Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perencanaan
1. Evaluasi Perencanaan
Evaluasi perencanaan dilakukan terkait kesesuaian perencanaan
dengan kebutuhan yang dilakukan dengan penilaian kesesuaian antara
rencana kebutuhan obat dengan realisasi dan sumber data yang diperoleh dari
Rumah Sakit, LKPP, dan pemasok. Selain itu juga dilakukan evaluasi
perencanaan pada masalah yang terjadi pada ketersediaan yang terkait
perencanaan, dilakukan dengan cara cek silang data dari fasilitas pelayanan
kesehatan dengan data dari pemasok. Cara yang dilakukan dalam evaluasi
perencanaan yaitu:
a) Analisis VEN
Analsis VEN digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
dana obat yang terbatas dengan cara mengelompokkan obat berdasarkan
manfaat tiap jenis obat untuk kesehatan. Penggolongan obat dengan
analisis ini dapat digunakan untuk penyesuaian rencana kebutuhan obat
dengan alokasi dana yang tersedia, dimana untuk obat yang perlu
ditambah atau dikurangi dapat didasarkan dengan pengelompokkan obat
dengan analisis VEN. Selain itu juga digunakan untuk penyusunan rencana
kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar selalu tersedia (Kemenkes
RI, 2019). Terdapat 3 kelompok dalam analisis ini, diantaranya:
1) Kelompok Vital (V): yaitu kelompok obat yang dapat menyelamatkan
jiwa.
2) Kelompok Esenesial (E): yaitu kelompok yang bekerja pada sumber
penyebab penyakit dan paling dibutuhkan pada pelayanan kesehatan,
seperti obat untuk mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar,
obat untuk pelayanan kesehatan pokok.
3) Kelompok Non Esensial (N): yaitu kelompok yang digunakan untuk
obat penunjang yaitu obat yang kerjanya ringan dan biasanya
digunakan untuk memberikan kenyamanan atau untuk mengatasi
keluhan ringan.
(Kemenkes RI, 2019).
Penyusunan daftar VEN harus dilakukan dengan menentukan
terlebih dahulu kriterian penentuan VEN oleh suatu tim, dimana dalam
menentukan kriteria harus mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan,
aspek klinis, target kondisi, biaya, dan konsumsi (Kemenkes RI, 2019).
b) Analisis ABC
Analisis ABC merupakan analisis yang mengelompokkan item
obat berdasarkan kebutuhan dana, yaitu:
 Kelompok A: yaitu kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah
dana obat secara keseluruhan.
 Kelompok B: yaitu kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20% dari jumlah
dana obat secara keseluruhan.
 Kelompok C: yaitu kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah
dana obat secara keseluruhan.
(Kemenkes RI, 2019).
Langkah-langkah dalam menentukan kelompok A, B, dan C yaitu:
1) Menghitung jumlah dana yang diperlukan dengan cara mengalikan
jumlah obat dengan harga obat
2) Menentukan tingkat dari yang dananya terbesar hingga terkecil
3) Menghitung persentase terhadap total dana yang diperlukan
4) Menghitung akumulasi persennya
5) Kelompok A untuk obat yang termasuk dalam akumulasi 70%
6) Kelompok B untuk obat yang termasuk dalam akumulasi >70% - 90%
(menyerap dana kurang lebih 20%)
7) Kelompok C untuk obat yang termasuk dalam akumulasi >90% -
100% (menyerap dana kurang lebih 10%).
c) Analisis Kombinasi
Analisis kombinasi digunakan untuk menetapkan prioritas untuk
pengadaan obat yang anggaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan.
Jenis obat yang termasuk kategori A dari analisis ABC adalah jenis obat
yang diperlukan untuk penanggulangan penyakit terbanyak, yang berarti
statusnya harus E dan sebgaian V dari VEN. Sebaliknya, jenis obat dengan
status N harusnya masuk kategori C. Mekanisme dari analisis ini yaitu:
 Kategori NA merupakan obat yang menjadi prioritas pertama untuk
dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan. Jika dana masih
kurang, maka obat dengan kategori NB menjadi prioritas selanjutnya
begitupun dengan obat kategori NC. Jika telah dilakukan pendekatan
ini dana yang tersedia masih kurang, maka perlu dilakukan langkah
selanjutnya.
 Langkah selanjutnya yaitu dimulai dengan pengurangan obat pada
kategori EA, EB, dan EC.
(Kemenkes RI, 2019).
A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC
Tabel 1. Analisis kombinasi perencanaan kebutuhan.

