Anda di halaman 1dari 10

MODUL AJAR

“Kimia Hijau dalam Pembangunan


Berkelanjutan 2030”

ALOKASI WAKTU : 10 x 45
MENIT 5 KALI
PERTEMUAN

Disusun olej :
Drs. Adil Setiadji

SMA Avicenna Jagakarsa


Jakarta Selatan
PERTEMUAN

2
BAHAN BACAAN/REFERENSI
“PRINSIP KIMIA HIJAU DALAM MENDUKUNG UPAYA PELESTARIAN
LINGKUNGAN”

A. PRINSIP KIMIA HIJAU DALAM MENDUKUNG UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN


Kimia hijau bukan hanya terkait dengan penggunaan dan produksi bahan kimia yang
aman saja. Prinsip kimia hijau dapat Kalian terapkan sendiri di rumah. Bahan kimia apa saja
yang digunakan di rumah? Bagaimana cara Kalian menggunakannya? Bagaimana agar
penggunaan bahan kimia di rumah dapat memberikan kontribusi terhadap prinsip kimia hijau?
Menggunakan bahan kimia secukupnya, membuang bahan kimia pada tempatnya, menyimpan
bahan kimia dengan cara yang benar, mengganti bahan kimia yang berbahaya dengan bahan
alam yang lebih ramah lingkungan, serta menggunakan kembali bahan plastik merupakan
wujud kontribusi Kalian terhadap prinsip kimia hijau. Prinsip kimia hijau sangat memberikan
kontribusi terhadap pelestarian lingkungan.

Gambar 1. Hasil aktivitas penerapan Gambar 2. Bioplastik dari kulit pisang sebagai
penerapan prinsip prinsip kimia hijau kimia hijau

Pada tahun 1998, Paul Anastas bersama dengan John C. Warner mengembangkan
prinsip yang dijadikan sebagai pdanuan dalam praktik kimia hijau. Kedua belas prinsip tersebut
membahas berbagai cara untuk mengurangi dampak dari produksi bahan-bahan kimia
terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, serta juga menunjukkan prioritas penelitian
dalam pengembangan teknologi kimia hijau. Dua belas prinsip kimia hijau yang dikembangkan
oleh Paul Anastas dan John Warner, yaitu :
1. Mencegah terjadinya limbah lebih baik daripada mengolah dan membersihkannya Yaitu
bagaiamana kemampuan kimiawan untuk merancang ulang transformasi kimia untuk
meminimalkan produksi limbah berbahaya merupakan langkah pertama yang penting
dalam pencegahan polusi. Dengan mencegah generasi sampah, kita meminimalkan
bahaya yang berhubungan dengan limbah, transportasi, penyimpanan dan perawatan.

2. Ekonomi atom, metoda sintesis yang efisien


Sebuah konsep perancangan proses kimia yang bisa mengubah semaksimal mungkin
bahan baku menjadi produk target ketimbang menghasilkan senyawa sampingan (side
product). Metode sintetis seharusnya didesain untuk memaksimalkan penggabungan dari

4
semua bahan yang digunakan dalam proses menjadi produk akhir.
Pemanfaatan atom, efisiensi atom atau konsep ekonomi dari atom merupakan
sarana yang sangat berguna untuk mempercepat evaluasi jumlah limbah yang dihasilkan
pada proses alternatif. Efisiensi atom dihitung dari massa molekul produk dibagi dengan
jumlah total massa molekul senyawa yang terbentuk pada kondisi reaksi stoikiometrik
yang terlibat.
3. Melakukan sintesis kimia yang tidak berbahaya
Mendesain sintesa untuk digunakan dan menghasilkan zat kimia yang tidak atau
hanya sedikit menjadi racun bagi manusia dan lingkungannya. Memilih metode yang lebih
aman dikimia adalah seperti menggunakan obeng bukan pisau untuk mengencangkan
sekrup. Pisau mungkin mampu mengencangkan sekrup, tapi itu berbahaya.
Contoh dari konsep ini adalah penggantian reaksi klorinasi dalam pembentukan
intermediet 4-aminodifenilamina pada produksi karet dimana klorin merupakan senyawa
yang beracun, yang diganti dengan rekasi kopling langsung aniline dengan nitrobenzene
yang teraktifkan oleh basa. Hasil dari penggantian tersebut berupa limbah organic,
anorganik, dan air yang masing-masing 70%, 99%, dan 97% lebih kecil.

