Anda di halaman 1dari 19

Nama : Amir Muzakir

Kelas/Npm : 6C Psi/1931080021
Peminatan : Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu : Citra Wahyuni, M.Si

Review Jurnal VT1 : Perilaku Bullying

Judul Jurnal Sikap Siswa Reguler Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Dan
Kecenderungan Bullying Di Kelas Inklusi
Jurnal UNISIA, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
Volume dan Nomor Vol. XXXVII No. 82
Tahun 2015
Penulis Uswatun Hasanah, Ni’matuzahroh, Yuni Nurhamida
Latar Belakang Sikap merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku baik positif
Masalah maupun negatif terhadap objek yang disikapi. Bullying merupakan
tindakan menyakiti berupa kekerasan secara fisik, verbal, maupun
psikis yang dilakukan secara terencana oleh pihak yang lebih
memiliki kuasa terhadap pihak yang lebih lemah. Wiyani (2012)
menjelaskan bahwa fenomena bullying bisa terjadi di mana saja,
selama ada interaksi sosial yang terjadi, di antaranya adalah
bullying yang terjadi di sekolah disebut sebagai school bullying,
bullying di tempat kerja disebut sebagai workplace bullying,
bullying dengan media internet disebut cyber-bullying, bullying
yang terjadi di politik disebut political bullying dan bullying yang
terjadi di lingkungan militer disebut military bullying. Menurut
Pellegrini dan Bartini (2000) bullying yang terjadi di sekolah sering
dilakukan pada masa remaja yaitu terjadi antar teman sebaya atau
peer grup. Survei yang dilakukan oleh KPAI (Komisi Perlindungan
Anak Indonesia) bulan April tahun 2012 menemukan bahwa 87,6%
mengalami kekerasan dalam bentuk siksaan mental yaitu kekerasan
secara psikologis, dan juga berupa siksaan fisik.
Rumusan Masalah Bagaimana sikap siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus
dengan kecenderungan bullying?
Tujuan Penelitian untuk mengetahui hubungan antara sikap siswa reguler terhadap
siswa berkebutuhan khusus dengan kecenderungan bullying.
Landasan Teori Menurut Thurstone (Walgito, 2003), sikap adalah suatu tingkatan
afek yang menghasilkan sifat positif yaitu afek yang menyenangkan
atau negatif, yaitu afek yang tidak menyenangkan dengan objek-
objek psikologis. Menurut Walgito (Dayakisni& Hudaniah, 2009),
proses terbentuknya sikap mula-mula adalah dipengaruhi oleh
faktor internal, yaitu secara fisiologis maupun psikologis. faktor
eksternal sehingga menghasilkan reaksi berupa sikap positif
maupun negatif. Sehingga apa yang diperoleh oleh siswa reguler
ketika berhubungan dengan siswa berkebutuhan khusus akan
menghasilkan afek berupa reaksi positif atau negatif.

Rigby et.al. (2004) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor


yang mempengaruhi bullying, yaitu:
1. faktor kepribadian dari masing-masing individu
2. latar belakang keluarga
3. cacat secara physical
4. pengaruh dari pertemanan atau peer group.

Beberapa studi mengidentifikasi beberapa variabel umum yang


berpengaruh besar pada bullying, yaitu kepribadian individu,
komunikasi keluarga, teman sebaya dan lingkungan sekolah
(Usman, 2013). Rigby (2002) dan Rigby et.al. (2004) menyebutkan
bahwa bullying merupakan perilaku agresif atau menindas yang
dilakukan karena ketidakseimbangan kekuatan, yang terjadi
berlangsulang, di sengaja dan diserang tanpa keadilan. Baik secara
fisik, verbal maupun tidak langsung.

Menurut Rigby (2002) terdapat empat aspek bentuk perilaku


bullying, yaitu:
1. bullying secara fisik seperti perilaku memukul, menendang dan
perilaku menyakiti lainnya.
2. bullying verbal yaitu perilaku menyakiti yang dilakukan secara
verbal seperti menghina, mengejek dan mengolok-olok.
3. bullying yang dilakukan dengan mengguakan isyarat tubuh
seperti mengancam.
4. bullying yang dilakukan dengan cara membentuk kelompok
untuk menghasut agar menghidari atau menyakiti korban
bullying.
Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini ditemukan ada hubungan negatif antara
sikap siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus dan
kecenderungan bullying di kelas inklusi. Siswa reguler dengan sikap
lebih positif maka kecenderungan untuk bullying pada siswa
berkebutuhan khusus menjadi rendah, sedangkan siswa reguler
dengan sikap lebih negatif maka kecenderungan untuk bullying
pada anak berkebutuhan khusus lebih tinggi.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan non-eksperimental yaitu
pendekatan kuantitatif korelasional antara dua variabel. Hal ini
dimaksudkan adalah untuk mengetahui ada atau tidak adanya
hubungan antara dua variabel, yaitu variabel X dan variabel Y.
Variabel Penelitian 1. Variabel Terikat : Kecenderungan Bullying
2. Variable Bebas 1 : Sikap siswa reguler
3. Variabel Bebas 2 : Terhadap siswa berkebutuhan khusus
Subjek siswa reguler baik perempuan maupun laki-laki yang berada pada
tingkat SMP di kelas inklusi dengan rentang populasi usia antara
13-16 tahun sebanyak 200 subjek.
Alat Ukur Alat ukur yang digunakan adalah dengan skala likert, dimana
responden memberikan rating pada setiap pernyataan yang memiliki
rentang pilihan jawaban 1-5. Skala ini untuk mengetahui bagaimana
sikap siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus dan skala
kecenderungan bullying.
Analisis Data uji validitas pada 75 aitem skala dilakukan dengan melakukan
tabulasi skor untuk mengetahui validitas instrument dengan cara
koefisien korelasi product moment dari pearson. diperoleh hasil dari
44 item pada skala sikap siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan
khusus yang telah di ujikan, diperoleh sebesar 15 item yang valid
setelah diujikan melalui uji statistik menggunakan program SPSS
versi 17.00. indeks validitas dari skala sikap siswa reguler terhadap
siswa berkebutuhan khusus yang diujikan diperoleh validitas item
terendah adalah 0.330 dan validitas item tertinggi adalah 0.589.
Selain itu, pada skala kecenderungan perilaku bullying dari 31 item
yang telah diujikan, diperoleh 20 item yang valid.

