Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dampak akibat aktivitas manusia terhadap lingkungan alam semakin hari

aktivitas manusia semakin banyak dan beragam. Aktivitas manusia dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya dapat menimbulkan dampak terhadap

lingkungan. Dampak lingkungan banyak terjadi disebabkan manusia

cenderung eksploitatif atau mengambil sumber daya alam dari lingkungan

secara berlebihan, tidak lagi sekedar mempertahankan kebutuhan hidup.

Akibat dari aktivitas manusia tersebut, lingkungan mengalami kerusakan.

Semakin hari kerusakan lingkungan sering terjadi seiring dengan

perkembangan perusahaan industri dan teknologi. Pada akhirnya kerusakan

lingkungan berdampak buruk pada kehidupan manusia. Menurut Bradshaw

krisis lingkungan yang kini mencengkram bumi adalah akibat dari konsumsi

berlebihan manusia atas sumber daya alam. Semakin kaya suatu negara,

semakin besar dampak kerusakan lingkungan. Indonesia menempati rangking

ke empat sebagai negara paling berkontribusi dalam perusakan lingkungan

diantaranya Brazil, Amerika Serikat, China dan Indonesia (Kristanti, 2010).

Perusahaan dalam mengelola sumber daya alam berpotensi memiliki

resiko negatif terhadap aspek lingkungan hidup. Perusahaan didalam

lingkungan masyarakat memiliki sebuah legitimasi untuk bergerak leluasa

melaksanakan kegiatannya, namun lama kelamaan karena posisi perusahaan

menjadi amat vital dalam kehidupan masyarakat maka dampak yang


ditimbulkan juga akan menjadi sangat besar. Dampak yang muncul dalam

setiap kegiatan operasional perusahaan ini dipastikan akan membawa akibat

kepada lingkungan di sekitar perusahan itu menjalankan usahanya. Dampak

negatif yang paling sering muncul dalam setiap adanya penyelenggaraan

operasional usaha perusahaan adalah polusi suara, limbah produksi,

kesenjangan, dan lain sebagainya dan dampak semacam inilah yang

dinamakan Eksternality (Harahap, 2002).

Besarnya dampak Eksternality terhadap kehidupan masyarakat, membuat

masyarakat ingin agar dampak tersebut di atas dapat dikontrol, sehingga

dampak yang ditimbulkannya tidak semakin besar. Dari sini berkembanglah

ilmu akuntansi yang tidak hanya merangkum informasi tentang perusahaan

dengan pihak ketiga tetapi juga dengan lingkungannya. Dalam laporan

tahunan yang dibuat oleh perusahaan, selain menyajikan informasi keuangan

juga terdapat pula informasi perusahaan terhadap lingkungannya (Harahap,

2002).

Dari sinilah akuntansi berbenah diri agar siap menginternalisasi berbagai

eksternalitas yang muncul sebagai konsekuensi proses industri, sehingga lahir

istilah green accounting atau akuntansi lingkungan (Environmental

Accounting).

Konsep green accounting sebenarnya sudah mulai berkembang sejak

tahun 1970-an di Eropa, diikuti dengan mulai berkembangnya penelitian-

penelitian yang terkait dengan isu green accounting tersebut di tahun 1980-an.

Di negara-negara maju seperti yang ada di Eropa dan Jepang, perhatian akan
isu-isu lingkungan ini berkembang pesat baik secara teori maupun praktik.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peraturan terkait dengan lingkungan ini.

(Susilo, 2008)

Istilah lain yang terkait dengan green accounting adalah environmental

accounting sebagaimana yang ditegaskan oleh Yakhou dan Vernon (2004)

yakni penyediaan informasi pengelolaan lingkungan untuk membantu

manajemen dalam memutuskan harga, mengendalikan overhead dan

pelaporan informasi lingkungan kepada publik. McHugh (2008) menjelaskan

kinerja lingkungan ini dengan istilah Sustainability Accounting. Sementara

Lindrianasari (2007) memberi istilah dengan Environmental Accounting

Disclosure. Selain itu, green accounting juga dikaitkan dengan Triple Bottom

Line Reporting (Raar, 2002). Istilah terakhir ini juga dikenal dengan Social

and Environmental Reporting dimana dalam pelaporannya keuangannya,

perusahaan melaporkan kinerja aktivitas operasional perusahaan, kinerja

lingkungan, dan kinerja sosialnya (Markus dan Ralph, 1999). Istilah lain bias

juga dipakai misalnya Environmental Accounting, Social Responsibility

Accounting, dan lain sebagainya (Harahap, 2002).

