BAGIAN 1
السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته
الحمد هلل والصالة والسالم على رسول هللا وعلى آله وصحبه أجمعين
Halaqah yang Pertama dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab adalah tentang
Muqaddimah Ushulu AsSittah Bagian 1. Halaqah yang pertama dari silsilah ilmiah
penjelasan kitab Al Ushulu As Sittah yang dikarang oleh Syekh Muhammad bin
Abdul wahab at tamimi rahimahullah yaitu kitāb yang berjudul Al-Ushūlul As-
Sittah. Kita akan bersama-sama mempelajari tentang sebuah kitab yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab bin sulaiman at-tamimi rahimahullah yaitu
kitab yang berjudul Al Ushul As sittah yang artinya 6 kaidah dan ini adalah termasuk
karangan beliau yang juga sangat bermanfaat. Dan dia meskipun ringkas akan tetapi
mengandung banyak faedah Yang hendaknya seorang muslim mengetahui faedah-
faedah ini beliau menyebutkan di dalam kitab ini 6 perkara yang sangat penting,
beliau adalah seorang ulama yang bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahab bin
Sulaiman at-tamimi ini beliau lahir pada tahun 1115 Hijriyah dan menimba ilmu
agama ini semenjak kecil dan diantara gurunya adalah Bapak beliau sendiri
demikian pula ulama-ulama besar yang lain di zaman beliau, seperti Syekh
Muhammad Al Hayah dan juga yang lain dan di dalam mencari ilmu telah pergi ke
beberapa daerah di antaranya adalah ke Bashrah, demikian pula ke daerah-daerah di
Hijaz seperti Mekkah dan juga Madīnah dan menimba ilmu dari para ulamā yang
tinggal disana.
Dan hampir-hampir beliau menuju ke kota Syām (daerah Syām) untuk menimba ilmu,
hanya karena ada rintangan dan halangan tertentu akhirnya beliau mengurungkan
niatnya. Dan beliau termasuk ulamā yang gigih didalam menghidupkan Al Qurān, As
Sunnah, mengajak manusia kembali kepada Allāh, bertauhīd kepada Allāh Subhānahu
wa Ta’āla. Beliau (rahimahullāh) meninggal pada tahun 1206 Hijriyyah. Dan telah
meninggalkan banyak karangan (yang sangat bermanfaat). Diantaranya adalah:
Al Ushūluts Tsalātsah
Al Qawā’idul Arba’
Ushūlul Imān
Kasyfusy Syubuhāt
Kitābut Tauhīd
Dan diantaranya kitāb yang in syā Allāh akan kita pelajari yaitu Al-Ushūlu As-
ِ بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن الر...
Sittah (enam kaidah). Beliau berkata: َّحي ِْم
Memulai kitābnya dengan basmallāh. Meniru dan mengikuti apa yang Allāh lakukan
didalam Al Qurānul Karīm, karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla memulai kitābnya
dengan basmallāh. Demikian pula mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika beliau menulis surat yang isinya adalah dakwah
kepada raja-raja yang ada di zaman beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) beliau
memulai kitābnya dengan Basmallāh. Oleh karena itu disini pengarang memulai kitāb
nya dengan basmallāh بسم هللا الرحمن الرحيم
Dan ba ( )بdisini adalah ( )بal isti’ānah yaitu ( )بyang fungsinya adalah memohon
pertolongan. Orang yang mengatakan (رحيم.رحمن ال. ) بسم هّللا الpada hakikatnya dia telah
memohon pertolongan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla Ismillāh dengan nama Allāh.
Kalimat mufrad yang tunggal yaitu ism dan dia disandarkan pada kalimat lafdzu
jalālah dan maknanya adalah mencakup seluruh nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Orang yang mengatakan رحيم..رحمن ال.. بسم هللا الberarti dia telah beristi’ānah (memohon)
pertolongan dengan seluruh nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Allāh (lafdzu jalālah).
Allāh (lafdzu jalālah) adalah nama Allāh yang paling a’dham (paling besar) yang
disandarkan kepadanya nama-nama Allāh yang lain. Oleh karena itu setelahnya
disebutkan Ar-rahmān Ar-rahīm dan Ar-rahmān Ar-rahīm adalah nama diantara
nama-nama Allāh. Diambil dari Ar-rahmāh yang artinya kasih sayang.
Halaqah yang ke-dua dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Ushulu AsSittah
adalah tentang Muqaddimah Ushulu AsSittah Bagian 2, sebuah kitāb yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.
Meskipun dia adalah orang yang awam (dianggap terbelakang) oleh sebagian orang,
tetapi kalau Allāh Subhānahu wa Ta’āla berkehendak untuk memberikan hidayah
kepadanya niscaya dia termasuk orang yang mendapatkan petunjuk. Dan ini
menjadikan kita untuk senantiasa merendahkan diri kita dihadapan Allāh Subhānahu
wa Ta’āla, meminta hidayah kepada-Nya dan Kita jangan bertawakal dengan ilmu yang
kita miliki, kecerdasan yang kita miliki. Kita harus meminta petunjuk kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, supaya Allāh menunjukkan kepada kita kebenaran dan
menjauhkan kita dari syubhat dan juga kebathilan
شتَّى بِكَاَل ٍم يَ ْف َه ُمهُ َأ ْبلَ ُد ا ْل َعا َّم ِة ْ ان َه َذا اَأْل
َ ص ِل ِمنْ ُو ُج ْو ٍه ِ َو َك ْونُ َأ ْكثَ ِر ا ْلقُ ْر
ِ َآن فِي بَي
Kata beliau: Dan bahwasanya sebagian besar ayat-ayat Al Qurān adalah untuk
menjelaskan perkara ini. Menjelaskan tentang; Ikhlās kepada Allāh Subhānahu wa
Ta’āla didalam ibadah. Menjelaskan tentang bahayanya kesyirikan di dalam
beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
شتَّى
َ ِمنْ ُو ُج ْو ٍه
“Dalam bentuk-bentuk yang sangat berbeda dan cara yang berbeda”
Sebagian ulamā mengatakan semua isi Al Qurān adalah tentang tauhīd (dari awal
sampai akhir). Diantara buktinya adalah surat yang pertama ( Al Fātihah) demikian
pula surat yang terakhir (An Nās) isinya tentang masalah tauhīd.
Al Fātihah isinya penuh dengan makna tauhīd.
ُِّین ۞ ِإیَّا َك نَ ۡعبُ ُد وَِإیَّا َك نَ ۡستَ ِعین ِ ب ۡٱل َع ٰـلَ ِمینَ ۞ ٱل َّر ۡح َم ٰـ ِن ٱل َّر ِح
ِ یم ۞ َم ٰـلِ ِك یَ ۡو ِم ٱلد ِّ ۡٱل َحمۡ ُد هَّلِل ِ َر
Didalamnya ada: Tauhīd Asmā’ wa Shifat, Tauhīd rubūbiyah, Tauhīd al ulūhiyyah.
Kalau kita tadabburi ternyata Al Qurān semua adalah masalah tauhīd, mengikhlāskan
ibadah untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan tentang bahaya kesyirikan. Namun
ternyata banyak diantara manusia yang tidak memahami tentang perkara ini. Bahkan
kata beliau disini, termasuk orang yang cerdas diantara mereka.
Al Qurān diturunkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla tujuan utamanya adalah untuk
di amalkan, ditadabburi, dipahami bukan sekedar dibaca atau diperbaiki tajwidnya
atau diambil berkahnya ketika membacanya. Semua itu adalah termasuk kebaikan
akan tetapi bukan tujuan utama diturunkannya Al Qurān. Tujuan utama
diturunkannya Al Qurān adalah untuk ditadabburi kemudian diamalkan didalam
kehidupan kita sehari-hari.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
ب ۟ ُب َأن َز ْلنَ ٰـهُ ِإلَ ْي َك ُمبَ ٰـ َر ۭ ٌك لِّيَ َّدبَّ ُر ٓو ۟ا َءايَ ٰـتِ ِۦه َولِيَتَ َذ َّك َر ُأ ۟ول
ِ وا ٱَأْل ْلبَ ٰـ ٌ ِكتَ ٰـ
“Kitāb Al Qur’ān yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran.” (QS. Sad: 29)
Demikianlah Al Qurān diturunkan bukan sekedar dibaca dengan tajwid dengan tartil
akan tetapi seseorang yang membacanya jauh dari mengamalkan Al Qurān tersebut.
“Kemudian ketika menimpa umat ini apa yang menimpanya berupa kejahilan dan lain-
lain, maka syaithān menampakkan kepada mereka, bahwasanya keikhlāsan dan tauhīd
ini adalah sebagai bentuk penghinaan dan peremehan terhadap orang-orang yang
shālih. Ketika menimpa umat ini kebodohan dan mereka jauh dari ilmu agama, jauh
dari bimbingan para ulamā, jauh dari petunjuk Al Qurān dan hadīts. Maka syaithān
menampakkan kepada mereka, bahwasanya tauhīd meng Esa kan Allāh Subhānahu wa
Ta’āla itu artinya adalah, Meremehkan orang-orang yang shālih. dan Meremehkan
hak-hak meraka. dan ini adalah salah satu dari bentuk talbis dari syaithān dalam
usaha menyesatkan manusia. Syaithān menampakkan dimata manusia bahwasanya,
Orang yang bertauhīd berarti dia adalah orang yang tidak menghormati orang yang
shālih, tidak menghormati nabi, tidak menghormati wali.