Indeks validitas dari skala kecenderungan perilaku bullying


diperoleh validitas item terendah adalah 0.323 dan validitas iten
yang tertinggi adalah 0.549. teknik analisis data uji asumsi
menggunakan teknik sampling non-probabilitas yaitu berupa teknik
purposives sampling. Yang dimaksud dalam dalam teknik ini adalah
teknik pengambilan sampel dengan mempertimbangkan kriteria-
kriteria tertentu (dalam Prasetyo & Jannah, 2012). Kriteria yang
dimaksud dalam hal ini adalah dengan memperhatikan beberapa
pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana
sehingga sampel yang diambil tidak terlalu besar dan terlalu jauh
(Azwar, 2014).
Hasil Berdasarkan Perhitungan t-score sikap siswa reguler terhadap siswa
berkebutuhan khusus diketahui bahwa dari 200 siswa diperoleh
sebanyak 115 subjek (57.5%) memiliki tingkat sikap terhadap siswa
berkebutuhan khusus yang tinggi, sedangkan 85 subjek (42.5%)
memiliki sikap terhadap siswa berkebutuhan khusus yang rendah.
Dalam hal ini menunjukkan bahwa secara deskriptif bahwa sebagian
besar siswa reguler memiliki sikap positif terhadap siswa
berkebutuhan khusus yang tinggi.

Berdasarkan Perhitungan t-score kecenderungan bullying diketahui


bahwa kecenderungan bullying pada 200 subjek penelitian,
diperoleh sebanyak 106 subjek (53%) memiliki tingkat
kecenderungan bullying yang tinggi, sedangkan 94 subjek (47%)
memiliki kecenderungan bullying yang rendah. Sehingga secara
deskriptif sebagian besar siswa reguler memiliki kecenderungan
perilaku bullying yang tinggi. maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang negatif antara sikap siswa reguler terhadap siswa
berkebutuhan dengan kecenderungan bullying. Hasil pada tingkat
signifikansi yaitu ditunjukkan 0.000 dari taraf signifikansi yang
digunakan yaitu 0.01 (0.000 < 0.01) sehingga dapat dikatakan
bahwa ada hubungan antara sikap siswa reguler terhadap siswa
berkebutuhan khusus dengan kecenderungan bullying. Semakin
positif sikap siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus
maka semakin rendah kecenderungan bullying. Hal ini ditunjukkan
dengan koefisien korelasi (r) bernilai negatif sebesar -0.234.
Diskusi hasil analisis menunjukkan hipotesis yang berbunyi “Adanya
hubungan negatif antara sikap siswa reguler terhadap siswa
berkebutuhan khusus dengan kecenderungan bullying di kelas
inklusi” dapat diterima dengan taraf signifikasi sebesar 1%. Sikap
yang munculkan dari siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan
khusus adalah apa yang dilihat dan apa yang dirasakan oleh siswa
reguler terhadap keterbatasan siswa berkebutuhan khusus baik
secara fisik, sosial-emosional dan inteligensinya
Kesimpulan Hasil penelitian yang dilakukan pada siswa reguler di sekolah
inklusi tingkat SMP menunjukkan bahwa hipotesis diterima karena
terdapat hubungan negatif yang signifikan antara sikap siswa
reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus dengan kecenderungan
bullying. Dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.234 dan nilai
signifikansi 0.000 (p<0.01). Sumbangan efektif variabel sikap
siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus dengan
kecenderungan bullying diperoleh nilai sebesar 5.4% dan untuk
sisanya sebesar 94.6% dipengaruhi oleh variabel atau faktor lain
yang tidak diteliti.

Implikasi dari penelitian ini adalah diharapkan guru dapat


memberikan informasi tentang keadaan siswa berkebutuhan khusus
dan memberikan sosialisasi tentang cara bersikap maupun
berperilaku yang sesuai dengan nilai ataupun norma yang berlaku
tanpa membedakan siswa reguler maupun siswa berkebutuhan
khusus. Pada sikap positif yang ditunjukkan oleh siswa reguler
terhadap siswa berkebutuhan khusus, guru dapat memberikan
ganjaran atau reward yang positif sehingga dapat memperkuat sikap
positif dan menghindari perilaku bullying. Karena dengan sikap
positif terhadap siswa berkebutuhan khusus maka akan menciptakan
kepedulian dan keharmonisan antara siswa reguler dengan siswa
berkebutuhan khusus
Review Jurnal VT2 : Perilaku Bullying

