Anda di halaman 1dari 4

PENAGIH HUTANG II

Aku berpura-pura memainkan ponselku. Padahal sebenarnya aku sedang memperhatikan Ibuku
melalui sudut mataku. Sepanjang siang aku sudah memikirkan bagaimana caraku mengatakan kepada
Ibuku bahwa aku telah dilamar oleh penagih hutang yang sering datang kerumah, dengan mahar 20
milyar. Aku hanya sedang mengumpulkan keberanian untuk menyampaikannya.

Ibuku sedang memotong kuku jari tangannya. Kami berdua sedang duduk diserambi rumah. Ada
adik perempuanku juga, tapi dia duduk agak jauh dari kami. Ia sedang sibuk dengan ponselnya.
Entahlah, sedang saling kirim pesan dengan pacarnya barangkali. Sedangkan ayahku sedang pergi
memancing. Dia memang senang memancing di malam hari.

“Mae...” Aku memulai.

“Hmm?” Ia menjawab tanpa menatapku.

Kuhela nafasku untuk berusaha menenangkan degupan jantungku. “Kalau ada yang ingin
membayarku seharga 20 milyar, apa Mae akan mengijinkan?’

“Tentu saja na kha.”

Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Ibuku.

“Kenapa begitu?” Aku bertanya karna ini masih belum intinya. Aku hanya dibayar, bukan dilamar
dan diajak menikah.

“Kau sudah besar Gulf, kau harus membahagiakan orangtuamu. Jika seseorang membelimu
seharga 20 milyar, kenapa mae harus menolaknya? Anggap saja kau membahagiakan orangtuamu
dengan cara itu. Lagipula, seseorang yang membelimu dengan harga 20 milyar itu pastinya sangat kaya.
Dan Mae yakin kau pasti akan bahagia hidup bersamanya.” Ibuku menjawab tanpa menatapku. Ia masih
fokus memotong kuku jari tangannya. Kini ia beralih memotong kuku jari kakinya.

“Dan juga, kau sudah besar. Kau sudah mengetahui siapa orang tuamu, siapa Ibu dan Ayahmu.
Juga keluargamu. Kau hanya dibeli, bukan berarti kau tidak dapat mengunjungi kami, kan?”

“Kurasa Mae ada benarnya.” Aku mengangguk setuju. Menarik nafas dalam kala bersiap ke
tahap selanjutnya.

“Tapi bagaimana kalau orang itu membeli untuk menikahiku?”

Ibuku mengangkat kepalanya dan tertawa senang. “Oh, itu malah semakin bagus sayang... itu
artinya kau akan mendapat seluruh hak warisan. Kau akan jadi kaya.”
“Lalu... bagaimana jika yang ingin menikahiku ini laki-laki?” Aku menahan nafasku saat
mengatakannya. Jantungku berdetak tidak karuan. Oh, aku sangat ketakutan akan reaksi ibuku.

“Apa maksudmu?”

“Bagaimana kalau yang ingin menikahiku adalah seorang pria, dan dia akan membayar mahar
seharga 20 milyar?” Ibuku tidak mengerti dengan ucapanku, jadi mau tidak mau aku menjelaskan
meskipun aku sakit perut saking takutnya. Keringat dingin membasahi telapak tangan dan pelipisku.

“Kalau itu tentu saja Mae tidak akan mengijinkan kha... lagipula kalaupun Mae mau, belum
tentu kau mau.” Ibuku mengatakan itu dengan sensi. Aku ingin menyudahi saja percakapan ini, tapi jika
aku menyudahinya, maka aku tidak akan punya kesempatan lagi.

“Tapi bagaimana jika aku mau mae?” Aku bertanya. Menatap mata Ibuku dengan serius.

“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal ini Gulf?” Ibuku mengernyitkan dahinya saat menatapku.
“Ada yang melamarmu ya?”

Aku mengangguk. Tak berani bicara.

“Laki-laki?”

Aku mengangguk lagi.

“Tidak.” Ibuku menggeleng. “Mae tidak akan mengijinkan?”

“Kenapa khrab mae?” Suaraku terdengar merengek.

“Apa kau sudah gila Gulf? Kemana perginya akal sehatmu? Pria tidak menikah dengan pria!”

“Tapi bukankah beberapa anak kenalan Mae juga menikah dengan pria?” Aku berusaha mencari
pembelaan.

“Biarkan saja mereka. Tidak perlu mengikuti yang tidak baik!” Ibuku melotot padaku. Alih-alih
takut, aku malah semakin menunjukan ekspresi merengek dan bergelayut manja memeluk ibuku.

