Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MATA KULIAH ILMU HADIS

Sejarah penghimpunan hadis di masa nabi dan sahabat

Dosen pengampu:

Dr. Ainul yaqin, M. Hi

Disusun oleh :

Muhammad a’lal hikam

Al-ghajali

PROGRAM STUDI MENEJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS NURUL JADID

PAITON - PROBOLINGGO
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa karena dengan Rahmat dan
karunianya lah kami dapat menyelesaikan makalah Tentang “ Sejarah Pembinaan dan
Pehimpunan Hadits “

Makalah ini di susun berdasarkan informasi – informasi yang bersumber dari buku
bacaan dan sumber lainnya yang mendukung terselesaikannya Penyusunan Makalah ini.
Semoga Makalah ini bermanfaat bagi semua Pembaca, dan atas perhatiannya penulis ucapkan
sekian dan terima kasih.

Paiton, 19, juni 2023

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...…ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG....………........………………………………….................1
B. RUMUSAN MASALAH.........................................…………………………........1

BAB II : ISI

A. PERIODE NABI MUHAMMAD SAW…………………………………..............2


B. PERIODE KHULAFA’RASYIDIN........................................................................5
C. PERIODE TABI’IN.................................................................................................8
D. PERIODE TABI’TABI’IN......................................................................................10
E. PERIODE SETELAH TABI’IN..............................................................................12

BAB III : PENUTUP

A. SIMPULAN.............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................14
BAB I

PEMBUKAAN

A. LATAR BELAKANG
Hadits menurut etimologi(bahasa) berarti baru, cerita, berita dan perkataan.
Sedangkan menurut terminologi(pendapat) berarti segala ucapan, perbuatan atau
ketetapan dan karakter nabi Muhammad SAW setelah beliau diangkat menjadi nabi.
Hadits adalah pedoman hidup umat muslim di seluruh dunia. Tetapi hadist dilarang
dibaca saat ketika sholat dan membacanya tidak bernilai ibadah. Yang terpenting hadits
adalah untuk dipahami, dihayati dan diamalkan.
Dalam pembuatan sebuah hadits dipastikan ada sejarah pembinaan dan
penghimpunan hadist. Sejarah pembinaan adalah proses pertumbuhan dan perkembangan
dari masa kemasa. Dan penghimpunan hadits adalah masa pembukuan hadits.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah pembinaan dan penghimpunan hadits pada masa rasulullah saw?
2. Bagaimana sejarah pembinaan dan penghimpunan hadits pada masa sahabat ?
3. Bagaimana sejarah pembinaan dan penghimpunan hadits pada masa tabi’in?
4. Bagaimana sejarah pembinaan dan penghimpunan hadits pada masa kodifikasi
(tadwin hadits)
BAB II.
ISI
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan yang agak
lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Alquran. Hal ini wajar saja karena
Alquran pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya, sekalipun sangat sederhana, dan mulai
dibukukan pada masa Abu Bakar, Khalifah pertama dari Khulafa’ Ar-Rasyidin sekalipun dalam
penyempurnaannyadilakukan pada masa Utsman Bin Affan yang disebut dengan Tulisan
Utsmani (Khathth ‘Utsmani). Sedangkan penulisan hadis pada masa Nabi secara umum justru
malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke-2 Hijriyah dan
mengalami kejayaan pada abad ke-3 Hijriyah. Penghimpunan dan pengodifikasian hadis
mengalami proses perkembangan yang lamban, melibatkan banyak orang dari masa ke masa, dan
menghadapi kendala serta permasalahan yang banyak. Perkembangan penghimpunan dan
pengodifikasian hadis disini dibagi menjadi 5 periode, yaitu:

A. PERIODE NABI MUHAMMAD SAW (13 SH – 11 H)


1. Masa Pertumbuhan Hadis dan Cara Para Sahabat Memperolehnya
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan
bergaul dengan beliau secara bebas. Tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi
mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung
masuk ke rumah Nabi, ketika beliau tidak ada di rumah, dan berbicara dengan para
istri Nabi tanpa hijab. Nabi saw bergaul dengan mereka di rumah, di masjid, di pasar,
di jalan, di dalam safar dan di dalam hadhar.
Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para
sahabat. Segala aktivitas beliau seperti perkataan, perbuatan, dan segala keputusan
beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya,
karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di Majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu
menemani beliau.
Kerapkali para sahabat bertanya kepada para istri Nabi saw, tentang suatu hukum
yang berkaitan erat antara seseorang dengan istrinya karena para istri Rasul itu
mengetahui, bagaimana Nabi memperlakukan mereka. Terkadang mereka langsung
bertanya kepada Rasul dan dijelaskan oleh istri-istri beliau.