Judul Jurnal Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying


Jurnal jurnal psikologi terapan dan pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan
Volume dan Nomor Volume 1, Nomor 2
Tahun 2019
Penulis Pipih Muhopilah
Latar Belakang Penelitian yang dilakukan UNESCO pada tahun 2018 menunjukan
Masalah bahwa bullying terjadi di berbagai negara dengan persentase
terendah 7% di Tajikistan dan tertinggi 74% di Samoa
(http://uis.unesco.org). Di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) mencatat terjadi sebanyak 253 kasus bullying
pada tahun 2011 sampai 2016 (Nuridha, 2017). Data dari KPAI
yang dirilis kembali pada 23 Juli 2018 menunjukan bahwa sampai
Mei 2018 terjadi 36 kasus bullying, yang jika di presentasikan
merupakan 22,4% dari 161 kasus yang terdata di bidang pendidikan
(Nurlita & Widiastuti, 2018).
Rumusan Masalah Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying?
Tujuan Penelitian untuk mengetahui kajian literatur mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku bullying
Landasan Teori Secara teoritis bullying merupakan suatu keadaan yang berupa
perilaku negatif dan berulang, yaitu saat seseorang kesulitan untuk
mempertahankan dirinya dari suatu kekuatan yang tidak seimbang,
perlakuan tersebut dilakukan dengan sengaja dan intens. Fenomena
bullying menjadi hal yang serius di bidang pendidikan. Bullying
dapat berakibat negatif baik terhadap korban maupun pelakunya,
keduanya dapat mengalami masalah jiwa dan sosial, bahkan sampai
bunuh diri (Abdussalam, 2018). Pelaku bullying melakukan
tindakan menyakiti orang lain ini secara sadar dan inisiatif, tanpa
adanya provokasi dari korban. Korban bullying dapat berupa
individu maupun kelompok (Careera, DePalma, & Lamerias, 2011).
Bagi pelaku, bullying dapat membuat penurunan empati (Wilford,
Bouton, Bank, Bender, Dieterich & Jenson, 2015), peningkatan
perilaku agresif (Evans, Smokowski, Rose, Mercado, & Marshal,
2018), terbiasa mendapatkan sesuatu dengan cara memaksa
(Hawley, 2003), peningkatan perilaku anti sosial (Farrington &
Ttofi, 2011), tidak disukai teman-teman sehingga dapat
menimbulkan perasaan negatif tentang masa depan (Bruyn,
Cillessen, & Wissink, 2010), serta berpotensi mengalami masalah
kesehatan mental (Healy, Sanders, & Lyer, 2015). Berdasarkan hasil
analisis pada 10 artikel yang relevan untuk dikaji, diperileh hasil
bahwasannya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying
adalah
1. Kepribadian, Hasil penelitian yang di dukung oleh peneliti
Manesini, Nocentini dan Camodeca (2010) menemukan
bahwa pelaku bullying biasanya memiliki kepribadian
ekstrovert.
2. Keluarga, faktor keluarga yang mempengaruhi bullying
diantaranya rendahnya fungsi keluarga (Mazzone &
Camodeca, 2019) dan pola asuh (Charalampous, Demetriou,
Tricha, Ioannou, Georgiou, Nikiforou, & Stavrinides, 2018).
Pola asuh yang berpengaruh positif pada perilaku bullying
adalah pola asuh otiriter (Bostari & Karagianni, 2014), hal
tersebut karena pola asuh otoriter ditunjukan dengan
orangtua yang melakukan penghukuman, bentuk hukuman
yang diberikan merupakan bentuk kekerasan fisik dan
psikologis, melakukan kekerasan untuk menyelesaikan
konflik sehingga anak mempresepsikan bahwa orangtuanya
tidak sensitif terhadap perasaannya. Hal tersebut membuat
anak tidak mampu mengembangkan empati terhadap orang
lain serta lebih agresif pada teman sebaya (Georgiou,
Stavrinides, & fousiani, 2013).
3. Adverse children experience (pengalaman buruk di masa
kecil), Siswa yang terlibat dalam bullying sangat mungkin
adalah siswa yang mengalami berbagai kesulitan pada masa
anakanak, kesulitan yang dialami anak membuat
perkembangan psikologisnya tidak sehat sehingga
berpotensi untuk menjadi pelaku bullying pada saat remaja
(Reisen, Viana, & Neto, 2019). Pengalaman masa anakanak
yang buruk dapat menyebabkan gangguan fungsional yang
signifikan sehingga menjadi salahsatu faktor resiko
melakukan kekerasan di masa remaja (Duke, Pettingell,
McMorris, & Borowsky, 2010).
4. Lingkungan sekolah, Rezapour, Khanjani dan Mirzai (2019)
menemukan bahwa lingkungan sekolah yang nyaman
berkaitan dengan bullying verbal, bullying relasional dan
cyber bullying yang lebih rendah, sedangkan lingkungan
sekolah yang tidak nyaman dan banyak gangguan berkaitan
dengan bullying verbal dan bullying relasional yang lebih
tinggi. Selain itu, aturan, kenyamanan fisik, keterlibatan,
serta dukungan lingkungan juga berkaitan dengan perilaku
bullying. Tipe dan kualitas sekolah juga diasosiasikan
dengan resiko perilaku bullying (Bevilacqua, et.al, 2016).
Hipotesis Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan, peneliti
melakukan penelaahan dengan membaca judul dan abstrak untuk
mengetahui apakah artikel yang dibaca sudah memenuhi kriteria
untuk dikaji. Kriteria yang digunakan yaitu: 1) artikel penelitian
membahas tentang bullying; 2) artikel membahas tentang pengaruh
variabel x terhadap bullying; 3) artikel berisi laporan hasil
penelitian; 4) artikel ditulis dalam bahasa inggris. Peneliti
memperoleh 25 artikel publikasi tetapi setelah diseleksi, hanya 10
artikel yang relevan untuk dikaji.
Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini menggunakan penelitian sistematic
review metode kualitatif dengan teknik meta sintesis.
Variabel Penelitian Variable bebas : Perilaku Bullying
Variable terikat : faktor-faktor yang mempengaruhi
Subjek Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan pada 10 artikel sehingga
diketahui bahwa perilaku bullying sebagian besar terjadi pada siswa
sekolah dengan rentang usia 12-16 tahun
Alat Ukur Alat ukur yang digunakan yaitu dengan adanya pendekatan
metaetnograf, yakni dengan merangkum berbagai hasil penelitian
yang relevan secar anaratif agar dapat mengembangkan teori yang
baru untuk melengkapi teori-teori sebelumnya
Analisis Data Penelusuran dilakukan di database elektronik seperti Proquest,
Science Direct, Scopus dan Google Schoolar dengan menggunakan
kata kunci “bullying” dengan tahun terbit artikel antara tahun 2014
sampai 2019.
Hasil Hasil review literatur menunjukan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilkau bullying yaitu kepribadian, keluarga,
adverse children experience dan lingkungan sekolah. Penelitian
mengenai bullying mayoritas di lakukan pada remaja dengan ruang
lingkup penelitian di sekolah. Skala penelitian yang digunakan di
dasarkan pada bentuk-bentuk penelitian yang disusun oleh Olweous
Diskusi Kriteria yang digunakan yaitu: 1) artikel penelitian membahas
tentang bullying; 2) artikel membahas tentang pengaruh variabel x
terhadap bullying; 3) artikel berisi laporan hasil penelitian; 4) artikel
ditulis dalam bahasa inggris. Peneliti memperoleh 25 artikel
publikasi tetapi setelah diseleksi, hanya 10 artikel yang relevan
untuk dikaji. Analisis Peneliti melakukan identifikasi, evaluasim
dan interpretasi terhadap semua hasil penelitian yang relevan terkait
dengan kepribadian hardiness. Tujuan penelitian ini untuk
mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi bullying.
Peneliti mengumpulkan 10 rtikel publikasi yang relevan untuk
dikaji dan membuat rangkuman hasil penelitian yang terdiri dari
nama peneliti, tahun publikasi, jumlah subjek, alat ukur yang
digunakan serta hasil penelitian. Berdasarkan hasil tersebut peneliti
membuat kesimpulan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
bullying.
Kesimpulan Hasil studi literatur menunjukan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi bullying adalah faktor kepribadian, faktor keluarga,
faktor pengalaman di masa kecil dan faktor lingkungan sekolah.
Review Jurnal VT3 : Perilaku Bullying