4. Mendesain senyawa kimia yang tak beracun


Produk kimia harus dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan fungsi sebagaimana
yang diinginkan dan memberikan toksisitas seminimal mungkin. Misalnya biosida ramah
lingkungan yang berbasis pada 4,5-dikloro-2-oktil-4-isotyiazolin-3-on yang dibuat oleh
Albright dan Wilson Americas sebagai pengganti biosida konvensional yang sangat beracun
pada organisme air dan manusia.

5. Pemakaian pelarut dan bahan-bahan yang aman


Pelarut sangat diperlukan dalam sebagian besar reaksi karena pelarut merupakan
media untuk campur, transfer panas, dan kadang mengontrol reaktifitas pereaksi.
Penggunakan pelarut biasanya mengarah ke produksi limbah. Oleh karena itu penurunan
volume pelarut atau bahkan penghapusan total pelarut akan lebih baik. Dalam kasus di
mana pelarut diperlukan, hendaknya perlu diperhatikan penggunaan pelarut yang cukup
aman. Kebanyakan pelarut bersifat mudah terbakar atau beracun, dan hamper semuanya
merupakan senyawa organic yang mudah menguap sehingga menyumbang pencemaran
udara.
Supercritical Carbon Dioxide adalah karbon dioksida (CO 2) yang berada dalam fase
cair (liquid phase), yang berada pada temperatur dan tekanan kritis yakni temperatur
lebih dari 31,1℃ dan tekanan 73,3 atm. Zat ini banyak dimanfaatkan sebagai pelarut
dalam industri oleh karena zat ini memiliki kandungan racun yang rendah dan tidak
memiliki dampak lingkungan yang berarti. Selain itu, rendahnya temperatur dari proses
dan stabilitas CO2 memungkinkannya berfungsi sebagai pelarut layaknya aqua distilata.

6. Mendesain pemakaian energi yang efisien


5
Kebutuhan energi yang berdampak pada lingkungan dan ekonomi harus diminimalkan. Jika
mungkin, metode sintetis dan pemurnian harus dirancang untuk suhu dan tekanan ruang,
sehingga biaya energi yang berkaitan dengan suhu dan tekanan ekstrim dapat
diminimalkan.

7. Pemakaian bahan baku yang dapat diperbaharui


Minyak bukan merupakan sumber daya terbarukan. Sebanyak 90% - 95% dari produk yang
kita gunakan (botol plastik, farmasi, cat, non-stick coating, kain, dll) berasal dari minyak.
Bahan baku terbarukan (jagung, kentang, biomassa) dapat digunakan untuk membuat
banyak Produk : bahan bakar (etanol dan bio-diesel), plastik dan lainnya.

8. Mengurangi senyawa turunan yang tak perlu


Derivatisasi yang tidak perlu (penggunaan kelompok blocking, proteksi / deproteksi,
modifikasi sementara proses fisika / proses kimia) harus dikurangi atau dihindari jika
mungkin, karena langkah-langkah seperti ini membutuhkan reagen tambahan dan dapat
menghasilkan limbah. Transformasi Sintetik yang lebih selektif akan menghilangkan atau
mengurangi kebutuhan untuk proteksi gugus fungsi. Selain itu, urutan sintetis alternatif
dapat menghilangkan kebutuhan untuk mengubah gugus fungsi dengan ada gugus fungis
lain yang lebih sensitif.

9. Pemakaian katalis sangat baik secara stoikiometris


Secara stoikiometri katalis dengan selektivitas yang tinggi memang lebih unggul dalam
reaksi. Katalis dapat memainkan beberapa peran dalam proses transformasi, antara lain
dapat meningkatkan selektivitas reaksi, mengurangi suhu transformasi, meningkatkan
tingkat konversi produk dan mengurangi limbah reagen (karena mereka tidak dikonsumsi
selama reaksi). Dengan mengurangi suhu, kita dapat menghemat energi dan berpotensi
menghindari reaksi samping yang tidak diinginkan.

10. Desain produk yang mudah terdegradasi


Produk kimia seharusnya didesain hingga pada akhir fungsinya nanti mereka dapat terurai
menjadi produk degradasi yang tidak berbahaya ketika mereka dilepaskan ke lingkungan.
Disinilah arti pentingnya sintesis material sehari-hari yang biodegradable, misalnya
biopolimer, plastik ramah lingkungan, dan lainnya.

