Anda di halaman 1dari 6

BAB 4

Hasil dari Penelitian dan Pembahasan


4.1 Sejarah

Kajoran adalah salah satu desa di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten,


Provinsi Jawa Tengah. Kajoran merupakan salah satu desa tempat
peninggalan bersejarah yang menjadi bukti kejayaan Panembahan Rama.
Raden Kajoran atau Panembahan Rama merupakan salah satu tokoh besar
sejarah yang dimiliki Kabupaten Klaten. Apabila kita melihat dari silsilah atau
garis keturunan, Panembahan Rama adalah keturunan laki-laki tertua dari
keturunan keempat Raden Sayid Kalkum di Wot Galeh yang kemudian
disebut Panembahan Mas ing Kajoran. Panembahan Mas ing Kajoran adalah
saudara dari Kyai Ageng Pandhan Arang yang juga disebut Sunan Tembayat.
Raden Sayid Kalkum berputra Pangeran Maulana atau Panembahan Agung
Mas, yang kemudian kawin dengan dua orang putri Kyai Ageng Pandhan
Arang. Dengan demikian hubungan Kajoran dengan Tembayat sangat dekat.
Demikianlah keterangan garis keturunan Raden Kajoran dari catatan Raden
Candrapradpa.
Menurut sarasilah Majapahit Prabu Brawijaya: 5, lajer Kanjeng
Panembahan Bathara Katong, Pancer Pangeran Molana Mas Inggih Kanjeng
Panembahan Agung: 2, sinare ing Kajoran yang ada di makam Kajoran, garis
keturunan Panembahan Rama adalah sebagai berikut: Panembahan Agung ing
Kajoran sinare ing Pranaraga mempunyai putra Pangeran Monglana Mas yang
biasa disebut Panembahan Agung sinare ing Kajoran. Pangeran Monglana
Mas mempunyai 12 anak, putra tertua bernama Raden Surasa atau Pangeran
Agus ing Kajoran. Raden Surasa mempunyai 8 anak, putra tertua bernama
Pangeran Raden sinare ing Kajoran. Pangeran Raden mempunyai 7 anak
dengan putra tertua Panembahan Rama yang biasa disebut Pangeran Kajoran
Ambalik. Melihat garis keturunan di atas jelaslah bahwa Panembahan Rama
merupakan keturunan yang mulia karena ia adalah keturunan ningrat dan
ulama. Panembahan Rama mengembangkan bakat-bakat rohaninya dengan
latihan-latihan yang terus menerus sehingga ia menjadi orang sakti yang
gemar ulah tapa dan disegani oleh raja dan bangsawan di Keraton Demak,
Pajang, dan Mataram Islam. Pangeran Kajoran merupakan seorang muslim
kejawen yang terkenal memiliki kesaktian dalam ilmu kanuragan. Aktivitas
olah fisik dan batin beliau sangat menonjol. Beliau menjadi tempat bertanya
dan dituakan dikalangan masyarakat. Masyarakat menjadikan beliau sebagai
imam, karena itu masyarakat menyebutnya sebagai “Panembahan Rama”.

