Pernikahan usia dini memiliki beberapa dampak negatif. Semua perempuan yang
menikah di usia dini berisiko tinggi untuk bercerai. Hal tersebut dipicu oleh
perkembangan emosi yang masih belum matang. Sebagian dari perempuan yang
berisiko tinggi untuk bercerai mengalami kekerasan dalam rumah tangga Selain itu,
anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat untuk meninggal
saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara
risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15 -19 tahun. Ditemukan
pula bahwa 14 persen bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah
prematur.
1. Berdasarkan paragraf diatas, manakah simpulan di bawah ini yang BENAR? (TPS PU
2019/ P_01)
A. Sebagian perempuan yang bercerai tidak mengalami masalah kehamilan
B. Sebagian perempuan yang perkembangan emosinya belum matang tidak menikah di
usia dini.
C. Sebagian perempuan yang menikah di usia dini mengalami kekerasan dalam rumah
tangga.
D. Sebagian perempuan yang mengalami masalah kehamilan belum matang secara
emosional
E. Sebagian perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga mengalami
masalah kehamilan.
2. Simpulan apa yang dapat ditarik dari paragraf diatas? (TPS PU 2019/ P_02)
A. Semakin tinggi penghasilan wanita, semakin tinggi kemungkinannya untuk tinggal
di kota besar.
B. Jika pengetahuan wanita mengenai dampak pernikahan usia dini semakin tinggi,
wanita lebih memilih
berkarier dibandingkan menikah.
C. Jika pengetahuan wanita mengenai dampak pernikahan usia dini semakin tinggi,
keputusannya untuk menikah di usia dini dapat dicegah.
D. Semakin tinggi penghasilan wanita, semakin tinggi pengetahuannya mengenai
dampak pernikahan dini.
E. Semakin tinggi kemungkinan seorang wanita tinggal di kota, semakin tinggi
pengetahuannya mengenai dampak pernikahan dini.
Pakaian jadi (konveksi) merupakan salah satu andalan ekspor nonmigas Indonesia.
Nilai ekspor konveksi tekstil tersebut merupakan terbesar ketiga setelah batu bara US$
20,63 miliar dan minyak sawit US$ 17,89 miliar. Data Badan Pusat Statistik mencatat
nilai ekspor pakaian jadi nasional AS sepanjang 2018 mencapai US$ 3,78 miliar
(Rp52,87 triliun) tumbuh 9,3% dari tahun sebelumnya. Negara tujuan ekspor konveksi
terbesar kedua adalah Jepang dengan nilai US$ 740,9 juta dan ketiga adalah Jerman
dengan nilai US$ 372,48 juta. Data 10 negara tujuan utama ekspor pakaian jadi
Indonesia disajikan dalam gambar 2
Minyak sawit merupakan minyak kental berwarna merah kekuningan yang berasal dari
buah kelapa sawit. Minyak sawit berharga murah, mudah diproduksi, dan bersifat
sangat stabil. Akibatnya, minyak sawit banyak digunakan sebagai bahan baku dalam
berbagai industri makanan, kosmetik, dan produk kebersihan. Selain itu, Minyak sawit
juga diperlukan sebagai sumber energi biodiesel (biofuel). Minyak sawit mengandung
kadar lemak jenuh yang tinggi sehingga tidak baik bagi kesehatan manusia. Minyak
sawit juga tidak baik bagi lingkungan karena menjadi penyebab utama penggundulan
hutan tropis. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit diketahui telah
mengurangi Iuas hutan tropis, secara signifikan. Meskipun demikian, minyak sawit
merupakan salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di dunia.
5. Berdasarkan paragraf diatas, apabila luas area hutan gundul mengalami peningkatan,
manakah di bawah ini simpulan yang PALING MUNGKIN benar ?
A. Harga kelapa sawit menurun signifikan.
B. Inovasi produk minyak sawit meningkat.
C. Pengalihan fungsi hutan lindung terhenti.
D. Biodiesel menjadi sumber energi utama dunia.
E. Luas area perkebunan kelapa sawit meningkat.
Indonesia merupakan salah satu negara utama produsen karet alam dunia. Karet alam
merupakan elastomer yang berasal dari getah pohon karet (lateks). Karet alam
merupakan komoditas ekspor yang digunakan sebagai bahan baku selang karet, karet
antigetar, dan karet untuk komponen listrik. Sejumlah besar wilayah Indonesia
memiliki lahan yang cocok untuk budidaya tanaman karet, misalnya Medan, Jambi,
Sumatera Selatan, dan Kalimantan. Produksi karet alam di wilayah-wilayah tersebut
cukup melimpah setiap tahunnya. Namun, hal itu tidak selalu membawa keuntungan
bagi para petani karet. Sesuai prinsip ekonomi, melimpahnya hasil produksi karet lokal
justru menurunkan harga juainya. Akibatnya, para petani karet mulai beralih pada
komoditas ekspor yang harga jualnya lebih tinggi, seperti kelapa sawit, palawija, dan
singkong.