Pada tahun 1646 Raden Mas Sayidin, atau dikenal dengan Pangeran
Arya Prabu Adi Mataram, Putra Sultan Agung dinobatkan menjadi raja
Mataram dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung I atau
sering disingkat Sultan Amangkurat Agung. Pada tahun 1647 ibu kota
Mataram yang semula di Kota Gedhe pindah ke Plered. Pada 1656 diceritakan
pula ayah Trunajaya bernama Ki Demang Mlaya yang merupakan anak
Adipati Prasena atau Cakraningrat I meninggal dunia di Mataram. Kemudian
pada tahun 1659 Pangeran Pekik dari Surabaya yang merupakan mertua
Sultan Amangkurat Agung I meninggal dunia di Mataram. Tahun 1661
muncul konflik kudeta dari dalam kraton oleh putranya sendiri oleh Raden
Rahmat/ Pangeran Adipati Anom/ Pangeran Tejoningrat/ Pangeran Pati,
karena tidak setuju atas pencalonan Singosari menjadi putra Mataram. Pada
tahun 1663 tersiar berita bahwa Sultan Amangkurat I mencoba membunuh
Pangeran Adipati Anom dengan racun tetapi gagal. Pada permulaan April
1667 diberitakan bahwa Sultan Amngkurat mencurigai beberapa orang yang
diduga akan memberontak. Atas dugaan tersebut Sultan lalu membuang
beberapa pembesar keraton. Agaknya konflik dari dalam semakin meruncing,
karena pada tahun 1668 Pangeran Adipati Anom melarikan selir Sultan
Amangkurat Agung bernama Rara Hoyi. Pada tahun 1669 dalem
kepangeranan Pangeran Adipati Anom dibakar Sultan Amangkurat Agung.
Pada pertengahan tahun 1670 ada perintah membunuh para pembesar
keraton yang dibuang beserta seluruh keturunan laki-lakinnya yang jumlahnya
mencapai 27 orang. Hal ini tentunya juga menimpa keluarga Panembahan
Rama di Kajoran. Pada waktu itu Pangeran Sepuh Purbaya yang sudah tua
diperintahkan menjadi algojo menghukum mati adiknya sendiri Raden
Wiramenggala, menantu Panembahan Rama. Pangeran Adipati Anom juga
mendapat hukuman dari ayahnya dan dibuang ke Lipura di Pantai Selatan
dikarenakan diduga akan memberontak. Atas peristawa semena-mena Sultan
Amangkurat Agung tersebut banyak pembesar kraton Mataram mendesak
Pangeran Adipati Anom untuk segera menggantikan ayahnya, tetapi Pangeran
Adipati Anom masih ragu-ragu karena ayahnya masih hidup. Para pembesar
tersebut kemudian berunding mengenai calon pemimpin yang bisa diterima
rakyat Mataram dan bersedia menggabungkan diri dalam kudeta ini. Pada
perundingan itu pilihan jatuh kepada Panembahan Rama. Pada tahun 1673
Panembahan Rama dipanggil Pangeran Adipati Anom. Dalam pertemuan
tersebut Pangeran Adipati Anom meminta Panembahan Rama melicinkan
jalannya untuk menjadi Sultan sebelum waktunya. Pada tahun 1674 orang
Makassar ingin bergabung dan diterima baik oleh Madura dibawah Trunajaya.
Pada tahun 1675 dimulailah ekspedisi serangan awal gabungan orang
Makassar dan Madura dan berhasil menguasai pelabuhan-pelabuhan Jawa
Timur. Pada tahun 1676 pihak trunajaya melakukan serangan-serangan mulai
awal tahun sampai dengan September 1676. Bahkan pada bulan Agustus
1676, seluruh jawa imur telah dikuasai oleh Raden Trunajaya. Pada bulan
Oktober 1676 terjadi peristiwa penting yang terkenal dengan sebutan
“Peristiwa Gogodog”. Pada bulan Februari 1677 orang-orang Kajoran
bersama-sama orang-orang Madura dibawah Dhandhangwacana dan dibantu
orang-orang Makassar menyiapkan diri diluar gerbang Taji untuk menyerang
Mataram. Pada tanggal 6 Maret 1677 Panembahan Rama, Raden Trunajaya
dan Kraeng Galengsong berunding mengenai apa yang harus dilakukan di
kemudian hari. Pada tanggal 2 Juni 1677 akhirnya Panembahan Rama dan
Trunajaya berhasil menguasai istana Plered artinya Mataram telah berhasil
dikuasai oleh Panembahan Rama. Pada tanggal 13 Juli 1677 Sultan
Amangkurat Agung meninggal dunia di Desa Wanayasa dan dimakamkan di
Tegalwangi. Pada bulan September 1677 orang-orang Makassar menyerang
Kediri dan berhasil menguasainya. Pada awal Oktober 1677, Susuhunan
Ingalaga dibantu orang-orang Bagelen berhasil menguasai kota Plered. Pada
bulan November 1677 sampai awal 1678 Panembahan Rama melakukan
beberapa pertempuran kedaerah pesisir. Pertempuran itu untuk
mempertahankan kekuasaannya yang direbut Sultan Amangkurat II bersama
kompeni. Pada bulan Mei 1678 kompeni mengirin Kapten Jan Albert Sloot ke
gerbang Selimbi. Keberadaan Sloot di Jawa Tengah rupanya tidak begitu
lama, karena akhir tahun 1678 barisan Sloot dimasukkan dalam rencana
perang di Jawa Timur.
5. Nyadran tidak hanya dilakukan kaum muslimin, tapi juga selain penganut islam,
seperti kejawen, hindu, dan penganut aliran kepercayaan lainnya.
4.6