Dan untuk memperjelas perkara ini kita terangkan tentang bagaimana kisah nabi
Nūh alayhissallām bersama kaumnya. Dan bagaimana awal terjadinya kesyirikan
dipermukaan bumi ini. Dizaman nabi Nūh alayhissallām ada lima orang yang shālih
yang dikenal oleh kaumnya dengan ibadahnya, dengan amalannya, dan
keshālihannya. Ketika mereka berlima ini meninggal dunia datanglah syaithān
dan mewahyukan kepada kaumnya yaitu kaum nabi Nūh supaya mereka membuat
patung-patung, kemudian dinamakan dengan nama orang-orang yang shālih
tersebut. Tujuannya adalah supaya ketika mereka merasa malas untuk
beribadah, ketika mereka melihat orang-orang shalih tersebut berada
dihadapan mereka di majelis mereka meskipun sebagai patung diharapkan
mereka bisa bersemangat kembali mengingat tentang keshālihan mereka dan
semangat mereka didalam beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ketika generasi ini meninggal dunia, datang kembali syaithan dan mengatakan
kepada orang-orang tersebut, “bahwasanya bapak-bapak kalian dahulu membuat
patung-patung ini, tujuannya adalah untuk diibadahi dan disembah” Dan telah
dilupakan ilmu, maka akhirnya mereka menyembah orang-orang shālih tersebut yang
dibuat simbolnya berupa patung-patung. Ini adalah awal terjadinya kesyirikan di
permukaan bumi.
ْ َق َون
س ۭ ًرا َ وث َويَ ُعو ۟ َُوقَال
ُ وا اَل تَ َذ ُرنَّ َءالِ َهتَ ُك ْ=م َواَل تَ َذ ُرنَّ َو ۭ ًّدا َواَل
َ س َوا ۭ ًعا َواَل يَ ُغ
Dan mereka berkata: “Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan
kalian, dan janganlah kalian tinggalkan Waddan, Suwā’an, Yaghūts dan Ya’ūq dan
juga Nasr”. (QS. Nūh: 23)
Mereka ini adalah lima nama orang yang shālih, ini adalah nama-nama orang
yang shalih setelah mereka meninggal dunia, kemudian mereka disembah oleh
kaumnya nabi Nūh alayhissallām. Ketika terjadi kesyirikan pertama kali
dipermukaan bumi yang dilakukan oleh kaum nabi Nūh alayhissallām, akhirnya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla mengutus nabi Nūh yang merupakan rasūl yang pertama. Allāh
mengutus nabi Nūh alayhissallām kepada mereka (kaumnya) untuk mengajak mereka
(kaumnya) kembali kepada tauhīd dan menjauhkan kesyirikan.
Beliau (nabi Nūh) mengajak mereka untuk kembali kepada Allāh, mengingatkan
umatnya siang dan malam dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan selama
bertahun-tahun (950 tahun), Mengingatkan mereka bahwasanya ini termasuk
perbuatan syirik yang tidak diridhāi oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla meskipun yang
mereka sembah adalah orang-orang yang shālih. mengajak mereka untuk bertauhīd
dan meng Esakan ibadah ini hanya untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Namun ternyata
yang mengikuti dakwah beliau dan ajakan beliau sedikit, karena mereka menganggap
apabila mereka hanya menyembah Allāh Subhānahu wa Ta’āla, seakan-akan kita ini
telah meremehkan orang-orang yang shālih, Ini adalah termasuk talbis dari iblīs
laknatullāh. Mengangap (menunjukkan) dimata manusia bahwasanya ikhlās kepada
Allāh berarti harus meremehkan dan merendahkan kedudukan orang-orang yang
shālih. Oleh karena itu banyak diantara mereka yang menolak dakwah nabi Nūh
alayhissallām.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ۡ… َوقَ==الُو ْا اَل تَ== َذ ُرنَّ َءالِ َهتَ ُكمDan mereka berkata,
“Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian”.
(QS. Nūh: 23)
Apabila hanya disebutkan Allāh saja, ketika diminta hanya bertauhīd kepada Allāh,
hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat menjadi resah, menjadi gelisah,
menjadi tidak tenang hatinya ketika disebutkan hanya Allah saja, Tapi ketika
disebutkan bersama Allāh yang lain, maka tiba-tiba hatinya mereka menjadi sangat
gembira, bahagia.n Oleh karena itu disini beliau (rahimahullāh)
mengatakan:“Syaithān menampakkan kepada mereka, bahwasanya ikhlās dan
tauhīd berarti kita harus meremehkan orang-orang yang shālih”
Dan ini sekalilagi adalah termasuk talbis syaithān, yang sudah berjanji dari awal
dihadapan Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk menyesatkan manusia dan menghias-hiasi
diantara mereka yang bathil menjadi benar, yang benar menjadi bathil degan
berbagai cara, bagaimana supaya mereka menyimpang dari sirotol mustaqim dari
jalan yang lurus, entah menyimpang nya kekanan, atau kekiri, atau keatas, atau
kebawah yang jelas mereka menyimpang dari jalan yang lurus, darimana bisa digoda,
maka mereka akan menggodanya. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
ص========================= ٰ َرطَ َك ۡٱل ُم ۡس=========================تَقِي َم ِ ۡ۞ قَ=========================ا َل فَبِ َمٓا َأ ۡغ========================= َو ۡيتَنِي َأَل ۡق ُع=========================دَنَّ لَ ُهم
َ ۞ ثُ َّم أَل ٓتِيَنَّ ُهم ِّم ۢن بَ ۡي ِن َأ ۡي=========== ِدي ِهمۡ َو ِم ۡن َخ ۡلفِ ِهمۡ َوع َۡن َأ ۡي ٰ َمنِ ِهمۡ َوعَن
َ ٰ ۡش=========== َمٓاِئلِ ِهمۡۖ َواَل ت َِج=========== ُد َأ ۡكثَ=========== َرهُم
َش=========== ِك ِرين
(QS. Al A’rāf: 16-17)... Iblīs berjanji untuk menyesatkan mereka dari shirāthal
mustaqīm, dan akan didatangi anak-anak Ādam baik dari kanannya dari kirinya dari
atasnya dari bawahnya sehingga mereka menjadi orang-orang yang tidak bersyukur
kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Diantaranya adalah seperti yang disebutkan oleh
Syaikh disini menghias-hiasi dimata manusia bahwasanya orang yang bertauhīd
berarti dia meremehkan orang-orang yang shālih.
Halaqah yang ke-lima dari Silsilah Ilmiyyah Penjelasan Kitab Ushulu AsSittah,
sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān
At Tamimi rahimahullāh, adalah tentang Penjelasan Pokok Pertama Bagian 3.
beliau (rahimahullāh) mengatakan: صالِ ِحيْنَ َواتِّبَا ِع ِه ْم ُ َوَأ ْظ َه َر لَ ُه ُم الش ِّْر َك بِاهللِ فِي
َّ ص ْو َر ِة َم َحبَّ ِة ال
Dan mereka (syaithān) menjerumuskan manusia kedalam kesyirikan kepada Allāh.
Dengan cara apa? Dengan dipoles dan dihiasi, seakan-akan itu termasuk
mahabatusshālihin (menyintai orang-orang yang shālih) dan mengikuti mereka. Dan
ini adalah termasuk makar dan tipu daya syaithān. Tidak langsung mengatakan
asyrikbillāh (hendaklah engkau menyekutukan Allāh) tidak! Tapi menjerumuskan
manusia kedalam kesyirikan dan dipoles dengan mengatakan, “Ini termasuk mencintai
orang yang shālih, menjunjung kedudukan mereka, menghormati hak-hak mereka”.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memudahkan kita memahami agama ini, dan
menampakkan kebenaran itu benar dan yang bathil adalah bathil.
Didalam agama Islām tidak ada pertentangan antara tauhīd dan mencintai orang
yang shālih, kita diperintahkan untuk mentauhīdkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan
mencintai orang-orang yang shālih.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ( ِإنَّ َأ ْك َر َم ُك ْم ِعن= َد ٱهَّلل ِ َأ ْتقَ ٰى ُك ْ=مQS. Al Hujurāt: 13)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla
diantara kalian adalah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kalian”.
ِإنَّ ال ُعلَ َما َء َو َرثَةُ اَأل ْنبِيَا ِء...“Para ulamā adalah pewaris para nabi”
Mewarisi ilmu mereka, mengajak manusia untuk berpegang teguh dengan warisan
para nabi, para ulamā jelas memiliki keutamaan yang tinggi disisi Allāh Subhānahu wa
Ta’āla. Kita diperintahkan untuk mencintai mereka mengikuti mereka didalam
keshālihan ini, meneladani mereka didalam keshālihan ini. Ini adalah cara untuk
mencintai orang-orang yang shālih (yaitu) dengan mencintai mereka dengan hati kita
sesuai dengan kadar keimanan mereka, mengikuti mereka, dan meneladani mereka
didalam ibadah mereka kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Menghormati orang yang
shālih dan mencintai mereka diperintahkan namun penghormatan ini memiliki
batasan-batasan yang telah ditentukan syar’iat. Ada batasan yang telah ditentukan
oleh Allāh dan Rasūl Nya dan tidak boleh penghormatan kita kepada orang-orang
shālih (para ulamā, orang-orang yang zuhud, orang-orang yang mulia) melebihi dari
batasan-batasan ini. Kalau sampai melebihi maka masuk al ghuluw (berlebih-lebihan)
terhadap orang-orang shālih. Dan ghuluw fi shālihin (ghuluw terhadap orang-orang
shālih) adalah sebab terjadinya kesyirikan pertama kali dipermukaan bumi ini
seperti yang terjadi pada kaumnya nabi Nūh alayhissallām. Jadi kita
diperintahkan menghormati orang yang shālih mencintai mereka dengan cara
meneladani mereka, mengikuti mereka didalam amal shālihnya akan tetapi kecintaan
ini memiliki batasan-batasan.
Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta’āla mencela ahlul kitāb karena mereka
berlebih-lebihan terhadap nabi Īsā alayhissallām. Nabi Īsā adalah seorang rasūl,
seorang hamba, tetapi mereka ghuluw (berlebih-lebihan), mengatakan bahwasanya
nabi Īsā alayhissallām adalah anak Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Wahai ahlul kitāb, janganlah kalian ghuluw didalam agama kalian dan janganlah kalian
mengatakan atas nama Allāh, kecuali yang hak kecuali yang memang ada dalīlnya
sementara ucapan mereka Īsā adalah anak Allāh adalah sesuatu yang tanpa burhan
tanpa ada dalīl dari Allāh. Sesungguhnya Īsā bin Maryam adalah seorang Rasūlullāh
bukan seorang anak Allāh, dan kalimat Allāh Subhānahu wa Ta’āla, yang Allāh tiupkan
pada Maryam yaitu dengan ucapan Allāh (kun fayakun). Allāh Subhānahu wa Ta’āla
mencela orang-orang ahlul kitāb, orang-orang Nashrāni karena mereka ghuluw
terhadap orang yang shālih, para nabi adalah pemukanya orang-orang shālih.
Demikian pula Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan beliau adalah sebaik-baik
rasūl (syayidul waladi Ādam) namun beliau mencela umatnya untuk ghuluw terhadap
beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan melarang mereka untuk ghuluw kepada beliau.
Larangan dari beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada kita semua meskipun kita
mencintai beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Dan tidak akan dinamakan seseorang
beriman sampai mencintai beliau lebih dari anaknya lebih dari orang tuanya, lebih
dari semua manusia.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda: إنما أنا عبد فقول=====وا عبدهللا ورس=====وله
“Sesungguhnya aku adalah seorang hamba bukan sesembahan bukan seorang Tuhan,
tapi aku adalah seorang hamba yang menyembah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla”
Maka katakanlah oleh kalian bahwasanya aku adalah seorang hamba Allāh dan juga
seorang rasūl. Maka didalam syahadat وله..ده ورس..دا عب..هد ان محم.. واشdan aku bersaksi
bahwasanya Muhammad adalah hamba Allāh dan juga rasūl Nya. Pertama kita
bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang hamba artinya tidak
disembah .Kedua kita bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang rasūl artinya
harus dibenarkan dan diikuti syar’iatnya. Jadi beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam)
sendiri melarang kita untuk ghuluw dan berlebih-lebihan terhadap beliau (shallallāhu
‘alayhi wa sallam). Kalau kita dilarang untuk berlebih-lebihan kepada beliau
(shallallāhu ‘alayhi wa sallam) tentunya kepada yang lain lebih dilarang. Tidak ada
yang lebih mulia kedudukannya disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla kecuali beliau
(shallallāhu ‘alayhi wa sallam).
Dan diantara bentuk ghuluw pada orang” sholeh pada zaman sekarang : Berdo’a
kepada orang-orang yang shālih yang sudah meninggal atau dinamakan dengan
tawasul. Demikian pula membangun kuburan mereka, menghias-hiasin kuburan
mereka. Demikian pula ber’itikaf berdiam diri dikuburan mereka.
Ini semua termasuk bentuk ghuluw terhadap orang-orang shālih. Berdo’a adalah
termasuk ibadah yang tidak boleh diserahkan kecuali kepada Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.
Halaqah yang ke-enam dari Silsilah Ilmiyyah Penjelasan Kitab Ushulu AsSittah,
sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān
At Tamimi rahimahullāh, adalah tentang Penjelasan Pokok Kedua Bagian 1.
Kemudian beliau (rahimahullāh) ْ أَأْل:
mengatakan: ُل الثَّانِ ْي..................ص
فَبَيَّنَ هللاُ هَ َذا بَيَانًا شَافِيًا تَ ْفهَ ُمهُ ْال َع َوا ُّم،ق ِ َأ َم َر هللاُ بِاالجْ تِ َم
ِ ُّاع فِي ال ِّدي ِْن َونَهَى ع َِن التَّفَر
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini yaitu perintah
untuk bersatu, berkumpul dan larangan berpecah belah didalam Al Qurān dengan
penjelasan yang sangat jelas dipahami oleh orang awam sekalipun. Artinya apa yang
Allāh perintahkan tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk dipahami. Ayat-ayat
yang menjelaskan perintah untuk bersatu adalah ayat-ayat yang jelas dipahami oleh
orang yang awam maupun orang yang cerdas semuanya bisa memahami tentang
perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla ini.
ْ َونَ َهانَا َأنْ نَ ُك ْونَ َكال ِذيْنَ تَفَ َّرقُ ْوا َو
اختَلَفُ ْوا قَ ْبلَنَا فَ َهلَ ُك ْوا
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah melarang kita, menjadi orang-orang yang
berselisih (berpecah belah) seperti orang-orang sebelum kita.
Halaqah yang ke-tujuh dari Silsilah Ilmiyyah Penjelasan Kitab Ushulu AsSittah,
sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān
At Tamimi rahimahullāh, adalah tentang Penjelasan Pokok Kedua Bagian 2.
ْص ُحوا َمن َ َص ُموا بِ َح ْب ِل هَّللا ِ َج ِمي ًعا َواَل تَفَ َّرقُوا َوَأنْ تَنَا
ِ َوَأنْ تَ ْعت،ش ْيًئا ْ ُضى لَ ُك ْم َأنْ تَ ْعبُدُوهُ َواَل ت
َ ش ِر ُكوا بِ ِه َ ضى لَ ُك ْم ثَاَل ثًا يَ ْر
َ ِإنَّ هللا يَ ْر
َأ هَّللا
َوالَّهُ ُ ْم َر ُك ْم
“Sesungguhnya telah Allāh meridhāi untuk kalian tiga perkara, Allāh meridhāi untuk
kalian agar kalian menyembah Allāh semata dan tidak menyekutukan Allāh dengan
apapun.
ِ َوَأنْ تَ ْعت
َص ُموا بِ َح ْب ِل هَّللا ِ َج ِمي ًعا َواَل تَفَ َّرقُوا
“Berpegang teguh dengan tali Allāh dengan Al Qurān dan supaya kalian jangan
berpecah belah”
Allāh Subhānahu wa Ta’āla ridhā apabila kita saling bersatu diatas hak (diatas Al
Qur’ān). Dan didalam hadīts yang lain didalam hadīts qudsi disebutkan bahwasanya
Allāh mengatakan:
Jelas, dijelaskan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam perintah untuk menjadi
hamba-hamba Allāh yang bersaudara tidak saling hasad tidak saling memutus.Dan
ْ سلِ ُم َأ ُخو ا ْل ُم
beliau mengatakan: ُ َوال يَ ْخ ُذلُه،ُ َوال يَ ْحقِ ُره، ال يَظلِ ُمه:سلِم ْ ال ُم
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak menzhāliminya, tidak
menghinanya tidak meninggalkanya ketika dia butuh pertolongan.”
Ini adalah perintah-perintah dari nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita saling
bersatu dan tidak berpecah belah. Oleh karena itu didalam Islām, Allāh Subhānahu
wa Ta’āla melarang perkara-perkara yang kira-kira menjadikan permusuhan diantara
kita. Kita dilarang ghibah (membicarakan kejelekan orang) dilarang mengadu domba,
bahkan dilarang minum minuman keras demikian pula perjudian, diantara hikmahnya
adalah untuk ini. Karena dua perkara ini menjadi wasīlah (perantara) bagi syaithān
untuk memecah belah diantara kaum muslimin dengan sebab khamr dan perjudian.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
ص َّد ُك ْم
ُ َس ِر َوي َ ش ْيطَـٰنُ َأن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُ=م ٱ ْل َع ٰ َد َوةَ َوٱ ْلبَ ْغ
ِ ضٓا َء فِى ٱ ْل َخ ْم ِر َوٱ ْل َم ْي َّ ……ِإنَّ َما يُ ِري ُد ٱل
“Sesungguhnya syaithān bermaksud untuk menimbulkan permusuhan diantara kalian
didalam al khamr (minuman keras) dan juga al maiysir (perjudian).” (QS. Al Māidah:
91)
Ini adalah dalīl-dalīl dari As sunnah yang semakin memperjelas bagi kita tentang
pentingnya bersatu didalam agama dan juga larangan didalam berpecah belah. Yang
dimaksud dengan bersatu disini adalah bersatu diatas hak (bersatu diatas
kebenaran) dan larangan berpecah belah. Yang dimaksud bersatu diatas kebenaran
bukan berarti seseorang dilarang untuk beramar ma’ruf nahi mungkar
(memerintahkan jelas yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran). Bersatu bukan
berarti kita tidak beramar ma’ruf nahi munkar, kita diperintahkan untuk bersatu,
satu didalam ‘aqidah satu didalam ibadah, satu didalam bermuamalah dan dilarang
kita saling berpecah belah akan tetapi kita juga diperintahkan oleh Allāh Subhānahu
wa Ta’āla untuk saling beramar ma’ruf nahi munkar. Jadi bersatu bukan berarti tidak
boleh saling menasehati antara satu dengan yang lain, bukan berarti tidak boleh kita
saling beramar ma’ruf nahi munkar. Bahkan persatuan umat Islām diantara
wasīlahnya adalah dengan ber’amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itu ketika Allāh
Subhānahu wa Ta’āla didalam ayat tadi menyebutkan tentang perintah bersatu,
ِ َو ْلتَ ُكن ِّمن ُك ْم ُأ َّم ۭةٌ يَ ْدعُونَ ِإلَى ٱ ْل َخ ْي ِر َويَْأ ُمرُونَ بِٱ ْل َم ْع ُر
َوف َويَ ْن َه ْونَ ع َِن ٱ ْل ُمن َك ِر ۚ َوُأ ۟ولَ ٰـِٓئ َك ُه ُم ٱ ْل ُم ْفلِ ُحون
“Dan hendaklah ada diantara kalian golongan yang dia mengajak kepada kebaikan dan
beramar ma’ruf nahi munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Āli
Imrān: 104)
Bersatu bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, beramar ma’ruf
nahi munkar adalah sifat orang yang beriman. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
Dan orang-orang yang beriman yang laki-laki dan wanita sebagian mereka adalah wali
bagi sebagian yang lain.Apa sifat mereka? Mereka saling beramar ma’ruf nahi
munkar, menunjukkan bahwasanya diantara sifat orang yang beriman adalah beramar
ma’ruf nahi munkar. Dan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita
berpecah belah didalam agama.Tentunya yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi
munkar disini adalah amar ma’ruf nahi munkar yang mengikuti batasan-batasan
syar’iat yang mengikuti adab-adab yang telah ditentukan oleh syar’iat. Bukan hanya
sekedar amar ma’ruf nahi munkar yang didasari oleh semangat, akan tetapi tidak
beraturan.
Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan rasūl
Nya. Caranya, adab-adabnya dan hukum-hukumnya telah ditentukan oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla dan Rasūl Nya. Diantaranya adalah tidak ada pengingkaran
didalam masalah ijtihādiyyah (yaitu) masalah yang masih menerima ijtihād
didalamnya karena tidak ada nash didalam perkara tersebut. Sebagian ulamā
(sebagian imām yang empat) mengatakan demikian, sebagian imām yang lain
mengatakan demikian, maka didalam perkara ini tidak ada pengingkaran.
Seperti misalnya: Ada orang yang meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad
shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Ada sebagian yang mengatakan tidak ada nabi setelah
nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Didalam perkara seperti ini, tidak boleh
diantara kita saling berselisih karena jelas didalam Al Qur’ān Allāh Subhānahu wa
Ta’āla mengabarkan bahwasanya nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah
penutup para nabi ( بين..اتم الن.. )خ..Demikian pula didalam hadīts, Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam: .. اَل نَبِ َّي بَ ْع ِدي، َوَأنَا َخاتَ ُم النَّبِيِّين
“Dan aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku”
Dan tidak ada diantara shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, para tābi’in, para tabiut
tābi’in yang mereka meyakini ada nabi setelah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Setiap orang yang mengaku menjadi nabi setelah itu, maka dia adalah seorang
pendusta yang harus diperangi. Tidak boleh ada diantara orang Islām yang meyakini
bahwasanya ada nabi setelah Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Perkara
seperti ini harus diingkari dan ini bukan termasuk perkara ijtihādiyyah. Demikian
pula adanya Al Qur’ān ini telah di tambah atau telah dikurang, atau orang-orang yang
mencela para shahābat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ini adalah
perpecahan yang tercela. Tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwasanya Al
Qur’ān telah dirubah, telah ditambah telah dikurangi, dan tidak boleh mengatakan
bahwa para shahābat adalah orang yang tercela atau orang-orang yang murtad.
Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan didalam Al Qur’ān bahwasanya
Allāh telah menjaga Al Qur’ān.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah berjanji untuk menjaga Al Qur’ān tidak boleh ada
seorang yang mengaku dirinya muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’ān telah
ditambah atau di kurang. Seandainya ada seseorang diatas gunung dan dia di dalam
gua berusaha untuk menambah satu hurufpun didalam Al Qur’ān niscaya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla akan menampakan itu ditengah-tengah manusia. Tidak boleh ada
seorang yang mengaku dirinya muslimin mencela para shahābat radhiyallāhu ta’āla
‘anhum, mencela mereka atau bahkan mengkāfirkan mereka karena didalam Al Qur’ān
Allāh Subhānahu wa Ta’āla jelas-jelas memuji para shahābat radhiyallāhu ta’āla
‘anhum. Dalam ayat yang banyak. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
ُضو ْا ع َۡنه
ُ ض َي ٱهَّلل ُ ع َۡن ُهمۡ َو َر َ ٰ صا ِر َوٱلَّ ِذينَ ٱتَّبَ ُعوهُم بِِإ ۡح
ِ س ٖن َّر َّ ٰ َوٱل
َ سبِقُونَ ٱَأۡل َّولُونَ ِمنَ ۡٱل ُم ٰ َه ِج ِرينَ َوٱَأۡلن
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islām) di antara
orang-orang Muhājirīn dan Anshār dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allāh ridhā kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allāh” (QS. At
Tawbah: 100)
Dan sikap seorang muslim, masing-masing berusaha untuk mencari kebenaran dengan
melihat dalīl dan apabila dia sudah menguatkan sebuah pendapat maka hendaklah dia
bertoleransi didalam masalah ini dan tidak memaksakan kehendaknya kepada yang
lain.
Dan ini yang dilakukan oleh para Imām yang empat (Imām Abū Hanīfah, Imām Mālik,
Imām Syāfi’i, dan Imām Ahmad bin Hambal) mereka adalah imam-imam ahlus sunnah
wa al jamā’ah. Saling berguru antara satu dengan yang lain. Imām Ahmad bin Hambal
berguru kepada Imām Syāfi’i. Imām Syāfi’i berguru kepada Imām Mālik bin Annas.
Akan tetapi tidak pernah terdengar bahwasanya mereka saling mencela satu dengan
yang lain, bahkan sebagian berimam kepada yang lain (menjadi makmum kepada yang
lain). Karena mereka memiliki manhaj yang satu jalan yang satu yaitu berusaha
didalam ibadahnya sesuai dengan Al Qur’ān sesuai dengan sunnah Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan pemahaman para shahābat radhiyallāhu ta’āla
‘anhu. Apabila setelah itu terjadi perselisihan maka sebagaimana sabda Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
وإذا اجتهد فاخطأ فله أجر واحد،إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران
“Apabila seorang hākim, seorang ulamā berijtihād kemudian dia benar maka dia
mendapatkan dua pahala.”
Akan tetapi apabila dia berijtihād kemudian dia salah didalam ijtihād nya maka dia
mendapatkan satu pahala (yaitu) pahala berijtihād, pahala bersungguh-sungguh
didalam mencari kebenaran. Ini didalam masā’ilu al ijtihādiyyah.
Halaqah yang ke-sembilan dari Silsilah Ilmiyyah Penjelasan Kitab Ushulu AsSittah,
sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān
At Tamimi rahimahullāh, adalah tentang Penjelasan Pokok Kedua Bagian 4.
Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang lain untuk memiliki aqidah
yang benar, memiliki tauhīd yang benar, melarang mereka untuk memiliki ‘aqidah yang
salah, kepercayaan yang salah, dianggapnya ini adalah orang yang majnun (orang gila)
atau orang yang zindīq. Adapun orang yang membiarkan kepercayaan-kepercayaan
tersebut, membiarkan ‘aqidah-aqidah tersebut tersebar diantara masyarakat maka
ini dianggap sebagai orang yang paham tentang agamanya.
Dan ini tentunya kebalikan dari apa yang sudah Allāh jelaskan didalam Al Qur’ān dan
dijelaskan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam didalam hadīts-hadīts yang
shahīh. Ini adalah pokok yang kedua yang ingin dijelaskan oleh pengarang didalam
kitāb ini.
Kesimpulannya: Perintah dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada kita semua kaum
muslimin untuk saling bersatu didalam al haq, bersatu didalam kebenaran
dan Larangan bagi kita untuk saling berpecah belah didalam agama kita.
Apabila terjadi perselisihan diantara kita, diantara kaum muslimin baik dalam
masalah aqidah, baik dalam masalah ibadah, baik masalah haram dan halal maka Allāh
dan Rasūl nya telah memberikan jalan keluar. Didalam Al Qur’ān, Allāh Subhānahu wa
Ta’āla berfirman:
ول ِإن ُكنتۡ=ُم ِ =س َ س=و َل َوُأ ْولِي ٱَأۡلمۡ= ِر ِمن ُكمۡۖ فَ=ِإن تَ ٰنَ= ز َۡعتُمۡ فِي
ُ ش= ۡي ٖء فَ= ُردُّوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر ٓ ُٰيََٓأ ُّي َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمن
ُ =و ْا َأ ِطي ُع==و ْا ٱهَّلل َ َوَأ ِطي ُع==و ْا ٱل َّر
أۡل ۡ
……ت ُۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َوٱليَ ۡو ِم ٱ ٓ ِخ ۚ ِر
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allāh dan taatilah Rasūl (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allāh (Al Qur’ān) dan Rasūl
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allāh dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nissā’: 59)
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian taat kepada Allāh, taat kepada
rasūl dan juga pemerintah kalian (penguasa kalian), apabila kalian saling berselisih
didalam satu perkara, baik dalam masalah aqidah, masalah ibadah, masalah yang lain,
maka hendaklah kalian kembalikan kepada Allāh juga kepada rasūl Nya.