Judul Jurnal Pengaruh Perilaku Bullying terhadap Empati Ditinjau dari Tipe
Sekolah
Jurnal Jurnal ilmiah psikologi terapan, Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Malang
Volume dan Nomor Vol. 06, No.01
Tahun 2018
Penulis Isnaini Zakiyyah Arofa , Hudaniah , Uun Zulfiana
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
Masalah permasalahan tindak agresif yang tinggi seperti perilaku bullying
pada remaja. Perilaku bullying tetap jadi isu penting di Indonesia.
Perilaku bullying merupakan penggunaan kekerasan, ancaman, atau
paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain.
Indonesia menjadi urutan pertama pada riset yang dilakukan oleh
LSM Plan International dan International Center for Research on
Women (IRCW) terkait bullying, riset ini dilakukan di beberapa
negara dikawasan Asia. Sebanyak 84% anak di Indonesia
mengalami bullying di sekolah, sekitar 9000 anak terlibat dalam
riset ini berusia 12-17 tahun (Qodar, 2015). Dampak bullying akan
menghambat anak dalam mengaktualisasi dirinya karena perilaku
bullying tidak akan memberi rasa aman dan nyaman, dan akan
membuat para korban bullying meraa takutdan terintimidasi, rendah
diri, tak berharga, sulit berkonsentrasi dalam belajar, serta tidak
mampu untuk bersosialisasi dengan lingkungannya (Sejiwa, 2008).
Rumusan Masalah apakah ada perbedaan perilaku bullying pada tipe sekolah dengan
jenis kelamin sama dan sekolah dengan dua jenis kelamin setelah
dikendalikan oleh empati?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada
perbedaan perilaku bullying pada tipe sekolah dengan jenis kelamin
sama dan sekolah dengan dua jenis kelamin setelah dikendalikan
oleh empati.
Landasan Teori Menurut penelitian yang dilakukan Saifullah, (2016) faktor yang
menyebabkan bullying adalah :
1. faktor kelompok teman sebaya hal dinyatakan siswa-siswa
pengaruh ikut-ikutan kelompok/grup pertemanan untuk
berbuat usil dan mengolok-olok
2. faktor pola asuh orang tua yang kurang berperan ini
dinyatakan para siswa disebabkan kurangnya attention
(perhatian) orang tua dilingkungan keluarga dalam
membentuk tingkah laku yang baik
3. faktor iklim sekolah yang kurang mendukung, para siswa-
siswi menyatakan bahwa sekolah banyak melakukan
pembiaran dan kurang menindaklanjuti dalam hal ini disiplin
sekolah masih bersifat lemah menyebabkan bullying ini
dapat terjadi (Saifulah, 2015; & Tumon, 2014) .
Selain itu faktor yang menjadi pemicu perilaku bullying (Usman,
2013) pada remaja seperti :
1. jenis kelamin
2. tipe kepribadian anak dan
3. kepercayaan diri
penelitian yang dilakukan Rachmah (2014), diketahui bahwa alasan
pelaku bullying melakukan perbuatan bullying yaitu dikarenakan
faktor karakteristik korban, sikap korban, tradisi/budaya bullying di
sekolah. Pelaku bullying melakukan bullying juga dikarenakan
memiliki kemampuan empati yang rendah. Ketidakmampuan pelaku
untuk berempati menyebabkan mereka kurang mampu untuk
melihat dari sudut pandang orang lain, mengenali perasaan orang
lain dan menyesuaikan kepeduliannya dengan tepat. Kurangnya
empati dari pelaku menyebabkan pelaku kurang memahami kondisi
korban, tidak peduli dengan korban dan cenderung melakukan
tindakan kekerasan pada orang atau korban. Keterkaitan antara
keduanya apabila anak tersebut memiliki empati yang tinggi maka
untuk menjadi perilaku bullying akan semakin rendah. Menurut
Davis (1983), empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenal
dan memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain. empati
mengandung dua konsep, yaitu melihat kerangka berpikir internal
orang lain secara akurat dengan komponen-komponen yang saling
berhubungan. Serta, dalam memahami orang lain tersebut, individu
seolaholah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan
dan memahami orang lain tersebut (Taufik, 2012).
Perilaku bullying dapat berhubungan dengan empati dapat dilihat
dari faktor-faktor empati menurut Hoffman (2000) yaitu :
1. Sosialisasi, dengan adanya sosialisasi memungkinkan
seseorang dapat mengalami sejumlah emosi, mengarahkan
seseorang untuk melihat keadaanorang lain dan berpikir
tentang orang lain
2. Mood and feeling, situasi perasaan seseorang ketika
berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara
seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan
perilaku orang lain.
3. Situasi dan tempat, pada situasi tertentu seseorang dapat
berempati lebih baik dibandingkan dengan situasi yang lain
4. Proses belajar dan identifikasi, apa yang telah dipelajari
anak dirumah atau pada situasi tertentu diharapkan anak
dapat menerapkannya pada lain waktu yang lebih luas
5. Komunikasi dan bahasa, pengungkapan empati dipengaruhi
oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang
6. Pengasuhan, lingkungan yang berempati dari suatu keluarga
sangat membantu anak dalam menumbuhkan empati dalam
dirinya.
Hipotesis Penelitian Hipotesa yang digunakan oleh peneliti adalah ada perbedaan
perilaku bullying ditinjau dari tipe sekolah dengan mengendalikan
empati. penelitian ini berdasarkan pada filsafat positivisme yang
digunakan untuk menguji populasi atau sampel tertentu dengan
menggunakan statistik untuk menguji hipotesis yang sudah dibuat
(Sugiyono, 2011)
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif uji
ancova, dengan skala perilaku bullying dan skala empati
Interpersonal Reactivity Index (IRI. dengan teknik cluster random
sampling
Variabel Penelitian Variable bebas : Perilaku Bullying
Variable terikat : Empati
Subjek subjek sebanyak 385 santri perempuan dengan Populasi dari
pnelitian ini adalah santri MTs/SMP yang sekaligus pondok
ditempat yang sama, sekolah atau pondok yang digunakan sebanyak
4 sekolah/pondok, tipe sekolah single sex school yaitu Pondok
Pesantren Putri Ar-Rohmah sebanyak 195 orang, dan tipe sekolah
co-educational school yaitu Pondok Pesantren Al-ittihad sebanyak
152 orang, MTs Al-Hidayah sebanyak 16 orang dan SMPi
Sabilurrosyad 22 orang.
Alat Ukur Menggunakan skala empati Interpersonal Reactivity Index (IRI),
yang dikembangkan oleh Davis (1980). Peneliti menggunakan
cluster random sampling yaitu, teknik sampling daerah yang
digunakan untuk menentukan sampel bila obyek yang akan diteliti
atau sumber data sangat luas, misalnya penduduk dari suatu negara,
propinsi atau kabupaten (Sugiyono, 2012)