Pada tahun 1646 Raden Mas Sayidin, atau dikenal dengan Pangeran
Arya Prabu Adi Mataram, Putra Sultan Agung dinobatkan menjadi raja
Mataram dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung I atau
sering disingkat Sultan Amangkurat Agung. Pada tahun 1647 ibu kota
Mataram yang semula di Kota Gedhe pindah ke Plered. Pada 1656 diceritakan
pula ayah Trunajaya bernama Ki Demang Mlaya yang merupakan anak
Adipati Prasena atau Cakraningrat I meninggal dunia di Mataram. Kemudian
pada tahun 1659 Pangeran Pekik dari Surabaya yang merupakan mertua
Sultan Amangkurat Agung I meninggal dunia di Mataram. Tahun 1661
muncul konflik kudeta dari dalam kraton oleh putranya sendiri oleh Raden
Rahmat/ Pangeran Adipati Anom/ Pangeran Tejoningrat/ Pangeran Pati,
karena tidak setuju atas pencalonan Singosari menjadi putra Mataram. Pada
tahun 1663 tersiar berita bahwa Sultan Amangkurat I mencoba membunuh
Pangeran Adipati Anom dengan racun tetapi gagal. Pada permulaan April
1667 diberitakan bahwa Sultan Amngkurat mencurigai beberapa orang yang
diduga akan memberontak. Atas dugaan tersebut Sultan lalu membuang
beberapa pembesar keraton. Agaknya konflik dari dalam semakin meruncing,
karena pada tahun 1668 Pangeran Adipati Anom melarikan selir Sultan
Amangkurat Agung bernama Rara Hoyi. Pada tahun 1669 dalem
kepangeranan Pangeran Adipati Anom dibakar Sultan Amangkurat Agung.
Pada pertengahan tahun 1670 ada perintah membunuh para pembesar
keraton yang dibuang beserta seluruh keturunan laki-lakinnya yang jumlahnya
mencapai 27 orang. Hal ini tentunya juga menimpa keluarga Panembahan
Rama di Kajoran. Pada waktu itu Pangeran Sepuh Purbaya yang sudah tua
diperintahkan menjadi algojo menghukum mati adiknya sendiri Raden
Wiramenggala, menantu Panembahan Rama. Pangeran Adipati Anom juga
mendapat hukuman dari ayahnya dan dibuang ke Lipura di Pantai Selatan
dikarenakan diduga akan memberontak. Atas peristawa semena-mena Sultan
Amangkurat Agung tersebut banyak pembesar kraton Mataram mendesak
Pangeran Adipati Anom untuk segera menggantikan ayahnya, tetapi Pangeran
Adipati Anom masih ragu-ragu karena ayahnya masih hidup. Para pembesar
tersebut kemudian berunding mengenai calon pemimpin yang bisa diterima
rakyat Mataram dan bersedia menggabungkan diri dalam kudeta ini. Pada
perundingan itu pilihan jatuh kepada Panembahan Rama. Pada tahun 1673
Panembahan Rama dipanggil Pangeran Adipati Anom. Dalam pertemuan
tersebut Pangeran Adipati Anom meminta Panembahan Rama melicinkan
jalannya untuk menjadi Sultan sebelum waktunya. Pada tahun 1674 orang
Makassar ingin bergabung dan diterima baik oleh Madura dibawah Trunajaya.
Pada tahun 1675 dimulailah ekspedisi serangan awal gabungan orang
Makassar dan Madura dan berhasil menguasai pelabuhan-pelabuhan Jawa
Timur. Pada tahun 1676 pihak trunajaya melakukan serangan-serangan mulai
awal tahun sampai dengan September 1676. Bahkan pada bulan Agustus
1676, seluruh jawa imur telah dikuasai oleh Raden Trunajaya. Pada bulan
Oktober 1676 terjadi peristiwa penting yang terkenal dengan sebutan
“Peristiwa Gogodog”. Pada bulan Februari 1677 orang-orang Kajoran
bersama-sama orang-orang Madura dibawah Dhandhangwacana dan dibantu
orang-orang Makassar menyiapkan diri diluar gerbang Taji untuk menyerang
Mataram. Pada tanggal 6 Maret 1677 Panembahan Rama, Raden Trunajaya
dan Kraeng Galengsong berunding mengenai apa yang harus dilakukan di
kemudian hari. Pada tanggal 2 Juni 1677 akhirnya Panembahan Rama dan
Trunajaya berhasil menguasai istana Plered artinya Mataram telah berhasil
dikuasai oleh Panembahan Rama. Pada tanggal 13 Juli 1677 Sultan
Amangkurat Agung meninggal dunia di Desa Wanayasa dan dimakamkan di
Tegalwangi. Pada bulan September 1677 orang-orang Makassar menyerang
Kediri dan berhasil menguasainya. Pada awal Oktober 1677, Susuhunan
Ingalaga dibantu orang-orang Bagelen berhasil menguasai kota Plered. Pada
bulan November 1677 sampai awal 1678 Panembahan Rama melakukan
beberapa pertempuran kedaerah pesisir. Pertempuran itu untuk
mempertahankan kekuasaannya yang direbut Sultan Amangkurat II bersama
kompeni. Pada bulan Mei 1678 kompeni mengirin Kapten Jan Albert Sloot ke
gerbang Selimbi. Keberadaan Sloot di Jawa Tengah rupanya tidak begitu
lama, karena akhir tahun 1678 barisan Sloot dimasukkan dalam rencana
perang di Jawa Timur.