Dikembalikan kepada Al Qur’ān. Dilihat apakah sesuai tidak dengan Al Qur’ān
pendapat kita.Kembalikan kepada rasūl. Kembalikan kepada hadīts nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam. Apakah pendapat kita sesuai dengan hadīts Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam atau tidak? Kalau sesuai, maka kita amalkan dan kalau tidak sesuai
maka harus kita tinggalkan.
Apabila diantara dua orang saling berselisih dan satunya mengatakan sunnah, satunya
mengatakan tidak disunnahkan maka masing-masing harus mengembalikan kepada
Allāh dan rasūl Nya. Kalau Allāh dan rasūl nya mengatakan sunnah maka semuanya
harus sami’nā wa atha’nā (mendengar dan taat) tidak boleh ada diantara kita yang
memiliki pilihan yang lain didalam perpecahan ini. Apabila Allāh mengatakan A, dan
rasūl nya mengatakan A, maka semuanya harus mengatakan A tersebut.
Ketika melihat perpecahan yang banyak diantara umat (perselisihan yang banyak)
maka petunjuk beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita kembali kepada sunnah
beliau dan sunnah para khulafā’ur rāsyidīn. Ini adalah petunjuk Allāh dan rasūl Nya
ketika terjadi perselisihan.
Termasuk kesempurnaan persatuan bagi umat Islām adalah mendengar dan taat
kepada penguasa. Dan tidak bermanfaat adanya seorang penguasa dan pemerintah
kecuali apabila rakyatnya, mereka mau mendengar dan taat kepada
penguasa. Seandainya disana ada seorang penguasa (memerintah disebuah negara)
akan tetapi rakyatnya tidak mau mendengar dan tidak mau mentaati apa yang datang
darinya, baik berupa perintah maupun larangan, maka keberadaan penguasa tersebut
sama dengan tidak adanya. Oleh karena itu, ini pentingnya kita mendengar dan taat
kepada pemerintah, tidak akan bersatu umat Islām kecuali dengan adanya penguasa
baik penguasa tersebut adalah penguasa yang shālih maupun penguasa yang tidak
shālih. Dan tidak bermanfaat yang dinamakan dengan penguasa atau memerintah
kecuali kita mau mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.
Oleh karena itu Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta’āla ‘anhu (diriwayatkan dari
beliau).Beliau mengatakan: َواَل ِإ َما َرةَ ِإاَّل بِطَا َع ٍة، َواَل َج َما َعةَ ِإاَّل بِِإ َما َر ٍة، ساَل َم ِإاَّل بِ َج َما َع ٍة
ْ ال ِإ
“Tidak ada Islām kecuali dengan berjamā’ah, kecuali dengan bersatu, dan tidak ada
persatuan kecuali apabila disana ada penguasa, dan tidak ada kekuasaan kecuali
dengan ketaatan”
Islām tidak akan tegak kecuali dengan adanya persatuan diantara kaum muslimin,
karena banyak ibadah atau syar’iat didalam agama Islām yang tidak mungkin
ditegakkan kecuali dengan persatuan diantara kaum muslimin (persatuan antara
rakyat dengan pemerintah dan diantara kaum muslimin). Tidak mungkin kaum
muslimin bersatu kecuali disana ada pemimpinnya. Karena apabila sebuah kelompok,
sekecil apapun seandainya tidak ada pemimpin maka masing-masing merasa tidak
dikuasai oleh orang lain. Sehingga melakukan apa yang dia ingin kan. Tidak ada yang
berhak untuk memerintah dia, tidak ada yang berhak untuk melarang dia, membuat
peraturan sendiri, tidak mungkin sebuah kelompok sekecil apapun bisa bersatu
kecuali apabila disana ada pemimpinnya.Oleh karena itu didalam Islām, ketika
seseorang safar bersama yang lain, maka diperintahkan untuk mengangkat seorang
pemimpin. (Ketika dalam bepergian apalagi didalam keadaan seseorang dalam keadaan
muqim) Tidak mungkin kelompok apapun, sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila
memiliki pemimpin.
Oleh karena itu beliau mengatakan (radhiyallāhu ta’āla ‘anhu), “Tidak ada persatuan
kecuali apabila disana ada imārah ada kekuasaan. Dan tidak ada kekuasaan
kecuali dengan ketaatan”
َواَل ِإ َما َرةَ ِإاَّل بِطَا َع ٍة، َواَل َج َما َعةَ ِإاَّل بِِإ َما َر ٍة، ساَل َم ِإاَّل بِ َج َما َع ٍة
ْ ال ِإ
Hubungan antara Islām dengan ketaatan kepada pemerintah sangat erat, dan ini
diucapkan oleh seorang khulafā’ur rāsyidīn yang kita diperintahkan untuk mengikuti
sunnahnya.
Seorang budak, seandainya dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita
adalah mendengar dan taat. Padahal yang namanya penguasa kebanyakan adalah
orang yang merdeka, dan seandainya (qadarullāh) yang terjadi penguasa tersebut
adalah seorang budak (bukan seorang yang merdeka) maka kita tetap diwajibkan
mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.
Habasyian (budak dari Habasyah) dan budak dari Habasyah dikenal oleh orang-orang
Arab sebagai budak yang dimata manusia adalah seorang yang rendah (kedudukannya
hina), akan tetapi apabila dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita,
meskipun kita adalah seorang yang merdeka bukan seorang budak maka kita harus
mendengar dan taat penguasa tersebut. Dan ucapan beliau ini diambil dari hadīts
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam)
memberikan nasehat kepada para shahābat diakhir hayat beliau.
Suatu hari setelah shubuh beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan nasehat
kepada para shahābat dengan nasehat yang sangat dalam. Kemudian salah seorang
shahābat berkata kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ُ َموْ ِعظَة.يَا َرسُو َل هَّللا ِ! َكَأنَّهَا
ِّع
ٍ َود..... ُم...“Yā Rasūlullāh, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan
berpisah. (Nasehat yang sangat dalam yang penuh dengan makna yang membuat
gemetar hati para shahābat dan membuat mata mereka menangis).
Maka hendaklah engkau memberikan wasiat kepada kami. (Nasehat orang yang
berpisah, tentunya orang yang berpisah tersebut akan memilih nasehat yang luas
maknanya, yang sangat penting bagi orang yang akan ditinggalkan)
ِ ُأ
Apa yang beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan? ِ وصي ُك ْم بِتَ ْق َوى هَّللا
“Aku wasiat kan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allāh” (Nasehat pertama yang
beliau ucapkan kepada para shahābat adalah nasehat untuk bertaqwa kepada Allāh.
Kemudian apa yang beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam katakan?
ِ ُأ
وصي ُك ْم بِتَ ْق َوى هَّللا ِ َوال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة وَِإ ْن َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا
“Dan hendaklah kalian mendengar dan taat kepada orang yang telah menjadikan amir
(penguasa) bagi kalian meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah”
Dan ini menunjukkan pentingnya mendengar dan taat bahkan beliau (shallallāhu
‘alayhi wa sallam) menjadikan mendengar dan taat kepada pemerintah nomor dua
setelah beliau berwasiat dengan ketaqwaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ulil amri sebagaimana disebutkan oleh para mufasirin adalah para ulamā dan juga
para umara, kita diperintah untuk mentaati mereka, dan ini menunjukkan tentang
۟ َأ ِطيع
wajibnya mentaati pemerintah dan juga penguasa, karena Allāh mengatakan, ُوا
(hendaklah kalian mentaati). Namun ketaatan kepada seorang penguasa dan
pemerintah bukanlah ketaatan yang mutlaq, berbeda dengan ketaatan kepada Allāh
dan rasūl Nya. Oleh karena itu ketika menyebutkan Allāh dan juga rasūl Nya,
۟ َأ ِطيع.
didahului dengan kalimat ُوا
Karena ketaatan kepada Allāh dan rasūl Nya adalah ketaatan yang mutlaq.
ُأ
ِ ( َو ۟ولِى ٱَأْل ْمdan
Adapun ketika menyebutkan ulil amri maka Allāh mengatakan ر ِمن ُك ْم..
pemerintah diantara kalian) Karena ketaatan kepada pemerintah dan penguasa
bukanlah ketaatan yang mutlaq, akan tetapi ketaatan yang berada didalam ketaatan,
ketaatan di dalam ketaatan kepada Allāh dan rasūl Nya. Apabila seorang pemerintah
dan penguasa, memerintah dengan perkara yang sesuai dengan syar’iat, sesuai
dengan kehendak Allāh dan rasūl Nya, maka perintah tersebut harus ditaati. Namun
apabila dia memerintah dengan kemaksiatan dengan sebuah dosa dengan sebuah
perkara yang bertentangan dengan syar’iat Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka perintah
tersebut tidak boleh ditaati.
Adapun didalam hadīts maka diantara dalīl yang menunjukkan penting dan wajibnya
kita mendengar dan taat kepada pemerintah adalah tadi yang kita sebutkan ketika
beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) berwasi’at kepada para shahābat.
Wasi’at dengan mendengar dan taat kepada penguasa meskipun yang berkuasa adalah
seorang budak dari Habasyah. Dan diantara dalīlnya dari sunnah Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam adalah ucapan Ubadah ibnu Shāmid ketika beliau mengatakan:
َوَأثَ َر ٍة َعلَ ْينَا،ْرنَا ِ فِي َم ْنش،بَايَ َعنَا َعلَى ال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة
ِ َو ُعس،َطنَا َو َم ْك َر ِهنَا
ِ َويُس،ْرنَا
“Kami dahulu membaiat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk mendengar dan
taat baik ketika kami dalam keadaan semangat maupun dalam keadaan malas baik
dalam kesusahan maupun dalam kemudahan”
Mendengar dan taat meskipun harus diambil sebagian dari hak kami, baik hak harta
maupun yang lain. Meskipun diambil sebagian hak kita, baik harta maupun yang lain,
maka tidak boleh ini menjadikan kita keluar dari ketaatan kepada pemerintah.