Analisis Data analisis data dengan menggunakan software SPSS for windows
21.0. Data yang akan diujikan yaitu teknik penelitian menggunakan
uji beda Independent Sample t-Test, uji hubungan dengan analisis
korelasi product moment dan uji beda two way anova dengan
analisis general linier model. Tujuan peneliti menggunakan
independen sample t-test yaitu untuk mengetahui apakah ada
perbedaan rata-rata (mean) antara dua populasi, dengan rata-rata
dua sampelnya (Santoso, 2015). Kemudian tujuan peneliti
menggunakan uji hubungan korelasi product moment adalah untuk
mengetahui hubungan diantara populasi yang mempunyai dua
varian (bivariate) (Santoso, 2015). Dan tujuan two way anova
dengan analysis of covariance yaitu untuk menurunkan error
variance dengan cara menghilangkan pengaruh variabel non
kategorial yang kita percayai membuat bias non kategorial (Gozali,
2011).
Hasil - Berdasarkan gambaran umum subjek penelitian diketahui
sebanyak 59,5% usia 13 usia merupakan usia terbanyak
subjek penelitian, kemudian dari keseluruhan kelas 7
merupakan subjek terbanyak sebesar 76,9%, sebanyak
39,4% sekolah co-educational school yaitu sekolah MTs Al-
Ittihad dan dari keseluruhan jumlah subjek sebanyak 56,4%
berasal dari kota Malang dari kedua tipe sekolah dan
selebihnya dari luar kota Malang.
- Berdasarkan Deskripsi Kategori Bullying dan Empati
terdapat 277 subjek memiliki kategori sedang dengan
persentase 71,9% pada skala perilaku bullying, dan pada
skala empati terdapat 267 subjek dari 385 subjek juga berada
pada kategori sedang dengan persentase sebesar 69,4%.
- Berdasarkan Deskripsi Rata-rata Bullying dan Empati
Berdasarkan Tipe Sekolah terdapat nilai rata-rata pada setiap
tipe sekolah. Pada tipe sekolah singel sex school untuk
perilaku bullying mean sebesar 13,91 yang merupakan
kategori sedang dan untuk empati memiliki nilai mean
36,79. Sedangankan untuk tipe sekolah co-educational
school juga memiliki kategori yang sama yaitu sedang
dengan nilai mean 14,88 dan nilai mean empati sebesar
36,85.
- Berdasarkan uji deskriptif kenormalan data Kolmogorov-
Smirnov diketahui nilai signifikansi skala bullying sebesar
0,108 dan skala empati 0,477 keduanya lebih besar dari
0,05, bahwa kedua data skala yang di uji tersebut dapat
dikatakan berdistribusi normal, sehingga dapat dilanjutkan
dengan uji korelasi product moment, uji beda t-test dan uji
beda ancova. Hasil uji linearitas diperoleh nilai signifikansi
0,923 > 0,05 yang menandakan terdapat hubungan yang
linear secara signifikan antara variabel empati dan bullying
- Berdasarkan hasil uji homogenitas nilai probabilitas
sebagaimana tertera pada tabel diatas yaitu sebesar 0,338 >
0,05 maka varian kesalahan pada single sex school dan co-
educational school pada bullying adalah homogen dengan
demikian persyaratan sudah terpenuhi.
- Berdasarkan Analisis Uji Beda Ancova Pada Perilaku
Bullying Ditinjau Dari Tipe Sekolah dan Dikendalikan Oleh
Empati diketahui bahwa terdapat perbedaan perilaku
bullying ditinjau dari tipe sekolah single sex school dan co-
educational school setelah dikendalikan oleh empati dengan
nilai signifikansi sebesar 0,001 < 0,05 menandakan bahwa
pernyataan tersebut siginifikan atau benar adanya.
Diskusi Penelitian ini menunjukan adanya perbedaan perilku bullying
ditinjau tipe sekolah setelah dikendalikan oleh empati. Hal ini
dibuktikan adanya perbedaan perilaku bullying ketika tidak
dikaitakan dengan empati, dan perilaku bullying dikaitkan dengan
empati. Hal ini berdasarkan uji beda ancova. Berdasarkan hasil dari
analisa data, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,001 (p ≤ 0,05 =
0,001 ≤ 0,05) yang berarti ada perbedaan perilaku bullying antara
sekolah dengan jenis kelamin sama dan sekolah dengan dua jenis
kelamin setelah dikendalikan oleh empati, artinya empati memliki
pengaruh dalam pengendalian perilaku bullying. Hasil penelitian ini
juga dapat diperkuat dengan pendapat dari Baron dan Byrne (2003),
yang menyatatakan bahwa empati berhubungan secara negatif
dengan agresivitas. Penelitian Jolliffe dan Farington (2006) juga
menyatakan, bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara
empati dengan bullying, dan juga seseorang yang memiliki empati
yang rendah kurang mampu merespon tekanan dan rasa ketidak
nyamanan dari orang lain yang menjadi korban, mereka tidak
mampu menghubungkan perilaku antisosial yang ia lakukan dengan
reaksi emosional orang lain. Menurut teori behaviourisme
Aronfreed (dalam Taufik, 2012) empati di pelajari melalui proses
pembelajaran di waktu anak-anak. Anak akan belajar bahwa
perilaku-perilaku yang membahagiakan ataupun meringankan
kesedihan orang lain membuat anak nyaman. Penelitian sejalan
dengan teori ini dilakukan oleh Fatimatuzzahro, (2016) yaitu
menggunakan penelitian ekperimen dimana terapi empati yang
dilakukan pada anak sekolah dasar agar mampu menurunkan
perilaku bullying
Kesimpulan disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
perilaku bullying ditinjau dari tipe sekolah dengan mengendalikan
empati. Besaran nilai signifikansi sebesar 0,001 (p ≤ 0,05 = 0,000 ≤
0,05) yang berarti ada perbedaan perilaku bullying antara sekolah
dengan jenis kelamin sama dan sekolah dengan dua jenis kelamin
setelah dikendalikan oleh empati dan tidak ada perbedaan yang
signifikan pada perilaku bullying antara tipe sekolah sekolah dengan
jenis kelamin sama dan sekolah dengan dua jenis kelamin, perilaku
bullying dapat terjadi dimana saja tanpa harus mengaitkan dengan
tipe sekolah dan adanya hubungan antara perilaku bullying dan
empati walapun nilai hubungan bersifat lemah. Implikasi dari
penelitian ini yaitu, untuk setiap orang tua dapat mencegah atau
menangani perilaku bullying pada putra-putrinya dengan cara
mengembangkan empati dalam kehidupan sehari-hari serta dapat
menerapkan pola untuk saling menghargai satu sama lain. Kepada
sekolah diharapkan guru dapat membiasakan bagaimana
menciptakan suasana saling peduli membiasakan saling berempati
kepada sesama teman sehingga perilaku bullying yang terjadi dapat
berkurang bahkan semakin kecil potensinya. Dengan demikian
diharapkan terputusnya rantai bullying dalam dunia pendidikan.
Review Jurnal VB : Kecerdasan Emosi (Vb1) dan Sikap Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus (Vb2)