Akuntansi lingkungan memiliki peran penting untuk bermain dalam

membatasi atau membalikkan konsekuensi dari dampak industri atau bahkan

pada kerusakan lingkungan. Meskipun perusahaan ingin lingkungan harus

diperlakukan sebagai stakeholder yang penting dari entitas memiliki desain

kebijakan firm. Dengan itu pertimbangan perusahaan-perusahaan dalam

mengambil keputusan untuk lingkungan dapat di pertimbangkan dengan


memproduksi laporan lingkungan dan keberlanjutan, setidaknya menunjukkan

beberapa pengakuan bahwa lingkungan tidak harus diabaikan. Harapannya

adalah bahwa dengan lebih serius melaporkan kegiatan lingkungan mereka

perusahaan-perusahaan akan menyadari bahwa mereka harus mengubah

perilaku mereka untuk benar-benar mengurangi kerusakan lingkungan.

(Martin Freedman dan Bikki Jaggi 2006)

Menurut Ikhsan (2008) definisi dari akuntansi lingkungan adalah sebagai

pencegahan, pengurangan, dan atau penghindaran dampak terhadap

lingkungan, bergerak dari beberapa kesempatan, dimulai dari perbaikan

kembali kejadian yang menimbulkan bencana atas kegiatan-kegiatan tersebut.

Berdasarkan definisi green accounting diatas maka dapat disimpulkan bahwa

green accounting merupakan akuntansi yang didalamnya mengungkapkan

biaya-biaya terkait dengan aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan

lingkungan.

Penelitian ini dilakukan pada PT Perkebunan Nasional VII (PTPN VII).

PT Perkebunan Nusantara adalah nama dari empat belas Badan Usaha Milik

Negara yang beroperasi di bidang perkebunan di seluruh Indonesia. PT

Perkebunan Nusantara VII, disingkat PTPN VII, adalah Badan Usaha Milik

Negara Indonesia yang bergerak di bidang perkebunan karet, kelapa sawit,

tebu, dan teh. Perusahaan ini berkantor pusat di Bandar Lampung, dengan

wilayah operasi meliputi Sumatra Selatan, Lampung, dan Bengkulu.

Pada 2017 Ekonom Konstitusi mengkritik buruknya sebagian kinerja

Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kerugian ini banyak diderita BUMN
yang berkiprah di sektor perkebunan. Tidak kurang 8 BUMN berdasarkan

sumber di Kementerian BUMN mengalami kerugian yang sangat besar.

Delapan BUMN tersebut antara lain PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I

sebesar Rp109 miliar,  PTPN II merugi Rp 207 miliar, PTPN VII merugi Rp

527 miliar, PTPN VIII mengalami rugi Rp 544 miliar, PTPN IX mengalami

rugi Rp 320 miliar, PTPN X mengalami rugi Rp 150 miliar, PTPN

XIII merugi Rp 243 miliar, PTPN XIV merugi Rp 127 miliar. Terakhir, PT

Riset Perkebunan Nusantara juga mengalami kerugian Rp 47 miliar.

Melihat kondisi ini, menegaskan bahwa menyelesaikan permasalahan

inefisiensi dan inefektifitas manajemen dalam tubuh BUMN harus menjadi

prioritas utama. Terlebih para Dewan Manajemen yang tidak berparadigma

Kapitalisme saja, sebab BUMN modal awalnya adalah dari negara.

Menempatkan profesional di bidang manajemen memang penting bagi

penyehatan pengelolaan BUMN dan juga Koperasi untuk tujuan kesejahteraan

semua orang. Maka itu, fokus dan perhatian utama BUMN dalam bersaing

harus ditujukan pada pengembangan usaha bisnis intinya (core business) dan

anak-anak usaha yang selama ini justru menjadi beban manajemen dan negara

harus dilepaskan.(SUARA.COM)

Pada 2018 PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII) terus melakukan

upaya-upaya strategis untuk memperbaiki kinerja perusahaan yang tengah

dalam kondisi kurang sehat sejak 10 tahun terakhir. Beberapa langkah krusial

yang dilakukan manajemen, yaitu restrukturisasi sumber daya manusia,


restrukturisasi keuangan, optimalisasi aset, dan langkah-langkah short cut

untuk mencari dana segar.

