan perbatasan saat ini menjadi salah satu permasalahan

krusial di Papua.

Memahami Papua berarti mengenalkan kepada kita diversitas kebudayaan,

politik, pertarungan capital dan menyediaan keamanan yang tak kujung selesai. Di

tengah hal tersebut, Papua juga mengenalkan bagaimana dinamika pembangunan

masa lalu menciptakan dilemma problem of plenty, yang saat ini berusaha untuk

diatasi dalam skema otonomi yang berbeda. Berikut adalah kondisi eksistensi di

Papua yang menjadi latar belakang argument perlunya diterapkan sebuah sistem

pemerintahan daerah yang berbeda dengan pemerintahan daerah lain di Indonesia

dikarenakan yaitu:

1. Motivasi kekhususan problem sejarah dan Ungovernability.

2. Ketertinggal di atas kekayaan.

3. Kuatnya ikatan dan diversitas kultur lokal.

Desain kebijakan desentralisasi asimetris Papua melihat kelemahan

Implementasi Otonomi Khusus sebagaimana dipetakan penyempurnaan desain

desentralisasi asimetris maupun implementasi kebijakan menjadi hal yang

mendasar untuk diwujudkan. Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan


30

untuk menata massa depan Papua yang lebih baik dalam kerangka otonomi

khusus, di antaranya:

1. Mematangkan desain kebijakan otonomi khusus.

2. Menyiapkan kapasitas pemangku kepentingan.

3. Membentuk intrumen evaluasi kebijakan yang dapat

mengukur keberhasilan/ kelemahan implementasi otonomi

khusus Papua.

Secara umum desain kebijakan maupun implementasi otonomi khusus

perlu segera mendapat tinjauan agar berbagai aspek kekhususan otonomi dapat

menjadi intrumen yang efektif untuk mewujudkan tujuan awal penerapannya.

Dibutuhkan komitmen pemerintah nasional, pemerintah lokal, serta seluruh

pemangku kepentingan untuk mulai melakukan evaluasi dan perbaikan

pelaksanaan otonomi khusus Papua secara sistemik (Purwoko & Rahmawati,

2010:41-57).

Menurut Ibo (2010: 4) tujuan Otsus Papua adalah untuk mewujudkan

keadilan, penengakan suprermasi hukum, penghormatan pada HAM, percepatan

pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan kemajuan masyarakat Papua,

dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan Provinsi lain di

Indonesia.

Tujuan tersebut dapat diwujudkan, jika terpenuhi syarat sebagaimana

diuraikan dalam bagian penjelasan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi

Khusus Papua, sebagai berikut:


31

a. Partisipasi rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan

penyelengaraan pemerintah serta pelaksanaan pembangunan melalui

keikutsertaan para wakil adat, agama dan kaum perempuan;

b. Pelaksanaan pembangunan yang diarakan sebesar-besarnya untuk

memenuhui kebutuhan dasar penduduk, terutama penduduk Asli Papua

dengan perpengan teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,

pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi

masyarakat; dan

c. Penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan secara

transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat, DPR Papua

melakukan lobi kepada pemerintah pusat, agar proses demokratisasi

terutama pelaksanaan pemilihan Gubernur (PILGUB) dan Wakil

Gubernur (WAGUB) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua

(DPRD) agar Gubarnur dapat menyampaikan LPJ dan bukan LKPJ

sesuai pasal 7 dan 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Dalam UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua,

dijelaskan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi

Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang dimaksudkan

dengan Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan

kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar

masyarakat Papua.
32

Kemudian orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras

Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang

diterima dan diakui sebagai orang Asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

Penduduk Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua

orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di

Provinsi Papua. Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam

seluruh bidang Pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik Luar negeri,

pertahanan keamanan, moneter, dan fiskal, agama, dan peradilan serta

kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

2.2.8 Ketahanan Wilayah

Ketahanan wilayah tidak terlepas dari konsep ketahanan nasional, karena

bagaimanapun juga, ketahanan wilayah yang dikembangkan dengan baik akan

memberikan sebangan bagi setiap ancaman, baik yang datang dari dalam maupun

dari luar. Ketahanan nasional harus diawali oleh ketahanan wilayah, artinya

ketahanan wilayah akan menopang ketahanan nasional. Ada kemungkinan

ketahanan nasional didekati dengan pendekatan mikro, yaitu dengan jalan

mengungkap lebih jauh apa yang terkandung di dalam keuletan dan ketangguhan

yang merupakan unsur-unsur pembentukan ketahanan nasional sesuai

ontologisnya (Sunardi, 1997:19).

Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas (1989), telah merumuskan

bahwa ketahanan nasional adalah suatu kondisi dinamis bangsa Indonesia yang
33

berisi keuletan dan ketangguhan yang mengadung kemampuan untuk

mengembangkan kekuatan nasionalnya di dalam menghadapi dan mengatasi

segalah ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar

maupun dari dalam negeri yang langsung maupun tidak langsung membahayakan

integritas, indentitas kelangsungan hidup bangsa dan negara. Ketahanan nasional

pada hakikatnya adalah kekuatan nasional dalam arti luas. Dengan demikian,

unsur-unsur ketahanan nasional mencakup Astra Gatra, yaitu geografi,

deonografi, sumber daya alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan militir. Sama

dengan analogi menurut Claine (Sudarsono,1997) yaitu masa kritik (eknik

wilayah), ekonomi, militer, konsepsi tentang strategi dan tekad nasional.

Sistem pertahanan keamanan merupakan paduan antara sistem senjata

teknologi dan sistem sejata sosial. Pengalaman sejarah menyatakan bahwa

kemenangan perang hendaknya ditunjang oleh keunggulan teknologi bersenjata,

tetapi didudukng juga oleh kemampuan sistem sejata sosial yang dikembangkan

secara azasi konseptual. Modal sistem hamkam tersebut harus dirumuskan dan

disusun bersumberkan pada falsafat hidup bangsa dan negara. Untuk dapat

mempertahankan negara sesuai dengan sifat geografinya, diperlukan kekuatan

nasional yang disegani setidak-tidaknya merupakan faktor pencegah atau

penengka (Lemhannas, 1980: 612-613).

Sementara ketahanan wilayah didefinisikan sebagai kondisi dinamis suatu

wilayah kemampuan memberdayakan segenap potensi wilayah baik potensi

geografis sebagai faktor kekuatan dan ketangguhan untuk mengatisipasi setiap

potensi ancaman yang langsung atau tidak langsung mengancam stabilitas


34

ketahanan wilayah. Ketahanan wilayah yang dimaksudkan adalah penjagaan

wilayah secara aktif dari beberapa dimensi pemberdayaan masyarakat berbasis

lokal yang sering menjadi pemicu kecemburuan sosial (konflik), dengan kata lain

adanya wilayah kepulauan yang sangat luas akan merapuhkan penjagaan

kewilayahan secara totalitas. Kondisi tersebut bisa teratasi dengan menggunakan

mekanisme pemekarang wilayah sebagai solusi (Praktikno, 2006: 8-9).

Konsep ketahanan wilayah adalah konsep mengenai pengembangan

kemampuan dan kekuatan suatu wilayah melalui pengaturan dan penyelenggaraan

kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh

aspek kehidupan secara utuh menyeluruh dan terpadu berdasasrkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Ketahanan wilayah merupakan konsep pola dasar

pembangunan yang hakikatnya merupakan pedoman dasar mengenai strategi dan

terpadu dalam keseimbangan dan konfigurasi kehidupan, menjamin keseimbangan

dan keserasian antara kesejahteraan masyarakat baik materil maupun spiritual

demi kelangsungan hidup dan berdasarkan apresiasi kondisi riil suatu wilayah

serta hakikat tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang akan dihadapi

(Lemhannas, 1997: 8-11).

Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah dapat diuraikan sesuai urutan

pada Aspek-Aspek Idologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan

Keamanan. Yang berdapak langsung terhadap Implikasinya Terhadap Ketahanan

Wilayah, sebagai berikut ini:


35

1. Aspek Ideologi

Pancasila sebagai suatu ideology merupakan suatu sistem nilai yang

diyakini kebenarannya, diajarkan dianjurkan, agar dapat dipakai sebagai

pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia juga merupakan

sarana untuk mempersatukan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita

proklamasi dan perjuangan untuk mewujudkan tujuan nasioanal (Armawi,

2011: 90-91).

2. Aspek Politik

Dalam akumulasi seluruh kekuatan nasional, baik aktual maupun potensial.

Politik dalam arti kebijakan merupakan suatu proses alokasi sistem nilai

dan norma kehidupan bernegara yang diyakini benar oleh suatu bangsa,

yang dilakukan oleh suatu institusi yang berwenang, agar menjadi pedoman

pelaksanaan dalam mewujudkan cita-citanya. Dalam kehidupan politik

sering diwarnai konflik kepentingan antar golongan atau kelompok. Namun

yang harus senantiasa diingat, bahwa di dalam proses tersebut terdapat

rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, yakni kepentingan nasional,

persatuan dan kesatuan bangsa, serta tetap tegaknya Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila (Armawi,2011:91-92).

3. Aspek Ekonomi

Kehidupan ekonomi merupakan suatu kegiatan manusia dalam rangka

mencukupi kebutuhan hidup lahir dan batin. Dalam ilmu ekonomi disebut

proses pengadaan, permintaan dan distribusi barang dan jasa. Oleh karena

itu, kegiatan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan wilayah (geografi),


36

sumber kekayaan alam, kemampuan penduduk, dan mempunyai hubungan

dengan cita-cita (ideologi) suatu bangsa, serta akumulasi kekuatan,

kekuasaan dan kebijakan yang akan ditempuh oleh suatu bangsa dalam

kehidupan bernegara (Armawi, 2011:92-93).

4 . Aspek Sosial Budaya

Manusia sebagai makhluk Tuhan, mempunyai kedudukan yang paling

tinggi dibanding dengan makhluk lainnya di dunia ini. Apabila dicermati,

perbedaan ini terjadi karena manusia dikaruniai kemampuan jiwa, seperti

cipta, rasa dan karsa. Dengan kemampuan jiwanya tersebut manusia dalam

kehidupan menghasilkan serentetan produk yang disebut kebudayaan. Di

dalam buku Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, dijelaskan adanya

3 macam produk budaya, berupa: sistem nilai atau gagasan-gagasan ideal,

atau sering juga disebut dengan cita-cita luhur, pola perbuatan atau karya

terstruktur dalam norma, serta hasil konkrit berupa barang atau tindakan

(Armawi, 2011:93-94).

5. Aspek Pertahanan dan Keamanan

Ketahanan bidang pertahanan dan keamanan tidak berdiri sendiri dan

memerlukan juga ketahanan bidang lainnya. Keadaan masyarakat yang

stabil, berkembangnya penghayatan dan pengamalan ideologi secara

dinamis, ketahanan politik, ekonomi serta sosial budaya akan

memperkokoh pertahanan keamanan nasional. Sebaliknya, kondisi

pertahanan keamanan yang labil, adanya gangguan keamanan dan

ketertiban dalam masyarakat akan memperlemah ketahanan nasional suatu


37

bangsa dengan kata lain, kondisi pertahanan dan keamanan yang baik,

stabilitas nasional aman terkendali merupakan prasyarat aspek kehidupan

bangsa (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya) secara optimal.

Dapat disimpulkan, bahwa kelima komponen strategi dalam panca gatra

itu saling berhubungan satu sama lain. Gatra yang satu memerlukan dan

memperkuat gatra lainnya. Adanya hubungan yang erat antara gatra

lainnya. Adanya hubungan yang erat antara gatra yang satu dengan gatra

yang lainnya di dalam komponen strategi atas gatra, disebut dengan istilah

interdependensi atau saling ketergantungan (Armawi, 2011:95).

2.3 Kerangka Pemikiran

Pelaksanaan pemerintahan di Kota Sorong memang tidak bisa lepas dari

moment Otonomi Khusus/ Otsus, yang kemudian juga diwarnai dengan isu

etnisitas yang ada di birokrasi. Untuk membuktikan ada atau tidaknya dominasi

etnis, perlu dikaji komposisi etnis dalam struktur organisasi Pemerintahan Kota

Sorong disertai dengan mengkaji dampaknya terhadap pelayanan Publik.

Kemudian muncul 2 indikator, jika memang ada dominasi hal ini akan menjadi

pemicu konflik, jika tidak tentu kalaupun ada konflik berarti bukan karena

etnisitas di birokrasi. Dan jika ada konflik yang ditimbulkan hal ini tentu akan

berpengaruh terhadap ketahanan wilayah yang juga akan mempengaruhi

ketahanan nasional. Berdasarkan pemikiran di atas maka dapat digambarkan

kerangka konsep penelitian yang dirumuskan sebagai berikut ini:


38

Pemerintah Kota Sorong

Etnisitas Implementasi Otonomi Khusus


Suatu tradisi masyarakat Merupakan konsep Pemerintah
Pusat untuk memberikan
yang juga mempengaruhi kesempatan percepatan bagi
segala segi kehidupan wilayah terpencil.
termasuk birokrasi.

Akses Layanan Publik


Komposisi Etnis di Birokrasi

Ada dominasi Tidak ada dominasi


Semakin banyak jumlah pejabat Jika tidak ada etnis yang
dari etnis tertentu membuktikan jumlahnya mendominasi.
adanya dominasi etnis/ adanya
etnis penguasa.

Pemicu Konflik Ketahanan Wilayah Terkendali

Ketahanan Wilayah Terganggu Ketahanan Nasional

Gambar/ Bagan1: Model Kerangka Pemikiran oleh Peneliti.


39

BAB III.

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dilihat dari jenis judul penelitian yang berbunyi komposisi etnisitas

birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik

dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap ketahanan

wilayah, maka jenis penelitian yang digunakan oleh Peneliti adalah penelitian

deskriptif dengan metode penelitian kualitatif.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,

menurut Nasir (1988:64), metodek deskriptif adalah metode penelitian untuk

membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian. Mardalis (1990:26),

mengatakan bahwa metode penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan,

mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang terjadi pada

saat ini dan menurut Singarimbun (1995:4), penelitian deskriptif dimaksudkan

untuk mengukur secara cermat fenomena sosial tertentu. Tujuan dari penelitian

deskriptif adalah mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal seperti apa

adanya, sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang situasi-situasi di

lapangan apa adanya (Irawan, 2002:15), sedangkan menurut Mantra (2004:38),

penelitian deskriptif (descriptive research), yaitu suatu metode dalam meneliti

status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian deskriptif bertujuan

39
40

untuk mendeskripsikan atau melukiskan realitas sosial yang kompleks yang ada di

masyarakat.

Penelitian deskriptif yang menghasilkan data kualitatif. Menurut Sugiyono

(2007:6), penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel

yang lain. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan

gambar.

Moleong (1997:165), mengemukakan bahwa penelitian kualitatif

memiliki ciri-ciri manusia sebagai alat penelitian, analisis induktif, deskriptif,

mementingkan proses rancangan penelitian sementara, dan hasil penelitian

disepakati sebagai subyek penelitian. Penelitian dengan menggunakan metode

prosedur kualitatif pada umumnya dipakai dalam penelitian ilmu sosial yang

berusaha melakukan deskripsi interpretasi akan makna dari gejala yang terjadi

dalam konteks sosial, selain itu metode penelitian ini dipilih karena memberikan

suatu yang bermanfaat dan bersifat positif.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi Daerah Penelitian ini dilakukan di Birokrasi Pemerintahan Kota

Sorong Provinsi Papua Barat. Adapun pertimbangan pemilihan lokasi penelitian

tersebut karena Kota Sorong yang merupakan daerah yang sangat majemuk dari

budaya, agama, etnis asli Papua dan etnis non asli Papua yang ada didalam tubuh

Birokrasi Pemeritahan Kota Sorong dan mendiami Kota Sorong sudah bertahun-

tahun. Kota Sorong juga terkenal dengan motto Kota Bersama, pusat berdangan,

pintuh masuk kedua Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan daerah Kota
41

Sorong merupakan penghubung Kabupaten-Kabupaten Pemekaran di sekitar Kota

Sorong. Sehingga bagiamana komposisi etnisitas birokasi pemerintahan dan

dampak eksternal etnisitas terhadap pelayanan publik dalam implemetasi Otsus

dan bagaimana ketahanan wilayah di Kota Sorong tentu menjadi judul baghasan

yang sangat menarik.

3.3 Definisi Operasional

Dalam tesis ini menggunakan beberapa operasional variable. Definisi

operasional variable tersebut yang dimaksud peneliti antara lain:

1. Komposisi

Komposisi dalam penelitian ini diartikan sebagai susunan etnis-

etnis yang ada dalam struktur organisasi pada birokrasi Pemerintah

Kota Sorong. Susunan tersebut kemudian ditarik prosentase, sehingga

dapat dilihat besar prosentase/ dominasi etnis satu dengan etnis yang

lain. Sehingga dapat disimpulkan ada atau tidaknya pengaruh etnisitas

dalam birokrasi di Pemerintahan Kota Sorong.

2. Etnisitas

Etnisitas merupakan kategori-kategori yang diterapkan pada

kelompok atau kumpulan orang yang dibentuk dan membentuk dirinya

dalam kebersamaan atau kolektifitas (Rex Abdilah 2002:75). Ukuran

untuk mengetahui ada atau tidaknya kaitan etnisitas dalam birokrasi

pemerintahan pada penelitian ini adalah dengan melihat komposisi

pejabat di SKPD, jika ada pejabat etnis tertentu yang jumlahnya

mayoritas maka hal ini membuktikan adanya dominasi etnis, yang


42

tentu saja menggambarkan kaitan etnisitas dalam birokrasi di

Pemerintahan Kota Sorong.

3. Birokrasi Pemerintahan

Birokrasi pemerintahan merupakan bentuk dari menejerial pada

pemerintahan. Kualitas birokrasi pemerintahan dicapai melalui

pengaturan struktural seperti hirarki kewenangan, pembagian kerja,

profesionalisme, tata-kerja; dan sistem pengupahan, yang kesemuanya

berlandaskan peraturan-peraturan.Menurut Priyo (1997:2). Dalam

penelitian ini pembagian kerja menjadi bahasan khusus yang akan

menggambarkan birokrasi Kota Sorong

4. Akses Pelayanan Publik

Pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan yang

dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditujukan untuk

pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun untuk pelaksanaan

peraturan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjatmo (1997;132). Jadi

Akses Pelayanan Publik bisa dibilang adalah sarana prasarana untuk

mewujudkan pelayanan yang diperuntukkan untuk publik tersebut,

baik berupa gedung sekolah maupun puskesmas sampai tenaga

pendidik dan kesehatanya.

5. Otonomi Khusus Papua

Menurut Ibo (2010: 4) tujuan Otsus Papua adalah untuk

mewujudkan keadilan, penengakan suprermasi hukum, penghormatan

pada HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan


43

kesejahteraan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan

dan keseimbangan dengan kemajuan Provinsi lain di Indonesia.

Dalam UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus

Papua, dijelaskan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya

yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Yang dimaksudkan dengan Otonomi Khusus

adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi

Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak

dasar masyarakat Papua.

6. Ketahanan Wilayah

Lemhanas (1989), telah merumuskan ketahanan nasional

adalah suatu kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisi keuletan

dan ketangguhan yang mengadung kemampuan untuk

mengembangkan kekuatan nasionalnya di dalam menghadapi dan

mengatasi segalah ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik

dari luar maupun dalam negeri, langsung maupun tidak langsung

membahayakan integritas, indentitas kelangsungan hidup bangsa dan

negara. Dengan demikian, unsur-unsur ketahanan nasional mencakup

Astra Gatra, yaitu geografi, deomografi, sumber daya alam, ideologi,

politik, ekonomi, sosial dan militer.

Ketahanan nasional harus diawali oleh ketahanan wilayah,

artinya ketahanan wilayah akan menopang ketahanan nasional.


44

(Sunardi, 1997:19). Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah dapat

diuraikan sesuai urutan pada Aspek-Aspek Idologi, Politik, Ekonomi,

Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan. Yang berdapak langsung

terhadap Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Agar data yang terkumpul representatif, akurat dan bertanggungjawab

serta dapat menjawab permasalahan pokok, maka penelitian ini menggunakan

purposive sample Arikunto (1998: 117). Menurut Sugiyono (2007: 68), yaitu

sample yang dilakukan dengan tujuan mengambil subjek bukan didasarkan atas

strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas keahlian dan tujuan tertentu.

Menurut Nawawi (2001:167), mempertegaskan bahwa unit sampel yang

dihubungi disesuaikan dengan kriterian-kriterian tertentu yang ditetapkan

berdasarkan tujuan penelitian.

Penentuan sampel dalam penelitian ini tetap didasarkan pada

pertimbangan waktu, biaya dan tenaga. Sampel adalah sebagian dari populasi

karena ia merupakan bagian dari populasi tentulah ia harus memiliki ciri-ciri yang

dimiliki oleh populasinya. Apakah suatu sampel merupakan reprentasi yang baik

bagi populasinya sangat tergantung pada sejauh mana karekteristik sampel itu

sama dengan karakteristik populasi (Azwar, 2005:79 ).

Dalam penelitian ini, sampel dibutuhkan untuk menjawab komposisi

etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan

publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap ketahanan


45

wilayah. Sampel yang diambil sebanyak 19 (Sembilan belas) informan, yang

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Persepsi kalangan birokrasi kelompok etnis yang dianggap penguasa di

Kota Sorong yakni etnis Ayamaru, sebanyak 5 informan dari

representasi PNS di tingkat SKPD.

2. Persepsi kelompok etnis non penguasa atau etnis selain Ayamaru di

birokrasi pemeritahan Kota Sorong, sebanyak 6 informan dari

representasi PNS tingkat SKPD.

3. Persepsi lembaga masyarakat adat dari suku asli Moy sebanyak 1

informan.

4. Persepsi lembaga etnis dari representasi suku-suku asli Papua selain

suku asli Moy maupun Ayamaru yang mendiami Kota Sorong

sebanyak 6 informan.

5. Persepsi Kondisi Implikasinya Ketahanan Wilayah Kota Sorong dari

Kepolisian Sorong Kota 1 informan.

3.5 Sumber Dan Jenis Data

Menurut Moleong (1997:112), di dalam penelitian ini, kata-kata dalam

perilaku atau tindakan nara sumber (kunci dan gulirannya). Berdasarkan sumber

data dan jenis data maka, untuk memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan sumber data yaitu data primer dan data sekunder yang dijelaskan

sebagai berikut ini:


46

1. Data Primer yaitu data yang secara langsung diperoleh dari 19

informan yaitu: Persepsi kalangan birokrasi kelompok etnis yang

dianggap penguasa di Kota Sorong yakni etnis Ayamaru, sebanyak 5

informan dari representasi PNS di tingkat SKPD. Persepsi kelompok

etnis non penguasa atau etnis selain Ayamaru di birokrasi pemeritahan

Kota Sorong, sebanyak 6 informan dari representasi PNS tingkat

SKPD. Persepsi lembaga masyarakat adat dari suku asli Moy sebanyak

1 informan. Persepsi lembaga etnis dari representasi suku-suku asli

Papua selain suku asli Moy maupun Ayamaru yang mendiami Kota

Sorong sebanyak 6 informan. Persepsi Kondisi Implikasinya

Ketahanan Wilayah Kota Sorong dari Kepolisian Sorong Kota 1

informan. Setelah mereka memberikan jawaban atau tanggapan

melalui wawancara, observasi, yang langsung terkait dengan masalah

penelitian pelaksanaan wawancara terlampir.

2. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari berbagai

dokumen arsip, gambar foto-foto, tertulis, karya ilmiah, data statistik

dan lain sebagainya.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang paling krusial dalam penelitian ini adalah Teknik

Pengumpulan Data, karena tujuan utama peneliti yaitu mendapatkan data.

Penggunaan teknik pengumpulan data yang benar dapat memenuhi strandar yang

valid ditetapkan. Untuk memperoleh informasi tentang komposisi etnisitas


47

birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik

dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya terhadap ketahanan

wilayah, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tahap

pengumpulan data sebagai berikut ini:

a. Observasi

Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan secara

sistematis terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian

(Nawawi, 1991:100), dalam penelitian ini digunakan jenis

observasi sederhana non partisipasi, jadi tugas peneliti hanyalah

sekedar mencatat apa saja yang peneliti dapat saksikan pada saat

pengamatan. Metode observasi adalah metode pengumpulan data

yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui

pengamatan dan pengindraan (Bugin, 2005: 115).

b. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dimaksudkan untuk mendapatkan

data melalui komunikasi langsung yang dilakukan beberapa kali

agar didapat gambaran yang lengkap dan utuh tentang pandangan

informan. Teknik ini bertujuan untuk memperoleh data yang dapat

dipertanggungjawabkan. Adapun informasi terdiri dari sejumlah

tokoh masyarakat serta sejumlah masyarakat yang dianggap

memiliki pemahaman terhadap masalah yang akan diteliti. Dalam

metode ini, wawancara yang dilakukan tidak bersifat formal, tapi

lebih pada wawancara informasi yang sifatnya spontan. Karakter


48

yang spontan tersebut menjadikan metode ini bersifat lebih

obyektif dan sahih, sebab tidak ditemukan rekayasa yang dilakukan

terlebih dahulu oleh peneliti (Salim, 2006:223).

Dalam penelitian ini menggunakan wawancara mendalam

atau in-dept interview, lebih menekankan pada suasana keakraban

dengan mengajukan pertanyaan yang terbuka cara pelaksanaan

wawancara yang lentur. (Bugin, 2005: 108).

c. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dalam keadaan

sudah jadi yang sudah ada dalam suatu instansi atau lembaga

dimana peneliti tidak harus menggali secara langsung dari subyek/

obyek penelitian. Data Sekunder/ data penunjang ini merupakan

dokumentasi dari informan, atau data-data pendukung yang

diperoleh di lapangan. Menurut Bugin (2001:152), metode

dokumentasi pada intinya digunakan untuk menelusuri data

historis. Sebagian besar data berbentuk surat-surat, gambar foto-

foto, catatan, kenang-kenangan, laporan atau literatur yang erat

kaitannya dengan masalah yang diteliti.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis Data Kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1982) adalah upaya yang

dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-

milahnya menjadi satuan yang dapat di kelola, menyintetiskan, mencari dan


49

menentukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di pelajari, dan

memutuskan apa yang dapat di ceritakan kepada orang lain.

Terdapat 3 hal utama dalam penelitian, yakni reduksi data, penyajian data

dan penarikan kesimpulan /verifikasi menjadi sesuatu yang saling terjalin pada

saat sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data pada bentuk yang sejajar

untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis. Dengan gambaran

sebagai berikut:

a. Pengumpulan data berarti sebagai proses dalam mengumpulkan semua

hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Reduksi data berarti sebagai proses pemilihan, pemusatan pemerhatian

pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang

muncul dari catatan tertulis di lapangan. Proses ini dilakukan secara

terus menerus selama penelitian berlangsung sampai penelitian bagian

akhir lengkap tersusun.

c. Penyajian data berarti sebagai sekumpulan informasi tersusun yang

memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Hal ini dimaksud agar memudadahkan bagi

peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-

bagian tertentu dari penelitian.

d. Penarikan kesimpulan berarti suatu kegiatan konfigurasi (bentuk yang

dapat dilihat/penggambaran suatu subyek/obyek) yang utuh selama

penelitian berlangsung, secara verifikasi (pemeriksaan tentang


50

kebenaran laporan) oleh peneliti dimaksudkan untuk menganalisis dan

mencari makna informasi yang akan dikumpulkan.

Penjelasan di atas alur model penelitian menurut M.B.Milles dan

A.M.Huberman yang dikenal dengan model interaktif, digambarkan sebagai

berikut:

Pengumpulan data Penyajian data

Reduksi data Kesimpulan-kesimpulan:

Penarikan/Verifikasi

Gambar/ Bagan 2: Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif dari

M.B.Milles dan A.M.Huberman yang sudah mengalami perubahan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode teknik analisis data

kualitatif. Teknik analisis data kualitatif yang dimaksudkan untuk

mengorganisasikan data yang terkumpul dari hasil wawancara mendalam.