Judul Jurnal KECERDASAN EMOSI DAN DUKUNGAN KELUARGA


DENGAN PENERIMAAN DIRI ORANG TUA YANG
MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
Jurnal JURNAL PSIKOLOGI PERSEPTUAl, Fakultas Psikologi,
Universitas Muria Kudus
Volume dan Nomor Vol 2, No 1
Tahun 2017
Penulis Yiyi Dwi Panti Rahayu, Latifah Nur Ahyani
Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus
Masalah yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik
(Geniofam, 2010). Data dari Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), hingga 2011 jumlah anak
dengan berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 18 ribu anak.
Menurut Somantri (2007), reaksi orang tua terhadap anak kebutuhan
yang berkebutuhan khusus biasanya akan menerima secara realistik
dimana orang tua akan menyangkal bahwa anaknya tidak termasuk
anak berkebutuhan khusus (tidak percaya), sehingga menimbulkan
perlindungan yang berlebihan, penolakan secara tertutup yaitu
mengasingkan anaknya, menolak secara terbuka yaitu bersikap
masa bodoh dan tidak peduli dengan kebutuhan anak tersebut.
Menurut Rogers (Pancawati, 2013), penerimaan merupakan sikap
seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara
keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian. Sobur
(2003) mengatakan bahwa “mereka yang lebih ikhlas menerima
kenyataan diri akan lebih cepat menyerap sesuatu daripada mereka
yang kurang ikhlas menerima realitas dirinya”. Hurlock (2013)
menjelaskan bahwa tidak adanya tekanan emosi membuat seseorang
dapat melakukan yang terbaik dan dapat berpandangan keluar dan
tidak memiliki pandangan hanya ke dalam diri saja. Tanpa tekanan
emosi juga dapat membuat seseorang santai dan bahagia. Salovey
dan Mayer (Goleman, 2000) berpendapat bahwa orang yang cerdas
secara emosi lebih mampu mengenali perasaan dan sadar akan
suasana hati maupun pikiran tentang suasana hatinya sendiri.
Dengan demikian, individu tidak mudah larut dan dikuasai
emosinya. Individu juga mampu mengendalikan kestabilan
emosinya, bebas dari perasaan cemas, kemurungan,
ketersinggungan akibat adanya tekanan emosi berat yang muncul
dari luar dirinya maupun diri sendiri. Sehingga sangatlah penting
individu memiliki kecerdasan emosi, karena dengan kecerdasan
emosi, individu dapat menerima dirinya sendiri
Rumusan Masalah Bagaimana hubungan KECERDASAN EMOSI DAN
DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI
ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS (ABK)?
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan KECERDASAN EMOSI DAN
DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI
ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS (ABK)
Landasan Teori Goleman (2000), berpendapat bahwa kecerdasan emosional
merupakan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta
mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan
emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan
berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan
berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya,
kemampuan untuk menyelesaikan konflik. Salovey dan Mayer
(Goleman, 2000) berpendapat bahwa orang yang cerdas emosinya
lebih mampu mengenali perasaan dan sadar akan suasana hati
maupun pikiran tentang suasana hatinya sendiri. Dengan demikian,
individu tidak mudah larut dan dikuasai emosinya. Individu juga
mampu mengendalikan kestabilan emosinya, bebas dari perasaan
cemas, kemurungan, ketersinggungan akibat adanya tekanan emosi
berat yang muncul dari luar dirinya maupun diri sendiri. Menurut
Goleman (2015), kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri, bertahan untuk menghadapi frustasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati serta berdo’a.
Menurut Goleman (2015), aspek-aspek kecerdasan emosional:
1. mengenali emosi diri
2. mengelola emosi
3. memotivasi diri sendiri
4. mengenali emosi orang lain atau kemampuan ini bisa
disebut empati
5. membina hubungan
Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif yang
sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan penerimaan
diri artinya semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin
tinggi penerimaan diri sebaliknya semakin rendah kecerdasan
emosional maka semakin rendah penerimaan diri.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
kuantitatif dengan incidental sampling yaitu teknik penentuan
sampel berdasarkan kebetulan saja, anggota populasi yang ditemui
bersedia menjadi responden untuk dijadikan sampel (Siregar, 2013)
Variabel Penelitian Variable bebas 1 : kecerdasan emosi
Variable bebas 2 : dukungan keluarga
Variable terikat : penerimaan diri
Subjek 40 orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Alat Ukur Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala secara
langsung, yaitu skala yang diberikan kepada subjek secara langsung
yang akan dimintai pendapat, keyakinan ataupun diminta untuk
menceritakan keadaan dirinya sendiri (Hadi, 2000). Skala yang
digunakan dalam penelitian ini ada tiga macam, yaitu skala yang
menggungkapkan: Skala penerimaan diri menurut Jersild, Brook &
Brook (1978), Skala kecerdasan emosional menurut Goleman
(2015), dan skala dukungan keluarga menurut Friedman (1998).
Analisis Data menggunakan teknik reliabilitas koefisien Alpha yang digunakan
oleh Cronbach dengan menggunakan alat bantu komputer dan
program Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) 16.0 for
window. Menurut Azwar (2003) menyatakan bahwa koefisien
reliabilitas berada dalam rentang 0 sampai dengan 1, artinya ketika
mendekati nilai 1 maka semakin tinggi reliabilitas itu tetapi ketika
menjauhi nilai 1 maka akan semakin rendah reliabilitas itu. Dan
Metode statistika yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik
analisis Regresi Dua Prediktor, dipakai untuk mencari ada tidaknya
hubungan antara penerimaan diri sebagai variabel tergantung, serta
kecerdasan emosi dan dukungan keluarga sebagai variabel bebas.
Hasil Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara kecerdasan emosional dengan penerimaan diri
artinya semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi
penerimaan diri sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional
maka semakin rendah penerimaan diri. Sehingga dapat dikatakan
bahwa dengan kecerdasan emosi, individu akan memiliki
penerimaan diri dan ketika ada perasaan stress seorang akan mampu
menghadapinya karena memiliki kecerdasan emosi yang baik
Diskusi Didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eliyanto dan
Hendriani (2013) berjudul Hubungan Kecerdasan Emosi dengan
Penerimaan Ibu terhadap Anak Kandung yang Mengalami Cerebral
Palsy, dimana hasil menunjukkan adanya hubungan antara
kecerdasan emosi dengan penerimaan diri ibu anak kandung yang
mengalami cerebral palsy. Semakin tinggi kecerdasan emosi ibu
anak kandung yang mengalami cerebral palsy akan semakin tinggi
penerimaan diri anak kandung yang mengalami cerebral palsy,
sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi anak kandung yang
mengalami cerebral palsy maka semakin rendah penerimaan diri ibu
anak kandung yang mengalami cerebral palsy. Wardani (2012),
melakukan penelitian serupa dimana hasil penelitian menunjukkan
ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penerimaan
teman sebaya.
Kesimpulan didapatkan hasil penelitian bahwa ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara kecerdasan emosional dengan penerimaan diri dan
ada hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan
keluarga dengan penerimaan diri. Sumbangan efektif kecerdasan
emosi dan dukungan keluarga terhadap penerimaan diri sebesar
58,7%. Sedangkan sumbangan efektif yang diberikan variabel
kecerdasan emosi terhadap penerimaan diri sebesar 55,5%, untuk
variabel dukungan keluarga terhadap penerimaan diri mempunyai
sumbangan efektif sebesar 21,3%.