11. Pencegahan polusi lingkungan


Metodologi analitis perlu lebih dikembangkan untuk memungkinkan real-time proses
monitoring dan kontrol sebelum pembentukan zat berbahaya. Waktu analisis riil untuk ahli
kimia adalah proses "memeriksa kemajuan reaksi kimia seperti yang terjadi.
12. Pencegahan terhadap kecelakaan
Salah satu cara untuk meminimalkan potensi kecelakaan kimia adalah memilih pereaksi
dan pelarut yang memperkecil potensi ledakan, kebakaran dan kecelakaan yang tak

6
disengaja. Risiko yang terkait dengan jenis kecelakaan ini kadang-kadang dapat dikurangi
dengan mengubah bentuk (padat, cair atau gas) atau komposisi dari reagen.

Prinsip-prinsip teknologi hijau didasarkan pada pengembangan Rekayasa Hijau (Green


Engineering) oleh Paul Anastas dan Julie Zimmerman. Prinsip-prinsip rekayasa ini menjelaskan
tentang proses atau produk kimia yang lebih hijau, dengan 12 prinsip (ACS, 2018b) sebagai
berikut :
1. Inherent Rather Than Circumstantial (Inheren daripada Sirkumtansial). Para perancang
harus memastikan input dan output bahan dan energi bersifat tidak berbahaya.
2. Prevention instead of Treatment (Pencegahan daripada Pengolahan). Lebih baik mencegah
limbah daripada mengolah atau membersihkan limbah setelah terbentuk.
3. Design for Separation (Desain untuk Pemisahan). Operasi pemisahan dan pemurnian harus
dirancang untuk meminimalkan konsumsi energi dan penggunaan bahan.
4. Maximize Efficiency (Memaksimalkan Efisiensi). Produk, proses, dan sistem harus
dirancang untuk memaksimalkan efisiensi pemakaian massa, energi, ruang, dan waktu.
5. Output-Pulled Versus Input-Pushed (Mengambil keluaran daripada Mendorong Masukan).
Produk, proses, dan sistem harus dilakukan dengan “mengambil output ” daripada
“memperbesar input” melalui penggunaan energi dan material.
6. Converse Complexity (Konservasi Kompleksitas). Entropi dan kompleksitas yang melekat
harus dilihat sebagai investasi pada saat membuat pilihan desain pada daur ulang,
penggunaan kembali, atau disposisi yang bermanfaat.
7. Durability Rather Than Immortality (Tahan lama Daripada Lekas rusak). Sasaran desain
ditujukan pada masa pakai produk tahan lama, bukan sekali pakai dan cepat rusak.
8. Meet Need, Minimize Excess (Memenuhi Kebutuhan, Meminimalkan Kelebihan). Desain
untuk kapasitas atau kemampuan yang tidak perlu harus dianggap sebagai cacat desain
(misalnya, “satu ukuran cocok untuk semua”).
9. Minimize Material Diversity (Meminimalkan Keragaman Material). Keragaman material
dalam produk multikomponen harus diminimalkan untuk memudahkan pembongkaran
dan pemrosesan kembali.
10. Integrate Material Flow dan Energy (Mengintegrasikan Aliran Bahan dan Energi). Desain
produk, proses, dan sistem harus mencakup integrasi dan interkoneksi dengan aliran
energi dan material yang tersedia.
11. Design for Commercial “Afterlife” (Desain untuk Komersial “Pascapakai”). Produk, proses,
dan sistem harus dirancang untuk kinerja komersial pascapakai.
12. Renewable Rather Than Depleting (Terbarukan Daripada Kelangkaan). Input material dan
energi harus dapat diperbarui daripada menggunakan sumber daya yang habis dan tak
terbarukan.