Bulan Maret 1679 ia sudah dikalahkan senapati utusan Sunan


Amangkurat II yang bernama R. A. Sindureja dengan bantuan orang-orang
Bugis didekat Selimbi itu pula. Dalam perang ini Panembahan Rama dapat
dikalahkan. Kekalahan Panembahan Rama di Selimbi ini membuatnya mulai
kehilanagn kekuatan. Pada bulan April 1679 Panembahan Rama mencari
prajurit yang dapat mengimbangi kemahiran orang-orang Bugis dalam
berperang. Pada tanggal 8 Agustus 1679 barulah Sloot bergerak keluar
Semarang. Akhirnya, bulan Agustus 1679 ia sampai di Wanakerta (Kartasura )
an di sana ia bertemu dengan Sindurejo. Permulaan bulan September Kapten
Sloot menempatkan markasnya di Wanakerta (Kartasura) dan darisana
diadakan gerakan-gerakan untuk mencari Panembahan Rama.

Dengan sejarah yang ada untuk menjaga kelestarian Makam


Panembahan Rama dilakukan tradisi Nyadran. Nyadran adalah salah satu prosesi
adat Jawa dalam bentuk kegiatan tahunan di Bulan Ruwah (Sya’ban), dari mulai
bersih-bersih makam leluhur, masak makanan tertentu, seperti apem, bagi-bagi
makanan, dan acara selamatan atau disebut kenduri. Nama Nyadran sendiri berasal
dari kata Sradha Nyradha–Nyradhan, kemudian menjadi Nyadran.

Berdasarkan keterangan di atas, kita mengambil kesimpulan tentang status nyadran,


yaitu :

1. Nyadran sejatinya reminisensi (kenangan) dari upacara hindu


2. Nyadran dilestarikan oleh sebagian orang jawa dan menjadi adat mereka
3. Nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu di bulan sya’ban, yang oleh orang
jawa disebut ulan ruwah. Sebagian referensi menyebutkan, kata ruwah
merupakan turunan dari kata arwah (ruh).
4. Nyadran bukan semata kegiatan senang-senang, bergembira ria, namun ada unsur
ritual tertentu. Keberadaan ritual ini tidak akan lepas dari keyakinan tertentu atau
ideologi yang menjadi motivasi utama untuk melakukannya.

5. Nyadran tidak hanya dilakukan kaum muslimin, tapi juga selain penganut islam,
seperti kejawen, hindu, dan penganut aliran kepercayaan lainnya.

4.2 Cagar budaya :

Makam Panembahan Rama yang terletak di Desa Kajoran, Kecamatan


Wedi, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah adalah salah satu makam
yang sudah masuk ke dalam benda cagar budaya. Cagar budaya adalah
warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan
Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan
Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Makam Panembahan
Rama Desa Kajoran, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten ini termasuk benda
cagar budaya karena telah memenuhi kriteria yang telah dijelaskan dalam UU
RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang kriteria Cagar Budaya yaitu jika berusia 50
tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun,
memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian
bangsa.

4.3 Kondisi Makam Panembahan Rama

4.4 Perawatan Makam Panembahan Rama di Desa Kajoran, Kecamatan Wedi,


Kabupaten Klaten

4.5 Pengaruh Keberadaan Makam terhadap Lingkungan Sekitar

4.6

Anda mungkin juga menyukai