Anda di halaman 1dari 125

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SABUK HIJAU DI

KAWASAN WADUK SERBAGUNA WONOGIRI

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister


Program Studi Ilmu Lingkungan

Oleh
Imah Solikhatun
A131708005

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SABUK HIJAU DI
KAWASAN WADUK SERBAGUNA WONOGIRI

TESIS

Oleh
Imah Solikhatun
NIM. A131708005

Tanda
Komisi
Nama Tangan Tanggal
Pembimbing
29 Juni 2021
Pembimbing 1 Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, M.Si .................. ....................
NIP. 195912051985032001

16 Juli 2021
Pembimbing 2 Prof. Dr. Maridi, M.Pd. .................. ....................
NIP. 1950072420200801 .

Telah dinyatakan memenuhi syarat


Pada Tanggal 16 juli 2021

Kepala Program Studi S2 Ilmu Lingkungan


Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, M.Si


NIP. 195912051985032001
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SABUK HIJAU DI
KAWASAN WADUK SERBAGUNA WONOGIRI

TESIS
Telah dipertahankan didepan penguji dan telah memenuhi syarat
Pada Tanggal 2021
Oleh
Imah Solikhatun
NIM. A131708005

Tanda
Jabatan Nama Tanggal
Tangan

Ketua .................. ..................

Sekretaris .................. ..................

Anggota Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, M.Si .................. ....................
Penguji NIP. 195912051985032001

Anggota Prof. Dr. Maridi, M.Pd. .................. ....................


Penguji NIP. 1950072420200801 .

Mengetahui,
Dekan Kepala Program Studi S2 Ilmu Lingkungan
Sekolah Pascasarjana UNS Sekolah Pascasarjana UNS

Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, M.Si
NIP. 196008091986121001 NIP. 195912051985032001
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS DAN PERSYARATAN PUBLIKASI

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:


1. Tesis yang berjudul: “Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sabuk Hijau di
Kawasan Waduk Serbaguna Wonogiri ” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan
tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh
gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dengan acuan yang disebutkan
sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar pustaka. Apabila ternyata
didalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur plagiasi, maka saya
bersedia menerima sanksi, baik tesis serta gelar magister saya dibatalkan serta
diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal
atau forum ilmiah harus menyertakan tim promtor sebagai author (penulis) dan PPs
UNS sebagai institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan
publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanki akademik yang berlaku.

Surakarta, Juni 2021


Mahasiswa,

Imah Solikhatun
A131708005
IMAH SOLIKHATUN. A131708005. 2021. Peran Serta Masyarakat dalam
Pengelolaan Sabuk Hijau di Kawasan Waduk Serbaguna Wonogiri. Dibimbing oleh
MTh. Sri Budiastuti dan Maridi
ABSTRAK
Sabuk hijau mempunyai peran penting dalam menjaga keberlangsungan fungsi waduk.
Adanya alih fungsi lahan khususnya di area sabuk hijau menyebabkan fungsi waduk
menjadi terganggu. Kondisi ini harus segera diatasi dengan upaya pengelolaan Kawasan
sabuk hijau. Peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengelola kawasan sabuk
hijau agar fungsi waduk berjalan dengan baik. Strategi pengelolaan kawasan sabuk hijau
perlu dirumuskan dengan mengutamakan peran serta masyarakat sebagai pemangku
kepentingan sekaligus pemelihara keberlanjutan fungsi waduk. Tujuan penelitian adalah
mengidentifikasi kondisi vegetasi di kawasan sabuk hijau, mengidentifikasi faktor
penyebab kerusakan di kawasan sabuk hijau, dan mengevaluasi peran serta masyarakat
dalam merumuskan strategi pengelolaan kawasan sabuk hijau. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriftif kualitatif dan kuantitatif dengan metode survai. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Januari-Maret 2019, dengan penentuan titik sampling vegetasi dan
penentuan responden menggunakan pendekatan purposive sampling. Pengamatan
vegetasi menggunakan metode kuadran garis petak contoh (transect line plot).
Identifikasi faktor lingkungan diambil dari data sekunder, sedangkan factor social atau
manusia dan evaluasi tentang peran serta masyarakat diambil menggunakan kuisioner
dan wawancara mendalam. Strategi pengelolaan Kawasan sabuk hijau menggunakan
analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan kondisi eksisting sabuk hijau saat ini
adalah kurang baik, dibuktikan dengan kondisi keanekaragaman vegetasi sebesar 1,7;
1,15; 1,24 dan 1,24 untuk pohon, tiang, pancang dan semai. Indeks nilai penting
tertinggi ditemukan pada tanaman jati (Tectona grandis), dan untuk tingkat pohon,
tiang, pancang, semai masing-masing sebesar 119,67; 176,36; 128,98 dan 142,08.
Factor yang mempengaruhi kerusakan kawasan sabuk hijau adalah manusia atau factor
social yang dilihat dari sikap masyarakat. Masyarakat mengakui bahwa penyebab utama
kerusakan adalah factor manusia namun berdalih untuk tetap memanfaatkan Kawasan
sabuk hijau sebagai lahan untuk pertanian. Hal ini mengancam potensi Kawasan sabuk
hijau sebagai penjaga keberlanjutan fungsi waduk. Evaluasi terhadap peran serta
masyarakat dalam pengelolaan sabuk hijau menunjukkan kategori rendah (77,33%). Hal
tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat belum aktif dalam kegiatan pengelolaan
Kawasan sabuk hijau. Oleh karena itu, peran serta masyarakat harus ditingkatkan
Strategi pengelolaan sabuk hijau yang direkomendasikan adalah a) membentuk kawasan
ekowisata di area sabuk hijau untuk mengatasi masalah ekonomi dan mencegah alih
fungsi lahan oleh masyarakat. b) meningkatkan peran serta masyarakat dengan
memberdayakan masyarakat usia produktif. c) mengadakan sosialisasi dan
pembelajaran pada masyarakat tentang fungsi Kawasan sabuk hijau sehingga
masyarakat semakin menyadari arti penting menjaga Kawasan tersebut. Strategi ini
menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan sabuk hijau WGM.

Kata Kunci : Sabuk hijau, peran serta, pengelolaan, strategi pengelolaan , Waduk
Serbaguna Wonogiri (WGM)
IMAH SOLIKHATUN. A131708005. 2021. Community Participation in the
Management of The Greenbelt at Wonogiri Multipurpose Reservoir Area. Dibimbing
oleh MTh. Sri Budiastuti dan Maridi

ABSTRACT
The green belt has an important role in maintaining the sustainability of reservoir
functions. The existence of land use change, especially in the green belt area, causes the
function of the reservoir to be disrupted. This condition must be immediately addressed
with efforts to manage the green belt area. Community participation is needed to
manage the green belt area so that the function of the reservoir runs well. The green belt
area management strategy needs to be formulated by prioritizing the participation of the
community as stakeholders as well as maintaining the sustainability of the reservoir
function. The objectives of the study were to identify the condition of vegetation in the
green belt area, identify the factors causing the damage in the green belt area, and
evaluate community participation in formulating a green belt area management strategy.
This research is descriptive qualitative and quantitative research with survey method.
This research was conducted in January-March 2019, by determining the vegetation
sampling point and determining the respondents using a purposive sampling approach.
Vegetation observation using the transect line plot method. Identification of
environmental factors was taken from secondary data, while social or human factors and
evaluation of community participation were taken using questionnaires and in-depth
interviews. The green belt area management strategy uses a SWOT analysis. The results
showed that the existing condition of the green belt was not good, as evidenced by the
condition of vegetation diversity of 1.7; 1.15; 1.24 and 1.24 for trees, poles, saplings
and seedlings. The highest important value index was found in teak (Tectona grandis),
and for tree, pole, sapling, and seedling levels, they were 119.67; 176.36; 128.98 and
142.08. Factors that affect the damage to the green belt area are human or social factors
seen from the attitude of the community. The community recognizes that the main cause
of damage is the human factor but argues to continue to use the green belt area as land
for agriculture. This threatens the potential of the green belt area as a guardian of the
sustainability of the reservoir function. Evaluation of community participation in green
belt management shows a low category (77.33%). This indicates that the community has
not been active in the management of the green belt area. Therefore, community
participation must be increased. The recommended green belt management strategy is to
a) establish an ecotourism area in the green belt area to overcome economic problems
and prevent land conversion by the community. b) increasing community participation
by empowering people of productive age. c) conduct socialization and learning to the
community about the function of the green belt area so that the community is
increasingly aware of the importance of protecting the area. This strategy focuses on
empowering the community around the WGM green belt area.
Keywords: Green belt, participation, management, management strategy, Wonogiri
Multipurpose Reservoir (WGM)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat segala
karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Dalam penyusunan tesis
ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Drs. M. Sutarno, M.Sc., Ph.D., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Ilmu
Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan selaku
Pembimbing I yang dengan sabar membimbing dan mengarahkan hingga
selesainya penulisan tesis ini
3. Prof. Dr. Maridi, M.Pd., selaku Pembimbing II yang dengan sabar membimbing
dan mengarahkan dan membimbing hingga selesainya penyusunan tesis ini.
4. Ayah dan Ibu yang saya hormati, semuanya tidak henti-hentinya mengirimkan
Do’a hingga penulis tetap tegar dan tidak kenal putus asa.
5. Teman-teman mahasiswa seperjuangan Prodi Ilmu Lingkungan Universitas
Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2017.
Semoga semua bantuannya mendapat balasan yang sesuai dari-Nya. Harapan
penulis semoga hasil dari penelitian pada tesis ini bermanfaat untuk semua orang.
Surakarta, Juni 2021
Penulis

Imah Solikhatun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS DAN PERSYARATAN PUBLIKASI iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
ABSTRAC .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Kebaruan Penelitian .......................................................................... 3
C. Rumusan Masalah ............................................................................. 4
D. Tujuan ............................................................................................... 4
E. Manfaat ............................................................................................. 5
BAB II. LANDASAN TEORI ...................................................................... 6
A. Tinjauan Pustaka................................................................................ 6
1. Sabuk Hijau WGM ..................................................................... 6
2. Pengelolaan Sabuk Hijau Waduk ................................................ 7
3. Peran Serta Masyarakat ............................................................... 9
4. Asas Lingkungan ........................................................................ 11
B. Kerangka Pemikiran........................................................................... 12
BAB III. METODE PENELITIAN............................................................... 14
A. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................ 14
B. Bahan dan Alat Penelitian ................................................................. 16
C. Jenis Penelitian .................................................................................. 16
D. Tata Laksana Penelitian .................................................................... 17
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 32
A. Hasil Penelitian ................................................................................. 32
1. Deskripsi umum lokasi penelitian ............................................... 32
2. Kondisi eksisting kawasan sabuk hijau ....................................... 35
3. Factor penyebab kerusakan sabuk hijau ..................................... 40
4. Peran serta masyarakat dalam mengelola kawasan sabuk hijau. . 50
5. Strategi rekomendasi pengelolaan sabuk hijau ........................... 54
B. Pembahasan Umum .......................................................................... 62
C. Nilai-Nilai Kebaruan ......................................................................... 67
D. Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 69
A. Kesimpulan ....................................................................................... 69
B. Saran ................................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 71
Daftar Tabel
Tabel 1. Kebaruan penelitian.........................................................................................3
Tabel 2. Jadwal Penelitian............................................................................................15
Tabel 3. Hasil uji validasi pengetahuan masyarakat terhadap sabuk hijau...................24
Tabel 4. Hasil uji validasi sikap masyarakat terhadap sabuk hijau...............................24
Tabel 5. Hasil uji validasi sikap masyarakat terhadap pengelolaan sabuk hijau...........24
Tabel 6. Hasil uji validasi kecenderungan bersikap masyarakat terhadap sabuk hijau. 24
Tabel 7. Hasil uji reliabilitas........................................................................................25
Tabel 8. Hasil uji validasi peran serta masyarakat terhadap pengelolaan.....................28
Tabel 9. Matrik SWOT................................................................................................31
Tabel 10. Rincian luasan sabuk hijau setiap kecamatan...............................................33
Tabel 11. Jumlah kepala keluarga berdasarkan jenis kelamin......................................34
Tabel 12. Jumlah kepala keluarga berdasarkan umur...................................................34
Table 13. Jumlah kepala keluarga berdasarkan pendidikan..........................................35
Table 14. Jumlah kepala keluarga berdasarkan mata pencaharian................................35
Table 15. Nilai kerapatan masing-masing strata pohon................................................36
Table 16. Nilai frekuensi masing-masing strata pohon.................................................37
Table 17. Nilai dominansi masing-masing strata pohon...............................................37
Tabel 18. Nilai INP dan indeks keanekaragaman vegetasi pohon................................38
Tabel 19. Analisis vegetasi penutup lantai...................................................................39
Tabel 20. Faktor lingkungan di lima kecamatan...........................................................41
Tabel 21. Pengetahuan masyarakat tentang sabuk hijau dan dampak pemanfaatannya
(kognitif)......................................................................................................................42
Tabel 22. Skor pengetahuan masyarakat tentang sabuk hijau dan dampak pemanfaatannya
(kognitif)......................................................................................................................44
Tabel 23. Perasaan (afektif) masyarakat terhadap manfaat keberadaan kawasan sabuk hijau
WGM...........................................................................................................................45
Tabel 24. Skor perasaan (afektif) masyarakat terhadap keberadaan kawasan sabuk hijau
WGM...........................................................................................................................46
Tabel 25. Perasaan (afektif) masyarakat terhadap pengelolaan kawasan sabuk hijau WGM.
.....................................................................................................................................47
Tabel 26. Perasaan (afektif) masyarakat terhadap adanya pengelolaan kawasan sabuk hijau
WGM...........................................................................................................................48
Tabel 27. Kecenderungan bersikap (perilaku) masyarakat terhadap keberlanjutan kawasan
sabuk hijau WGM (konatif).........................................................................................49
Tabel 28. Kecenderungan bersikap (perilaku) masyarakat terhadap keberlanjutan kawasan
sabuk hijau WGM (konatif).........................................................................................50
Tabel 29. Skor sikap masyarakat terhadap sabuk hijau dan pengelolaannya................50
Tabel 30. Peran serta masyarakat dalam mengelola kawasan sabuk hijau WGM.........51
Tabel 31. Skor peran serta masyarakat dalam pengelolaan sabuk hijau di WGM........53
Tabel 32. Hasil skor bentuk peran serta masyarakat dalam mengelola sabuk hijau......54
Tabel 33. Hasil skor peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan sabuk hijau 54
Tabel 34. IFAS analisis SWOT Pengelolaan Sabuk Hijau...........................................59
Tabel 35. EFAS analisis SWOT Pengelolaan Sabuk Hijau..........................................60
Tabel 36. Matriks SWOT.............................................................................................61
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Area sabuk hijau di danau atau waduk ........................................ 6


Gambar 2. Kerangka Pemikiran .................................................................... 13
Gambar 3. Peta WGM ................................................................................... 15
Gambar 4. Plot kuadran garis berpetak.......................................................... 18
Gambar 5. Diagram rentan usia responden.................................................... 55
Gambar 6 contoh papan informasi reboisasi.................................................. 57
Gambar 7. Papan informasi pelarangan pemanfaatan lahan.......................... 57
Gambar 8. Diagram kondisi ekonomi responden.......................................... 58
Gambar 9. Hasil analisis matrik SWOT........................................................ 60
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat ijin penelitian .................................................................. 6


Lampiran 2. Lembar kuesioner masyarakat................................................... 13
Lampiran 3. Lembar kuesioner stake holder ................................................. 15
Lampiran 4. Dokumentasi.............................................................................. 18
Lampiran 5. Luaran penelitian ......................................................................
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Waduk Serbaguna Wonogiri atau yang biasa disebut Waduk Gajah
Mungkur (WGM) beroperasi pada tahun 1981 dan berfungsi sebagai pengendali
banjir, penyedia air baku untuk irigasi, air minum, industry, pembangkit listrik
tenaga air, pariwisata, perikanan dan pemeliharaan sungai. WGM memiliki daerah
tangkapan air hujan seluas 1.350 km2 terdiri dari 90 km2 genangan waduk dan
1260 km2 yang mencakup sub-Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo dari 6
(enam) anak sungai yang masuk waduk. Pada awalnya usia waduk gajah mungkur
diperkirakan mencapai 100 tahun namun tahun 2008 terjadi banjir besar di
sepanjang aliran Bengawan Solo akibat adanya pendangkalan (sedimentasi). Studi
JICA diketahui rata-rata sedimen tahunan periode 1993-2004 sebesar 3,18 juta
m3. Sedimen terbesar adalah erosi sungai Keduang yaitu sekitar 33% dari total
keseluruhan sedimentasi (mahyaya dkk,2012). Sedimentasi yang terjadi
menyebabkan umur waduk ini diperkirakan tidak akan lama. Perum Jasa Tirta
Bengawan Solo memaksimalkan perawatan terhadap Waduk Gajah Mungkur
yang menjadi tugasnya. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) yang parah
menyebabkan sedimentasi waduk sangat tinggi. Erosi yang terjadi sebagai akibat
pengelolaan tanah yang melebihi batas kemampuan dan tanpa adanya kesadaran
untuk melakukan usaha-usaha konservasi. Perubahan penggunaan lahan adalah
hal yang tidak dapat dihindari pada perkembangan wilayah di sepanjang sungai
dan daerah tangkapannya. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah
penduduk, kebutuhan lahan yang mau tidak mau akan mengakibatkan perubahan
penggunaan lahan. Perilaku masyarakat banyak berpengaruh terhadap penggunaan
lahan. Tentu saja hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan jenis dan jumlah
vegetasi penutup tanah sehingga tanah-tanah yang rusak semakin meningkat.
WGM memiliki daerah lindung atau sabuk hijau (greenbelt) yang
mengelilingi seluruh daerah genangan waduk. Luasan sabuk hijau di WGM
adalah 1653 ha (Direktorat Jendral Sumber Daya Air, 2000). Sabuk hijau adalah
RTH yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu
penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar

1
2

tidak saling mengganggu (Rahayu dkk, 2016). Saat ini lahan tersebut difungsikan
untuk kepentingan konservasi dengan maksud melindungi (buffer zone)
tampungan waduk dari pencemaran, aliran sedimen secara langsung, aktifitas
masyarakat yang berpotensi mengganggu tampungan dan menjamin keselamatan
daerah sekeliling waduk dari penurunan serta kenaikan air waduk. Salah satu hal
yang penting di dalam pengelolaan WGM adalah pemeliharaan daerah lindung
waduk berupa sabuk hijau (greenbelt). Pengelolaan sabuk hijau yang efektif dapat
dicapai jika mempertimbangkan seluruh aspek, baik aspek abiotic, biotik maupun
culture masyarakat. Akhir-akhir ini pengelolaan sabuk hijau tersebut mengalami
sejumlah gangguan akibat intervensi berbagai pihak yang berkepentingan. Di
beberapa lokasi mengalami kerusakan akibat perubahan vegetasi (dari kondisi
semula berupa tanaman lindung menjadi tanaman semusim), pemanfaatan untuk
aktivitas peternakan serta pemanfaatan untuk aktivitas non pertanian yang lain.
Gangguan-gangguan tersebut mengakibatkan kondisi sabuk hijau menjadi makin
kritis.
Pada awal pembuatan WGM kondisi sabuk hijau masih sanggat baik.
menurut penuturan beberapa warga, setelah tahun 1998, warga berlomba-lomba
untuk menanami sela-sela hutan dengan tanaman semusim. Ini terjadi karena saat
itu terjadi peristiwa reformasi, yang menyebabkan kondisi ekonomi rakyat
mengalami penurunan. Warga memanfaatkan lahan yang ada agar masih bisa
menghidupi keluarga ditengah kondisi sulit saat itu. Kondisi lahan yang
menguntungkan menyebabkan warga terus-menerus memanfaatkan lahan yang
ada di sekitar waduk sehingga lama-kelamaan alih fungsi lahan dari kawasan
hutan menjadi lahan pertanian semakin luas. Menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Wonogiri, pemanfaatan RTH lebih jelasnya kawasan sabuk hijau
diperbolehkan namun dengan tidak melakukan alih fungsi Kawasan sabuk hijau
sebagai Kawasan lindung yang menjaga keberadaan sumber air (Kabupaten
Wonogiri, 2011). Namun demikian, sebagian besar masyarakat belum memahami
fungsi sabuk hijau dan seringkali melanggar peraturan yang berlaku. Ini
membuktikan bahwa peran serta masyarakat sekitar di sekitar kawasan sabuk
hijau WGM belum menjaga keberlangsungan kawasan sabuk hijau dengan baik.
3

Pengelolaan kawasan lindung tidak luput dari keterlibatan masyarakat.


Masyarakat memiliki peran yang sangat penting yaitu mengawasi, merawat dan
melestarikan. Kegagalan pengelolaan sabuk hijau diindikasikan oleh keterlibatan
masyarakat yang rendah. Pelibatan masyarakat sangat penting guna melindungi
keberlanjutan fungsi utama sabuk hijau sebagai pelindung waduk. Untuk dapat
melakukan pengelolaan sabuk hijau yang efisien diperlukan identifikasi kondisi
fisik dan nonfisik kawasan tersebut. Evaluasi peran serta masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam merupakan salah satu strategi pengelolaan yang
dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan konsevasi
sumberdaya alam.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan sabuk hijau di WGM
menjadi kunci utama dalam mewujudkan sabuk hijau yang berfungsi optimal bagi
fungsi perlindungan waduk. Pelibatan masyarakat sangat penting mengingat
mereka yang berada disekitar kawasan sabuk hijau dan mereka juga yang menjadi
agen yang memelihara kawasan sabuk hijau atau malah mereka sendiri yang
merusak kawasan tersebut. Perlu disampaikan bahwa dalam penelitian ini
difokuskan pada peran serta kawasan sabuk hijau, sampai seberapa besar
pemahaman tentang keberlanjutan fungsi waduk yang sangat ditentukan oleh
Kawasan sabuk hijau. Mengingat bahwa belum terdapat informasi yang memadai
tentang hal tersebut, maka penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

B. Kebaruan Penelitian
Penelitian tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan sabuk
hijau terhadap erosi dan aliran permukaan, serta analisis SWOT dan strategi
pengelolaan telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu dalam jurnal dan
prosiding baik nasional maupun internasional. Kajian tentang peran serta
masyarakat dalam pengelolaan Kawasan sabuk hijau di WGM dalam penelitian
ini mengandung beberapa perbedaan khususnya pada focus kajian yang
mengkombinasikan komponen abiotic, biotik dan culture, yang mengarah pada
pengembangan beberapa asas lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
4

Tabel 1. Kebaruan penelitian


N Nama Tahun Judul dan Hasil Penelitian
o. Peneliti dan Lokasi Penelitian
Jenis
1. SFD 2017 Utilization of Green Berdasarkan hasil penelitian untuk
Prabowo, Belt to Woodland mengidentifikasi lokasi potensial untuk
C Muryani, Prosidin Tourismin Support mengembangkan kawasan hutan
and g the Development of pariwisata disabuk hijau Bendungan
Utomowati Ecotourism at Serbaguna Wonogiri sebagai upaya
Serbaguna Wonogiri revitalisasi yang dihadapi
Dams dipengembangan hutan wisata, yaitu
fokus pada zona prioritas, area sabuk
Kabupaten Wonogiri hijau yang berubah fungsi menjadi
lahan pertanian.
2. Nanik 2016 Pengaruh Vegetasi Hasil penelitian menunjukkan kelapa
Lisawati Kawasan sabuk dan sengon menjadi ciri khas vegetasi
Dwi Jurnal Hijau (Green Belt) Kawasan Sabuk Hijau Waduk Sermo.
Rahayu, Waduk Sermo Jenis pohon yang berbeda mempunyai
Sudarmadji Kulonprogo daya cegah terhadap erosi yang berbeda
, dan Lies Terhadap yang dapat dilihat dari kenampakan
Rahayu Kenampakan Hasil hasil proses erosi dibawah tegakan
Wijayanti Proses Erosi dan tunggal. Nilai pemanfaatan langsung
Faida Pemanfaatan oleh hasil Kawasan Sabuk Hijau Waduk
Masyarakat. Sermo menurut petani penggarap adalah
besar sehingga keterlibatan
Kabupaten pemanfaatan areal sabuk hijau sulit
Kulonprogo untuk dicegah.
3. Noni HD, 2017 Partisipasi Upaya pemerintah membagi menjadi 6
Suharyanto Masyarakat dalam mengatasi permasalahan yaitu
, dan Sri Prosidin Perencanaan Sabuk membentuk Kelompok Mitra
Suryoko g Hijau pada Kawasan Masyarakat Konservasi Sabuk Hijau;
waduk Jatibarang melakukan upaya pemulihan
pendapatan dengan pendekatan konsep
Kota semarang dan model; konservasi terhadap monyet
ekor panjang. Hasil partisipasi
masyarakat tergolong rendah, sehingga
menjadi kekhawatiran sendiri bagi
keberlanjutan Waduk Jatibarang.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi eksisting kawasan sabuk hijau di WGM?
2. Faktor apakah yang menyebabkan kerusakaan kawasan sabuk hijau di
WGM?
3. Seberapa jauh peran serta masyarakat dalam mengelola kawasan sabuk
hijau di WGM?
4. Bagaimana strategi pengelolaan kawasan sabuk hijau di WGM?

D. Tujuan Penelitian
5

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat disusun tujuan penelitian sebagai


berikut :
1. Mengidentifikasi kondisi eksisting kawasan sabuk hijau di WGM.
2. Menganalisis factor penyebab kerusakan kawasan sabuk hijau di WGM.
3. Mengevaluasi peran serta masyarakat dalam mengelola kawasan sabuk
hijau di WGM.
4. Merumuskan strategi pengelolaan kawasan sabuk hijau di WGM.

E. Manfaat Penelitian
Dari Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,
sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi
dunia pendidikan dibidang potensi pengelolaan sabuk hijau waduk.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
Meningkatkan wawasan dan pengetahuan dalam hal pengelolaan
Kawasan sabuk hijau serta partisipasi masyarakat dalam melestarikan
sabuk hijau

b. Bagi Pemerintah
Memberikan sumbangan pemikiran dan dasar pertimbangan
pengelolaan Kawasan sabuk hijau khususnya kebijakan mengenai
pelestarian fungsi kawasan sabuk hijau sebagai penahan sedimen dan
pelindung biota air.
c. Bagi Masyarakat
Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperan dalam mengelola
Kawasan sabuk hijau yang akhirnya bermanfaat bagi masyarakat itu
sendiri, dan secara tidak langsung turut serta memelihara fungsi waduk
Gajah Mungkur secara berkelanjutan.
6
BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Sabuk Hijau WGM Wonogiri
Sabuk Hijau adalah hutan yang tumbuh pada kawasan sekitar waduk atau
danau pada daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik waduk/ danau. Areal green belt berjarak + 20 m
dari titik pasang tertinggi kearah darat dengan lebar 50-100 m (Republik
Indonesia, 1990). Kawasan sabuk hijau berbatasan langsung dengan waduk
sehingga sebagian kawasannya merupakan daerah pasang surut. Vegetasi yang
ditanam direkomendasikan yang tahan terhadap genangan air dan dapat
memelihara pelestarian air yang dapat dilihat pada gambar 1 (Kementerian
Pekerjaan Umum, 2008).

Gambar 1. Area sabuk hijau di danau atau waduk (Kementerian Pekerjaan Umum, 2008).

Sabuk hijau (Green belt) dapat di artikan sebagai hutan kecil yang
berfungsi sebagai pelindung, penyangga, dan untuk membatasi perkembangan
suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau
membatasi aktivitas sutu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu,
serta pengamanan dari factor lingkungan sekitarnya (Fakhrian dkk., 2015). Sabuk
hijau WGM memiliki bentuk tersendiri atau dengan kata lain tidak mengikuti
peraturan keppres no. 32 th 1990. Sabuk hijau WGM berada pada ketinggian +
138,2 – 140 mdpl mengikuti pasang tertinggi dari waduk yaitu 138 mdpl (seperti
pada gambar 2), jadi luasan sabuk hijau atau hutan kecil yang mengelilingi waduk
dari tiap-tiap desa berbeda satu sama lain (Direktorat Jendral Sumber Daya Air,
2000). Kabupaten Wonogiri secara geografis terletak antara 7º32 '- 8º15' Lintang
Selatan dan 110º41 '- 111º18' Bujur Timur. Berdasarkan data iklim dari Stasiun

7
8

Meteorologi Wonogiri (BPP Selogiri), daerah di sekitar lokasi penelitian basah


(kering 4-6 bulan). Curah hujan rata-rata setiap tahun adalah> 2000 mm tahun-1.
Jumlah hari hujan di musim kemarau adalah 5 hari, dan jumlah hari hujan di
musim hujan adalah 101 hari. Pada tahun 2019, suhu udara minimum 18,26 ° C,
dan maksimum 36,5 ° C berarti suhu rata-rata 27 ° C (Badan Pusat Statistik
Wonogiri, 2019). Jenis tanah yang ditemukan di kawasan sabuk hijau Waduk
Serbaguna Wonogiri didominasi oleh jenis vertisol dan alfisol. Kondisi yang ada
di kawasan sabuk hijau sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jati,
selain itu jati merupakan komoditas kayu dengan nilai ekonomi yang tinggi,
sehingga tidak mengherankan jika dikembangkan secara luas oleh pengelola
BUMN yaitu Perum Jasa Tirta I.

Gambar 2. Lokasi kawasan sabuk hijau yang berwarna hijau (Munawaroh & Sutarto, 2012)

Kehadiran sabuk hijau harusnya tidak dipandang tidak saja dari fungsi
fisik sebagai barrier pemisah kota semata, tetapi juga mengakomodir sarana
rekreasi alam, produksi pertanian, fungsi lindung dan fungsi hutan. Di WGM,
green belt berfungsi sebagai daerah penyangga atau pembatas antara kegiatan
9

waduk dan masyarakat. Namun masih ada fungsi lain yang tidak kalah penting,
yaitu sebagai penyejuk atau sebagai penyerap CO2, mengingat WGM dikelilingi
juga oleh jalan penghubung antar kecamatan serta dekat dengan pemukiman.
Sabuk hijau menyediakan salah satu cara alami membersihkan atmosfer dengan
penyerapan refleksi, difusi polutan gas dan partikulat, dan kebisingan melalui
daun mereka yang bertindak sebagai alat perangkap polutan yang efisien. Fungsi
lindung dari sabuk hijau bukan hanya untuk menjaga keberlangsungan waduk,
tetapi juga sebagai tempat habitat beberapa fauna seperti burung dan hewan
melata.
Salah satu faktor penting dalam mengembangkan vegetasi sabuk hijau
adalah bahwa spesies tanaman yang berbeda memiliki tingkat kepekaan yang
berbeda terhadap penyebab stres yang berbeda. Berdasarkan tanggapan tanaman
terhadap stress tertentu, mereka dapat dikategorikan menjadi 'sensitif' dan
'toleran'. Di bawah penyelidikan saat ini, stres spesies toleran (penghambat
sedimen) disortir keluar dari wilayah studi, karena spesies toleran dapat
digunakan untuk pengembangan sabuk hijau. Spesies tanaman yang toleran dapat
berfungsi sebagai pelindung waduk dan oleh karena itu, sejumlah manfaat
lingkungan dapat diperoleh dengan menanam spesies toleran di daerah yang
terkena dampak (Pathak et al, 2011)
Vegetasi atau pohon sebagai penyusun sabuk hijau waduk berfungsi untuk
mengurangi erosi maupun sedimentasi, menhambat aliran permukaan,
meresapkan air ke dalam tanah, dan mencegah penguapan air secara berlebihan.
Kemampuan jenis vegetasi untuk menahan erosi maupun sedimentasi dipengaruhi
oleh tingkat pertumbuhan tanaman, ketinggian tanaman, keadaan daun tanaman,
kerapatan tanaman dan system perakaran (Ziliwu, 2002). Vegetasi untuk sabuk
hijau waduk mempunyai kriteria, a) relatif tahan terhadap penggenangan air; b)
daya transpirasi rendah; c) memliki sistem perakaran yang kuat dan dalam,
sehingga dapat menahan erosi dan meningkatkan infiltasi (resapan) air
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2008). Contoh vegetasi yang memiliki daya
transpirasi yang rendah antara lain Cemara Laut (Casuarina equisetifolia), Karet
Munding (Ficus elastica), Manggis (Garcinia mangostana), Bungur
(Lagerstroemia speciosa), Kelapa (Cocos nucifera), Damar (Agathis loranthifolia),
10

Kiara Payung (Filicium decipiens). Vegetasi penyusun sabuk hijau juga berfungsi
tidak hanya menjadikan sekitar waduk menjadi indah dan sejuk namun aspek
kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam, yang
pada giliran selanjutnya akan menyediakan jasa-jasa lingkungan berupa
kenyamanan, kesegaran, terbebasnya dari polusi dan kebisingan serta sebagai
habitat fauna. Udara yang bersih sering dicemari oleh debu, partikel timbal,
bising, gas CO2. Adanya sabuk hijau debu, partikel timbal, bising, gas CO 2 yang
tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon
melalui proses filtrasi dan bahkan serapan. Pentingnya Penghijauan dan
pengelolaan kawasan sabuk hijau dilakukan untuk menjaga keseimbangan
ekosistem di lingkungan dengan diadakannya penanaman pohon di tempat-tempat
yang gersang.
Sabuk hijau yang ada di WGM sudah mempunyai landasan hukum, yaitu
peraturan tentang sempadan di Danau atau Waduk menurut PerMen PU No. 28
tahun 2015. Jarak yang di atur dalam permen yaitu 50 meter dari air saat pasang
menuju ke luar area. Jadi green belt tersebut tidak akan kurang luasannya tetapi
vegetasinya yang mungkin dapat berkurang. Kondisi vegetasi bersifat dinamis
artinya dari tahun ketahun kondisi di lapangan dapat berubah akibat dari pengaruh
factor alam ataupun dari intervensi manusia misal adanya pemanenan kayu
ataupun pemenenan tumbuhan bawah sebagai pakan ternak. Factor manusia dalam
memanfaatkan vegetasi yang ada tidak dapat diabaikan karena histori WGM
berasal dari tanah pembebasan milik warga.