Mencatat hasil Observasi di lapangan, laporan, artikel, pemilahan berdasarkan

jenis data, interpretasi data, penyimpulan terhadap hasil interpretasi tersebut dapat

diketahui penelitian yang dilakukan apakah benar ada isu-isu terjadi etnisitas

dalam struktur internal Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, isu-isu pembagian

akses pelayanan publik di eksternal etnisitas di Kota Sorong dan ketahanan

wilayah Kota Sorong.


51

BAB IV.

GAMBARAN UMUM KOTA SORONG

4.1 Sejarah Perkembangan Kota Sorong

Kota Sorong merupakan salah satu Kota di Provinsi Papua Barat, yang

masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Nama Sorong berasal

dari kata soren. Dalam bahasa Biak Numfor, soren berarti laut yang dalam dan

bergelombang. Kata soren dipergunakan pertama kali oleh Suku Biak Numfor

saat berlayar pada zaman dahulu dengan perahu-perahu layar dari suatu pulau ke

pulau lain hingga tiba dan menetap di kepulauan Raja Amapat. Suku Biak Numfor

inilah yang akhirnya memberi nama “Daratan Maladum” dengan sebutan soren

yang kemudian dilafalkan oleh para pedangang Tionghoa Misionaris clad Eropa,

Maluku dan Sangihe Talaut dengan sebutan Sorong.

Kota Sorong dikenal dengan istilah Kota Minyak sejak masuknya para

surveyor minyak bumi dari Belanda pada tahun 1908. Atribut peninggalan sejarah

Kota Sorong sebagai salah satu Kota yang terkenal dengan sejarah target

Nederland Gunea Mashcapeij (NNGPM) atau Kota penuh sisa-sisa peninggalan

sejarah bekas perusahan minyak milik Belanda. Sejak tahun 1945, sebelum

Perang Dunia ke-II, yaitu semasa penjajahan Pemerintahan Belanda atas

Kepulauan Indonesia, maka Kota Sorong pada sekitar tahun 1935 dibuka sebagai

Base Camp Batafse Petroleum Matschappij (BPM) sedangkan pos pemerintahan

mengambil lokasi pada Pulau Doom.

51
52

Setelah penyerahan Irian Barat yang sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat,

secara penuh oleh Penguasa Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa/ UNTEA

(United Nations Temporary Executive Authority) kepada Pemerintah Republik

Indonesia, maka pada tahun 1965 berdasarkan berbagai pertimbangan kemudian

diangkat seorang wakil Bupati Koordinator yang berkedudukan di Sorong, dengan

tugas: 1. Mengkoordinir pelaksanaan tugas pemerintahan oleh Kepala

Pemerintahan Setempat (KPS) Sorong, Raja Ampat, Teminabuan dan Ayamaru.

2. Mempersiapkan pemecahan Kota Irian Barat Bagian Barat menjadi 2 (dua)

Kota.

Tahun 1969, dengan selesainya pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat

(Pepera) maka perkembangan status dari Kota Administratif menjadi Kota

Otonom ini tidak ada perubahan dalam pembagian wilayah dan keadaan sampai

dengan akhir tahun 1972 adalah sebagai berikut: 1. Wilayah Pemerintahan

Setempat Sorong dengan ibukota Sorong; 2. Wilayah Pemerintahan Setempat

Raja Ampat dengan ibukota Sorong Doom; 3. Wilayah Pemerintahan Setempat

Teminabuan dengan ibukota Teminabuan; 4. Wilayah Pemerintahan Setempat

Ayamaru dengan ibu kota Ayamaru.

Pembagian wilayah di Sorong seperti tersebut di atas berlaku sampai tahun

1973 saat dilakukannya penghapusan wilayah-wilayah Kepala Daerah Setempat

dan sejumlah distrik dan dibentuknya Pemerintahan Wilayah Kecamatan Tahap

Pertama Tahun 1973-1974. Dalam perkembangannya, pemerintahan Sorong telah

mengalami perubahan sesuai peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1996 Tanggal 3

Juni menjadi Kota Administrasi Sorong. Selajutnya berdasarkan Undang-Undang


53

No. 45 Tahun 1999 Kota Administratif Sorong ditingkatkan statusnya menjadi

daerah Otonom sebagai Kota Sorong. Kemudian pada Tanggal 12 Oktober 1999,

bertempat di Jakarta dilaksanakan pelantikan pejabat walikota Drs. J.A. Jumame

dan selanjutnya secara resmi Kota Sorong terpisah dari Kabupaten Sorong pada

Tanggal 26 Februari 2000. Dan kini Kota Sorong dipimpin oleh Walikota yaitu

Drs. Lamber Jitmau, M.M. Dari sejarah pemerintahan Sorong juga menciptakan

sejarang kepemimpinan sebagai berikut:

Tabel 1. Sejarah Kepemimpinan Kota Sorong.


Masa
No. Nama Status Etnis
Periode
1. Drs. J. Wanane Bupati Kab. 1989 – 1999 Ayamaru
Sorong
2. Drs. JA. Jumame Walikota 1999 – 2010 Ayamaru
Kota Sorong
3. Drs. Lambert Jitmau,M.M Walikota 2010 – Ayamaru
Kota Sorong sekarang
Sumber: Diolah dari Data Pemerintah Kota Sorong.

Dari sejarah Pemerintahan Kota Sorong yang cukup panjang. Sejarah

kepemimpinanya juga cukup menarik untuk dikaji, karena dari Sorong sebagai

Kabupaten sampai menjadi Kota, kepemimpinannya dijabat oleh etnis Ayamaru.

Yang pertama Drs. Wanane selama 2 (dua) periode saat Sorong menjadi

Kabupaten, kedua Drs. JA. Jumame selama 2 periode saat Sorong kemudian

menjadi Kota Administratif dan ketiga Drs. Lambert Jitmau, MM sebagai

Walikota Sorong kedua dari 2010 sampai sekarang. Sejarah kepemimpinan yang

seperti ini, membuat salah satu suku yakni Ayamaru, memiliki kesempatan yang
54

lebih untuk mendominasi birokrasi. Hal ini mengingat, masyarakat Sorong masih

tergolong masyarakat tradisional yang menjunjung tinggi suku dan etnis, sehingga

kepentingan etnis biasanya lebih diutamanakan daripada kepentingan bersama.

Kota Sorong juga sangatlah strategis karena merupakan pintu keluar

masuk Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Kota persinggahan. Kota Sorong

juga merupakan Kota Industri, perdagangan dan jasa, karena Kota Sorong

dikelilingi oleh Kabupaten-kabupaten yang mempunyai sumber daya alam yang

sangat potensial, sehingga membuka peluang bagi dalam maupun luar negeri

untuk menanamkan modalnya. Maka tidak heran jika Sorong menjadi acuan

keberhasilan pembangunan bagi Kota maupun Kabupaten yang ada di Provinsi

Papua Barat. Potensi yang ada ini tentu harus diimbangi dengan pengelolaan

pemerintahan yang baik (Good Government), sehingga tujuan Otonomi Khusus

agar bisa bersaing dengan daerah lain mampu tercapai.

Seperti halnya kota atau kabupaten lain di Indonesia, Kota Sorong

memiliki tujuan dalam pemerintahannya yang tertuang dalam Visi dan Misi

sebagai berikut:

4.1.1Visi

Visi Kota Sorong adalah “ Terwujudnya masyarakat Kota Sorong yang

SETARA, BERSAHABAT, DINAMIS.”

Setara artinya : Sebagai warga Kota mempunyai kedudukan hak

kewajiban dan tanggung jawab yang sama walaupun

berbeda suku, budaya dan agama.


55

Bersahabat artinya : Antara warga masyarakat Kota terjadi kehidupan yang

harmonis, saling menghargai dan saling menghormati serta

mencintai.

Dinamis artinya : Masyarakat Kota Sorong tidak bersifat statis sebagai

obyek pembangunan. Mengembangkan pemberdayaan

masyarakat dan kekuatan ekonomi sesuai mekanisme pasar

yang berkeadilan yang berbasis kepada pemanfaatan

sumber daya alami dan sumber daya alami dan sumber

daya manusia yang mandiri, maju berdaya saing,

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

4.1.2 Misi

Untuk mewujudkan visi tersebut, diperlukan misi yang berorientasi pada 3

(tiga) hal, yakni:

1. Kebersihan dan keindahan Kota

2. Keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat Kota

3. Pemenuhan kebutuhan masyarakat Kota

Dari misi diatas terdapat beberapa uraian yang menjadi penjelasan ketiga

komponen tersebut, sebagai berikut :

1. Keberhasilan dan keindahan Kota dimaksud mengacu pada motto

Sokoba, Sorong Kota Bersama.

2. Keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat Kota dimaksud

adalah;

1. Keamanan, kentraman dan ketertiban masyarakat


56

2. Pemenuhan kebutuhan masyarakat Kota

a. Membangun trotoar, agar penjalan kaki dapat berjalan dengan

aman dan tidak menganggu lalulintas.

b. Membangun halte bus, terminal taksi serta sarana parker lainnya

guana memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada

masyarakat.

c. Membuat Zebra cross sebagai tempat penyeberang jalan dan

pemesangan traffielight guna menertibkan pengguna kendaraan

bermotor.

d. Membangun pos-pos keamanan lingkungan (Pos Kamling).

3. Pemenuhan kebutuhan masyarakat Kota salah satu diantaranya adalah

kebutuhan akan air bersih, pembuatan taman-taman Kota, sarana

hiburan rakyat serta kebutuhan pelayanan dasar lainnya bagi

masyarakat.

Visi dan misi di atas menggambarkan bahwa Pemerintah Kota Sorong

berkeinginan agar warga masyarakatnya mencapai kesetaraan, persahabatan dan

dinamisasi. Diharapkan warga Kota Sorong tidak ada yang merasa unggul

sehingga seakan acuh dan tidak peduli terhadap golongan, ras, suku maupun

agama lain. Seharusnya warga peduli dan berusaha menggandeng tangan

sahabatnya untuk mencapai kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Tentu dibutuhkan kerjasama berbagai pihak untuk mencapai tujuan tersebut,

mulai dari pemerintah sampai golongan atau suku-suku yang ada sebagai anggota

warga masyarakat Kota Sorong.


57

4.2 Kondisi Geografis

Kota Sorong memiliki letak yang sangat strategis dibandingkan dengan

kabupaten atau kota di Provinsi Papua Barat, karena Kota Sorong berada pada

posisi paling barat dan merupakan pintu masuk dari wilayah Indonesia bagian

Barat ke Provinsi Papua Barat. Selain itu Kota Sorong juga merupakan kota

pesinggahan bagi pengunjung dan wisatawan sebelum melanjutkan perjalanan ke

arah selatan yakni ke kota atau kabupaten lain serta ke Ibu Kota Provinsi Papua

Barat, yang terletak paling ujung disebelah timur Provinsi Papua Barat. Letak

yang strategis ini, secara tidak langsung mempermudah akses pembangunan di

Kota Sorong. Hal ini menyebabkan Kota Sorong lebih maju dari pada kota

maupun kabupaten di Provinsi Papua Barat.

4.2.1 Letak Geografis

Kota Sorong termasuk dalam wilayah Indonesia bagian timur, namun

letaknya ada pada bagian paling barat dalam Provinsi Papua Barat. Secara

geografis, Kota Sorong berada pada posisi koordinat 131° - 51' Bujur Timur dan

0° - 54' Lintang Selatan. Wilayah kota ini berada pada ketinggian 3 meter dari

permukaan laut.

4.2.2 Luas Wilayah

Kota Sorong memiliki luas wilayah 1.105 km², atau sekitar 1,13% dari

total luas wilayah Papua Barat. Memiliki 6 (Enam) Distrik dan 31 (Tiga Puluh

Satu) Kelurahan. Untuk mengetahui luas Kota Sorong, berdasarkan luas distrik

dan kelurahan bisa dilihat dalam tabel berikut:


58

Tabel 2. Luas Wilayah Kota Sorong Berdasarkan Distrik dan Kelurahan.


Distrik/ Kec Kelurahan Luas (Km2)
No. Kota
(Jumlah) (Jumlah)
1 2 3 4 5
Sorong Provinsi 1.Sorong 126,85
Papua Barat 1.Remu Utara 30,07
2.Klademak 26,70
3.Kamp.Baru 25,03
4 Klakublik 20,02
5.Klasuur 25,03
2.Sorong Barat 254,15
1. Saoka 50,83
2. Tj. Kasuari 62,92
3. Klawasi 50,20
4. Rufei 44,50
5. Klabala 45,70
3.Sorong Utara 229,71
1. Klagete 48,45
2. Malanu 51,15
3. Matalamagi 50,50
4. Malaingkedi 54,59
5. Sawagumu 25,02
4.Sorong Timur 158,22
1. Klawalu 19,16
2. Klamana 24,23
3. Klasaman 25,47
4. Klablim 20,15
5. Klawuyuk 17,02
6. Giwu 30,62
7. Klasuat 21,57
59

5.Sorong 200,10
Kepulauan 1.Dum Barat 45,10
2.Dum Timur 50,50
3.Soop 54,48
4.Raam 50,02
6.Sorong Manoi 135,97
1. Malawei 26,73
2. Remu Selatan 31,25
3. Klaligi 20,02
4. Malabutor 26,72
5. Klasabi 31,25
Jumlah 6 31 1.105 Km2
Sumber: Data Pemerintah Kota Sorong Provinsi Papua Barat.

4.2.3 Batas Wilayah

Batas-batas administratif Kota Sorong berdasarkan UU Nomor 45 Tahun

1999 Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya

Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota

Sorong ( Lembaran Negara RI Nomor 173 Tahun 1999 ), Tambahan Lembaran

Negara RI Nomor 3894), sebagai berikut :

- Sebelah Barat : Berbatasan dengan selat Dampi

- Sebelah utara : Berbatasan dengan Distrik Makbon dan Kabupaten

Sorong dan Selat Dampir

- Sebelah Timur : Berbatasan dengan Distrik Makbon dan selat

Dampir

- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Distrik Aimas dan Distrik

Salawati Kabupaten Sorong.


60

4.2.4 Topografis

Keadaan topografi Kota Sorong sangat bervariasi terdiri dari pegunungan,

lereng, bukit-bukit dan sebagian adalah dataran rendah, sebelah timur di kelilingi

hutan lebat yang merupakan hutan lindung dan hutan wisata. Untuk keadaan

geologi Kota Sorong terdapat hamparan galian golongan C seperti batu gunung,

batu kaIi, sirtu, pasir, tanah urug dan kerikil. Sedangkan jenis tanah yang terdapat

di Kota Sorong adalah tanah latosal putih yang terdapat di pinggiran pantai

Tanjung Kasuari dan tanah fudsolik merah kuning yang terdapat dihamparan

seluruh kawasan Distrik Sorong Timur.

Keadaan permukaan Kota Sorong yang terdiri dari gunung, buki-bukit dan

dataran yang rendah yang ditandai dengan jurang, dan wilayah ini dialiri sungai-

sungai sedang, kecil seperti sungai Rufei, sungai Klabala, sungai Duyung, sungai

Remu, sungai Klagison, sungai Klawiki, sungai Klasaman dan sungai Klabtin.

4.2.5 Keadaan Iklim

Dengan posisi Kota Sorong dibawah garis khatulistiwa, suhu sepanjang

tahun 2010 tidak banyak bervariasi. Berdasarkan catatan Badan Metereologi dan

Geofisika, Kota sorong yang ada pada ketinggian 3 m di atas permukaan Laut,

memiliki suhu udara minimum sekitar 24,23° C, dan suhu udara maksimum

sekitar 31,23° C . Curah hujan tercatat 3.127,10 mm. Curah hujan relatif merata

sepanjang tahun 2011. Tidak terdapat bulan tanpa hujan. Jumlah hari hujan setiap

bulan antara 12 – 27 hari. Kelembaban udara rata-rata tercatat 85,00%. Dari iklim

yang ada di Kota Sorong menunjang perkembangan wisata yang ada di kota ini.
61

4.2.6 Ekonomi

Peran sektor dalam pembentukan perekonomian Kota Sorong sektor

industri dan perdagangan, hotel dan restaurant merupakan dua sektor yang

memberikan konstribusi terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Sorong. Sektor

industri menyumbangkan sekitar 24. 95% terhadap total produk domestik regional

bruto dan 20, 49 disumbangkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restaurant.

Laju pertumbuhan ekonomi Kota Sorong pada tahun 2011 adalah 7, 38%

dengan laju pertumbuhan tersebut produk domestk regional bruto perkapital Kota

Sorong berturut-turut Rp. 3. 350, 276, 03 dan Rp. 3. 819. 598, 39 atau naik 14. 01.

Jika dilihat dari sektor pendapatan daerah, maka pada tahun 2012 telah

dilaksanakan kegiatan menerima penyetoran Pendapatan Asli Daerah (PAD),

Kota Sorong yang diterima sebesar Rp. 57. 054. 054. 864. 430 atau Rp. 30. 951.

825. 430 (21%), melebihi dari target yang ditetapkan yaitu sebesar Rp. 36. 103.

039. Hal ini disebabkan program intensifikasi dan ekstensifikasi PAD berhasil.

Dalam realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) pada

tahun 3 mengalami peningkatan dari target awal yang ditentukan sampai dengan

target perubahan mengalami kenaikan sampai prosentase pada masing-masing

retribusi yaitu pajak daerah retribusi daerah, laba badan usaha milikdaerah dan

pendapatan lain-lain sebesar 153. 96% atau jumlah keseluruhan sebesar Rp.

15.246.377.711. Untuk total penerimaan Pendapatan Asli Daerah berdasarkan

jenis penerimaan Pendapatan Asli Daerah berdasarkan jenis penerimaan yaitu

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP), dan ditambah

dengan pos dana perimbangan Dana Alokasi Umum (DAU), pos dana alokasi
62

khusus pos dana otonomi khusus dan bantuan Pemerintah Papua adalah sebesar

Rp. 217.733 atau 150.93%.

Untuk mengetahui penerimaan Pendapatan Asli Daerah Sendiri Kota

Sorong, dapat dilihat dalam PADS tahun 2013 dalam tabel berikut:

Tabel 3. Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) Kota


Sorong Tahun 2013.
No Jenis Penerimaan Target Awal Relisasi Penerimaan %
I Pendapatan Asli 9.903.039.000 15.246.377.711 118.24
Daerah
1. (PAD) 1.442.000.000 3.378.839.029 115.91
2. Pajak Daerah 1.247.000.000 3.139.866.475 159.47
9
3. Retribusi Daerah 100.000.000 465.960.000 465.79
4. Laba Badan Usah 7.114.039.000 9.261.712.207 104.39
Milik Daerah
II Lain-lain Pendapatan 1000.000.000 31.435.818.082 104.61
1. Bagi hasil obyek 6.800.000.000 22.992.427.429 106.23
(BHP)
2. Pajak Bumi dan 500.000.000 1.510.798.029 167.87
Bangunan (PBB)
3. Bea perolehan Hak 3.000.000.000 1.510.798.029 167.87
Attas Tanah dan
Bangunan
4. Bagi Asil pajak 300.000.000 1.906.332.250 476.50
penghasilan
5. Pasal 21 pajak bahan 500.000.000 1.256.440.000 125.69
bakar kendaraan
III Bermotor (PBB- 5.100.000.000 10.372.660.637 237.50
KB)
63

1. Bea Balik nama 50.000.000.000 118.750.000 150.07


kendaraan
2. Bermotor dan KKB 4.000.000.000 7.503.360.424 213.63
(BBN-KB)
3. Bagi hasil buka 300.000.000 854.531.275 -
paajak (BHBP)
4. Air bawah tanah - 5.299.082 -
5. Royalty 50.000.000 139.925.732.781 125.39
pertambangan
IV Pembangian Minyak - 6.520.006.761 125.39
1. Bumi dan gas alam 139.057.000 4.120.992.281 79.25
V Pembagian sumber - 2.349.096.000 -
daya
2. Pembagian Hak Atas - 43.246.219.600 -
tanah
VI Negara (PHATN) 5.200.000.000 28.041.798.505 -
Pos Dana - - -
perimbangan (DAU)
Dana alokasi umum - - -
Pos dana alokasi - - -
khusus dan reboisasi
Dak Non Reboisasi - - -
Pos dana otonomi - - -
khusus dana otonomi
khusus Papua
Bantuan dana - - -
Provinsi
Dana bantuan - - -
Provinsi
Jumlah 144.257.000.000 217.733.858.366 150.93
64

Sumber: Data Dinas Pendapatan Daerah Kota Sorong Provinsi Papua Barat.

4.3 Kondisi Demografis/ Sektor Kependudukan


4.3.1 Kependudukan

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan penggerak pembangunan, tentu

keberadaanya menentukan kemajuan suatu wilayah. Kuantitas yang diimbangi

dengan kualitas penduduk suatu wilayah memiliki peran besar dalam

pembangunan di berbagai bidang. Dilihat dari segi usia, komposisi penduduk

Kota Sorong didominasi penduduk usia muda dengan prosentase yang lebih besar

dari pada kelompok usia tua. Pada kelompok 0-4 tahun tercatat 16.65% sedangkan

pada kelompok umur 75 tahun lebih tercatat 0,17%.

Berdasarkan hasil Pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk

Kota Sorong (Angka Sementara) adalah 190.341 jiwa, yang terdiri atas 99.898

laki-laki dan 90.446 perempuan. Dari hasil SP2010 tersebut, jumlah penduduk

terbanyak berada di Distrik Sorong Utara dengan jumlah penduduk 44.774 jiwa

dan jumlah penduduk terkecil berada di Distrik Sorong Kepulauan dengan Jumlah

penduduk 9.710 jiwa.

Sex Ratio penduduk Kota Sorong hasil SP 2010 adalah sebesar 110,45

persen. Sex Ratio terbesar terdapat di Distrik Sorong Timur yakni sebesar 114,97

dan yang terkecil terdapat di Distrik Sorong Kepulauan sebesar 107,17 yang

berarti penduduk laki-laki 7,17 persen lebih banyak dibandingkan jumlah

penduduk perempuan. Untuk mengetahui jumlah penduduk di masing-masing

distrik dapat dilihat tabel di bawah ini:


65

Tabel 4. Penduduk Menurut Jenis Kelamin Distrik dan Sex Ratio Tahun
2010.
Distrik Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio

Sorong Barat 18.465 16.805 35.270 109,88


Sorong Timur 14.457 12.575 27.032 114,97
Sorong 16.122 14.908 31.030 108,14
Sorong 5.023 4.687 9.710 107,17
Kepulauan
Sorong Utara 23.353 21.421 44.774 109,02
Sorong Manoy 22.475 20.050 42.525 112,09
Jumlah 99.895 90.446 190.341 110,48
Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2010.
Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Sorong jumlah penduduk hasil SP 2010

di Kota Sorong sebanyak 190.341 jiwa. Dengan jumlah penduduk hasil SP 2000

sebesar 96.596 jiwa, maka laju pertumbuhan penduduk di Kota Sorong adalah

sebesar 7,02 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk ini tergolong tinggi bila

dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Jika dilihat dari laju pertumbuhan

penduduk per Distrik maka Distrik Sorong Timur adalah Distrik yang memiliki

laju pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 14,07 persen, sedangkan yang terendah

di wilayah Distrik Sorong Kepulauan yaitu sebesar 3,54 persen.

Luas wilayah 1.105 km² yang didiami pendudk 190.341 jiwa, maka rata-

rata tingkat kepadatan penduduk Kota Sorong adalah sebesar 172 jiwa/km².

Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatannya adalah Distrik Sorong Manoi

yakni sebesar 313 jiwa/km², sedangkan yang paling terendah berada di Distrik

Sorong Kepulauan yakni 49 jiwa/km2. Untuk kepadatan penduduk per Km2 di


66

Kota Sorong yang teridentifikasi dilihat dari penduduk dengan luas daerah yang

ada, adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Kepadatan Penduduk per Km2 di Kota Sorong Tahun 2013.


Distrik Luas Daerah Penduduk Kepadatan Per
2
(Km ) Km²
Sorong Barat 254,15 35.270 139
Sorong Timur 158,22 27.032 171
Sorong 126,85 31.030 245
Sorong Kepulauan 200,10 9.710 49
Sorong Utara 229,71 44.774 195
Sorong Manoi 135,97 42.525 313
Jumlah 1.105 190.341 172
Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2010.
Jumlah rumah tangga berdasarkan hasil SP 2010 adalah sebesar 42.375

rumah tangga. Dengan jumlah penduduk 190.341 jiwa, maka banyaknya jiwa

dalam satu rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar 4,49 orang. Rata-rata

anggota rumah tangga yang tertinggi di wilayah Kota Sorong ada di Distrik

Sorong Kepulauan dengan nilai 5,37 orang dan yang terendah ada di Distrik

Sorong Utara dengan nilai 4,39 orang.

Dari hasil SP 2010 juga dapat diketahui jumlah bangunan yang

dihuni/ditempai (bangunan sensus tempat tinggal dan campuran). Jumlah BSTT

adalah 38.716 bangunan dan jumlah bangunan campuran adalah sebanyak 4.092

bangunan, sehingga total bangunan yang dihuni/ditempati adalah 42.808

bangunan.

Jumlah bangunan yang dihuni/ditempati tersebut dapat diketahui rata-rata

tingkat hunian di Kota Sorong sebesar 4,15 jiwa per bangunan. Rata -rata tingkat
67

hunian yang tertinggi adalah di Distrik Sorong Kepulauan yakni sebesar 4,93 jiwa

pembangunan dan yang terendah berada di wilayah Distrik Sorong Timur yaitu

sebesar 3,81 jiwa perbangunan.

4.3.2 Etnis di Kota Sorong

Penduduk Kota Sorong sangat heterogen terdiri dari berbagai macam

suku, baik suku asli Papua (Moi, Aifat, Aitinyo, Ayamaru, teminabuan dll)

serta suku pendatang (Maluku, Batak, Jawa, Makassar, Bugis, Buton, dll)

dengan presentase 60% penduduk asli dan 40% pendatang, yang di lihat dari

jumlah sensus penduduk terakhir pada dinas terkait.

4.4 Objek Wisata Daerah Yang Belum Dimanfaatkan

Kota Sorong merupakan Kota persinggahan dan pintu gerbang Provinsi

Papua dan Provinsi Papua Barat, yang sangat potensial sebagai daerah wisata.

Disamping itu Kota Sorong juga sebagai kota industri. Perdagangan dan jasa

menjadi perpaduan nilai-nilai peninggalan sejarah dan keaslian warna serta

keunikan Kota Sorong yang memiliki water front view atau kota dengan

pandangan laut serta perpaduan panorama bentang alam.

Pulau Waigeo, Batanta dan Salawati yang merupakan satu gugusan

kepulauan Raja Ampat serta fasilitas jasa pelayanan umum yang cukup lengkap

memberikan kesadaran daya tarik kepada pengunjung yang ingin mendapatkan

pengalaman baru serta barwisata ke Kota Sorong yang terkenal dengan NNGM

(Nederlands Guinea Petrolim Matschcapeij) atau Kota yang penuh dengan sisa-

sisa peninggalan sejarah bekas perusahan minyak milik Belanda perusahaan

NNGPM mulai melakukan aktifitas pengeboran minyak bumi di Sorong sejak


68

Tahun 1935. Peninggalan tanki penempung minyak, rumah tinggal karyawan,

bekas barak karyawan dan bekas sekolah teknik (VOC Chool).

Fasilitas penunjang wisata lainnya tahun 2012 adalah taman rekreasi

pantai Tanjung Kasuari dengan pesona pasir putihnya, pulau, Raam, pulau Soop

dan pulau Doom yang terkenal dengan pantainya yang indah juga pulau-pulau

Dafoir yang terdapat tugu selamat datang di Kota Sorong. Dengan menggunakan

bahasa Moi (Suku asli di Kota Sorong) yang ramah dan bersahabat menyambut

pengunjung yang datang di Kota Sorong. Juga tembok Dofior yang terkenal

dengan pemandangan panorama laut dan keindahan dalam menjelang senjah.