7
CONTOH PENERAPAN PRINSIP KIMIA HIJAU DALAM MENDUKUNG TERCAPAINYA KOTA CERDAS
(SMART CITY)

Visi Kota Cerdas/Smart City, adalah perkotaan masa depan, yang dikembangkan agar
memiliki lingkungan yang aman, terjamin, hijau serta efisien. Semua sistem dan strukturnya
– baik sumberdaya listrik dan gas, air, transportasi dan sebagainya dirancang, dibangun, dan
dikelola dengan memanfaatkan kemajuan di bidang materi terintegrasi, sensor, elektronik,
dan jejaring yang dihubungkan dengan sistem komputer untuk database, pelacakan, dan
algoritma untuk pengambilan keputusan (Calvillo, Sanchez-Miralles, & Viilar, 2016). Untuk
mewujudkan hal ini diperlukan penelitian dan teknologi dari berbagai bidang seperti Fisika,
Kimia, Biologi, Matematika, Ilmu Komputer, serta Teknik-teknik Sistem, Mekanika,
Elektronika dan Sipil (Woinaroschy, 2016).
Konsep kota cerdas diperkenalkan untuk mengusahakan tersedianya kehidupan
perkotaan yang baik bagi penduduknya melalui pengelolaan optimal berbagai sumberdaya
yang diperlukan. Konsep kota cerdas merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk
membuat perkotaan menjadi nyaman untuk kehidupan penduduknya dan siap menghadapi
berbagai tantangan yang mungkin muncul. Tahun 2008 para walikota di Eropa telah
menyepakati kebijakan- kebijakan pembangunan kota berkelanjutan, yaitu mencapai tujuan
20-20-20 (20% reduksi gas buang/emisi, 20% energi terbarukan, dan 20% peningkatan
efisiensi energi) pada tahun 2020 (Woinasroschy, 2016).
Kota cerdas digambarkan dengan atribut kecerdasan dalam hal bangunan,
infrastruktur, teknologi, energi, mobilitas, penduduk, administrasi, dan pendidikan (Albino,
Berardi, & Dangelico, 2015). Atribut-atribut itu secara terintegrasi diterapkan dalam
mengelola sumberdaya, mengendalikan tingkat polusi, dan mengalokasikan energi. Sebagai
penggiat pengembangan ekonomi terutama pada industri modern seperti elektronik,
teknologi informasi, bio dan nanoteknologi, yang memainkan peran penting pada struktur
dan pengelolaan kota cerdas, industri kimia yang menerapkan prinsip Kimia Hijau dapat
memainkan peranan penting pada evolusi berkelanjutan kota cerdas.
Untuk Indonesia, standar kota cerdas sedang dikembangkan, yang didasarkan pada
standar internasional (Prihadi, 2016). Smart City atau kota cerdas memiliki 6 (enam)
indikator yaitu smart governance, pemerintahan transparan, informatif, dan responsif;
smart economy, menumbuhkan produktivitas dengan kewirausahaan dan semangat inovasi;
smart people, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan fasilitas hidup layak; smart
mobility, penyediaan sistem transportasi dan infrastruktur; smart environment, manajemen
sumber daya alam yang ramah lingkungan; dan smart living, mewujudkan kota sehat dan
layak huni. Menurut Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Suhono
Harso Supangkat, yang juga adalah inisiator kota cerdas di Indonesia, kota-kota besar di
Indonesia sedang berusaha mencapai standar kota cerdas, yang saat ini baru tercapai pada
level 60. Belum sempurnanya kota cerdas di Indonesia, menurut beliau, karena belum
adanya sumber daya manusia yang mencukupi yang menguasai berbagai teknologi