Proses terjadinya hadis menurut Ajaj Al-Khathib:


a) Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan
kemudian para sahabat sampaikan kepada sahabat lain.
b) Terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu problem
masalah kemudian bertanya kepada Rasulullah.
c) Segala amal perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan syari’ah
Islamiyah.

Faktor penyebab perhatian para sahabat kepada hadis atau sunnah Rasul menurut
Ulama, yaitu Nabi sebagai panutan yang baik (uswah hasanah) bagi umatnya,
kandungan beberapa ayat Alquran dan Hadis Rasulullah yang menganjurkan mereka
menuntut ilmu dan mengamalkannya, dan kesiapan mereka secara fithrah Arab yang
memiliki ingatan yang kuat untuk mengingat segala hal yang terjadi pada Rasulullah.

Para sahabat menerima hadis (syari’ah) dari Rasul saw, adakalanya secara:
a) Langsung, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada
sesuatu persoalan yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi saw menjawabnya,
ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan.
b) Tidak Langsung, yakni mereka menerima dari sesama sahabat yang telah
menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi jika
mereka sendiri malu untuk bertanya.
2. Para Sahabat tidak Sederajat dalam Mengetahui Keadaan Rasul
Semua sahabat, umumnya menerima hadis dari Nabi saw. Namun, dalam hal ini,
para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasul. Ada yang tinggal di
kota, di dusun, berniaga, bertukang. Ada yang sering berada di kota, ada pula yang
sering bepergian, ada yang terus menerus beribadat, tinggal di masjid tidak bekerja.
Nabi pun tidak selalu mengadakan ceramah terbuka. Kadang-kadang saja beliau
melakukan yang demikian.
Ceramah terbuka diberikan beliau hanya tiap-tiap hari Jum’at, hari raya dan
waktu-waktu yang tidak ditentukan, jika keadaan menghendaki.
3. Para Sahabat yang Banyak Menerima Pelajaran dari Nabi saw

Para sahabat yang banyak memperoleh pelajaran dari Nabi saw dapat dibedakan
menjadi kelompok sebagai berikut:

a) Yang mula-mula masuk Islam yang dinamai as-sabiqun al-awwalun.


b) Yang selalu barada di samping Nabi saw dan bersungguh-sungguh menghafalnya.
c) Yang hidupnya sesudah Nabi saw, dapat menerima hadis dari sesama sahabat.
d) Yang erat hubungannya dengan Nabi saw yaitu Ummahat al-Mu’minin, seperti
Aisyah dan Ummu Salamah.

Menurut catatan Adz-Dzahaby, ada 31 orang shahaby yang banyak meriwayatkan


hadis diantaranya Aisyah, Ummu Salamah, dan Khulafa’Rasyidin.