2. Pengelolaan Sabuk Hijau Waduk


Kawasan sabuk hijau merupakan salah sumber daya alam yang perlu di
lestarikan. Pengelolaan SDA mempertahankan dan meningkatkan kualitas
lingkungan yang tinggi, aman dan manusiawi terjamin. Hanya dalam kondisi
kualitas lingkungan yang tinggi, manusia lebih banyak memperoleh manfaat dari
pada resiko lingkungan. Secara lebih spesifik pengertian pengelolaan SDA
meliputi dua hal sebagai berikut:
11

a. Usaha manusia dalam mengubah ekosistem SDA agar dapat diperoleh


manfaat yang maksimal (maximum yield) dan berkesinambungan
(sustained yield).
b. Proses pengalokasiaan SDA dalam ruang dan waktu untuk memenuhi
kebutuhan manusia dengan senantiasa mengupayakan pertimbangan antar
populasi manusia dan sumberdaya, serta pencegahan kerusakan
sumberdaya alam dan lingkungan.
Oleh karenanya ruang lingkup SDA adalah inventarisasi perencanaan,
pelaksanaan/pemanfaatan dan pengendalian/pengawasan. Pada dasarnya hanya
SDA yang dapat dipulihkan/diperbaharui (renewable) yang benar-benar dikelola.
Sedangkan SDA yang tidak dapat dipulihkan (non-renewable) hanya mengalami
eksploitasi tidak dapat dibina kembai.
SDA berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi SDA yang dapat
diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperharui. SDA yang dapat diperbaharui
ialah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya tidak
diekploitasi berlebihan. SDA yang tidak dapat diperbaharui yaitu SDA yang
jumlahnya terbatas karena penggunaannya lebih cepat daripada proses
pembentukannya dan apabila digunakan secara terus menerus akan habis seperti
contoh tumbuhan, hewan, mikro organisme, sinar matahari, angin, dan air.
Kebutuhan SDA meningkat dikarenakan pertambahan penduduk serta
kemajuan pembangunan. SDA yang terbatas bahkan menurun. Tanpa upaya
pelestarian atau konservasi maka terjadi krisis SDA, kualitas menurun, persediaan
langka, keanekaragaman berkurang, dll. Pemanfaatan SDA dibagi berdasarkan
sifatnya, yaitu SDA Hayati dan Non Hayati. Pemanfaatan SDA dilakukan
berdasarkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
(Republik Indonesia, 2009).
Sesuai dengan Pasal 12 UU No. 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup maka ditetapkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
SDA Hayati dan Ekosistemnya. Ketentuan hukum dalam undang-undang ini
menyempurnakan ketentuan dalam perundang-undangan sebelumnya. Berlakunya
ketentuan yang baru ini, semua peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelumnya harus ditafsirkan sesuai dengan undang-undang ini.
12

Pengelolaan sabuk hijau sendiri sudah di atur dalam Peraturan Pemerintah


RI no.37 tahun 2010 tentang bendungan. Permen ini mengatur perlindungan,
pemanfaatan, pelestarian waduk dan peran masyarakat. Pengelolaan sabuk hijau
atau kawasan sempadan waduk merupakan salah satu cara untuk membatasi
aktivitas masyarakat di sekitar waduk dengan waduk. Pemanfaatan ruang pada
daerah sempadan waduk di atur dalan PerMen no.37 tahun 2010 pasal 4 sudah
sangat jelas dimana kegiatan yang dapat dilakukan adalah penelitian,
pengembangan ilmu pengetahuan dan atau upaya dalam mempertahankan fungsi
daerah sempadan waduk. PerMen no.05 tahun 2008 mengatur tentang jenis-jenis
vegetasi yang dapat ditanam di daerah sempadan waduk. Peran masyarakat dalam
pengelolaan merupakan satu hal yang paling penting, karena aktivitas masyarakat
dapat mempengaruhi kondisi waduk maupun sempadan waduk. Peran masyarakat
juga di atur dalam PerMen no.37 tahun 2010 pasal 156, yaitu Masyarakat
mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses pembangunan
bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya. Oleh karena itu
pelaksanaan pengelolaan waduk secara benar diperlukan keterlibatan dan
keterpaduan seluruh pemilik kepentingan. Pengelolaan waduk perlu dilakukan di
tiga lokasi utama, yaitu di daerah tangkapan air, di sempadan waduk, dan di badan
waduk. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh peran seluruh masyarakat
penghuni daerah tangkapan air. Untuk itu, peran masyarakat harus ditingkatkan
semakin nyata melalui pemberdayaan masyarakat. Konservasi dan pengelolaan
sumber daya alam dapat berhasil dengan mengidentifikasi terlebih dahulu persepsi
dan sikap masyarakat terhadap lingkungan (Sari et al., 2018). Pemberdayaan
masyarakat ditujukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
pengelolaan waduk secara berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini
dilakukan melalui proses sosialisasi, konsultasi, dan partisipasi. Dalam proses
tersebut dengan tema utama konservasi lahan dan air diupayakan tekanan terhadap
sumber air dan lahan menjadi berkurang melalui beberapa alternatif kegiatan yang
dapat membuka lapangan kerja baru. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut yang
jenisnya ditentukan dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat melalui skema
insentif tertentu, dapat dicapai perbaikan kondisi kehidupan masyarakat sejalan
dengan makin membaiknya kinerja pengelolaan waduk.
13

3. Peran Serta Masyarakat


Peran serta masyarakat merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan
oleh perorangan maupun secara berkelompok dalam masyarakat, untuk
menyatakan kepentingan atau keterkaitan mereka terhadap keberlanjutan
lingkungan, dimana mereka berada atau bergabung dalam rangka mencapai tujuan
masyarakat yang mandiri. Indikator peran serta masyarakat yaitu: (1) Keterlibatan
secara mental emosional, (2) Kesediaan memberikan sumbangan dan dukungan
dan (3) Kesediaan secara mental dan emosional berupa ikut bertanggung jawab
dalam pengawasan dan penanggulangan (Awang, 2003). Penyertaan masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya, melalui konsultasi dengan
masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program, atau
proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2)
mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3)
merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat
diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan
penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan (Mitchell dkk., 2000).
Kondisi sosial-ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang
menunjukan pada kemampuan finansial keluarga dan perlengkapan material yang
dimiliki, dimana keadaan ini bertaraf baik, cukup, dan kurang (Lausiry &
Tumuka, 2019). ciri-ciri keadaan sosial ekonomi yaitu: lebih berpendidikan,
mempunyai status sosial yang ditandai dengan tingkat kehidupan, kesehatan,
pekerjaan dan pengenalan diri terhadap lingkungan, mempunyai tingkat mobilitas
ke atas lebih besar, mempunyai ladang luas, lebih beroriantasi pada ekonomi
komersial produk, mempunyai sikap yang lebih berkenaan dengan kredit, dan
pekerjaan lebih spesifik (Basrowi & Juariah, 2010).
Proses sosial terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan masyarakat,
berkaitan dengan pergeseran fungsi sistem dan struktur sosial sehingga mengubah
pola perilaku anggota masyarakat, sedangkan dampak sosial ekonomi suatu di
suatu daerah pada dasarnya ditentukan oleh karakteristik aktivitas yang
bersangkutan, karakteristik fisik dan kehidupan sosial ekonomi daerah di sekitar.
Memperhatikan bahwa keadaan sosial ekonomi antara satu wilayah dengan
14

wilayah lain berbeda-beda, maka dampak yang terjadi pada komponen-komponen


tersebut juga berbeda-beda. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan ekonomi, kebutuhan lahan untuk kegiatan pertanian maupun
nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan
alih fungsi sabuk hijau WGM sehingga akan sangat mempengaruhi
keberlangsungan vegetasi sabuk hijau.
Perubahan kondisi daerah tangkapan WGM berupa perubahan
pemanfaatan lahan berdampak pada peningkatan sedimentasi pada waduk
tersebut. Peningkatan sedimentasi pada waduk pada akhirnya berakibat
pengurangan volume efektif waduk. Permasalahan sedimentasi waduk tersebut
memerlukan pengkajian secara mendalam dan perlu segera diupayakan
penanganan secara menyeluruh.

4. Asas Lingkungan
Adapun beberapa asas lingkungan yang mendasari dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Asas 3 (sumber daya alam), dimana pada penelitian ini implikasi dari asas
3 dapat dilihat pada biodiversitas sabuk hijau dan perannya dalam
menghambat sedimen yang masuk ke waduk dapat dijadikan sebagai
bentuk implikasi dari asas 3 (sumber daya alam)
b. Asas 6 dan asas 9 (keanekaragaman), dimana pada penelitian ini implikasi
dari asas 6 dapat dilihat pada fungsi sabuk hijau, dimana berdasarkan
keanekaragaman dari spesies tumbuhan di kawasan sabuk hijau yang
beranekaragam maka dapat disimpulkan memiliki manfaat yang sangat
potensial dalam fungsinya sebagai jasa lingkungan untuk konservasi air
dan tanah di kawasan sekitar waduk.

B. Kerangka Berfikir
Masalah utama yang terjadi di WGM adalah sedimentasi. Penyebab
sedimentasi tidak lain adalah intensitas sebagai akibat penggerusan tebing-tebing
DAS maupun sempadan waduk. Bentuk sempadan waduk WGM adalah sabuk
15

hijau dengan fungsi utama sebagai hutan penyangga dan pembatas antara kegiatan
masyarakat dan kegiatan di waduk. Kerusakan sabuk hijau terjadi akibat factor
alam dan campur tangan manusia, sehingga tekanan di Kawasan sabuk semakin
tinggi dan menyebabkan penurunan fungsi Kawasan sabuk hijau. Disamping itu,
peran serta masyarakat dalam mengelola sabuk hijau tergolong belum optimal..
Dengan demikian diperlukan informasi tentang peran serta masyarakat dalam
mengelola Kawasan sabuk hijau sehingga dapat dirumuskan strategi pengelolaan
yang efektif guna keberlanjutan fungsi waduk (Gambar 2).

Kawasan Sabuk Hijau


WGM

Abiotik Biotik Culture


Anomali cuaca yang Terjadinya alih fungsi lahan Sikap dan Peran serta
sedang terjadi di dikawasan tersebut dari tanaman masyarakat terhadap
indonesia keras (pohon) menjadi tanaman keberadaan sabuk hijau
semusim (pertanian) belum diketahui

Terjadinya Kerusakan Kawasan


Sabuk Hijau
WGM

Pendekatan

Analisis vegetasi di kawasan sabuk hijau


Identifikasi penyebab kerusakan kawasan sabuk hijau
Evaluasi peran serta masyarakat terhadap pengelolaan
sabuk hijau

Strategi Pengelolaan Sabuk


Hijau WGM

Gambar 2. Kerangka Berpikir


BAB III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Sabuk Hijau WGM (7o54’7,834”
LS – 110o53’27,085” BT, ± 138-140 mdpl). Peta lokasi penelitian disajikan
pada Gambar 3.
2. Waktu
Penelitian dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah
persiapan, tahap kedua adalah pelaksanaan, dan tahap ketiga adalah
pengolahan data, penyusunan laporan, dan pelaporan. Ketiga tahap tersebut
disusun pada Tabel 2.

Tabel 2. Jadwal Penelitian


Tahapan Kegiatan Bulan (Tahun 2018-2021)
4(19)-
6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 7
6(21)
Persiapan 1. Fokus penentuan
penelitian tema dan kajian
literatur
2. Survey lokasi
3. Penentuan judul
4. Pembimbingan
draf proposal
5. Penyusunan
proposal
6. Seminar proposal
Pelaksanaan 1. Ijin penelitian
penelitian 2. Pelaksanaan
penelitian
Pengolahan 1. Pengolahan data
hasil hasil penelitian
penelitian 2. Penyusunan
laporan tesis
3. Publikasi hasil
penelitian
4. Seminar hasil
penelitian
5. Ujian tesis

16
17

Gambar 3. Peta kawasan sabuk hijau WGM


18

B. Bahan dan Alat Penelitian


Peralatan dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain
sebagai berikut.
a. Peralatan survei lapangan: GPS, kamera digital, lembar questioner,
meteran, patok, tali rafia, thermometer serta alat tulis.
b. Peralatan untuk membuat peta: Komputer, software ArcGis 10.
c. Bahan untuk membuat peta: Peta Administrasi WGM Kabupaten
Wonogiri, Peta Tutupan Lahan dan Penggunaan Lahan di sekitar WGM
Kabupaten Wonogiri dan Peta Kontur Lahan di sekitar WGM Kabupaten
Wonogiri .
d. Peralatan untuk analisis: Komputer, software SPSS Statistics versi 18.0.,
Software Microsoft Office Excel 2010.
e. Data Primer : data vegetasi sabuk hijau, dan data sosial berupa kuesioner
dan wawancara.
f. Data sekunder : data administrasi penduduk, data luasan vegetasi sabuk
hijau dan data factor lingkungan di kawasan sabuk hijau WGM.

C. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif kuantitatif dengan
metode survai. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih
luas dan terperinci dari variabel yang diuraikan menjadi faktor-faktor dan
berhubungan dengan penelitian (Gulo, 2010). Penelitian deskriptif kualitatif
adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik,
akurat, dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Data
yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud
untuk mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi atau pun mencari
implikasi. Penelitian kuantitatif adalah suatu penelitian yang menekankan
analisisnya pada data angka yang diolah dengan metode statistika tertentu, dengan
kata lain penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif jika data yang digunakan
bersifat angka (Azwar, 2015). Penelitian kuantitatif memusatkan pada
pengumpulan data kuantitatif yang berupa angka-angka untuk kemudian dianalisis
19

dengan menggunakan analisis statistika dengan perangkat Statistical Product and


Service Solution (SPSS).
Metode survei adalah metode yang digunakan secara luas, khususnya
dalam pengambilan data sosial. Informasi dikumpulkan dengan menanyai orang
melalui daftar pertanyaan yang terstruktur. Metode survey dilakukan dengan
menggunakan angket sebagai alat penelitian yang dilakukan pada populasi besar
maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil
dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian relatif, distribusi, dan
hubungan antar variabel, sosiologis maupun psikologis (Sugiyono, 2013). Survei
bertujuan memperoleh informasi seperti preferensi, sikap, atau pendapat
responden yang diungkapkan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Survei
bertujuan untuk meliput banyak orang sehingga hasil survei dapat dipandang
mewakili populasi atau merupakan generalisasi. Survei pada umumnya
melibatkan banyak responden, tergantung pada tujuan dan batasan riset.

D. Tata Pelaksana Penelitian


1. Identifikasi kondisi eksisting kawasan sabuk hijau
a. Populasi dan sampel
Data biotik vegetasi diperoleh dari beberapa stasiun atau lokasi
pengamatan. Penentuan lokasi pada masing-masing stasiun atau lokasi
pengamatan menggunakan metode purposive sampling untuk mengetahui
perbedaan sebaran vegetasi dan kerusakannya pada setiap lokasi yang
berbeda. Purposive Sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan
pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel (Noor, 2015).
Pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan sampel merujuk pada
pertimbangan letak, kesesuaian dan efektifitas pelaksanaan penelitian
dengan memperhatikan metode-metode pengambilan sampel yang sesuai.

b. Teknik pengumpulan data


Pengambilan sampel vegetasi sabuk hijau WGM, dilakukan dengan
metode kuadran garis berpetak dengan arah tegak lurus dengan waduk
Selanjutnya pada setiap stasiun/lokasi dibuat transek yang terdiri dari
20

beberapa petak ukur (plot), jarak antar plot atau petak ukur adalah 10 m.
Pada setiap jalur dibuat 2 plot masing-masing dengan ukuran 20 m x 20 m
dengan 3 kali ulangan sehingga masing-masing stasiun akan di dapat 6
plot. Ukuran plot untuk pohon adalah 20 m x 20 m, tiang adalah 10 m x 10
m, sapihan 5 m x 5 m, dan semai adalah 2 m x 2 m seperti pada gambar 4.

Gambar 4. Plot kuadran garis berpetak


Data luasan sabuk hijau diperoleh dari data sekunder, yaitu dari
Perum Jasa Tirta Wonogiri.

c. Teknik analisa data


1) Data vegetasi yang diamati pada setiap plot adalah jumlah individu,
jenis, tinggi, diameter batang setinggi dada (1,3 m) pada strata pohon,
tiang, sapihan dan semai. Dalam metode kuadrat, parameter vegetasi
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Jumlah individu
a) Kerapatan (K) =
luas plot

K suatu spesies
b) Kerapatan Relatif (KR) = x 100 %
K total seluruh spesies

∑ ¿ plot ditemukan suatu spesies


c) Frekuensi (F) =
∑ seluruh plot

F suatu spesies
d) Frekuensi Relatif (FR) = x 100 %
F seluruh spesies

luasbidang dasar suatu spesies


e) Dominansi (D) =
luas plot
21

D suatu spesies
f) Dominansi Relatif (DR) = x 100 %
D seluruh spesies

Analisis vegetasi yang dilakukan meliputi kerapatan jenis,


kerapatan relative, dominansi jenis, dominansi relative, frekuensi jenis,
Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keragaman (H) (Barbour et al,
1987).
g) Rumus penghitungan INP menggunakan rumus menurut
(Indriyanto, 2012), sebagai berikut:
INP = KR+FR+CR
Keterangan:
INP = Indeks Nilai Penting (%)
KR = Kerapatan Relatif (%)
FR = Frekuensi Relatif (%)
CR = Coverage Relative/Luas Penutupan Relatif (%)
h) Indeks keanekaragaman dapat dihitung menggunakan rumus
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner:

¿ ¿
𝑯′= − ∑ N ∈ N

Keterangan:
H’ = Indeks Keanekaragaman (Diversitas) Shannon-Wienner
ni = Jumlah Setiap jenis ke-i
N = Jumlah Total (Keseluruhan) individu

Kriteria penilaian indeks keanekaragaman menurut Odum


(1993) adalah sebagai berikut:
H’ < 1 =Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan
komunitas rendah
1 ≤ H’ ≥ 3 =Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan
komunitas sedang
H’ > 3 =Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan
22

Adapun penyajian data kondisi dan penyebab kerusakan kawasan


sabuk hijau adalah metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan tingkat
kealamiahan (natural setting), metode kualitatif disebut juga metode
naturalistik, yaitu penelitian dilakukan pada tempat yang alamiah dan
tidak membuat perlakuan (Sugiyono, 2013). Metode deskriptif pada
penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi
dan penyebab kerusakan di kawasan sabuk hijau WGM.

2. Analisis faktor-faktor penyebab kerusakan Kawasan sabuk hijau


a. Factor lingkungan
1) Populasi dan sampel
Data factor lingkungan yang digunakan dalam penelitian adalah
data curah hujan, kelembaban, suhu dan jenis tanah di setiap kecamatan
yang terdapat pada sabuk hijau pada tahun-tahun sebelumnya (minimal 10
tahun terakhir).
2) Teknik pengumpulan data
Pengambilan data penelitian pada penyebab kerusakan sabuk hijau
dari factor lingkungan adalah diambil dari data sekunder dari data BPS
setiap kecamatan yang menjadi area penelitian.
3) Teknik analisa data
Analisis data factor lingkungan yang menyebabkan kerusakan
sabuk hijau, hasil data yang diperoleh dianalisis dengan statistik deskriptif
menggunakan software Microsoft Office Excel 2013. Adapun penyajian
data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sugiyono (2009)
menjelaskan bahwa berdasarkan tingkat kealamiahan (natural setting),
metode kualitatif disebut juga metode naturalistik, yaitu penelitian
dilakukan pada tempat yang alamiah dan tidak membuat perlakuan.
Metode deskriptif pada penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran mengenai pengetahuan dan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan kawasan sabuk hijau WGM.
23

b. Factor social (sikap masyarakat)


1) Populasi dan sampel
Pengambilan data penelitian pada penyebab kerusakan sabuk hijau
dilihat dari sikap masyarakat sekitar wilayah Sabuk Hijau WGM
menggunakan pendekatan purposive sampling atau nonprobabilitas (non
peluang) adalah pengambilan sampel dengan sengaja (purposive) dan
bersifat subjektif. Sampel nonpeluang ini tidak memberikan kesempatan
kepada setiap unit populasi untuk dipilih sebagai unit sampel. Walaupun
begitu, keputusan peneliti tetap pada keyakinan bahwa unit sampel
merupakan reperesentasi dari unit populasi (Indrawan & Yuniawati, 2016).
Pada penelitian ini jumlah sampel (responden) yaitu 30 orang responden
untuk setiap kecamatan yang diambil berdasarkan teknik purposive
sampling yaitu dengan mempertimbangkan tenaga, waktu dan dana.
karena mengingat sangat luasnya kawasan sabuk hijau. Jumlah sampel
yang diambil dalam penelitian ini mengacu pada panduan Roscoe (1975)
dan Champion (1981) dalam Indrawan & Yaniawati (2016) yaitu, ukuran
sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan
penelitian. Selain itu pertimbangan yang lain adalah sampel yang diambil
sudah dianggap cukup representatif untuk mewakili populasi di wilayah
penelitian dan sesuai dengan aspek-aspek yang ingin di diteliti.

2) Teknik pengumpulan data


Data sosial masyarakat diperoleh dengan membagikan kuosioner
kepada masyarakat dan melakukan wawancara mendalam dengan
mengikuti prosedur pengambilan sampel dengan metode purposive
sampling, penentuan responden dengan metode ini mengikuti beberapa
pertimbangan seperti umur, pekerjaan, dan jarak tempat tinggal dengan
lokasi sabuk hijau WGM. Untuk mengumpulkan informasi dari sumber
data ini diperlukan teknik wawancara, dalam penelitian kualitatif
khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam
(in-depth interviewing). Teknik wawancara yang dilakukan tidak
dilakukan secara terstruktur, hal ini dilakukan untuk mendapatkan
24

informasi secara lebih mendalam dari informan. Wawancara tak


terstruktur, adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis
dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang
digunakan berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan
(Sugiyono, 2012:197). Tujuan penggunaan wawancara tak terstruktur
dalam penelitian ini adalah agar pertanyaan lebih mendalam dan
pertanyaan lebih luas sehingga mengetahui permasalahan di lapangan yang
tidak direncanakan sebelumnya. Adapun penyusunan kuesioner
berdasarkan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya, dalam menjawab
pertanyaan responden hanya dibenarkan dengan memilih salah satu
alternatif jawaban yang telah disediakan. Pengukuran data sosial
menggunakan angket dalam bentuk checklist yaitu dengan memberi tanda
check (√) pada kolom yang telah disediakan. Skor penilaian angket
menggunakan skala Likert (Sudjana, 2010). Kuesioner yang digunakan
untuk mengumpulkan data sosial perlu diuji terlebih dahulu sebelum
diujikan ke masyarakat. Berikut ini beberapa uji yang diperlukan:
1) Uji validitas
Uji validitas digunakan untuk mengetahui bagaimana suatu
kuesioner yang digunakan telah mengukur apa yang ingin diukur. Jika
kuesioner tidak valid maka akan memberikan informasi yang tidak
akurat mengenai keadaan responden yang dikenai pengukuran atau tes
tersebut. Uji Validitas pada penelitian ini menggunakan bantuan
aplikasi Microsoft Office Excel 2013 dan aplikasi IBM SPSS Statistics
23 dengan menghitung korelasi product moment. Setelah r-hitung
ditentung, r-hitung tersebut kemudian dibandingkan dengan r-tabel
untuk mengukur butir peryataan valid atau tidak valid. Pedoman yang
digunakan sebagai perbandingan adalah r-tabel pada taraf signifikansi
5%. Butir yang digunakan pada penelitian adalah butir yang valid
(Ghozali, 2011). Berdasarkan hasil validitas dilapangan kuisioner
adalah semua dinyatakan valid dan dapat digunakan untuk mengambil
data 28 butir soal. Responden yang di jadikan bahan untuk uji validitas
25

adalah warga desa di sepanjang sempadan aliran sungai menuju WGM


yang ada di Ngadiroyo.

Tabel 3. Hasil uji validasi pengetahuan masyarakat terhadap sabuk hijau


Nomor
r Hitung r Tabel Keterangan
soal

14 0,672 0,514 Valid

15 0,654 0,514 Valid

16 0,843 0,514 Valid

17 0,629 0,514 Valid

18 0,713 0,514 Valid

19 0,523 0,514 Valid

20 0,843 0,514 Valid

21 0,713 0,514 Valid

Tabel 4. Hasil uji validasi sikap masyarakat terhadap sabuk hijau


Nomor
r Hitung r Tabel Keterangan
soal

22 0,679 0,514 Valid

23 0,840 0,514 Valid

24 0,679 0,514 Valid

25 0,659 0,514 Valid

26 0,679 0,514 Valid

27 0,796 0,514 Valid

28 0,795 0,514 Valid

29 0,639 0,514 Valid

30 0,793 0,514 Valid

Tabel 5. Hasil uji validasi sikap masyarakat terhadap pengelolaan sabuk hijau
Nomor
r Hitung r Tabel Keterangan
soal

31 0,617 0,514 Valid

32 0,678 0,514 Valid

33 0,617 0,514 Valid

34 0,741 0,514 Valid


26

35 0,745 0,514 Valid

Tabel 6. Hasil uji validasi kecenderungan bersikap masyarakat terhadap sabuk


hijau
Nomor
r Hitung r Tabel Keterangan
soal

36 0,886 0,514 Valid

37 0,826 0,514 Valid

38 0,608 0,514 Valid

39 0,886 0,514 Valid

40 0,826 0,514 Valid

41 0,638 0,514 Valid

2) Uji reliabilitas
Reliabilitas diartikan sebagai nilai yang menunjukkan
konsistensi sebuah alat ukur dalam mengukur gejala yang sama.
Reliabilitas sebenarnya merupakan alat ukur untuk mengukur
kuesioner yang merupakan indicator dari variabel konstruk (Ghozali,
2011). Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan bantuan
program IBM SPSS, menggunakan uji Chronbach’s Alpha. Instrumen
penelitian dinyatakan reliable jika memiliki nilai Chronbach’s Alpha =
0,60 (Sugiyono, 2013). Dari hasil uji reliabilitas diperoleh nilai
Chronbach’s Alpha ≥ 0,60 sehingga selurh intrumen penelitian
dinyatakan reliabel (Tabel 10).

Tabel 7. Hasil uji reliabilitas


No Aspek Chronbach’s
Nilai Kritis Kesimpulan
Alpha

Pengetahuan masyarakat tentang


1 0,841 0,60 Reliabel
sabuk hijau
Sikap masyarakat terhadap sabuk
2 0,879 0,60 Reliabel
hijau
Sikap masyarakat terhadap
3 0,854 0,60 Reliabel
pengelolaan sabuk hijau
Kecenderungan bersikap
4 0,854 0,60 Reliabel
masyarakat terhadap sabuk hijau
27

3) Teknik analisa data


Analisis Data Sikap masyarakat dalam pengelolaan kawasan sabuk
hijau, hasil kuesioner yang diperoleh dianalisis dengan statistik deskriptif
menggunakan software Microsoft Office Excel 2013. Adapun penyajian
data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sugiyono (2009)
menjelaskan bahwa berdasarkan tingkat kealamiahan (natural setting),
metode kualitatif disebut juga metode naturalistik, yaitu penelitian
dilakukan pada tempat yang alamiah dan tidak membuat perlakuan.
Metode deskriptif pada penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran mengenai pengetahuan dan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan kawasan sabuk hijau WGM.

3. Evaluasi peran serta masyarakat dalam mengelola Kawasan sabuk hijau


a. Populasi dan sampel
Pengambilan data penelitian pada penyebab kerusakan sabuk hijau
dilihat dari sikap masyarakat sekitar wilayah Sabuk Hijau WGM
menggunakan pendekatan purposive sampling atau nonprobabilitas (non
peluang) adalah pengambilan sampel dengan sengaja (purposive) dan
bersifat subjektif. Sampel nonpeluang ini tidak memberikan kesempatan
kepada setiap unit populasi untuk dipilih sebagai unit sampel. Walaupun
begitu, keputusan peneliti tetap pada keyakinan bahwa unit sampel
merupakan reperesentasi dari unit populasi (Indrawan & Yuniawati, 2016).
Pada penelitian ini jumlah sampel (responden) yaitu 30 orang responden
untuk setiap kecamatan yang diambil berdasarkan teknik purposive
sampling yaitu dengan mempertimbangkan tenaga, waktu dan dana.
karena mengingat sangat luasnya kawasan sabuk hijau. Jumlah sampel
yang diambil dalam penelitian ini mengacu pada panduan Roscoe (1975)
dan Champion (1981) dalam Indrawan & Yaniawati (2016) yaitu, ukuran
sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan
penelitian. Selain itu pertimbangan yang lain adalah sampel yang diambil
28

sudah dianggap cukup representatif untuk mewakili populasi di wilayah


penelitian dan sesuai dengan aspek-aspek yang ingin di diteliti.

b. Teknik pengumpulan data


Data sosial masyarakat diperoleh dengan membagikan kuosioner
kepada masyarakat dan melakukan wawancara mendalam dengan
mengikuti prosedur pengambilan sampel dengan metode purposive
sampling, penentuan responden dengan metode ini mengikuti beberapa
pertimbangan seperti umur, pekerjaan, dan jarak tempat tinggal dengan
lokasi sabuk hijau WGM. Untuk mengumpulkan informasi dari sumber
data ini diperlukan teknik wawancara, dalam penelitian kualitatif
khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam
(in-depth interviewing). Teknik wawancara yang dilakukan tidak
dilakukan secara terstruktur, hal ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara lebih mendalam dari informan. Wawancara tak
terstruktur, adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis
dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang
digunakan berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan
(Sugiyono, 2012:197). Tujuan penggunaan wawancara tak terstruktur
dalam penelitian ini adalah agar pertanyaan lebih mendalam dan
pertanyaan lebih luas sehingga mengetahui permasalahan di lapangan yang
tidak direncanakan sebelumnya. Adapun penyusunan kuesioner
berdasarkan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya, dalam menjawab
pertanyaan responden hanya dibenarkan dengan memilih salah satu
alternatif jawaban yang telah disediakan. Pengukuran data sosial
menggunakan angket dalam bentuk checklist yaitu dengan memberi tanda
check (√) pada kolom yang telah disediakan. Skor penilaian angket
menggunakan skala Likert (Sudjana, 2010). Kuesioner yang digunakan
untuk mengumpulkan data sosial perlu diuji terlebih dahulu sebelum
diujikan ke masyarakat dan ahli. Berikut ini beberapa uji yang diperlukan:
1) Uji validitas
29

Uji validitas digunakan untuk mengetahui bagaimana suatu


kuesioner yang digunakan telah mengukur apa yang ingin diukur. Jika
kuesioner tidak valid maka akan memberikan informasi yang tidak
akurat mengenai keadaan responden yang dikenai pengukuran atau tes
tersebut. Uji Validitas pada penelitian ini menggunakan bantuan
aplikasi Microsoft Office Excel 2016 atau menggunakan bantuan
program IBM SPSS dengan menghitung korelasi product moment.

Tabel 8. Hasil uji validasi peran serta masyarakat terhadap


pengelolaan.
Nomor
r Hitung r Tabel Keterangan
soal

1 0,868 0,514 Valid


2 0,882 0,514 Valid
3 0,950 0,514 Valid
4 0,672 0,514 Valid
5 0,868 0,514 Valid
6 0,825 0,514 Valid
7 0,867 0,514 Valid
8 0,873 0,514 Valid
9 0,823 0,514 Valid
10 0,650 0,514 Valid
11 0,576 0,514 Valid
12 0,405 0,514 Tidak Valid
13 -0,335 0,514 Tidak Valid

Berdasarkan hasil validitas dilapangan kuisioner terdapat 2


butir soal (pertanyaan) yang tidak valid dari total 13 butir soal yang
30

diberikan yaitu soal nomor 12 dan 13. Sehingga soal yang valid untuk
digunakan adalah 11 butir soal.
2) Uji reliabilitas
Reliabilitas diartikan sebagai nilai yang menunjukkan
konsistensi sebuah alat ukur dalam mengukur gejala yang sama.
Reliabilitas sebenarnya merupakan alat ukur untuk mengukur
kuesioner yang merupakan indicator dari variabel konstruk (Ghozali,
2011). Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan bantuan
program IBM SPSS, menggunakan uji Chronbach’s Alpha. Instrumen
penelitian dinyatakan reliable jika memiliki nilai Chronbach’s Alpha =
0,60 (Sugiyono, 2013). Hasil uji reliabilitas dari kuesioner peran serta
masyarakat adalah 0,920. Artinya instrument dinyatakan reliable
karena nilainya > 0,60.

c. Teknik analisa data


Analisis Data pengetahuan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan kawasan sabuk hijau, hasil kuesioner yang diperoleh
dianalisis dengan statistik deskriptif menggunakan software Microsoft
Office Excel 2013. Adapun penyajian data yang digunakan adalah metode
deskriptif kualitatif. Sugiyono (2009) menjelaskan bahwa berdasarkan
tingkat kealamiahan (natural setting), metode kualitatif disebut juga
metode naturalistik, yaitu penelitian dilakukan pada tempat yang
alamiah dan tidak membuat perlakuan. Metode deskriptif pada
penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
pengetahuan dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan
sabuk hijau WGM.