Kota Sorong memiliki prospek dan peluang amat besar dalam memacuh

pertumbuhan ekonomi produk domestik regional Bruto (PDRB) merupakan dasar

pengukuran atas nilai tambah yang dihasilkan akibat adanya berbagai aktivitas

ekonomi dalam suatu wilayah. Data produk Domestik Regional Brato (PDRB)

tersebut menggambarkan kemampuan sumber daerah dalam mengelolah sumber

daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki. Nilai nominal produk

domestik regional bruto Kota Sorong pada tahun 2010 sebesar 665, 16 milyar

rupiah atau naik 20. 03%.

Suatu wilayah memiliki sektor-sektor tentu memiliki karakteristik serta

pengelolaan yang berbeda, namun menjadi penentu keberhasilan pembangunan

dan perkembangan suatu wilayah. Di Kota Sorong beberapa aspek tersebut

meliputi: sektor pendidikan, sektor agama , sektor kesehatan dan sektor

Kependudukan.
69

4.5 Sektor Pendidikan, Sektor Agama, dan Sektor Kesehatan

4.5.1 Sektor Pendidikan

Dalam upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM),

pendidikan mempunyai peran yang sangat krusial. Salah satu masalah yang bisa

menjadi penghalang dalam suatu pembangunan adalah rendahnya pendidikan

ditempatkan pada perioritas yang utama. Berbagai program pembinaan

pendidikan yang dilaksanakan sejak awal telah membawah kemajuan, terlihat

adanya peningkatan partisipasi pada semua jenjang pendidikan jumlah yang terus

ditingkatkan dan peningkatan mutu yang terus menerus dilakukan mulai penataran

guru, penyetaraan Diploma II, penyediaan buku alat peraga dan alat keterampilan.

Kesejahteraan guna juga harus ditingkatkan secara bertahap. Jumlah guru

sekolah dikota Sorong pada 2005/2006, sebanyak 144 gedung sekolah yang

terdiri dari 22 TK, 600 SD, 22 SLTP, 16 SLTA Umum, 6 SLTA Kejuruhan dan

10 perguruhan tinggi. Jumlah Guru TK pada tahun ajaran 2011/2012 berjumlah

100 Guru dengan 1.614 (satu juta enam ratus ribu empat belas) adalah bertambah.

Penambahan Guru SD ini ternyata mampu mengimbangi penambahan. Hal ini

dapat dilihat dari beban kerja Guru turun dari 30 murid per satu Guru pada tahun

ajaran 3011/2012 menjadi 24 murid per satu Guru. Begitu juga terjadi pada Guru

SLTP dan SLTA kejuruan maupun umum, jumlah Perguruan Tinggi dikota

Sorong sebanyak 10 yang terdiri dari 2 penguruan Tinggi kedinasan dan 8

perguruan tinggi swasta. Jumlah tenaga pengajar/Dosen sebanyak 351 orang yang

terdiri dari 118 Dosen tetap dan 233 Dosen tidak tetap, jumlah Mahasiswa
70

sebanyak 4.396 orang. Sedangkan banyaknya sekolah mulai dari TK, SD, SLTP

sampai SLTA dirinci dan distrik tahun 2013, sesuai tabel di bawah ini:

Tabel 6. Jumlah sekolah setiap distrik tahun 2013.


Distrik TK SD SLTP SLTA

Umum Kejuruan Umum Kejuruan


Sorong 12 23 1 - 1 3

Sorong Barat 6 19 5 - 3 1

Sorong Timur 12 20 7 - 2 2

Sorong 32 68 22 - 16 6
Kepulauan
Sorong Utara 5 6 1 - - -

Sorong Manoi 4 5 2 - 2 1

Sumber: Data Dinas P dan P Kota Sorong Provinsi Papua Barat.


Tabel 5 (lima) di atas, distrik Sorong Kepulauan memiliki jumlah sekolah

yang lebih banyak yakni 144 sekolah. Hal ini karena letak geografis yang sulit

memaksa dibangunnya sekolah yang lebih banyak di daerah kepulauan. Sorong

Utara dan Sorong Manoi Barat memiliki jumlah sekolah yang paling sedikit dari

keempat distrik yang ada, yakni 12 dan 14 sekolah. Sorong Barat 34 Sekolah.

Sorong dan Sorong Timur memiliki jumlah yang hampir sama yakni 40 dan 43

Sekolah. Sedangkan banyaknya SD, Guru, dan ratio murid menurut distrik pada

tahun 2013, dijelaskan dalam tabel di bawah ini:


71

Tabel 7. Jumlah SD, Guru, Murid dan Ratio Murid menurut Distrik Tahun
2013.
Distrik SD Guru Murid Ratio Murid Terhadap
Sekolah Guru
Sorong Barat 19 241 5.005 263,42 12,68
Sorong Timur 20 264 6.621 331,05 13,2
Sorong 23 339 8.249 350,65 14,74
Sorong 6 51 1.342 223,67 8,5
Kepulauan
Sorong Utara 6 158 1.231 262,42 12,69
Sorong Manoi 5 129 1.128 330,05 13,1
Jumlah 79 1.182 23.576 904,48 26,28
Sumber: Data Dinas P dan P Kota Sorong Provinsi Papua Barat.
Pada tabel 6 (enam) banyaknya SD, guru, murid dan ratio murid menurut

distrik di atas menerangkan bahwa di Sorong Barat di setiap Sekolah Dasar (SD)

menampung rata-rata 263 siswa yang dididik oleh 13 guru tiap sekolah. Di Sorong

Timur 331 siswa dididik oleh 13 guru. Di Sorong 359 siswa dididik oleh 15

guru. Dan di Sorong Kepulauan setiap Sekolah Dasar (SD) rata-rata menampung

224 siswa yang dididik oleh 9 guru. Sorong Utara 262 siswa dididik 13 guru tiap

sekolah. Sorong Manoi 330 siswa dididik oleh 13 guru.

Tenaga pengajar yang ada di Sorong Kepulauan tidak seimbang dengan

jumlah sekolah dan murid yang ada, hal ini tentu perlu perhatian yang lebih bagi

pemerintah untuk meratakan akses layanan publik dalam hal ini pendidikan,

karena dengan pendidikan akan menentukan generasi penerus di Kota Sorong. Hal

ini juga cukup membuktikan adanya ketidakmerataan akses pelayanan public di

Kota Sorong.
72

Tabel 8. Jumlah SLTP, Guru dan Ratio Murid Menurut Distrik Tahun 2013.

Distrik SLTP Guru Murid Ratio Murid Terhadap


Sekolah Guru
Sorong Barat 5 110 1.686 337.20 22
Sorong Timur 7 144 2.155 307.786 20,57
Sorong 7 176 4.351 621.57 25,14
Sorong 3 34 423 141 11,33
Kepulauan
Sorong Utara 1 20 2.144 305.20 20,57
Sorong Manoi 2 134 2.254 306.785 19,47
Jumlah 25 618 13.011 376.461 59,80
Sumber: Data Dinas P dan P Kota Sorong Provinsi Papua Barat.

Minimnya tenaga pendidik juga dialami pada tingkat SLTP, di Sorong

Barat setiap Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) menampung 337 siswa

yang dididik oleh 22 guru. Di Sorong Timur Setiap sekolah menampung rata-rata

308 siswa dididik 21 guru. Di Sorong setiap sekolah menampung sekitar 622

yang dididik oleh 25 guru. Di Sorong Kepulauan Satu sekolah menampung 141

dengan dididik oleh 11 guru. Sorong Utara setiap sekolah menampung sekitar

306 yang dididik oleh 20 guru dan Sorong manoi setiap sekolah menampung

sekitar 307 siswa dididik 20 guru. Lagi-lagi Sorong Kepulauan mengalami

ketidakseimbangan tenaga pendidik, karena jumlahnya tidak ideal disbanding

daerah lain di Kota Sorong. Padahal daerah kepulauan seharusnya mendapat

perhatian yang lebih dalam rangka mensukseskan program Otonomi Khusus

dengan harapan daerah terpencil mampu bersaing atau minimal sejajar dengan

daerah lain.
73

Tabel 9. Jumlah SLTA, Guru dan Ratio Murid Menurut Distrik Tahun 2013.

Distrik SLTA Guru Murid Ratio Murid Terhadap


Sekolah Guru
Sorong Barat 3 85 1.356 452 28,33
Sorong Timur 2 53 1.152 576 26,5
Sorong 10 228 3.430 343 22,8
Sorong 1 11 75 75 11
Kepulauan
Sorong Utara - - - - -
Sorong Manoi 2 60 2.530 232 28,33
Jumlah 18 437 8.543 38,47 50,49
Sumber: Data Dinas P dan P Kota Sorong Provinsi Papua Barat.

Tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir (SLTA), di Sorong barat setiap

SLTA menampung rata-rata 452 siswa yang dididik sekitar 28 guru. Di Sorong

Timur setiap sekolah menampung 576 siswa yang dididik oleh sekitar 27 guru. Di

Sorong tiap sekolah menampung 343 siswa dan dididik oleh 23 guru. Di Sorong

Kepulauan tiap SLTA menampung 75 siswa dengan dididik oleh 11 guru. Sorong

Utara belum dibangun SLTA dan Sorong Manoi Setiap SLTA menampung rata-

rata 232 siswa yang dididik sekitar 28 guru. Dari data-data jumlah pendidik dan

guru yang ada menggambarkan bahwa keberadaan murid, sekolah dengan

pendidik, belum mencapai keseimbangan. Hal ini membuktikan bahwa jumlah

pendidik dan sarana pendidikan di Kota Sorong masih tergolong kurang memadai.

Ketersedian tenaga pendidik di beberapa distrik di Kota sorong juga belum

merata.
74

4.5.2 Sektor Agama

Kota Sorong adalah Kota yang penuh dengan kemajemukan antara umat

beragama. Hal ini terlihat dari perkembangan kehidupan beragama dan

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berjalan secara harmonis yang

tercermin dari semakin meningkat kerukunan hidup umat beragama dan penganut

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di Kota Sorong agama yang ada

meliputi pemeluk agama Kristen Protestan berjumlah 68.480 orang, Kristen

Katolik 18.989 orang, Islam 73.297 orang, Hindu 350, Budha 1.294 dari total

jumlah pemeluk agama yang terdaftar 162.410 orang. Dari beberapa distrik di

Kota Sorong, penyebaran pemeluk agama cukup merata, dan agama yang

dominan adalah agama Kristen Protestan dan Islam, sesuai data berikut:

Tabel 10. Jumlah Pemeluk Agama Dari Beberapa Sampel (Distrik) Menurut

Golongan Agama Tahun 2013.

Distrik Kristen Kristen Islam Hindu Budha Jumlah


Protestan Katolik
Sorong Barat 19.893 1.682 26.021 6 242 47.844
Sorong Timur 16.132 7.010 11.631 150 451 35.374
Sorong 24.440 9.371 27.110 191 601 61.713
Sorong 3.959 327 4.499 3 - 8.788
Kepulauan
Sorong Utara 2.467 318 1.691 - - 4.476
Sorong Manoi 1.589 281 2.345 - - 4.215
Jumlah 68.480 18.989 73.297 350 1.294 162.410
Jumlah 42.16% 11.69% 45.13% 0.21% 0.80% 100%
dalam %
Sumber: Data Departemen Agama Kota Sorong Provinsi Papua Barat.
75

Sesuai tabel di atas bisa dibuat prosentase pemeluk agama di Kota Sorong,

dari 162.410 penduduk yang terdata; pemeluk agama Kristen Protestan 42.16%

atau sebanyak 68.480 orang, Katolik 11.69% sebanyak 18.989 orang, Islam

45.13% atau 73.297, Budha 0,80% sebanyak 1.294 orang dan Hindu 0,21%

sebanyak 350 orang, dengan jumlah seluruh pemeluk agama yang teridentifikasi

adalah 162.410. Berarti Kota Sorong mayoritas penduduknya beragama Islam

yang berjumlah 73.297 orang yang selisih 2.97 % dengan pemeluk agama Kristen

yang berjumlah 68.480 orang. Dari hasil persentase pemeluk agama di atas,

terdapat tempat ibadah sebagai berikut:

Tabel 11. Jumlah Tempat Peribadatan Di Setiap Distrik Pada Tahun 2013.

Distrik Gereja Gereja Masjid/ Pura Wihara


Kristen Kristen Surau
Protestan Katolik
Sorong Barat 20 3 10 8 1
Sorong Timur 15 5 24 15 1
Sorong 30 1 24 9 2
Selatan
Sorong 8 1 4 2 -
Kepulauan
Sorong Utara 6 2 3 - -
Sorong Manoi 8 2 4 - -
Jumlah 87 14 69 34 4
Sumber: Data Departemen Agama Kota Sorong Provinsi Papua Barat.

Keberadaan tempat peribadatanpun menjadi gambaran harmonisnya

kehidupan beragama di Kota Sorong. Di beberapa distrik, tempat ibadah rata-rata

dibangun oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat yang didominasi oleh


76

Gereja Kristen Protestan dan Masjid dengan jumlah masing-masing 87 (delapan

puluh tujuh) gereja dan 69 (enam puluh sembilan) bangunan Masjid. Hal ini

karena kedua agama itu menjadi agama mayoritas di Kota Sorong.

4.5.3 Sektor Kesehatan

Dalam penelitian ini ditampilkan pula data-data pembangunan di bidang

kesehatan, sebagai berikut:

Tabel 12. Jumlah Rumah sakit Pemerintah dan Swasta Menurut Kapasitas,
Tempat Tidur dan Distrik Tahun 2013.
Distrik Pemerintah Swasta Jumlah
RS T. Tidur RS T. Tidur RS T. Tidur
Sorong Barat - - - - - -
Sorong Timur 1 50 - - 1 50
Sorong - - - - - -
Sorong Kepulauan - - 6 222 - 222
Sorong Utara - - - - - -
Sorong Manoi - - - - - -
Jumlah 1 50 6 222 1 272
Sumber: Data Dinas Kesehatan Kota Sorong Provinsi Papua Barat.

Tabel 12 diatas dapat disimpulkan bahwa Jumlah rumah sakit di Kota

Sorong masih sangat terbatas. Rumah sakit milik pemerintah hanya ada di distrik

Sorong Timur yang hanya berjumlah 1 yang memiliki 50 tempat tidur. Dan

Rumah sakit swasta yang ada di Kota Sorong ada di distrik Sorong Kepulauan

dengan jumlah 6 rumah sakit yang memiliki 222 tempat tidur. Fasilitas yang lain

di Kota Sorong bukan hanya Rumah Sakit, di Sana juga ada puskesmas keliling

yang tersebar pada masing-masing distrik, sesuai tabel berikut:


77

Tabel 13. Jumlah Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Balai Pengobatan


Menurut Distrik Tahun 2013.
Distrik Puskemas Puskesmas Balai Pengobatan
Pembantu Pemerintah Swasta
Sorong Barat 1 4 - 2
Sorong Timur - 8 - 2
Sorong 1 5 1 (ABRI) 2
Sorong 1 2 - -
Kepulauan
Sorong Utara 1 4 - -
Sorong Manoi 1 5 - -
Jumlah 5 28 1 6
Sumber: Data Dinas Kesehatan Kota Sorong Provinsi Papua Barat.

Puskesmas pembantu dan balai pengobatan yang ada di Kota Sorong

memiliki total jumlah 40, meliputi: 5 puskesmas, 28 puskesmas pembantu, 1

balai pemerintah milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan 6

pengobatan swasta. Jumlah sarana kesehatan di masing-masing distrik, yakni

Sorong Barat 7 sarana, Sorong Timur 8 sarana, Sorong 9 sarana dan Sorong

Kepulauan hanya memiliki 3 sarana kesehatan.

Hal yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Kota adalah di Sorong

Timur tidak memiliki puskesmas, sedangkan di Sorong kepulauan lagi-lagi akses

layanan publik yang kali ini berupa kesehatan masih kurang dibanding beberapa

wilahah lain. Untuk kendaraan sebagai sarana dan prasarana kesehatan

nampaknya juga perlu ditingkatkan. Ada beberapa distrik yang tidak memiliki

kendaraan sebagai sarana puskesmas keliling, padahal kendaraan ini pasti


78

diperlukan untuk penanganan darurat bagi pasien. Sedangkan untuk fasilitas

puskesmas keliling dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel 14. Jumlah Puskesmas Keliling Menurut Distrik Tahun 2013.


Distrik Puskemas Keliling Pengobatan
Perahu Mobil Sepeda Motor Swasta
Sorong Barat - 2 2 4
Sorong Timur - - - -
Sorong - 2 1 3
Sorong Kepulauan 3 - - 3
Sorong Utara - - - -
Sorong Manoi - - - -
Jumlah 3 4 3 10
Sumber: Data Dinas Kesehatan Kota Sorong Provinsi Papua Barat.
Fasilitas kesehatan saja tidak cukup untuk menwujudkan pembangunan

dalam bidang kesehatan. Dibutuhkan pula manusia sebagai penggerak kesehatan.

Di Kota Sorong terdapat dokter dengan jumlah total 38 orang yang tersebar di

beberapa distrik Sorong Timur dan Sorong, dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 15. Jumlah Dokter Menurut Distrik Tahun 2013.


Distrik Dokter Ahli Umum Gizi Jumlah
Sorong Barat - 2 - 2
Sorong Timur 5 2 3 2
Sorong - 4 1 5
Sorong Kepulauan - 1 1 2
Sorong Utara - 1 1 2
Sorong Manoi - 1 1 2
Jumlah 5 11 7 15
Sumber: Data Dinas Kesehatan Kota Sorong Provinsi Papua Barat.
79

Data-data kesehatan yang ada di Kota Sorong menggambarkan jika sarana

dan prasarana kesehatan yang ada di Kota Sorong cukup memadai. Sedangkan

untuk tenaga kesehatan atau paramedis secara keseluruhan. Yang ada di rumah

sakit berjumlah 354 orang. Bisa di lihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 16. Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Distrik Tahun 2013.


Distrik Jumlah Paramedis Jumlah
RS Dokter Perawat Non Non
Perawat Perawat
Sorong Barat - 2 31 9 - 42
Sorong Timur 1 8 61 21 6 96
Sorong - - 60 9 2 71
Sorong - 1 13 2 1 18
Kepulauan
Sorong Utara - 2 40 7 4 53
Sorong Manoi - 2 60 9 3 74
Jumlah 1 16 265 57 16 354
Sumber: Data Dinas Kesehatan Kota Sorong Provinsi Papua Barat.
Dinamisasi Kota Sorong yang notabene jauh dari Pemerintah pusat,

menandakan bahwa Kota ini cukup berkembang di bandingkan wilayah Papua

Barat lainya. Melimpahnya Sumber Daya baik alam maupun manuasia tentu

menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat setempat maupun pendatang untuk

bisa survive dan tinggal menetap di wilayah tersebut.

Dilihat dari kondisi geografis, Kota Sorong memiliki peluang untuk

mampu berkembang atau dengan kata lain Kota yang memiliki harapan hidup. Hal

tersebut juga tentu berpengaruh terhadap perekonomian warganya, terlihat pada

data yang ada pertumbuhan ekonomi sangat baik di Sorong. Multikulturalisme


80

penduduknya baik dari agama maupun etnis juga menggambarkan kemajuan Kota

dengan ditunjang Pemerintahan yang cukup modern. Dari perkembangan yang

ada di Kota Sorong, juga ditunjang dengan sarana dan prasarana yang cukup

memadai dalam kelas wilayah terpencil, contohnya dari sektor kebutuhan dasar

pendidikan sudah memiliki gedung sekolah yang dilengkapi dengan tenaga

pengajar, sedangkan dari sektor kesehatan juga dalam data yang ada sudah

digambarkan fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatanya. Walupun cukup

disayangkan dalam hal pelayanan publik dari data yang ada nampaknya perlu

ditingkatkan atau lebih tepatnya perlu adanya pemerataan pelayanan publik

terutama diutamakan untuk wilayah terpencil sehingga tujuan Otonomi Khusus

bisa terwujud.
81

BAB V.

KOMPOSISI ETNISITAS TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DALAM

BIROKRASI PEMERINTAHAN KOTA SORONG

5.1 Komposisi Penduduk Menurut Etnis-Etnis Di Kota Sorong

Sebagai Kota yang memiliki potensi untuk maju/ memiliki harapan hidup

yang cukup tinggi dengan sumber daya yang ada, Kota Sorong dihuni bukan

hanya masyarakat asli namun juga banyak pendatang dari luar kota bahkan luar

pulau yang juga menggantungkan hidupnya di Kota ini. Maka tak heran, akhirnya

tercipta multikulturalisme yang juga memberikan kesan Kota Sorong dihuni oleh

berbagai macam etnis. Kesan tersebut memang benar karena enis-etnis yang ada

di Kota Sorong, secara umum didalamnya terdapat penduduk asli Papua maupun

non Papua yang sudah menyebar pada seluruh penjuru wilayah.

Namun sayangnya belum ada sensus yang dilakukan secara terperinci,

tentang data yang valid etnis di Kota Sorong. Sehingga jumlah yang pasti tentang

berapa banyaknya etnis-etnis asli Papua maupun non Papua di Kota Sorong tidak

dapat disajikan secara lengkap. Untuk dapat mengetahui gambaran umum etnis-

etnis yang tinggal di Kota Sorong berdasarkan suku bangsa, di Kota Sorong dapat

dilihat dari tabel 16, di bawah ini:

Tabel 17. Komposisi Penduduk Menurut Etnis-Etnis Di Kota Sorong.

No. Wilayah Suku Bangsa Sub Suku Bangsa


1. Kota Sorong Moy Arfak, Moi-Dial
(Seget),MoiKlasen, Moi-
Kalabra Moi, Morait, As
Maya, Amber, Kawe,
Batol,Fiawat,Mocu,
Suruan, Sautrop, Biser,
Matbat, Gebe, Sopen
81
82

2. Sorong Selatan Teminabuan Tehit, Matbat, Gemna,


Ogit, Syaifi, Sawiat, Bira,
Inanwatan Metemani, Kokoda/Ogit,
Yahadian
3. Maybrat Maybrat Ayamaru (ra Maru), Aifat
Aifat,Aitinyo, Ayamaru, Ayamaru, (Rae Brat), Aitinyo (Ra te)
Ayamaru Utara. Karon, Yeden Mare (Ra Mare), Sawiat
(Na Sawiat), Sufari (Tarfia,
Sou, Amboras, Muris).
Karon Pantai, Karondori,
4. Raja Ampat
5. Fak Fak Onon, Iha, Karas, Baham,
Buruwai, Kamberau,
Irarutu, Mairasi, Semini,
Koiwai, Panuku, Guenora
6. Kaimana
7. Manokwari
8. Biak
9. Serui
10. Nabire
11. Jayapura
12. Merauke
13. Wamena
14. Jayawijaya
15. Ambon
16. Key
17. Ternate
18. Makassar
19. Toraja
20. Jawa
21. Batak
22. DLL
Sumber : Data Penduduk Menurut Etnis-Etnis Di Kota Sorong Tahun 2013.
83

Dalam perkembanganya, sebagai wilayah yang jauh dari pantauan

pemerintah pusat, masyarakat Kota Sorong masih tergolong sebagai masyarakat

tradisional. Pada kebudayaan masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi, peran

etnis atau suku sangat berperan dalam semua lini kehidupan. Maka tidak heran di

wilayah-wilayah terpencil seperti di papua, etnisitas sering kali memicu terjadinya

konflik. Pada prinsipnya konflik terjadi berkisar pada perebutan wilayah,

kekuasaan, egoisme suku, kepentingan dan sebagainya berkenaan dengan urusan

etnis/ suku. Di Kota Sorong sendiri, kecenderungan untuk lebih mengutamakan

etnis, suku, marga, kampung atau saudara masih begitu terasa. Dalam Pemerintah

Kota Sorong etnisitas ternyata disinyalir juga mempengaruhi sendi Birokrasi yang

ada. Keterkaitan antara etnisitas dengan birokrasi yang merupakan bagian dari

pembuat kebijakan, tentu juga akan memiliki dampat terhadap kehidupan

masyarakat.

5.2 Deskripsi Komposisi Etnis Dalam Internal Birokrasi Pemerintahan

Kota Sorong

Untuk bisa membuktikan ada atau tidaknya pengaruh etnisitas ini terhadap

keberlangsungan birokrasi yang ada di Pemerintah Kota Sorong dan bagaimana

dampaknya terhadap masyarakat, berikut deskripsi Komposisi Etnis Dalam

Internal Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong:


84

5.2.1 Struktur Organisasi Pemerintah Kota Sorong Provinsi Papua Barat

Pemerintah Kota Sorong dikelola oleh Sumber Daya Manusia (SDM)

dengan struktur organisasi yang jelas sesuai intruksi pemerintah pusat serta telah

dilegalkan dalam Peraturan Daerah. sebagai berikut:

Gambar / Bagan 3: Struktur Organisasi Pemerintah Kota Sorong Provinsi


Papua Barat.

Walikota Sorong:
Drs. Ec.Lambert Jitmau, MM

Wakil walikota:
dr. Pahima Islander

SEKDA
dr. H. E. Sihombing, MM

Asisten Adm.
Asisten Pemerintahan Asisten Administrasi Umum
Pereko, Pemba dan
Umum Dra. Welly Sagrim Kesejahteraan
Drs. Markus Ike Abubakar
Alhamid, S.Sos

Kepala Bag. Umum


MaklonManibury, S.Sos

Kepala Bag.Hukum Sub Bag.Rumah Tangga SubBag.Humas dan


Sukiman S.Sos Grita Anyth Rumawung. Protokoler
S.Sos Abduh

Sumber: Sesuai Peraturan Daerah Kota Sorong Nomor 22 Tahun 2012.


85

5.2.2 Etnis Pejabat Struktural Pemerintah Kota Sorong


Struktur Organisasi di Pemerintahan Kota Sorong di jabat oleh penduduk

asli Sorong maupun luar Kota Sorong dari berbagai etnis, sesuai tabel berikut:

Tabel 18. Etnis Pejabat Struktural Pemerintah Kota Sorong 2013.


No Jabatan Nama Etnis
1 Walikota Sorong Drs. Ec.Lambert Jitmau, MM Ayamaru
2 Wakil Walikota dr. Pahima Islander Makassar
3 Sekretari Daerah (SEKDA) dr. H. E. Sihombing, MM Batak
kota sorong
4 Asisten Pemerintahan Drs. Markus Ike Ayamaru
Umum
5 Asisten Administrasi Dra. Welly Sagrim Ayamaru
Umum
6 Asisten Adminitrasi Abubakar Alhamid, S.Sos. Raja
Perekonomian, Ampat.
Pembagunan dan
Kesejahteraan
7 Kepala Bagian Umum Maklon Manibury, S.Sos. Biak.
8 Kepala Bagian Hukum Sukiman S.Sos. Jawa.
9 Sub Bag.Rumah Tangga Grita Anyth Rumawung. Manado.
S.Sos.
10 SubBagian Humas dan Abduh Ahmad, S.Sos. Makassar
Protokoler
Sumber: Diolah dari Struktur Organisasi Pemerintah Kota 2013.

Tabel 18 (delapan belas) di atas bisa disimpulkan bahwa etnis mayoritas

yang menjabat adalah etnis Ayamaru. Dari 10 (sepuluh) jabatan struktural 3 (tiga)

di antaranya etnis Ayamaru, termasuk Walikota Sorong adalah seorang Ayamaru.


86

Etnis lainya meliputi: Makassar sebanyak 2 (dua) orang, dan Batak, Raja Ampat,

Biak, Jawa serta Manado masing-masing 1 (satu) orang.