Ada banyak aset PTPN VII yang tidak maksimal pemanfaatannya tetapi

memiliki potensi untuk menghasilkan, antara lain kawasan Pantai Teluk

Nipah, bangunan dan lahan strategis di depan kantor direksi, dan terdapat

lahan yang terkandung deposit batu bara. Untuk diketahui, pada 10 tahun

terakhir cashflow PTPN VII mengalami kondisi ketidakseimbangan cukup

berat akibat jatuhnya harga komoditas agro di pasar global, cuaca buruk, dan

peremajaan tanaman pada saat yang sama.

Pada masa-masa sulit tersebut, performa manajemen PTPN VII pun

sempat mengalami kemunduruan yang berdampak sistemik, sehingga ketika

harga komoditas mulai membaik, cuaca mendukung, dan tanaman baru mulai

menghasilkan, pertumbuhannya tidak maksimal. (LAMPOST.CO)

Menurut Juartha (2009) menyatakan bahwa biaya lingkungan perlu

dilaporkan secara terpisah berdasarkan klasifikasi biayanya. Hal ini dilakukan

supaya laporan biaya lingkungan dapat dijadikan informasi yang informatif

untuk mengevaluasi kinerja operasional perusahaan terutama yang berdampak

pada lingkungan.

Saat ini tidak ada standar yang baku mengenai item-item pengungkapan

lingkungan. Namun, beberapa institusi telah mengeluarkan rekomendasi

pengungkapan lingkungan, seperti perhatian lingkungan, pertanggungjawaban

lingkungan, keterlibatan lingkungan, serta pelaporan dan audit lingkungan,

antara lain Dewan Ekonomi dan Sosial – Perserikatan Bangsa-Bangsa


(ECOSOC-PBB), Ernst and Ernst, Institute of Chartered Accountant in

England and Wales (ICAEW) dan Global Reporting Initiative (GRI).

Faktor-faktor yang motivasi dan melatarbelakangi perusahaan untuk

melaporkan permasalahan lingkungan lebih didominasi oleh faktor

kesukarelaan (Ball, 2005; Choi, 1999), kapitalisasi atau pembiayaan dari

permasalahan lingkungan serta adanya kewajiban bersyarat yang diatur dalam

standard akuntansi seperti FASB (Gamble, dkk., 1995), adanya teori keagenan

(Watts dan Zimmerman’s. 1978), teori legitimasi dan teori ekonomi politik

(Gray, dkk, 1995).

Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Ferreira (2004) menyatakan bahwa

persoalan konservasi lingkungan merupakan tugas setiap individu, pemerintah

dan perusahaan. Sebagai bagian dari tatanan sosial, perusahaan seharusnya

melaporkan pengelolaan lingkungan perusahannya dalam annual report. Hal

ini karena terkait dengan tiga aspek keberlanjutan, yaitu: aspek keberlanjutan

ekonomi, ekologi dan sosial.

Lebih lanjut Pfleiger et al (2005) menunjukkan bahwa usaha-usaha

pelestarian lingkungan oleh perusahaan akan mendatangkan sejumlah

keuntungan, diantaranya adalah ketertarikan pemegang saham dan stakeholder

terhadap keuntungan perusahaan akibat pengelolaan lingkungan yang

bertanggungjawab dimata masyarakat. Hasil penelitian Pfleiger et al (2005)

juga mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan yang baik dapat

menghindari klaim masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan kualitas

produk yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi.


Penelitian yang dilakukan oleh Ja'far dan Dista (2006) menunjukkan

mulai adanya keseriusan perusahaan publik dalam mengelola lingkungan

secara baik. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya perusahaan sampel yang

melaporkan pengelolaan lingkungan dalam annual report. Beberapa

perusahaan juga dilaporkan sudah melakukan manajemen lingkungan secara

proaktif. Hal ini berbeda dengan laporan Cahyono (2002), yang menyatakan

rendahnya tindakan manajemen lingkungan perusahaan non-publik.

Penelitian-penelitian lain yang dilakukan di Indonesia menunjukkan adanya

minat perusahaan yang cukup tinggi untuk meningkatkan kinerja lingkungan

(Susi, 2005) dan memiliki kepedulian yang cukup baik dalam pengungkapan

tanggungjawab sosial (Sembiring, 2005).