4. Merumuskan strategi pengelolaan Kawasan sabuk hijau


a. Populasi dan sampel
Pengambilan data penelitian pada strategi pengelolaan sabuk hijau
menggunakan data kuesioner dan wawancara sikap dan peranserta
31

masyarkat kepada narasumber atau masyarakat sekitar wilayah Sabuk


Hijau WGM menggunakan pendekatan purposive sampling.

b. Teknik pengumpulan data


Data sosial masyarakat diperoleh dengan membagikan kuosioner
kepada masyarakat dan melakukan wawancara mendalam dengan
mengikuti prosedur pengambilan sampel dengan metode purposive
sampling, penentuan responden dengan metode ini mengikuti beberapa
pertimbangan seperti umur, pekerjaan, dan jarak tempat tinggal dengan
lokasi sabuk hijau WGM. Untuk mengumpulkan informasi dari sumber
data ini diperlukan teknik wawancara, dalam penelitian kualitatif
khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam
(in-depth interviewing). Teknik wawancara yang dilakukan tidak
dilakukan secara terstruktur, hal ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara lebih mendalam dari informan. Wawancara tak
terstruktur, adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis
dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Pedoman wawancara yang digunakan berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2012:197). Tujuan
penggunaan wawancara tak terstruktur dalam penelitian ini adalah agar
pertanyaan lebih mendalam dan pertanyaan lebih luas sehingga
mengetahui permasalahan di lapangan yang tidak direncanakan
sebelumnya.

c. Teknik analisa data


Analisis strategi pengelolaan sabuk hijau WGM, Wonogiri
digunakan analisis SWOT (Strength, Opportunities, Weakness, Threats)
yang dilakukan dengan analisis faktor internal dan eskternal yang
berpengaruh terhadap kondisi sabuk hijua WGM. Menurut Rangkuti
(2001) analisis SWOT adalah suatu identifikasi faktor strategis secara
sistematis untuk merumuskan strategi. Strategi adalah alat yang sangat
32

penting untuk mencapai tujuan. Strategi adalah perencanaan induk yang


koperhensif yang menjelaskan bagaimana mencapai semua tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Dari pengertian SWOT tersebut dijelaskan
sebagai berikut.
1) Evaluasi Faktor internal
a) Kekuatan (strength), yaitu kekuatan apa yang dimiliki sabuk hijau.
Dengan mengetahui kekuatan, sabuk hijau dapat dikembangkan
menjadi lebih baik dan menguntungkan banyak pihak. Beberapa
factor yang dapat diramalkan dari kekuatan untuk pengelolaan sabuk
hijau adalah pengetahuan tentang sabuk hijau yang baik dari
masyarakat, pengetahuan pemanfaatan lahan yang baik dari
masyarakat, komitmen masyarakat terhadap dampak penggunan
lahan, karakteristik vegetasi yang baik, dan identitas dari responden.
b) Kelemahan (weakness), yaitu segala faktor yang tidak
menguntungkan atau merugikan bagi sabuk hijau. Beberapa factor
yang dapat diramalkan dari kelemahan untuk pengelolaan sabuk
hijau adalah pengetahuan yang buruk dari masyarakat tentang sabuk
hijau maupun dampak penggunaan lahan, dan kondisi topografi tiap
kecamatan.

2) Evaluasi Faktor Eksternal


a) Kesempatan (opportunities), yaitu semua kesempatan yang ada
sebagai kebijakan pemerintah, peraturan yang berlaku yang
dianggap memberi peluang bagi pengelolaan sabuk hijau. Beberapa
factor yang dapat diramalkan dari kesempatan untuk pengelolaan
sabuk hijau adalah peraturan yang telah ditetapkan pemerintah,
pendampingan dari stakeholder dalam hal penggunaan lahan,
pengawasan dan pemeliharaan (pelestarian) sabuk hijau.,
b) Ancaman (threaths), yaitu hal-hal yang dapat mendatangkan
kerugian bagi sabuk hijau. Beberapa factor yang dapat diramalkan
dari Ancaman untuk pengelolaan sabuk hijau adalah kondisi
33

ekonomi masyarakat, kondisi anomali cuaca, pemanfaatan lahan


tanpa mempedulikan kelestarian sabuk hijau, perusakan sabuk hijau
oleh masyarakat setelah tau manfaat dan fungsinya.

Analisis SWOT berarti analisis berdasarkan pada Strength-


Weakness-Opportunities-Threath, yakni kekuatan-kelemahan-kesempatan-
kendala. Melalui analisis SWOT, akan membantu dalam penyimpulan
akhir penelitian. Analisis SWOT menggunakan matriks internal factor
evaluation (IFE) dan matriks eksternal factor evaluation (EFE), dimana
IFE yang meliputi kekuatan dan kelemahan dan EFE meliputi peluang dan
tantangan.

Tabel 9. Matrik SWOT

IFE
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
EFE
Peluang (O) Strategi SO Strategi WO
(strategi yang memanfaatkan (strategi yang meminimalkan
kekuatan dan memanfaatkan kelemahan dan
peluang) memanfaatkan peluang)
Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT
(strategi yang menggunakan (strategi yang meminimalkan
kekuatan dan mengatasi kelemahan dan menghindari
ancaman) ancaman)

Alternatif strategi adalah hasil dari matrik analisis SWOT yang


menghasilkan berupa Strategi SO, WO, ST dan WT. Alternatife strategi
yang dihasilkan minimal 4 buah stategi sebagai hasil dari analisis matrik
SWOT. Menurut Rangkuti (2001) menyatakan bahwa strategi yang
dihasilkan adalah sebagai berikut:
1) Strategi SO dibuat berdasarkan jalan pikiran memanfaatkan seluruh
kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
2) Strategi ST dibuat berdasarkan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi
ancaman.
3) Strategi WO diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada
dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
34

4) Strategi WT dididasakan pada kegiatan usaha meminimalkan kelemahan


yang ada serta menghindari ancaman
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian
a. Kondisi Geografis
WGM atau yang lebih dikenal dengan Waduk Gajah Mungkur
(WGM) Wonogiri dibangun tahun 1976 sampai tahun 1981 yang terletak
(7o54’7,834” LS – 110o53’27,085” BT, ± 108 mdpl) dan berlokasi 7 km di
selatan Kabupaten Wonogiri. Luas daerah genangan lebih dari 8800 ha
dan luas daerah yang dibebaskan 90 km2 yang terdiri dari 51 desa di 6
kecamatan. Kondisi secara umum WGM pada awalnya yaitu mempunyai
luas daerah tangkapan air seluas kurang lebih 1.350 km2; memiliki 6
(enam) Daerah Aliran Sungai / DAS seluas 1.260 km2 yaitu Sub DAS
Keduang, Tirtomoyo, Temon, Bengawan Solo Hulu, Alang, Ngunggahan;
74 % daerah tangkapan air masuk wilayah Kabupaten Wonogiri,
mempunyai Daerah pasang surut seluas kurang lebih 6.000 ha yang
digunakan oleh masyarakat untuk budidaya pertanian seluas kurang lebih
804 ha; serta mempunyai daerah sabuk hijau yang mengelilingi seluruh
daerah genangan waduk.
Kawasan sabuk hijau WGM memiliki luasan + 1653 ha yang
terletak pada elevasi 138,2 m - 140 m dari permukaan air laut dan
mengelilingi waduk yang berada di 5 kecamatan, yaaitu Eromoko,
Wuryantoro, Wonogiri, Nguntoronadi dan Baturetno serta di ngadirojo dan
Giriwoyo yang berarda di pinggir aliran sungai (Direktorat Jendral Sumber
Daya Air, 2000). Status tanah yang dijadikan waduk dan pendukungnya
adalah milik Negara. Adapun rincian dari luasan sabuk hijau setiap
kecamatan adalah pada Tabel 10.
Tabel 10. Rincian luasan sabuk hijau setiap kecamatan.
No. Kecamatan Luasan Sabuk Hijau
1. Wonogiri 84 ha
2. Ngadirojo 95 ha
3. Nguntoronadi 539 ha
4. Baturetno 325 ha
5. Giriwoyo 41 ha
6. Eromoko 343 ha
7. Wuryantoro 226 ha
(sumber: Direktorat Jendral Sumber Daya Air, 2000)

35
36

b. Keadaan social ekonomi Penduduk


1) Kependudukan
Berdasarkan data administrasi dari DISDUKCAPIL Kabupaten
Wonogiri tahun 2019, jumlah kepala keluarga di lima kecamatan yaitu
Kecamatan Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Nguntoronadi,
Baturetno pada tahun 2019 adalah 80.770 KK dimana 67.161 berjenis
kelamin laki-laki dan 13.609 berjenis kelamin perempuan dengan
jumlah total penduduk di lima kecamatan adalah 236.896 jiwa.
Komposisi jumlah kepala keluarga berdasarkan jenis kelamin dan
umur di lima kecamatan dapat dilihat pada (Tabel 11 dan 12).
Tabel 11. Jumlah kepala keluarga berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah
No kecamatan Laki-laki Perempuan Total
∑ % ∑ % ∑
1. Eromoko 13.720 85.28 2.369 14.72 16089
2. Wuryantoro 7.995 80.49 1.938 19.51 9933
3. Wonogiri 24.272 83.88 4.666 16.12 28938
4. Nguntoronadi 7.385 83.77 1.431 16.23 8816
5. Baturetno 13.789 81.14 3.205 18.86 16994
Jumlah 67.161 13.609 80.770
(Sumber: DISPENDUKCAPIL, 2019)

Tabel 12. Jumlah kepala keluarga berdasarkan umur


No Kecamatan Umur
< 24 25-39 40-54 > 55
1. Eromoko 191 3027 4816 7820
2. Wuryantoro 73 1703 2882 5198
3. Wonogiri 278 6379 9952 11971
4. Nguntoronadi 89 1698 2698 4336
5. Baturetno 148 5293 5293 8094
Jumlah 779 15984 25641 37419
(Sumber: DISPENDUKCAPIL, 2019)
2) Tingkat pendidikan
Berdasarkan data dari DISDUKCAPIL Kabupaten Wonogiri tahun
2019, tingkat pendidikan kepala keluarga di lima kecamatan yaitu
Kecamatan Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Nguntoronadi,
Baturetno rata-rata terbanyak berpendidikan tamatan SD, SMP dan
SMA sedangkan untuk jenjang di atasnya masih sangat sedikit.
selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 13.
37

Tabel 13. Jumlah kepala keluarga berdasarkan pendidikan


No Jenjang Pendidikan A B C D E ∑
1. Tidak sekolah 858 460 642 336 578 2874
2. Belum tamat SD 1547 691 1180 258 986 4662
3. Tamat SD 6940 3708 8136 3906 5611 28301
4. SMP/sederajat 2991 1883 4550 1835 3171 14430
5. SMA/sederajat 2988 2583 9735 1994 5269 22569
6. Diploma I / II 82 84 347 93 190 796
7. Diploma III 121 114 912 82 226 1455
8. D IV / Sarjana 312 313 2724 248 694 4291
9. Magister 15 20 346 9 41 431
10. Doktor 0 0 8 0 1 9
Keterangan : A (Kec. Eromoko), B (Kec. Wuryantoro), C (Kec. Wonogiri), D (Kec.
Nguntoronadi), E (Kecamatan Baturetno).
(Sumber: DISPENDUKCAPIL, 2019)

3) Mata Pencaharian
Berdasarkan data dari DISDUKCAPIL Kabupaten Wonogiri
tahun 2019 jenis mata pencaharian kepala keluarga di lima
kecamatan yaitu Kecamatan Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri,
Nguntoronadi, Baturetno beragam. Mayoritas mata pencaharian
kepala keluarga adalah petani. (Tabel 14).

Tabel 14. Jumlah kepala keluarga berdasarkan mata pencaharian


No Mata pencaharia A B C D E ∑
1. Tidak bekerja 33 15 267 20 57 392
2. Mengurus rumah tangga 329 211 1378 264 848 3030
3. Pelajar / Mahasiswa 11 7 47 12 47 124
4. Pensiunan 239 324 1738 176 489 2966
5. PNS 244 263 1829 245 500 3081
6. TNI 6 13 93 7 26 145
7. Polisi 14 26 223 12 37 312
8. Pedagang 486 354 3363 236 1045 5484
9. Petani 9757 4998 4824 4814 6783 31176
10. Nelyan 67 124 64 51 94 400
11. Karyawan swasta 1984 1410 8399 1580 2429 15802
12. Buruh lepas 280 30 699 88 638 1735
13. Buruh tani 7 1 23 13 21 65
14. Guru / dosen 41 60 243 31 148 523
15. Wiraswasta 1508 1402 3151 704 2396 9161
16. Perangkat desa 136 73 65 68 123 465
17. lainnya 712 545 2174 440 1087 4958
Keterangan : A (Kec. Eromoko), B (Kec. Wuryantoro), C (Kec. Wonogiri), D (Kec.
Nguntoronadi), E (Kecamatan Baturetno).
(Sumber: DISPENDUKCAPIL, 2019)
38

2. Kondisi eksisting kawasan sabuk hijau


Sabuk hijau (Green belt) dapat di artikan sebagai hutan kecil yang
berfungsi sebagai pelindung, penyangga, dan untuk membatasi
perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan
lain-lain) atau membatasi aktivitas sutu dengan aktivitas lainnya agar tidak
saling mengganggu, serta pengamanan dari factor lingkungan sekitarnya
(Fakhrian dkk, 2015). Kondisi eksisting kawasan sabuk hijau dari sisi
masyarakat di kawasan sabuk hijau dilihat dari kegiatan masyarakat
dikawasan sabuk hijau seperti kegiatan bertani dan berladang, mencari biji
pohon mahoni, maupun mencari pakan ternak di kawasan tersebut.
Tanaman yang ditanaman oleh petani dikawasan sabuk hijau adalah
tanaman semusim, seperti padi, jagung, kacang tanah dan ketela pohon
saat musim penghujan dan saat musim kemarau banyak yang tidak
menanami dikarenakan sulit air. Beberapa kegiatan yang ada disekitar
sabuk hijau yang berpotensi terjadinya kerusakan pada sabuk hijau.
Kondisi eksisting kawasan sabuk hijau di WGM dapat dilihat dari
komposisi dan struktur vegetasinya. Analisis vegetasi di bagi menjadi 2,
yaitu analisis vegetasi berupa pohon dan berupa tanaman penutup lantai.
Pengambilan sampel dibagi menjadi 12 stasiun di 5 kecamatan. Penentuan
stasiun adalah kawasan sabuk hijau yang masih memiliki tegakan, bukan
area yang berubah menjadi lahan pertanian melainkan area yang sedang
direboisasi atau yang ditunjukkan oleh pengawas.
Berdasarkan hasil pengamatan pada 12 stasiun di kawasan sabuk
hijau WGM yang diteliti, ditemukan 14 spesies pohon yang termasuk
dalam 9 famili dengan jumlah 65 individu untuk tingkat pohon, 119
individu untuk tingkat tiang, 83 individu untuk tingkat pancang dan 81
individu untuk tingkat semai. Hasil perhitungan kerapatan, frekuensi,
dominasi, INP, dan indeks diversitas disajikan pada table 6 dan 7.
Sedangkan hasil vegetasi penutup lantai, ditemukan total 56 spesies
tanaman penutup lantai yang termasuk ke dalam 17 famili dengan jumlah
39

total 53755 individu. Hasil perhitungan kerapatan, frekuensi, dominansi,


INP, dan indeks diversitas disajikan masing-masing pada table 15, 16, 17
dan 18.
Tabel 15. Nilai kerapatan masing-masing strata pohon.
Kerapatan (Ha) Kerapatan Relatif (%)
No Jenis
P T Pa S P T Pa S
1 Acacia Mangium 8 8 167 1042 18.46 2,52 18,07 18,52
2 Albizia chinensis 7 11 33 278 15.38 3,36 3,61 4,94
3 Albizia saman 1 - - 139 3.08 2,47
4 Anacardium occidentale 4 50 44 9.23 15,13 4,82
5 Dalbergia latifolia 3 42 100 1250 6.15 12,61 10,84 22,22
6 Mangifera indica 1 11 1.54 1,2
7 Melaleuca leucadendra 3 8 6.15 2,52
8 Tectona grandis 18 200 378 2708 40.00 60,5 40,96 48,15
9 Manihot utilisima 6 1,68
10 Swietenia mahagoni 6 1,68
11 Annona squamosa 67 208 7,23 3,70
12 Anthocephalus macrophyllus 78 8,43
13 Carica papaya 22 2,41
14 Leucaena glauca 22 2,41

Jumlah 45 331 922 5625


Keterangan : P (Pohon), T (Tiang), Pa (Pancang), dan S (Semai),
Sumber: Analisis Data Primer (2019)

Tabel 16. Nilai frekuensi masing-masing strata pohon.


N Frekuensi Frekuensi Relatif (%)
Jenis
o P T Pa S P T Pa S
13.7
1 Acacia Mangium 0,08 0,11 0,14 9.68 9.68 18.52
0.08 9
2 Albizia chinensis 0.08 0,06 0,03 0,06 9.68 6.45 3.45 7.41
3 Albizia saman 0.03 0,03 3.23 3.70
4 Anacardium occidentale 0.08 0,08 0.06 9.68 9.68 6.90
10.3
5 Dalbergia latifolia 0,08 0,08 0,08 9.68 9.68 11.11
0.08 4
6 Mangifera indica 0.03 0,03 3.23 3.45
7 Melaleuca leucadendra 0.08 0,03 9.68 3.23
45.1 54.8 41.3
8 Tectona grandis 0,47 0,33 0,36 48.15
0.39 6 4 8
9 Manihot utilisima 0,03 3.23
10 Swietenia mahagoni 0,03 3.23
10.3
11 Annona squamosal 0,08 0,08 11.11
4
Anthocephalus
12 0,03 3.45
macrophyllus
13 Carica papaya 0,03 3.45
14 Leucaena glauca 0,03 3.45

Jumlah 0,86 0,86 0,81 0,75 100 100 100 100


Keterangan : P (Pohon), T (Tiang), Pa (Pancang), dan S (Semai),
Sumber: Analisis Data Primer (2019)

Tabel 17. Nilai dominansi masing-masing strata pohon.


N Dominansi Dominansi Relatif (%)
Jenis
o P T Pa S P T Pa S
12,6 18,4 15,0
1 Acacia Mangium 1,67 26,04 2,19 15,82
3,51 1 2 4
2 Albizia chinensis 2,95 2,24 3,11 10,76 15,4 2,94 3,71 6,54
40

5
3 Albizia saman 1,67 4,17 8,74 2,53
10,7 14,1
4 Anacardium occidentale 6,39 8,46 7,62
1,61 8 5
10,4 13,7
5 Dalbergia latifolia 8,11 7,99 5,59 9,67 4,85
1,07 7 5
6 Mangifera indica 0,23 1,17 1,18 1,39
7 Melaleuca leucadendra 1,56 2,38 7,64 3,12
46.4 39,1 34,5 61,0 46,6
8 Tectona grandis 75,35 45,78
6,58 8 1 1 2 4
9 Manihot utilisima 1,08 1,42
10 Swietenia mahagoni 1,08 1,42
11 Annona squamosal 4,17 40,28 4,97 24,47
Anthocephalus
12 5,06 6,03
macrophyllus
13 Carica papaya 2,22 2,65
14 Leucaena glauca 1,92 1,92

19,0 76,1 83,8 164,5


Jumlah 100 100 100 100
8 7 6 8
Keterangan : P (Pohon), T (Tiang), Pa (Pancang), dan S (Semai)
Sumber: Analisis Data Primer (2019)

Analisis vegetasi pohon tentang nilai kerapatan, frekuensi dan


dominansi setiap jenis strata yang terdapat pada tabel 15, 16 dan 17
menunjukkan bahwa terdapat variasi yang mencolok mengenai kerapatan
14 spesies yang ditemukan. Jumlah individu dari 14 spesies pada setiap
tingkatan pohon, tiang, pancang dan semai berturut-turut sebesar 65; 119;
83 dan 81. Nilai kerapatan pohon paling tinggi diperoleh jenis jati
(Tectona grandis), sebesar 18; 200; 378 dan 2708 individu/hektar untuk
masing-masing tingkat pohon, tiang, pancang dan semai. Nilai frekuensi
tertinggi diperoleh jenis jati (Tectona grandis). pada tingkat pohon, tiang,
pancang dan semai, berturut-turut sebesar 45,16%; 54,84%; 41,38% dan
48,15%. Nilai dominasi masing-masing spesies juga bervariasi. Nilai
tertinggi didapat oleh jenis jati (Tectona grandis) sebesar 7; 46; 39 dan 75
pada masing-masing tingkat pohon, tiang , pancang dan semai.

Tabel 18. Nilai INP dan indeks keanekaragaman vegetasi pohon


INP H'
No Jenis
P T Pa S P T Pa S
1 Acacia Mangium 46.56 14.39 46.90 52.86 0.31 0.09 0.31 0.31
2 Albizia chinensis 40.52 12.75 10.77 18.89 0.29 0.11 0.12 0.15
3 Albizia saman 15.04 8.70 0.11 0.09
4 Anacardium occidentale 27.37 38.95 19.33 0.22 0.29 0.15
5 Dalbergia latifolia 21.42 36.03 30.86 38.19 0.17 0.26 0.24 0.33
6 Mangifera indica 5.95 6.04 0.06 0.05
7 Melaleuca leucadendra 23.48 8.86 0.17 0.09
8 Tectona grandis 119.67 176.36 128.98 142.08 0.37 0.30 0.37 0.35
9 Manihot utilisima 6.33 0.07
41

10 Swietenia mahagoni 6.33 0.07


11 Annona squamosa 22.54 39.29 0.19 0.12
Anthocephalus
12 macrophyllus 17.91 0.21
13 Carica papaya 8.51 0.09
14 Leucaena glauca 8.14 0.09

Jumlah 300.00 287.34 242.90 260.71 1.70 1.15 1.24 1.24


Keterangan : P (Pohon), T (Tiang), Pa (Pancang), dan S (Semai)
Sumber: Analisis Data Primer (2019)

INP merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter


(kerapatan, frekuensi dan dominasi) yang telah diukur sebelumnya,
sehingga nilainya juga bervariasi. Jati (Tectona grandis) menjadi spesies
dengan INP tertinggi. Baik tingkat pohon, tiang, pancang dan semai
masing-masing sebesar 119,67;176,36; 128,98 dan 142,08. Beberapa jenis
pohon yang INPnya terrendah antara lain jenis mangga (INP=5,95) untuk
tingkat pohon, ketela pohon dan mahoni untuk tingkat tiang (INP=6,33),
mangga untuk tingkat pancang (INP=8,86), dan trembesi untuk tingkat
semai (INP=8,7).
Berdasarkan INP seluruh jenis selanjutnya dihitung indeks
diversitas (H’) Shannon-Wiener ditunjukkan pada table 18. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa indeks diversitas spesies pada seluruh
plot yang diteliti adalah 1,7 untuk pohon; 1,15 untuk tiang; 1,24 untuk
pancang dan 1,24 untuk semai. Jika menggunakan kriteria Barbour et al.
(1987) maka indeks diversitas spesies sebesar 1,15-1,7 termasuk dalam
kategori sedang.

Tabel 19. Analisis vegetasi penutup lantai


No Nama Sp D (180m2) Frekuensi NP H'
1 Acacia mangium 135 0.639 7.794 0.000043
2 Ageratum conizoides 2110 0.139 5.565 0.003046
3 Albizia chinensis 25 0.083 1.030 0.000002
4 Albizia saman 125 0.139 1.872 0.000038
5 Andropogon aciculatus 945 0.167 3.726 0.000952
6 Arachis hypogea 390 0.250 3.677 0.000241
7 Axonopus compressus 5710 0.139 12.262 0.010699
8 Boreria accymoides 430 0.056 1.456 0.000281
9 Cissus repens 85 0.083 1.142 0.000020
10 Clitoria ternatea 115 0.028 0.542 0.000033
11 Costus spesious 50 0.167 2.061 0.000008
12 Crotalaria saltiana 385 0.167 2.684 0.000236
13 Croton grandulosus 800 0.083 2.472 0.000740
14 Cynodon dactylon 1370 0.083 3.532 0.001650
15 Cyperus rotundus 350 0.111 1.963 0.000203
16 Dactyloctenium aegyptium 1530 0.028 3.174 0.001936
42

17 Dalbergia latifolia 400 0.056 1.400 0.000251


18 Demosdium latifolium 195 0.139 2.003 0.000078
19 Digitaria ciliaris 2370 0.250 7.360 0.003572
20 Digitaria sanguinalis 4305 0.028 8.336 0.007711
21 Eclipta prostrata 20 0.167 2.005 0.000002
22 Eleocharis sp 1055 0.222 4.586 0.001123
23 Elepanthopus scaber 265 0.139 2.133 0.000129
24 Eleusine indica 1875 0.306 7.096 0.002584
25 Euphorbia hirta 2045 0.111 5.116 0.002917
26 Fimbristylis annua 1860 0.389 8.051 0.002555
27 Galinsoga parviflora 990 0.056 2.498 0.001021
28 Hedyotis carimbosa 610 0.028 1.463 0.000487
29 Hymenocalis littoralis 45 0.111 1.396 0.000007
30 Hyptis brevipes 590 0.028 1.426 0.000463
31 Hyptis sauveolens 25 0.111 1.358 0.000002
32 Imperata cylindrika 1560 0.111 4.214 0.001990
33 Ipomea reptans 70 0.083 1.114 0.000014
34 Kyllinga monocephala 1270 0.028 2.691 0.001477
35 Leersia hexandra 370 0.417 5.608 0.000221
36 Melochia corchorifolia 85 0.472 5.733 0.000020
37 Mimosa invisa 1450 0.056 3.353 0.001791
38 Mimosa pudica 1785 0.278 6.600 0.002411
39 Ocimum gratissimum 155 0.083 1.272 0.000054
40 Oplismenus burmanii 6580 0.056 12.897 0.012468
41 Oryza sativa 355 0.083 1.644 0.000207
42 Panicum flavidum 65 0.083 1.105 0.000012
43 Paspalum commersonii 1150 0.389 6.731 0.001276
44 Paspalum conjugatum 1675 0.528 9.347 0.002203
45 Pennisetum purpureum 1850 0.056 4.097 0.002536
46 Phylanthus urinaria 1340 0.083 3.477 0.001597
47 Ruellia tuberosa 20 0.222 2.661 0.000002
48 Sphenodea zeylanica 195 0.167 2.330 0.000078
49 Tectona grandis 110 0.278 3.484 0.000030
50 Tridax procumben 270 0.222 3.126 0.000133
51 Uraria logopodioides 925 0.028 2.049 0.000922
52 Urena lobata 285 0.083 1.514 0.000146
53 Vernonia cineria 240 0.056 1.102 0.000110
54 Vigna radiata 655 0.028 1.546 0.000544
55 Zingiber officinale 20 0.028 0.365 0.000002
56 Zingiber zerumbet 70 0.056 0.786 0.000014
Sumber: Analisis Data Primer (2019)

Hasil analisis vegetasi penutup lantai pada Tabel 19 menunjukkan


bahwa spesies yang memiliki densitas tertinggi adalah Oplismenus
burmanii yaitu 6580 individu/ 180m2. Selain itu, beberapa spesies
memiliki densitas tertinggi yaitu: Axonopus compressus ( 5710 individu/
180m2), Digitaria sanguinalis (4305 individu/ 180m2), Digitaria ciliaris
(2370 individu/ 180m2) dan Ageratum conyzoides (2110 individu/
180m2). Sedangkan spesies dengan densitas terendah adalah Zingiber
officinale, Ruellia tuberosa, dan Eclipta prostrata dengan jumlah masing-
masing 20 individu per 180 m2. Tabel 8 menunjukkan bahwa spesies yang
sering hadir di setiap plot dan distribusinya merata adalah Ageratum
conizides (0,639), Phylanthus urinaria (0,528), serta Mimosa pudica
(0,472). Sedangkan jika dianalisis setiap famili, famili dengan frekuensi
tertinggi adalah Poaceae (2,17), Asteraceae (1,47) serta Fabaceae (1,03).
43

Besarnya INP yang menggambarkan dominasi masing-masing


spesies LCC pada lokasi penelitian. Berdasarkan perhitung-an tersebut,
diketahui bahwa lokasi penelitian didominasi oleh Oplismenus burmanii
(INP: 15,5087%), Axonopus compressus (11,4415%), Ageratum
conyzoides (INP: 18,2019%). Sedangkan jika dihitung tiap famili, maka
lokasi penelitian didominasi oleh Poaceae (INP: 74,141%), Cyperaceae
(INP: 25,7918%) dan Fabaceae (INP: 21,9523%). Pada analisis kuantitatif
yang dilakukan terhadap vegetasi penutup lantai di kawasan sabuk hijau
WGM selain kawasan pertanian, diperoleh hasil perhitungan indeks
diversitasnya adalah 0,07329, yang artinya bahwa nilai H’<1. Hal ini
menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies di lokasi penelitian rendah.
Kriteria vegetasi untuk RTH pada sempadan waduk/sungai adalah
salah satunya memiliki system perakaran yang kuat dan dalam, sehingga
dapat menahan erosi dan meningkatkan filtrasi.

3. Faktor penyebab kerusakan sabuk hijau Waduk


Kerusakan vegetasi sabuk hijau waduk merupakan salah satu
masalah penting yang terjadi di area sekitar waduk. Fungsi dari sabuk
hijau sendiri adalah sebagai daerah penyangga dari waduk atau dengan
kata lain sebagai area pencegah erosi di sempadan waduk, menjaga
stabilitas tanah dan kawasan pemisah antara waduk dengan lahan
disekelilingnya (Rahayu et al, 2016). Analisis factor penyebab kerusakan
sabuk hijau bisa disebabkan 2 faktor, yaitu factor alam (lingkungan)
maupun faktor manusia (social). Factor alam atau abiotik merupakan
factor yang mempengaruhi pertumbuhan vegetasi yang berada di sabuk
hijau. komponen biotik yang di kehendaki peneliti adalah kondisi curah
hujan, kelembapan, suhu, dan jenis tanah, sedangkan factor manusia
dilihat dari sikap masyarakat yang berada di sekitar sabuk hijau.
a. Factor lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi pertmbuhan, penyebaran, dan
perkembangan vegetasi sabuk hijau yang berasosiasi dengannya.
Faktor-faktor tersebut dapat berupa curah hujan, suhu kelembaban
44

udara dan jenis tanah tempat tumbuhnya vegetasi. Hasil pengukuran


parameter lingkungan bisa dilihat dalam (Tabel 20).
Tabel 20. Faktor lingkungan di lima kecamatan.
Faktor Lingkungan
No. Kecamatan
Curah hujan Suhu kelembapan jenis tanah
1 Eromoko 144.92 28.85 85.75 Vertisol
2 Wuryantoro 178.75 29.6 86.33 Vertisol
3 Wonogiri 186.25 31.3 85.75 Alfisol
4 Nguntoronadi 181.42 28.95 86.25 Vertisol
5 Baturetno 145.75 28.2 85.23 Vertisol
Sumber : data primer 2019 dan data BPS
Hasil analisis dari factor lingkungan di lima kecamatan di atas
adalah factor lingkungan yang cocok untuk tanaman-tanaman tahunan
tumbuh. Seperti diketahui pada tabel 18, tanaman yang memiliki INP
tertinggi adalah tanaman jati. Tanaman jati dapat tumbuh pada kisaran
temperatur antara 9º sampai 41ºC, pada kisaran curah hujan diantara 1
300 sampai 3.800 mm per tahun dan periode kering antara 3 sampai 5
bulan dalam setahun (White, 1991). Di Indonesia, tanaman jati biasa
ditanam pada tanah-tanah berkapur dengan pH agak masam sampai
netral, memiliki solum yang dalam, berdrainase baik, dan memiliki
musim kemarau yang jelas (Widiatmaka dkk, 2015). Jadi, secara teori
factor lingkungan yang ada di Wonogiri tidak mempengaruhi
kerusakan pada sabuk hijau WGM.

b. Factor Sosial
Factor social yang ingin dilihat oleh penelitian ini adalah Sikap
masyarakat yang terdiri dari tiga komponen, yaitu: kognitif atau
pengetahuan yang diyakini, afektif (perasaan) dan konatif atau
perilaku/kecenderungan bersikap (Azwar, 2015; Hawkins &
Mothersbaugh, 2010).