d) Revisi Daftar Obat


Revisi daftar obat dilakukan jika langkah-langkah pada analisis
ABC dan VEN sulit untuk dilakukan atau diperlukan tindakan cepat untuk
mengevaluasi daftar perencanaan. Akan tetapi, dalam melakukan langkah
ini perlu untuk mempertimbangkan kriteria obat atau merk dagang apa
yang ingin dikeluarkan dari daftar serta mempertimbangkan manfaat dari
aspek medik dan ekonomi dan juga berdampak positif untuk beban
penanganan stok di Rumah Sakit tersebut.
B. Pengadaan
1. Definisi dan Tujuan Pengadaan
Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa pengadaan merupakan
kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan.
Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu
yang tepat dengan harga yang terjangkan dan sesuai dengan standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari
pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan
dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan
spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan dan pembayaran. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yaitu:
a) Bahan baku obat harus disertai Sertifikat Analisa
b) Bahan berbahaya harus disertai Material Safety Data Sheets (MSDS)
c) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus
memiliki Nomor Izin Edar
d) Masa kadaluwarsa minimal 2 tahun kecuali untuk sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai tertentu atau pada kondisi
tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan.
2. Metode pengadaan
Terdapat beberapa metode pengadaan, diantaranya:
a) Pembelian
Pembelian yaitu suatu rangkaian proses pengadaan yang
bertujuan mendapatkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dari pemasok. Pengadaan diatur pada Peraturan
Presiden RI Nomor 94 Tahun 2007 tentang Pengendalian dan
Pengawasan atas Pengadaan dan Penyaluran Bahan Obat, Obat
Spesifik, dan Alat Kesehatan yang berfungsi sebagai Obat. Selain itu
juga terdapat regulasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang dan Jasa (Kemenkes RI, 2019).
Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah
sakit pemerintah dalam melakukan pembelian sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan ketentuan
pengadaan barang dan jasa yang berlaku. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada pembelian yaitu:
 Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah, dan waktu.
 Persyaratan pemasok.
 Kriteria sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu obat.
 Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Berdasarkan Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa proses
pengadaan diawali dengan melakukan review daftar obat sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang akan
diadakan, kemudian menentukan jumlah masing-masing item yang
akan dibeli, lalu menyesuaikan dengan kondisi keuangan, memilih
metode pengadaan yang akan dipakai, memilih distributor, membuat
syarat kontrak kerja, dan melakukan monitoring terkait pengiriman
barang, setelah barang datang dilakukan penerimaan barang dan
melakukan pembayaran, selanjutnya dilakukan penyimpanan dan
pendistribusian.
Metode pembelian pada pengadaan terdapat 4 metode, yaitu:
1) Tender terbuka, yaitu metode pembelian yang berlaku untuk
seluruh distributor yang terdaftar dan sesuai dengan kriteria yang
telah ditentukan. Kelebihan dari metode ini yaitu pada penentuan
harga metode ini lebih menguntungkan, sedangkan kekurangannya
yaitu memerlukan waktu yang lama, memerlukan staff yang kuat
serta memerlukan perhatian penuh.
2) Tender terbatas/lelang tertutup. Metode ini dilakukan hanya pada
distributor tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat yang
baik. Pada metode ini terkait penentuan harga masih dapat
dikendalikan. Tenaga dan beban kerja pada metode ini lebih ringan
dibandingkan dengan tender terbuka.
3) Pembelian langsung yaitu dilakukan untuk pembelian dengan
jumlah kecil, dan kebutuhan mendesak dan perlu segera untuk
tersedia, sehingga tentunya akan membuat harga pembelian relatif
lebih mahal.
4) Pembelian dengan tawar menawar dimana metode ini dilakukan
apabila item tersebut tidak begitu penting, tidak banyak dan
biasanya dilakukan pendekatan secara langsung untuk item
tertentu.
(Kemenkes RI, 2019).
Namun, pembelian obat untuk Rumah Sakit yang memiliki
pelayanan kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dilakukan
melalui E-Purchising berdasarkan obat yang terdapat pada E-Catalogue,
dimana hal ini telah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63
Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalog
Eleketronik (E-Catalogue), dimana sistem ini dapat langsung
dimanfaarkan tanpa melakukan proses pelelangan bagi seluruh fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL) dalam pengadaan obat
baik untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ataupun
program asuransi kesehatan lainnya. Rumah Sakit swasta yang
bekerjasama dengan BPJS juga dapat melaksanakan pengadaan obat
dengan sistem E-Catalogue sesuai dengan Permenkes Nomor 63 Tahun
2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik
(Kemenkes RI, 2019).