“Apa Mae tidak bosan melihatku terus? Aku berjanji akan sering berkunjung...”

“Kalau kau mau menikah, menikah saja. Tapi jangan dengan Pria.”

“Tapi dia kaya mae... dia sanggup membayar mahar 20 milyar. Mae tidak perlu berhutang lagi
jika punya uang sebanyak itu... Coba Mae pikirkan lagi, jika aku menikah dengan wanita, Mae yang harus
membayar maharnya. Darimana Mae akan dapat uang? Dan juga, jika aku menikah dengan wanita, Mae
pasti khawatir aku akan membuat istriku kelaparan dan sebagainya. Mae tahu betapa payahnya aku.
Tapi jika menikah dengan Pria, Mae tidak perlu mengkhawatirkan apapun karna hidupku sudah
terjamin.”

Ibuku memikirkannya sejenak sebelum akhirnya menghela nafasnya. “Terserah kau saja kalau
begitu, Mae heran bagaimana bisa ada yang menyukaimu. Kalau kau mau menikah dengan pria,
menikah saja... tapi kau yang harus memberitahu Ayahmu.”

Aku tersenyum kecut. Biar payah begini, anakmu ini tampan Mae! Aku menghela nafas kala
memikirkan hal yang sulit dilakukan, memberitahu Ayah. Tapi aku cukup yakin aku akan bisa merayunya,
sama seperti Ibu. Kuharap begitu. Semoga dewi fortuna berpihak padaku.

“Memangnya siapa yang melamarmu? Mew ya?” Ibuku bertanya sambil cekikikan.

Aku membelalak kaget. “Bagaimana Mae tahu?”

“Aku ibumu, aku tau semua hal tentangmu.” Ibuku tersenyum bangga. Sedangkan aku
cemberut. “Mae bisa melihat bahwa kau menyukai Mew dari caramu menatapnya. Mata tidak bisa
berbohong Gulf. Kau harus tau itu. Dan Mew juga selalu tertarik saat bertanya tentangmu pada Mae.”
Ibuku kembali cekikikan. “Awalnya kupikir ia menyukai adikmu, tapi ternyata kau yang disukainya.”

Ibuku menghela nafas panjang. “Mae jadi penasaran, tadi pagi apa yang kalian lakukan saat Mae
tidak ada dirumah?”

Aku membelalak, pipiku memerah karna malu. “Eh? Tentu saja tidak ada khrab. Mew segera
pergi ketika aku bilang Mae tidak ada dirumah.”

“Benarkah, lalu kapan kalian membahas masalah mahar?”

Aku bungkam karna tidak tahu harus menjawab apa.

Ibuku tersenyum penuh kemenangan. “Lagipula, apa ini?” Ibuku menunjuk tulang selangkaku.
“Dan ini juga, lalu ini.. ini.. dan ini..” Ibuku menunjuk area sekitaran leherku. Sial! Sepertinya ciuman
Mew berbekas. Aku segera menyembunyikan wajahku di pangkuan Ibuku. Aku malu sekali.

Ibuku mengusap kepalaku dengan kembut. “Jangan lakukan lagi.” Ibuku memperingatkan.
“Kecuali kalian sudah menikah.”

“Khrab Mae.” Jawabku masih menguburkan wajahku di pangkuan Ibuku.

“Dan jangan lupa, kau yang harus memberitahu Ayahmu.”

“Khrab.” Ucapku. Lalu kurasakan sebuah kecupan dikepalaku.

“Bagaimanapun juga, kau adalah anak kesayangan Mae.”


“Khob khun na khrab Mae.”

Ucapan ibuku memberiku keyakinan bahwa, tak peduli apapun anak mereka, orangtua pasti
akan selalu menyayanginya. Dan jika ibuku tidak masalah akan hal ini, aku yakin ayahku juga pasti akan
merestui. Ayahku berhati lembut. Tidak akan sulit merayunya.

Semoga saja.

.
.
.

End.
April 23, 2020.

*****

Ini nchim beneran pernah nanyak gini loh ke emak nchim :v


Gak ada akhlak emang T-T
Tapi gak sampek selese.
nchim langsung diem waktu emak nchim bilang, “walaupun emak mau, belum tentu kamu mau.”
nchim diem soalnya percuma juga ngelanjutin,
toh gaada yang lamar nchim T-T

Yaudahlah ya...

Sampek ketemu chapter depan...^^

Anda mungkin juga menyukai