1) Pengetahuan yang diyakini (kognitif)


Berdasarkan hasil penelitian dilapangan tentang pengetahuan yang
diyakini oleh masyarakat seperti yang terangkum dalam table.
45

Tabel 21. Pengetahuan masyarakat tentang sabuk hijau dan dampak


pemanfaatannya (kognitif).
Jawaban
Pertanyaan 14-21
Benar Salah
Sabuk hijau WGM memiliki peran utama sebagai kawasan
pembatas perkembangan suatu penggunaan lahan atau 144 responden 6 responden
membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya. (96%) (4%)
(benar/salah)
Fungsi utama sabuk hijau WGM adalah sebagai penahan 123 responden 27 responden
erosi, dan penyerap air disekitar waduk (82%) (18%)
Tanaman yang cocok ditanam di kawasan sabuk hijau? 36 responden 114 responden
jenis tanaman keras (pepohonan) (24%) (76%)
Bagaimanakah kondisi tanaman dikawasan Sabuk hijau
72 responden 78 responden
WGM saat ini? perlu rehabilisasi dan penambahan
(48%) (52%)
jenis tanaman lain
Dampak utama pemanfaatan lahan kawasan sabuk hijau 117 responden 144 responden
adalah erosi dan pendangkalan di sekitar waduk (78%) (96%)
Apa penyebab utama perubahan yang terjadi dikawasan 93 responden 57 responden
sabuk hijau? factor perbuatan manusia (62%) (38%)
Langkah nyata apa yang harus dilakukan saat ini agar
64 responden 86 responden
kelestarian kawasan sabuk hijau WGM tetap terjaga?
(42,67%) (57,33%)
Mengadakan reboisasi
Bagaimana langkah anda dalam mengatasi dampak
pemanfaatan lahan kawasan sabuk hijau WGM saat ini? 45 responden 105 responden
Tidak merusak kawasan sabuk hijau yang telah di (30%) (70%)
reboisasi.
Sumber : kuosioner 2019

Pengetahuan masyarakat, menunjukkan bahwa masyarakat tahu tentang


definisi dan fungsi dari sabuk hijau di WGM. Hal ini terbukti dengan 96%
responden menjawab benar mengenai peran utama sabuk hijau WGM sebagai
pembatas perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu
dengan aktivitas lainnya. Sedangkan sebanyak 82% responden menjawab benar
mengenai fungsi utama dari sabuk hijau sabuk hijau WGM adalah sebagai
penahan erosi, dan penyerap air disekitar waduk. Jenis tanaman yang sebaiknya
ditanam di kawasan sabuk hijau Waduk Serbaguna, yang menjawab benar hanya
24% responden yaitu jenis tanaman keras (pepohonan). 76% responden menjawab
seharusnya kawasan sabuk hijau ditanami tanaman semusim. Kondisi ini dapat
mengancam kelestarian fungsi waduk, karena hutan lebat dan rerumputan
merupakan jenis vegetasi yang lebih efektif menahan erosi dibandingkan tanaman
sela, kapas dan jagung (Bennet, 1995). Hal ini dapat terjadi mungkin dipengaruhi
46

oleh kondisi ekonomi responden dan persepsi lahan yang menguntungkan.


Pertanyaan tentang dampak utama Dampak utama pemanfaatan lahan kawasan
sabuk hijau adalah erosi dan pendangkalan di sekitar waduk, 78% responden
menjawab benar sedangkan untuk pertanyaan penyebab terjadinya perubahan di
sabuk hijau WGM adalah dari factor manusia, 62% responden menjawab benar.
Masyarakat sudah mengerti bahwa memanfaatkan sabuk hijau dapat berdampak
pada keberlangsungan waduk. Walaupun kasus pendangkalan WGM di sebabkan
oleh erosi di daerah hulu dari DAS Bengawan Solo (Maridi dkk., 2015).
Pertanyaan mengenai langkah-langkah untuk menjaga kelestarian sabuk hijau dan
mengatasi dampak pemanfaatan kawasan sabuk hijau WGM, masing-masing
42,67% responden dan 30% responden menjawab benar. Hal ini menunjukkan
masyarakat masih belum terlalu mengerti tentang bagaimana langkah yang harus
segera di ambil untuk menyelamatkan perubahan sabuk hijau yang semakin
menyempit. Secara keseluruhan jawaban responden banyak yang benar, tetapi di
pertanyaan-pertanyaan tertentu banyak yang salah juga. Semua itu tidak luput dari
pengaruh kondisi responden saat ini.

Tabel 22. Skor pengetahuan masyarakat tentang sabuk hijau dan dampak
pemanfaatannya (kognitif).
Kecamatan
Skor Kategori Total
Ero Wur Won Ngu Ba
2 2 3 4 7 18
0-3 Rendah responden responden responden responden responden responden
6,67 % 6,67 % 10 % 13,33 % 23,33 % 12 %
26 19 25 19 14 103
4-5 Sedang responden responden responden responden responden responden
86,67 % 63,33 % 83,33 % 63,33 % 46,67 % 68,67 %
2 9 2 7 9 18
6-8 Tinggi responden responden responden responden responden responden
6,67 % 30 % 6,67 % 23,33 % 30% 19,33 %
Jumlah responden 30 30 30 30 30 150
Keterangan : Ero (Eromoko), Wur (Wuryantoro), Won (Wonogiri), Ngu (Nguntoronadi), Ba
(Baturetno)

Berdasarkan table 22 di atas, menyatakan bahwa skor pengetahuan


masyarakat tentang sabuk hijau dan dampak pemanfaatannya yang mendominasi
di lima kecamatan yaitu rata-rata berada di katagori sedang dan tinggi. Kecamatan
Baturetno yang pola berbeda, yaitu hampir berimbang antara kategori rendah
23,33% dan tinggi 30%. Secara keseluruhan skor perolehan di dominasi kategori
47

sedang yaitu sebanyak 68,67%. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat disekitar
sudah mengetahui fungsi sabuk hijau maupun dampak pemafaatannya walaupun
masih dalam kategori sedang. Ini merupakan respon positif dari pengetahuan
masyarakat dan perlu adanya pembelajaran bagi masyarakat agar masyarakat
lebih mengetahui dan memahami terutama untuk dampak-dampak apasaja yang
akan terjadi pada keberlangsungan waduk jika masyarakat memanfaatkan sabuk
hijau dan manfaat bagi mereka apabila fungsi waduk berjalan sebagaimana
mestinya.

2) Perasaan (afektif)
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan tentang perasaan masyarakat
terhadap keberadaan kawasan sabuk hijau WGM seperti yang terangkum dalam
tabel 23 dan perasaan masyarakat terhadapa pengelolaan kawasan sabuk hijau
WGM seperti yang terangkum dalam tabel 24.

Tabel 23. Perasaan (afektif) masyarakat terhadap manfaat keberadaan kawasan


sabuk hijau WGM.
Jawaban
Pertanyaan 22-30
Ya Tidak
Apakah kondisi sabuk hijau WGM saat ini masih sama 57 responden 93 responden
seperti dulu?* (38%) (62%)
Apakah saudara melakukan pemanfaatan lahan sabuk 150 responden 0 responden
hijau WGM?* (100%) (0%)
Apakah saudara memanfaatkan lahan sabuk hijau 122 responden 28 responden
karena kebutuhan ekonomi? (81,33%) (18,67%)
Apakah saudara memanfaatkan lahan sabuk hijau untuk 150 responden 0 responden
lahan pertanian? (100%) (0%)
Apakah ada ijin/wewenang yang diberikan dari dinas 0 responden 150 responden
pengelola kawasan terkait tentang pemanfaatan lahan? (0%) (0%)
Apakah pengawasan sabuk hijau saat ini sudah baik? 85 responden 65 responden
(56,67%) (43,33%)
Apakah di sini, sudah ada forum komunikasi yang
0 responden 150 responden
membicarakan tentang pengelolaan kawasan sabuk
(0%) (100%)
hijau?*
Saya mengetahuinya tentang peraturan yang melarang
123 responden 27 responden
adanya pemanfaatan lahan disekitar sabuk hijau dari Jasa
(82%) (18%)
Tirta
Apakah menurut anda, jumlah bibit yang digunakan
dalam kegiatan pengelolaan lahan sabuk hijau ini sudah 44 responden 106 responden
cukup memadai untuk memulihkan kembali kerusakan (29,33%) (70,67%)
sabuk hijau tersebut?*
Sumber : kuosioner 2019
48

Perasaan (afektif) masyarakat terhadap manfaat keberadaan kawasan


sabuk hijau WGM, menunjukkan bahwa masyarakat masih banyak memberikan
respon negative terhadap keberadaan sabuk hijau. Hal ini terbukti dengan 62%
responden menjawab bahwa kondisi sabuk hijau saat ini sudah tidak sama dengan
dahulu. Artinya kondisi sabuk hijau di WGM saat ini sudah berubah. Saat
responden ditanya mengenai apakah mereka memanfaatkan lahan sabuk hijau
WGM, 100% menjawab ya dan seluruhnya memanfaatkan lahan tersebut untuk
lahan pertanian. 18,67% responden menjawab tidak memanfaatkan lahan karena
kebutuhan ekonomi maupun lahan menguntungkan tapi karena mereka melihat
bahwa sayang lahan yang menguntungkan tidak di manfaatkan. Terkait dengan
perijinan memanfaatkan lahan sabuk hijau, 100% responden menjawab bahwa
mereka tidak memiliki ijin dalam memafaatkan lahan atau illegal. Terkait dengan
pengawasaan sabuk hijau, 56,67% menjawab bahwa pengawasan sudah baik. Ini
belum sepenuhnya dikategorikan baik karena hampir setengah dari banyaknya
responden yang menganggap pengawasan belum baik, jadi perlu adanya
penyusuna ulang system pengawasan di lahan sabuk hijau. Mengenai forum
komunikasi yang menjembatani antara masyarakat dan pengelola lahan, 100%
responden menjawab bahwa belum ada forum komunikasi tersebut. Hal ini perlu
adanya kajian untuk membentuk forum dari pihak pengelola, pemerintah desa
maupun dari pihak aktivis agar dapat menjembatani komunikasi warga dengan
pihak pengelola. Adanya larangan untuk memanfaatkan lahan di kawasan sabuk
hijau dan 82% responden mengetahuinya dari pihak pengelola yaitu jasa tirta
melalui papan yang dipasang di pinggir lahan sabuk hijau. Pertanyaan jumlah
bibit yang digunakan dalam kegiatan pengelolaan lahan sabuk hijau ini sudah
cukup memadai untuk memulihkan kembali kerusakan sabuk hijau, 70,67%
responden menjawab tidak memadai. Hal ini mengingat bahwa luasan sabuk hijau
sendiri adalah 1653 ha dan belum semuanya dilakukan reboisasi. masyarakat
masih banyak memberikan respon negative terhadap keberadaan sabuk hijau, oleh
karena itu perlu adanya kajian lebih lanjut dalam agar masyarakat mempunyai
rasa memiliki dan menjaga keberadaan sabuk hijau.
49

Tabel 24. Skor perasaan (afektif) masyarakat terhadap keberadaan kawasan sabuk
hijau WGM.
Kecamatan
Skor Kategori Total
Ero Wur Won Ngu Ba
2 0 0 0 0 2
0-2 Rendah responden responden responden responden responden responden
6,67 % 0% 6,67 % 0% 0% 1,33 %
23 27 29 25 28 132
3-5 Sedang responden responden responden responden responden responden
76,67 % 90 % 96,67 % 83,33 % 93,33 % 88 %
5 3 1 5 2 16
6-8 Tinggi responden responden responden responden responden responden
16,67 % 10 % 3,33 % 16,67 % 6,67 % 10,67 %
Jumlah responden 30 30 30 30 30 150
Keterangan : Ero (Eromoko), Wur (Wuryantoro), Won (Wonogiri), Ngu (Nguntoronadi), Ba
(Baturetno).

Berdasarkan hasil skor perasaan (afektif) masyarakat terhadap keberadaan


kawasan sabuk hijau WGM (tabel 24), yang mendominasi di lima kecamatan
perolehan tertinggi dikecamatan Wonogiri sebesar 96,67 dan terrendah
dikecamatan Eromoko sebanyak 76,67%. Secara keseluruhan skor perolehan di
dominasi kategori sedang yaitu sebanyak 88%. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat disekitar mempunyai rasa memiliki akan keberadaan kawasan sabuk
hijau disekitar mereka walaupun masih dalam kategori sedang. Ini merupakan
respon positif dari afektif masyarakat dan perlu adanya pembelajaran bagi
masyarakat agar masyarakat mempunyai rasa memiliki yang lebih terutama untuk
tidak merusak keberadaan kawasan sabuk hijau guna mendukung
keberlangsungan waduk dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Tabel 25. Perasaan (afektif) masyarakat terhadap pengelolaan kawasan sabuk


hijau WGM.
Jawaban
Pertanyaan 31- 35
Ya Tidak
Setujukah saudara apabila ada pertemuan rutin untuk
80 responden 70 responden
membahas permasalahan pengelolaan kawasan sabuk
(53,33%) (46,67%)
hijau ?
Setujukah saudara apabila jenis tanaman yang ditanam 79 responden 71 responden
di kawasan sabuk hijau adalah jenis pepohonan (52,67%) (47,33%)
Setujukah saudara apabila ada peraturan untuk menjaga 150 responden 0 responden (0
kelestarian kawasan sabuk hijau WGM? (100%) %)
Setujukah saudara bila ada peraturan yang melarang
31 responden 119 responden
adanya pemanfaatan lahan disekitar kawasan sabuk hijau
(20,67 %) (89,33%)
WGM?
Setujukah saudara apabila bibit yang digunakan dalam 120 responden 30 responden
kegiatan pengelolaan lahan sabuk hijau ini adalah (80%) (20%)
50

tanaman yang memberi manfaat bagi warga sekitar


seperti tanaman buah-buahan?
Sumber : kuosioner 2019

Berdasarkan tabel 25 tentang perasaan (afektif) masyarakat terhadap


pengelolaan kawasan sabuk hijau WGM, menunjukkan bahwa masyarakat masih
banyak memberikan respon positif terhadap pengelolaan sabuk hijau. Hal ini
terbukti dengan 100% responden setuju dengan adanya peraturan pelestarian
kawasaan sabuk hijau dan 53,33% setuju di adakannya pertemuan untuk
membahas pengelolaan. Berbanding terbalik dengan pernyataan mereka mengenai
adanya peraturan yang melarang pemanfaatan lahan, yaitu sebanyak 89,33%
responden. Mengenai jenis tanaman sebanyak 52,67% responden menyetujui
bahwa jenis tanaman yang di tanam adalah pepohonan. 80% responden
menyetujui tanaman yang ditanam berupa pohon yang memberi manfaat seperti
buah-buahan.

Tabel 26. Perasaan (afektif) masyarakat terhadap adanya pengelolaan kawasan


sabuk hijau WGM.
Kecamatan
Skor Kategori Total
Ero Wur Won Ngu Ba
1 1 4 0 0 6
0-1 Rendah responden responden responden responden responden responden
3,33 % 3,33 % 6,67 % 0% 0% 4%
17 11 24 23 22 97
2-3 Sedang responden responden responden responden responden responden
56,67 % 36,67 % 80 % 76,67 % 73,33 % 64,67 %
12 18 2 7 8 47
4-5 Tinggi responden responden responden responden responden responden
40 % 60 % 6,67 % 23,33 % 26,67 % 31,33 %
Jumlah responden 30 30 30 30 30 150
Keterangan : Ero (Eromoko), Wur (Wuryantoro), Won (Wonogiri), Ngu (Nguntoronadi), Ba
(Baturetno).

Hasil olah data menggunakan skala likert di lima kecamatan (tabel 26) ,
tentang perasaan masyarakat terhadap pengelolaan kawasan sabuk hijau di WGM,
didominasi kategori sedang dan tinggi. Secara keseluruhan scor untuk kategori
sedang sebanyak 64,67% dan kategori tinggi sebanyak 31,33%. Hal ini dapat
dijadikan bahan untuk mengkaji langkah selanjutnya dalam hal pengelolaan sabuk
hijau walaupun harus lebih ditingkatkan lagi dalam bersosialisasi agar perasaa
masyarakat dapat lebih cinta terhadap keberlanjutan sabuk hijau.
51

3) Kecenderungan bersikap (konatif) terhadap keberlanjutan sabuk hijau WGM.


Berdasarkan hasil penelitian dilapangan tentang kecenderungan bersikap
atau berperilaku (konatif) terhadap keberlanjutan sabuk hijau WGM seperti pada
table 27.

Tabel 27. Kecenderungan bersikap (perilaku) masyarakat terhadap keberlanjutan


kawasan sabuk hijau WGM (konatif)
Jawaban
Pertanyaan 36-41
Bersedia Tidak
Apakah saudara bersedia ikut serta dalam pengelolaan 141 responden 9 responden
dan program konservasi sabuk hijau? (94 %) (6%)
Apakah saudara bersedia memberikan sumbangan
62 responden 88 responden
berupa saran, tenaga dan dana untuk pengelolaan sabuk
(41,33 %) (49,33 %)
hijau kedepannya?
Apakah anda mau berperan serta menyampaikan kepada
123 responden 27 responden (18
anggota keluarga, tetangga atau warga desa tentang
(82 %) %)
manfaat kegiatan pengelolaan sabuk hijau?
Apakah anda bersedia ikut serta memelihara bibit yang 76 responden 74 responden
sudah ditanami tersebut? (50,67%) (49,33%)
Apakah anda bersedia ikut mengawasi sabuk hijau? 54 responden 96 responden (64
(36%) %)
Apakah kedepannya saudara bersedia berhenti untuk
45 responden 105 responden
memanfaatkan lahan di sekitar kawasan sabuk hijau
(30 %) (70 %)
WGM mengingat kondisinya sekarang?
Sumber : kuosioner 2019

Berdasarkan tabel 27 tentang kecenderungan bersikap (perilaku)


masyarakat terhadap keberlanjutan kawasan sabuk hijau WGM (konatif),
menunjukkan bahwa masyarakat masih banyak memberikan respon yang beragam
terhadap keberlanjutan kawasaan sabuk hijau. 94% responden bersedia ikut serta
dalam mengelola sabuk hijau, hanya 41,33% bersedia memberikan sumbangan
berupa saran, tenaga dan dana untuk pengelolaan sabuk hijau. Belum ada kerelaan
dari masyarakat untuk menyumbang terutama dana, karena kondisi ekonomi yang
masih kurang. Pertanyaan mengenai kesediaan berperan serta menyampaikan
52

kepada anggota keluarga, tetangga atau warga desa tentang manfaat kegiatan
pengelolaan sabuk hijau, sebanyak 82% responden menyatakan bersedia.
Sebanyak 50,67 % responden bersedia memelihara bibit yang sudah ditanam. Ini
masih sangat memprihatinkan, karena mereka menganggap bahwa itu adalah
tanggung jawab dari pihak jasa tirta. Kesediaan responden untuk ikut mengawasi
sabuk hijau masih sangat rendah, yaitu hanya 36%. Ini perlu adanya pembelajaran
bagi mereka, karena yang paing dekat dengan sabuk hijau itu mereka dan masih
kurangnya petugas pengawas dari jasa tirta yang hanya berjumlah 12 orang untuk
seluruh luasan sabuk hijau yaitu 1653ha. Pertanyaan kunci mengenai
kecenderungan bersikap masyarakat yaitu kesediaan responden untuk berhenti
memanfaatkan lahan dikawasan sabuk hijau mengingat kondisinya semakin
memprihatikan, yaitu hanya 30% responden yang bersedia. Inilah ancaman yang
paling berbahaya untuk kelangsungan keberadaan sabuk hijau, mengingat
sebanyak 70% dari total responden menjawab masih akan memanfaatkan lahan
walaupun mereka tau konsekuensinya. Perlu adanya diskusi lebih lanjut untuk
memecahkan masalah ini, karena mengingat banyaknya pihak yang terkait dengan
ini.

Tabel 28. Kecenderungan bersikap (perilaku) masyarakat terhadap keberlanjutan


kawasan sabuk hijau WGM (konatif).
Kecamatan
Skor Kategori Total
Ero Wur Won Ngu Ba
11 5 9 11 8 44
0-1 Rendah responden responden responden responden responden responden
36,67 % 16,67 % 30 % 36,67 % 26,67 % 29,33 %
18 23 21 19 21 102
2-4 Sedang responden responden responden responden responden responden
60 % 76,67 % 70 % 63,33 % 70 % 68 %
1 2 0 0 1 4
5-7 Tinggi responden responden responden responden responden responden
3,33 % 6,67 % 0% 0% 3,33 % 2,67 %
Jumlah responden 30 30 30 30 30 150
Keterangan : Ero (Eromoko), Wur (Wuryantoro), Won (Wonogiri), Ngu (Nguntoronadi), Ba
(Baturetno).

Berdasarkan tabel 28 tentang kecenderungan bersikap (perilaku)


masyarakat terhadap keberlanjutan kawasan sabuk hijau WGM (konatif)
menggunakan skala likert di lima kecamatan , didominasi kategori sedang dan
53

rendah. Secara keseluruhan skor untuk kategori rendah sebanyak 29,33% dan
kategori sedang sebanyak 68%. Ini akan menjadi ancaman yang serius bagi
keberlanjutannya. Hal ini dapat dijadikan bahan untuk mengkaji langkah
selanjutnya dalam hal pengelolaan untuk keberlanjutan sabuk hijau.

Tabel 29. Skor sikap masyarakat terhadap sabuk hijau dan pengelolaannya.
Sikap Total
Skor Kategori
Kognitif Afektif Konatif Rata-rata
29 responden 1 responden 44 responden 0 responden
0-1 Rendah
19,33 % 0,67 % 29,33 % 0%
103 responden 105 responden 102 responden 124 responden
2-4 Sedang
68,67 % 70 % 68 % 82,7%
18 responden 44 responden 4 responden 26 responden
5-7 Tinggi
12 % 29,33 % 2,67 % 17,3 %
Jumlah responden 150 150 150 150

Hasil analisis factor manusia atau social jika dilihat dari skor totalnya
(tabel 29) maka respon sikap masyarakat terhadap sabuk hijau berada pada
kategori sedang. Ada beberapa pertanyaan yang menjurus pada ancaman
kerusakan, dan respon dari sikap masyarakat sendiri adalah negative. Jadi
kerusakan sabuk hijau adalah dari sikap dan perilaku manusia atau masyarakat
yang ada di sekitar sabuk hijau dengan mengubah lahan ruang terbuka hijau
(RTH) menjadi lahan pertanian.

4. Peran serta masyakat dalam mengelola kawasan sabuk hijau


Evalusi terhadap peran serta masyarakat dalam mengelola kawasan sabuk
hijau WGM penting untuk dilakukan hal ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh
mana masyarakat ikut perperan dalam mengelola kawasan sabuk hijau. Pada
penelitian ini, evaluasi peran serta masyarakat dalam mengelola sabuk hijau
dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu bentuk peran serta dan kegiatan dalam
pengelolaan.

Tabel 30. Peran serta masyarakat dalam mengelola kawasan sabuk hijau WGM
Pertanyaan 1-11 Jenis respon
S K P TP
Apakah kegiatan perencanaan pengelolaan sabuk hijau 32,67 19,33
0% 48 %
melibatkan masyarakat? % %
Apakah anda hadir dalam setiap pertemuan masyarakat 32,67 44,67
0% 22,67%
untuk merencanakan kegiatan pengelolaan sabuk hijau? % %
54

Apakah anda mengajukan usul atau ide tentang perencanaan 30,67 62,67
0% 6,67 %
kegiatan dalam kegiatan pengelolaan sabuk hijau? % %
Apakah anda memberikan sumbangan materi dalam
0% 0% 0% 100 %
pertemuan kegiatan perencanaan pengelolaan sabuk hijau?
Apakah anda diberikan penjelasan oleh dinas terkait (Jasa
3,33 34,67 24,67 37,33
Tirta) bahwa kegiatan pengelolaan sabuk hijau yang
% % % %
dilakukan merupakan kegiatan yang sangat penting?
Apakah anda hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan 5,33 53,33
5,33 % 36 %
pengelolaan sabuk hijau? % %
Apakah anda memberikan sumbangan materi dalam 22,67 70,67
0% 6,67 %
pertemuan kegiatan pelaksanaan pengelolaan sabuk hijau? % %
Apakah anda diberikan penjelasan/pelatihan oleh Jasa Tirta
17,33 56,67
tentang teknik-teknik dalam melakukan berbagai bidang 12 % 14 %
% %
kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan?
Apakah setiap bulan atau periode tertentu dinas terkait (Jasa
11,33 12,67
Tirta) mengadakan pertemuan dengan masyarakat guna 0% 76 %
% %
melaporkan keadaan kegiatan pengelolaan sabuk hijau?
Apakah anda hadir dalam pertemuan pelaporan kegiatan
0% 0% 0% 100 %
pengelolaan sabuk hijau ?
Apakah anda ikut melaporkan hasil kegiatan pengelolaan
0% 0% 0% 100 %
sabuk hijau yang telah dilakukan dalam pertemuan tersebut?
Sumber : kuosioner 2019
Berdasarkan tabel 30 tentang peran serta masyarakat dalam mengelola
kawasan sabuk hijau WGM, menunjukkan bahwa masyarakat masih banyak
memberikan respon kurang. Hal ini terlihat dari ada 5 pertanyaan yang
memperoleh jawaban tidak pernah untuk semua responden. Pada pertanyaan
nomer 1 mengenai kegiatan perencanaan pengelolaan sabuk hijau melibatkan
masyarakat dari 150 responden 19,33 % menjawab tidak pernah, 48% mengaku
pernah dan 32,67% kadang-kadang. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat masih
minim terlibat dalam pengelolaan sabuk hijau. Sama halnya dengan menghadiri
kegiatan perencanaan untuk pengelolaan sabuk hijau, yaitu 44,67 % menjawab
tidak pernah, 22,67 % pernah dan 32, 67% kadang-kadang. Pertanyaan untuk
mengajukan usul atau ide dalam perencanaan kegiatan pengelolaan sabuk hijau
juga sama yaitu 62,67% tidak pernah, 6,67 % pernah dan 30,67 % kadang-kadang.
Ketiga pertanyaan untuk perencanaan, masyarakat rata-rata menjawab opsi tidak
pernah. Ini perlu adanya diskusi antara pihak jasa tirta dan pemerintah untuk
melibatkan masyarakat dalam perencanaan mengingat perencanaan itu sangat
penting dalam pengelolaan sabuk hijau. Pertanyaan nomer 4 adalah mengenai
memberikan sumbangan materi dalam kegiatan perencanaan, semua responden
menjawab tidak pernah. Hal ini berkaitan dengan pemikiran mereka bahwa
seharusnya materi dari pihak pengelola jasa tirta.
55

Untuk pertanyaan mengenai kegiatan pelaksanaan pengelolaan, rata2


hanya sebagian kecil yang menjawab sering dan lebih dominan menjawab tidak
pernah. Adapun kegiatan yang ditanya kan seperti diberikan penjelasan oleh dinas
terkait mengenai kegiatan pengelolaan, hadir dalam pelaksanaan pengelolaan,
memberikan sumbangan materi, dan diberikan penjelasan mengenai teknik-teknik
untuk pengelolaan dari pihak jasa tirta dapat dilihat dalam tabel 30. Hal ini
mengindikasikan masyarakat masih kurang dalam keterlibatannya dalam hal
pelaksanaan penge lolaan.
Untuk pertanyaan evalusi kegiatan pengelolaan, semua responden
menjawab tidak pernah, yaitu hadir dalam kegiatan pelaporan, ikut melaporkan
hasil, memberikan saran dan ide dalam pelaporan. Hanya pada pertanyaan dinas
terkait dalam periode tertentu mengadakan pertemuaan guna melaporkan kegiatan
pengelolaan sabuk hijau, 76% responden menjawab tidak pernah, 12,67%
menjawab pernah, 11,33% karang-kadang dan 12% menjawab pernah. Ini
membuktikan bahwa masyarakat kurang terlibat dalam kegiatan evalusi guna
membahas langkah-langkah selanjutnya yang diambil untuk mengatasi kendala
dalam pelaksanaan.

Tabel 31. Skor peran serta masyarakat dalam pengelolaan sabuk hijau di WGM.
Kecamatan
Skor Kategori Total
Ero Wur Won Ngu Ba
30 23 26 15 22 116
13-25 Rendah responden responden responden responden responden responden
100 % 76,67 % 86,33 % 50 % 73,33 % 77,33%
0 7 4 15 8 34
26-38 Sedang responden responden responden responden responden responden
0% 23,33 % 13,33 % 50 % 26,67 % 26,67 %
0 0 0 0 0 0
39-52 Tinggi responden responden responden responden responden responden
0% 0% 0% 0% 0% 0%
Jumlah responden 30 30 30 30 30 30
Keterangan : Ero (Eromoko), Wur (Wuryantoro), Won (Wonogiri), Ngu (Nguntoronadi), Ba
(Baturetno).

Hasil skor peran serta masyarakat dalam mengelola sabuk hijau dari
masing-masing kecamatan pada tabel 31, di dominasi pada kategori rendah dan
sedang. Dari kelima kecamatan yang memiliki skor terrendah adalah di kecamatan
eromoko, yaitu 100% responden. Secara keseluruhan di dapat 77,33% responden
memperoleh skor rendah dan 26,67% sedang. Hal ini membuktikan bahwa peran
56

serta dari masyarakat itu belum banyak atau bahkan bias dikatakan mereka belum
ikut berperan dalam mengelola sabuk hijau. Evalusi dari peran serta masyarakat
dilima kecamatan perlu di tingkatkan lagi karena sangat berkaitan dengan
kelestarian sabuk hijau guna mendukung keberlangsungan fungsi waduk.
Pengolahan data untuk tabel 32 mengenai peran serta masyarakat dalam
pengelolaan sabuk hijau WGM dibagi menjadi 2 kategori, yaitu dilihat dari
kategori peran serta dan kategori pengelolaan. 2 kategori tersebut mempunyai
indicator yng berbeda, yaitu Peran serta mempunyai indicator berupa kerelaan
dalam menyumbang pemikiran atau ide, tindakan langsung, berupa tindakan
langsung dan keikut sertaan stake holder sedangkan untuk kategori pengelolaan
berupa perencanaan, pelaksanaan dan evalusi.

Tabel 32. Hasil skor bentuk peran serta masyarakat dalam mengelola sabuk hijau
Indikator peran serta
Kategori Tindakan
Saran Materi / Dana Stake holder
langsung
94 responden 110 responden 116 responden 55 responden
Rendah
62,67 % 73,33 % 77,33 % 36,67 %
56 responden 40 responden 34 responden 73 responden
Sedang
37,33 % 26,67 % 22,67 % 48,67 %
0 responden 0 responden 0 responden 22 responden
Tinggi
0% 0% 0% 14,67 %

Berdasarkan perolehan skor nilai indicator peran serta masyarakat dalam


pengelolaan kawasan sabuk hijau pada tabel menunjukkan bahwa kerelaan
menyumbang dalam bentuk saran atau ide yaitu dalam kategori rendah (62,67%)
dan sedang (37,33%). Kerelaan menyumbang dalam bentuk tindakan langsung
menunjukkan kategori rendah (73,33%) dan sedang (26,67%). Kerelaan
menyumbang materi atau dana menunjukkan kategori rendah (77,33%) dan
sedang (22,67%). Kerelaan mengikuti arahan mau pelatihan dari stake holder
menunjukkan kategori rendah (36,67%), sedang (48,67) dan tinggi (14,67%). Hal
ini menunjukkan bahwa rata-rata indicator dalam peran serta masih berada pada
level rendah, hanya kerelaan dalam mengikuti program stake holderlah yang
menunjuukan level sedang.
57

Tabel 33. Hasil skor peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan sabuk
hijau
Indikator pengelolaan
Kategori
Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi
95 responden 106 responden 150 responden
Rendah
63,33 % 70,67 % 100 %
55 responden 26 responden 0 responden
Sedang
36,67 % 17,33 % 0%
0 responden 18 responden 0 responden
Tinggi
0% 12 % 0%

Berdasarkan perolehan skor nilai indicator pengelolaan kawasan sabuk


hijau oleh masyarakat pada tabel 33 menunjukkan bahwa tahap perencanaan
seperti mengikuti agenda, menyumbang kan ide, materi dan lain-lain
menunjukkan kategori rendah (63,33%) dan sedang (36,67%). Pada tahap
pelaksanaan menunjukkan kategori rendah (70,67%) sedang (17,33%) dan tinggi
(12%). Pada tahap evaluasi menunjukkan kategori rendah (100%). Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata indicator dalam pengelolaan masih berada pada
level rendah, bahkan untuk evalusi 100% masyarakat memperoleh hasil skor yang
sedikit.