Review Jurnal VB : Kecerdasan Emosi (Vb1) dan Sikap Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus (Vb2)

Judul Jurnal Kecerdasan emosional kelas dan hubungannya dengan kinerja


sekolah
Jurnal Jurnal Pendidikan dan Psikologi Eropa, Universitas Negeri Basque,
UPV/ EHU, Spanyol Universitas Deusto, Spanyol
Volume dan Nomor Vol 9 no 8
Tahun 2015
Penulis Aitor Aritzetaa,ÿ, Nekane Balluerkaa, Arantxa Gorostiagaa, Itziar
Alonso-Arbiol a, Mikel Haranburua, Leire Gartzia b
Latar Belakang Studi tentang emosi di kelas sangat penting untuk memahami
Masalah motivasi dan pola belajar di kalangan siswa (Beilock & Ramírez,
2011). Pengalaman emosional merupakan komponen integral dari
semua kegiatan sekolah dan memainkan peran kunci tidak hanya
dalam kaitannya dengan pembelajaran tetapi juga sehubungan
dengan prestasi dari waktu ke waktu (Pekrun & Schutz, 2007). Oleh
karena itu, dengan mempertimbangkan relevansi fenomena
emosional kelompok untuk proses belajar dan mengajar
(Immordino-Yang & Damasio, 2007; Pekrun & Schutz, 2007) dan
kebutuhan untuk mengintegrasikan variabel di berbagai tingkat
analisis untuk memberikan penjelasan yang lebih benar tentang
pendidikan fenomena (Osterman, 2010), tujuan utama dari
penelitian ini adalah untuk mengembangkan kuesioner yang
ditujukan untuk mengukur kelompok EI di kelas. Selain itu, untuk
menambah bukti validitas untuk konstruk EI kelompok, kami
menguji hipotesis spesifik mengenai asosiasi EI kelompok dengan
kinerja sekolah kelompok, serta dengan komposisi gender kelompok
dan jenis kelamin tutor kelas. A. Aritzeta dkk. EI Kelas mewakili
konstruksi tingkat kelompok yang didasarkan pada pengalaman
emosional subjektif yang dibagikan oleh anggota kelompok.
Pengalaman bersama ini membantu menghasilkan seperangkat
norma atau perilaku yang diharapkan yang memandu pengalaman
emosional (Wolff, Druskat, Koman, & Messer, 2006). Oleh karena
itu, EI kelompok yang diperiksa di sini adalah konsekuensi dari
jenis interaksi yang terjadi antara siswa dan menghasilkan konstruk
kelompok yang berbeda dari ciri-ciri anggota kelompok dan dengan
demikian, dapat dianggap sebagai ''konstruk kolektif'' yang terkait
dengan kelas (Morgeson & Hofmann, 1999). Dalam konteks
akademik, kecerdasan emosional yang dirasakan sendiri (EI)
individu telah terbukti terkait dengan penyesuaian psikologis dan
sosial yang lebih baik dan adaptasi sosial (Balluerka, Aritzeta,
Gorostiaga, Gartzia, & Soroa, 2013; Castillo, Salguero, Fernández-
Berrocal, & Balluerka, 2013; Pedrosa, Suárez-Álvarez, Lozano,
Muniz, & García-Cueto, kinerja 2014) sekolah dan (Ferrando et al.,
2011; Joseph & Newman, 2010) pada masa remaja. Namun, terlepas
dari temuan ini dan sejumlah besar studi tentang emosi dalam
konteks sekolah (Humphrey et al., 2011; Inglés et al., 2014;
Rodríguez et al., 2014) penelitian tentang emosi kolektif atau
kelompok di ruang kelas masih langka.
Rumusan Masalah Bagaimana hubungan Kecerdasan emosional kelas dan
hubungannya dengan kinerja sekolah?
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan Kecerdasan emosional kelas dan
hubungannya dengan kinerja sekolah
Landasan Teori Trait Meta-Mood Scale (TMMS; Salovey, Mayer, Goldman,
Turvey, & Palfai, 1995) menjadi salah satu instrumen yang paling
banyak digunakan untuk mengukur EI yang dirasakan. TMMS
adalah ukuran keyakinan individu tentang pentingnya
memperhatikan emosi dan perasaan sendiri, tentang kapasitas untuk
memahami emosi sendiri dan tentang kemampuan untuk mengatur
keadaan emosi negatif dan memperpanjang yang positif. Jika kita
menerima gagasan emosi kelompok (Smith, Seger, & Mackie,
2007), dan juga memperhitungkan bahwa kelas yang stabil dapat
dianggap sebagai kelompok (Boekaerts, 2001), maka kita akan
mengharapkan kelas yang berbeda untuk menunjukkan tingkat yang
berbeda dari EI. Proses psikososial seperti penularan emosi
(Totterdell, Kellet, Teuchmann, & Briner, 1998), proses pengaruh
perwakilan (Fultz & Nielsen, 1993) dan proses sinkronisasi
interaksi (yaitu, mekanisme non-sadar dimana perilaku individu
disesuaikan atau dimodifikasi dalam untuk mengkoordinasikan atau
menyinkronkannya dengan yang lain) (Siegman & Reynolds, 1982)
mendukung gagasan bahwa pengalaman afektif tingkat individu
dapat bergabung untuk membentuk konstruksi kolektif afektif.
Hipotesis Penelitian Jadi, kami berhipotesis bahwa di kelas di mana, rata-rata, siswa
mencapai nilai akademik yang tinggi, kelompok yang dirasakan EI