5.2.3 Sekretariat Daerah Kota Sorong

Berikut komposisi pejabat di Sekretariat Daerah, Kota Sorong:

Tabel 19. Komposisi Pejabat Menurut Eselon, Golongan/ Ruang, Etnis di


Sekretariat Daerah Kota Sorong Tahun 2013.
Etnis
Gol/
Nama Jabatan Esalon Raja Lain-
ruang Ayamaru Biak
Ampat Lain
Drs.Markus Iek, Kepala Dinas II.a IV/b Ayamaru
M.Si
Dr. H. E. Sekretaris II.a IV/b Batak
Sihombing, Daerah
MM
Korina Wafom, Kepala Bagian II.b IV/a Ayamaru
S.Sos Tata
Pemerintahan
Sukiman, S.Sos Kepala Bagian II.b III/d Jawa
Hukum
Fadlun B. Kepala Bagian III.a III/c Ayamaru
Bauw, SH Organisasi
( PLT )
Abubakar Asisten IV.b IV/a Raja
Alhamid,S.Sos Administrasi Ampat
Ekonomi,
Pembangunan
dan
Kesejahteraan
Sosisal ( PLT)
87

Ja
Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis Nama bat Esalon
ruang
an

Sefnath Kepala Bagian IV.b IV/a Ayamaru


Sangkek, SE Administrasi
Pembangunan
Drs. Terra Kepala Bagian III.a IV/b Ayamaru
Kambu Kesejahteraan
Sosial
Dra. Welly Asisten III.a IV/b Ayamaru
Sagrim Administrasi
Umum
Maklon Kepala Bagian III.a III/c Biak
Manibury, Umum
S.Sos
Nifu Ahmad Kepala Bagian III/d Jawa
Humas IV.b
Grit Anyth Kepala Bagian IV.b III/c Manado
Rumawung,S.S Rumah
os Tangga
Sumber: Diolah dari Struktur Organisasi Sekretariat Daerah Kota Sorong 2013.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, Sekretariat daerah

merupakan unsur staf yang mempunyai tugas membantu bupati/walikota dalam

menyusun kebijakan, mengoordinasikan dinas serta lembaga teknis daerah dan

bertanggung jawab kepada bupati/ walikota. Sekretariat daerah dalam

melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi:

a. Penyusunan kebijakan pemerintahan daerah;

b. Pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas dan lembaga teknis daerah;


88

c. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;

d. Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah;

e. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai tugas.

Sekretariat Daerah Kota Sorong terdiri dari pegawai eselon tingkat IV.b

sampai II.a. Dengan Golongan/ Ruang dari tingkat IV/b sampai III/c. Dalam tabel

17 di atas terlihat dari 12 (dua belas) orang yang menduduki jabatan di Sekretariat

Daerah Kota Sorong, Etnis Ayamaru mendominasi jabatan. Etnis Ayamaru

terdapat dalam struktur organisasi sebanyak 6 (enam) orang, Etnis Raja Ampat 1

(satu) orang, Etnis Biak 1 (satu) orang, Etnis lainya Jawa 2 (dua) orang dan Batak

serta Manado masing-masing 1 (satu) orang.

5.2.4 Sekretariat DPRD Kota Sorong

Sesuai PP Nomor 41 Tahun 2007, Sekretariat dewan perwakilan rakyat

daerah yang selanjutnya disebut sekretariat DPRD merupakan unsur pelayanan

terhadap DPRD. Sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan

administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan

tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengoordinasikan tenaga ahli

yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

Sekretariat DPRD dipimpin oleh sekretaris dewan, yang secara teknis operasional

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara

administratif bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.

Sekretariat DPRD dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi:

penyelenggaraan administrasi kesekretariatan DPRD; penyelenggaraan

administrasi keuangan DPRD; penyelenggaraan rapat-rapat DPRD; dan


89

penyediaan dan pengoordinasian tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD. Pada

Sekretariat DPRD Kota Sorong, Etnis Ayamaru berjumlah 3 (tiga) orang,

termasuk Sekretaris Dewan adalah PLT atau pengganti sementara yang

merangkap sebagai Kepala Bagian Umum Sekretariat DPRD. Etnis lain yang ada

yakni Ambon dan Makassar masing-masing 1 (satu) orang, sesuai tabel berikut:

Tabel 20. Komposisi Pejabat Menurut Etnis di Sekretariat DPRD Kota

Sorong Tahun 2013.

Etnis
Gol/
Nama Jabatan Esalon
ruang
Ayamaru Lain-Lain

Esau Yumthe, Sekretaris Dewan II .a III/d Ayamaru


SH Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Sorong
( PLT )

Esau Yumthe, Kepala Bagian II.a III/d Ayamaru


SH Umum pada
Sekretariat DPRD
Kota Sorong

Johanis Kepala Bagian III.b III/d Ambon


Revideso, Program dan
S.Sos, MM Keuangan

Fanik Kepala Bagian III.b III/c Ayamaru


Tehupeiory Rapat dan Risalah
Solosa, .Sos,
MH

Abduh Ahmad, Kepala Bagian III.b III/c Makassar


S.Sos Hubungan
Masyarakat dan
Protokol
Sumber: Data Diolah dari Struktur Organisasi Sekretariat DPRD Kota Sorong
2013.
90

5.3 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Besar

5.3.1 Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Sorong

Komposisi Pejabat Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Sorong, Etnis

Ayamaru berjulah 1 (satu) orang yaitu Drs. Dance Way selaku sekretaris Eselon

III.a dengan Golongan/ Ruang IV/ b, Serui 1 (satu) orang, etnis luar Papua yakni:

Batak 2 (dua) orang, Toraja dan Ambon masing-masing 1 (satu) orang. Jabatan

Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Sorong diduduki oleh Dra. Isunin

S. Nasidang, M.Pd Eselon II.a dengan Golongan IV/c yang berasal dari Etnis

Toraja, sesuai data sebagai berikut:

Tabel 21. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Pendidikan Dan


Pengajaran Kota Sorong.
Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
Ruang
Dra.Isunin S. Nasidang, Kepala Dinas II .a IV/c Toraja
M.Pd
Drs. Dance Way Sekretaris III.a IV/b Ayamaru
Drs. Bistok Sihaan Kepala Bidang III.b IV/b Batak
Dik menega
Estulim J.B Birahim, SH, Kepala Bidang III.b IV/b Ambon
M.Pd dasar
Petrus Karismo, S.Pd, M.Pd Kepala Bidang III.b III/b Serui
Pendidikan Luar
Sekolah
Torus Sibangariang, S.IP Kepala Bidang III. b III/d Batak
Ketenagaan
Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Dinas Pendidikan dan Pengajaran
Kota Sorong 2013.
91

5.3.2 Dinas Pekerjaan Umum Kota Sorong

Komposisi Pejabat Dinas Pekerjaan Umum Kota Sorong, pada posisi

strategis diduduki oleh Etnis Ayamaru berjumlah 1 (satu) orang, yakni Abner

Jitmau dengan tingkat Eselon II.b dan Golongan atau Ruang II.d, selaku Kepala

Dinas yang ternyata merangkap jabatan yang juga sebagai kepala Bidang Tata

Kota. Sedangkan Etnik yang berasal dari luar Papua adalah Batak 2 (dua) orang

dan Jawa 2 (dua) orang, sebagai berikut:

Tabel 22. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Pekerjaan Umum Kota
Sorong.

Etnis
Nama Jabatan Esalon Gol/ruang
Lain-
Ayamaru
Lain

Abner Jitmau, Kepala Dinas II .b III./d Ayamaru


ST

Lermianna Sekretaris III.b III./d Batak


Sijabat, SE.
M.M

J. Sinaga, ST. Kepala Bidang III.b III./d Batak


MM Bina Marga

Miswanuddin Bidang Tata III.b III./d Jawa


as. BA Kota

Agus Suryo Bidang III.b III./d Jawa


Darmo, SE Permukiman &
Cipta Karya

Abner Jitmau, Bidang Tata II.b III./d Ayamaru


ST Kota

Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Dinas Pekerjaan Umum Kota
Sorong 2013.
92

5.3.3 Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kota Sorong

Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Kota Sorong, Pejabat yang

merupakan Etnis Ayamaru, yakni: Jabatan Sekretaris diduduki Drs. Wilhelmus

Asmuruf Eselon III.a dengan Golongan/ Ruang IV/d, Jabatan Kabid Pembukuan

dan Verifikasi yakni Safura Kambu, B.Sc Eselon II.b dengan Golongan/ Ruang

IV/ a, Jabatan Kepala Bidang Aset yakni Nicolas Lagu, S.Sos Eselon III.b dengan

Golongan/ Ruang III/ c, Jabatan Kepala Sub Bidang Anggaran I yakni Aryanti S.

Kondologit, SE Eselon IV.a dengan Golongan/ Ruang III/ d, Jabatan Kepala

Bidang Sub Anggaran II yakni Yance Jitmau, SE Eselon IV.a dengan Golongan/

Ruang III/ d dan Jabatan Kepala Sub Bagian Pendapatan dan Pelaporan yakni

Lewi Kemesfle, S.Sos.

Dinas ini bisa dikatakan cukup strategis, karena tugas dan fungsinya

menentukan serta mengatur sirkulasi keuangan yang ada Pemerintah Kota Sorong.

Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kota Sorong jugatidak bisa lepas

dari dominasi Etnis Ayamaru, dari 9 (sembilan) posisi jabatan inti 6 (enam)

diantaranya diduduki oleh Etnis/ Suku Ayamaru. Sedangkan Etnis lain yang ada

pada komposisi jabatan antara lain Etnis Fakfak 1 (satu) orang yakni Hanok

Johosua Talla, S.Sos selaku Kepala dinas, Etnik Manokwari/ Mandacan 1 (satu)

orang dan Jawa 1 (satu) orang.

Berikut komposisi pejabat menurut Jabatan, Eselon, Golongan/ Ruang

dan Etnis di Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kota Sorong

tahun 2013:
93

Tabel 23. Komposisi Pejabat Menurut Etnis di Dinas Pengelolaan Keuangan


Dan Asset Daerah Kota Sorong.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
ruang

Hanok Johosua Kepala Dinas II.a III/d FakFak


Talla,S.Sos

Drs. Wilhelmus Sekretaris III.a IV/d Ayamaru


Asmuruf

Safura Kambu, B.Sc Kabid Pembukuan III.b IV/a Ayamaru


& Verfikasi

Nicolas Lagu,S.Sos Kabid Aset III.b III/c Ayamaru

Elok Kristianingsih, Kepala Sub. IV.a III/c Jawa


SE Bagian Umum

Imanuel M. A.md Kepala Sub. IV.a III/a Mandacan


Bidang Belaja
Pegawai

Aryanti S. Kepala Sub. IV.a III/d Ayamaru


Kondologit, SE Bidang Anggaran I

Yance Jitmau, SE Kepala Bidang Sub IV.a III/d Ayamaru


Anggaran II

Lewi Kemesfle, S.Sos Kasubag IV.a III/d Ayamaru


Pendapatan &
Pelaporan
Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Dinas Pengelolaan Keuangan Dan
Asset Daerah Kota Sorong 2013.
94

5.3.4 Dinas Sosial Kota Sorong

Pejabat Strategis Dinas Sosial Kota Sorong dari 5 (lima) yang ada 3 (tiga)

diantaranya adalah suku Ayamaru, antara lain: Drs. Fredrik Atanay, M.Si Eselon

II.b dengan Golongan/ Ruang IV/ c selaku Kepala Dinas, Drs. Yohanis Kambu

Eselon II.b Golongan/ Ruang IV/ c selaku Sekretaris dan Traice Kareth, Amd.Sos,

Eselon IV.b dengan Golongan/ Ruang III/ b selaku Sub Dinas Bantuan Sosial.

Kedua pejabat lain yakni Drs. Sutrisno Karo Karo berasal dari Etnis Batak dan

Drs. Warsim dari Jawa. Pada Dinas Sosial Kota Sorong, Komposisi pejabat yang

ada di dalamnya sebagai berikut:

Tabel 24. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Sosial Kota Sorong
Tahun 2013.
Etnis
Nama Jabatan Esalon Gol/ruang Lain-
Ayamaru
Lain
Drs. Fredrik Kepala Dinas II. b IV/c Ayamaru
Atanay, M.Si
Drs. Yohanis Sekretaris II.b IV/c Ayamaru
Kambu
Drs. Sutrisno Seksi bidang III.c IV/b Batak
Karo Karo rabilitasi
social
Drs. Warsim Seksi bidang III.b IV/a Jawa
pelayanan
sosial
Traice Kareth, Sub Dinas IV.b III/b Ayamaru
Amd.Sos, Batuan Sosial
Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Dinas Sosial Kota Sorong 2013.
95

5.3.5 BAPPEDA Kota Sorong

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) merupakan

instansi yang juga cukup penting keberadaanya dalam pemerintahan Kota Sorong,

karena badan setingkat dinas ini menentukan arah pembangunan wilayah tersebut.

Badan perencanaan pembangunan daerah dipimpin oleh kepala badan yang

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui

sekretaris daerah.

Untuk tugas dan fungsinya, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41

Tahun 2007, Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur

perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Badan perencanaan

pembangunan daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan

pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Badan

perencanaan pembangunan daerah dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan

fungsi:

a. Perumusan kebijakan teknis perencanaan;

b. Pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan;

c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan

daerah;

d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai

dengan tugas dan fungsinya.

Untuk melaksanakan tugas dan funfsinya, BAPPEDA Kota Sorong

memiliki komposisi pejabat sebagaimana tabel di bawah ini, yang diklasifikasikan

menurut jabatan, eselon gol/ ruang serta etnis yang menjabat.


96

Tabel 25. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di BAPPEDA Kota Sorong.


Etnis
Nama Jabatan Esalon Gol/ruang
Ayamaru Lain-Lain
Daniel Jitmau, Kepala Badan II .b IV/c Ayamaru
SE
Drs. Kisman Sekretaris III.b IV/a Key
Rahayaan, MM
Dra. Irene Kepala Bidang III.b IV/a Jawa
Tantri Dewanti, Pemerintahan
MSi dan Aparatur
Very M.R Kabid Sosial & III.b III./a Ayamaru
Kambuaya, SE Perekonomian
Abubakar Gusti Kepala Bidang III.b III/b Ternate
Pembangunan
Amos Kareth, Kabid Invertasi III. b III/d Ayamaru
SH & Promosi
Dra. Irene T. Kabid.Pem & III.b IV/a Jawa
Dewanti, Msi Aparatur
Otenesimus Kasub. Bag IV.a III/d Ayamaru
Assem, S.Sos Umum
Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi BAPPEDA Kota Sorong 2013.
Komposisi Pejabat di Bappeda, Jumlah suku Ayamaru yang menjabat

yakni 4 (empat) orang termasuk Kepala dinas Daniel Jitmau, S.E dengan Eselon

II.b dan Gol/ Ruang IV/ c, Kepala Bidang Sosial dan Perekonomian Very M.R

Kambuaya, S.E dengan Eselon III.b dan Gol/ Ruang III/ a, Kepala Bidang

Investasi dan Promosi Amos Kareth dengan, S.H Eselon III.b dan Gol/ Ruang III/

d, serta Otenesimus Assem, S.Sos sebagai Kepala Sub Bagian Umum dengan

Eselon IV.a dan Gol/ Ruang III/ d.


97

5.4 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kecil

5.4.1 Badan Kesbangpol Dan Linmas Kota Sorong

Beberapa SKPD/ Dinas dianggap memilikitanggung jawab yang besar

namun keperluan pengeluaran dan cukup kecil sehingga SKPD/ Dinas tersebut

seringkali kurang diminati.

Tabel 26. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Badan Kesbangpol Dan


Linmas Kota Sorong.
Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
ruang
Marthen Jitmau, S.Pd Kepala Badan Kesatuan II .a III/d Ayamaru
Bangsa, Politik dan
Perlindungan
Masyarakat Kota
Sorong
E. N. Sikirit, SH Sekretari III.a III/d Ayamaru

Liber M. Siagian, SE Kepala Bidang III.b III/c Batak


Integritas
Sefnat Kareth, SH Kepala Bidang III.b III/d Ayamaru
Pembauran
Hendrikus M, SE Kepala Bidang III.b III/d Ayamaaru
Hubungan Antar
Lembaga
Hartoyo, S.Sos Kepala Bidang III. b III/d Jawa
Perlindungan
Masyarakat
Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Dinas Kota Sorong.

Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan

Perlindungan Masyarakat Kota Sorong. Bisa kita lihat dari 6 (enam) posisi jabatan
98

4 (empat) diantaranya adalah Suku Ayamaru, antara lain; Marthen Jitmau, S.Pd

selaku Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat

Kota Sorong dengan Eselon II.a Golongan/ ruang III/d; E. N. Sikirit, S.H sebagai

Sekretaris Dinas Eselon III.a dengan Gol/ ruang III/d; Sefnat Kareth, S.H Eselon

III.b Golongan/ ruang III/d selaku Kepala Bidang Pembauran; dan Hendrikus M,

S.E dengan Eselon III.b Golongan/ ruang III/d selaku Kepala Bidang Hubungan

Antar Lembaga.

5.4.2 Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Sorong

Dalam Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Sorong, dari 6

(enam) jabatan yang ada 4 (empat) diantaranya merupakan Etnis Ayamaru.

Termasuk Kepala Dinas yakni Yakobus Susim, S.Sos dengan Eselon II.b

Golongan/ ruang IV/a; Esau Bleskadit, S.Sos selaku Sekretaris Eselon III.b dan

Gol/ ruang III.c; R. Kareth, S.An sebagai Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan

Sipil dengan Eselon III.b Golongan/ ruang III.c; dan Asmuruf, S.STP sebagai

Kepala Bidang Pengolahan Informasi Kependudukan dengan Eselon III.b

Golongan/ ruang III.b.

Namun dari 2 (dua) diantaranya merupakan Etnis Jawa dan Ternate. Untuk

mengetahui lebih lanjut Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas

Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Sorong. Kita lihat tabel dibawah ini:
99

Tabel 27. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Kependudukan

Dan Pencatatan Sipil Kota Sorong.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
ruang

Yakobus Susim, S.Sos Kepala Dinas II .b IV/a Ayamaru

Esau Bleskadit, S.Sos Sekretaris III.b III/c Ayamaru

Iis Mishari, S.IP KepalaBidag III.b III/c Jawa


Pelayanan
DaftarKepedudukan

R. Kareth, S.An Kepala Bidang III.b III/c Ayamaru


Pelayanan
Pencatatan Sipil

M. Asmuruf, SSTP KepalaBidang III.b III/b Ayamaru


Pengolahan
Informasi
Kependudukan

Abdul Latif H. Syawal KepalaBidang II.b III/c Ternate


Penyuluhan
danPengelolaan
Dokumen
Kependudukan

Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong.


100

5.4.3 Dinas Kebersihan Kota Sorong

Dinas ini, dari 5 (lima) jabatan yang ada 3 (tiga) di antaranya adalah Suku/

Etnis Ayamaru, antara lain posisi Kepala Dinas diduduki oleh Andreas A. Homer,

ST Eselon II.a Gol/ruang IV/ a, Sekretaris yaitu Bernadus Asmuruf, S.Sos Eselon

III.a Gol/ruang III/c, dan Kepala Bidang Pertamanan yaitu Yulian Atanay. S.Hut

Eselon IV.a Gol/ruang III/c. Data Komposisi Pejabat Menurut Etnis di Dinas

Kebersihan Kota Sorong Tahun 2013 terangkum dalam tabel berikut:

Tabel 28. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Kebersihan Kota

Sorong Tahun 2013.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
ruang
Andreas A. Homer, ST Kepala Dinas II.a IV/a Ayamaru
Kebersihan
Bernadus Asmuruf, Sekretaris III.a III/c Ayamaru
S.Sos

Bisman Nainggolan Kepala Bidang III.b III/c Batak


Kebersihan

Abraham A. Patyhahuan, Kepala Bidang III.b III/c Ambon


Pemakaman

Yulian Atanay, S.Hut Kepala Bidang IV.a III/c Ayamaru


Pertamanan

Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong.


101

5.4.4 Dinas Tenaga Kerja Kota Sorong

Tabel 29. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Tenaga Kerja

Kota Sorong Tahun 2013.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
Ruang
Drs. Anthon Sagrim Kepala Dinas II.a IV/a Ayamaru
Tenaga Kerja
Marthen Imbiri, S. Sos, MM Sekretaris III.b IV/a Serui

Drs. Safrudin Harahap, MM Kepala Bidang III.c IV/b Batak


Penempatan dan
Perluasan Kerja
Agus Soyaso, S.Pd Kepala Bidang III.c III/d Jawa
Pelatihan dan
Produktifitas
Herman Bless, SH Kepala Bidang IV.b III/c Ayamaru
Hubungan
Industrial dan
Persyaratan Kerja
Imanuel Bles, S.Sos Kepala Bidang IV.b III/d Ayamaru
Pengawasan
Ketenagakerjaan
Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong.

Dalam tabel 29 (dua puluh sembilan) diatas dijelaskan bahwa dari 6

(enam) jabatan yang ada di Dinas Tenaga Kerja Kota Sorong 3 (tiga) dianataranya

diduduki oleh Etnis Ayamaru, yakni jabatan Kepala Dinas, Kepala Bidang

Industrial dan Persyaratan Kerja dan jabatan Kepala Bidang Pengawasan

Ketenagakerjaan.
102

5.4.5 Dinas Kesehatan Kota Sorong


Tabel 30 ( tiga puluh) dibawah ini dijelaskan bahwa dari 6 (enam) posisi

jabatan yang ada 3 (tiga) di antaranya adalah Etnis Ayamaru, meliputi jabatan

Sekretaris Dinas, Kepala Bidang Pemeliharaan Kesehatan dan Kepala Bidang

Promosi dan kesehatan lingkungan. Sedangkan Kepala dinas dari Etnis Batak

yakni dr. H.E. Sihombing, MM dan dalam Dinas ini memiliki keterwakilan suku

Moy yang merupakan salah satu suku asli Sorong yang menjabat pada SKPD,

yakni Herman Kalasut yang menduduki posisi Teknis yakni Kepala Bidang

Pengendalian Penyakit.

Tabel 30. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Dinas Kesehatan Sorong.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
Ruang

dr. H.E. Sihombing, Kepala Dinas Kesehatan II.a IV/c Batak


MM Kota Sorong

Nomi S. Solosa, SE Sekretaris II.b III/d Ayamaru

Maria Kambuaya Kepala Bidang II.a III/c Ayamaru


Pemeliharaan Kesehatan

Hermanus Kalasuat Kepala Bidang III.a III/c Moy


Pengendalian Penyakit

Feronika K. Kepala Bidang Promosi IV.b III/d Ayamaru


dan Kesehatan
Lingkungan

Sulce Siwabessy Kepala Bidang IV.b III/d Ambon


Kesehatan Masyarakat

Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong.


103

5.4.6 Badan Lingkungan Hidup Kota Sorong

Badan Lingkungan Hidup, dari 5 (lima) jabatan yang ada 2 (dua) di

antaranya Etnis Ayamaru, antara lain: Kepala Badan yakni E. Homer, S.Hut

Eselon II.a Gol/ ruang IV/b dan Kepala Bidang Pembinaan dan Amdal dan

Sumber Daya Lahan yakni K. Susim, S.Sos Eselon III.a Gol/ ruang IV/a .

Sedangkan 3 (tiga) Etnis lain yang masuk dalam komposisi pejabat di Badan

Lingkungan Hidup Kota Sorong adalah Etnis Toraja, Jawa, dan Makassar.

Tabel 31. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Badan Lingkungan Hidup

Kota Sorong.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
ruang

E.Homer, S.Hut Kepala Badan II .a IV/b Ayamaru


Lingkungan Hidup
Kota Sorong
Ir. Amos Kasi Sekretaris III.b IV/a Toraja

Tatang Setiawan, SE Kepala Bidang II.a IV/a Jawa


Pengawasan dan
Pengendalian
K. Susim, S.Sos Kepala Bidang III.a IV/a Ayamaru
Pembinaan, Amdal
dan Sumber Daya
Lahan
Dra. Hj. Husni Kepala Bidang III.a III/d Makassar
Haddade Pemulihan
Lingkungan
Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong.
104

5.4.7 Distrik Sorong

Untuk mengetahui Komposisi Jabatan di Distrrik Sorong, bisa kita lihat

pada tabel di bawah ini:

Tabel 32. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Distrik Sorong Kota


Sorong Tahun 2013.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
ruang

Menase Jitmau, S.E Kepala Distrik II. b III/d Ayamaru


Sorong Kota
Sorong

Fauji Fattah, SSTP Sekretaris II.b III/c Biak

Frengky Yumame, S.E Kepala Kelurahan III.c III/b Ayamaru


Remu Utara

Steven Asmuruf, S.Sos Kepala Kelurahan III.b III/c Ayamaru


Klademak

Josef G. Ariston Wursok Kepala Kelurahan IV.b II/d Manokwari


Kampung Baru

Yustinus Hosyo Kepala Kelurahan III.c III/a Ayamaru


Klakublik

Fillip G. S. Karubaba, Kepala Kelurahan IV.b III/c Biak


SSTP Klasuur

Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong.

Tabel 32 (tiga puluh dua) diatas dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) posisi

jabatan yang ada pada distrik Sorong 4 (Empat) diantaranya didominasi oleh Etnis
105

Ayamaru. Pejabat dari Etnis Ayamaru tersebut meliputi: Menase Jitmau, S.E

selaku Kepala Distrik Sorong Kota Sorong dengan Eselon II.b Gol/ ruang III/d;

Frengky Yumame selaku Kepala Kelurahan Remu Utara dengan Eselon III.c dan

Gol/ ruang III/b; Stevanus Asmuruf, S. Sos selaku Kepala Kelurahan Klademak

dengan Eselon III.b Gol/ ruang III/ c; dan Yustinus Hosyo selaku Kepala

Kelurahan Klakublik dengan Eselon III.c Golongan/ ruang III/a. Etnis lain yang

ada di Distrik Sorong adalah 2 (dua) pejabat dari Etnis Biak dan 1 (satu) Pejabat

dari Etnis Manokwari

5.4.8 Distrik Sorong Timur

Distrik Sorong Timur Dari 11 (sebelas) jabatan yang ada 4 (empat)

diantaranya Etnis Ayamaru yang menempati jabatan Kepala Distrik, Sekretaris

Kelurahan Klablim, Kepala Dan Sekretaris Kelurahan Klablim. 3 (tiga)

diantaranya Etnis Moy, Etnis Kanara, Raja Ampat, Ambon dan Jawa masing-

masing 1 (satu) posisi.

Untuk Posisi Kepala Distrik Sorong Timur dijabat sementara sebagai

pengganti yakni Markus Kareth, S.E dengan Eselon II.a Gol/ ruang III/a. Rangkap

Jabatan terjadi di Kelurahan Klasuat karena kepala Kelurahannya merangkap

sebagai sekretaris yakni Yulius Yalbe Eselon III.b Gol/ ruang II.c. Pada Distrik ini

Jumlah Suku Ayamaru seimbang dengan Suku asli Kota Sorong Yakni Suku Moy,

meski peran Etnis Moy di Dinas maupun Badan Jarang atau sedikit sekali.

Untuk Mengetahui Komposisi Pejabat di Distri Sorong Timur Kota

Sorong, dapat kita lihat pada tabel berikut:


106

Tabel 33. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Distrik Sorong Timur Kota

Sorong Tahun 2013.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
ruang

Markus Kareth, SE Kepala Distrik II.a III/a Ayamaru


Sorong Timur
Kota Sorong ( Plt )
Kalfen A. Kwaktolo, SE Sekretaris III.a III/a Moy

Ridwan Iribaram, S.Ag, Kepala Kelurahan II.a III/d Kanara


MM Klawuyuk

Ivon Sintia Kalami, S.Sos Kepala Kelurahan II.b III/b Moy


Klasaman

Pilipus Penaonde, S.Sos Kepala Kelurahan II.a III/d Raja


Klablim Ampat

A. Sagrim SSTP Sekretaris IV.a III/b Ayamaru

Milan E. F. Latumeten, Kepala Kelurahan IV.a III/c Ambon


SSTP Klawalu

M. Faisal Arifin, SSTP Kepala Kelurahan III.b III/c Jawa


Klamana

Yohosua Malibela, S.Sos Kepala Kelurahan II.a III/b Moy


Giwu

Yulius Yable Kepala Kelurahan III.b II/c Ayamaru


Klasuat

Yulius Yable Sekretaris III.b II/c Ayamaru

Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong Tahun 2013.
107

5.4.9 Distrik Sorong Barat

Tabel 34 (tiga puluh empat) dibawah ini diterangkan bahwa dari 7 (tujuh)

posisi jabatan yang ada, 3 (tiga) diantaranya adalah Etnis Ayamaru, Etnis Moy,

Raja Ampat, Biak dan Ambon masing-masing memegang 1 (satu) posisi jabatan

di Distrik Sorong Barat Kota Sorong.