Untuk itu perusahaan perlu menempatkan komitmen terhadap lingkungan

hidup maupun lingkungan sosial sebagai hal yang utama dan tidak terpisahkan

dari kegiatan operasional perusahaan. Dalam mewujudkannya, perusahaan

melengkapi kegiatan operasional dengan dokumen pengelolaan lingkungan

yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku misalnya Dokumen Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Upaya pengelolaan lingkungan

bertujuan untuk memperkirakan dampak yang akan timbul dari kegiatan

operasi, mengevaluasi, serta mencari solusi yang tepat untuk

menanggulanginya. Aspek lingkungan menjadi hal yang sensitif karena hal

tersebut dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan perusahaan (Panggabean

dan Deviarti : 2012). Dari semakin besarnya dampak yang ditimbulkan dari

kegiatan perusahaan terhadap masalah lingkungan dan pelestarian alam,


dalam hal ini bidang akuntansi ikut berperan dalam upaya pelestarian

lingkungan, yaitu melalui pengungkapan sukarela dalam laporan keuangannya

terkait dengan biaya lingkungan. Sistem akuntansi yang didalamnya

mengungkapkan akun-akun terkait dengan biaya lingkungan disebut sebagai

green accounting atau environmental accounting. Akuntansi merupakan

instrumen yang membantu kepentingan investor dan kreditur serta investor

dan kreditur yang potensial dalam pengambilan keputusan (Kustono:2010).

Pengungkapan aktivitas lingkungan maupun biaya lingkungan pada

laporan tahunan perusahaan akan memberikan gambaran kepada pengguna

laporan keuangan perusahaan yang dapat membantu pengguna laporan

keuangan dalam pengambilan keputusan untuk program perusahaan terkait

dengan pelestarian lingkungan di masa yang akan datang. Program pelestarian

lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan akan mendapat persepsi positif

oleh masyarakat. Pada akhirnya masyarakat akan memiliki kepercayaan yang

tinggi terhadap perusahaan. Kepercayaan yang timbul akan mendorong

masyarakat menjadi konsumen yang loyal bagi perusahaan, dimana loyalitas

ini akan meningkatkan penjualan produk yang dikeluarkan perusahaan

(Aniela: 2012).

Kinerja lingkungan dapat berpengaruh signifikan terhadap posisi

keuangan perusahaan. Hal ini juga menunjukkan perlunya informasi biaya

lingkungan yang memadai (Hansen dan Mowen: 2009). Pengungkapan biaya

lingkungan pada sistem akuntansi disebut dengan akuntansi lingkungan atau

green accounting.
Perusahaan dikatakan memiliki kepedulian terhadap permasalahan

lingkungan hidup jika pertama, perusahaan tersebut memiliki perhatian

terhadap permasalahan lingkungan hidup di sekitarnya. Berikutnya,

perusahaan dikatakan memiliki perhatian yang baik manakala perusahaan

tersebut mempunyai keterlibatan dalam kegiatan peduli lingkungan hidup

ataupun konservasinya. Hal ini harus diikuti dengan pelaporan akuntansi

lingkungan yang ada di perusahaan. Tahapan akhir dari wujud kepedulian ini

adalah adanya audit lingkungan yang dengannya efektivitas dan efisiensi dari

program peduli lingkungan tersebut diukur.

Dari latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud mengeksplorasi

perkembangan akuntansi lingkungan Pada PT Perkebunan Nasional VII

Bengkulu. Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis terarik untuk

meneliti “PENERAPAN GREEN ACCOUNTING TERHADAP KINERJA

PERUSAHAN (Studi Pada PT Perkebunan Nasional VII Provinsi Bengkulu)”

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan Green Accounting terhadap kinerja lingkungan

pada PTPN VII Bengkulu ?

2. Bagaimana penerapan Green Accounting terhadap kinerja keuangan

pada PTPN VII Bengkulu ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mendeskripsikan peranan Green Accounting terhadap kinerja

lingkungan pada PTPN VII Bengkulu.


2. Untuk mendeskripsikan peranan Green Accounting terhadap Kinerja

Keuangan pada PTPN VII Bengkulu.

1.4 Manfaat Penelitian

a) Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

bagi pengembangan ilmu akuntansi dan juga diharapkan dapat menjadi

referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang berkaitan

dengan penerapan Green Accounting.

b) Manfaat Praktis

Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

dan memberikan sumbangan pemikiran, pengetahuan, gambaran dan

informasi bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian

yang berkaitan dengan penerapan Green Accounting.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada PT Perkebunan

Nasional VII pada Provinsi Bengkulu. Penelitian pada kinerja perusahan

meliputi kinerja lingkungan dan kinerja keuangan perusahaan pada PTPN VII

Bengkulu.

Anda mungkin juga menyukai