akan lebih tinggi.
Metode Penelitian Metode yang digunakan ialah metode Pengembangan ukuran EI
grup yaitu kerangka acuan untuk menanggapi item diubah dari
persepsi diri individu (yaitu, ''Saya sangat memperhatikan perasaan
saya'') pada persepsi pengalaman emosional kelompok (yaitu, ''Di
kelas ini kita sangat memperhatikan perasaan kita'').
Variabel Penelitian Variable bebas : Kecerdasan emosional kelas
Variable terikat : kinerja sekolah
Subjek Sampel penelitian terdiri dari 794 remaja (375 siswa perempuan dan
419 siswa laki-laki yang dibagi menjadi 59 kelas) berusia antara 13
dan 19 tahun
Alat Ukur Skala Meta-Mood Sifat (TMMS; Salovey et al., 1995), yang
merupakan ukuran kecerdasan emosional yang dirasakan.
Analisis Data Dimensi instrumen diperiksa dengan menggunakan analisis
komponen utama. Keandalan G-TMMS dianalisis dalam hal
konsistensi internal dan stabilitas temporal. Bukti tentang validitas
konvergen juga diperoleh. Akhirnya, hubungan antara skor yang
diperoleh pada G-TMMS dan persentase siswa dengan nilai bagus,
persentase siswa perempuan di kelas dan jenis kelamin tutor kelas
diperiksa untuk menguji hipotesis spesifik tentang hubungan antara
kelompok EI dan variabel-variabel ini.
Hasil Berdasarkan Kecerdasan emosional kelas dan hubungannya dengan
kinerja sekolah menunjukan Stabilitas temporal G-TMMS
dievaluasi menggunakan prosedur tes --- tes ulang, dengan
instrumen diberikan kembali ke sampel yang lebih kecil (94 siswa
perempuan dan 77 siswa laki-laki) 4 minggu setelah pengumpulan
data awal. Nilai indeks korelasi antara nilai rata-rata kelas. pada dua
titik penilaian adalah 0,87. Untuk memastikan bahwa skor rata-rata
ini cukup mewakili kecerdasan emosional di tingkat kelas
(misalnya, kecerdasan emosional kelompok), indeks James
keandalan antar-pengkode (James et al., 1993) dihitung sebelumnya
untuk total sampel kelas. Nilai untuk indeks ini berkisar antara 0,83
dan 0,97, menunjukkan bahwa siswa yang tergabung dalam setiap
kelompok memiliki persepsi yang cukup mirip tentang konstruk
yang ingin diukur oleh instrumen tersebut. mendapatkan bukti
validitas konvergen instrumen, koefisien korelasi Pearson dihitung
antara skor kelas rata-rata pada G-TMMS, subskala WEIP dan
subskala afiliasi CES kala sebelum memperkirakan koefisien
korelasi. Untuk WEIP, nilai indeks James berkisar antara 0,76 dan
0,89 pada subskala 'kesadaran emosi', antara ,83 dan ,96 pada
subskala 'kemampuan untuk mendiskusikan/mengartikulasikan
emosi' dan antara 0,80 dan ,93 pada subskala subskala 'kemampuan
menggunakan emosi untuk memfasilitasi pemikiran'. Untuk
subskala afiliasi CES (ukuran hubungan kelas siswa) nilai indeks
James berkisar antara .82 dan .97. Seperti yang diharapkan,
konstruksi kelompok EI berkorelasi positif dengan dua subskala
WEIP dan dengan subskala hubungan ruang kelas CES. Namun,
korelasi dengan subskala Kesadaran WEIP rendah. Untuk
mendapatkan bukti validitas konvergen instrumen, koefisien
korelasi Pearson dihitung antara skor kelas rata-rata pada G-TMMS,
subskala WEIP dan subskala afiliasi CES (lihat Tabel 2).
Diskusi Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan
kuesioner yang valid dan reliabel untuk mengukur persepsi
kelompok EI dalam konteks kelas, tidak ada ukuran seperti itu
sampai saat ini. G-TMMS telah terbukti memiliki sifat psikometrik
yang memadai. Mengenai dimensi, instrumen ditemukan memiliki
struktur satu faktor, yang terdiri dari satu kelompok EI konstruk.
Interaksi interpersonal yang terjadi di ruang kelas tidak
berkesinambungan dan homogen seperti yang terjadi dalam tim
kecil yang utuh. Dalam konteks kelas kemampuan EI dapat dilihat
secara global sehingga sulit untuk membedakan tingkat perhatian,
kejelasan dan regulasi emosi. Pengetahuan intrapersonal tentang
kemampuan EI kehilangan ketegasan ketika mengevaluasi
kelompok referensi sendiri dan kehilangan akurasi ketika kelompok
tidak utuh. Argumen-argumen ini mungkin menjelaskan
unidimensionalitas kuesioner.
Kesimpulan Ketersediaan G-TMMS dapat membantu memberikan penjelasan
yang lebih baik tentang perbedaan psikososial remaja penyesuaian
dalam salah satu konteks yang paling penting dari referensi untuk
populasi ini: ruang kelas. Mungkin tidak hanya merupakan
tambahan penting untuk ukuran kemampuan tetapi juga harus
memungkinkan peneliti dan praktisi untuk menilai apakah konteks
emosional cenderung mendorong atau menghalangi kesadaran
individu akan emosinya.

Anda mungkin juga menyukai