4. Sebab-sebab Hadis tidak Ditulis setiap kali Nabi saw Menyampaikannya


Hadis dan sunnah,walaupun sumber yang penting puladari sumber-sumber
tasyri’, tidak memperoleh perhatian yang demikian. Hadis dan sunnah tidak ditulis
secara resmi, tidak diperintahkan orang menulisnya sebagaimana perintah menuliskan
Al-Qur’an.
Boleh jadi, perbedaan-perbedaan perhatian dan tidak membukukan hadis
disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
a) Men-tadwin-kan (membukukan) ucapan, amalan, serta muamalah Nabi adalah
suatu hal yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus-
menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut di atas, padahal
orang-orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung.
b) Karena orang Arab itu disebabkan mereka tidak pandai menulis dan membaca
tulisan hanya kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang
mereka ingin menghafalnya.
c) Dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-
Qur’an dengan tidak sengaja.
5. Kedudukan Usaha Menulis Hadis di Masa Nabi saw
Ada riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai
shahifah (lembaran-lembaran) yang tertulis hadis. Mereka membukukan sebagian
hadis yang mereka dengar dari Rasulullah saw . seperti shahifah Abdullah ibn Amr
ibn Ash, yang dinamai “Ash-Shadiqah”.
6. Pembatalan Larangan Menulis Hadis
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis yang di-nasakh-
kan oleh Hadis Abu Said, di-mansukh-kan dengan izin yang datang sesudahnya.
B. PERIODE KHULAFA’RASYIDIN / MASA MEMBATASI RIWAYAT (12-98 H)
1. Sikap Sahabat terhadap Usaha Mengembangkan Hadis Sebelum dan Sesudah Nabi
saw Wafat
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat belum memikirkan
penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, karena banyak problem yang dihadapi,
diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga
banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar
dalam membukukan Al-Qur’an.
Nabi memerintahkan para sahabat supaya berhati-hati dan memeriksa benar-benar
suatu hadis yang hendak disampaikan kepada orang lain.
2. Hadis di Masa Abu Bakar dan Umar
Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan Hadis, tetapi digagalkan karena
khawatir terjadi fitnah di tangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Umar bi Al-Khattab juga pernah ingin mencoba menghimpunnya, tetapi dia
khawatir dalam pembukuan Hadis yakni tasyabbuh / menyerupai dengan ahli kitab,
yaitu Yahudi dan Nashrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya
dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab
Tuhan mereka. Umar khawatir umat Islam meninggalkan Alquran dan hanya
membaca Hadis. Jadi, Abu Bakar dan Umar tidak tidak berarti melarang
pengodifikasian Hadis, tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan
untuk itu.
Penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika benar-benar
diperlukan saja, yaitu ketika umat Islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum.

Kedua khalifah di atas menerima hadis dari orang perorang dengan syarat disertai
saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika disertai dengan
sumpah disamping saksi. Oleh karena itu, pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin ini disebut
sebagai masa pembatasan periwayatan (taqlil ar-riwayah).
3. Cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis
a) Adakalanya dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi
yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b) Adakalanya dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan
lafalnya, karena lafalnya yang asli lagi dari Nabi.
4. Lafal-lafal yang Dipakai Sahabat dalam Meriwayatkan Hadis dan Derajatnya
a) Derajat pertama, dialah yang paling kuat ialah seoranh shahaby berkata, “Sami’tu
Rasulullahi yaqulu kadza... (saya dengar Rasul berkata begini...)”, atau
“Akhbarani... (mengabarkan kepadaku....)”, atau “Haddatsani... (menceritakan
kepadaku...)”, atau “Syafahani... (berbicara di hadapanku....)”
Inilah bunyi riwayat yang terpokok dalam menyampaikan hadis. Riwayat yang
serupa ini, tidak memungkinkan kita memahamkan bahwa sahabat itu tidak
mendengar sendiri.
b) Derajat kedua ialah seorang shahaby berkata, bersabda Rasul saw begini, atau
mengabarkan Rasul saw begini, atau menceritakan Rasul saw begini.
Riwayat ini zhahirnya, sahabat tersebut mendengar sendiri. Tetapi tidak tegas
benar mendengar sendiri.
c) Derajat ketiga ialah seorang shahaby berkata, “Rasu saw menyuruh begini, atau
menegah (melarang) ini...” Ini dihukumi marfu’ menurut mazhab Jumhur.
Ada 3 kemungkinan mengenai hal ini:
1. Mungkin tidak didengar sendiri perintah tersebut.
2. Mungkin perkataan “menyuruh” itu berdasarkan pemahamannya saja.
3. Tentang umum dan khususnya.
d) Derajat keempat ialah seorang shahaby berkata, “Kami diperintahkan begini, atau
kam’i dilarang begini....”
Ini menerima ketiga kemungkinan (ihtimal) yang telah diterangkan dan menerima
kemungkinan yang keempat, yaitu tentang menyuruh, mungkin Nabi saw,
mungkin orang lain.