Tabel 34. Komposisi Pejabat Menurut Etnis Di Distrik Sorong Barat.

Gol/
Nama Jabatan Esalon Etnis
Ruang

O. Naa Kepala Distrik II.a III/d Ayamaru


Sorong Barat Kota
Sorong (PLT)

O. Naa Sekretaris II.a III/d Ayamaru

Frans Kalasuat Kepala Kelurahan III. b II/d Moy


Saoka

Olof Robi Burdam, S.IP Kepala Kelurahan III.b Raja


Tanjung Kasuari III/a Ampat

Erens Sawaki, S.IP Kepala Kelurahan III.b III/c Biak


Klawasi

Maria Naa , S.Sos Kepala Kelurahan IV.a III/b Ayamaru


Rufei

Rizal Tipawael, A.Md Kepala Kelurahan IV.a II/d Ambon


Klabala

Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong.


108

Dalam komposisi pejabat di Distrik Sorong Barat, rangkap jabatan juga

terjadi yakni pada posisi Kepala Distrik dan Sekretarisnya dijabat orang yang

sama yakni O. Naa dengan Eselon II.a Golongan/ ruang III/d yang merupakan

bagian dari Etnis Ayamaru. Sedangkan Etnis Ayamaru yang lain yang ada di

Komposisi pejabat Distrik Sorong Barat yaitu jabatan Kepala Kelurahan Rufei

Maria Naa, S.Sos yang memiliki marga yang sama dengan O.Naa. Maria Naa,

S.Sos merupakan pegawai Eselon IV.a Gol/ ruang III/ b.

Kesimpulan Sub-bab internal Birokrasi Pemerintahan di atas dalam

rangkap jabatan juga mewarnai komposisi pejabat SKPD yang ada di internal

Kota Sorong Contohnya: Abner Jitmau, ST dari Etnis Ayamaru yang merupakan

Kepala Dinas Pekerjaan Umum juga merangkap sebagai Bidang tata Kota Di

Dinas yang sama. Sedangkan Dr. H. E. Sihombing, M.M. Dari Etnis Batak yang

merupakan Sekretaris Daerah juga tercatat sebagai Kepala Dinas Kesehatan. Esau

Yumthe, SH selaku Kepala Bagian Umum sekretariat DPRD juga menjadi

pengganti sementara (Plt) Sekretaris DPRD Kota Sorong.

Selain rangkap Jabatan, Sukuisme dan Margaisme juga terasa di internal

Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, contohnya: karena Walikota Sorong yakni

Drs. Ec. Lambert Jitmau, M.M adalah dari Etnis Ayamaru. Maka pegawai dari

Etnis Ayamaru mampu mendominasi jabatan di SKPD Kota Sorong. Selain itu

yang memiliki marga Jitmau bisa memegang jabatan strategis, seperti Abner

Jitmau, S.T selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum; Yance Jitmau , S.E Kepala

Bidang Sub Anggaran II; Daniel Jitmau, S.E selaku Kepala BAPPEDA; Marthen
109

Jitmau, S.Pd Kepala Bidang Bakesbang Lintibmas; Manase Jitmau, S.E Kepala

Distrik Sorong.

Selain Marga Jitmau pada Etnis Ayamaru di internal Birokrasi

Pemerintahan Kota Sorong marga Kareth, Asmuruf, Sagrim, Homer, Kambu/

Kambuaya, Susim, dan Bles juga cukup mendominasi terlebih keseluruhan marga

tersebut merupakan bagian dari Etnis Ayamaru. Suku/ Etnis lain yang juga

mendominasi adalah dari luar Sorong / Papua, rata-rata mereka yang berasal dari

luar Kota Sorong/ Papua/ pegawai yang memiliki kemampuan lebih, terlihat dari

gelar yang mereka miliki maupun Eselon/ golongan yang tinggi.

Dengan sistem Sukuisme dan Margaisme, pegawai dari Etnis Ayamaru

dapat menyebar pada internal birokrasi yang ada di Pemerintah Kota Sorong baik

itu kategori SKPD besar maupun kecil. Namun Dominasi Etnis Ayamaru di

SKPD besar lebih terasa yang kemudian disusul oleh Etnis luar Kota Sorong

maupun Papua. Pada SKPD kecil/ tingkat distrik keberadaan suku asli yakni Etnis

Moy maupun suku Kota Sorong/ Papua lainya cukup berperan. Meski pegawai

dari Etnis Moy sendiri masih jarang pada SKPD besar. Keberadaan suku asli pada

SKPD kecil setingkat distrik bisa berperan, mungkin karena mereka

bersinggungan langsung terhadap masyarakat, jadi pemberian pelayanan dari

kalanganya sendiri bisa jadi menjadi harapan bagi masyarakat terutama

masyarakat etnis yang tradisional.

Berikut prosentase komposisi jabatan di internal Birokrasi Pemerintah

Kota Sorong diklasifikasikan menurut etnis Ayamaru maupun non Ayamaru

sebagai berikut ini.


110

Tabel 35. Komposisi Jabatan Menurut Etnis Di Internal Birokrasi


Pemerintahan Kota Sorong.
Etnis
Jabatan
Ayamaru Non Ayamaru
Kepala Dinas/ Badan 78 % 22 %

Sekretaris Dinas/ Badan 62 % 38%

Kepala Bidang Dinas/ Badan 45 % 55 %

Kepala Distrik 83 % 17 %

Sumber Data: Diolah dari Struktur Organisasi Di Kota Sorong.


Dari prosentase di atas dapat ditarik kesimpulan jika memang etnis

Ayamaru terbukti mendominasi birokrasi Pemerintahan Kota Sorong. Jabatan inti/

jabatan strategis mayoritas diduduki oleh pegawai dari etnis Ayamaru, mulai dari

Kepala Distrik sampai Kepala Dinas/ Badan. Untuk posisi Kepala Bidang Dinas/

Badan lebih banyak dari suku non Ayamaru, hal ini mungkin karena jabatan

tersebut membutuhkan pegawai yang memang memiliki keahlian di bidangnya/

yang harus memiliki keahlian khusus, sehingga menguasai bidangnya. Untuk

jabatan.

Posisi strategis yang dijabat oleh mayoritas etnis Ayamaru, bisa menjadi

penyebab mengapa etnis non Ayamaru sulit untuk masuk dalam birokrasi

Pemerintahan Kota Sorong. Tentu pejabat pada posisi strategis lebih

mempercayakan posisi dibawahnya pada sesama suku dengannya, karena tentu

akan lebih mudah untuk berkoordinasi, sehingga mereka yang ada di luar suku/

etnis Ayamaru tidak memiliki relasi dalam birokrasi Pemerintah Kota Sorong.
111

Kalaupun seseorang ingin masuk birokrasi, dia harus benar-benar memiliki

kemampuan atau bidang yang dibutuhkan. Namun pada tingkat distrik memang

pegawai mayoritas dari etnis non Ayamaru bahkan justru dari suku asli selain

Ayamaru, hal ini mungkin karena tingkat distrik lebih bersinggungan langsung

dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih nyaman jika dilayani oleh warga

dari etnis asli, meskipun kepala distriknya mayoritas adalah dari Ayamaru.

5.5 Analisis Terhadap Etnis Penguasa dan Etnis Non Penguasa di Internal

Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong.

5.5.1 Komposisi Etnis dalam Pembagian Kerja di Internal Birokrasi

Pemerintah Kota Sorong dalam Implementasi Otonomi Khusus.

Hadirnya Undang-undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua merupakan instrumen kebijakan publik Pemerintah Indonesia yang

sebenarnya bertujuan untuk memberikan solusi atas masalah krusial yang terjadi

di Papua. Masalah krusial tersebut meliputi: 1) konflik politik, berfokus pada isu

tututan Papua merdeka yang dipandang oleh pemerintah Indonesia sebagai

gerakan separatis, 2) konflik sosial antar warga, sebagai akibat tidak adanya solusi

yang memadai atas menguatnya konflik politik yang muncul terdahulu, 3)

ketertinggalan pembangunan ekonomi masyarakat, terutama asli Papua.

Perkembangan, Kota Sorong menjadi pintu gerbang masuknya

masyarakat migran ke wilayah Papua. Kedatangan mereka di wilayah Papua

dengan maksud dan tujuan untuk mencari pekerjaan dan berdagang. Seiring

dengan pesatnya pembangunan di wilayah Kota Sorong banyak sekali


112

ditemukan lokasi-lokasi pemukiman masyarakat yang berwajah etnis, antara

lain: di wilayah Klademak Pantai, Pasar Boswesen, dan Pasar Bersama

bermukim masyarakat Buton, Bugis dan Makassar, di sekitar wilayah

Bandara Udara DEO bermukim masyarakat Inanwatan, Metamani, Kais dan

Kokoda (IMEKO), di daerah Rufei dan Kampung Salak bermukim

masyarakat Serui dan Biak dan masih banyak kampung-kampung lainnya

yang mewakili etnis tertentu.

Perekonomian Kota Sorong banyak didominasi oleh kaum pendatang

(Tianghoa, Bugis, Makassar, Batak dan Jawa) itu dapat dilihat dari banyaknya

kios-kios di pasar sentral yang dikuasai oleh mereka, sedangkan mama-

mama penjual sayur dan pinang asli Papua hanya berjualan diemperan toko

dan jalan. Fenomena seperti ini tidak hanya di temukan di wilyah Kota Sorong

saja, tetapi ada juga dibeberapa tempat di wilayah Papua. Kebijakan

pemerintah daerah dengan ditunjang dana Otonomi Khusus (UU. Otsus 21.

Tahun 2001) tidak menyentuh dan membangun manusia asli Papua baik dari

segi kualitas dan kuantitas sumber dayanya.

Hal-hal seperti yang diuraikan di atas menimbulkan kecemburuan

sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat asli Papua, dimana

masyarakat asli Papua merasa mereka tidak diperhatikan serta terpinggirkan.

Perasaan-perasaan seperti inilah yang merupakan faktor pemicu timbulnya

konflik antar etnis di wilayah Kota Sorong, kasus ini dapat kita temukan

pada bulan February Tahun 2008 dimana terjadi konflik antara masyarakat asli

Papua dengan masyarakat Bugis, akibat dari kasus penikaman masyarakat


113

Serui oleh masyarakat Bugis. Dampak dari kejadian tersebut membuat

perekonomian Kota Sorong lumpuh,pihak keamanan (polisi) meminta bantuan

kepada pihak militer untuk memback situasi keamanan dan ketertiban

masyarakat (Kamtibmas) Kota Sorong.

Berbeda dengan perekonomian di masyarakat Sorong yang didominasi

oleh kaum pendatang, pada pemerintahan Kota Sorong isu putra daerah semakin

kuat. Sesuai penelitian Lefaan Avelinus (2012:21-22), terdapat argumen yang

muncul atas lahirnya pelembagaan putra daerah yang harus memimpin Papua.

Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari, karena pertama momentum otonomi

khusus kemudin sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa putra daerah juga

mampu memimpin daerahnya sendiri. Kedua sebagai upaya untuk mengkontrol

kepentingan etnik asli Papua yang semakin terpinggirkan, karena semakin

banyaknya kaum pendatang. Dan ketiga karena sosial-ekonomi lebih dikuasai

oleh pendatang jelas tidak mungkin etnis Papua akan mampu bersaing, maka

ranah politik harus dikuasai oleh orang Papua untuk mengintervensi dinamika

politik lokal agar etnik Papua dapat terlindungi.

Otsus kemudian dimanfaatkan oleh para birokrat putra Papua untuk

menghembuskan isu “Papuanisasi” dan tujuan praktisnya adalah merebut posisi-

posisi pimpinan birokrasi pada level Provinsi dan Kabupaten sehingga kini justru

semakin didominasi dengan isu primordial. Hal ini diperparah dengan

pendelegasian kewenangan yang besar pada pemerintah daerah disertai kucuran

dana yang juga cukup besar. Akan tetapi rakyat Papua hingga sekarang belum

bisa menikmati karena lebih dinikmati oleh kalangan elite lokal.


114

Keberadaan elite lokal diakui oleh para informan, hal ini juga terlihat dari

pembagian kerja dalam birokrasi. Ibu Fince, S.Pd., pegawai di Dinas Pendidikan,

sebagai bagian dari etnis yang tidak berkuasa, memberi pernyataan tentang

pembagian kerja di birokrasi Kota Sorong, sebagai berikut:

“...Dapat dilihat dalam pembagian etnis di birokrasi pemerintahan Kota


Sorong tidak merata atau sukuisme dalam pembagian etnis di birokrasi
pemerintahan Kota Sorong…” (Wawancara Selasa 19 Maret 2013, Jam
10.45 WIT).
Dalam perimbangan kekuasaan birokrasi berdasarkan etnis di birokrasi

pemerintahan Kota Sorong, menurut Bapak Yermias Torgea, S.IP selaku bagian

etnis yang tidak berkuasa di birokrasi Kota Sorong, menyatakan sebagai berikut:

“…Kalo kita mau lihat secara jelas di birokrasi pemerintah Kota Sorong
tidak merata dalam beribangan kekuasaan birokrasi berdasarkan etnis,
kalo kita lihat secara jelas di dalam tubuh birokrasi Kota Sorong akan
keluar satu nama etnis yaitu etnis Ayamaru karena etnis Ayamaru yang
paling banyak dan yang mengguasai kekuasaan politik di birokrasi
pemerintah Kota Sorong…” (Wawancara Sorong Jumat 22 Maret 2013,
Jam 08;15 WIT).

Dari steatmen dari dua informan diatas dapat ditarik kesimpulan adanya

etnis tertentu yang memang mendominasi di internal birokrasi di Pemerintahan

Kota Sorong. Etnis tertentu ini bisa dibilang sebagai elite lokal yang menikmati

kebijakan Otonomi Khusus. Etnis yang mendominasi di internal Birokrasi

Pemerintahan Sorong adalah etnis Ayamaru, yang memang menjadi salah satu

etnis asli Kota Sorong. Etnis asli Kota Sorong sendiri ada banyak, meliputi: Moi,

Aifat, Aitinyo, Ayamaru, Teminabuan, Maybrat, Raja Ampat, Biak , Serui dan

masih banyak lagi. Sesuai pernyataan Bapak Yunus Jarfi., SH., selaku bagian

etnis yang tidak berkuasa, menjelaskan bahwa etnis yang belum masuk di dalam

birokrasi Kota Sorong, sesuai wawancara di bawah ini:


115

“...Etnis yang belum terakomodir atau etnis yang belum di dalam


birokrasi pemerintah Kota Sorong masih banyak seperti: Wamena,
Nabire, Merauke, Inawatan, Kokoda, Jayapura dan masih banyak etnis di
Papua yang belum masuk dalam tubuh birokrasi pemerintahan Kota
Sorong…” (Wawancara Kamis 21 Maret 2013, jam 09.08 WIT).

Sedangkan menurut bagian etnis yang tidak berkuasa yakni Ibu Yos

Marandei., S.Th, Mth, menjelaskan tentang penempatan kerja di SKPD, sebagai

berikut:

“.…Dalam penempatan kerja di dalam SKPD birokrasi pemerintahan


Kota Sorong tidak tepat dengan besik ilmunya…” (Wawancara Rabu 26
Februari 2013, Jam 10.46 WITA).

Sependapat dengan Ibu Fince, S.Pd., selaku bagian dari etnis yang tidak

berkuasa memberikan pernyataan, sebagai berikut ini:

“...Ya, yang kita bisa lihat sangat pengaruhi etnis dalam penempatan
jabatan-jabatan birokrasi siapa yang mempunyai margaisme, saudaraisme
yang sama atau sama kampungisme dan di pengaruhi politik yang sama
dalam sistem birokrasi pemerintah Kota Sorong bisa menempati jabatan-
jabatan birokrasi pemerintahan Kota Sorong...” (Wawancara Selasa 19
Maret 2013, jam 11.12 WIT).

Hal semacam ini juga dibahas dalam penelitian Lefaan Avelinus (2012:24-

25), yang menyatakan bahwa pada kurun 1999-2001 praktis terjadi jabatan-

jabatan penting semacam gubernur hingga kecamatan dan kepala desa. Dalam

situasi semacam ini rasionalitas penjenjangan karier berdasarkan golongan,

pendidikan, dan kemampuan tidak lagi berlaku. Rasionalitas birokrasi yang pada

era Orde Baru hanya sebatas ucapan kini semakin parah karena didominasi

dengan isu primordial. Hanya saja Papuanisasi dalam teori yang disampaikan

Lefaan Avelinus lebih pada Ayamaruisasi penelitian ini di Pemerintah Kota

Sorong.
116

Pembagian kerja antar etnis termasuk pada birokrasi pemerintah Kota

Sorong juga disampaikan oleh Bapak Yunus Jarfi., S.H. Selaku anggota etnis

yang tidak berkuasa, berikut ini:

“...Pembagian kekuasaan terhadap etnis di kepala dinas jabatan-


jabatan SKPD di birokrasi Kota Sorong tidak merata karena di
dominasi oleh salah satu suku yang berkuasa yaitu suku Ayamaru dan
ada suku-suku lain yang ada di dalamnya Kepala Dinas Jabatan-
Jabatan SKPD ada kesamaan politik atau sistem yang sama pada
kepala pemimpin yang berkuasa dalam artinya Walikota Sorong..”
(Wawancara Kamis 21 Maret 2013, jam 16.16 WIT).

Konsep ilmiah menurut Ibo (2010:4) tentang suku-suku asli Papua

mempunyai hak yang sama dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Tidak

sejalan semulus konsep ilmiahnya karena dari data penelitian yang di bahas diatas

terjadi masalah yang singnifikan di teliti oleh peneliti tidak sesuai dengan dasar

prinsip luhur pelaksanaan politik Otonomi Khusus Papua, membuat munculnya

dominasi mayoritas salah satuh suku, Marga, saudara, kampung, terbesar di dalam

internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong Provinsi Papua Barat yaitu suku

Ayamaru, dan terjadi sistem politik dinasti yang terbangun dalam internal

birokrasi pemerintahan Kota Sorong.

Dari beberapa komentar para informan di atas, menurut pengamatan

peneliti di internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong pembagian etnis dalam

kerja internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong dalam Implementasi Otonomi

Khusus tidak merata, contohnya kepala dinas BAPPEDA, D. Jitmau dan A.

Kareth., ini adalah etnis ayamaru yang sama dalam satu bidang kerja di SKPD

Kota Sorong dan ada etnis yang berkopentensi di dalam bidang tertentu dalam

internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong, tetapi tidak masuk dalam


117

penempatan jabatan ini dikarenakan masih ada pembawahan suku, marga dan

status politik yang sama. Penempatan jabatan-jabatan SKPD di birokrasi

pemerintahan Kota Sorong masih didominasi oleh salah satu etnis terbesar di Kota

Sorong yaitu etnis Ayamaru ini dikarenakan etnis Ayamaru sudah dua priode

menduduki posisi Walikota Sorong, yakni periode lama dan priode baru Walikota

berasal dari etnis yang sama yaitu Ayamaru. Maka sistem yang terbangun dalam

tubuh internal birokrasi pemerintahan dalam penempatan jabatan itu juga

dipengaruhi oleh salah satu sistem politik, suku, kampung, marga dan status

politik yang sama.

Proporsionalitas kekuasaan di internal birokrasi pemerintahan berdasarkan

etnis di internal birokrasi Pemerintahan Kota Sorong dalam Implementasi

Otonomi Khusus, di internal Birokrasi pemerintahan Kota Sorong tidak

berimbang kekuasaan kepada etnis di luar etnis yang berkuasa yang bisa

mendapatkan jabatan di internal birokrasi pemerintahan. itu disebabkan karena

mempunyai status politik yang sama dengan pemimpin (Walikota) atau marga,

suku, kampung, contohnya dalam politik pemilihan Walikota Sorong tim sukses

jika berhasil memenakan figurnya maka otomatis tim sukses tersebut mendapat

kekuasaan dari figur yang dia menangkan jadi Walikota tersebut. Sehingga dalam

penempatan jabatan-jabatan di internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong tidak

sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki pada strata S-1 maupun strata S-2,

dikarenakan ada perombakan atau pengatian kekuasaan pemimpin yang baru

(Walikota). Pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan Kota Sorong tidak


118

melihat dasar keilmuannya lagi tetapi sekarang status politik yang sama atau

marga, kampung, suku yang menjadi pertimbangan.

Kesimpulan sub-bab diatas menurut Ibo (2010:4) tentang Otonomi Khusus

Papua menyatakan bahwa tujuan implementasi Otonomi Khusus Papua adalah

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat-masyarakat setempat

berdasarkan hak-hak yang sama bagi suku-suku asli di Provinsi Papua. atau orang

asli Papua adalah orang yang berasala dari Rumpun Ras Malenesia yang terdiri

dari suku-suku asli yang mediami Provinsi Papua yang mempunyai hak yang

sama untuk merasakan dampak implementasi Otonomi Khusus tersebut di

Provinsi Papua.

Akan tetapi terjadi politiksasi dalam kebijakan internal birokrasi

pemerintahan Kota Sorong dalam pembagian penempatan jabatan-jabatan strategi

di satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) ada perilaku mementingkan suku,

saudara, marga, kampung dan status politik yang sama dalam menepati jabatan

strategi dan ada pula satu orang meragkap dua jabatan dalam tingkat SKPD di

internal pemerintahan Kota Sorong, dan mengguatnya dominasi suku, saudara,

marga, kampung dari suku Ayamaru di internal birokrasi pemerintahan Kota

Sorong. Pemimpin (Walikota) Kota Sorong dalam kebijakan politik boleh saja

mendominasi etnis Ayamaru di internal birokrasi pemerintahan karena etnis

Ayamaru yang terbesar dari segi jumlah manusianya dan jumlah strata

pedidikannya terbanyak di Kota Sorong, dan dalam internal birokrasi

pemerintahan Kota Sorong.


119

Kebijakan politik dalam penempatan jabatan strategi di tingkat SKPD

dalam internal tubuh birokrasi pemerintahan Kota Sorong harus menggunakan

sistem birokrasi modern yang di terapkan di dunia demokrasi sekarang yaitu

sistem vit and propertes atau kemampuan sumber daya manusia pemimpin

Pegawai Negari Sipil (PNS) yang layak, mampu, cakap untuk menduduki jabatan

strategi di internal birokrasi pemerintah Kota Sorong. Bukan semata melihat suku,

marga, kampung dan status atau kepentingan politik semata saja dalam internal

birokrasi Kota Sorong. Dan ini membuat orang yang tidak berkopetensi, tidak

layak, mestinya menduduki jabatan strategi dalam pembagian SKPD di internal

birokrasi pemerintahan Kota Sorong dan ada pengawai negeri sipil dalam internal

yang berkopentesi bidang tertentu di SKPD tetapi tidak terakomodir atau terpakai

karena tidak sama dengan sistem politik, suku, marga, maupun kampung mereka.

Ini juga bisa menimbulkan masalah ekternal dalam akses pelayanan publik dalam

implementasi Otonomi Khusus di Kota Sorong, tidak berjalan dengan optimal

yang di harapkan seluruh elemen masyarakat dan etnis-etnis yang mendiami Kota

Sorong.

Hal ini membuat masalah kecemburuhan sosial politik di dalam internal

birokarasi pemerintahan Kota Sorong terhadap etnis-etnis asli Papua yang royal

terhadap perkerjaannya di pemerintahan Kota Sorong. Pengambilan keputusan

dalam kebijakan politik di internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong berat

sebelah dan mengutungkan etnis Ayamaru dan kroni-kroninya yang sama dalam

satu garis sistem politik. Dan dampak dari pengambilan kebijakan ini tidak saja

berdampak pada etnis-etnis yang ada di dalam internal birokrasi pemerintahan


120

Kota Sorong saja, tetepi ini bisa berimbas ke dunia ekternal atau masyarakat

umum yang di dalamnya etnis-etnis asli Papua di Kota Sorong, membuat

kecemburuhan sosial politik, sosial ekonomi dan bisa menimbulkan konflik

horizontal di masyarakat asli Papua di Kota Sorong itu sendiri.

Sebenarnya filosofi dasar otonomi ini masih berkisar pada otonomi

pemerintahan daerah, bukan otonomi masyarakat lokal. Kecenderungan ini

mengakibatkan terjadinya distorsi dalam implementasi, yaitu bahwa otonomi

daerah ternya hanya dinikmati oleh elite politik daerah. Konsekuensi logisnya

yakni, kebijakan otonomi daerah harus berorientasi pada pemberdayaan dan

kesejahteraan bagi masyarakat lokal, dan otonomi daerah sebagai hak masyarakat

tidak dapat dicabut oleh pemerintah pusat. Dalam kaitan ini otoritas pemerintah

pusat hanya terbatas pada penyerahan dan pengatur wewenang yang sudah ada

pada daerah melalui berbagai bentuk kebijakan yang disepakati bersama oleh

kedua belah pihak (Haris, 2007: 73-74).

Dalam internal roda birokrasi Pemerintahan Kota Sorong perekrutan

pengawai negeri sipil dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, dapat dilihat

etnis-etnis asli Papua yang banyak tidak terwakili dalam tubuh internal birokrasi

pemerintahan Kota Sorong. Ini diakibatkan karena ada sistem politik kotor yang

di mainkan oleh pihak yang memengang kekuasaan politik yaitu etnis Ayamaru.

Implementasi Otonomi Khusus Papua yang di berikan oleh Pemerintah Pusat

(Presiden) terhadap Masyarakat Papua asli di tanah Papua sudah benar karena

Otonomi Khusus Papua adalah Jembatan Emas untuk mensejahtarakan

masyarakat Papua. Namun dari internal masyarakat Papua sendiri yang membuat
121

kesalahan terhadap orang Papua asli, misalanya timbul egosentrsime suku, marga,

kampung dan status politik yang terbanggung di dalam internal birokrasi

pemerintahan dan orang Papua sendiri menipu orang Papua, orang Papua sendiri

yang menghalangi kesejahtaran orang Papua, orang Papua sendiri yang

membunuh orang Papua dari ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, sosial

budaya dan lain sebagainya.

5.5.2 Relasi Di Internal Birokrasi Pemerintahan Antara Kelompok Etnis

Penguasa Dan Kelompok Etnis Non Penguasa.

Penduduk Kota Sorong sangat heterogen terdiri dari berbagai macam

suku/ etnis, baik suku asli Papua (Moi, Aifat, Aitinyo, Ayamaru, teminabuan,

dll) serta suku pendatang (Maluku, Batak, Jawa, Makassar, Bugis, Buton,

dll) dengan presentase 60% penduduk asli 40% pendatang. Jumlah penduduk

190.341 jiwa, terdiri atas 99.895 laki-laki dan 90.446 perempuan. Di Kota

Sorong, pemeluk agama Kristen Protestan berjumlah 68.480 orang, Kristen

Katolik 18.989 orang, Islam 73.297 orang, Hindu 350, Budha 1.294 dari total

jumlah pemeluk agama yang terdaftar 162.410 orang. Adanya perbedaan antara

jumlah pemeluk agama yang terdaftar dengan jumlah penduduk, terjadi karena

sebagian penduduk yang tinggal di pelosok kurang mendapat pendataan yang

valid mengenai jumlah yang sebenarnya.

Keanekaragaman masyarakat Kota Sorong, ternyata mempengaruhi

kehidupan sehari-hari termasuk di birokrasi. Fenomena ini, menimbulkan kubu

dalam pemerintahan, yakni antara etnis yang berkuasa dan etnis yang tidak

berkuasa. Dalam penelitian terdapat temuan bahwa etnis yang berkuasa adalah
122

etnis yang memiliki jumlah mayoritas dalam internal birokrasi pemerintahan yang

ada di Kota Sorong yakni pejabat dari etnis Ayamaru, sedangkan etnis yang

jumlahnya minoritas/ tidak berkuasa adalah etnis selain etnis Ayamaru/ non

Ayamaru. Kondisi ini menimbulkan alasan utama terjadinya kecemburuan sosial

yang mampu mempengaruhi kehidupan birokrasi pemerintahan di Kota Sorong.