5. Strategi pengelolaan kawasan sabuk hijau


Identifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) maupun faktor
eksternal (peluang dan ancaman) diperoleh hasil analisis dari pengamatan
kondisi sabuk hijau saat ini, factor-faktor social dan lingkungan, serta
pengamatan dan wawancara dengan pemangku kebijakan maupun stake
holder. Adapun faktor-faktor internal dan eksternal sebagai berikut :

a. Faktor kekuatan (Strengths)


1) Fungsi kawasan sabuk hijau di daerah sempadan waduk untuk
memperkecil proses pendangkalan waduk akibat erosi yang terjadi
di sekitar waduk, menjaga kestabilan tanah, dan memisahkan
waduk dengan lahan di sekelilingnya (Rahayu, 2016). Selain itu
58

sabuk hijau juga mempunyai manfaat secara ekonomi, lingkungan,


social, dan estetika.
2) Potensi sebagai ekowisata, seperti hasil pengamatan dilapangan,
sabuk hijau berpotensi untuk dijadikan agrowisata seperti di sabuk
hijau waduk-waduk lain. ekowisata dapat memberikan pengalaman
belajar untuk masyarakat mengenai vegetasi dan sebagainya, selain
itu dapat digunakan untuk menikmati suasana alam.
3) Potensi system agroforestri di kawasan sabuk hijau, seperti hasil
pengamatan dilapangan, sabuk hijau berpotensi untuk dijadikan
agroforestri seperti di sabuk hijau waduk-waduk lain. Sistem
agroforestry merupakan kawasan hutan yang dijadikan alternative
pengganti lahan pertanian dengan budidaya tanaman diantara
tegakan pohon. Hal ini memberikan kesempatan masyarakat
memanfaatkan lahan tanpa merusak tegakan.
4) Kondisi keragaman vegetasi pada level sedang (H’), hasil
perhitungan menunjukkan bahwa indeks diversitas spesies pada
seluruh plot yang diteliti adalah 1,7 untuk pohon; 1,15 untuk tiang;
1,24 untuk pancang dan 1,24 untuk semai. Jika menggunakan
kriteria Barbour et al. (1987) maka indeks diversitas spesies
sebesar 1,15-1,7 termasuk dalam kategori sedang. Semakin tinggi
nilai keanekargamannya, maka semakin baik pula sabuk hijau itu
melaksanakan fungsinya. Ini dapat dijadikan titik awal untuk
mengelola sabuk hijau agar dapat mendukung keberlanjutan
waduk.

b. Faktor kelemahan (Weakness)


1) Sikap masyarakat yang masih dalam level cukup. Dari hasil
perhitungan skor nilai pada tabel 29 sikap yang terdiri dari 3
indikator, yaitu Pengetahuan, Perasaan, dan Kecenderungan
bersikap maka rata-rata masuk dalam katergori sedang dan rendah.
Ini belum dapat dijadikan senjata untuk meningkatkan pengelolaan
sabuk hijau.
59

2) Belum adanya koordinasi antar pihak Perum Jasa Tirta (PJT) dan
Pemerintah. Dari hasil wawancara dengan pihak PJT, belum
adanya koordinasi dengan pemerintah. Pihak pemerintah terutama
dari kecamatan dan desa mengaku tidak berani untuk ikut campur
mengenai sabuk hijau karena sudah ada pihak pengelolanya. Jadi
pengelolaan belum optimal karena hanya terbatas dari pihak PJT
yang personilnya hanya sedikit.
3) Belum adanya wadah atau forum komunikasi kawasan sabuk hijau.
Dari hasil wawancara cara yang dilakukan pada 150 responden,
semua responden menjawab belum adanya wadah tau forum
komunikasi di kawasan sabuk hijau. Padahal forum ini penting
untuk menghubungkan antara masyarakat dan pemangku
kepentingan guna mengelola sabuk hijau.

c. Faktor peluang (Opportunities)


1) Adanya kegiatan reboisasi yang sudah dimulai dari tahun 2012
sampai sekarang. Reboisasi adalah upaya rehabilitasi hutan yang
dilakukan secara vegetative (penanaman kembali) dengan
menggunakan jenis tanaman yang sesuai dengan fungsi dan kondisi
lingkungan setempat (Permenhut,2004). Kegiatan reboisasi ini
dapat menjadi peluang sabuk hijau untuk memulihkan fungsinya.

Gambar 6. contoh papan informasi reboisasi


2) Adanya kebijakan pemerintah daerah mengenai pemanfaatan
sabuk hijau. Kebijakan pemerintah tentu akan sangat berpengaruh
dalam tata kelola kawasan khususnya Sabuk Hijau WGM, adapun
kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini tertuang dalam
60

Peraturan Daerah Kabupaten Wonogir No. 9 Tahun 2011 Tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Wonogiri yaitu pasal 67 ayat 4c
bagian 7 dan pasal 74 serta Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri
No. 21 Tahun 2016 Tentang Tuang Terbuka Hijau yaitu pada pasal
37 dan 34.
3) Adanya peraturan pelarangan pemanfaatan sabuk hijau dari PJT.
Peraturan pelarangan pemanfaatan lahan ini sudah dipasang pada
papan-papan informasi di kawasan sabuk hijau seperti pada gambar
7. Menurut wawancara, masyarakat sebagian tau adanya
pelarangan dari papan tersebut. Menurut wawancara dengan
pemangku kepentingan, bahwa penegakan pelanggaran pernah
sampai pada ranah hokum. Terjadi penebangan pohon yang ada di
sabuk hijau oleh oknum masyarakat dan oknum tersebut dipenjara.
Peristiwa ini dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat agar
tidak merusak keberadaan vegetasi yang ada di sabuk hijau
terutama vegetasi pohon.

Gambar 7. Papan informasi pelarangan pemanfaatan lahan

d. Faktor ancaman (Threats)


1) Kondisi ekonomi masyarakat yang masih dibawah standar. Dari
hasil wawancara responden mengenai penghasilan kepala keluarga
setiap bulan, yaitu 95 responden (63%) berpenghasilan dibawah 1
juta, 51 responden (34%) berpenghasilan antara 1-2 juta sedangkan
4 responden berpenghasilan diatas 2 juta. Hal ini dapat menjadi
penyebab masyarakat memanfaatkan lahan sabuk hijau karena
dapat menghasilan pendapatan.
61

Gambar 8. Diagram kondisi ekonomi responden


2) Peran serta masyarakat dalam mengelola dan melestarikan sabuk
hijau masih sangat rendah. Dari hasil wawancara dengan
responden, peran serta masyarakat masih tergolong rendah seperti
pada tabel 31, ini dapat menghambat upaya reboisasi dan
pengelolaan karena masyarakatlah yang berada di dekat dan dapat
mengawasi sabuk hijau selama 24 jam. Bias jadi masyarakat
sendirilah yang akan menjadi perusak karena tidak ada upaya
peningkatan peran serta dari semua pihak.
3) Masih adanya niatan untuk kembali memanfaatkan walaupun
mengetahui kondisinya saat ini. Saat wawancara 105 responden
(70%) tidak mau berhenti memanfaatkan lahan. Hal ini terjadi
memafaatkan lahan sebagai lahan pertanian merupakan mata
pencaharian mereka saat ini. Jadi mereka berdalih, “mau dikasih
makan apa keluarga saya, jika saya berhenti memanfaatkan”, jadi
ini adalah tantangan terberat yang harus dipecahkan guna
mengembalikan fungsi sabuk hijau sebagaimana mestinya.

Tahapan pada analisis SWOT berikutnya yaitu pembuatan matrik IFAS


dan EFAS, yaitu dengan cara memberikan pembobotan dan rating (tingkat
pengaruh) pada masing-masing poin analisis sperti yang terlihat pada tabel
dan tabel berikut :

Tabel 34. IFAS analisis SWOT Pengelolaan Sabuk Hijau


Faktor Internal
Bobot x
No Kekuatan (Strenghts) Bobot Rating
Rating
1 Fungsi utama sabuk hijau 4 4 16
2 Potensi sebagai ekowisata 3 3 9
3 Potensi dijadikan agroforestri 2 2 4
62

4 Kondisi keragaman vegetasi pada level sedang (H') 3 1 3


Total Nilai 32
Bobot x
No Kelemahan (Weakness) Bobot Rating
Rating
1 Sikap masyarakat yang dinilai dalam level cukup 2 2 4
Belum adanya koordinasi antar pihak PJT dan pemerintah
2 4 3 12
guna menentukan langkah pengelolaan
Belum adanya forum komunikasi masyarakat di kawasan
3 4 3 12
sabuk hijau
Total Nilai 28
Kekuatan - Kelemahan 4

Tabel 35. EFAS analisis SWOT Pengelolaan Sabuk Hijau


Faktor Eksternal
Bobot x
No Peluang (Opportunities) Bobot Rating
Rating
1 Adanya kegiatan reboisasi 2 2 4
2 Kebijakan Pemerintah Daerah 3 2 6
Adanya peraturan tentang pelarangan pemanfaatan sabuk
3 3 2 6
hijau oleh PJT
Total Nilai 16
Bobot x
No Ancaman (Threats) Bobot Rating
Rating
1 Kondisi ekonomi masyrakat yang masih dibawah standar 3 3 9
Peran serta masyarakat dalam mengelola dan melestarikan
2 3 2 6
sabuk hijau masih sangat rendah
Adanya niatan masyarakat untuk kembali memanfaatkan
3 4 4 16
walaupun sudah mengetahui kondisinya saat ini
Total Nilai 31
Peluang - Ancaman -15

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, diperoleh selisih antara kekuatan


dan kelemahan sebesar 4, serta selisih antara peluang dan ancaman dengan selisih
-15. Berdasarkan hasil perhitungan analisis tersebut diatas, maka didapatkan hasil
yaitu posisi model pengelolaan sabuk hijau masuk dalam kuadran IV, (Positif,
Negatif) seperti yang terlihat dalam Gambar 14 berikut:
63

Gambar 9. Hasil analisis matrik SWOT

Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas, maka diperoreh beberapa


rumusan strategi pengelolaan Sabuk Hijau di WGM dilakukan dengan pendekatan
matrik SWOT seperti yang terlihat pada gambar 9. Pendekatan ini digunakan
untuk menetapkan strategi yang lebih tepat dan detail ditingkat pelaksanaan.
Penjelasan mengenai strategi pada Tabel 36 matrik SWOT mengkombinasikan
antara kekuatan-peluang (Strategi S-O), kelemahanpeluang (Strategi W-O),
kekuatan-ancaman (S-T), dan kelemahan-ancaman (Strategi W-T).
Tabel 36. Matriks SWOT

Kekuatan (S) Kelemahan (W)


1 Fungsi utama sabuk hijau 1 Sikap masyarakat yang dinilai
IFAS masih dalam level cukup
2 Potensi sebagai ekowisata 2 belum adanya kordinasi antar pihak
PJT dan pemangku kepentingan
guna menentukan langkah
pengelolaan
3 Potensi dijadikan agroforestri 3 belum adanya wadah atau forum
komunikasi masyarakat dikawasan
EFAS sabuk hijau
4 Kondisi keragaman vegetasi pada level  4 Tingkat pendidikan formal yang
sedang (H') tergolong masih rendah

Peluang (O) Strategi SO Strategi WO


1 Adanya kegiatan reboisasi 1 pembentuk kawasaan ekowisata 1 membentuk forum komunikasi
dengan jalan reboisasi yang terrencana masyarakat dikawasan sabuk hijau

2 Adanya Kebijakan 2 pembentukan agroforestri dapat 2 mengadakan koordinasi antar PJT


Pemerintah Daerah mempercepat reboisasi dikawasan dan pemerintah untuk
sabuk hijau mensinergikan langkah-langkah
pengelolaan
3 Adanya peraturan tentang 3 mensosialisasikan peraturan 3 mengadakan sosialisasi dan
pelarangan pemanfaatan pelarangan dan pemanfaatan untuk penyuluhan kepada masyarakat
sabuk hijau oleh PJT meningkatkan fungsi utama sabuk mengenai manfaat dan cara-cara
hijau pelestarian sabuk hijau
Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT
64

1 Kondisi ekonomi masyarakat 1 membentuk kawasan ekowisata di area 1. mengadakan sosialisasi dan
yang masih dibawah standar sabuk hijau untuk mengatasi masalah penyuluhan kepada masyarakat
ekonomi dan mencegah alih fungsi mengenai manfaat dan cara-cara
lahan oleh masyarakat. pelestarian sabuk hijau
2 Peran serta mayarakat dalam 2 agroforestri dapat meningkatkan peran 2. mengadakan diskusi untuk
mengelola dan melestarikan serta masyarakat dalam mengelola dan mengetahui keinginan dari masing-
sabuk hijau masih sangat melestarikan sabuk hijau masing pihak mengenai
rendah pengelolaan sabuk hijau
3 masih adanya niatan untuk 3 mengadakan sosialisasi dan 3.
kembali memanfaatkan pembelajaran pada masyarakat tentang
walaupun mengetahui fungsi sabuk hijau agar peran serta
kondisinya saat ini masyarakat dapat meningkat.

Berdasarkan hasil analisis-analisis diatas maka strategi alternative


pengelolaan yang sebaiknya dilakukan yaitu strategi ST yang ada pada kuadran
IV, yaitu:
a) Membentuk kawasan Agrowisata di area sabuk hijau untuk mengatasi
masalah ekonomi dan mencegah masyarakat melakukan alih fungsi lahan.
Potensi ini dapat mengalihkan focus masyarakat dalam melakukan alih
fungsi lahan, karena masyarakat dapat beralih keberbagai mata
pencaharian pendukung agrowisata yang dapat meningkatkan pendapatan
mereka. Selain itu potensi agrowisata dapat mempercepat kegiatan
reboisasi yang sudah di lakukan. Ini dapat menjadi peluang tumbuhnya
vegetasi lebih cepat sehingga fungsi sabuk hijau untuk mendukung
keberlangsungan waduk dapat segera kembali.
b) Membentuk kawasan agroforestry dapat meningkatkan peran serta
masyarakat. Adanya agroforestry, masyarakat masih boleh memanfaatkan
kawasan sabuk hijau dengan ketentuan yang di tetapkan oleh pihak
pengelola agar vegetasi yang ditanaman oleh pihak jasa tirta dapat tumbuh
tanpa adanya gangguan. Masyarakat diwajibkan ikut merawat dan
menjaga tegakan pohon di sekitar lahan pertanian mereka. Cara ini dapat
meningkatkan peran serta masyarakat, ekonomi masyarakat dan juga dapat
menjaga kelestarian dari kawasan sabuk hijau sendiri.
c) Mengadakan sosialisasi dan pembelajaran untuk masyarakat tentang
fungsi utama sabuk hijau dapat meningkatkan peran serta masyarakat.
Peningkatan ini harus di upayakan dengan betul-betul karena
dikhawatirkan akan berdampak negative pada keberlangsungan Waduk.
Meskipun pengelolaan dan pelestarian waduk diupayakan menggunakan
65

ternologi terbaik, tapi jika peran serta masyarakat rendah akan berindikasi
pada rendahnya tanggung jawab dan rasa memiliki. Upaya ini patut untuk
dilakukan karena mengingat masyarakat perlu di edukasi dan dilatih agar
mempunyai rasa tanggung jawab dan memiliki kawasan sabuk hijau dan
dapat mengelolaanya dengan baik sehingga fungsi utama untuk
mendukung keberlangsungan wadukpun tercapai.

B. Pembahasan Umum
Kondisi saat ini Sabuk hijau WGM menurut analisis vegetasi yang
telah dilakukan adalah kategori sedang untuk indeks diversitas pohon dan
kategori kurang untuk indeks diversitas vegetasi penutup lantai (LCC). Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa indeks diversitas spesies pada seluruh plot
yang diteliti adalah 1,7 untuk pohon; 1,15 untuk tiang; 1,24 untuk pancang;
1,24 untuk semai dan 0,073 untuk vegetasi LCC. Jika menggunakan kriteria
Barbour et al. (1987) maka indeks diversitas spesies pohon sebesar 1,15-1,7
termasuk dalam kategori sedang dan 0,073 termasuk kategori kurang untuk
vegetasi penutup lantai. Dari 12 stasiun pengambilan data, ditemukan 14
spesies pohon dan 56 spesies vegetasi penutup lantai. Total dari semua spesies
adalah 65 spesies tanaman yang terdiri dari 21 famili, penjabarannya terdapat
pada lampiran. Berkaitan dengan fungsi sabuk hijau yaitu selain sebagai
pembatas aktivitas masyarakat di sekitar waduk, juga digunakan untuk
menahan
Tanaman Jati (Tectona grandis) menjadi tanaman dengan kerapatan,
frekuensi dan dominansi terbesar di antara 14 spesies pohon yang ditemukan.
Nilai kerapatan mulai dari semai, pancang, tiang dan pohon secara berturut-
turut adalah 18; 200; 378 dan 2708 individu/hektar. Nilai frekuensi secara
berturut-turut adalah sebesar 45,16%; 54,84%; 41,38% dan 48,15%. Nilai
dominansi secara berturut-turut adalah 7; 46; 39 dan 75. Perbedaan nilai
kerapatan masing-masing jenis disebabkan karena adanya perbedaan
kemampuan reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tanaman, kelembaban tanah (kadar
air) merupakan faktor yang paling berpengaruh(Martono et al., 2019;
66

Solikhatun et al., 2020). Nilai distribusi hanya dapat memberikan informasi


tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan belum dapat
memberikan gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot.
Variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi
antara lain oleh fenologi, penyebaran dan natalitas (Suyamto, 2011).
Tanaman jati pada penelitian ini memiliki Indeks Nilai Penting yang
paling tinggi pula. Baik tingkat pohon, tiang, pancang dan semai masing-
masing sebesar 119,67;176,36; 128,98 dan 142,08. INP yang tinggi
menunjukkan peran spesies dalam komunitas secara umum (Rahayu et al,
2016), hal ini menunjukkan bahwa tanaman jati merupakan ciri khas vegetasi
dari Kawasan Sabuk Hijau WGM. Persebaran dari vegetasi di area sabuk hijau
ini sangat kecil karena RTH yang ada disini dikondisikan pertumbuhannya
atau dapat dikatakan bibit ditanam oleh pengelola di area yang dikehendaki
bukan karena disebarkan oleh alam. Tanaman jati (Tectona grandis)
merupakan jenis yang nilai kerapatan dan frekuensinya tertinggi sehingga
dapat dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir
seluruh lokasi penelitian.
Tanaman jati tumbuh paling baik di wilayah tropika atau sub-tropika
pada kisaran temperatur antara 9º sampai 41ºC, pada kisaran curah hujan
diantara 1 300 sampai 3.800 mm per tahun dan periode kering antara 3 sampai
5 bulan dalam setahun (White, 1991). Di Indonesia, tanaman jati biasa
ditanam pada tanah-tanah berkapur dengan pH agak masam sampai netral,
memiliki solum yang dalam, berdrainase baik, dan memiliki musim kemarau
yang jelas (Widiatmaka et al., 2015). Kondisi ini sangat mendukung untuk
pertumbuhan tanaman jati dimana kabupaten wonogiri memiliki curah hujan
rata-rata per-tahun >2000 mm/tahun, jumlah hari hujan dimusim kemarau 5
hari hujan dan dimusim penghujan 101 hari hujan. Suhu udara pada tahun
2019, minimal 18,26°C, maksimal 36,5°C dengan suhu rata-rata 27°C
(Wonogiri, 2019). Jenis tanah yang terdapat di kawasan sabuk hijau WGM
didominasi oleh jenis vertisol dan alfisol.
Selain vegetasi tingkat tinggi, peneliti juga melihat vegetasi penutup
lantai (Lower Crop Community - LCC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
67

vegetasi penutup lantai (LCC) ditemukan 56 spesies. Cacah individu


terbanyak adalah Oplismenus burmanii sebanyak 6580 individu per 720 m2
Kontribusi spesies penutup lantai terbesar ditunjukkan oleh Indeks Nilai
Penting (INP) tertinggi adalah 21,5947. Indeks diversitas/ keanekaragaman
vegetasi penutup lantai adalah 0,07329 (rendah). Hal ini terjadi dikarenakan
LCC tidak timbuh dibawah naungan pohon dan banyaknya warga yang
memanfaatkan vegetasi ini untuk pakan ternak mereka sehingga indeks
keragamannya rendah. Secara alami persebaran LCC sangat cepat dengan
bantuan alam.
Penyusun sabuk hijau waduk adalah vegetasi atau pohon yang
berfungsi untuk mengurangi erosi maupun sedimentasi, menghambat aliran
permukaan, meresapkan air ke dalam tanah, dan mencegah penguapan air
secara berlebihan (Prabowo et al., 2018). Kemampuan jenis vegetasi untuk
menahan erosi maupun sedimentasi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan
tanaman, ketinggian tanaman, keadaan daun tanaman, kerapatan tanaman dan
system perakaran (Ziliwu, 2002). Semakin komplek strata vegetasi yang
terdapat disuatu wilayah, semakin baik fungsinya digunakan untuk mencegah
erosi permukaan (Widjaja, 2018). Vegetasi mempengaruhi siklus hidrologi
melalui pengaruhnya terhadap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah.
Oleh karena itu, vegetasi mempengaruhi volume air yang masuk ke
sungai dan danau, ke dalam tanah, dan cadangan air bawah tanah
(Arsyad, 2010). Selain itu, pohon penyusun sabuk hijau juga berfungsi tidak
hanya menjadikan sekitar waduk menjadi indah dan sejuk namun aspek
kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam, yang
pada giliran selanjutnya akan menyediakan jasa-jasa lingkungan berupa
kenyamanan, kesegaran, terbebasnya dari polusi dan kebisingan serta sebagai
habitat fauna.
Kerusakan vegetasi yang ada di sabuk hijau WGM menurut hasil
peneliti disebabkan oleh factor manusia atau social. Sudah dijelaskan di atas
bahwa wonogiri memiliki kondisi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan
vegetasi. Factor manusialah yang menyebabkan kerusakan yang berarti dan
mengurangi fungsi dari sabuk hijau sebagai daerah penyangga waduk. Karena
68

ketika sabuk hijau tidak berfungsi, maka dari pinggir-pinggir waduk akan
berpotensi menyumbang sedimentasi ke waduk karena erosi. Walaupun
permasalahan sedimen di WGM di sebabkan erosi di daerah hulu dari DAS
Bengawan Solo (Maridi dkk., 2015). Menurut survai dan wawancara
kerusakan ini akibat dari alih fungsi lahan, dari RTH menjadi lahan pertanian
tanaman semusim. Peneliti melihat factor social dari sisi sikap masyarakat.
Sikap terdiri dari 3 komponen, yaitu kognitif atau pengetahuan yang diyakini,
afektif (perasaan) dan konatif atau perilaku/kecenderungan bersikap (Azwar,
2015; Hawkins & Mothersbaugh, 2010).
Pengetahuan yang di yakini (kognitif), berdasarkan tabel 22,
menyatakan bahwa skor pengetahuan masyarakat tentang sabuk hijau dan
dampak pemanfaatannya yang didominasi kategori sedang yaitu sebanyak
68,67%. Ini menggambarkan bahwa masyarakat sudah mengetahui fungsi
sabuk hijau dan dampak-dampak dari pemanfaatan. Perasaan (afektif)
masyarakat terhadap sabuk hijau dan pengelolaannya, didominasi kategori
sedang yaitu 70% dari total rsponden yaitu 150 orang. Kecenderungan
bersikap (konatif) terhadap keberadaan sabuk hijau, di dominasi kategori
sedang yaitu 68% responden. Adapun total keseluruhan skor sikap yang di
dapat adalah dominan dikategori sedang yaitu 124 responden (82,7%). Sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu.
Kesiapan yang dimaksud adalah kecenderungan potensial untuk bereaksi
dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang harus
direspon (Masria dkk., 2015). Jadi respon dari responden dalam menanggapi
keberadaan sabuk hijau dan pengelolaannya masih dalam kategori sedang.
Hasil ini belum bias dijadikan acuan sebagai kekuatan yang dimiliki oleh
masyarakat. Ini terjadi karena, ada beberapa pertanyaan penting yang dapat di
pakai sebagai acuan untuk pengelolaan, diantarnya seperti tanaman yang
cocok ditanam di sabuk hijau, memiliki ijin untuk memanfaatkan bahkan
bersedia berhenti memanfaatkan lahan sabuk hijaupun masyarakat
memberikan respon negative. Hal ini dikhawatirkan akan semakin merusak
vegetasi sabuk hijau karena ulah manusia.
69

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan sabuk hijau di


WGM, dibedakan menjadi 2 analisis data, yaitu indicator peran serta
masyarakat dan indicator pengelolaan. Indicator peran serta sendiri pada tabel
32 dijabarkan menjadi 4, yaitu kerelaan menyumbangkan dalam bentuk saran
atau ide, tindakan langsung, materi atau dana dan keikutsertaan stake holder.
Dari keempat bentuk tersebut, 3 diantaranya yaitu kerelaan menyumbang
saran, materi maupun tindakan langsung secara berturut-turut hasilnya adalah
94 responden (62,67%), 110 responden (73,33%) dan 116 responden (77,33%)
masuk dalam kategori rendah. Untuk bentuk keikutsertaan stake holder, hasil
skor responden sangat bervariasi, yaitu rendah (36,67%), sedang (48,67%) dan
tinggi (14,67%). Indicator yang kedua adalah pengelolaan sabuk hijau pada
tabel 33 yang dijabarkan menjadi 3, yaitu kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
dan evalusi. Hasil skoring untuk ketiga jabaran tersebut di dominasi oleh
kategori rendah. Kegiatan perencanaan sebanyak 95 responden (63,33%)
kategori rendah dan 55 responden (36,67%) kategori sedang. Kegiatan
pelaksanaan sebanyak 106 responden (70,67%) kategori rendah, 26 responden
(17,33%) kategori sedang dan 18 responden (12%) kategori tinggi. Untuk
kegiatan evalusi, seluruh responden memperoleh skor dengan kategori rendah.
Ada 5 pertanyaan dalam wawancara ini dan dijawab tidak pernah oleh semua
responden dapat dilihat pada table 30. Hasil analisis di atas, menunjukkan
bahwa tingkat peran serta masyarakat dalam mengelola sabuk hijau masih
sangat rendah, keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pemeliharaan, serta evalusi termasuk dalam kategori rendah
yaitu 116 responden (77,33%) dan 34 responden (26,67%) kategori sedang.
Hal ini perlu adanya peningkatan peran serta masyarakat dengan jalan
mengadakan diskusi, sosialisasi maupun pelatihan tentang pengelolaan dan
pelestarian sabuk hijau. Dengan keikutsertaan masyarakat dari kegiatan
perencanaan sampai evalusi, maka masyarakat menjadi peduli terhadap sabuk
hijau sehingga timbul rasa tanggung jawab dan memiliki (Noni dkk., 2012).
Upaya pengelolaan dan pelestarian sabuk hijau yang selanjutnya
adalah dengan dibentuknya ekowisata. Ekowisata adalah pengembangan
pariwisata alternative yang lebih mengedepankan konsep perbaikan
70

lingkungan agar dampak-dampak negative teratasi (Kurniawan, 2008).


Konsep ekowisata sendiri adalah meminimalkan dampak lingkungan,
menumbuhkan kesadaran lingkungan dan budaya, memberikan manfaat dan
pemberdayaan masyarakat local (Hadi, 2007).
Reboisasi yang di adakan oleh korem 074/Warastratama diwilayah
wonogiri dapat dijadikan modal utama untuk membentuk wisata hutan (Yogi,
2020). Daerah-daerah yang dilakukan penghijauan adalah Desa Pokoh Kidul
Wonogiri dan Desa Batu Baturetno. Vegetasi yang ditanaman adalah tanaman
buah, seperti srikaya dan sirsak. Pihak PJT juga telah melakukan reboisasi
dibeberapa desa sejak tahun 2014 hingga 2019 dengan total 141,27 ha tertulis
dilampiran. Tanaman yang dijadikan bibit pengijauan, antara lain Jati, Jabon,
sengon, dan lain-lain tertulis dilampiran. Reboisasi yang sudah dilakukan
tidak akan berhasil tanpa adanya perawatan dan pemeliharaan tanaman.
Masyarakat lah yang berperan dalam merawat, memelihara dan menjaga bibit
tanaman yang telah ada agar reboisasi tersebut tidak sia-sia. Reboisasi juga
dapat dijadikan modal masyarakat untuk membentuk hutan wisata dengan
konsep wisata petik buah yaitu seperti di desa Batu di kecamatan Baturetno
dan hutan wisata kekinian yaitu untuk berfoto dan untuk bersantai menikmati
pemandangan hutan dan waduk, seperti di Dasa Gudang. Karakteristik
topografi dari 2 desa tersebut sangat berbeda, yaitu Desa Batu dengan kondisi
lereng yang landai sedangkan di Desa Gudang dengan Lereng Curam. Kondisi
tanah mempengaruhi vegetasi apa yang cocok ditanam di tanah vertisol dan
alfisol. Hutan wisata berbasis masyarakat di area sabuk hijau atau yang
dikelola masyarakat diharapakan dapat mengatasi masalah ekonomi dan
mencegah masyarakat melakukan alih fungsi lahan.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian dari Prabowo yang berjudul
Pemanfaatan sabuk hijau untuk hutan wisata dalam rangka mendukung
pengembangan ekowisata di Bendungan Serbaguna Wonogiri (Prabowo et al.,
2018). Penelitian ini hanya mengambil tempat di area kecamatan wonogiri.
Focus dari penelitian tersebut adalah pertama mengubah zona bahaya erosi
yang fungsinya telah berubah menjadi lahan pertanian dan digantiakan dengan
tanaman yang tumbuh dengan cepat. Selanjutnya zona yang akan ditanami
71

vegetasi bentuk pohon dan zona yang dikembangkan untuk ditanami tanaman
buah. Langkah terakhir adalah menjadikan 3 zona di atas sebagai hutan.
Program ekowisata ini harus masyarakat lah yang membuat dan berperan, agar
perekonomian masyarakat menjadi lebih baik tanpa merusak keberlanjutan
sabuk hijau.
Agroforestry merupakan suatu bentuk hutan kemasyarakatan yang
memanfaatkan lahan secara optimal dalam suatu hamparan, yang
menggunakan produksi berdaur panjang dan berdaur pendek, baik secara
bersamaan maupun berurutan. Pengelolaan lahan dengan agroforestri
memerlukan pemilihan jenis tanaman yang sesuai dan perlakuan silvikultur
yang tepat. Pengaturan untuk menjaga cahaya, air dan nutrisi yang optimal
untuk setiap jenis konstituen merupakan kunci keberhasilan sistem
agroforestri (Hani dan Suryanto, 2014). Petani di kawasan hutan,
memanfaatkan lahan di bawah tegakan yang bertujuan untuk menciptakan
keragaman hasil dan meningkatkan pendapatan (Wahyu dkk, 2018). Petani
diperbolehkan mengelola lahan pemerintah untuk sementara waktu dan
menanam jenis tanaman yang telah ditentukan. Vegetasi pada sistem
agroforestri sederhana pada umumnya merupakan tanaman suka cahaya (sun
loving) sehingga memerlukan pengaturan jarak pohon sedemikan rupa. Ketika
tanaman masih muda dan belum membentuk naungan (kanopi), petani
diperbolehkan menanam tanaman pangan dan memperoleh hasil dan
keuntungan untuk mereka sendiri. Setelah beberapa tahun, dan tanaman
membentuk naungan antara satu dengan yang lain, petani harus memikirkan
untuk menanam tanaman yang tahan terhadap naungan. Tujuan ekologi dan
produksi hutan masih akan tercapai apabila system agroforestri tetap
berlangsung dengan pengaturan jarak pohon yang lebih teratur dan
pemangkasan bagian bawah pada 1/3 tinggi kanopi yang sesuai dengan
peningkatan umur pohon (Purnomo dkk, 2021).
Sistem AF sederhana dan kompleks dapat dihubungkan dengan
kebutuhan cahaya tanaman semusim. Tanaman pada sistem AF sederhana
pada umumnya merupakan tanaman suka cahaya (sun loving) sehingga
memerlukan pengaturan jarak pohon sedemikan rupa maka, Diversifikasi
72

penggunaan lahan sesuai lingkungan setempat melalui penanaman pohon


secara tumpangsari dengan tanaman semusim pada suatu tempat dan waktu
yang bersamaan maupun bergiliran merupakan pola dasar sistem agroforestry
(Budiastuti et al., 2020; Dollinger et al., 2019). Agroforestry dapat
dilaksanakan dalam beberapa model, antara lain. Tumpangsari (cara bercocok
tanam antara tanaman pokok dengan tanaman semusim), silvopasture
(campuran kegiatan kehutanan, penanaman rumput dan peternakan),
silvofishery (campuran kegiatan pertanian dengan usaha perikanan), dan
farmforestry (campuran kegiatan pertanian dengan kehutanan)(Budiastuti
dkk., 2021). pemilihan sistem agroforestri yang tepat dan sesuai dengan
kondisi lahan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pengguna lahan
tanpa mengorbankan keberlanjutan fungsi jalur hijau dalam mendukung fungsi
waduk (Solikhatun et al., 2020).
Potensi tersebut dapat mengalihkan focus masyarakat dalam
melakukan alih fungsi lahan, karena masyarakat dapat beralih keberbagai
mata pencaharian pendukung hutan wisata yang dapat meningkatkan
pendapatan mereka. Selain itu potensi hutan wisata dapat mempercepat
kegiatan reboisasi yang sudah di lakukan. Reboisasi yang telah dilakukan
sudah baik dan dapat dilanjutkan untuk mencapai stabilitas ekosistem yang
tinggi untuk mendukung fungsi utama sabuk hijau. Reboisasi adalah upaya
menjadikan tanaman dari jenis pohon hutan pada kawasan hutan terdegradasi
berupa lahan kosong/terbuka, alang-alang, atau perdu untuk mengembalikan
fungsi hutan (Rusdiana dkk., 2017). Jenis tanaman yang digunakan untuk
penghijauan harus disesuaikan dengan fungsi hutan, lahan dan kondisi
agroklimat setempat. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan yang lebih baik
karena tingginya keragaman kecepatan tumbuh dapat mempengaruhi
ekosistem hutan (Ufiza et al., 2018). Strategi ini dapat menjadi peluang
tumbuhnya vegetasi lebih cepat sehingga fungsi sabuk hijau untuk mendukung
keberlangsungan waduk dapat segera kembali.