Apabila obat yang dibutuhkan tetapi tidak terdapat dalam daftar
E-catalogue, maka proses pengadaan dapat menggunakan metode
lainnya. Adapun tahapan pengadaan obat pada Rumah Sakit yang
melayani peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu:
1) Kepala Instalasi Farmaso menentukan Rencana Kebutuhan Obat
(RKO) untuk disampaikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) Satker Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTRL).
2) RKO discrining dan dilakukan klasifikasi untuk obat yang ada di E-
Catalogue dan yang tidak ada di E-Catalogue.
3) Obat yang terdapat pada E-Catalogue dapat langsung dilakukan
pemesanan dengan sistem E-Purchasing.
4) Dilakukan perjanjian/kontrak jual beli pada obat yang telah
disetujui dengan distributor yang ditentukan oleh penyedia
obat/industri farmasi.
5) Jika obat yang ada di E-Catalogue tidak dapat disediakan oleh
penyedia, maka pengadaan dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(Kemenkes RI, 2019).
b) Produksi sediaan farmasi
Produksi sediaan farmasi di Rumah Sakit meliputi kegiatan
membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi
steril dana tau non steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit. Berdasarkan Permenkes Nomor 72 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
menyebutkan bahwa Instalasi Farmasi dapat memproduksi sediaan
tertentu apabila:
 Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;
 Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;
 Sediaan Farmasi dengan formula khusus;
 Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
 Sediaan Farmasi untuk penelitian;
 Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat
baru (recenter paratus).
Jenis sediaan farmasi yang diproduksi yaitu:
1) Produksi non steril
Produksi non steril meliputi pembuatan puyer, pembuatan
salep, pembuatan kapsul, pembuatan sirup, pembuatan kapsul,
pengemasan kembali dan pengenceran. Produksi sediaan farmasi
non steril harus memenuhi perysaratan yang meliputi ruangan
khusus untuk pembuatan, peralatan peracikan, dan pengemasan
serta petugas yang terlatih (Kemenkes RI, 2019).
2) Produksi steril
Produksi steril yang dilakukan yaitu meliputi sediaan steril
seperti tulle/gauze dan pengemasan kembali (Kemenkes RI, 2019).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan produksi
sediaan farmasi yaitu harus akurat dalam identitas, kemurnian,
kekuatan, dan mutu. Selain itu, formula induk dan batch harus
terdokumentasi dengan baik termasuk hasil pengujian produk. Nomor
batch untuk setiap produk jadi harus diberikan pada setiap sediaan.
Peran Apoteker dalam kegiatan yaitu harus membuat sediaan farmasi
dengan potensi dan kemasan yang dibutuhkan untuk terapi optimal,
namun tidak tersedia di pasaran yang mana perlu memperhatikan
persyaratan stabilitas, kemasan, kecocokan rasa, dan pemberian etiket
pada setiap produk (Kemenkes RI, 2019).
c) Sumbangan/Dropping/Hibah
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai dari hibah/sumbangan dapat mengikuti kaidah umum pengelolaan
sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai reguler, dimana sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tersisa dapat
digunakan dalam menunjang pelayanan kesehatan pada saat keadaan
normal (Kemenkes RI, 2019). Terdapat 3 elemen penting yang harus
diperhatikan pada proses pengadaan, diantaranya:
1) Pengadaan yang dipilih jika tidak teliti maka akan menjadikan
biaya tinggi.
2) Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting untuk
menjaga pelaksanaan pengadaan dapat terjamin muntunnya seperti
sertifikat analisa, material safety data sheets untuk bahan
berbahaya dan certificate of origin untuk alat kesehatan, waktu dan
kelancaran bagi semua pihak.
3) Pemesanan barang dilakukan sesuai jenis, waktu, dan tempat.
(Kemenkes RI, 2019).
Pada proses pengadaan, juga perlu untuk memperhatikan jenis
obat dan bahan aktif yang memiliki masa kadaluwarsa yang relatif
pendek, sehingga perlu dihindari pengadaan dalam jumlah yang besar.