Padahal keberadan kelompok-kelompok etnis ini selanjutnya akan menjadi

penentu keberhasilan ketahanan wilayah serta pembangunan Kota Sorong

kedepanya.

Untuk memahami keberadaan etnis di Sorong, lebih baik kita pahami juga

pengertian dari etnis itu sendiri. Ethnos atau acapkali disebut etnis diartikan

sebagai setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa,

nilai dan norma budaya dan lain-lain, yang pada gilirannya menjadikasikan

adanya kenyataan kelompok yang minoritas dalam suatu masyarakat (Liliweri,

2005:8). Kata etnis menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau

kelompok atau individu yang menyatukan diri dalam kolektivitas, menurut Rex

dalam (Abdilah, 2002:15). Etnik dalam wacana primitif identik dengan suku atau

kelompok suku (tribe) yang terpisah dan terisolir, hidup dihutan atau jauh dari

orang kebanyakan dengan budaya yang masih sederhana animisme dan

menampilkan diri sebagai apa adanya.

Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi, keberadaan etnis di

Kota Sorong tentu tidak bisa diabaikan. Sementara Thomas Sowell (Liweri,

2005:9) mengemukakan bahwa kelompok etnis merupakan sekelompok orang

yang mempunyai pandang dan praktek hidup yang sama atas suatu nilai dan
123

norma. Misalnya kesamaan agama, negara, asal, suku bangsa, kebudayaan,

bahasa, dan lain-lain yang semuanya berpayung pada satu kelompok. Meskipun

keberadaan kelompok etnis yang mendominasi, menjadi keresahan tersendiri bagi

kelompok etnis lain, namun mau tidak mau keberadaanya harus dipahami sebagai

fenomena politik. Karena memang dalam pembentukan daerah-daerah otonomi,

menentukan susunan pemerintahannya harus diingat permusyawaratan dalam

sistem pemerintahan Negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang

bersifat istimewa (asli) ( Kaho, 2002:4).

Sebagai bagian dari internal birokrasi pemerintahan, Ibu Traice Kareth,

Amd.Sos salah seorang pejabat dari etnis Ayamaru di Kota Sorong memiliki

tanggapan khusus tentang relasi antar etnis di internal birokrasi pemerintahan

Kota Sorong, sebagai berikut:

“...Relasi antara etnis-etnis di birokrasi Kota Sorong sangat baik dan


harmonis dalam roda birokrasi pemerintahan Kota Sorong...”
(Wawancara Rabu 26 Februari 2013, Jam 09.46 WIT).

Hal serupa disampaikan oleh Bapak Onesimus Assem salah seorang

anggota etnis yang berkuasa yakni etnis Ayamaru di internal birokrasi

pemerintahan Kota Sorong sekaligus pejabat BPPEDA Kota Sorong. Beliau

beranggapan bahwa hubungan etnis-etnis di internal birokrasi pemerintahan Kota

Sorong baik, sebagai berikut:

“...Komunikasi etnis-etnis di birokrasi pemerintahan Kota Sorong dilihat


selama ini komunikasi berjalan secara baik dan harmonis dalam
birokrasi pemerintahan Kota Sorong...” (Wawancara Senin 4 Maret
2013, Jam 12. 24 WIT).
124

Menurut Bapak Abner Sesa., SIP. Sebagai perwakilan etnis yang tidak

berkuasa di birokrasi Kota Sorong atau etnis selain Ayamaru, mempunyai

tanggapan sama berkenaan dengan hubungan antar etnis di internal birokrasi

pemerintahan Kota Sorong, sebagai berikut:

“...Selama ini kita dalam hubungan kerja sama suku-suku dalam


birokrasi Kota Sorong sangat baik, solid, kekeluargaan dalam
menjalankan tugas dan tanggungjawab di birokrasi Kota Sorong...”
(Wawancara Rabu 20 Maret 2013, Jam 09.23 WIT).

Dari 3 (tiga) komentar di atas menyebutkan bahwa secara internal

birokrasi relasi yang terjalin cukup baik, menurut pengamatan peneliti hal ini

sesuai konsep komposisi bahwa internal birokrasi baik karena dominasi

pegawainya adalah dari etnis yang sama, yakni Ayamaru sehingga kalaupun ada

pegawai dengan etnis non Ayamaru lebih mengikuti langkah pegawai mayoritas,

sehingga komposisi yang kuat tersebut mampu terbentuk. Relasi etnis di internal

birokrasi pemerinthan Kota Sorong memang baik dan harmonis itu dapat dilihat

dari setiap pagi hari sebelum aktifitas kerja 70.30 WIT di adakan ibadah bersama

pengawai, selalu kompak dalam melaksanakan tugas, kerja bakti bersama pada

hari sabtu, bercanda bersama-sama di dalam ruangan kantor. Keharmonisan yang

terjadi di internal birokrasi Pemerintahan Kota Sorong mungkin terjadi karena

kesamaan pandangan dari para anggotanya yang sama-sama dari satu etnis yaitu

Ayamaru. Sehingga koordinasi yang dilakukan akan lebih mudah, ini mungkin

salah satu keuntungan yang kemudian menjadi penyebab dalam menejerial

birokrasi di Pemerintahan Kota Sorong, untuk menyamakan suara sesuai

pandangan etnis.
125

Namun keharmonisan internal birokrasi saja tentu belum mencerminkan

pemerintahan yang baik (Good Government), karena perlu diperhatikan pula

tujuan atau kepentingan bersama, sesuai visi Kota Sorong, untuk terwujudnya

masyarakat Kota Sorong yang setara, bersahabat, dinamis. Berarti sebagai warga

Kota mempunyai kedudukan hak, kewajiban dan tanggung jawab sama walaupun

berbeda suku, budaya dan agama. Seharusnya antara warga masyarakat kota

terjadi kehidupan yang harmonis, saling menghargai dan saling menghormati serta

mencintai, bukan sekedar internal birokrasinya saja. Mengembangkan

pemberdayaan masyarakat dan kekuatan ekonomi sesuai mekanisme pasar yang

berkeadilan yang berbasis kepada pemanfaatan sumber daya alami dan sumber

daya alami dan sumber daya manusia yang mandiri, maju berdaya saing,

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Jadi, memang kesetaraan,

persahabatan dan dinamisasi masyarakatnya harusnya menjadi bersama tujuan

Pemerintahan Kota Sorong.

Berbeda dengan tanggapan sebelumnya, Bapak Silasongge Kalami

perwakilan Lembaga Masyarakat Adat Suku Asli Moy di Kota Sorong,

menanggapi heterogenitas masyarakat Kota Sorong juga terjadi pada birokrasinya,

beliau memiliki pendapat sebagai berikut:

“...Suku yang ada di birokrasi pemeritahan Kota Sorong sangat banyak


suku-suku asli di Papua maupun suku-suku non asli Papua yang di
dalam tubuh birokrasi pemerintahan Kota Sorong...” (Wawancara Selasa
25 Februari 2013, jam 13.37 WIT).

Jika kita pahami, hadirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemilukada

secara langsung, menguatnya politik identitas etnisitas di Kota Sorong semakin

menguat. Semakin meloncat peran elit-elit lokal asli Papua dalam kekuasaan
126

birokrasi, memiliki kesempatan yang lebih untuk memainkan perannya. Para elit

daerah juga lebih leluasa menjalankan strategi-strategi politik untuk mencapai

kepentingan politiknya. Sering kali etnisitas dan agama dimanfaatkan untuk

menjadi senjata untuk menciptakan isu sebagai “kendaran” politik kekuasaan

dalam birokrasi Kota Sorong.

Secara teoritik, kemampuan pemerintah terbentuk melalui penerapan azas

desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi

kepada tingkat bawahnya secara hirarkis (Ryaas Rasyid,1977). Melalui

pelimpahan wewenang itulah pemerintah pada tingkat bawah diberi kesempatan

untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreativitas, mencari solusi terbaik

atas setiap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Selain itu,

desentralisasi dapat juga dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan

perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen

pemerintah dari pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub Nasional

(Daerah/Wilayah) Administrasi Negara atau kepada kelompok-kelopok fungsional

atau organisasi non pemerintah/swasta (Rondinelli 1988).

Kaitan antara pemilukada dengan desentralisi pada penelitian ini, adalah

kemudian memunculkan peran kepala daerah sebagai penentu arah pembangunan

daerah tersebut. Kepala daerah ini memiliki wewenang serta kekuasaan untuk

mengatur birokrasi termasuk mempengaruhi birokratnya maupun pihak terkait

dalam rangka menjalankan tujuanya. Terjadinya fenomena politik Otsus di Papua

tersebut cukup menguatkan isu etnisitas dan agama yang mempunyai banyak

pengikut dan memiliki ikatan-ikatan primodial dengan pemimpin. Hal ini semakin
127

menonjol di birokrasi pemerintahan Kota Sorong, termasuk meningkatnya

dominasi salah satu suku/ etnisitas di dalam struktur pegawai negeri sipil (PNS).

Efek dari fenomena ini adalah jabatan kepala-kepala Dinas esalon I hingga

esalon IV kini banyak dipegang oleh etnis Ayamaru yang mendominasi hirarki

kekuasaan di internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong. Hal ini sesuai

pernyataan Bapak Silasongge Kalami dari Lembaga Masyarakat Adat Suku Asli

Moy di Kota Sorong berikut:

“...Etnis Ayamaru yang sangat banyak di birokrasi Kota Sorong, dan


etnis non Papua...” ( Wawancara Selasa 25 Februari 2013, Jam 13.37
WIT ).

Lebih lanjut Bapak Silasongge Kalami., dari Lembaga Masyarakat Adat

Suku Asli Moy di Kota Sorong, menegaskan bahwa etnis Ayamaru menjadi etnis

yang mendominasi di pemerintah Kota Sorong, sebagai berikut:

“...Ya, kita bisa melihat sendiri etnis yang mendominasi di birokrasi


pemerintahan Kota Sorong adalah etnis Ayamaru, yakni salah satu
suku yang ada birokrasi Kota Sorong dan etnis terbesar mendiami
Kota Sorong ini...” ( Wawancara Selasa 25 Februari 2013, jam 13.37
WIT ).

Komentar Lembaga Masyarakat Adat Suku Asli Moy di Kota Sorong dan

menurut pengamatan peneliti, memang etnis Ayamaru dan Etnis non Papua sangat

banyak/ mendominasi, di birokrasi pemerintah Kota Sorong dari suku-suku asli di

Kota Sorong dan juga etnis Ayamaru banyak berpendidikan, dan non etnis Papua

yang sangat banyak dan mempunyai tenaga kerja profesional di bandingkan

dengan penduduk asli Kota Sorong dan pula faktor kesamaan politik di birokrasi

pemerintahan Kota Sorong.


128

Bab ini bisa disimpulkan, relasi internal kalangan birokrasi pemerintahan

yang ada di Pemerintahan Kota Sorong sedikit banyak ada kecemburuan sosial,

karena diskriminasi dari etnis yang berkuasa yakni etnis Ayamaru. Diskriminasi

yang dimaksud ialah tidak adanya kesempatan yang sama dalam menduduki

jabatan dalam internal birokrasi pemerintahan, sehingga keterwakilan dalam

pengambilan kebijakan memihak pada etnis tetentu/etnis Ayamaru sebagai etnis

yang berkuasa. Pada tabel sub bab sebelumnya juga terpampang bahwa jabatan

strategis di internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong diduduki tak jarang oleh

orang-orang yang memiliki marga dan etnis yang sama.

Hal ini mengakibatkan suku asli Moy Mengkleim tanah-tanah adat di Kota

Sorong contohnya: bandara udara Kota Sorong, mengkleim rumah sakit umum

yang berdudukannya di dalam Kota Sorong masuk ke Kabupaten Sorong,

memperlambat proses-proses pelepasan tanah-tanah adat untuk membangun

infrastruktur kantor-kantor pemerintah, infrastruktur kantor non pemerintah, ini

menimbulkan Implementasi Otonomi Khusus tidak maksimal. Di sini etnis/ suku

asli Moy merasa kepentinganya tidak dilindungi karena tanah kelahiranya justru

dikuasai oleh dominasi etnis Ayamaru sebagai saudaranya sendiri.


129

BAB VI.

DAMPAK ETNISITAS TERHADAP AKSES PELAYANAN PUBLIK DI

KOTA SORONG

6.1 Akses Pelayanan Publik Di Kota Sorong Dalam Implementasi Otonomi

Khusus

Kota Sorong merupakan salah satu Kota yang terletak di bagian Kepala

Burung atau Pintu Masuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang tidak

lepas dari kemajemukan etnisitas. Masyarakat Kota Sorong adalah masyarakat

majemuk dengan etnisitas yang bersifat dinamis dan terbuka. Budaya-budaya

yang dimiliki oleh masyarakat Kota Sorong sangat beragam. Keragamannya dapat

dilihat dari adanya beberapa etnik masyarakat asli Papua yang mendiami sebagian

besar Kota Sorong dan dengan lebel nama suku/etnis masing-masing kampung,

yaitu: Teminabuan, Maybrat, Raja Ampat, Biak , Moy, Serui dan lain-lain.

Suku-suku yang banyak tersusun oleh keragaman tradisi, budaya,

kelompok dan masyarakat, tidak hanya berpeluang menjadikan kuat di masa

mendatang, tetapi juga perpotensi mendorong timbulnya benih-benih konflik

sosial yang dapat mengancam sendi-sendi ketahanan wilayah Kota Sorong

Provinsi Papua Barat, jika dinamika kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat

dikelola dengan baik. Hubungan sosial didalam masyarakat juga akan terganggu

baik secara vertikal maupun secara horizontal. Konflik secara vertikal dapat

dilihat dengan adanya saling merebut kekuasaan antara pejabat publik, partai

politik dan adanya perilaku KKN serta perilaku negatif lainnya. Konflik secara

horizontal dialami oleh masyarakat lapisan bawah adalah terabaikan pelayanan

129
130

publik salah satu kelompok suku atau mendiskriminasi salah satu suku, secara

tidak langsung tidak merasakan dampak dari kebijakan Pemerintah serta program

otsus itu sendiri. Apa yang dialami oleh masyarakat kalangan bawah ini menjadi

menarik untuk dikaji karena terdapat berbagai macam etnis dengan berbagai

macam latar belakang etnisitas yang berbeda turut serta berperan serta mengisi

Implementasi Otsus Papua.

Sementara itu dalam kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Aday

dan Andersen (1975) dalam, et.al (1999:5) untuk studi tentang akses terhadap

pelayanan kesehatan ditegaskan bahwa akses diartikan sebagai pemanfaatan

pelayanan yang ada yang dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempermudah

proses pemanfaatan tersebut. Dengan berpedoman pada pendapat-pendapat

tersebut di atas, maka aksesibilitas dapat diartikan sebagai peluang, kesempatan

atau kemudahan untuk mendapatkan atau memanfaatkan sesuatu. Jadi

aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik adalah peluang, kesempatan

atau kemudahan yang dimiliki oleh masyarakat untuk mendapatkan atau

memanfaatkan suatu jenis pelayanan publik. Namun sayangnya pada data akses

layanan publik yang ada di Kota Sorong penyebaranya masih belum merata,

wilayah Sorong Kepulauaan lebih minim akses yang didapatkan, padahal wilayah

tersebut seharusnya mendapatkan perhatian lebih karena warga miskin dan

tradisional yang rata-rata sebagai etnis asli Sorong ada di sana.

Rasyid (1998) menyebut pelayanan publik dapat diartikan sebagai

pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai

kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang
131

telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan

pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah

diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat

mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama

(Mote, 2008:20).

Pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan

oleh instansi pemerintah yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat

maupun untuk pelaksanaan peraturan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjatmo

(1997;132). Pelayanan publik adalah segalah bentuk pelayanan yang dilaksanakan

oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik

Negara/Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka pemenuhan

kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-

undangan.

Dalam pelaksanaannya, pembagian akses pelayanan publik yang ada di

Pemerintahan Kota Sorong masih dirasa diskriminatif, tidak merata serta tidak

menyentuk etnis diluar suku yang berkuasa, sesuai pernyataan anggota Lembaga

Etnis Wensok/ Sadervoyo yakni Bapak I. J. S.IP., sebagai berikut ini:

“...Pembagian akses pelayanan publik di setiap suku-suku masih


diskriminasi contohnya: etnis yang tidak berkuasa RT 01 RW 11 tidak
ada bak penampung air bersih. Namun di basi Kelurahan Klademak 1,
etnis yang berkuasa RT/RWnya semua ada bak penampung air bersih
dll. Ini di akibatkan masih ada diskriminasi suku dalam akses pelayanan
publik dan ini mengakibatkan tidak merata, tidak maksimal, tidak
menyentuh antara suku-suku asli yang mendiami Kota Sorong misalnya:
penerangan lampu jalan di lingkungan, jalan umum yang
menghubungkan jalan dari lingkungan ke jalan raya umum, tidak ada
pembuatan bak penampung air bersih di setiap lingkungan-lingkungan
etnis yang lainnya dll...” (Wawancara Senin 25 Maret 2013, jam 09.09
WIT).
132

Pernyataan di atas di perkuat oleh pendapat Bapak D.S. Lembaga Etnis

Klamono tentang pelayanan publik di Kota Sorong, sebagai berikut:

“...Dilihat dari keadilan atau persamaan pelayanan terhadap etnis-


etnis di Kota Sorong belum sesuai. Ini dikarenakan masih ada
pelayanan sebab sukuismen, margasime, kampungisme atau
diskriminasi contohnya: Kelurahan Saoka belum ada penerangan
lampu jalan di kompleks yang baik di kelurahan tersebut. Namun di
Kelurahan Klademak 3 vasilitas lampu penerangan jalan sangat bagus
dan berkualitas ini di akibatkan karena status politik yang sama
dengan orang nomor 1 di Kota Sorong....” (Wawancara Kamis 21
Maret 2013, jam 12.12 WIT).

Dalam penyelenggaraan kekuasaan Birokrasi pemerintahan harus mampu

berkerja secara profesional dan berkompenten dalam memberikan pelayanan

publik dan akses secara optimal pada, etnik-etnik asli di Sorong. Pelayanana

publik sebagai kewajiban aparatur pemerintahan Kota Sorong harus memberikan

akses pelayanan kepada setiap etnik-etnik asli dengan merata, berkeadilan,

transparansi, akuntabel, terjangkau dan tidak membeda-bedakan suku, agama

yang dilayani di instansi birokrasi Pemerintahan Kota Sorong.

Menurut Karim (2003:329), pembicaraan mengenai otonomi daerah tidak

bisa lepas dari asas desentralisasi adalah prinsip pembelahan wilayah satu negara

ke wilayah yang lebih kecil, dan di wilayah-wilayah itu dibentuk institusi politik

dan institusi administrasi untuk melayani kebutuhan orang atau masyarakat

secepat, sedekat, dan setepat mungkin. Untuk menwujudkan prinsip desentralisasi

seperti dipaparkan di atas, dibutuhkan:

a. Resources, atau sumber daya, baik alam maupun manusia;


133

b. Struktur, jaringan institusi maupun fungsi yang benar-benar

dibutuhkan namun tidak kompleks sehingga membingungkan

masyarkat yang dilayani;

c. Technology, sarana komunikasi yang sangat membantu mengatasi

kendala spasial dalam penyelenggaraan pemerintahan;

d. Leadership, gaya kepemimpinan yang sesuai dengan perkembangan

masyarakat (utamanya kecerdasan masyarakat).

Dalam ketentuan umum UU Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 Pasal 1

ayat (5) “ Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Lebih lanjut

dalam penjelasan UU Otonomi Daerah, melalui otonomi luas daerah diharapkan

mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,

pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan

keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu visi otonomi daerah menurut Rasyid (2007: 173-174) yakni di

bidang politik karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan

demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka

ruang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan

berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap

kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan

keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.


134

Kepala Suku Teminabuan Bapak Hofni Sagrim. Memiliki tanggapan

tersendiri tentang Implementasi Otsus, Sebagai berikut:

‘’....Ya, dapat kita lihat sendiri Pelaksanaan Otonomi Khusus di Kota


Sorong belum mampu dipertanggungjawabkan kepada semua masyarakat
di Kota Sorong. Dana Otsus untuk pelatihan usah kecil belum ada,
pelatihan kursus menjahit belum ada, keamanan, keyamanan, dll
pelaksanaan Otonomi Khusus belum transparansi di masyarakat Kota
Sorong contohnya: Dana Pendidikan itu berapa jumlahnya dan siapa yang
berhak memiliki uang pendidikan tersebut…… “ (Wawancara, Senin 25
Maret 2013, jam 09.09 WIT).

Sama halnya dengan pendapat sebelumnya, Bapak D. S. Dari Lembaga

Etnis Klamono, saat ditanya tentang Implementasi Otonomi Khusus di Kota

Sorong, menjawab bahwa sukuisme mendominasi Implementasi dari Otonomi

Khusus ini, sesuai pernyataan berikut ini:

“…Pelaksanaan Otonomi Khusus di Kota Sorong belum optimal dan


menyentuh seluruh masyarakat asli Papua dan masih banyak diskriminasi
antara suku-suku. Karena yang punya kesamaan politik dengan penguasa
(Walikota) di Kota Sorong maka suku itu dengan mudah mendapat
bantuan-bantuan dari Otsus tersebut dan bisa mudah masuk dalam tubuh
Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong……” (Wawancara, Kamis 21 Maret
2013, jam 12.12 WIT).

Menurut Ibo (2010: 4) tujuan Otsus Papua adalah untuk mewujudkan

keadilan, penengakan suprermasi hukum, penghormatan pada HAM, percepatan

pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan kemajuan masyarakat Papua,

dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan Provinsi lain di

Indonesia.

Tujuan tersebut dapat diwujudkan, jika di penuhinya syarat sebagaimana

diuraikan dalam bagian penjelasan UU Otsus, sebagai berikut:


135

a. Partisipasi rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan

penyelengaraan pemerintah serta pelaksanaan pembangunan melalui

keikutsertaan para wakil adat, agama dan kaum perempuan;

b. Pelaksanaan pembangunan yang diarakan sebesar-besarnya untuk

memenuhui kebutuhan dasar penduduk, terutama penduduk Asli Papua

dengan perpengan teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,

pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi

masyarakat; dan

c. Penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan secara

transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat, DPR Papua

melakukan lobi kepada pemerintah pusat, agar proses demokratisasi

terutama pelaksanaan pemilihan Gubernur (PILGUB) dan Wakil

Gubernur (WAGUB) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua

(DPRD) agar Gubarnur dapat menyampaikan LPJ dan bukan LKPJ

sesuai pasal 7 dan 18 Undang-Undang Nomor 21.

Membahas tentang Akses pelayanan Otonomi Khusus (Otsus), saat

ditanya tetang implementasi Otonomi Khusus di Kota Sorong, Kepala Suku

Sawiyat Bapak H. S. Mengungkapkan bahwa Otonomi Khusus tidak menyentuh,

sebagai beriku:

“ Kita dengar-dengar Otonomi Khusus itu mensejahterakan orang asli


Papua. Namun dapat dilihat di dengan mata kepala sendiri pelaksanaan
Otonomi Khusus itu tidak menyentuh, tidak merata di masyarakat asli
Papua dan pelaksanaan Otonomi Khusus itu masih ada permaninan kotor
di pemimpin mendiskriminasi contohnya: bantuan dana pendidika, bahan-
bahan bangunan yang gratis dikelurahan Klasuata tidak ada sama sekali.
Namun di Kelurahan lain ada ini membuktikan bahwa masih ada
136

permainan kotor diskriminasi etnis tertun…” (Wawancara, Sabtu 20 Maret


2013, jam 11.53 WIT) .

Namun dari 5 (lima) komentar di atas menurut pengamatan peneliti di

Kota Sorong dalam pembagian akses pelayanan publik dalam implementasi

otonomi Khusus di eksternal Kota Sorong, masih belum menyetuh pada lapisan

masyarakat bawah ini diakibatkan belum ada pelayanan publik yang maksimal

dan merata di etnis-etnis Kota Sorong di akibatkan masih ada diskriminasi

terhadap etnis-etnis lain, contohnya: di Kelurahan satu dibuat jalan semen beton di

setiap kompleks/lingkungannya, sedangkan di Kelurahan lain tidak ada akses

jalan yang sama seperti di kompleks/lingkungan lainnya.

Sedangkan dalam pelayanan Publik dalam implementasi Otonomi Khusus

terhadap etnis-etnis Kota Sorong masih belum transparan menyentuh etnis non

penguasa/minoritas dalam merasakan pelayanan publik dalam implementasi

Otonomi Khusus di Kota Sorong yang sama. Ini di karenakan masih ada

permainan kotor praktek nepotisme yang di terapkan di internal birokrasi

pemerintahan Kota Sorong, juga pula di terapkan praktek nepotisme ini, di

mainkan dalam pelayanan publik di eksternal etnis-etnis non peguasa/minoritas

menimbulkan masalah pelayanan publik yang harus menyentuh setiap etnis-etnis

di Kota Sorong, tetapi pelayanan publik itu masih di rasakan sepihak di etnis

penguasa/mayoritas di Kota Sorong itu sendiri. Pemimpin di Kota Sorong masih

ada penerapan pelayanan istimewa terdapap etnis penguasa/mayoritas. Suku,

marga, kampung dan status politik yang sama mengakibatkan pelayanan publik

dalam Implementasi Otonomi Khusus di Kota Sorong tidak berjalan semestinya

yang tertuang dalam Roh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tersebut.


137

Akses Pelayanan Publik dalam Implementasi Otonomi Khusus di Kota

Sorong masih belum menyentuh seluruh etnis-etnis non penguasa/minoritas di

Kota Sorong. Ini di karenakan pemimpin di Kota Sorong masih sibuk dengan

kepentingan etnis, marga, kampung dan status politik mereka semata.

Mengakibatkan terabainya tugas primodial untuk mensejahtarakan seluruh etnis-

etnis di Kota Sorong. Pada hal Dana Otonomi Khusus dalam infarstruktur untuk

akses pelayanan publik di seruh masyarakat Kota Sorong sangat besar jumlahnya

dan bisa mengakomodir semuanya dan bisa tersedia tenaga kerja professional

yang handal dalam meracang strategi kerja akses pelayanan publik dalam

implementasi Otonomi Khusus di Kota Sorong. Namun ironis yang terjadi di Kota

Sorong akses pelayanan publik masih belum baik di harapkan oleh etnis-etnis di

Kota Sorong dan masih dinikmati oleh satu etnis penguasa/mayoritas dan status

politik itu saja. pemimpin hanya sibuk dengan etnis, marga, kampung dan status

politik mereka.

Namun kalo dilihat dari konsep Birokrasi Pemerintahan yang baik dan

benar menurut Mifta Thoha (2002:15), bahwa administrasi publik dapat diartikan

sebagai administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk

kepentingan masyarakkat. Dan konsep pelayanan publik menurut Sudjatmo

(1997;132), Pelayanan publik adalah segalah bentuk pelayanan yang dilaksanakan

oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan dilingkungan Badan Usaha Milik

Negara/Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka pemenuhan

kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-


138

undangan. Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu

yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau.

Tetapi dari konsep ilmiah diatas tidak di terapkan di internal birokrasi

pemerinatahan Kota Sorong dan seluruh elemen masyarakat di Kota Sorong

dalam akses pelayanan publik dalam implementasi Otonomi Khusus yang baik

semestinya. Permasalahan primodial dari ke tidak berjalannya akses pelayanan

publik dalam implementasi Otonomi Khusus untuk etnis-etnis non

peguasa/minoritas di Kota Sorong, ada pola konsep berpikir masih memikirkan

egosentrisme marga, kampung dan status politik kepenting kelompok membuat

terjadi diskriminasi, nepotisme di dalam mewujudkan akses pelayanan publik

dalam implementasi Otonomi Khusus yang baik, transparan, bersih, demokratis

dan berwibawa di seluruh etnis-etnis asli Papua di Kota Sorong itu terabaikan.