C. Nilai-nilai Kabaruan
73

Nilai-nilai kebaruan dari penelitian ini adalah dihasilkannya strategi


pengelolaan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat guna mengatasi
permasalahan alih fungsi lahan yang telah bertahun-tahun mereka lakukan.
Strategi yang di rekomendasikan adalah membentuk agrowisata dengan
memberdayakan masyarakat agar ekomoni masyarakat dapat lebih baik tanpa
merusak sabuk hijau. Selain itu, masyarakat juga dapat menumbuh rasa peduli
dan memiliki sabuk hijau sehingga masyarakat dapat menjaga dan
melestarikan sabuk hijau. Tinggal dinas-dinas terkait beserta pemangku
kepentingan memdampingi dan mengarahkan masyarakat agar tidak terjadi
hal-hal yang berpotensi merusak lahan sabuk hijau kembali.

D. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan peneliti terkait dengan luasan area sabuk hijau yang
sudah beralih fungsi sebagai lahan pertanian. Tidak adanya vegetasi berupa
pohon yang harus di ambil oleh peneliti menyebabkan data kurang
representaif dalam menggambarkan keadaan yang sebernarnya. Sedangkan
untuk sampel lingkungan peneliti hanya mengandalkan data sekunder dari
badan statistika karena akses data dari pihak perum jasa tirta yang terlampau
sulit. Untuk data social, penulis belum mengkaitakannya dengan factor
internal dari masyrakat karena penulis hanya focus pada rumusan masalah
yang dibuat. Strategi yang di kemukan oleh penulis baru diperoleh dari studi
literature, jadi untuk menggunakan strategi ini diperlukan kajian lebih lanjut
agar dapat digunakan masyarakat. Demikian keterbatasan dari penulis, mohon
untuk dijadikan pembelajaran agar penelitian-penelitian selanjutnya dapat
lebih baik.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pada penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Kondisi eksisting sabuk hijau saat ini berada kategori kurang baik, dan
dibuktikan dengan kondisi keanekaragaman vegetasi di kawasan sabuk
hijau sebesar 1,7; 1,15; 1,24 dan 1,24 untuk pohon, tiang, pancang dan
semai. Indeks nilai penting tertinggi ditemukan pada jati (Tectona
grandis), baik tingkat pohon, tiang, pancang maupun semai masing-
masing sebesar 119,67;176,36; 128,98 dan 142,08.
2. Factor yang mempengaruhi kerusakan yang sabuk hijau hingga saat ini
adalah dari factor manusia atau social yang dilihat dari sikap
masyarakat. Sikap masyarakat secara keseluruhan berada pada kategori
sedang, dan sebagian besar menyatakan tetap memanfaatkan Kawasan
sabuk hijau sebagai lahan pertanian.
3. Peran serta masyarakat dalam mengelola Kawasan sabuk hijau berada
pada kategori rendah (77,33%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa
masyarakat belum terlibat aktif dalam kegiatan pengelolaan.
4. Strategi pengelolaan Kawasan sabuk hijau yang direkomendasikan
adalah a) Membentuk kawasan ekowisata di area sabuk hijau untuk
mengatasi masalah ekonomi dan mencegah alih fungsi lahan oleh
masyarakat. b) membentuk kawasan agroforestry untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam mengelola sabuk hijau. c) mengadakan
sosialisasi dan pembelajaran pada masyarakat tentang fungsi sabuk
hijau. Strategi ini menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat
sekitar kawasan sabuk hijau WGM.

74
75

B. SARAN
Berikut merupakan saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian,
yaitu :
1. Pengambilan sampel vegetasi sebaiknya disemua tempat-tempat yang
dapat merepresentatifkan kondisi dari sabuk hijau.
2. Pengambilan data lingkungan sebaiknya dengan data primer saat
pengambilan data vegetasi di sandingkan dengan data sekunder, jadi
data lingkungan bisa lebih akurat.
3. Data mengenai kondisi internal dari responden sebaiknya juga di ukur,
agar dapat menggambarkan kondisi social-ekonomi dan budaya
masyarakat setempat.
4. Strategi yang dikemukakan penulis sebaiknya dikaji lebih lanjut
mengenai vegetasi yang cocok dan lain sebagainya agar memiliki
keberhasilan yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. (2010). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Awang, S. A. (2003). Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: CCSS-Kreasi


Wacana. Retrieved from https://scholar.google.co.id/citations?
hl=en&user=5PcB-6oAAAAJ&view_op=list_works&sortby=pubdate

Azwar, S. (2015). Sikap Manusia : Teori dan Pengukuran. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Basrowi, B., & Juariah, S. (2010). ANALISIS KONDISI SOSIAL EKONOMI


DAN TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT DESA SRIGADING,
KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN LAMPUNG
TIMUR. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, 7(1), 58–81.

Bennet, H. . (1995). Soil Conservation. New York: McGraw-Hill Book Co. Inc.

Budiastuti, Mt. S., Purnomo, D., Hendro, H., Sudjianto, U., & Gunawan, B.
(2020). Rehabilitation of critical land by Implementing complex agroforestry
at the prioritized subwatersheds in the Muria Region. Sains Tanah, 17(1),
63–70. doi:10.20961/stjssa.v17i1.37704

Budiastuti, Mt. S., Purnomo, D., & Setyaningrum, D. (2021). AGROFORESTRI -


Bentuk pengelolaan lahan berwawasan lingkungan. Surakarta: UNS PRESS.

Direktorat Jendral Sumber Daya Air. Pemanfaatan sebagai aset pada PI PWS
Bengawan Solo dan Tanah Solo Vallei Warken yang akan dikelola oleh PJT
I (2000). Indonesia.

DISPENDUKCAPIL. (2019). Buku Database Kependudukan Kabupaten


Wonogiri Semester I Tahun 2019.

Dollinger, J., Lin, C. H., Udawatta, R. P., Pot, V., Benoit, P., & Jose, S. (2019).
Influence of agroforestry plant species on the infiltration of S-Metolachlor in
buffer soils. Journal of Contaminant Hydrology, 225(May), 103498.
doi:10.1016/j.jconhyd.2019.103498

Fakhrian, R., Hindersah, H., & Burhanudin, H. (2015). Arahan Pengembangan


Sabuk Hijau (Green Belt) di Kawasan Industri Kariangau (KIK) Kota
Balikpapan. In Prosiding Penelitian SPeSIA (Vol. 1, pp. 15–20).
doi:http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v0i0.638

Gulo, G. (2010). Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Hadi, S. P. (2007). Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism). In Seminar


Sosialisasi Sadar Wisata ‘Edukasi Sadar Wisata bagi Masyarakat di
Semarang’.

76
77

Hawkins, D., & Mothersbaugh, D. (2010). Consumer Behavior: Building


Marketing Strategy, 11th Edition. New York: McGraw-Hill Book Co. Inc.

Kabupaten Wonogiri. Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri Nomor 9 Tahun


2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wonogiri Tahun
2011-2031 (2011). Indonesia.

Kementerian Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05


Tahun 2008 (2008).

Kurniawan, I. (2008). Pengembangan Ekowisata ( Ecotourism ) Di Kawasan


Waduk Cacaban Kabupaten Tegal. Jurnal Ilmu Lingkungan. Universitas
Diponegoro Semarang.

Lausiry, M. N., & Tumuka, L. (2019). Analisis kondisi sosial-ekonomi


masyarakat migran sebelum dan sesudah berada di Kota Timika. JURNAL
KRITIS, 3(1), 1–23. Retrieved from
http://ejournal.stiejb.ac.id/index.php/jurnal-kritis/article/view/43

Maridi, Saputra, A., & Agustina, P. (2015). Kajian Potensi Vegetasi dalam
Konservasi Air dan Tanah di Daerah Aliran Sungai ( DAS ): Studi Kasus di 3
Sub DAS Bengawan Solo ( Keduang , Dengkeng , dan Samin ). Prosiding
Seminar Nasional Konservasi Dan Pemafaatan Sumber Daya Alam, 1(1),
65–68. Retrieved from
https://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/kpsda/article/view/5350/3766

Martono, D. S., Rahayu, S., & Wijayanti, E. (2019). Vegetation analysis of


highland tropical rainforest in the conservation area. IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science, 347(1), 12005. Retrieved from
https://doi.org/10.1088/1755-1315/347/1/012005

Masria, M., Golar, G., & Ihsan, M. (2015). Persepsi dan Sikap Masyarakat Lokal
terhadap Hutan di Desa Labuan Toposo Kecamatan Labuhan Kabupaten
Donggala. Warta Rimba, 3(2), 57–64. Retrieved from
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/WartaRimba/article/view/63

Mitchell, B., Setiawan, B., & Rahmi, D. H. (2000). Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Retrieved from
https://ugmpress.ugm.ac.id/id/product/agro-fauna/pengelolaan-sumberdaya-
dan-lingkungan

Munawaroh, A., & Sutarto, S. (2012). PENGELOLAAN LAHAN PASANG


SURUT WADUK GAJAH MUNGKUR UNTUK KEGIATAN PERTANIAN
OLEH MASYARAKAT DI DESA GEBANG KECAMATAN
NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI. Universitas Sebelas Maret.

Noni, H., Suharyanto, S., & Suryoko, S. (2012). Partisipasi Masyarakat dalam
Perencanaan Sabuk Hijau pada Kawasan Waduk Jatibarang. In Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (pp. 85–90).
Semarang.
78

Noor, J. (2015). Metode Penelitian. Jakarta: Prenadamedia Group.

Pathak, V., Tripathi, B. D., & Mishra, V. K. (2011). Evaluation of Anticipated


Performance Index of some tree species for green belt development to
mitigate traffic generated noise. Urban Forestry and Urban Greening, 10(1),
61–66. doi:10.1016/j.ufug.2010.06.008

Prabowo, S. F. D., Muryani, C., & Utomowati, R. (2018). Utilization of Green


Belts to Woodland Tourism in Support the Development of the Ecotourism
at Serbaguna Wonogiri Dams. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, 145(1), 12058. Retrieved from
https://doi.org/10.1088/1755-1315/145/1/012058

Purnomo, D., Budiastuti, Mt. S., Sakya, A. T., & Susanto, A. (2021). Diseminasi
Budidaya Padi Gogo, Jagung, dan Kacang Tanah Sistem Agroforestri
Berbasis Tegakan Sengon di KPH Blitar. PRIMA: Journal of Community
Empowering and Services, 5(1), 56. doi:10.20961/prima.v5i1.43693

Rahayu, N. L. D., Sudarmadji, & Faida, L. R. W. (2016). Pengaruh Vegetasi


Kawasan Sabuk Hijau (Green Belt) Waduk Sermo Kulon Progo Terhadap
Kenampakan Hasil Proses Erosi dan Pemanfaatan oleh Masyarakat. Majalah
GEOGRAFI Indonesia, 30(1), 76–87. Retrieved from
https://doi.org/10.22146/mgi.15625

Republik Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun


1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (1990).

Republik Indonesia. peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 32


Tahun 2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi
Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) (2009).

Rusdiana, R., Malik, A., & Ramlah, S. (2017). Sikap Masyarakat dalam
Pengelolaan Hutan Pasca Kegiatan Reboisasi di Kelurahan Lambara
Kecamatan Palu Utara Kota Palu. Warta Rimba, 5(1), 6–12. Retrieved from
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/WartaRimba/article/view/8672

Sari, Y. P., Salampessy, M. L., & Lidiawati, I. (2018). Persepsi Masyarakat


Pesisir dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove di Muara Gembong
Bekasi Jawa Barat. Perennial, 14(2), 78–85.
doi:10.24259/perennial.v14i2.5303

Solikhatun, I., Maridi, M., & Sri Budiastuti, M. T. (2020). Analysis of Vegetation
and Community Attitude as the Reforestation Efforts at Greenbelt Area of
Multipurpose Reservoir of Wonogiri. Caraka Tani: Journal of Sustainable
Agriculture, 35(2), 228. doi:10.20961/carakatani.v35i2.34616

Sugiyono, S. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif


Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suyamto, S. (2011). Struktur Komunitas dan Pemanfaatan Bambu dalam


79

Perspektif Masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi


Jawa Tengah. Universitas Indonesia. Retrieved from http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/20294757-T29861-Struktur komunitas.pdf

Ufiza, S., Salmiati, S., & Ramadhan, H. (2018). Analisis Vegetasi Tumbuhan
dengan Metode Kuadrat pada Habitus Herba di Kawasan Pegunungan
Deudap Pulo Nasi Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Biotik, 5(1),
209–215. Retrieved from
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/PBiotik/article/view/4258/2794

Wahyu, I., Pranoto, H., & Supriyanto, B. (2018). Kajian Produktivitas Tanaman
Semusim pada Sistem Agroforestri di Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai
Kartanegara Cash Crop Productivity Analysis of Agroforestry System in
Samboja , Kutai Kartanegara District. Jurnal Agroekoteknologi Tropika
Lembab, 1(1), 24–33. doi:10.35941/jatl.1.1.2018.1509.24-33

White, K. J. (1991). Teak : Some Aspects of Research and Development.


Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Food and
Agriculture Organization of the United Nations.

Widiatmaka, Mediranto, A., & Widjaja, H. (2015). Karakteristik, Klasifikasi


Tanah, dan Pertumbuhan Tanaman Jati (Tectona grandis Linn f.) Var.
Unggul Nusantara di Ciampea, Kabupaten Bogor. Jurnal Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 5(1), 87–97. Retrieved from
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl/article/view/10210/7940

Widjaja, H. (2018). Vegetative engineering as landslide reduction and handling


alternative. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science,
203(1). doi:10.1088/1755-1315/203/1/012019

Wonogiri, B. P. S. K. (2019). Kabupaten Wonogiri Dalam Angka Tahun 2019.


Wonogiri. Retrieved from
https://wonogirikab.bps.go.id/publication/2019/08/16/c429e3c40206c587220
0d544/kabupaten-wonogiri-dalam-angka-2019.html.

Yogi, K. (2020). Penghijauan 0728 Wonogiri, Tanaman Penghijauan harus


dirawat. Suaramerdekasolo.com. Retrieved from
https://suaramerdekasolo.com/2020/01/17/penghijauan-0728-wonogiri-
tanaman-penghijauan-harus-dirawat/

Ziliwu, Y. (2002). Pengaruh Beberapa Macam Tanaman Terhadap Aliran


Permukaan dan Erosi. Universitas Diponegoro.
80

Lampiran Surat Ijin Penelitian


81

Lampiran Surat Ijin Penelitian


82

Lampiran surat ijin penelitian


83

Lampiran Dokumentasi

Kondisi sabuk hijau di Nguntoronadi Kondisi sabuk hijau di Baturetno

Kondisi rumah pengawas Spanduk penhijauan di Pokoh Kidul

Contoh ploting vegetasi Wawancara dengan pengawas sabuk hijau

Sampling vegetasi di Wuryantoro Pengambilan data social di Wuryantoro


84

KUESIONER PENELITIAN
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN
KAWASAN SABUK HIJAU WADUK SERBAGUNA
WONOGIRI

Dengan hormat,
Dalam rangka penelitian untuk penyusunan tugas akhir (Tesis), bersama ini saya Imah Solikhatun,
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta (UNS) mohon bantuan Bapak/Ibu/Sdr untuk bersedia menjadi responden dalam
penelitian yang saya lakukan. Kuesioner ini ditujukan untuk diisi Bapak/Ibu/Sdr dengan menjawab
seluruh pertanyaan yang telah disediakan. Saya mengharapkan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr berikan
nantinya adalah jawaban obyektif agar diperoleh hasil yang maksimal. Perlu diketahui bahwa
jawaban yang diberikan tidak akan mempengaruhi status atau jabatan Bapak/Ibu/Sdr, hanya jawaban
obyektif dan realistislah yang saya perlukan.
A. Data Responden
1. Nama Responden : _______________________
2. Jenis Kelamin : _______________________
3. Umur : _______________________
4. Pendidikan Terakhir :
a)
b) SD e) Diploma
c) SMP f) Perguruan Tinggi
d) SMA
5. Pekerjaan :
a. PNS e. Petani
b. TNI/Polri f. Buruh
c. Pegawai g. Nelayan
Swasta h. Lainnya_____________________
d. Pedagang
6. Pendapatan : ________________________
7. Jarak rumah dengan sabuk hijau : _______________
Petunjuk: Berilah tanda centang (√) atau tanda silang (X) pada kolom jawaban yang anda
pilih.
A. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan sabuk hijau
Respon
No Pertanyaan Tidak
Sering Pernah Jarang
Pernah
(4) (2) (2)
(1)
Apakah kegiatan perencanaan pengelolaan sabuk hijau
1
melibatkan masyarakat?
Apakah anda hadir dalam setiap pertemuan masyarakat untuk
2
merencanakan kegiatan pengelolaan sabuk hijau?
3 Apakah anda mengajukan usul atau ide tentang perencanaan
85

kegiatan dalam kegiatan pengelolaan sabuk hijau?


Apakah anda memberikan sumbangan materi dalam pertemuan
4
kegiatan perencanaan pengelolaan sabuk hijau?
Apakah anda diberikan penjelasan oleh dinas terkait (Jasa
5 Tirta) bahwa kegiatan pengelolaan sabuk hijau yang dilakukan
merupakan kegiatan yang sangat penting?
Apakah anda hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan
6
pengelolaan sabuk hijau?
Apakah anda memberikan sumbangan materi dalam pertemuan
7
kegiatan pelaksanaan pengelolaan sabuk hijau?
Apakah anda diberikan penjelasan/pelatihan oleh Jasa Tirta
8 tentang teknik-teknik dalam melakukan berbagai bidang
kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan?
Apakah setiap bulan atau periode tertentu dinas terkait (Jasa
9 Tirta) mengadakan pertemuan dengan masyarakat guna
melaporkan keadaan kegiatan pengelolaan sabuk hijau?
Apakah anda hadir dalam pertemuan pelaporan kegiatan
10
pengelolaan sabuk hijau ?
Apakah anda ikut melaporkan hasil kegiatan pengelolaan
11
sabuk hijau yang telah dilakukan dalam pertemuan tersebut?

B. Pengetahuan masyarakat tentang sabuk hijau dan dampak pemanfaatannya (kognitif)


Respon
No Pernyataan
Benar Salah
Sabuk hijau Waduk Serbaguna Wonogiri memiliki peran utama sebagai pembatas
14 perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan
aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu. (benar/salah)

Fungsi utama sabuk hijau adalah sebagai


15 a. pelindung erosi dan penyerap air disekitar waduk
b. pembatas aktivitas waduk dengan kegiatan masyarakat
Tanaman yang cocok ditanam di kawasan sabuk hijau?
17 a. jenis tanaman produksi (pepohonan)
b. jenis tanaman semusim (jagung, padi dan lain-lain)
Bagaimanakah kondisi tanaman dikawasan Sabuk hijau WGM saat ini?
19 a. perlu rehabilisasi dan penambahan jenis tanaman lain
b. sudah teratur, terawat, dan sangat mendukung ekosistem
Dampak utama pemanfaatan lahan kawasan sabuk hijau adalah
16 a. erosi dan pendangkalan di sekitar waduk
b. kerusakan ekosistem waduk
Apa penyebab utama perubahan yang terjadi dikawasan sabuk hijau?
18 a. factor kerusakan alam
b. factor perbuatan manusia
20 Langkah nyata apa yang harus dilakukan saat ini agar kelestarian kawasan sabuk hijau WGM tetap
terjaga?
a. Mengadakan reboisasi dan ikut serta sebagai penjaga dan pengawas sabuk hijau
b. Menaati peraturan dari pemerintah
21 Bagaimana langkah anda dalam mengatasi dampak pemanfaatan lahan kawasan sabuk hijau WGM saat
ini?
a. Tidak merusak kawasan sabuk hijau yang telah di reboisasi.
b. Memanfaatkan lahan sesuai dengan arahan dinas terkait dan menanam tanaman yang di anjurkan dinas
terkait.

C. Sikap masyarakat mental terhadap keberadaan kawasan sabuk hijau WGM (afektif)
Respon
No Pertanyaan
Ya Tidak
22 Apakah kondisi sabuk hijau WGM saat ini masih sama seperti dulu? v
86

23 Apakah saudara melakukan pemanfaatan lahan di sekitar WGM? v


24 Apakah saudara memanfaatkan lahan sabuk hijau karena kebutuhan ekonomi? v
25 Apakah saudara memanfaatkan lahan sabuk hijau untuk lahan pertanian v
Apakah ada ijin/wewenang yang diberikan dari dinas pengelola kawasan v
26
terkait tentang pemanfaatan lahan?
27 Apakah pengawasan sabuk hijau saat ini sudah baik? v
Apakah di sini, sudah ada forum komunikasi yang membicarakan tentang v
28
pengelolaan kawasan sabuk hijau?
Saya mengetahuinya tentang peraturan yang melarang adanya pemanfaatan v
29
lahan disekitar sabuk hijau dari Jasa Tirta
Apakah menurut anda, jumlah bibit yang digunakan dalam kegiatan v
30 pengelolaan lahan sabuk hijau ini sudah cukup memadai untuk memulihkan
kembali kerusakan sabuk hijau tersebut?

D. Sikap masyarakat mental terhadap adanya pengelolaan kawasan sabuk hijau WGM
(afektif)
Respon
No Pertanyaan Tidak
Setuju
Setuju
Setujukah saudara apabila ada pertemuan rutin untuk membahas permasalahan
31 v
pengelolaan kawasan sabuk hijau ?
Setujukah saudara apabila jenis tanaman yang ditanam di kawasan sabuk hijau
32 v
adalah jenis pepohonan
Setujukah saudara apabila ada peraturan untuk menjaga kelestarian kawasan
33 v
sabuk hijau WGM?
Setujukah saudara bila ada peraturan yang melarang adanya pemanfaatan
34 v
lahan disekitar kawasan sabuk hijau WGM?
Setujukah saudara apabila bibit yang digunakan dalam kegiatan pengelolaan
35 lahan sabuk hijau ini adalah tanaman yang memberi manfaat bagi warga v
sekitar seperti tanaman buah-buahan?

E. Kecenderungan bersikap (perilaku) masyarakat terhadap sabuk hijau WGM (konatif)


Respon
No Pertanyaan
Bersedia Tidak
Apakah saudara bersedia ikut serta dalam pengelolaan dan program konservasi
36 v
sabuk hijau?
Apakah saudara bersedia memberikan sumbangan berupa saran, tenaga dan
37 v
dana untuk pengelolaan sabuk hijau kedepannya?
38 Apakah anda mau berperan serta menyampaikan kepada anggota keluarga, v
tetangga atau warga desa tentang manfaat kegiatan pengelolaan sabuk hijau?
39 Apakah anda bersedia ikut serta memelihara bibit yang sudah ditanami tersebut? v
40 Apakah anda bersedia ikut mengawasi sabuk hijau? v
41 Apakah kedepannya saudara tetap merencanakan untuk memanfaatkan lahan di v
sekitar kawasan sabuk hijau WGM mengingat kondisinya sekarang?
87

KUESIONER PENELITIAN
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN KAWASAN SABUK HIJAU WADUK
SERBAGUNA WONOGIRI

Dengan hormat,
Dalam rangka penelitian untuk penyusunan tugas akhir (Tesis), bersama ini saya Imah
Solikhatun, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) mohon bantuan Bapak/Ibu/Sdr untuk bersedia
menjadi responden dalam penelitian yang saya lakukan. Kuesioner ini ditujukan untuk diisi
Bapak/Ibu/Sdr dengan menjawab seluruh pertanyaan yang telah disediakan. Saya mengharapkan
jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr berikan nantinya adalah jawaban obyektif agar diperoleh hasil yang
maksimal. Perlu diketahui bahwa jawaban yang diberikan tidak akan mempengaruhi status atau
jabatan Bapak/Ibu/Sdr, hanya jawaban obyektif dan realistislah yang saya perlukan.
Pertanyaan Wawancara Stake Holder dan Pemangku Kepentingan
1. Apakah ada lembaga yang dibentuk yang khusus untuk melakukan pengelolaan terhadap kawasan sabuk
hijau ini?
Tidak ada
2. Bisa diceritakan sedikit bagaimana kondisi kawasan sabuk hijau yang ada di daerah sini dulu dan
sekarang?
Untuk kondisi dulu tidak dapat menjelaskan secara spesifik, untuk saat ini sabuk hijau waduk
wonogiri di masuk dalam kategori cukup, dimana Sebagian segmen masih dalam kondisi baik
dan Sebagian lainya beberapa dikelola masyarakat,
3. Bagaimana pengaruh kawasan sabuk hijau bagi masyarakat di daerah ini?
-Lebih tepat ditanyakan ke masyarakat secara langsung-
4. Secara umum, masyarakat sekitar memanfaatkan kawasan sabuk hijau diwilayah ini dalam bentuk apa
saja?
Pemanfaatan sabuk hijau oleh masyarakat sebagian besar dimanfaatkan untuk bercocok
tanam atau pertanian namun kegiatan ini illegal atau tidak mendapatkan ijin dari PJT1
maupun BBWS Bengawan Solo, dan beberapa bagian kecil dimanfaatkan untuk usaha
dengan mendirikan banguna semi permanen di area yang berada di tepi jalan besar dimana
masih merupakan Sabuk Hijau yang terpisah oleh jalan.
5. Selama ini bagaimana program atau kegiatan yang dilakukan di untuk pengelolaan kawasan sabuk
hijau?
Sebagai pengelola Bendungan Serbaguna Wonogiri dan upaya melestarikan Waduk
khusunya untuk area Sabuk Hijau Perum Jasa Tirta I secara berkesinambungan melakukan
kegiatan konservasi dengan melibatkan masyarakat sekitar meliputi :
a. Penghijauan
b. Pemeliharaan tanaman (untuk tanaman usia < 2 tahun hasil penanaman PJT1)
c. Penyuluhan dan sosialisasi pelestarian lingkungan kepada masyarakat sekitar
Waduk
d. Pembuatan bangunan-banguna sipil teknis sekala kecil seperti DAM Penahan
Bronjong dan RAPES (Resapan Air Pengendali Erosi dan Sedimen)
6. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu terhadap jenis kegiatan dan manfaat pengelolaan sabuk hijau yang
telah dilaksanakan?
88

Pengelolaan sabuk hijau akan dapat maksimal apabila dilaksanakan secara Bersama-sama oleh
semua sector atau pemangku kepentingan, tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perum
jasa tirta 1,
Program rutin Penghijauan dan kegiatan konservasi oleh PJT1 secara rutin perlu juga di
barengi dengan penyadaran masyarakat terkait fungsi dan manfaat sabuh hijau. Kemudian
resiko dan akibat pengelolaan sabuk hijau yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi dimana
kemudian mengakibatkan kerusakan sabuk hijau tersebut.
7. Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat atau lembaga masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
kawasan sabuk hijau?
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sabuk hijau sampai dengan saat ini terkait
kegiatan konservasi adalah pelibatan dalam proses kegiatan yang dilakukan oleh PJT1 atau
BBWS Bengawan solo.
Kemudian untuk Lembaga masyarakat atau Instansi yang bekerja sama dalam Pengelolaan
sabuk hijau hanya ada beberapa, dikarenakan Kerjasama yang dapat dilaksanakan adalah
kegaitan yang berhubungan dengan konservasi, sebagai contoh melakukan penanaman
namun jenis pohon yang tidak ditebang (buah-buahan dan tanaman lainya).
8. Apakah sudah ada kegiatan khusus dari lembaga resmi pemerintah atau swasta yang ikut mengelola
kawasan sabuk hijau diwilayah ini?
Ada, dalam pengelolaan kawasan sabuk hijau dengan luasan yang ada PJT1 menyadari
bahwa pengelolaan dan pengawasan terhadap Sabuk Hijau tidak dapat dilakukan sediri oleh
PJT1, oleh karenanya PJT1 pada prinsipnya dapat mengijinkan pengelolaan sabuk hijau
dari lembaga pemerintahan maupun swasta melalui Kerjasama Pengeloaan Sabuk Hijau.
9. Jika ada, bagaimana bentuk pengelolaan yang telah dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah atau
lembaga swasta tersebut?
Pengelolaan sabuk hijau dilakukan dengan bentuk Kerjasama, dimana pemanfaatan sabuk
hijau ini di ijinkan hanya untuk Penanaman Pohon Penghijauan bukan tanaman semusim
pertanian, sebagai contoh Kerjasama Pengelolaan Sabuk Hijau yang telah dilakukan, saat ini
PJT1 bekerjasama dengan Korem Surakarta dan PT. Mahakarya Giri Artha untuk
pengelolaan tanaman konservasi dengan melakukan penghijauan di beberapa area sabuk hijau
dengan jenis tanaman buah-buahan, sehingga dari sisi Konservasi tetap terjaga dan dari sisi
Ekonomi terpenuhi dari hasil panen buah-buahan.
10.Dalam kegiatan-kegiatan apa saja masyarakat ikut dalam program pengelolaan kawasan sabuk
hijau?
- Masyarakat dilibatkan dalam kegiatan penghijauan, Pemeliharaan tanaman sebagai
tenaga kerja yang dilaksanakan oleh PJT1 atau lainya.
- Ada juga terkadang kelompok-kelompok relawan yang menyalurkan penanaman pada area
sabuk hijau.
89

Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 35(2), 228-238, 2020 URL:


https://jurnal.uns.ac.id/carakatani/article/view/34616
DOI: http://dx.doi.org/10.20961/carakatani.v35i2.34616

ISSN 2613-9456 (Print) 2599-2570 (Online)


Analysis of Vegetation and Community Attitude as the Reforestation Efforts at
Greenbelt Area of Multipurpose Reservoir of Wonogiri
Imah Solikhatun1, Maridi2 and Maria Theresia Sri Budiastuti2
1Student at Master Program of Environmental Science, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia; 2Lecturer
at Master Program of Environmental Science, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
*Corresponding author: imahsolikhatun@student.uns.ac.id
Abstract
Land conversion has caused the function of the greenbelt for reservoir to be less effective. The
management of the greenbelt area is needed to maintain the primary function of the reservoir. Therefore,
a vegetation analysis in the greenbelt area is necessary to evaluate the condition of the existing
vegetation and community attitude to maintain the greenbelt area. This study aims at identifying the
current condition of the greenbelt area and the diversity of vegetation as well as the community attitude
at the greenbelt area of multipurpose reservoir of Wonogiri. Vegetation sampling was done by
purposive sampling using directed line quadrant method, while community attitude sampling was
performed using in-depth interviews. This study found 14 species of vegetation in the greenbelt area.
The most significant contribution of vegetation species was shown by the Importance Value Index
(IVI), with 14 species of tree in which teak (Tectona grandis L.) was the species with the highest IVI
value. The species diversity index was 1.15-1.7 and it was included in the medium category.
Reforestation efforts can be continued because the vegetation condition has shown moderate
stability. Community attitudes towards the greenbelt largely support the existence of management
although people still and will use the land without disturbing the existing plants. The reforestation
program that has been carried out in the last few years is expected to be able to restore the greenbelt in
support of the reservoir function.
Keywords: community attitudes; greenbelt; multipurpose reservoir; vegetation analysis
Cite this as: Solikhatun, I., Maridi, & Budiastuti, M. T. S. (2020). Analysis of Vegetation and Community
Attitude as the Reforestation Efforts at Greenbelt Area of Multipurpose Reservoir of Wonogiri. Caraka Tani:
Journal of Sustainable Agriculture, 35(2), 228-238. doi: http://dx.doi.org/10.20961/carakatani.v35i2.34616
condition, will bring soil material into the dams so
INTRODUCTION
the shallowness cannot be avoided (Prabowo et
Greenbelt is a buffer zone that surrounds al., 2018). The ability of vegetation to reduce
reservoirs dominated by vegetation to support the erosion and sedimentation is influenced by the
sustainability of reservoir functions (Prabowo et stage of plant growth, plant height, plant leaf
al., 2018). The function of greenbelt area in the condition, plant density and root system (Ziliwu,
reservoir border area is to minimize the siltation 2002). In addition, the functions of greenbelt-
of the reservoir due to the erosion that occurs forming trees are not only to make the reservoir
around the reservoir, maintain the soil stability beautiful and cool, but also to maintain the aspects
and separate the reservoir from the surrounding of sustainability, conformity, harmony and
land (Rahayu et al., 2016). The greenbelt breakage balance of natural resources, which will provide
will shorten dams’ age. The rain water from the environmental services in the form of comfort,
capturing water area, which has barren wood freshness, freedom from pollution and noise as
Received for publication September 18, 2019
Accepted after corrections June 6, 2020
228 Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret
229 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

well as fauna habitat for next future (Han et al., Community attitude and behavior can be
2017). Vegetation analysis needs to be done to influenced by internal and external factors (Surati,
identify the current condition of the greenbelt. 2014). Community attitude is an evaluative
Vegetation analysis is a way of studying the statement, whether or not it is beneficial for the
composition of species and shapes or structures of objects, people or events (Tjandra and Tjandra,
vegetation (Maridi et al., 2015b). The results of 2013). Attitude reflects how a person feels about the
plant vegetation analysis are presented something. When someone says he agrees to the
descriptively, particularly dealing with the species greenbelt regulations, it means he is expressing
composition and its community structure. The his attitude towards the greenbelt. Attitude is a
presence of vegetation will have a positive impact continuous organization of motivation, emotions,
on the balance of ecosystems on a broader scale perceptions and cognitive processes by respecting and
the effect varies depending on the structure certain aspects of the environment (Hawkins and and
composition of plants that make up the Mothersbaugh, 2010).
vegetation formation of the area (Cahyanto et al., Vegetation analysis and community attitude as
2014). a reforestation effort at greenbelt area of
The greenbelt area of multipurpose reservoir multipurpose reservoir of Wonogiri is one of the of
Wonogiri has an area of ±1,653 ha, which is initial attempts made to identify the condition of located
at an elevation of 138.2-140 meter above the greenbelt, vegetation diversity and community sea level
and surrounds the reservoir in five attitude in the Greenbelt Area of multipurpose sub-districts,
namely Eromoko, Wuryantoro, reservoir of Wonogiri. It is hoped that the Wonogiri,
Nguntoronadi and Baturetno (Decree community will have a good attitude in of Director
General of State Owned Enterprise of maintaining and utilizing greenbelt without Water
Resource Management 1, 2000). The damaging it. This study is highly significant as a condition
of the greenbelt is now alarming, where basis to provide understanding and new the pressure
caused by the use of land of greenbelt knowledge for communities around the greenbelt contributes to
the land conversion in the greenbelt area about the greenbelt as a protector and area into
agricultural areas. Conversion of the supporter of the sustainability of reservoir function of
the greenbelt land of reservoir into functions.
agricultural land without being realized by the
community raises many problems, such as erosion MATERIALS AND METHOD
and reservoir sedimentation, which have an The study was conducted in February to March
impact on the decreasing reservoir capacity. 2019 in the greenbelt area of multipurpose
Greenbelt areas need reforestation to replace lost

trees due to land conversion. rCesenterrvaloi r Javoa f PWonogrovinceir,i

,IndonesWonogiai ri( FiRgegure ency1), .