e) Derajat kelima ialah seorang shahaby berkata, “Kami para sahabat berbuat
begini....” Maka jika disandarkan kepada zaman Rasul, memberi pengertian
boleh.
5. Ketelitian Para Sahabat dalam Menerima Hadis dari Sesama Sahabat
Sahabat sangat berhati-hati dalam menerima Hadis. Mereka tidak menerimanya
dari siapa saja. Mereka mengetahui ada Hadis yang menghalalkan dan ada Hadis
yang mengharamkan dengan jalan “yakin” atau zhan yang kuat. Karena itu mereka
memperhatikan rawi atau marwi. Mereka tidak membanyakkan penerimaan Hadis,
sebagaimana tidak pula membanyakkan riwayat.
6. Hadis di Masa Utsman dan Ali
Ketika kendali pemerintahan dipegang oleh Utsman dan dibuka pintu perlawatan
kepada para sahabat, umat mulai memerlukan keberadaan sahabat, terutama sahabat-
sahabat kecil. Sahabat-sahabat kecil kemudian bergerak mengumpulkan Hadis dari
sahabat-sahabat besar dan mulailah mereka meninggalkan tempat kediamannya untuk
mencari Hadis.
Pada masa Ali, timbul perpecahan dikalangan umat Islam akibat konflik politik
antara pendukung Ali dan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi 3 golongan,
yaitu sebagai berikut:
a) Khawarij (golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian dua
kelompok yang bertikai), yaitu kelompok ini semula mendukung Ali,
kemudian mereka keluar karena Ali menyetujui perdamaian.
b) Syi’ah, pendukung setia Ali.
c) Jumhur muslimin, yaitu di antara mereka ada yang mendukung pemerintahan
Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral.
7. Sebab-sebab Para Sahabat tidak Membukukan Hadis dan Mengumpulkannya dalam
Sebuah Buku
Para sahabat tidak mengumpulkan Sunnah-sunnah Rasulullah dalam sebuah
mushaf sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Qur’an, karena sunnah –sunnah
itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dihafal dari yang tidak.
Karena itu, ahli-ahli sunnah menyerahkan perihal penukilan Hadis kepada hafalan-
hafalan mereka saja, tidak seperti halnya Al-Qur’an, mereka tidak menyerahkan
penukilannya secara demikian.”

Ada 6 orang di antara Sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan Hadis, yaitu
sebagai berikut:
a) Abu Hurairah, sebanyak 5.374 buah hadis.
b) Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab, sebanyak 2.635 buah hadis.
c) Anas bin Malik, sebanyak 2.286 buah hadis.
d) Aisyah Ummi Al-Mukminin, sebanyak 2.210 buah hadis.
e) Abdullah bin Abbas, sebanyak 1.660 buah hadis.
f) Jabir bin Abdullah, sebanyak 1.540 buah hadis.
C. PERIODE TABI’IN (MASA PENGODIFIKASIAN HADIS)
1. Masa Keseimbangan dan Meluas Periwayatan Hadis
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari
dan menghafal hadis serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan
perlawatan-perlawatan untuk mencari hadis.
Pada tahun 17 H, tentara Islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H,
mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H, mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H, tentara
Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H, tentara Islam menaklukan Spanyol.
Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudian menjadi
“perguruan” tempat mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis yang menghasilkan
sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang Hadis.
2. Lawatan Para Sahabat untuk Mencari Hadis
Dalam fase ini, Hadis mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan
terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’in mulai memberikan perhatian yang
sempurna kepada para sahabat Para tabi’in berusaha menjumpai para sahabat ke
tempat-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan mereka sebelum mereka
berpulang ke Ar-Rafiq al-A’la (sebelum meninggal). Demikian pula berita tentang
kunjungan seorang shahaby ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian para tabi’in.
Ketika mengetahui kedatangan seorang shahaby, mereka berkumpul disekitarnya
untuk menerima Hadis yang ada pada shahaby tersebut.