“Dan kami telah membaiat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk tidak
memberontak, untuk tidak mengambil kekuasaan dari yang memiliki”
Ini adalah isi dari baiat para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum kepada Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam, diantaranya adalah supaya kita tidak mengambil
kekuasaan dari pemiliknya. Yaitu memberontak kepada pemerintah, memberontak
kepada penguasa yang sah, maka ini diharamkan didalam agama kita.
“Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang jelas kekāfiran yang jelas dari
pemerintah tersebut dan engkau memiliki dalīl (memiliki burhan) yang sangat jelas
yang tidak ada kesamaran didalamnya maka dalam keadaan seperti itu boleh
seseorang memberontak”
Yaitu apabila melihat kekufuran, dan disini beliau mengatakan رًا بَ َواحًا.( ُك ْفkekufuran
yang jelas) artinya, bukan sekedar keragu-raguan atau kekufuran yang samar,
kekufuran yang jelas maksudnya adalah kekufuran yang semua umat Islām
bersepakat atas kekufuran tersebut. Dan disana ada dalīl yang jelas didalam Al
Qurān maupun hadīts yang mengatakan bahwasanya ini adalah sebuah kekufuran dan
bukan hanya sekedar keraguan, bukan sekedar kemaksiatan. Engkau memiliki dalīl
dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla atas masalah tersebut.
Dan para ulamā menyebutkan ini adalah perkecualian, dan ini menunjukkan kepada
kita hanya sekedar melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang penguasa maka
ini tidak menjadikan dan tidak membolehkan seseorang untuk keluar dan
memberontak kepada pemerintah, karena beliau mengatakan رًا بَ َواحًا...( ُك ْفsebuah
kekāfiran yang sangat jelas). Adapun hanya melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh
pemerintah, maka ini tidak boleh menjadikan seseorang keluar dan memberontak
kepada pemerintah tersebut. Yang dinamakan dengan korupsi, maka ini adalah
sebuah kemaksiatan dan bukan kekufuran dan tidak boleh menjadikan seseorang
atau menjadikan seseorang memberontak dan keluar kepada pemerintah. Berbuat
zhālim adalah kemaksiatan, kemaksiatan tersebut akan ditanyakan oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla kepada penguasa di hari kiamat, kemaksiatan dia adalah untuk
dia sendiri dan kewajiban kita adalah mendengar dan taat kepada pemerintah
tersebut, selama perintah tersebut sesuai dengan syar’iat Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.
Dan disini beliau memberikan syarat-syarat yang ketat sebuah kekāfiran dan
kekāfiran tersebut adalah kekāfiran yang sangat jelas dan memiliki dalīl yang sangat
kuat.
Para ulamā menjelaskan apabila memang terjadi kekufuran yang sangat jelas
dari seorang penguasa (dari seorang pemerintah), maka di sana ada syarat-syarat
yang lain yang harus dipenuhi dan ini sebutkan oleh para ulamā. Apabila tidak terjadi
di sana kerusakan yang lebih besar. Apabila di sana justru terjadi kerusakan yang
lebih besar, apabila seseorang memberontak karena pemerintahnya melakukan
kekufuran, melakukan kekāfiran yang jelas, apabila di sana justru terjadi kerusakan
yang lebih besar maka diharamkan seseorang untuk memberontak. Ini disebutkan
oleh para ulamā di dalam kitāb-kitābnya.
Dan kaum muslimin memiliki ganti yang lebih baik. Kalau misalnya bisa memberontak
tetapi tidak memiliki ganti yang lebih baik, maka tidak diperbolehkan untuk
melakukan pemberontakan. Dan juga syarat-syarat yang lain.
Para ulamā telah ketat di dalam masalah ini dan perkara seperti ini dikembalikan
kepada para ulamā yang besar, para pembesar ulamā, bukan hanya kepada seorang
da’i, seorang ustadz, tetapi dikembalikan kepada ulamā-ulamā besar yang mereka
mengetahui maslahat dan juga mudharat, mana yang baik dan mana yang buruk bagi
kaum muslimin.
Dan dalīl yang lain yang menunjukkan tentang wajibnya mendengar dan taat kepada
pemerintah adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ” Bahwanya kita
diperintahkan untuk mendengar dan taat kecuali apabila dia diperintahkan untuk
kemaksiatan, apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada
mendengar dan tidak ada ketaatan”
َس= ْم َع َوالَ طَاعَ= ة ِ فَِإنْ ُأ ِم َر بِ َم ْع: “Namun apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat
َ َص=يَ ٍة فَال
maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan.”
Disebutkan oleh para ulamā contohnya (misalnya) peraturan lalu lintas. Kita
diharuskan memiliki SIM, kita diharuskan untuk mengikuti rambu-rambu lalu lintas,
dilarang parkir di sebuah tempat, apabila lampu berwarna merah maka harus
berhenti, maka ini adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk
kemaslahatan bersama.
Pada asalnya ini adalah kewajiban kita sebagai rakyat untuk mendengar dan taat
kepada penguasa tersebut di dalam peraturan-peraturan ini, karena peraturan-
peraturan ini tidak bertentangan dengan syar’iat Allāh dan juga rasūl Nya. Namun
ketika membuat peraturan yang di situ ada kemaksiatan kepada Allāh dan Rasūl Nya
maka tidak boleh seseorang untuk mendengar dan taat di dalam peraturan tersebut
dan dia masih diwajibkan untuk mendengar dan taat didalam peraturan-peraturan
tersebut sesuai dengan Al Qurān dan hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Kemudian beliau mengatakan َوقَ َد ًرا, demikian pula dari segi taqdir, Allāh Subhānahu
wa Ta’āla telah menjelaskan baik dengan syar’iat maupun dengan taqdir. Maksudnya
dengan taqdir adalah dengan apa yang kita lihat, disekitar kita, kita bisa bedakan
antara sebuah negara yang rakyatnya di situ mendengar dan taat kepada
penguasanya, dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak mendengar dan juga tidak
taat kepada pemerintahnya.
Beda antara dua negara ini, negara yang rakyatnya melakukan ketaatan dan
mendengar apa yang diperintahkan oleh pemerintah, maka kita dapatkan keamanan di
dalam negara tersebut, ketenangan, nyaman rakyatnya di dalam melakukan berbagai
kegiatan, baik kegiatan agama maupun kegiatan dunia, dengan leluasa mereka
beribadah, melakukan haji setiap tahun, melakukan shalāt lima waktu secara
berjama’ah, mendirikan shalāt hari raya, juga syar’iat-syar’iat yang lain. Dan dengan
leluasa mereka melakukan kegiatan dunia, berdagang, bepergian, karena rakyatnya
mendengar dan taat kepada pemerintahnya.
Lain dengan sebuah negara yang di situ rakyatnya tidak mendengar dan tidak taat
kepada pemerintah, keamanan tidak stabil, rakyatnya di dalam berbagai kegiatan
mereka merasa tidak aman, baik ketika beribadah maupun dalam melakukan
kegiatan-kegiatan dunia, banyak di antara mereka yang tidak bisa melaksanakan haji,
takut untuk shalāt berjama’ah, wanita yang muslimah takut untuk menggunakan
jilbab dan juga perkara-perkara yang lain. Beda antara sebuah negara yang
rakyatnya taat kepada penguasa dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak taat
kepada penguasa.
Oleh itu beliau mengatakan: ش َْرعًا َوقَ َد ًرا. “Baik secara syar’iat maupun taqdir”, taat
kepada pemerintah adalah sesuatu yang sangat penting bagi seorang muslim.
Dan mereka menganggap bahwasanya orang yang mendengar dan taat kepada
pemerintah dianggap sebagai orang yang pengecut dianggap sebagai orang yang
mencari muka dihadapan penguasa, maka semua ini adalah karena seseorang tidak
mengetahui tentang pentingnya mendengar dan taat kepada pemerintah. Dan bukan
berarti mendengar dan taat kepada pemerintah kemudian kita tidak memberikan
nasehat, didalam Islām nasehat diperuntukan bagi rakyat biasa demikian pula kepada
pemerintah kaum muslimin.
Tapi kalau tidak diterima oleh pemerintah tersebut (oleh penguasa tersebut)
maka kita sudah melaksanakan kewajiban kita sebagai seorang muslim, sebagai
seorang rakyat yaitu memberikan nasehat kepada pemerintah dan penguasa kita,
adapun dia tidak menerima nasehat kita maka ini urusan dia dengan Allāh Subhānahu
wa Ta’āla. Ini adalah petunjuk Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam didalam
menasehati pemerintah, bukan menunjukkan kesalahan pemerintah dan mengobralnya
didepan umum ketika khutbah-khutbah, ketika ceramah-ceramah maka ini semua
melanggar petunjuk Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
• Pokok yang keempat : Penjelasan makna dari ilmu dan para ulamā dan makna dari
fiqih dan juga para fuqahā’ dan menjelaskan tentang orang-orang yang menyerupai
mereka, padahal dia bukan termasuk ulamā dan bukan termasuk fuqahā’.