Reforestation in the greenbelt areas needs to be Materials and equipment used during the study
done to maintain the balance of the ecosystem in included basic maps of administration and land the
environment by planting trees in barren land. use around the multipurpose Reservoir of The
success of the reforestation process in the Wonogiri, GPS, digital cameras, observation greenbelt
area is inseparable from the community sheets, meters, stakes, raffia ropes, stationery and attitude
towards the greenbelt. One solution to
maintain vegetation diversity and reservoir quesTtheion denaiterrems. inat ion of sample
blocks was based function is by reforestation. Reforestation in the
greenbelt areas has been carried out from 2014, on intertvhe iewsapp, inrstoaech ad ooff ag rfiiceulld
turobseal land.rvat iBonsas ed andon but not all areas have been planted with seedlings. observations
and interviews with the supervisor of
Seedlings are distributed in stages because the greenbelt, 12 stations were obtained with three
greenbelt covers a large area. In addition to plots per station. Vegetation sampling was carried
seedling provision for reforestation, community out using the plot method in the path, noting all
attitude towards greenbelt areas greatly influences existing vegetation in the form of seedlings,
the success of reforestation. The attitude of saplings, poles and trees (Hadi et al., 2019). The the
people who can maintain the preservation of plot size for trees was 20 m x 20 m; the poles was the

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


230 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

greenbelt is wanting to maintain and care 10 m x 10 m; saplings was 5 m x 5 m and seedlings the
greenbelt without damaging and disturbing it. was 2 m x 2 m.

Figure 1. Map of multipurpose reservoir of Wonogiri

Data of vegetation observed in each plot et al. (2016), including IVI and Shannon-Wiener's
were the number of individuals, species, height, vegetation diversity index. In this study, IVI
stem diameter at 1.3 m height at the level of was obtained from the sum of the relative
tree, pole, weaning and seedling. Vegetation densities, relative frequencies and relative
analysis was carried out after field data had coverage areas of vegetation at each location.
been collected using the quadratic method. Procedure for calculating IVI and diversity
Calculations were performed using formulas and index will be described as follows (Kusumo
procedures in Barbour et al. (1987) and Kusumo et al., 2016).

Density (KM) = Number of individuals of a type


total of plot area

Relative density (KR) = DM of a species x 100%


DM of total of all species

Frequency (F) = ∑a sub plot is determined by a species


∑total of sub plot
Relative frequency (FR) = F of a spesies x 100%
F of total of spesies

Dominance (D) = Number of basic planes of a species


area of all plot

Relative dominance (DR) = Domination of a type x 100%


Domination of all types

The diversity index can be calculated using the Information:


Shannon-Wiener Diversity Index formula (Maridi H' = Shannon-Wiener Diversity Index
et al., 2015a): ni = Number of each type every-i

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


231 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

ni ni N = Total (overall) number of individuals H


′= − ∑ Log
N N

Data of community attitude were obtained species listed in Table 1 indicate striking
from interviews using a questionnaire to the variations regarding the density of 14 species
community living around the greenbelt area of 30 found. The number of individuals from 14 species
people in each sub-district. The samples of at each level of trees, poles, saplings and seedlings
respondents were determined using purposive was 65, 119, 83 and 81, respectively. The highest
sampling, with the criteria of hamlet residents value of tree density was obtained by teak
around the greenbelt area of the multipurpose (Tectona grandis L.), amounting to 18; 200; 378
reservoir of Wonogiri. The data of responses to and 2,708 individuals ha-1 for each level of trees, the
questionnaires were analyzed descriptively by poles, saplings and seedlings. The highest
grouping the same information to provide answers frequency values obtained by the type of teak at
to the research objectives. Data from the answers the level of trees, poles, saplings and seedlings to
questionnaires of community attitude in the were 45.16%, 54.84%, 41.38% and 48.15%
greenbelt area were analyzed using the Gutman correspondingly. The dominance value of each
Scale (Azwar, 2015). species also varies. The highest values were
obtained by the type of teak, which were 7, 46, 39
RESULTS AND DISCUSSION and 75 at each level of trees, poles, saplings and
Density, frequency and dominance values seedlings. These three values were important in found
at 12 stations in the greenbelt area of the the analysis of vegetation because they were Wonogiri
multipurpose reservoir from each related to one another.

Table 1. Value of density, frequency and dominance for each level of tree
No. Density Frequency Dominance
Type
T P Sa Se T P Sa Se T P Sa Se
2. Acacia mangium 8 8 167 1,042 9.68 9.68 13.79 18.52
Willd. 4 2 13 26
3. Albizia chinensis 7 11 33 278 9.68 6.45 3.45 7.41
Merr. 3 2 3 11
4. Albizia saman 1 139 3.23 3.70
Merr. 2 4
5. Anacardium 4 50 44 9.68 9.68 6.90
occidentale L. 2 11 6
6. Dalbergia latifolia 3 42 100 1,250 9.68 9.68 10.34 11.11
Roxb. 1 10 8 8
e. Mangifera indica 1 11 3.23 3.45
L. 0 1
7. Melaleuca 3 8 9.68 3.23
leucadendra L. 1 2
8. Tectona grandis L. 18 200 378 2,708 45.16 54.84 41.38 48.15 75
9. Manihot utilissima 6 3.23 7 46 39
Pohl. 1
9. Swietenia 6 3.23
mahagoni L. 1
10. Annona squamosa 67 208 10.34 11.11 40
L. 4
11. Anthocephalus 78 3.45
macrophyllus 5
Havil.
- Carica papaya L. 22 3.45
- Leucaena glauca 22 3.45 2
Benth. 2

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


232 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

Total 45 331 922 5,625 100 100 100 100 19 76 84 165


Note: T (tree), P (pole), Sa (sapling) and Se (seedling)

The frequency value of a species was et al., 2016), which signifies that teak plants
directly affected by its density and distribution are the typical vegetations of the greenbelt
pattern. Value of distribution can only provide area of Wonogiri multipurpose reservoir. The
information about the presence of certain data in Table 1 and Table 2 show the composition
plants in a plot and cannot yet provide an and structure of plants having varying values
overview of the individual number in each plot. in each type due to the differences in the The
difference in the value of the density of characters of each tree. The variations in structure each
type is due to the differences in reproductive and composition of plants in a community are ability,
distribution and adaptability to the influenced, among others, by phenology, dispersal
environment. The spread of plant species in the and natality (Suyamto, 2011). The success in
community is a reaction (response) different becoming a new individual is influenced by
from these types of micro-habitat differences. the different vertices and fecundities of each
Among the environmental factors that influence species so that there are differences in the the
range of plants, soil moisture (water content) structure and composition of each species. is the
most influential factor (Martono et al., It reinforces the statement that the IVI provides 2019).
us with knowledge about the importance of a
IVI result presented in Table 2 indicates species in a community or ecosystem (Giliba
the sum of the relative values of the three et al., 2011).
parameters (density, frequency and dominance) Teak is type of tree having the highest that
had been measured previously, so that the density and frequency value so that it can be values
also varied. Teak was the species with the considered as a dense and widespread species in highest
IVI. The levels of trees, poles, saplings almost all research sites. Teak grows best in and
seedlings were 119.67, 176.36, 128.98 and the tropics or sub-tropics in the temperature 142.08,
respectively. Some species of trees range between 9°C and 41°C, the range of had the
lowest IVI for different categories, rainfall between 1,300 mm year-1 and 3,800 mm including
mango for the level of tree (IVI = 5.95), year-1 and dry periods between 3 months a year cassava and
mahogany for the level of pole (IVI = and 5 months a year. In Indonesia, teak is 6.33), mango
for sapling level (IVI = 8.86) and commonly planted in calcareous soils with a rain tree of
saman tree (Albizia saman) for slightly acidic to neutral pH, has a deep solum, is seedlings (IVI =
8.7). A high IVI indicates the well drained and has a clear dry season general role of species
in the community (Rahayu (Widiatmaka et al., 2015).

Table 2. IVI value and diversity index (H')


IVI H'
No. Type
T P Sa Se T P Sa Se
1. Acacia mangium Willd. 46.56 14.39 46.90 52.86 0.31 0.09 0.31
2. Albizia chinensis Merr. 40.52 12.75 10.77 18.89 0.29 0.11 0.12
3. Albizia saman Merr. 15.4 8.70 0.11 0.31
4. Anacardium occidentale L. 27.37 38.95 19.33 0.22 0.29 0.15 0.15
5. Dalbergia latifolia Roxb. 21.42 36.03 30.86 38.19 0.17 0.26 0.24 0.09
6. Mangifera indica L. 5.95 6.04 0.06 0.05
7. Melaleuca leucadendra L. 23.48 8.86 0.17 0.09
8. Tectona grandis L. 119.67 176.36 128.98 142.08 0.37 0.30 0.37 0.33
9. Manihot utilissima Pohl. 6.33 0.07
10. Swietenia mahagoni L. 6.33 0.07
11. Annona squamosa L. 0.19 0.35
22.54 39.29
Anthocephalus
0.21
12. 17.91
macrophyllus Havil. 0.09 0.12
8.51
13. Carica papaya L. 0.09
8.14
14. Leucaena glauca Benth. 1.70 1.15 1.24
300.00 287.34 242.90 260.71
Total

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


233 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

Note: T (tree), P (pole), Sa (sapling) and Se (seedling)

Wonogiri Regency is geographically located reservoir is moderate for diversity, distribution


between 7º32'- 8º15' South Latitude and 110º41'- and stability at a moderate stage. This is due to the
111º18' East Longitude. Based on the climate data reforestation program carried out in areas, where
from the Wonogiri Meteorological Station (BPP land use has been diverted by management, so that
Selogiri), the area around the research site is wet diversity is still at a moderate stage. The diversity (4-
6 months dry). The average rainfall every year shown in the diversity index is an important point is >
2,000 mm year-1. The number of rainy days in in maintaining the balance of processes that the
dry season is 5 days and the number of rainy run in an ecosystem (Maridi et al., 2015a). The days in
the rainy season is 101 days. In 2019, the index value of the large contribution needed is air
temperature was a minimum of 18.26°C and a supported by a large carrying capacity of the
maximum of 36.5°C, indicating the average environment towards survival and increasing
temperature of 27°C (BPS-Statistics of Wonogiri ecosystem stability (Istomo and Sari, 2019). This
Regency, 2019). The types of soil found in result can be interpreted that reforestation that has
the greenbelt area of multipurpose reservoir of been done is good and can be continued to achieve
Wonogiri were dominated by the types of vertisol high ecosystem stability to support the main
and alfisol. The existing conditions in the function of the greenbelt. Therefore, better
greenbelt area are very supportive for the growth management is required because of the high of
teak plants and teak is wood commodity with a diversity of growth speeds that can affect forest high
economic value, so it is not surprising if it is ecosystems (Ufiza et al., 2018).
widely developed by the manager of State-Owned

Enterprise of Water Resource Management. Tarehe coa ofm mmuunltipuityrpo attseitud rese

etorvoiwardr os tf Wonoghe greenbeiri lt


Based on all types of IVI, the diversity index
(H') is presented in Table 2. The calculation areaT he can combe mideuninttiyf iedat tiftrudeom
fiin eld the obsegrreevatnbeionlst results show that the species diversity indexes in during in-depth
interviews using a closed
all the plots studied were 1.7 for trees, 1.15 for questionnaire. The community attitude will
poles, 1.24 for stakes and 1.24 for seedlings. If greatly affect the sustainability of the greenbelt using
criteria from Barbour et al. (1987), the
species diversity index was 1.15-1.7 and thus, demarea onstof rmatuled tipuin rpoTabsel e re3se.
rTvoihe r tofot aWonogl numberiri ofas included in the medium category. Actually, this respondents
in this study was 150 people,
condition illustrates that the ecosystem in the consisting of 30 people in each sub-district.
greenbelt area of the Wonogiri multipurpose

Table 3. The community attitude towards the greenbelt area


Community attitude
Knowledge about greenbelt and land use impacts
Answer
(cognitive)
1. The definition of greenbelt Right 96% False 4%
2. The main function of greenbelt Erosion barrier 82% Delimiter 18%
3. The main impact of the use of greenbelt land Silting 78% Ecosystem 22%
reservoirs damage
4. Types of greenbelt vegetation Annual crops 76% Production 24%
plants
5. The causes of changes in greenbelt conditions Natural factors 38% Human 62%
The community attitude towards greenbelts
(affective) Agree Disagree
1. The existence of rules to guard 100% 0%

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


234 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

2. The existence of regulations prohibiting the utilization 21% 79%


3. Vegetation management 80% 20%
The tendency of people to behave
(conative) Willing Unwilling
1. Management of the greenbelt area 94% 6%
2. Termination of using the land 30% 70%

The parameters of community attitude or regulation due to their assumption that the
human attitudes include three components, greenbelt land was not theirs and they still had rice
namely cognitive or knowledge that is fields in areas that were not greenbelts. Eighty
believed, affective (feeling) and conative or percent community attitude showed that they
behavioral/behavioral tendencies (Hawkins and corresponded to the management of the greenbelt.
Mothersbaugh, 2010; Azwar, 2015). There It started from agreeing statement of the
were five elements of cognitive (knowledge) community to get involved in the management, to
parameters of the community towards the consenting statement with the choice of plants
greenbelt and the questions on the impacts of land benefiting them.
use analyzed in this study. The elements cover the The results of the conative analysis or the
definition, main functions, the impact of land use, analysis of the community tendency to behave in
the type of vegetation and the causes of changes the future whether or not they wanted to maintain in
the greenbelt area. the seedlings that had been planted have revealed
The results of community cognitive that as many as 94% of the community stated their
(knowledge) analysis of definitions, main willingness. Inversely, based on the questions
functions, land use impacts and types of greenbelt related to the termination of land use, as many as
vegetation were very good. Ninety six percent of 70% of the community was unwilling. They the
community could correctly define that the reasoned that it was possible as long as they would
greenbelt was a limiting area between community not be interfered with plants planted by the
activities and reservoir activities. Eighty two responsible party, State-Owned Enterprise of
percent of the community could also figure out the Water Resource Management. The community
main function of greenbelt area to resist erosion attitude tended to be less cooperative towards the
occurring around the reservoir. When the sustainability of the function of the greenbelt in
greenbelt was not functioning well, the edges of supporting the reservoir function. This happens the
reservoir would potentially contribute to because of the economic factors encouraging
sedimentation to the reservoir due to erosion. them to continue to depend on profitable greenbelt
However, sediment problems in multipurpose land. The approval for this management can be
reservoir of Wonogiri were caused by erosion in used as a benchmark that reforestation can be the
upstream area of the watershed of Bengawan continued.
Solo (Maridi et al., 2015b). The types of plants The analyses of vegetation and community that
should be planted in the greenbelt area of the attitude as a reforestation or afforestation effort in
multipurpose reservoir, according to 75% of the the greenbelt area of the Wonogiri multipurpose
community, are annual crops such as rice, corn, reservoir included the evaluation of vegetation
beans and others. This is so for it was perhaps and community attitude. These two parameters
influenced by economic conditions and favorable were important in this study to find out the extent
land perceptions. Though, this condition threatens of the current condition of vegetation and see
the sustainability of reservoir functions, because whether the community around the greenbelt had
dense forests and grasses are types of vegetations the attitude to treat and even maintain the
more effective in resisting erosion compared to greenbelt that was in the process of reforestation
intercropping, cotton and corn (Bennet, 1995). at this time. Reforestation is an effort to make
The results of the analysis of the community plants of forest tree species in degraded forest
attitude or affective towards the greenbelt areas in the form of empty/open land, reeds, or
regarding the existence of preserving regulations shrubs to restore forest function (Rusdiana et al.,
have shown that the community agreed with 2017). The types of plants used for reforestation
greenbelt preservation. In contrast to the existence must be adapted to the function of forests, land of
regulations prohibiting the use of greenbelt and local agroclimate conditions.
land, as many as 79% of the community disagreed Conservation and management of natural
with the prohibition. This happened, none other resources can be successful by identifying firstly than,

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


235 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

due to the economic reasons. They were the perception and attitude of the community afraid
that if they agreed, they would no longer be towards the environment (Sari et al., 2018). The able to
plant rice and thus, their economy would attitude itself can be said as someone's evaluative be
weakening. Community agreed with the response to an object of evaluation and the
response can be a good-bad value, positive- from related parties such as agriculture, forestry
negative or like-dislike (Azwar, 2015). The and government agencies are required to assist the
attitude of caring for the environment is a positive community in using land after reforestation so that
or negative support for things that encourage to no more severe damage occurs (Mayanti et al., care
for the environment (Sujana and Hariyadi, 2018).
2018). If all attitudes and behaviors carried out by Behavior is strongly influenced by the
the community are negative, the support and environment, specifically, the physical conditions
efforts to conserve greenbelts (reforestation) will of the environment, economy, culture, politics, be
very low (Setiawan et al., 2017). Therefore, etc., which are sometimes even have a greater knowing
the positive or negative attitude of the strength than the individual's own characteristics community is
closely related to the success of (Azwar, 2015). The best solution in determining reforestation.
management steps contributing to the community
The vegetation analysis when viewed from the willingness to take care of the greenbelt area
diversity index was still included in the middle is by planting tree seedlings that are profitable for
strata, between 1-2. The condition of the them without neglecting the function of the
reforested plants since 2014 has reached the strata greenbelt in supporting the sustainability of the of
the pole and sapling. The diversity indexes of reservoir, so that the people do not continue to stratum
and pole strata for the total study locations utilize the greenbelt land. Plants that can be were
1.24 and 1.15. Analysis of community recommended widely available in the greenbelt attitudes
ranging from knowledge, attitudes are fruit plants or production plants that can (feelings)
and tendency to attitude (behavior) on coexist with other plants, such as coffee. In average
showed above 75% for a few aspects such addition, even if the community continues to as plant
types and the regulations prohibiting the use the land continuously, it can be considered for utilization
and willingness to maintain the planted the development of an agroforestry system with seedlings must
be straightened out immediately land management at minimum. Intensive land by State-Owned
Enterprise of Water Resource management that prioritizes sustainable forest Management so as
not to cause more severe principles protects the ecosystem and it can also damages.
increase community income by developing
Humans and the environment have inter- agroforestry systems (Wiryantara et al., 2014).
dependent and reciprocal relationships. Land management with agroforestry requires the
Interactions between humans and the environment selection of suitable plant species and appropriate
that occur continuously and will affect human silvicultural treatment. Arrangements to maintain
behavior towards the environment. Humans light, water and optimum nutrition for each type
attitude and behavior will determine the merits of of constituent are the key to the success of the an
environmental condition (Palupi and Sawitri, agroforestry system (Hani and Suryanto, 2014). 2017).
Some of the examples are the diversity Further, studies are needed in land suitability, indexes in
the Wuryantoro and Baturetno areas, in planting distance and type of vegetation, as well which two
sub-districts where the research was in as economic studies in the form of economic succession
belonged to the strata of 1.43 and 1.06 valuations in the greenbelt area.
and the stakes of 1.63 and 1.36. This indicates that Based on the research by Purnomo et al. (2018)
reforestation in the Wuryantoro area has better about the impact of canopy openness on the
results than in Baturetno. It is also supported by abundance of understorey on pine and resin the
attitude of the community in the two sub- stands, the higher the percentage of canopy cover
districts regarding their willingness to care for is, the less the species diversity will be. Thus, the
seeds, where 100% of the community in selection of tree species and the spacing between
Wuryantoro and 80% in Baturetno were willing. trees must be taken into consideration taking into
Twenty percent of the people did not want to take account that the intensity of sunlight is needed for
care of the seeds and the bias was indicated to annual crops. The research by Ariani and Haryati slow
down the ongoing reforestation process. This (2018) reported that the optimization of distance can be
overcome by involving influential people (4 m) and periodic hedging of pruning plants that in the

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


236 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

community to provide an explanation of the minimize weaknesses in nutrient, light and water
conservation so that the effort can run well competition, the influence of allelopathy, host of
(Masria et al., 2015). Socialization and guidance fences on major crops are the strategies used to

take advantage of opportunities to control CONCLUSIONS


degradation land, environmentally friendly The condition of vegetation in the greenbelt
agriculture and mitigation and adaptation to area of multipurpose reservoir of Wonogiri, seen
climate change. from the IVI, pinpoints that teak (Tectona grandis
The results of alley cropping system research L.) leads at all levels of the plant. Diversity index
have shown that SWOT analysis and embraces the condition, distribution and stability.
implementation strategies in the upstream
watershed upland can be used as a reference Tcurhe rentcond stabition ilityo fof
vregefetoratesion tation sugegfesfotrst s thacatn thebe for agroforestry development. The research in
terms of economics and agricultural production by gmraieentnbelainted m. The ostlycom
encmouniuratgyes at tittheud e extowistencardse thoe f Hani and Geraldine (2018) have reported that
management even though they still and will use
soybean planted in a staple crop can provide the land without harming the existing plants.
productivity from 0.19 tons ha-1 to 0.529 tons
ha-1 while maize planted among mangrove plants REFERENCES
can provide the highest productivity of 1,224 tons
ha-1. It is expected that by choosing the right Ariani, R., & Haryati, U. (2018). Sistem alley
agroforestry system and in accordance with the cropping : analisis SWOT dan strategi
conditions of the land, it can improve the implementasinya di lahan kering DAS hulu.
economy of the people who use the land without Jurnal Sumberdaya Lahan, 12(1), 13–31.
sacrificing the sustainability of the function of the http://dx.doi.org/10.21082/jsdl.v12n1.2018.13
greenbelt in supporting reservoir functions. -31
Based on the explanation on the condition of
vegetation in the greenbelt area of the Wonogiri Azwpengukar, S. uran(2015). Yog. ySakikapart a:m
Panusiustaka a Pe: tleorajair . dan multipurpose reservoir seen from the IVI, teak
(Tectona grandis L.) dominates at all levels. BPS-Statistics of Wonogiri Regency. (2019).
Diversity index covers the condition, distribution Wonogiri regency in figures 2019. Wonogiri. and
stability. The condition of vegetation shows Retrieved from https://wonogirikab.bps.go.id that the
current stability of reforestation efforts /publication/2019/08/16/c429e3c40206c5872 can now
continue. The attitude of the community 200d544/kabupaten-wonogiri-dalam-angka- towards
greenbelt is largely supported by 2019.html
reforestation and management even though they Barbour, M. G., Burk, J. H., & Pitts, W. D. (1987).
still and will use the land without disturbing Terrestrial plant ecology. New York: The
existing plants. The management should work Benjamin/Cummings Publishing Company,
together with the government and related offices Inc.
for socialization and community guidance related
to reforestation and its utilization. Bennet, H. (1995). Soil conservation. New York:
It is suggested and recommeded to the McGraw-Hill Book Co. Inc.
authorities, namely State-Owned Enterprise Cahyanto, T., Chairunnisa, D., & Sudjarwo, T. of
Water Resource Management, that the (2014). Analisis Vegetasi pohon hutan alam
collaboration with related parties to conduct Gunung Manglayang Kabupaten Bandung.
socialization and guidance to the public is Jurnal Istek, 8(2), 145–161. Retrieved from
important to bring into reality. Even, there are https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/istek/art
people who still want to use it better by applying icle/view/225
an agroforestry system, where annual crops and
annual crops are planted side by side. The trees Decree of Director General of State Owned
recommended to be planted in the greenbelt area Enterprise of Water Resource Management 1, are
fruit or plantation crops such as coffee, but D. of D. G. of S. O. E. of W. R. M. Utilization the
plants must pass the land suitability. An as an asset in P1 PWS Bengawan Solo and Soil

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


237 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

assessment of several factors such as community of Solo Vallei Werken to be managed by Water
behavior, land suitability and economic valuation Resource Management 1 (2000). Indonesia.
of the greenbelt, needs to be carried out to Giliba, R. A., Boon, E. K., Kayombo, C. J.,
determine the steps taken in managing the Musamba, E. B., Kashindye, A. M., & Shayo,
greenbelt going forward.

P. F. (2011). Species composition, richness Ampel Kabupaten Boyolali. BIOEDUKASI,


and diversity in Miombo Woodland of Bereku 8(1), 28–42. https://doi.org/10.20961/bioedu
Forest Reserve, Tanzania. Journal of kasi-uns.v8i1.3258
Biodiversity, 2(1), 1–7. https://doi.org/10. Maridi, Saputra, A., & Agustina, P. (2015b).
1080/09766901.2011.11884724 Kajian potensi vegetasi dalam konservasi air
Hadi, S., Budiastuti, S., & Fajarningsih, R. U. dan tanah di daerah aliran sungai (DAS): Studi
(2019). Biomass and carbon storage of Jor Bay kasus di 3 Sub DAS Bengawan Solo
mangrove forest in East Lombok. AIP (Keduang, Dengkeng, dan Samin). Prosiding
Conference Proceedings, 2120(1), 040023. Seminar Nasional Konservasi dan Pemafaatan
https://doi.org/10.1063/1.5115661 Sumber Daya Alam, 65–68. Retrieved from
Han, H., Huang, C., Ahn, K. H., Shu, X., Lin, L., https://www.neliti.com/id/publications/17035
& Qiu, D. (2017). The effects of greenbelt 4/kajian-potensi-vegetasi-dalam-konservasi-
policies on land development: Evidence from air-dan-tanah-di-daerah-aliran-sungai-d the
deregulation of the greenbelt in the Seoul Martono, D. S., Rahayu, S., & Wijayanti, E.
metropolitan area. Sustainability, 9(7), 1259. (2019). Vegetation analysis of highland
https://doi.org/10.3390/su9071259 tropical rainforest in the conservation area.
Hani, A., & Geraldine, L. P. (2018). Pertumbuhan IOP Conference Series: Earth and
tanaman semusim dan manglid (Magnolia Environmental Science, 347(1), 012005.
champaca) pada pola agroforestry. Jurnal https://doi.org/10.1088/1755-1315/347/1/012
Ilmu Kehutanan, 12(1), 172–183. https://doi. 005
org/10.22146/jik.40146 Masria, M., Golar, G., & Ihsan, M. (2015).
Hani, A., & Suryanto, P. (2014). Dinamika Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap
agroforestry tegalan di perbukitan Menoreh, hutan di Desa Labuan Toposo Kecamatan
Labuhan Kabupaten Donggala. Warta Rimba,

KJurulnaon l PePrognelo, itianDae Krah ehuItstaniman ewa WalYlaceogyaa, k3ar(2)ta. , 3(2),

57–64. Retrieved from http://jurnal.


119–128. http://dx.doi.org/10.18330/jwallace untad.ac.id/jurnal/index.php/WartaRimba/arti
a.2014.vol3iss2pp119-128 cle/view/6350
Mayanti, Y. S., Anwar, S., & Prarikeslan, W.
HawkConsumer ins, D., b&ehav Moiorthe: rsbabuiugldih, ng Dm. ar(2010keting). (2018).
Sikap dan perilaku masyarakat
strategy, 11th Edition. New York: McGraw- terhadap hutan di Kawasan TNKS Kecamatan Hill
Book Co. Inc. Retrieved from https:// Gunung Tujuh Kabupaten Kerinci. Jurnal
aclasites.files.wordpress.com/2017/02/consu Buana, 2(1), 180–191. https://doi.org/
mer-behavior-building-marketing-strategy- 10.24036/student.v2i1.62
11th-edition.pdf Palupi, T., & Sawitri, D. R. (2017). Hubungan
antara sikap dengan perilaku pro-lingkungan
Istokmaro, akIt., er&ist iSark habii, P. taNt . j(eni2019)s R. asPenyamaleba (Aran ltingdan ia
ditinjau dari perspektif theory of planned excelsa Noronha) di Taman Nasional Gunung
behavior Proceeding Biology Education
Halimun Salak. Jurnal Pengelolaan Conference, 14(1), 214–217. Retrieved from
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal https://jurnal.uns.ac.id/prosbi/
of Natural Resources and Environmental article/view/18936
Management), 9(3), 608–625. https://doi.org/ Prabowo, S. F. D., Muryani, C., & Utomowati, R.

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


238 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

10.29244/jpsl.9.3.608-625 (2018). Utilization of green belts to Woodland


Kusumo, A., Bambang, A. N., & Izzati, M. Tourism in support the development of the
(2016). Struktur vegetasi kawasan hutan alam ecotourism at serbaguna Wonogiri Dams. IOP
dan hutan rerdegradasi di Taman Nasional Conference Series: Earth and Environmental
Tesso Nilo. Jurnal Ilmu Lingkungan, 14(1), Science, 145(1), 012058. https://doi.org/
19–26. https://doi.org/10.14710/jil.14.1.19-26 10.1088/1755-1315/145/1/012058
Maridi, Saputra, A., & Agustina, P. (2015a). Purnomo, D. W., Usmadi, D., & Hadiah, J. T.
Analisis struktur vegetasi di Kecamatan (2018). Dampak keterbukaan tajuk terhadap

kelimpahan tumbuhan bawah pada tegakan an-parung-panjang.pdf


Pinus oocarpa Schiede dan Agathis alba

(Lam) Foxw. Jurnal Ilmu Kehutanan, 12(1), Suypemanfaaamto, S. tan(2011 ). Struktur

komunpiertass pekdantif
61–73. https://doi.org/10.22146/jik.34121 masyarakat Kecambamatbuan Srumdalbung am
Kabupaten Rahayu, N. L. D., Sudarmadji, & Faida, L. R. W. Magelang Provinsi Jawa Tengah
[TESIS].
(2016). Pengaruh vegetasi kawasan sabuk Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
hijau (green belt) Waduk Sermo Kulon Progo Alam Program, Pascasarjana, Universitas
terhadap kenampakan hasil proses erosi dan Indonesia. Retrieved from http://lib.ui.ac.id/
pemanfaatan oleh masyarakat. Majalah file?file=digital/20294757-T29861-Struktur%
GEOGRAFI Indonesia, 30(1), 76–87. https:// 20komunitas.pdf
doi.org/10.22146/mgi.15625 Tjandra, E. A., & Tjandra, S. R. (2013).
Rusdiana, R., Malik, A., & Ramlah, S. (2017). Hubungan antara komponen kognitif,
Sikap masyarakat dalam pengelolaan hutan komponen afektif dan komponen perilaku
pasca kegiatan reboisasi di Kelurahan terhadap sikap konsumen memanfaatkan
Lambara Kecamatan Palu Utara Kota Palu. teknologi internet. Jurnal Manajemen, 17(1),
Warta Rimba, 5(1), 6–12. Retrieved from 42–52. Retrieved from http://digilib.mercu
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Wart buana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/I
aRimba/article/view/8672 si_Artikel_359518765570.pdf
Sari, Y. P., Salampessy, M. L., & Lidiawati, I. Ufiza, S., Salmiati, S., & Ramadhan, H. (2018).
(2018). Persepsi masyarakat pesisir dalam Analisis vegetasi tumbuhan dengan metode
pengelolaan ekosistem hutan mangrove di kuadrat pada habitus herba di Kawasan
Muara Gembong Bekasi Jawa Barat. Pegunungan Deudap Pulo Nasi Aceh Besar.
Perennial, 14(2), 78–85. http://dx.doi.org/ Prosiding Seminar Nasional Biotik, 5(1), 209–
10.24259/perennial.v14i2.5303 215. Retrieved from https://jurnal.ar-raniry.
Setiawan, H., Purwanti, R., & Garsetiasih, R. ac.id/index.php/PBiotik/article/view/4258
(2017). Persepsi dan sikap masyarakat Widiatmaka, Mediranto, A., & Widjaja, H.
terhadap konservasi ekosistem mangrove di (2015). Karakteristik, klasifikasi tanah, dan
Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan. Jurnal pertumbuhan tanaman jati (Tectona grandis
Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, Linn f.) Var. unggul nusantara di Ciampea,
14(1), 57–70. Retrieved from https://www. Kabupaten Bogor. Jurnal Pengelolaan
neliti.com/id/publications/125180/persepsi- Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 5(1), 87–
dan-sikap-masyarakat-terhadap-konservasi- 97. Retrieved from https://journal.ipb.ac.id/
ekosistem-mangrove-di-pulau-ta index.php/jpsl/article/view/10210
Sujana, K., & Hariyadi, S. (2018). Hubungan Wiryantara, I. W. G., Wijaya, G., & Suarna, I. W.
antara sikap dengan perilaku peduli (2014). Analisis vegetasi sebagai dasar
lingkungan pada mahasisiwa. Jurnal Ecopsy, pengembangan agroforestri di DAS mikro
5(2), 81–87. Retrieved from https://ppjp. Desa Tukad Sumaga, Kecamatan Gerokgak,

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


239 Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 2020. 35(2), 228-238

ulm.ac.id/journal/index.php/ecopsy/article/vie Kabupaten Buleleng. Agrotrop: Journal on


w/5026 Agriculture Science, 4(1), 89–98. Retrieved
Surati, S. (2014). Analisis sikap dan perilaku from https://ojs.unud.ac.id/index.php/agrotrop
masyarakat terhadap Hutan Penelitian Parung /article/view/13636
Panjang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ziliwu, Y. (2002). Pengaruh beberapa macam
Ekonomi Kehutanan, 11(4), 339–347. tanaman terhadap aliran permukaan dan erosi
Retrieved from https://media.neliti.com/media [Masters Thesis]. Program Pasca Sarjana,
/publications/29106-ID-analisis-sikap-dan- Universitas Diponegoro. perilaku-masyarakat-
terhadap-hutan-peneliti

Copyright © 2020 Universitas Sebelas Maret


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
Analisis Vegetasi Penutup Lantai (Lower Crop Community - LCC) Di
Kawasan Sabuk Hijau Waduk Serbaguna Wonogiri

Imah Solikhatun*; Maridi; Sri Budiastuti


Program Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami No.36 A, Pucangsawit, Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57126
*E-mail: imah.solikhah23@gmail.com

Abstrak - Kawasan sabuk hijau Waduk Serbaguna Wonogiri merupakan kawasan pelindung waduk dan pembatas
perkembangan penggunaan lahan di sekitar waduk. Kondisi kawasan sabuk hijau saat ini tidak lepas dari kegiatan peramban
dan konversi menjadi lahan pertanian yang menyebabkan rusaknya fungsi utama dari sabuk hijau. Lahan sabuk hijau Waduk
Serbaguna Wonogiri dikelola oleh Perum Jasa Tirta dan terletak pada elevasi 138,2 m – 140 m. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi penutup lantai (Lower Crop Community – LCC) di kawasan sabuk
hijau Waduk Serbaguna Wonogiri. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuadran garis
berarah secara purposive sampling di lokasi penelitian dengan pengambilan 15 plot setiap stasiun. Kawasan sabuk hijau Waduk
Serbaguna Wonogiri terdapat di 5 kecamatan dan setiap kecamatan di ambil 2-3 stasiun sehingga total plot adalah 180.
Parameter yang diukur meliputi kepadatan, frekuensi, dominansi, Indeks Nilai Penting (INP), dan Indeks Keragaman (H ').
Penelitian dilaksanakan di Kawasan sabuk hijau Waduk Serbaguna Wonogiri pada bulan Februari-Maret 2019. Penelitian
dilaksanakan dalam beberapa tahap antara lain : 1.) Survai (penelitian pendahulian), 2.) penentuan area kajian, 3.) Pengambilan
data lapangan, serta 4.) analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vegetasi penutup lantai (LCC) ditemukan 56 spesies.
Cacah individu terbanyak adalah Oplismenus burmanii sebanyak 6580 individu per 720 m2. Kontribusi spesies penutup lantai
terbesar ditunjukkan oleh Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi adalah 21,5947. Indeks diversitas/ keanekaragaman vegetasi
penutup lantai adalah 0,07329 (rendah).