Sesuai visi terwujudnya masyarakat Kota Sorong yang Setara, Bersahabat,

Dinamis, Pemerintah Kota Sorong juga memiliki misi untuk mewujudkan visi

tersebut. Misi yang dimaksud, berorientasi pada 3 (tiga) hal, yakni Pertama

Kebersihan dan Keindahan Kota, Kedua Keamanan, Ketentraman dan Ketertiban

Masyarakat Kota serta Ketiga Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat Kota.

Dari misi di atas, terdapat beberapa komponen yang menjadi acuan,

sebagai berikut:

1. Keberhasilan dan keindahan Kota dimaksud mengacu pada

motto Sokoba, Sorong Kota Bersama.

2. Keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat Kota

dimaksud adalah;
139

a. Keamanan, kentraman dan ketertiban masyarakat

b. Pemenuhan kebutuhan masyarakat Kota dengan membangun

trotoar, agar penjalan kaki dapat berjalan dengan aman dan

tidak menganggu lalulintas, membangun halte bus, terminal

taksi serta sarana parker lainnya guna memberikan pelayanan

sebaik-baiknya kepada masyarakat, membuat Zebra cross

sebagai tempat penyeberang jalan dan pemesangan traffielight

guna menertibkan pengguna kendaraan bermotor, dan

membangun pos-pos keamanan lingkungan (Pos Kamling).

c. Pemenuhan kebutuhan masyarakat Kota salah satu

diantaranya adalah kebutuhan akan air bersih, pembuatan

taman-taman Kota, sarana hiburan rakyat serta kebutuhan

pelayanan dasar lainnya bagi masyarakat.

Namun dari visi dan misi yang menjadi tujuan Pemerintahan Kota Sorong,

unsur kesetaraan nampaknya belum bisa terpenuhi sebab masih adanya

diskriminasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya etnis yang mendominasi karena

jumlahnya yang memang cukup banyak termasuk di internal birokrasi Pemerintah

Kota Sorong, yakni Etnis Ayamaru. Sukuisme yang begitu kuat sehingga

menjadikannya “kendaraan” atau alat untuk mempertahankan kekuasaan,

sehingga Walikota meletakkan orang-orang yang sepahan dan satu etnis pada

posisi-posisi strategis di birokrasi untuk mencapai politisasi kekuasaanya.

Walaupun tak jarang Walikota lebih memilih suku luar etnis Papua pada posisi

teknis yang lebih cakap untuk menjalankan roda pemerintahan.


140

Kemajemukan etnis bisa memicu terjadinya konflik eksternal, terlebih jika

etnis yang berkuasa yakni etnis Ayamaru diskriminatif terhadap ekternal etnis

lain, masih banyak etnis yang belum masuk internal birokrasi di Pemerintahan

Kota Sorong. Seperti halnya di birokrasi pemerintahan Kota Sorong, dimana

pembagian jabatan di internal birokrasi maupun SKPD yang masih dipengaruhi

marganisme, saudaraisme maupun kampungisme. Pembagian akses pelayanan

publik pun kurang merata bahkan tidak menyentuh diluar (eksternal) Suku yang

tidak berkuasa. Memang konflik internal dan eksternal di Sorong masih terkendali

bahkan Kota Sorong merupakan daerah paling aman di Provinsi Papua Barat.

Masih membahas tentang akses pelayanan publik, Kepala Suku

Teminabuan Bapak Hofni Sagrim menyampaikan bahwa akses pelayanan publik

di Kota Sorong masih diskriminatif yang ada, itu karena adanya sukuisme,

kampungisme, dan kesamaan politik.

“ Kita dapat lihat akses pelayanan publik di Kota Sorong ini masih
diskriminasi antara suku satu dengan suku lainnya di Kota Sorong,
misalnya: akses pelayanan publik pembuatan bak penampungan air bersih,
penerangan jalan di kompleks satu ada dan di kompleks yang tidak ada
dan tidak menyetuh seluruh masyarakat di Kota Sorong. Ini di akibatkan
karena masih ada sukuisme, kampungisme dan kesamaan politik…..”
(Wawancara, Sabtu 2 Maret 2013, jam 10.47 WIT).

Namun menurut Ibu M.T. Tentang dari Lembaga Etni Inawatan,

menyampaikan bahwa akses pelayanan publik di Kota Sorong belum menyentuh

masyarakat Sorong misalnya pengobatan gratis.

“ Akses pelayanan publik masih belum menyetuh masyarakat Kota


Sorong misalnya: pengobatan gratis, infrastruktur jalan setiap kompleks
belum menyetuh dan masih ada diskriminasi antara satu dengan yang
lainnya….” (Wawancara, Kamis 21 Maret 2013, jam 09.08 WIT).
141

Ketidakmerataan akses layanan publik di Kota Sorong menurut Bapak Pdt

O. S., dari Lembaga Etnis Elles dan Pasir Putih terjadi meliputi berbagai bidang.

“ Masih belum menyetuh seluruh lapisan masyarakat Kota Sorong seperti


infrastruktur jalan, pelayanan kredit, keamanan, keyamanan, kelacaran ke
pasar umum….” (wawancara, Kamis 21 Maret 2013, Jam 16.47 WIT).

Namun dari 3 (liga) komentar di atas menurut pengamatan peneliti di Kota

Sorong masih ada diskriminasi antara suku yang berkuasa dengan suku yang tidak

berkuasa membuat pelayanan publik yang mendasar untuk kesejahteraan

masyarakat Kota Sorong menjadi terabaikan karena yang hanya memikirkan suku,

marga, kampung, status politik tertentu. Pelayanan pengobatan gratis di Kota

Sorong terutama diluar wilayah etnis selain Etnis Ayamaru masih sangat minim

dan infrastruktur masih belum terlaksana dengan baik ini diakibatkan karena

pemimpin di Kota Sorong cuma memikirkan sistem politik sesama etnis mereka.

Akses Pelayanan di Kota Sorong masih belum lancar, keyamanan dan keamanan

belum menyeluruh pada lapisan masyarakat di Kota Sorong.

Padahal lebih lanjut Sudjatmo menguraikan bahwa pelayanan umum

dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana,

terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Oleh karena itu maka setiap

pelayanan publik harus mengandung unsur: pertama, hak dan kewajiban bagi

pemberi maupun penerima pelayanan harus disesuaikan dengan kondisi

kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efesiensi dan

efektifitas. Ketiga, mutu proses dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar

dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang


142

dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, apabila pelayanan publik yang

dilaksanakan oleh instansi pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi

pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan

berkewajiban memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut

menyelenggarakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun kehadiran Otonomi Khusus di Kota Sorong untuk mensejahtarakan

masyarakat eksternal setempat dari ketingalan pembangunan infrastruktur, akses

pelayanan publik di setiap etnis-etnis asli Kota Sorong sesungguhnya tidak

berjalan seperti apa yang diharapkan yaitu segala prioritas untuk kepentingan

etnis-etnis asli Papua di Kota Sorong. Implementasi Undang-Undang Otonomi

Khusus sebgai jalan untuk menyelesaikan masalah tetapi Otsus itu sendiri telah

menjadi masalah di eksternal masyarakat Kota Sorong Papua Barat ini di

karenakan ada permainan Politik Kotor dari Pemerintah Kota Sorong, dan

nampaknya pelaksanaan Otonomi Khusus masih dinikmati oleh Etnis yang

berkuasa saja (Ayamaru).

Data dalam BAB VI juga menerangkan Akses Pelayanan Publik yang

diberikan kepada masyarakat tebang pilih dan tidak merata di seluruh wilayah.

Yang paling mencolok pada wilayah sorong kepulauan yang bangunan fasilitas

umum kurang begitu memadai. Padahal pada dasarnya Sorong Kepulauan dihuni

oleh mayoritas etnis asli yang masih tradisional yang sebenarnya membutuhkan

perhatian lebih. Akses yang kurang juga dialami oleh wilayah-wilayah lain pula.

Namun justru Sorong wilayah kota, akses layanan publiknya lebih memadai,
143

bangunan mulai dari sekolah sampai gedung kesehatan jumlahnya lebih banyak

dari pada Sorong Kepulauan.

Nampaknya Akses Pelayanan Publik dalam pelaksanan Otonomi Khusus

di Kota Sorong masih diskiriminasi terjadi pada etnis-etnis non penguasa di Kota

Sorong dan tidak transparansi dalam Pembangunan Infrasuktur di setiap etnis di

kelurahan yang tidak berkuasa di Kota Sorong, misalnya pembuatan bak

penampung air bersih, jalan di lingkungan RT, RW di Kelurahan, dana pendidikan

dari Otsus, dana kesehatan dari Otsus, dana infrastuktur dari Otsus, dana ekonomi

Kerakyatan dari Otsus. Semua ini Pemerintah Kota Sorong masih belum

akuntabel dan transparansi terhadap masyarakat dan etnis-etnis asli di Kota

Sorong. Pemerintah masih mementingkan suku, marga, kampung dan kepentingan

politik dari etnik penguasa semata saja. Padahal prinsip luhur Otonomi Khusus

adalah bahwa setiap etnis di Kota Sorong berhak mendapatkan hak yang sama.

Dan juga pula dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di tingkat internal

pegawai negeri sipil di birokrasi pemerintahan di Kota Sorong masih di warnai

dengan dominasi oleh satu etnis dalam tubuh birokrasi pemerintahan Kota

Sorong, pada hal pelaksanaan Otonomi Khusus harus merata di setiap etnis di

Kota Sorong. Tetapi etnis-etnis di Kota Sorong sangat banyak yang belum

terakomodir dalam tubuh birokrasi pemerintahan Kota Sorong. Ini di akibatkan

ada politiksasi dari etnis Ayamaru, karena etnis Ayamaru sudah dua priode

pemimpin lama dan sekarang pemimpin baru memengan kekuasaan di tingkat

pemerintah Kota Sorong. Dan dalam perekutan pengawai negeri sipil di internal

birokrasi pemerintahan Kota Sorong masih di warnai dengan sukuisme, marga,


144

kampung yang sama dan pula status politik yang sama dalam roda birokrasi

pemerintahan Kota Sorong. Ini Tentu akan berpengaruh terhadap pengambilan

keputusan yang berat sebelah dan hanya mengutungkan atau mengakomodir

kepentingan Etnis yang berkuasa saja (Ayamaru) dalam pelaksanaan Otonomi

Khusus di Kota Sorong.

Letak kesalahan atas tidak jalannya pelaksanaan Otonomi Khusus di Kota

Sorong dalam Akses Pelayanan Publik pada eksternal etnis-etnis asli Papua,

dilihat dari aspek kesejahteraan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, budaya

dan lain-lain sebagainya letak masalahnya ada di internal masyarakat Papua di

Kota Sorong itu sediri. Karena pemimpin asli Papua yang menghambat

kesejahteran bagi etnis-etnis asli Papua di Kota Sorong itu sendiri, sehingga

timbulnya politik egosentrisme keserakaan dari suku, marga, kampung untuk

menguasai kekuasaan Otonomi Khusus dan status politik yang sama untuk

mendominasi di tingkat internal birokrasi pemerintahan Kota Sorong. Hal ini

menimbulkan diskriminasi eksternal etnis Ayamaru atas etnis-etnis lain yang juga

berdampak pada akses pelayanan publik dari pelaksanaan Otonomi Khusus di

Kota Sorong. Jika dominasi etnis Ayamaru dari pemerintahan Bupati Sorong

pertama pada 1989 hinggga Walikota yang sekarang ini berlangsung terus

menerus tentu akan menjadi bom waktu bagi konflik horizontal antar etnis-etnis

kedepanya di Kota Sorong.

6.2 Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah

Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas (1989), telah merumuskan

bahwa ketahanan nasional adalah suatu kondisi dinamis bangsa Indonesia yang
145

berisi keuletan dan ketangguhan yang mengadung kemampuan untuk

mengembangkan kekuatan nasionalnya di dalam menghadapi dan mengatasi

segalah ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar

maupun dari dalam negeri yang langsung maupun tidak langsung membahayakan

integritas, indentitas kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Ketahanan nasional pada hakikatnya adalah kekuatan nasional dalam arti

luas. Dengan demikian, unsur-unsur ketahanan nasional mencakup Astra Gatra,

yaitu geografi, deonografi, sumber daya alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial

dan militir. Sama dengan analogi menurut Claine (Sudarsono,1997) yaitu masa

kritik (eknik wilayah), ekonomi, militer, konsepsi tentang strategi dan tekad

nasional.

Sedangkan Ketahanan Wilayah didefinisikan sebagai kondisi dinamis

suatu wilayah kemampuan memberdayakan segenap potensi wilayah baik potensi

geografis sebagai faktor kekuatan dan ketangguhan untuk mengatisipasi setiap

potensi ancaman yang langsung atau tidak langsung mengancam stabilitas

ketahanan wilayah. Ketahanan wilayah yang dimaksudkan adalah penjagaan

wilayah secara aktif dari beberapa dimensi pemberdayaan masyarakat berbasis

lokal yang sering menjadi pemicu kecemburuan sosial (konflik), dengan kata lain

adanya wilayah kepulauan yang sangat luas akan merapuhkan penjagaan

kewilayahan secara totalitas. Kondisi tersebut bisa teratasi dengan menggunakan

mekanisme pemekarang wilayah sebagai solusi.

Ketahanan Wilayah adalah konsep mengenai pengembangan kemampuan

dan kekuatan suatu wilayah melalui pengaturan dan penyelenggaraan


146

kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh

aspek kehidupan secara utuh menyeluruh dan terpadu berdasasrkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Ketahanan wilayah merupakan konsep pola dasar

pembangunan yang hakikatnya merupakan pedoman dasar mengenai strategi dan

terpadu dalam keseimbangan dan konfigurasi kehidupan, menjamin keseimbangan

dan keserasian antara kesejahteraan masyarakat baik materil maupun spiritual

demi kelangsungan hidup dan berdasarkan apresiasi kondisi riil suatu wilayah

serta hakikat tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang akan dihadapi.

Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah Kota Sorong dapat diuraikan

sesuai urutan pada Aspek-Aspek Idologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya,

Pertahanan dan Keamanan. Yang berdapak langsung terhadap Implikasinya

Terhadap Ketahanan Wilayah Kota Sorong, sebagai berikut ini:

6.2.1 Aspek Ideologi

Ketahanan Ideologi Pancasila Negara Indonnesia sebagai suatu ideologi

yang merupakan sistem nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, diajarkan,

dianjurkan, agar dapat dipakkai sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara (Pisau Analisis Ketahanan Nasional Negara Indonesia). Kondisi

Ketahanan Ideologi Wilayah Kota Sorong sangat tangguh dapat diliahat dari

Pemerintahan, Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Masyarakat Kota Sorong

mewaspadai orang-orang golongan ekstri kiri di Papua yang tidak baik terhadap

ketahanan wilayah dalam Nilai-Nilai Luhur Ideologi Pancasil. Masyarakat Kota

Sorong sudah menyadari bahwa dengan kebenaran Nilai-Nilai Ideologi Pancasila


147

ini Kota Sorong di dalam Kesatuan Negara Indonesia dapat mencapai cita-cita

bangsa yaitu menuju masyarakat yang adil, makmur dan sentosa.

Wawancara yang dilakukan dengan Ibu Traice Kareth., Amd.Sos., salah

seorang pejabat dari Etnis Ayamaru di Kota Sorong, menjelaskan sebagai berikut:

“….Masyarakat di Kota Sorong ini dari kecil sampai dewasa semua


masyarakat mengerti dan memahami Nila-Nilai Ideologi Pancasila
Negara Indonesia…”(Wawancara Rabu Februari 2013, Jam 09.46 WIT).

Hal serupa disampaikan Bapak Abner Sesa., S.IP. Sebagai perwakilan

etnis yang tidak berkuasa di birokrasi Kota Sorong atau etnis selain Ayamaru,

mempunyai tanggapan sama, sebagai berikut:

“….Ya, kita bisa lihat di Kota Sorong ini dari SD, SMP, SMA dan
masyarakat luas Kota Sorong semua tauh negara tercinta Indonesia
mempuyai Ideologi Pancasil yang selalu kita inggat dalam benak dan
harus di jalankan sebagai rmasyarakat cinta terhadap Negara
Indonesia….”(Wawancara Rabu 20 Maret 2013, Jam 09.23 WIT).

Menurut Kasat Intel Kapten Riswanto Kepolisian Resor Sorong Kota

mempunyai tanggapan sama berkenaan dengan Ideologi Pancasila di Kota

Sorong, sebagai berikut:

“….Saya merasa bangga terhadap masyarakat Kota Sorong, masyarakat


Kota Sorong yang selalu menggamalkan nilai-nilai luhur yang terkandun
dalam Ideologi Pancasila dan masyarakat Kota Sorong menjalankannya
sehari-hari….” (Wawancara Rabu 27 Maret 2013, jam 10.00 WIT).

Dari pernyataan informan, bisa disimpulkan bahwa ketahanan wilayah

Kota Sorong sebagai bagian dari ketahanan nasional masih cukup baik. Hal ini

terbukti warga Sorong masih menjunjung tinggi ideologi bangsa, salah satunya

adalah pancasila. Menurut pengamatan peneliti sendiri di Kota Sorong dari Aspek

Ideologi sangat tangguh ini dapat di lihat peneliti dari seluruh Pemerintah, Tokoh
148

Adat, Tokoh Agama dan Masyarakat selalu menggamalkan Nilai-Nilai Luhur

Ideologi Pancasila dalam menjalankan aktifitas setiap hari, dan setiap malam

dikeluarkan lewat radio dalam bentuk acara malam melepas lelah. Selain itu

masih sering dibacakanya Pancasila dalam upacara bendera, masuknya ideologi

Pancasila dalam mata pelajaran di sekolah serta kegiatan kemasyarakatan lain

yang juga mencerminkan Pancasila itu sendiri.

Konsep ketahanan wilayah adalah konsep mengenai pengembangan

kemampuan dan kekuatan suatu wilayah melalui pengaturan dan penyelenggaraan

kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh

aspek kehidupan secara utuh menyeluruh dan terpadu berdasasrkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Ketahanan wilayah merupakan konsep pola dasar

pembangunan yang hakikatnya merupakan pedoman dasar mengenai strategi dan

terpadu dalam keseimbangan dan konfigurasi kehidupan, menjamin keseimbangan

dan keserasian antara kesejahteraan masyarakat baik materil maupun spiritual

demi kelangsungan hidup dan berdasarkan apresiasi kondisi riil suatu wilayah

serta hakikat tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang akan dihadapi

(Lemhannas, 1997: 8-11).

Sesuai konteks Ketahanan Nasional sebagai global dari Ketahanan

Wilayah, ideologi menjadi dasar kehidupan bangsa dan negara. Jadi untuk bisa

tetap menjaga ketahanan suatu wilayah, tentu harus juga menerapkan ideologi ini

dalam setiap sendi kehidupan. Di atas dijelaskan bahwa segala aspek kehidupan

hendaknya didasarkan pada ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.


149

Selanjutnya ideologi ini akan mampu menjadi pedoman dasar dalam

menyelesaikan tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang akan dihadapi.

6.2.2 Aspek Politik

Ketahanan Politik Wilayah adalah Turunan atau di terapkan dalam

kebijakan politik dari asas demokrasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

yakni kepentingan Nasional, Persatuan dan Kesatuan Bangsa, serta tetap tegaknya

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Ketahanan

Politik Daerah Kota Sorong dalam Otonomi Khusus berjalan dengan baik. Namun

politik daerah dari pemilihan kepala daeraha secara langsung menibulkan

persoalan di antara masyarakat setempat ini di akibatkan politik yang berujung

suku, marga, kampung, egosentrisme dan status politik yang timpul kecemburuan

sosial di antara etni-etnis yang ada di Kota Sorong.

Adanya dominasi kekuasaan sedikit banyak menjadi pemicu konflik di

Kota Sorong. Menurut Bapak Abner Sesa., SIP. Sebagai perwakilan etnis yang

tidak berkuasa di birokrasi Kota Sorong, sebagai beriku:

“...Pernah terjadi konflik etnis di birokrasi Kota Sorong pada pelantikan


atau penempatan jabatan-jabatan SKPD di birokrasi pemerintah Kota
Sorong diakibatkan karena salah satu pendukung atau tim sukses dari
suku /etnis Moy yang mendukung Walikota terpilih di Kota Sorong tidak
diberikan jabatan kepada etnis Moy mengakibatkan timbulnya konflik
etnis di tubuh birokrasi pemerintah Kota Sorong...” (Wawancara Rabu
20 Maret 2013, jam 09.23 WIT).

Sedangkan wawancara yang dilakukan dengan Bapak D. S. Dari Lembaga

Etnis Klamono, di Kota Sorong, menyatakan sebagai berikut:

“….Dinamika politik daerah di Kota Sorong dalam pilkada menguatnya


egosetrisme suku, kampung, marga dan status politik yang sama dengan
pemimpin yang menang di Kota Sorong, mempuat kecemburuan sosial di
antara etnis-etnis di Kota Sorong dan menguatnya egosentrisme di
150

kalangan politikus daerah…“ (Wawancara, Kamis 21 Maret 2013, jam


12.12 WIT).

Hal serupa disampaikan menurut Bapak Yunus Jarfi, S.H., etnis yang tidak

berkuasa di birokrasi Kota Sorong mempunyai tanggapan sama, sebagai berikut:

“….Politik Daerah dalam PILKADA di Kota Sorong ini banyak timbul


hal-hal seperti suku, kampung, marga dan kesamaan politik dan kuatnya
etnis tertentu di dalam pegawai pemerintahan di Kota Sorong ini
menimbulkan kecemburuan sosial politik di antara etnis-etnis lain di
Kota Sorong…” (Wawancara Kamis 21 Maret 2013, jam 16.16 WIT).

Menurut pengamatan peneliti politik daerah dalam Undang-Undang

Otonomi Khusus diperkuat dengan Undang-Undang No 23 membuat politikus

daerah semakin memperkuat politik dinasti dan timbul mengguatnya salah satu

etnis di dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil dan menguat politik marganya besar,

kampungnya besar dan kesamaan politik tertentu menguat di internal birokrasi

pemerintahan di daerah Kota Sorong. Ini mengakibatkan kecemburuan sosial

politik di antara etnis-etnis di Kota Sorong.

Ketahanan wilayah yang dimaksudkan adalah penjagaan wilayah secara

aktif dari beberapa dimensi pemberdayaan masyarakat berbasis lokal yang sering

menjadi pemicu kecemburuan sosial (konflik), dengan kata lain adanya wilayah

kepulauan yang sangat luas akan merapuhkan penjagaan kewilayahan secara

totalitas. Kondisi tersebut bisa teratasi dengan menggunakan mekanisme

pemekaran wilayah sebagai solusi (Praktikno, 2006: 8-9).

Jadi bisa disimpulkan dari aspek politik, bahwa ketahanan wilayah di

Pemerintahan Kota Sorong masih ada politiksasi kekuasaan di etnis Ayamaru.

Dominasi ini menciptakan kecemburuan sosial, terlebih dominasi etnis Ayamaru

yang dilakukan berdampak pada kekuasaan birokrasi pemerintahan dan pelayanan


151

publik. Menurut teori Praktikno (2006) adanya kecemburuan sosial dapat memicu

konflik yang juga akan berpengaruh pada ketahanan wilayah khususnya dan

ketahanan nasional umumnya. Memang pemekaran wilayah bisa jadi solusi,

namun untuk kasus Pemerintahan Kota Sorong cukup dengan pemerataan

kekuasaan atau penghilangan dominasi, akan membantu terciptanya ketahanan

wilayah yang berdampak pada ketahanan nasional. Tentu hal ini membutuhkan

komitmen dari berbagai pihak untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan dan

keseimbangan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance).

6.2.3 Aspek Ekonomi

Ketahanan Ekonomi Wilayah di dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia semua menggacu pada prinsi-prinsi asas demokrasi Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945, yakni mewujudkan perekonomian bangsa dan

negara memelihara stabilitas kepetingan ekonomi nasional dalam daya saing

tinggi, sehat dan dinamis dalam kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi

nasional yang mewujudkan kemakmuran rakyat, adil, makmur, merata, dan

kesejahtera di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketahanan Ekonomi Wilayah

Kota Sorong salah satu sektor ekonomi unggulannya adalah minyak bumi dan di

tamba dengan Dana Otonomi Khusus di Kota Sorong. Namun dari ekonomi Kota

Sorong masih ketingalan dan pula ada kecemburuan sosial ekonomi di antara

masyarakat ini di akibatkan karena ada politik ekonomi dari etnis tertentu yang

membatasi atau tidak transparasi dana Otsus, dana-dana lain untuk kesejahteraan

masyarakat setempat.
152

Wawancara yang dilakukan Bapak I. J. SIP., Lembaga Etnis Wensok/

Sadervoyo di Kota Sorong, sebagai berikut:

“…Pemerintah dalam menjalankan ekonomi di daerah Kota Sorong pada


umumnya ketidak transpransi terhadap dana Otsus dan bantuan-bantuan
lain dari pemerintah Kota Sorong masih mementingkan kepentinga
politiknya dan marga, kampung dan etnis tertentu…“ (Wawancara
Senin 25 Maret 2013, jam 09.09 WIT).

Hal serupa disampaikan menurut Bapak H.S. Kepala Suku Sawiyat

sebagai berikut:

“…Ekonomi di daerah Kota Sorong bertujuan untuk mengangkat


masyarakat yang tertingal dari keterburukan status ekonominya tetapi
yang kita lihat di Kota Sorong Pemerintah masih mementingkan individu,
kelompok, kampung, marga ini mengakibatkan pemerintah lupa dengan
tugas pokoknya untuk mmengsejahterakan masyarakat dari ekonomi di
bawah…” (Wawancara, Rabu 20 Maret 2013, jam 11.53 WIT).

Menurut pengamatan peneliti di Kota Sorong Pemerintah Kota Sorong

belum mengangkat perekonomian masyarakat di lapisan bawah ini di akibatkan

Pemerintah Belum Transparasi dalam Dana Otsus dan dana-dana lainnya, untuk

mensejaterahkan masyarakat Kota Sorong. Tetapi Pemerintah masih sibuk dengan

kepentingan politik, marga, kampung ini mengakibatkan kecemburuan sosial

ekonomi di antara etnis-etnis di Kota Sorong. Terlebih memang perekonomian

Kota Sorong lebih didominasi oleh para pendatang, hal ini karena meningkatnya

pendatang, yang juga mempengaruhi perekonomian yang ada di Kota Sorong.

Padahal sesuai pembahasan tentang ketahanan nasional, pada hakikatnya

adalah kekuatan nasional dalam arti luas. Dengan demikian, unsur-unsur

ketahanan nasional mencakup Astra Gatra, yaitu geografi, demografi, sumber

daya alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan militer. Sama dengan
153

analogi menurut Claine (Sudarsono,1997) yaitu masa kritik (eknik wilayah),

ekonomi, militer, konsepsi tentang strategi dan tekad nasional.

Akses ekonomi memang menjadi unsur ketahanan nasional, yang

merupakan bagian dari Astra Gatra. Jadi jika aspek ini tidak terpenuhi dengan

baik, tentu juga akan mempengaruhi ketahanan wilayah dan berpengaruh terhadap

ketahanan nasional. Memang banyak faktor yang mempengaruhi, namun

perhatian pemerintah harus lebih ditingkatkan dalam aspek ekonomi ini, sehingga

mampu meminimalisir konflik yang akan terjadi.

6.2.4 Aspek Sosial Budaya

Ketahanan Sosial Budaya di Wilayah Negara Indonesia diatur dalam

Undang-Undang Dasar 1945, kehidupan sosial budaya bangsa dan negara

mengandung atau menjiwai nilai-nilai luhur Pancasila dalam kepribadian

nasional, negara Indonesia adalah negara yang multikurtur dari sosial budaya,

agama, istiadat, bahasa, ras semua ini di intergrasi dalam Bineka Tunggal Ika dan

masyarakat yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Ketahanan Sosial Budaya Masyarakat Kota Sorong merupakan masyarakat yang

sangat majemuk dari Suku, Istiadat, Agama, Bahasa dan Adat. Hal ini dapat

dilihat pada Motto Kota Sorong “Kota Bersama”, Kota Sorong merupakan Kota di

Provinsi Papua dan Papua Barat yang terkenal dengan multikultur dan Kota

Sorong tidak pernah konflik horizontal antara etnis asli Papua maupun etnis non

Papua Kota Sorong juga tidak pernah terjadi konflik yang berbau unsur agama.