Hal ini juga termasuk perkara yang penting seperti yang dikatakan oleh pengarang
karena banyak dizaman kita orang yang tidak mengetahui apa itu sebenarnya ilmu,
yang telah datang keutamaannya didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Yang kita diperintahkan untuk menuntutnya yang
dengannya seseorang mendapatkan derajat yang tinggi disisi Allāh Subhānahu wa
Ta’āla yang dengannya di bisa selamat didunia dan juga diakhirat. Banyak diantara
saudara-saudara kita yang belum mengetahui apa sebenarnya ilmu tersebut.
Dan para ulamā menjelaskan yang dimaksud dengan ilmu yang ada didalam Al Qur’ān
dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang kita didorong dan
dianjurkan untuk menuntutnya yang barangsiapa menuntutnya maka akan dimudahkan
jalan menuju surga dan bahwasanya orang yang menuntutnya berarti Allāh
Subhānahu wa Ta’āla telah menginginkan kebaikan darinya.
“Apa yang dikatakan oleh Allāh dan apa yang dikatakan oleh rasūl Nya.”
Apabila disitu disebutkan ilmu, maka yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah
ilmu syari’, ilmu yang bersumber (berdasar) dari Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang shahīh.
Dan katakanlah wahai Muhammad, “Wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS.
Thāhā: 114)
Maka yang dimaksud dengan ilmu disini adalah apa yang dikatakan Allāh dan Rasūl
Nya.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyuruh Nabi Nya untuk meminta tambahan, bukan
meminta tambahan dunia atau kekuasaan atau yang lain, akan tetapi disuruh meminta
tambahan ilmu, dan ilmu disini adalah ilmu agama. Demikan pula ilmu yang datang
didalam hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka yang dimaksud adalah
ilmu agama.
ك طَ ِريقًا يَ ْلتَ ِمسُ فِي ِه ِع ْل ًما َسهَّ َل هَّللا ُ لَهُ بِ ِه طَ ِريقًا إلَى ْال َجنَّ ِة
َ ََم ْن َسل
“Barangsiapa yang menuntut atau menempuh sebuah jalan didalam jalan tersebut dia
ingin mencari ilmu agama, ingin mencari ilmu maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan
memudahkan dia jalan menuju surga” (Hadīts shahīh riwayat Muslim)
Dan jalan disini, bisa jalan haqiqi seseorang bepergian jauh dengan berjalan kaki atau
menggunakan kendaraan atau yang dimaksud jalan disini adalah jalan maknawi yaitu
cara untuk nendapatkan ilmu. Seperti seseorang membaca atau mendengarkan maka
ini juga termasuk jalan menuntut ilmu agama, pahalanya maka Allāh akan
memudahkan dia jalan menuju Surga. Karena orang yang menuntut ilmu maka dia akan
mengetahui yang benar, sehingga dia bisa mengamalkan kebenaran tersebut, dan
orang yang menuntut ilmu maka dia akan mengenal yang bathil sehingga dia dengan
mudah meninggalkan kebathilan tersebut. Apabila seseorang istiqāmah dengan ilmu
yang dia miliki mengetahui kebenaran dan meninggalkannya, dan mengamalkannya dan
mengetahui kebathilan kemudian meninggalkannya sampai dia meninggal dunia maka
diharapkan orang yang demikian akan dimudahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
masuk kedalam surga.
Barangsiapa yang Allāh kehendaki kebaikan kepada dirinya diinginkan oleh Allāh
menjadi orang yang beruntung.
Ciri-cirinya apa? ⇒ Allāh akan menjadikan dirinya memahami agamanya. Yang
dimaksud dengan fiqih disini adalah ilmu agama dan ini menunjukkan tentang
keutamaan menuntut ilmu agama.
Dijadikan dia semangat menuntut ilmu, dijadikan dia mudah untuk memahami
agamanya, inilah orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dan sebaliknya orang yang tidak Allāh kehendaki kebaikan maka dijadikan dia tidak
memahami agamanya.
Dan dalīl-dalīl yang lain apabila kita menemukan lafadz ilmu didalam Al Qur’ān
maupun hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ketahuilah bahwasanya
ilmu tersebut maksudnya adalah ilmu agama (bukan ilmu yang lain). Karena
sebagian, apalagi dizaman sekarang menganggap semua pengetahuan dinamakan
dengan ilmu, sehingga ilmu-ilmu duniapun dianggap itu ilmu yang dimaksud didalam Al
Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Padahal para ulamā telah menjelaskan bahwasanya ilmu agama itulah yang
dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts, adapun ilmu-ilmu dunia meskipun
dinamakan ilmu oleh sebagian manusia maka itu bukan yang dimaksud didalam Al
Qur’ān dan juga hadīts. Ilmu dunia apabila digunakan untuk kebaikan, manfaat
bagi manusia maka seseorang diharapkan mendapatkan pahala, namun apabila ilmu
dunia digunakan untuk mudharat (merusak) maka tentunya orang yang
menyebarkannya (mengajarkannya) bukan mendapatkan pahala akan tetapi justru
mendapatkan dosa. Ini perbedaan antara ilmu agama yang dimaksud didalam Al
Qur’ān dan juga hadīts dengan ilmu-ilmu dunia.
Dan yang dimaksud dengan ulamā adalah orang yang berpegang teguh dengan Al
Qur’ān dan juga sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan mengilmui keduanya.
Setelah kita mengetahui apa itu ilmu berarti kita mengetahui siapa itu ulamā (yaitu)
orang yang membawa Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa
sallam. Merekalah para ulamā dan merakalah yang telah dipuji oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qur’ān, bahwasanya mereka adalah orang-orang yang
takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Karena ilmu yang dia miliki, ilmu yang ada didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-
hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Merekalah yang paling mengetahui dan
mengenal Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Merekalah yang paling takut dengan Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
“Sesungguhnya orang yang takut kepada Allāh diantara hamba-hambanya adalah para
ulamā.” (QS. Fāthir: 28)
Kenapa demikian?
Karena mereka paling mengenal apa yang ada didalam Al Qur’ān dan juga
hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
Karena mereka mengenal siapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan apa
hak nya.
Karena mereka mengenal pondasi agama ini dan apa cabangnya, sehingga
merekalah yang disifati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebagai hamba-hamba Nya
yang sangat takut dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ini menunjukkan bahwasanya ulamā adalah orang yang mengetahui apa yang
datang dari para nabi.
Apa yang datang dari mereka? Yang datang dari mereka adalah apa yang dikatakan
oleh Allāh dan apa yang dikatakan oleh rasūl Nya.
Dan tugas mereka (para ulamā) adalah mewarisi apa yang datang dari para nabi,
(artinya) mewarisi (mengambil dari mereka) apa adanya dan menyampaikan kepada
yang setelahnya. Jadi tugas ulamā bukan menambah apa yang datang dari para
nabi dan bukan mengurangi apa yang datang dari nabi atau merubah-rubah maknanya.
Tugas mereka (para ulamā) adalah mewarisi para nabi. Inilah yang dinamakan
dengan ulamā yang datang didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam. Dan ini terkadang samar bagi sebagian orang, sehingga
mereka tidak bisa membedakan siapa ulamā dan siapa yang bukan ulamā. Karena
berlalunya masa, berlalunya waktu banyaknya fitnah, banyaknya subhat sehingga
sebagian saudara kita tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan ulamā dan
mana yang bukan ulamā.
Dan penjelasan siapa orang yang menyerupai mereka (para ulamā), baik menyerupai
pakaiannya (misalnya) atau menyerupai ucapannya atau menyerupai perilakunya, atau
menyerupai karena mereka memiliki pengikut yang banyak. Padahal mereka bukan
termasuk ulamā.
Kata beliau ini perlu dijelaskan dan ini adalah termasuk perkara yang penting,
menjelaskan kepada umat tentang siapa ulamā dan siapa yang bukan ulamā. Apalagi
dizaman sekarang hanya sekedar seseorang berani untuk berpidato atau berani
untuk tampil kedepan atau dibesar-besarkan oleh media atau dia bisa menghapal
satu ayat atau dua ayat atau sekedar memiliki pakaian yang berbeda dengan yang
lain, memakai pakaian yang bisa dipakai oleh para ulamā dan dia berani untuk tampil
kedepan kemudian dianggap dan diyakini bahwasanya dia seorang yang ‘alim atau
seorang ulamā. Dan ini adalah termasuk usaha iblīs untuk menyesatkan manusia, dan
orang yang seperti ini, apa yang dia rusak ini lebih banyak daripada apa yang dia
perbaiki.
Karena apabila seorang dianggap oleh manusia sebagai seorang ulamā kemudian
dia berfatwa, maka fatwa yang datang dari nya dikhawatirkan adalah fatwa yang
tidak berdasarkan ilmu, tidak berdasarkan Al Qur’ān dan hadīts Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam.
“Maka siapa yang lebih zhālim daripada orang yang membuat kedustaan atas nama
Allāh”
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, ilmu yang kita tuntut kita baca, kita pelajari
adalah agama kita, maka hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama
kalian”
ِ ي ُأ
وف ْ ُت َعلَ ۡي ُكمۡ َوَأ ۡوف
ٓ ِد.وا بِ َع ۡه ْ ٰيَبَنِ ٓي ِإ ۡس ٰ َٓر ِءي َل ۡٱذ ُكر:َوقَ ْد بَيَّنَ هللاُ تَ َعالَى هَ َذا اَأْلصْ َل فِ ْي َأو َِّل سُوْ َر ِة ْالبَقَ َر ِة ِم ْن قَوْ لِ ْه
ُ ُۡوا نِ ۡع َمتِ َي ٱلَّتِ ٓي َأ ۡن َعم
اآلية.… {يَا بَنِي ِإ ْس َراِئي َل: ِإلَى قَوْ لِ ِه قَ ْب َل ِذ ْك ِر ِإ ْب َرا ِه ْي َم َعلَ ْي ِه ال َّساَل ُم.ُون ٰ
ِ بِ َع ۡه ِد ُكمۡ وَِإيَّ َي فَ ۡٱرهَب
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini didalam awal surat Al
Baqarah yaitu dari firman Allāh
Jadi mereka adalah orang-orang yang berilmu, oleh karena itu dinamakan
dengan ahlul kitāb diturunkan kepada mereka Al Kitāb Al Munazal akan tetapi
ternyata banī Isrāil mereka tidak mengamalkan apa yang mereka ilmui. Mengenal
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan tetapi tidak beriman dengan beliau.