Pada proses pengadaan harus menjamin tata kelola sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang baik, sehingga
diperlukan:
 Mekanisme penyanggahan bagi peserta tender yang ditolak
penawarannya
 Prosedur yang transaparan
 Prosedur tetap untuk pemeriksaan rutin pengiriman
 SPO Pengadaan
 Kerangka acuan bagi panitia pengadaan selama masa tugasnya
 Pedoman tertulis terkait metode pengadaan bagi panitia
pengadaan
 Pernyataan dari anggota panitia pengadaan bahwa yang
bersangkutan tidak mempunyai konflik kepentingan
 Audit secara rutin pada proses pengadaan
 Pembatasan masa kerja anggota panitia
 Sistem yang efisien untuk memonitor post tender dan pelaporan
kinerja pemasok kepada panitia pengadaan
 Sistem manajemen informasi untuk melaporkan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermasalah
 Standar kompetensi bagi anggota panitia pengadaan yang harus
mempunyai Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa
 Kriteria tertentu untuk menjadi anggota panitia pengadaan yaitu:
integritas, rekam jejak yang baik, dan kredibilitas.
(Kemenkes RI, 2019).
Berdasarkan Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai sumbangan/dropping/hibah. Kegiatan
penerimaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen
administrasi yang lengkap dan jelas.
Selain itu Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit juga menyebutkan bahwa
jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah Sakit dengan tujuan
agar penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai dapat membantu pelayanan kesehatan. Instalasi Farmasi
dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit untuk
mengembalikan ataupun menolak sumbangan/dropping/hibah sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tidak
memiliki manfaat untuk kepentingan pasien di Rumah sakit tersebut.

PEMBAHASAN

1) Alur pengadaan di RSMS


Metode pengadaan yang dilakukan di RSMS sebagian besar yaitu
metode pembelian E-Purchasing untuk obat-obatan yang termasuk dalam
E-Catalogue, dimana RSMS merupakan Rumah Sakit yang bekerjasama
dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Personel yang
melakukan pembelian di RSMS adalah Unit Layanan Pengadaan
(ULP/Pejabat Pengadaan) dan PPKOM (Pejabat Pembuat Komitmen).
Alur pengadaan diawali dengan melakukan list sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah habis atau hampir
habis, dimana kegiatan ini dilakukan oleh Apoteker di logistik RSMS.
Selanjutnya, dilakukan pengajuan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai yang sudah habis atau hampir habis stoknya
kepada Kepala Instalasi Farmasi, yang mana harus melalui Kepala Bidang
Penunjang Medis terlebih dahulu, lalu Wakil Direktur Penunjang Medis
dan Pendidikan, Kepala Bagian Perencanaan, Kepala Bagian Keuangan,
Wakil Kepala Keuangan, hingga sampai ke Direktur.
Usulan perencanaan atau pembelian yang telah disetujui direktur,
didisposisikan ke PPKOM (Pejabat Pembuat Komitmen). PPKOM
mendisposisikan kepada Unit Layanan Pengadaan (ULP/Pejabat
Pengadaan) untuk melaksanakan pembelian sesuai aturan yang berlaku.
ULP skemudian akan mengirimkan Surat Pesanan secara E-Purchasing
kepada distributor dan selambat-lambatnya akan mendapat respon setelah
21 hari, lalu distributor akan mengirimkan pemberitahuan kepada ULP
yang menyatakan penerimaan atau penolakan terkait Surat Pesanan yang
dikirimkan.
2) Penanganan kekosongan obat di RSMS
Berdasarkan Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit
harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok obat yang
secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan obat saat Instalasi
Farmasi tutup. Adapun penanganan kekosongan obat di RSMS yaitu:
 Melakukan pengecekan perencanaan obat, jika perencanaan obat
belum dilakukan, maka segera dilakukan perencanaan obat yang
kosong. Namun, jika sudah dilakukan perencanaan obat yang
kosong, maka segera melakukan pembelian.
 Apabila pembelian belum dilakukan, maka segera dilakukan
pembelian ke distributor RSMS, namun jika sudah dilakukan
pembelian maka pihak gudang dapat menagih ke distributor
 Melakukan relokasi stok yaitu dengan cara memberikan stok di
satelit farmasi pada bangsal tertentu ke satelit farmasi pada bangsal
yang mengalami kekosongan obat tersebut.
 Melakukan komunikasi kepada Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) untuk menanyakan apakah obat tersebut dapat
disubtitusi dengan obat lain yang memiliki farmakologi yang sama.
 Apabila dokter tidak bersedia untuk disubtitusi dengan obat lain,
maka dilakukan pengadaan alternatif ke distributor dengan
memberikan catatan ‘CITO”
 Apabila distributor tidak dapat menyanggupi permintaan ‘CITO”
tersebut maka dapat melakukan pengadaan dengan cara membeli
obat pada hari yang sama ke mitra RS.

Anda mungkin juga menyukai