Budaya Kota Sorong yang sangat terbuka menerima siapa saja yang mau datang
154

ke Kota Sorong, ini membuat para pengujung atau penghuni baru di Kota Sorong

menjadi betah tinggal di Kota Sorong.

Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Silasongge Kalami, dari

Lembaga Masyarakat Adat Suku Asli Moy di Kota Sorong, sebagai berikut:

“…Kota Sorong merupakan Kota yang multikultur dari Agama, Budaya,


Suku yang ada di Kota Sorong budaya Kota Sorong yang sangat terbuk
membuat Kota Sorong di huni dari Sabang sampai Papua dan tidak pernah
terjadi gesekan-gesekan kecil antara agama, suku dan masyarakat Kota
Sorong selalu menghormati budaya-budaya yang berbeda di lingkungan
masyarakat Kota Sorong…“ ( Wawancara Selasa 25 Februari 2013, jam
13.37 WIT ).

Hal serupa juga disampaikan, menurut Bapak Hofni Sagrim Kota Sorong

dikenal dengan istilah Kota bersama, sesuai statmen berikut:

“ Kota Sorong adalah Kota Multikultur Agama, Suku, Budaya, Istiadat


dan Budaya Kota Sorong selalu terbuka bagi siapa saja di luar Papua yang
ingin tinggal di Kota Sorong dan pula Kota Sorong juga terkenal dengan
Kota Bersama” (Wawancara, Senin 25 Maret 2013, jam 09.09 WIT).

Menurut pengamatan peneliti Kota Sorong merupakan Kota yang paling

Mulitikultur Agama, Suku, Budaya, Bahasa, Istiada, ke dua Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat. Budaya Kota Sorong yang ramah terhada setiap pengujung

maupun penduduk yang tinggal di Kota Sorong. Masyarakat Kota Sorong sangat

cepat adaptasi dengan masyarakat baru di Luar Pulau Papua. dan masyarakat Kota

Sorong paling torlerasi terhadap beragama yang berbeda. Ini dapat dilihat di Kota

Sorong lima agama-agama yang di akui Negara Indonesia terdapa tempat ibadah

bangunan-banguna yang mega di Kota Sorong.

Dan masyarakat Kota Sorong selalu menghormat budaya-budaya yang

berberbeda di lingkungan masyarakat ini dapat di lihat dalam karnaval

memeriakan ulantahun Kota Sorong dan perumahan-perumahan masyarakat asli


155

Papua dan masyarakat non asli Papua saling berdekatan, dan juga pula terjadi

perkawinan campuran budaya setemapat dengan budaya lain di Kota Sorong.

Jadi bisa dibilang ketahanan wilayah dari aspek budaya, tidak ada masalah yang

berarti. Bahkan dalam aspek budaya, Kota Sorong tergolong menerima kondisi

multikultural dan masyarakatnya mampu berbaur dengan baik termasuk dengan

pendatang sekalipun.

6.2.5 Aspek Pertahanan Dan Keamanan

Ketahanan Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia adalah

Kemampuan dan ketangguan bangsa untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa

dan negara dalam mencapai tujuan nasioanal. Untuk mewujudkan lingkungan

Keamanan Nasional di perlukan sistem ketahanan wilayah yang mendukung

pertahanan keamanan nasioanl dari ancaman luar mapun ancaman dari dalam

yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keamanan nasional di

perlukan setiap individu dilandasi kesadara bela negara seluruh rakyat Indonesia.

Demikian halnya Wilayah Kota Sorong, pembangunan di sektor keamanan dan

ketertiban umum dilaksanakan dengan penuh tanggunjawab di seluruh

pemerintahan, tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh masyarakat di Kota Sorong.

Kota Sorong merupakan kota yang di Provinsi Papua dan Papua Barat yang

terkenal dengan Kota paling aman dan terkenali dari ke dua Provinsi Papua dan

Papua barat dan berbagai Kabupaten yang ada di Papua.

Wawancara yang dilakukan Bapak Onesimus Assem, salah seorang

anggota etnis yang berkuasa yakni etnis Ayamaru di birokrasi Kota Sorong

sekaligus pejabat BPPEDA Kota Sorong, sebagai berikut:


156

“…Keamanan Kota Sorong sangat aman dapat dilihat tidak pernah


terjadi konflik-konflik horizontal antara agama dan suku di Kota
Sorong…” (Wawancara Senin 4 Maret 2013, Jam 12. 24 WIT).

Hal serupa disampaikan Bapak Silasongge Kalami, dari Lembaga

Masyarakat Adat Suku Asli Moy di Kota Sorong, sebagai berikut:

“…Kota Sorong, Kota yang paling aman dan pertahanan di Kota Sorong
paling baik di Tanah Papua Kota Sorong paling tentram dan damai antara
etnis-etnis asli Papua dan etnis-etnis non asli Papua yang hidup di Kota
Sorong…” (Wawancara Selasa 25 Februari 2013, jam 13.37 WIT ).

Menurut Kasat Intel Kapten Riswanto Kepolisian Resor Sorong Kota

mempunyai tanggapan sama berkenaan Pertahanan dan Keamanan dengan di Kota

Sorong, sebagai berikut:

“…Kondisi Keamanan Kota Sorong paling kondusif dan tidak terjadi


apa pun yang tidak diinginkan di Kota Sorong, Kota Sorong merupakan
Kota yang paling aman dan tangguh, terkendali di Tanah Papua...”
(Wawancara Rabu 27 Maret 2013, jam 10.00 WIT).

Menurut pengamatan peneliti tentang Implikasinya Terhadap Ketahanan

Wilayah Kota Sorong Provinsi Papua Barat, bahwa kondisi Ketahanan Pertahanan

dan Keamanan Wilayah Kota Sorong sangat aman dan terkendali dari konflik

suku, agama, etnis di internal birokrasi pemerintahan dan paling tentaram dari

Kota, Kabupaten yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun jika

diskriminasi ekonomi, di internal birokrasi pemerintahan dan eksternal

masyarakat dalam akses pelayanan publik ini tetap bertahan dan politik di

diskriminasi, nepotisme suku, marga, kampung dan status politik yang sama dan

politik di internal birokrasi pemerintahan dalam dominasi jabatan-jabatan dan

tidak mengutamakan kualitas sumber daya manusia dan politik kotor dalam akses

pelayanan publik yang cuma mementingkan suku, marga, kampung dan status
157

politik semata tentu kedepannya bisa jadi bom waktu untuk konflik horizontal,

dan akan mengganggu stabilitas keamanan Kota Sorong yang telah terjaga.

Sistem pertahanan keamanan merupakan paduan antara sistem senjata

teknologi dan sistem sejata sosial. Pengalaman sejarah menyatakan bahwa

kemenangan perang hendaknya ditunjang oleh keunggulan teknologi bersenjata,

tetapi didudukung juga oleh kemampuan sistem sejata sosial yang dikembangkan

secara azasi konseptual. Modal sistem hamkam tersebut harus dirumuskan dan

disusun bersumberkan pada falsafat hidup bangsa dan negara. Untuk dapat

mempertahankan negara sesuai dengan sifat geografinya, diperlukan kekuatan

nasional yang disegani setidak-tidaknya merupakan faktor pencegah atau

penengka (Lemhannas, 1980: 612-613). Jadi bukan hanya sistem senjata

teknologi, yang harus dipenuhi untuk menciptakan Kota Sorong yang aman. Perlu

juga diciptakan sistem senjata sosial/ sistem sosial yang tepat agar tidak terjadi

kecemburuan maupun gangguan sosial yang mampu memicu timbulya konflik.

Meskipun secara garis besar Kota Sorong cukup aman terkendali, akan

tetapi tetap perlu dipertimbangkan keberlangsungan ketahanan wilayah untuk

selanjutnya. Konflik-konflik kecil memang pernah terjadi, konflik tersebut bisa

memicu oleh aspek politik dan ekonomi. Aspek politik terjadi karena ada

dominasi etnis Ayamaru pada internal birokrasi pemerintahan, sedangkan aspek

ekonomi terjadi karena bidang-bidang ekonomi lebih dikuasai oleh para

pendatang. Disini etnis asli Papua termasuk etnis Moy dan lainya yang merasa

kepentingannya terutama bidang politik dan ekonomi kurang mendapat perhatian,


158

sehingga bisa jadi aksi maupun konflik yang timbul sebagai pemberontakan jiwa

atas ketidaknyamanannya.
159

BAB VII.

KESIMPULAN DAN SARAN

7. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dalam penulisan

tesis ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Adanya Otonomi Khusus (Otsus) di Kota Sorong, menjadi kesempatan

bagi pemimpin untuk memperkuat kekuasaanya. Dalam penempatan

Jabatan-jabatan dalam SKPD, masih ada fenomena satu orang

merangkap dua jabatan strategis yang rata-rata memiliki marga sama

dengan pemimpin. Terbukti juga dominasi Etnis Ayamaru di setiap

lembaga/ badan/ dinas cukup mayoritas. Sebagai etnis berkuasa, Suku

Ayamaru memiliki peluang yang besar untuk melanjutkan sejarah

kepemimpinanya, untuk menguasai kekayaan sumber daya Kota

Sorong yang cukup melimpah. Strategi ini tentu kurang sesuai dengan

tujuan bersama masyarakat. Hal ini dapat mengakibatkan kecemburuan

sosial karena tidak adanya kesamaan hak untuk menduduki jabatan

strategis di birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, sehingga

keterwakilan suara etnis yang tidak berkuasa tentu sulit untuk bisa

masuk menjadi kebijakan pemerintah.

2. Dominasi etnis Ayamaru, juga berdampak pada pembagian pelayanan

publik. Diskriminasi yang ada dalam pelayanan publik, mengakibatkan

minimnya akses bagi etnis selain Ayamaru untuk menerima sarana

prasarana yang memadai baik pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

159
160

Adanya diskriminasi tersebut menghambat tujuan Otonomi Khusus

untuk bisa mengembangkan daerah khusus seperti Sorong untuk bisa

bersaing dengan daerah lain. Jika diskriminasi etnis tetap terjadi tentu

hanya wilayah-wilayah etnis berkuasa yang bisa berkembang.

Pembagian akses layanan publik pun tidak merata karena kurang

menyentuh etnis di luar etnis yang berkuasa.

3. Ditinjau dari beberapa aspek meliputi: ideologi, politik, ekonomi,

sosial budaya dan ketahanan serta keamanan, Pemerintah Kota Sorong

cukup bagus, aman dan terkendalii. Namun dari aspek politik,

dominasi etnis Ayamaru menjadi ketidaknyamanan tersendiri bagi

warga asli Papua lain, yang kebutuhan dan kepentinganya kurang

diperhatikan. Sedangkan dari aspek ekonomi warga asli Papua

cenderung kurang bisa bersaing dengan para pendatang, sehingga

mereka masih saja tertinggal. Hal semacam ini jika tidak ada

penanganan serius, dikhawatirkan kedepanya justru akan menjadi

pemicu konflik antar etnis di Kota Sorong. Memang secara garis besar,

relasi masyarakat di Kota Sorong cukup baik, masyarakat Sorong

cenderung lebih mudah berbaur dalam multikulturalisme. Namun

diskriminasi dalam birokrasi dan pelayanan publik yang terjadi di

Pemerintah Kota Sorong pernah menjadi pemicu konflik ringan,

walaupun memang konflik cukup bisa dikendalikan dibandingkan

beberapa wilayah lain di Provinsi Papua Barat. Jika diskriminasi dalam

politik ini tetap bertahan, tentu kedepannya bisa menciptakan konflik


161

yang lebih besar serta menjadi bom waktu dari etnis di luar etnis

berkuasa yang bisa saja tidak terima. Hal ini tentu akan mengganggu

stabilitas keamanan Kota Sorong yang telah terjaga.

7. 2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti menemukan hal-hal yang

seharusnya mendapatkan penanganan, antara lain:

1. Seharusnya pelaku birokrasi di Pemerintah Kota Sorong lebih

berorientasi pada tujuan dan pemerintahan yang baik (Good

Goverrnace) dari pada hanya berfikir tentang politik dan kekuasaan

saja. Pemerintah Kota Sorong seharusnya lebih jeli melihat dan

menempatkan satu orang pejabat menduduki satu jabatan strategis saja

di tingkat SKPD. Sehingga kedepan perlu adanya sistem rekruitmen

dan pemilihan pegawai dan pejabat yang lebih tepat. Pegawai maupun

pejabat hendaknya dipilih sesuai jenjang karir maupun keahlian yang

dimiliki bukan semata-mata karena marga, saudara, maupun kampung

dimana dia berasal.

2. Diharapkan etnis yang berkuasa tidak fanatik untuk meratakan akses

pelayanan publik termasuk dengan etnis lain dunia luar etnis Ayamaru

sebagai etnis yang berkuasa. Hal ini mengingat tujuan dari otonomi

khusus yang ingin agar Sorong juga mampu berkembang sesuai Kota

lain di Indonesia, tanpa adanya diskriminasi yang sesuai dengan tujuan

bersama.
162

3. Hendaknya kedepan stakeholder-stakeholder, tokoh-tokoh agama,

kepala-kepala suku dan seluruh elemen masyarakat Kota Sorong ikut

menjaga dan meningkatkan Ketahanan Wilayah Kota Sorong, dengan

cara menghapus perbedaan dalam padangan politik, agama, suku,

kampung. Perbedaan memang bagian dari multikulturalisme, namun

hal tersebut jangan sampai mengganggu Ketahanan Wilayah Kota

Sorong.
163

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, Ubed, 2002. Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas.
Indonesia, Malang.
Anwar A. 1993. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Lahan Non
Pertanian Di Sekitar Wilayah Perkotaan, Jurnal Perencanaan Wilayah
Dan Kota, Nomor 10, Triwulan IV/2003, Masalah Nasioanl. MPKD-
UGM, Yogyakarta.
Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta.

Armawi Armaidy, 2011. Nasionalisme Dalam Dinamika Ketahanan Nasional.


Gadjah Mada University Press Anggota IKAPI, Yogyakarta.

Azwar, Saifuddin, 2005. Metode Penelitian. Pustakan Pelajar, Yogyakarta.

Bertens K, 2005. Etika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Bungin, Burhan, 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif


dan Kualitatif. Airlangga University Press, Surabaya.
______________, 2005. Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif. Airlangga
University Press, Surabaya.

Echol, John M. dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris-Indonesia: An Englih-


Indonesia Dictionary. PT. Gramedia, Jakarta.
Haris, Syamsuddin, 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi,
Demokrasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press, Jakarta.
Hartono, Djoko, dkk, 1999. Akses Terhadap Pelayanan Kesehatan Reproduksi.
Studi Kasus di Kabupaten Jayawijaya Irian Jaya. Puslitbang
Kependudukan dan Ketenagakerjaan LIPI Jakarta.
Hosio, Eddy, Jusach, 2009. Papua Barat Dalam Realitas Politik NKRI.
Diterbitkan oleh: LaksBang Jl. Plosokuning Raya No. 104 Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Ibo, John, 2010. “ Peran dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua Dalam
Mewujudkan Perlindungan Hak-Hak Orang Asli Papua”, Makalah
Simposium dan Lokakarnya Nasional Papua, kerjasama FISIP Universitas
Indonesia Jakarta dengan FISIP Universitas Cenderawasih Jayapura,
Jakarta.
Irawan, Prasetya, 2002. Logika dan Prosedur Penelitian. STIA-LAN Press,
Jakarta.

163
164

Kaho, Josef, Riwu, 2002. Prosepk Otonomi Daerah di Negara Republik


Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi
Penyelenggaraanny. Rajawali Press, Jakarta.

Karim, Abdul Gafar, 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di


Indonesia. Pustaka Pelajar Celeban Timur UH III/548, Yogyakarta.

Lefaan Avelinus, 2012. Karya ilmiah Disertasi “Etnosentrisme dan Politik


Representasi Di Era Otonomi Khusus Papua”. Program Studi Kajian
Budaya Dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Lemhannas, 1980. Bunga Rampai Ketahanan Nasional, Lemhannas, Jakarta.


_________, 1997. Ketahanan Nasional, Kerjasama PT Balai Pustaka dengan
Lemhannas, Jakarta.

Liliweri, Alo, 2005. Prasangka dan Konflik Komunikasi, Lintas Budaya,


Masyarakat dan Multikultur. Yogyakarta, Lkis Yogyakarta.
Mantra, Idebagoes, 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.
Pustaka Pertama Yogyakarta.

Mardalis, 1990. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksa


Cetakan Pertama Jakarta.

Miftah Thoha, 2002. Persektif Perilaku Birokrasi, Dimensi-dimensi Prima Ilmu


Administrasi Negara Jilid II. Rajawali Press, Jakarta.

___________, 2003. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia Rajawali Press, Jakarta.

Moleong, Lexi J, 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda


Karya, Bandung.

Mote F. 2008. Analisis Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)) terhadap Pelayanan


Publik di Puskesmas Ngesrep Semarang. Tesis S-2 Program Pascasarjana
UNDIP, Semarang.
Nasir, Moh, 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Nawawi, H. Hadari, 2001. Metodologi Penelitian. Bidang Sosial, University
Press, Yogyakarta.
_________________, 1991. Metodologi Penelitian Bidang Sosial.University
Press Yogyakarta.
Pratikno, 2006. Politik kebijakan “ Pemekaran Daerah” (dalam Blue Print
Otonomi Daerah di Indonesia). Yayasan Harkat Bangsa (YHB)
165

berkerjasama dengan Pertnerhip for Governance Reform in Indonesia


(PGRI) dan European Union (EU). Jakarta.
Priyo Budi Santoso, 1997. Birokrasi Pemerintah Daerah Orde Baru, Persprktif
Cultural Dan Struktur. Rajawali Pers, Jakarta.
________________, 2001. Metodologi Penelitian. Bidang Sosial, University
Press, Yogyakarta.
Purwoko, B., & Rahmawati Ika Zarah, 2010. Laporan Akhir: Desentralisasi
Asimetrik di Indonesia Praktek dan Proyeksi/Jutusan Politik Dan
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Unversitas Gadjah
Mada.
Rasyid, Ryaas, M., dkk, 2007. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salim, A. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta PT. Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Salim Peter, 1991. Kamus Bahasa Indonesia Konterporer. Modern English Pers,
Jakarta.
Sedarmayanti, (2000). restrukturisasi dan pemberdayaan organisasi untuk
menghadapi dinamika perubahan lingkungan, CV. Mandar Maju,
Bandung.
Sudjatmo, 1997. Permasalahan- Permasalahan Birokrasi Dalam Pelayanan
Publik. (Ceramah Pada Mata Kuliah Reformasi Administrasi, 22
Desember).
Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R & D. Alfabeta,
Bandung.

Sunardi, 1997. Ketahanan Nasional. HASTANAS, Jakarta.

Singarimbun, Masri & Sofyan Effendi, 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES,
Jakarta.

Sumber-Sumber Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2001Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua.
 
 

DAFTAR LAMPIRAN

xvi 
PETA LOKASI PENELITIAN

GAMBAR LOKASI DAERAH


PENELITIAN : KOTA SORONG

Gambar : Peta Provinsi Papua Barat 
               sumber : www.petaprovinsipapuabarat.com 

3
PEDOMAN WAWANCARA PENELITIAN

KOMPOSISI ETNISITAS BIROKRASI PEMERINTAHAN DAN DAMPAK


ETNISITAS TERHADAP AKSES PELAYANAN PUBLIK DALAM
IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP KETAHANAN WILAYAH
(Studi Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat)

Dengan Hormat,

Perkenankan peneliti memohon kesediaan saudara-saudari sekalian untuk meluangkan


waktu sedikit guna untuk di wawancarai oleh peneliti. Komentar atau pandangan saudara-saudari
akan digunakan untuk Tesis peneliti.

Peneliti sangat mengharapkan kejujuran dan kemurnian atas komentar yang saudara-
saudari berikan sangat mempengaruhi keberhasilan penelitian secara keseluruhan. Peneliti
menjami semua jawaban atau komentar yang saudara-saudari berikan akan dirahasiakan sesuai
dengan kode etik ilmiah.

Tidak ada jawaban atau komentar yang salah, semua jawaban atau komentar adalah
benar.

Tiap-tiap komentar atau pandang dalam wawancara yang saudara-saudari lakukan dengan
peneliti merupakan bantuan yang sangat bernilai bagi penelitian ini. Untuk itu kesediaan dan
kerjasama saudara-saudari, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Peneliti

Ferinandus L. Snanfi

    5

 
A. Bagaimana Dampak Etnisitas Dalam Pembagian Kerja Di Internal Birokrasi
Pemerintahan Kota Sorong Dalam Implementasi Otonomi Khusus

1. Bagaiman Pembagian Etnis-Etnis Dalam Kerja Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong ?

2. Apakah Penempatan Kerja Di SKPD Birokrasi Pemerintah Kota Sorong Sesuai Dengan
Besik Ilmunya ?

3. Apakah Ada Pengaruh Etnis Dalam Penempatan Jabatan-Jabatan Birokrasi Pemerintah


Kota Sorong ?

4. Apakah Pernah Terjadi Konflik Etnis Dalam Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong ?

5. Etnis Mana Yang Belum Terakomodasi Di Birokrasi Pemerintah Kota Sorong ?

6. Bagaimana Pembagian Kerja Di SKPD Birokrasi Pemerintah Kota Sorong ?

7. Bagaimana Pembagian Kekuasaan Terhadap Etnis Di Jabata-Jabat Kepala Dinas


Birokrasi Kota Sorong ?

B. Bagaimana Relasi Etnisitas Di Internal Birokrasi Pemerintahan Antara Kelompok


Etnis Penguasa Dan Kelompok Etnis Non Penguasa Di Internal Birokrasi Pemeritahan
Kota Sorong

8. Bagiamana Relasi Antara Etnis Dalam Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong ?

9. Bagaimana Komunikasi Antara Etnis Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong ?

10. Bagaimana Hubungan Kerja Sama Etnis Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong ?

11. Ada Berapa Etnisitas Di Birokrasi Kota Sorong ?

12. Etnis Mana Yang Ada Di Birokrasi Pemerintah Kota Sorong ?

13. Etnis Mana Yang Dominasi Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong ?

     6 

 
C. Bagaimana Dampak Eksternal Etnisitas Terhadap Akses Pelayanan Publik Di Kota
Sorong Dalam Implementasi Otonomi Khusus

14. Bagaimana Pembagian Akses Pelayanan Publik Terhadap Entis ?

15. Apakah Sudah Adil Pelayanan Untuk Etnis-Etnis Di Kota Sorong ?

16. Bagaimana Pelaksanaan Otonomi Khusus ?

17. Akses Pelayanan Publik Dalam Implementasi Otonomi Khusus ?

D. Bagaimana Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah Kota Sorong

18. Bagaimana Aspek Idelogi Pancasila Di Kota Sorong ?

19. Bagaimana Aspek Politik Daerah Di Kota Sorong ?

20. Bagaimana Aspek Ekonomi Daerah Kota Sorong ?

21. Bagaimana Aspek Sosial Budaya Di Daerah Kota Sorong ?

22. Bagaimana Aspek Pertahanan Dan Keamanan Di Daerah Kota Sorong ?

      7 

 
FOTO/ DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Kantor Walikota Sorong.


Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 2. Kantor Walikota Sorong.


Sumber = Dokumen Pribadi Tahun 2013.

      7 

 
Gambar 3. Wawancara Dengan Etnis Penguasa di BAPEDA Kota Sorong Bapak Onesimus
Assem S.Sos (Sorong Senin 4 Maret 2013, Jam 12;24 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 4. Wawancara dengan Etnis Penguasa Dinas Pendidikan Kota Sorong Bapak Drs. Dace
Way (Sorong Senin 4 Maret 2013, Jam 10;22 WIT ).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.


      8 
 
Gambar 5. Wawancara dengan Etnis Penguasa di BPKAD Kota Sorong Bapak Drs. Wilhelmus
Asmuruf (Sorong Kamis 14 Maret 2013, Jam 09;43 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 6. Wawancara dengan Etnis Penguasa dinas Sosial Kota Sorong Ibu Traice Kareth,
Amd.Sos( Rabu 26 Februari 2013, Jam 09.46 WIT).
Seumbar = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gamabar 7. Wawancara dengan Etnis Penguasa Di Kota Sorong Bapak Drs.S.S.MM.


Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

      9 

 
Gambar 8. Wawancara Dengan Etnis Non Penguasa Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong
Bapak Yunus J. SH (Sorong Kamis 21Maret 2013, Jam 16;16 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 9. Wawancara Dengan Etnis Non Penguasa Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong Ibu
Yos Marandei, S. Th, Mth (Rabu 26 Februari 2013, Jam 10.46 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

     10

 
Gambar 10. Wawancara Dengan Etnis Non Penguasa Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong
Bapak Abner S.SIP (Rabu 20 Maret 2013, Jam 09;23).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 11. Wawancara Dengan Etnis Non Penguasa Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong
Ibu Vince S. SPD. (Sorong Selasa 19 Maret 2013 Jam 11;04 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 12. Wawancara Dengan Etnis Non Penguasa Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong
Bapak Yermis Trogea, SIP (Sorong Jumat 22 Maret 2013, Jam 08;15 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

     11 

 
Gambar 13. Wawancara Dengan Etnis Non Penguasa Di Birokrasi Pemerintahan Kota Sorong
Ibu Margaaretha S. S.Sos (Sorong Rabu 19 Maret 2013, Jam 11;12 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 14. Wawancara Persepsi Lembaga Masyarakat Adat Moy Bapak S. Kalami (Sorong
Senin 25 Februari 2013, Jam 13;37 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.
.

Gambar 15. Wawancara Persepsi dengan Lembaga Etnis Teminabuan/Tehi Bapak H.Sagrim
Sorong Maret 2013, Jam (Sabtu 2 Maret 2013, jam 10.47 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

     12

 
Gambar 16. Wawancara Persepsi dengan Lembaga Etnis inawatan Ibu M. T.  (Sorong Kamis 21
Maret 2013, jam 09.08 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 17. Wawancara Persepsi dengan Lembaga Etnis Wensok/Sadervoyo I. J. SI.P. (Senin 25
Maret 2013, jam 09.09 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 18. Wawancara Persepsi dengan Lembaga Etnis Klamono Bapak D. S. (Sorong Kamis
21 Maret 2013, jam 12.12 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

      13 

 
Gambar 19. Wawancara Persepsi dengan Lembaga Etnis Bapak Pdt O.S. (Sorong Kamis 21
Maret 2013, Jam 16;47).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 20. Wawancara Persepsi dengan Lembaga Etnis H. S. (Sorong 20 Maret 2013, Jam
11;53).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

Gambar 21. Wawancara dengan Kasat intel Kepolisian Sorong Kota, Kapten Riswanto (Sorong
Rabu 27 Maret 2013, jam 10.00 WIT).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.

      14 

 
Gambar 22. Gerja IMANUEL Boswesen Kota Sorong.
Sumber = Dokumen Pribadi Tahun 2013.

Gambar 23. MASJI AL-AKBAR Sorong Kota.


Sumber = Dokumen Pribadi Tahun 2013.

      15 

 
Gambar 24. Rumah Sakit Umum Kota Sorong.
Sumber = Dokumen Pribadi Tahun2013.

Gambar 25. Kantor POLRES Sorog Kota


(Sorong Rabu 27 Maret 2013. Jam 10;00 ).
Sumber = Dokumentasi Pribadi, Tahun 2013.

Gamabar 26. Papan Nama Kantor POLRES Sorong Kota


(Sorong Rabu 27 Maret 2013. Jam 10;00 ).
Sumber = Dokumen Pribadi, Tahun 2013.
    16
10 
 

Anda mungkin juga menyukai