8
pengeloaan kota cerdas dan belum adanya satu kesatuan soal standar nasional pengelolaan
kota cerdas.
Dari total 514 kabupaten atau kota di Indonesia, ada 50 yang ditargetkan oleh Dewan
Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) dapat memenuhi kriteria kota
cerdas (Windhi, 2016). Pemerintah juga menunjuk lima universitas untuk membuat kriteria
nasional dan melakukan sosialisai mengenai kota cerdas ini. Enam kriteria yang telah
didefinisikan sebelumnya juga menjadi pertimbangan tim Wantiknas ini. Indonesia telah
mencanangkan kriteria kota cerdas dengan menerbitkan Perpres Nomor 96 tahun 2014,
yang memuat Rencana Pita Lebar Indonesia atau RPI, yang diharapkan dapat bermanfaat,
terjangkau, dan memberdayakan warga kota (Windhi, 2016). Indonesia telah merencanakan
tercapainya prinsip kota cerdas yang layak huni, aman dan nyaman pada tahun 2025,
tercapainya kota hijau dan ketahanan terhadap perubahan iklim dan kejadian bencana pada
tahun 2035, dan terciptanya kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi pada
tahun 2045 (Barus, 2017).
Peranan Ilmu dan Teknologi Kimia dalam pembentukan kota cerdas, antara lain,
dengan diperkenalkannya konsep Kimia Hijau / Green Chemistry untuk pengelolaan
pembangunan berkelanjutan. Kimia Hijau / Green Chemistry, yang berfokus pada produksi
dan teknologi penerapan Ilmu Kimia yang ramah lingkungan, diperkenalkan pada awal
1990-an (Anastas & Warner, 1998). Kimia hijau ini merupakan pendekatan untuk mengatasi
masalah lingkungan baik dari segi bahan kimia yang dihasilkan, proses, ataupun tahapan
reaksi yang digunakan. Konsep ini menegaskan tentang suatu metode yang didasarkan pada
pengurangan penggunaan dan pembuatan bahan kimia berbahaya baik itu dari segi
perancangan maupun proses. Bahaya bahan kimia yang dimaksudkan dalam konsep Kimia
Hijau ini meliputi berbagai ancaman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, termasuk
toksisitas, bahaya fisik, perubahan iklim global, dan penipisan sumber daya alam.
Anastas dan Warner (1998) menguraikan tentang konsep Kimia Hijau sebagai
gabungan dari 12 prinsip. Prinsip pertama menggambarkan ide dasar dari Kimia Hijau, yaitu
pencegahan. Prinsip pertama ini menegaskan bahwa pencegahan limbah lebih diutamakan
daripada perlakuan terhadap limbah. Selanjutnya prinsip pertama ini diikuti oleh prinsip-
prinsip berikutnya yang memdanu pelaksanaan prinsip pertama. Prinsip-prinsip Kimia Hijau
yang dapat diterapkan untuk pembentukan dan pengelolaan kota cerdas, adalah atom
economy, penghindaran toksisitas, pemanfaatan solven dan media lainnya dengan
konsumsi energi seminimal mungkin, pemanfaatan bahan mentah dari sumber terbarukan,
serta penguraian produk kimia menjadi zat-zat nontoksik sederhana yang ramah lingkungan
(Dhage, 2013).
Definisi aspek pengelolaan kota cerdas adalah terdiri dari sistem pengelolaan air,
infrastruktur, transportasi, energi, pengelolaan limbah, dan konsumsi bahan mentah
(Albino, Berardi, & Dangelico, 2015). Dengan demikian Ilmu dan teknologi Kimia, melalui
pendekatan kimia hijau dapat membuat aspek-aspek ini dikembangkan dan dikelola dengan
lebih berkelanjutan, yaitu dengan menerapkan efisiensi energi dan anggaran yang lebih

9
efektif dan pemanfaatan materi yang ramah lingkungan. Selanjutnya uraian dalam artikel ini
akan membahas peranan Ilmu dan Teknologi Kimia Hijau pada masing-masing aspek yang
membangun kota cerdas.

B. GLOSARIUM

Atom ekonomi : Penghematan atom-atom yang bereaksi secara kimia untuk


mengurangi penggunaan bahan kimia.
Biodegradable : Mudah terurai secara biologis.
Bioplastik : Jenis plastik yang hampir keseluruhannya terbuat dari bahan yang
dapat diperbarui, seperti pati, minyak nabati, dan mikrobiota.
Degradasi : Terurainya senyawa kimia organik yang berlangsung melalui
tahap-tahap tertentu menjadi senyawa senyawa yang lebih
sederhana.
Kimia hijau : Pendekatan kimia yang bertujuan memaksimalkan efisiensi dan
meminimalkan pengaruh bahaya bagi Kesehatan manusia dan
lingkungan.
Rute sintesis : Tahapan dalam pembuatan suatu
senyawa Toksisitas : Tingkat kekuatan racun dari suatu zat
Vakum : Daerah gas dengan tekanan kurang dari 1 atm

C. DAFTAR PUSTAKA

Tjahjadarmawan, E. dkk. (2021). Ilmu Pengetahuan Alam SMA Kelas X. Jakarta : Pusat
Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Rakhmat, Putra. (2016). Prinsip-Prinsip Kimia Hijau. [Online]. Diakses :
https://greentech.undip.ac.id/scientech/ [09 Juli 2021]
Mustafa, Dina. ( ). Peranan Kimia Hijau (Green Chemistry ) dalam Mendukung Tercapainya
Kota Cerdas (Smart City). 167 – 170.
Manahan, Stanley. (2006). Green Chemistry dan the Ten Commdanments of Sustainability.
Columbia : ChemChar Research, I

10

Anda mungkin juga menyukai