Kata Kunci: Struktur vegetasi, LCC, Sabuk hijau, Waduk Serbaguna Wonogiri

3. PENDAHULUAN
Sabuk hijau (Green belt) dapat di artikan sebagai hutan kecil yang berfungsi sebagai
pelindung, penyangga, dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas
kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas sutu dengan aktivitas lainnya
agar tidak saling mengganggu, serta pengamanan dari factor lingkungan sekitarnya (Fakhrian
dkk, 2015). Green belt Waduk Serbaguna Wonogiri berarti hutan kecil yang melindungi
waduk. Kehadiran green belt harusnya tidak dipandang tidak saja dari fungsi fisik sebagai
barrier pemisah pemukiman semata, tetapi juga mengakomodir sarana rekreasi alam,
produksi pertanian, fungsi lindung dan fungsi hutan. Di Waduk Serbaguna Wonogiri, green belt
berfungsi sebagai daerah penyangga atau pembatas antara kegiatan waduk dan
masyarakat. Namun masih ada fungsi lain yang tidak kalah penting, yaitu sebagai penyejuk
atau sebagai penyerap CO2, mengingat WGM dikelilingi juga oleh jalan penghubung antar
kecamatan serta dekat dengan pemukiman. Kawasan sabuk hijau Waduk Serbaguna
Wonogiri memiliki luasan + 1653 ha yang terletak pada elevasi 138,2 m - 140 m dan
mengelilingi waduk yang berada di 5 kecamatan, yaaitu Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri,
Nguntoronadi dan Baturetno.
Analisis vegetasi menurut Susanto (2012) merupakan suatu cara mempelajari susunan atau
komposisi jenis dan ben-tuk atau struktur vegetasi. Satuan vegetasi yang dipelajari dalam
analisis vegetasi berupa komunitas tumbuhan yang merupa-kan asosiasi konkret dari semua
spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Hasil analisis vegetasi tumbuhan disajikan
secara deskriptif mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya (Indriyanto,
2008). Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies tetapi
juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme. Namun, persoalan yang sangat
penting dalam analisis komunitas adalah bagaimana cara mendapatkan data terutama data

240 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
kuantitatif dari semua spesies tumbuhan yang menyusun komunitas, parameter kuantitatif dan
kualitatif apa saja yang diperlukan, penyajian data, dan interpretasi data agar dapat
mengemukakan komposisi floristik serta sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan
menyeluruh.
Kondisi sabuk hijau saat ini sudah sangat memprihatinkan, dimana tekanan yang
disebabkan oleh pertumbuhan penggunaan lahan yang meningkat cepat sehingga konversi lahan
di kawasan sabuk hijau menjadi kawasan pertanian. Vegetasi atau pohon sebagai
penyusun sabuk hijau waduk berfungsi untuk mengurangi erosi maupun sedimentasi,
menghambat aliran permukaan, meresapkan air ke dalam tanah, dan mencegah penguapan air
secara berlebihan. Kemampuan jenis vegetasi untuk menahan erosi maupun sedimentasi
dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan tanaman, ketinggian tanaman, keadaan daun tanaman,
kerapatan tanaman dan system perakaran (Ziliwu, 2002). Selain itu, pohon penyusun sabuk
hijau juga berfungsi tidak hanya menjadikan sekitar waduk menjadi indah dan sejuk namun
aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam, yang pada
giliran selanjutnya akan menyediakan jasa-jasa lingkungan berupa kenyamanan, kesegaran,
terbebasnya dari polusi dan kebisingan serta sebagai habitat fauna. Pentingnya Penghijauan dan
pengelolaan kawasan sabuk hijau dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem di
lingkungan dengan diadakannya penanaman pohon di tempat-tempat yang gersang. Berkaitan
dengan siklus hidrologis, Bennet (1995) mengemukakan bahwa hutan dan rumput tebal
merupakan tipe vegetasi yang lebih efektif dalam menahan erosi jika dibandingkan dengan
tanaman tumpang gilir, tanaman kapas dan tanaman jagung.
Analisis vegetasi di lokasi Kawasan sabuk hijau Waduk Serbaguna Kabupaten Wonogiri
merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mengetahui kondisi saat ini dan
bagaimana keanekaragaman dari vegetasi penutup lantai (LCC) di Kawasan sabuk Hijau saat
ini. Tujuan penelitian ini antara lain: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
komposisi dan struktur vegetasi penutup lantai (Lower Crop Community – LCC) di kawasan
sabuk hijau Waduk Serbaguna Wonogiri.

4. METODE PENELITIAN
5. Lokasi dan Bahan Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2019 di kawasan sabuk
hijau Waduk Serbaguna Wonogiri (gambar 1). Bahan-bahan serta peralatan yang digunakan
selama pelaksanaan penelitian antara lain peta dasar berupa GPS, kamera digital, lembar
observasi, meteran, patok, tali rafia serta alat tulis dan lain-lain. Pengukuran parameter
ekologi mencakup kerapatan, frekwensi, dominansi dan indeks nilai penting masing-masing
pohon.

241 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X

Gambar 1. Peta Kawasan Sabuk Hijau Waduk Serbaguna Wonogiri

6. Tahapan Penelitian
7. Survei (Penelitian Pendahuluan)
Survei dilaksanakan untuk mengetahui kondisi lapangan tempat pengambilan data akan
dilaksanakan. Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini antara lain pencarian peta lokasi
penelitian meliputi peta penggunaan lahan Peta Administrasi Waduk Serbaguna Wonogiri
Kabupaten Wonogiri, Peta Tutupan Lahan dan Penggunaan Lahan di sekitar Waduk
Serbaguna Wonogiri Kabupaten Wonogiri.

f. Penentuan Area Kajian (Unit Sampling) dan pengambilan data Lapangan


Pada tahap ini, dilakukan penentuan unit sampling dan luas area pengambilan data.
Penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling, dimana peneliti menetapkan tempat-
tempat sampel yang bukan merupakan daerah pertanian dan ditunjukkan oleh pengawas dari
pihak Perum Jasa TirtaI selaku pengelola. Tempat pengambilan sampel dipilih 1 stasiun tiap
pengawas dengan 15 plot setiap stasiun sebagai sampel penelitian sehingga di dapat 180 plot
dengan masing-masing berukuran 1m x 1m ; (1m, ditetapkan berdasarkan kurva spesies area).
Pengambilan sampel vegetasi sabuk hijau, dilakukan dengan metode kuadran garis berpetak
dengan arah tegak lurus dengan waduk Selanjutnya pada setiap stasiun/lokasi dibuat transek
yang terdiri dari beberapa petak ukur (plot), jarak antar plot atau petak ukur adalah 10 m.
Pengambilan data lapangan dila-kukan untuk mengumpulkan data berupa jenis dan jumlah
individu vegetasi baik yang berupa vegetasi penutup tanah (lower crop community atau
LCC).

8. Analisis Data
Analisis data digunakan untuk mengetahui kontribusi masing-masing spesies dalam area
yang diteliti. Analisis vegetasi baik pohon maupun LCC menggunakan Indeks Nilai Penting
(INP). INP diperoleh dari penggabungan nilai relatif dari parameter ekologi yang diukur yaitu
densitas dan frekuensi. Analisis vegetasi yang dilakukan meliputi kerapatan jenis, kerapatan
relative, dominansi jenis, dominansi relative, frekuensi jenis, Indeks Nilai Penting (INP) dan
Indeks Keragaman (H) (Barbour et al, 1987). Prosedur penghitungan INP dan indeks
Keragaman akan diuraikan sebagai berikut.

242 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
Densitas (DM) = Jumlah individu suatu jenis
total luas plot
Densitas Relatif (KR) = DM suatu spesies x 100%
DM total seluruh spesies
Frekuensi (F) = ∑sub plot ditemukan suatu spesies
∑seluruh sub plot
Frekuensi Relatif (FR) = F suatu spesies x 100%
F seluruh spesies

Rumus penghitungan INP menggunakan rumus menurut (Maridi, 2015), sebagai berikut:

INP = KR+FR …. (untuk tingkat tiang dan pohon).

Indeks keanekaragaman dapat dihitung menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman


Shannon-Wienner (fachrul, 2012):
H′= − ∑
Keterangan:
H’ = Indeks Keanekaragaman (Diversitas) Shannon-Wienner ni
= Jumlah Setiap jenis ke-i
N = Jumlah Total (Keseluruhan) individu

10. HASIL DAN PEMBAHASAN


10. Struktur dan Komposisi Vegetasi Penutup Lantai (LCC) di Kawasan Sabuk Hijau
Waduk Serbaguna Wonogiri
Pada 12 stasiun di kawasan sabuk hijau Waduk Serbaguna Wonogiri yang diteliti
ditemukan total 56 spesies tanaman penutup lantai yang termasuk ke dalam 17 famili.
Spesies-spesies LCC yang ditemukan di lokasi penelitian disertai nama lokal dan pengelom-
pokan berdasarkan familinya disajikan pada Tabel 1.
Table 1. Daftar spesies LCC di lokasi penelitian
No Nama Spesies Nama Lokal Famili
1 Ruellia tuberosa Pletekan Acanthaceae
2 Hymenocalis littoralis Bakung Amaryllidaceae 3
Ageratum conizoides Wedusan Asteraceae
4 Eclipta prostrate Urang-aring
5 Elepanthopus scaber Tapak liman
6 Galinsoga parviflora Bribil Asteraceae
7 Tridax procumbent Songgolangit
8 Vernonia cineria Bunga muka manis
9 Ipomea reptans Ipomea Convolvulaceae
10 Costus spesious Pacing tawar Costaceae
11 Cyperus rotundus Rumput teki
12 Eleocharis dulcis Purun tikus
Cyperaceae
13 Fimbristylis annua Rumput teki
14 Kyllinga monocephala Rumput kenop
15 Croton grandulosus Puring tropis
16 Euphorbia hirta Patikan kebo Euphorbiaceae
17 Phylanthus urinaria Meniran
18 Acacia mangium Akasia
19 Albizia chinensis Sengon
20 Albizia saman Trembesi
Fabaceae
21 Arachis hypogea Kacang tanah

243 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
22 Clitoria ternatea Kacang telang
23 Crotalaria saltiana Orok-orok
24 Dalbergia latifolia Sonokeling
25 Demosdium latifolium Rumput jarem
26 Uraria lagopodioides Buntut kucing
27 Vigna radiate Kacang hijau
28 Hyptis brevipes Daun pusar
29 Hyptis sauveolens Sumengit
Lamiaceae
30 Ocimum gratissimum Selasih mekah
31 Tectona grandis Jati
32 Urena lobata Pulutan Malvaceae
33 Leersia hexandra Kalamenta
34 Mimosa invisa Baret Mimosaceae
35 Mimosa pudica Putri malu
36 Andropogon aciculatus Rumput jarum
37 Axonopus compressus Rumput paetan
38 Cynodon dactylon Grintingan
39 Dactyloctenium aegyptium Tapak jalak
40 Digitaria ciliaris Rumput cakar aym
41 Digitaria sanguinalis Rumput jariji
42 Eleusine indica Rumput belulang
Poaceae
43 Oplismenus burmanii Rumput gunung
44 Oryza sativa Padi
45 Panicum flavidum Rumput benggala
46 Paspalum commersonii Rumput gegenjuran
47 Paspalum conjugatum Cariangan leutik
48 Pennisetum purpureum Rumput gajah
49 Imperata cylindrika Ilalang
50 Boreria ocymoides Katumpangan
Rubiaceae
51 Hedyotis carimbosa Rumput mutiara
52 Sphenoclea zeylanica Gonda Sphenocleaceae
53 Melochia corchorifolia Sterculiaceae 54
Cissus repens Vitaceae
55 Zingiber zerumbet Lempuyang
56 Zingiber officinale Jahe Zingiberaceae

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa spesies LCC yang ditemukan terdiri dari 17 famili
dengan jumlah jenis spesies yang berbeda-beda tiap famili. Famili dengan jumlah jenis spesies
terbanyak antara lain Poaceae (14 spesies), Fabaceae (10 spesies) dan Asteraceae (6 spesies).
Sedang kan famili dengan jumlah jenis spesies paling sedikit yaitu Acanthaceae (1 spesies yaitu
Ruellia tuberosa), Amaryllidaceae ( 1 spesies yaitu Hymenocalis littoralis), Convolvulaceae
(1 spesies yaitu Ipomoea reptans), Costaceae (1 spesies yaitu Costus spesious),
Malvaceae (1 spesies yaitu Urena lobata), Solanaceae (1 spesies yaitu Delonix regia),
Sphenocleaceae (1 spesies yaitu Spenoclea zeylanica), Sterculiaceae (1 spesies yaitu Melochia
corchorifolia), dan Vitaceae (1 spesies yaitu Cissus repens). Analisis kuantitatif juga dilakukan
terhadap spesies LCC yang ditemukan. Parameter yang dihitung yaitu densitas,
frekuensi, INP, dan indeks diversitas. Hasil analisis kuantitatif secara singkat disajikan
pada Tabel 2.
Table 2. Daftar spesies dan analisa kuantitatif
No Nama Sp D (180m2) Frekuensi NP H'
1 Acacia mangium 135 0.639 7.794 0.000043 2
Ageratum conizoides 2110 0.139 5.565 0.003046 3
Albizia chinensis 25 0.083 1.030 0.000002 4
Albizia saman 125 0.139 1.872 0.000038 5
Andropogon aciculatus 945 0.167 3.726 0.000952 6

244 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
Arachis hypogea 390 0.250 3.677 0.000241 7
Axonopus compressus 5710 0.139 12.262 0.010699 8
Boreria accymoides 430 0.056 1.456 0.000281 9
Cissus repens 85 0.083 1.142 0.000020 10
Clitoria ternatea 115 0.028 0.542 0.000033

245 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
11 Costus spesious 50 0.167 2.061 0.000008 12
Crotalaria saltiana 385 0.167 2.684 0.000236 13
Croton grandulosus 800 0.083 2.472 0.000740 14
Cynodon dactylon 1370 0.083 3.532 0.001650 15
Cyperus rotundus 350 0.111 1.963 0.000203 16
Dactyloctenium aegyptium 1530 0.028 3.174 0.001936 17
Dalbergia latifolia 400 0.056 1.400 0.000251 18
Demosdium latifolium 195 0.139 2.003 0.000078 19
Digitaria ciliaris 2370 0.250 7.360 0.003572 20
Digitaria sanguinalis 4305 0.028 8.336 0.007711 21
Eclipta prostrata 20 0.167 2.005 0.000002 22
Eleocharis sp 1055 0.222 4.586 0.001123 23
Elepanthopus scaber 265 0.139 2.133 0.000129 24
Eleusine indica 1875 0.306 7.096 0.002584 25
Euphorbia hirta 2045 0.111 5.116 0.002917 26
Fimbristylis annua 1860 0.389 8.051 0.002555 27
Galinsoga parviflora 990 0.056 2.498 0.001021 28
Hedyotis carimbosa 610 0.028 1.463 0.000487 29
Hymenocalis littoralis 45 0.111 1.396 0.000007 30
Hyptis brevipes 590 0.028 1.426 0.000463 31
Hyptis sauveolens 25 0.111 1.358 0.000002 32
Imperata cylindrika 1560 0.111 4.214 0.001990 33
Ipomea reptans 70 0.083 1.114 0.000014 34
Kyllinga monocephala 1270 0.028 2.691 0.001477 35
Leersia hexandra 370 0.417 5.608 0.000221 36
Melochia corchorifolia 85 0.472 5.733 0.000020 37
Mimosa invisa 1450 0.056 3.353 0.001791 38
Mimosa pudica 1785 0.278 6.600 0.002411 39
Ocimum gratissimum 155 0.083 1.272 0.000054 40
Oplismenus burmanii 6580 0.056 12.897 0.012468 41
Oryza sativa 355 0.083 1.644 0.000207 42
Panicum flavidum 65 0.083 1.105 0.000012 43
Paspalum commersonii 1150 0.389 6.731 0.001276 44
Paspalum conjugatum 1675 0.528 9.347 0.002203 45
Pennisetum purpureum 1850 0.056 4.097 0.002536 46
Phylanthus urinaria 1340 0.083 3.477 0.001597 47
Ruellia tuberosa 20 0.222 2.661 0.000002 48
Sphenodea zeylanica 195 0.167 2.330 0.000078 49
Tectona grandis 110 0.278 3.484 0.000030 50
Tridax procumben 270 0.222 3.126 0.000133 51
Uraria logopodioides 925 0.028 2.049 0.000922 52
Urena lobata 285 0.083 1.514 0.000146 53
Vernonia cineria 240 0.056 1.102 0.000110 54
Vigna radiata 655 0.028 1.546 0.000544 55
Zingiber officinale 20 0.028 0.365 0.000002 56
Zingiber zerumbet 70 0.056 0.786 0.000014

Hasil analisis kuantitatif pada Tabel 2 menunjukkan bahwa spesies yang memiliki
densitas tertinggi adalah Oplismenus burmanii yaitu 6580 individu/ 180m2. Selain itu,
beberapa spesies memiliki densitas tertinggi yaitu: Axonopus compressus ( 5710 individu/
180m2), Digitaria sanguinalis (4305 individu/ 180m2), Digitaria ciliaris (2370 individu/
180m2) dan Ageratum conyzoides (2110 individu/ 180m2). Sedangkan spesies dengan
densitas terendah adalah Zingiber officinale, Ruellia tuberosa, dan Eclipta prostrata dengan
jumlah masing-masing 20 individu per 180 m2. Jika dilihat pada setiap famili, maka diperoleh
famili dengan densitas tertinggi yaitu Poaceae (19125), Cyperaceae (8770) dan Asteraceae
(4185). Sedangkan famili dengan densitas terendah adalah Acanthaceae (70). Sebaran
densitas per 180 m2 untuk setiap famili dapat disajikan pada Gambar 2.

Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek (SNPBS) ke-IV 2019 | 246
ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X

Densitas
zingiberaceae
vitaceae
sterculiaceae
sphenocleaceae
rubiaceae
poaceae
mimosaceae
malvaceae
lamiaceae
fabaceae
euphorbiaceae
cyperaceae
costaceae
convolvulaceae
asteraceae
amaryllidaceae
acanthaceae
90 85
85
195
1040

4
3605 0
285
880
3350
4185
4535
50
70

45
20
Densitas

247 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000
Gambar 2. Grafik densitas tiap family

Parameter kuantitatif lain yang diukur untuk vegetasi LCC pada penelitian ini adalah
frekuensi (%). Tabel 2 menunjukkan bahwa spesies yang sering hadir di setiap plot dan
distribusinya merata adalah Ageratum conizides (0,639), Phylanthus urinaria (0,528), serta
Mimosa pudica (0,472). Sedangkan jika dianalisis setiap famili, famili dengan frekuensi
tertinggi adalah Poaceae (2,17), Asteraceae (1,47) serta Fabaceae (1,03). Sebaran frekuensi
untuk setiap famili dapat dilihat pada Gambar 3.

Distribusi
zingiberaceae

sterculiaceae

rubiaceae

mimosaceae

lamiaceae

euphorbiaceae

costaceae

asteraceae

acanthaceae

0,194
2,
0,972
0,222
0,417
1,028
1,000

1,472
0,028
0,056
Frekuensi

0,000 0,500 1,000 1,500 2,000 2,500


Gambar 3. Grafik distribusi tiap family

248 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
Pada Tabel 4, dapat diketahui pula besarnya INP yang menggambarkan dominasi
masing-masing spesies LCC pada lokasi penelitian. Berdasarkan perhitung-an tersebut,
diketahui bahwa lokasi penelitian didominasi oleh Oplismenus burmanii (INP: 15,5087%),
Axonopus compressus (11,4415%), Ageratum conyzoides (INP: 18,2019%). Sedangkan jika
dihitung tiap famili, maka lokasi penelitian didominasi oleh Poaceae (INP: 74,141%),
Cyperaceae (INP: 25,7918%) dan Fabaceae (INP: 21,9523%),. Sebaran INP untuk setiap
famili disajikan pada Gambar 4.

Indeks Nilai Penting


zingiberaceae
vitaceae
sterculiaceae
sphenocleaceae
rubiaceae
poaceae
mimosaceae
malvaceae
lamiaceae
fabaceae
euphorbiaceae
cyperaceae
costaceae
convolvulaceae
asteraceae
amaryllidaceae
acanthaceae

18,144
3,145
6,539
18,323
19,550
14,3 19
0,420
1,437
66
0,411
0,691
NP

249 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
0,000 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000
Gambar 4. Grafik Indeks Nilai Penting tiap famili

11. Indeks Diversitas Vegetasi


Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi
biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas.
Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu
kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan
terhadap komponen-komponennya (Soegianto, 1994). Dalam rangka memperkirakan
keanekaragaman spesies, terdapat beberapa indeks keanekaragaman yang dapat digunakan yaitu
indeks keanekaragaman Shannon atau Shannon index of general diversity (H’). Pada analisis
kuantitatif yang dilakukan terhadap vegetasi penutup lantai di kawasan sabuk hijau Waduk
Serbaguna Wonogiri selain kawasan pertanian, diperoleh hasil perhitungan indeks diversitasnya
adalah 0,07329, yang artinya bahwa nilai H’<1. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman
spesies di lokasi penelitian rendah.

12. Pembahasan
Pada penelitian ini, parameter vegetasi yang dianalisis secara kuantitatif antara lain
densitas, frekuensi, indeks nilai penting (INP), dan indeks diversitas atau indeks
keanekaragaman. Pembahasan penelitian ini difokuskan pada struktur dan komposisi vegetasi
penutup lantai di kawasan sabuk hijau Waduk Serbaguna Wonogiri serta menganalisis
pengaruh INP dan indeks diversitas terhadap lingkungan secara keseluruhan. Hasil
pengamatan di lapangan serta analisis kuantitatif terhadap vegetasi penutup lantai
menunjukkan bahwa lokasi penelitian banyak didominasi oleh tanaman rumput atau family
poaceae dan Cyperaceae. Hal ini terlihat dari tumbuhan yang paling banyak ditemukan di
beberapa titik di lokasi penelitian adalah rumput gunung, rumput paetan dan rumput teki. Jenis
herba tersebut pada umumnya merupakan herba yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Selain itu juga terdapat beberapa tanaman yang masuk dalam family fabaceae yang merupakan
beberapa tanaman produksi maupun kacang-kacangan. Adanya tanaman kacang maupun
produksi karena plot penelitian berada di sekitar lahan reboisasi bekas pertanian.
Salah satu karakteristik paling penting pada hutan yang berkaitan erat dengan
komposisi hutan ialah kekayaan spesies. Kekayaan flora yang tinggi disebabkan
kecenderungan sebagian kondisi dalam mendukung tingkat spesiasi yang tinggi, khususnya
iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhan tumbuhan dan reproduksi di semua musim
(Richard, 1966). Ewusie (1990), menjelaskan bahwa pengelompokan yang terjadi pada suatu
komunitas tumbuhan herba dapat disebabkan oleh nilai ketahanan hidup kelompok tumbuhan
herba terhadap berbagai kondisi.
Berdasarkan data berupa frekuensi, diperoleh hasil bahwa spesies dengan distribusi yang
merata dan sering hadir di setiap plot adalah Ageratum conizoidez. Frekuensi
menunjukkan besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam
pengamatan keberadaan organisme pada ko-munitas atau ekosistem. Soegianto (1994)
menyatakan bahwa apabila pengamatan dilakukan pada petak-petak contoh, maka makin
banyak petak contoh yang didalamnya ditemukan suatu spesies, berarti makin besar frekuensi
spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu
spesies makin kecil frekuensi spesies tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya
frekuensi tersebut dapat menggambarkan tingkat penyebaran spesies dalam habitat yang
dipelajari meskipun belum dapat menggambarkan tentang pola penyebarannya. Spesies
organisme yang penyebarannya luas akan memiliki nilai frekuensi perjumpaan yang besar.

250 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
Berdasarkan analisis terhadap INP diketahui bahwa lokasi penelitian didominasi oleh
Oplismenus burmanii dari family Poaceae. INP merupakan indeks yang dapat digunakan
sebagai pembanding signifikansi ekologi dari suatu spesies dan dapat digunakan sebagai
dasar dalam menentukan dominansi spesies dalam ekosistem (Win, 2011). Spesies yang
dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi,
sehingga spesies yang paling dominan tentu memiliki INP yang besar. Banyaknya ditemukan
tanaman rumput-rumputan karena tempat penelitian merupakan bekas lahan pertanian yang
dipulihkan fungsinya menjadi sabuk hijau. Pemulihan tersebut baru saja dilakukan sehingga
hanya rumput-rumputan yang paling banyak tumbuh karean persebarannya dibantu oleh
angin. Kehadiran herba dalam suatu kawasan hutan mempunyai peranan yang sangat penting.
Hutan yang baru mengalami suksesi di tandai dengan banyaknya tumbuhan pionir dan
tumbuhan kecil lainnya seperti herba dan semak (Melfa, 2011:98). Hal ini memperkuat
pernyataan bahwa INP memberikan pengetahuan pada kita tentang pentingnya suatu spesies
dalam suatu komunitas atau ekosistem (Giliba, et.al., 2011).
Hasil perhitungan indeks diversitas menunjukkan bahwa nilai H’ untuk vegetasi
pohon adalah 0,07329 (H’<1). Hal ini menunjukkan bahwa untuk vegetasi penutup lantai indeks
menunjukkan keanekaragaman yang sangat rendah karena jauh dari angka 1. Indeks keragaman
rendah dikarenakan belum banyak tanaman yang tumbuh di lahan bekas pertanian yang di
reboisasi menjadi sabuk hijau kembali. Keanekaragaman spesies dapat di gunakan untuk
menyatakan struktur komunitas (Soegianto, 1994). Indeks diversitas menurut Win (2011)
merupakan perhitungan yang lebih baik untuk mem perkirakan keanekaragaman suatu lo-kasi
dibandingkan hanya menghitung jumlah spesies saja. Stirling dan Wilsey (2001)
menyatakan bahwa diversitas merupakan atribut komunitas yang berhubungan dengan
stabilitas, produktivitas, dan struktur trofik. Keanekaragaman yang diindikasikan dalam
indeks diversitas menurut Norman et.al (2005) merupakan poin penting dalam menjaga
keseimbangan proses-proses yang berlangsung dalam suatu ekosistem. Indeks diversitas
digunakan untuk mengetahui pengaruh gangguan terhadap lingkungan atau untuk mengetahui
tahapan suksesi dan kestabilan dari komunitas tumbuhan pada suatu lokasi (Odum, 1998).
Ariyati dkk (2007) menjelaskan bahwa nilai indeks keanekaragaman rendah menunjukkan
bahwa terdapat tekanan ekologi tinggi, baik yang berasal dari faktor biotik (persaingan antar
individu tumbuhan untuk setiap tingkatan) atau faktor abiotik. Tekanan ekologi yang tinggi
tersebut menyebabkan tidak semua jenis tumbuhan dapat bertahan hidup di suatu lingkungan.

- SIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI


Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk vegetasi pohon, diperoleh 56 spesies yang
termasuk ke dalam 16 famili. Kontribusi vegetasi penutup lantai (LCC) ditemukan adalah
Oplismenus burmanii yang berjumlah 6580 individu tiap 180 m2. Indeks Nilai Penting
vegetasi penutup lantai pada lokasi penelitian didominasi oleh Oplismenus burmanii (INP:
15,5087%) dan Indeks diversitas vegetasi LCC adalah 0,07329 (rendah).

10. DAFTAR PUSTAKA


Ariyati, R.W.,Sya’rani L., Arini E.. 2007. Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa
dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem
Informasi Geografis. Jurnal Pasir Laut. 3(1): 27-45.
Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. San Fransisco:
The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Bennet, H.H. 1995. Soil conservation. New York: McGraw-Hill Book Co. Inc
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan oleh Usman Tanuwidjaja.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Fachrul, M.F. (2012). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

251 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya


ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL p-ISSN: 2527-
533X
Fakhrian, R., Hidersah, H., dan Burhanudin, H. 2015. Arahan Pengembangan Sabuk Hijau
(Green Belt) di Kawasan Industri Kariangau (KIK) Kota Balikpapan. Prosiding
Penelitian SPeSAI : UNISBA
Giliba, R.A., Boon, E.K., Kayombo, C.J., Musamba, E.B., Kashindye, A.M., Shayo, P.F.
(2011). Species Composition, Richness, and Diver-sity in Miombo Woodland of Bere-ku
Forest Reserve, Tanzania.
Indriyarto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.
Maridi; Saputra, A; dan Agutina, P. 2015. Analisis Struktur Vegetasi di Kecamatan Ampel
Kabupaten Boyolali. Jurnal BIOEDUKASI. Vol. 8, No. 1, hal: 28-42
Norman, W., H., Mason., D., Mouilliot, W.G., Lee, J.B., Wilson. (2005). Functional richness,
functional evenness and functional divergence: the pri-mary components of functional
diversity. Oikos (111): 112-118.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi (Terjemahan). Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Rahayu, N; Sudarmaji dan Faida, L. 2016. Pengaruh Vegetasi Kawasan Sabuk Hijau (Green
Belt) Waduk Sermo Kulon Progo Terhadap Kenampakan Hasil Proses Erosi dan
Pemanfaatan oleh Masyarakat. Majalah Geografi Indonesia. Vol. 30, No.1, hal 76-87.
Richard, P.W. 1966. The Tropical Rain Forest an Ecological Study. London: Cambridge University
Press.
Soegianto, A. (1994). Ekologi Kuantitatif Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Jakarta:
Penerbit Usaha Nasional.
Susanto, W. (2012). Analisis Vegetasi pada Ekosistem Hutan Hujan Tropis untuk
Pengelolaan Kawasan Taman Hutan Raya Raden Soerjo (Wilayah Pengelolaan Cangar-
Kota Batu). (Online), 30/ 03/2013.
Win, N. (2011). Quantitative Analysis of Forest Structure in the Middle Part of the Goktwin
Area, Northern Shan State. Universities Research Hiyrbak 4(1): 321-335.
Ziliwu, Y. 2002. Pengaruh Beberapa Macam Tanaman terhadap Aliran Permukaan dan Erosi.
Tesis : Universitas Diponegara.

252 | Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya

Anda mungkin juga menyukai