3. Jasa Umar bin Abdul Aziz terhadap As-Sunnah pada Masa Tabi’in
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1 H
menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan Hadis, karena beliau
khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik dikalangan
sahabat atau tabi’in, maka beliau intruksikan kepada para gubernur di seluruh negeri
islam agar para ulama’ dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan Hadis.
Para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Az-Zuhri adalah orang yang
pertama yang mengodifikasikan Hadis pada awal tahun 100 H di bawah khalifah
Umar bin Abdul Aziz.
Kemudian aktivitas penghimpunan dan pengodifikasikan Hadis tersebut di negeri
islam pada abad ke-2 H. Penghimpunan Hadis pada abad ini masih bercampur dengan
perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya
yang masih berbentuk lembaran-lembaran yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi
kedalam beberapa bab secara tertib.
Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
a) Al-Muwaththa’, yang ditulis oleh Imam Malik.
b) Al-Musshannaf, oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c) As-Sunnah, ditulis oleh Abdul bin Mansur.
4. Mulai Timbul Pemalsuan Hadis
Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ini ialah muncul orang-orang yang
membuat hadis-hadis palsu. Hal itu terjadi setelah Ali wafat.
Tahun 40 H merupakan batas yang memisahkan antara masa terlepas hadis dari
pemalsuan, dengan masa mulai munculnya pemalsuan hadis. Sejak dari timbul fitnah
di akhir masa Utsman, umat Islam pecah menjadi beberapa golongan, yaitu golongan
syiah, khowarij, dan jumhur.
Dengan terpecahnya umat Islam tersebut, menyebabkan masing-masing mereka
didorong oleh keperluan dan kepentingan golongan untuk mendatangkan keterangan-
keterangan yang diperlukan oleh golongan, maka bertindaklah mereka membuat
hadis-hadis palsudan menyebarkannya ke masyarakat.
Mulai saat itu terdapatlah diantaranya riwayat-riwayat yang shohih dan riwayat-
riwayat palsu, yang kian hari bertambah banyak dan beraneka ragam.

Mula-mula mereka memalsukan hadis-hadis mengenai pribadi-pribadi orang yang


mereka agungkan. Orang-orang yang pertama membuat hadis palsu ialah golongan
syiah. Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah Irak tempat kaum syiah
berpusat pada waktu itu. Selain faktor konflik politik, dalam perkembangan
selanjutnya ada beberapa hal yang turut mendorong semakin meluasnya hadis palsu.
Diantara beberapa faktor tersebut adalah:
a) Kafir Zindik, yaitu mereka yang berpura-pura Islam tetapi sesungguhnya
mereka adalah kafir dan munafik yang sebenarnya.
b) Satu kaum yang memalsukan Hadis karena mengikuti hawa nafsu dan
mendekatkan diri kepada penguasa.
c) Qashas (tukang-tukang cerita)
d) Satu kaum yang memalsukan hadis-hadis untuk tujuan yang menguntungkan
dirinya.
e) Fanatisme golongan, jenis, negeri, dan lainnya.
f) Semakin terpecah-pecahnya Umat Islam dalam golongan-golongan yang
beraneka ragam.

Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang awam.
Mereka juga membuat hadis palsu untuk mengimbangi hadsi-hadis palsu yang dibuat
golongan syiah itu. Demikian pula golongan khawarij, juga membuat hadis-hadis palsu
dalam rangka mempertahankan golongannya.
Dengan demikian meluaslah riwayat-riwayat hadis palsu dikalangan masyarakat
Islam saat itu. Keadaan yang demikian itu menggugah para ulama untuk menyeleksi dan
menyaring mana diantara hadis yang shohih dan mana diantara hadis yang palsu.
Sehingga lahirlah Ilmu mustholah hadits.

D. PERIODE TABI’TABI’IN (Masa Kodifikasi dan Penyaringan Hadis)


Periode tabi’tabi’in, artinya periode pengikut tabi’in, yaitu pada abad ke- 3 H
yang disebut ulama dahulu/ salaf/ mutaqaddimin. Sedangkan ulama pada abad
berikutnya, abad ke- 4 H dan setelahnya disebut ulama belakangan/ khalaf/ muta’akhirin.
Pada periode abad ke- 3 H ini disebut Masa Kejayaan Sunnah atau disebut Masa
Keemasan Sunnah, karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta
pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa.
Seolah-olah pada periode ini seluruh hadis telah terhimpun semuanya dan pada
abad berikutnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Maka lahirlah Buku
Induk Hadis Enam (Ummahat Kutub As-Sittah), yaitu buku hadis Sunan, Al-Jami’ Ash-
Shahih yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadis Musnad.
Periode ini, masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa
ini ulama hadis telah berhasil memisahkan hadis Nabi dari yang bukan hadis atau dari
hadis Nabi dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan
filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah
dapat dipisahkan mana hadis yang shahih dan mana yang bukan shahih. Seolah-olah pada
abad ini hampir seluruh hadis telah terhimpun ke dalam buku, hanya sebagian kecil saja
dari hadis yang belum terhimpun. Dan yang pertama kali berhasil membukukan hadis
shahih adalah Al-Bukhari, kemudian disusul Imam Muslim. Oleh karena itu, pada
periode ini juga disebut masa Kodifikasi dan Filterisasi (Ashr Al-jami’ wa At-Tashhih).
Pada masa ini juga lahir para huffadz dan para pembesar kritikus hadis sekalipun
menghadapi fitnah dan ujian (mihnah) dari kaum Mu’tazilah seperti Ahmad bin Hanbal,
Ishaq bin Rahawaih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Muslim, Abu
Abdullah Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj, Abu Zar’ah, dan lain-lain. Untuk menjawab
tantangan dari ahli Kalam yang menyerang matan dan sanad hadis dengan cercaan bahwa
hadis tidak layak dijadikan hujah dalam Islam, karena saling kontra antara satu dengan
yang lain, Ibnu Qutaibah (w. 234 H) menulis sebuah buku yang berjudul Ta’wil
Mukhtalif Al-Hadits sebagai jawabannya.
Sebagian Ulama pada periode ini juga ada yang mengodifikasikan hadis
berdasarkan nama periwayat para sahabat yang diperolehnya yang disebut dengan bentuk
Musnad, seperti:
1) Musnad Abu Dawud, Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi (w. 204 H);
2) Musnad Abu Bakar, Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (w. 219 H);
3) Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal(w. 211 H);
4) Musnad Abu Bakar, Ahmad bin Amar Al-Bazzar (w. 292 H);
5) Musnad Abi Ya’la, Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (w. 307 H).

Perkembangan pembukuan hadis pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu sebagai
berikut.

1) Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa


memperhatikan masalah atau topiknya, tidak per bab seperti fiqh dan kualitas
hadisnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Kitab hadis yang disusun secara
musnad ini misalnya, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dan
Musnad Ahmad bin Rahawaih (161-238 H).
2) Al-Jami’, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan
masalah, yaitu aqa’id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir,
tarikh, dan sejarah, sifat-sifat akhlak (syama’il), fitnah (fitan), dan sejarah
(manaqib).
3) Sunan, yaitu penghimpunan hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab memuat
beberapa hadis dalam satu topik.
E. PERIODE SETELAH TABI’IN
Pada masa abad ini disebut Penghimpunan dan Penertiban. Ulama yang hidup
pada abad ke- 4 H dan berikutnya disebut Ulama muta’akhirin atau khalaf, sedangkan
yang hidup sebelum abad ke- 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau ulama salaf.
Pada abad ini dan berikutnya tidak banyak penambahan Hadis.
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Pada masa Rasulullah hadis disampaikan melalui majlis-majlis yang berada pada
pusat pembinaan ataupun yang lain. Namun, Rasul melarang untuk membukukan
Hadis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an. Begitu juga pada
masa sahabat perbedaannya pada masa sahabat Hadis digunakan hanya kepada
yang memerlukan saja dan pada saat perlu. Berebeda lagi pada masa tabi’in
walaupun sama-sama pada masa ini Hadis belum dibukukan, tetapi telah banyak
periwayatan Hadis hingga meluas. Walaupun semuanya disampaikan dari mulut
ke mulut, akan tetapi pada kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz dari Bani
Umayyah, beliau telah mengintruksikan kepada pejabat daerah untuk
mengumpulkan Hadis dari hafalan-hafalannya. Beliau mengintruksikan kepada
Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm untuk mengumpulkan Hadis.

Anda mungkin juga menyukai