Mereka mengenal Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka, mengenal anaknya, kapan lahirnya, bagaimana sifatnya,
namun mereka tidak beriman dengan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengenal bahwasanya Muhammad adalah Nabi yang hak yang dikabarkan didalam
kitāb mereka, akan tetapi tidak mengikuti beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
۟ وا َكفَر
ُُوا بِِۦه ۚ فَلَ ْعنَة ۟ ُُوا فَلَ َّما َجآ َءهُم َّما َع َرف
۟ وا ِمن قَ ْب ُل يَ ْستَ ْفتِحُونَ َعلَى ٱلَّ ِذينَ َكفَر
۟ ُق لِّما م َعهُ ْم َو َكان َ ب ِّم ْن ِعن ِد ٱهَّلل ِ ُم
ٌۭ َولَ َّما َجآ َءهُ ْم ِكتَ ٰـ
َ َ ٌ ۭ ص ِّد
َٱهَّلل ِ َعلَى ْٱل َك ٰـفِ ِرين
Dan ketika datang kepada mereka (orang-orang banī Isrāil) kitābun mushaddiqun
limā ma’ahum (sebuah kitāb dari sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang membenarkan
apa yang ada pada mereka) setelah datang Al Qur’ān yang dibawa oleh Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang isinya adalah membenarkan apa yang ada didalam
kitāb meraka.
Ashabul kahfi
Dzulqarnain.
Setelah Allāh Subhānahu wa Ta’āla menurunkan surat Al Kahfi beliau bisa menjawab
itu semua.
Tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut, kecuali seorang nabi yang diutus
oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, mereka tahu bahwasanya itu adalah seorang nabi
atau nabi yang diutus dan yang dimaksud olah Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam
kitāb mereka. Tapi mereka mengingkari dan kufur karena kesombongan.
“Wahai banī Isrāil hendaklah kalian mengingat kenikmatanku yang telah aku berikan
kepada kalian” (QS. Al Baqarah: 40)
Kalian telah diberikan kitāb, diutus kepada kalian rasūl dan disebutkan didalam
ayat-ayat selanjutnya bagaimana kenikmatan yang Allāh berikan kepada banī Isrāil.
Dahulu mereka dalam cengkraman Fir’aun kemudian diutus Mūsā alayhissallām dan
diselamatkan dari Fir’aun dan mereka melihat bagaimana Fir’aun ditenggelamkan oleh
Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Kemudian diberikan mereka al ardhu muqadasah (tanah
yang suci) dan mereka diperintahkan untuk masuk kedalamnya dan kenikmatan-
kenikmatan yang lain, yang banyak yang Allāh berikan kepada banī Isrāil.
Supaya apa?
َت َعلَ ْي ُك ْم َوَأنِّى فَض َّْلتُ ُك ْم َعلَى ْٱل َع ٰـلَ ِمين ۟ يَ ٰـبَنِ ٓى ْس ٰ َٓر ِءي َل ْٱذ ُكر
ُ ُوا نِ ْع َمتِ َى ٱلَّتِ ٓى َأ ْن َع ْم ِإ
“Wahai banī Isrāil, ingatlah kenikmatan yang telah aku berikan kepada kalian dan
sesungguhnya aku telah memuliakan kalian diatas alam ini (diatas manusia yang lain).”
Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengingatkan banī Isrāil tentang kenikmatan-kenikmatan
yang Allāh berikan kepada mereka dengan harapan mereka mau beriman dan
bersyukur dan mengikuti Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. (QS. Al Baqarah:
47)
ح لِ ْل َعا ِّم ِّي ْالبَلِ ْي ِد ِ ت بِ ِه ال ُّسنَّةُ فِ ْي هَ َذا ِمنَ ْالكَاَل ِم ْال َكثِي ِْر ْالبَي ِِّن ْال َو
ِ اض ْ ص َّر َح
َ َويَ ِز ْي ُدهُ ُوضُوْ حًا َما
Dan perkara ini menjadi jelas (yaitu) tentang masalah makna ilmu dan siapa ulamā.
Menjadi jelas dengan apa yang datang didalam hadīts-hadīts Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam yang dipahami oleh seorang yang bodoh sekalipun.
ِ ضاَل اَل
ت ُ صا َر ْال ِع ْل ُم َو ْالفِ ْقهُ هُ َو ْالبِ َد
َّ ع َوال َ ب اَأْل ْشيَا ِء َو
َ صا َر هَ َذا َأ ْغ َر
َ ثُ َّم
kesesatan. Inilah yang dimaksud dengan ilmu menurut sebagian manusia, apabila
seseorang memiliki kemahiran didalam bid’ah, pengetahuan tentang bid’ah-bid’ah,
amalan-amalan yang tidak berdasarkan Al Qur’ān dan hadīts maka dia dikatakan
sebagai orang yang memiliki ilmu. Demikian pula kesesatan-kesesatan ini dianggap
sebagai ilmu agama
ِ َق بِ ْالب
اط ِل ِّ َو ِخيَا ُر َما ِع ْن َدهُ ْم لَبْسُ ْال َح
Dan apa yang terbaik didalam mereka adalah mencampuri (membolak balik kebenaran
dengan kebathilan).
ق َأوْ َمجْ نُوْ ٌن ِ ضهُ هللاُ تَ َعالَى َعلَى ْالخ َْل
ٌ ق َو َم َد َحهُ اَل يَتَفَ َّوهُ بِ ِه ِإاَّل ِز ْن ِد ْي َ صا َر ْال ِع ْل ُم ال ِذيْ فَ َر
َ َو
Kemudian menuntut sebagaian manusia bahwasanya ilmu yang tadi kita sebutkan yang
telah diwajibkan oleh Allāh atas makhluk-makhluknya dan telah Allāh puji, mereka
mengatakan, “Tidak menyampaikan ilmu ini kecuali zindīq atau majnūn (seorang
pendusta atau seorang yang gila)”
Dianggapnya orang yang ketika menyampaikan hanya qalallāh qalarasūl, dianggap ini
adalah orang yang seorang yang zindīq atau seorang majnūn (seorang pendusta atau
seorang yang gila).
صنَّفَ فِ ْي التَّحْ ِذي ِْر ِم ْنهُ َوالنَّه ِْي َع ْنهُ هُ َو ْالفَقِ ْيهُ ْال َعالِ ُم
َ صا َر َم ْن َأ ْن َك َرهُ َوعَادَاهُ َو
َ َو
Dan jadilah orang yang mengingkari cara seperti ini, dan memusuhi cara seperti ini
bahkan mengarang karangan-karangan yang isinya adalah mengingatkan manusia dari
menuntut ilmu dengan cara seperti ini dan melarang darinya disebut sebagai seorang
yang faqīh sebagai seorang yang ‘ālim.
Dan ini semua termasuk talbis iblīs yaitu supaya manusia jauh dari para ulamā,
jauh dari Al Qur’ān, jauh dari hadīts, jauh dari pemahaman para shahābat
radhiyallāhu ta’āla ‘anhum. Dan supaya mereka dekat dengan imam-imam kesesatan
dekat, dekat dengan ulamā su’, ulamā-ulamā yang tidak benar, tidak baik, itulah yang
ingin disampaikan oleh pengarang pada perkara yang keempat ini.
Semoga apa yang kita sampaikan bisa dipahami dan juga bermanfaat dalam kehidupan
kita sehari-hari.
Ini adalah perkara yang kelima yang sangat penting yang hendaknya diketahui oleh
seorang muslim.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qur’ān demikian pula di dalam sunnah
Nabi Nya telah menjelaskan sifat-sifat wali-wali Allāh. Yang barangsiapa bersifat
atau memiliki sifat tersebut maka dia termasuk wali Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Adapun yang tidak memiliki sifat tersebut dan bertentangan dengan sifat tersebut
maka dia bukan termasuk wali Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Telah dijelaskan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qur’ān dan telah
dijelaskan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam didalam hadīts-hadīts yang
shahīh, namun ternyata masih banyak dikalangan kaum muslimin yang samar baginya
perkara ini sehingga tidak bisa membedakan antara wali Allāh dengan wali syaithān.
Terkadang wali Allāh mereka anggap sebagai wali syaithān dan sebaliknya wali
syaithān di anggap sebagai wali Allāh.
Oleh karena itu disini pengarang menyebutkan beberapa ayat Al Qur’ān yang
berisi tentang sifat-sifat wali Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Beliau mengatakan:
}… ُ {قُلْ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ِحبُّونَ هّللا َ فَاتَّبِعُوْ نِ ْي يُحْ بِ ْب ُك ُم هّللا:ُان َو ِه َي قَوْ لُه ِ َويَ ْكفِ ْي فِ ْي هَ َذا آيَةٌ فِ ْي
.َ آل ُع ْم َر
Dan cukup didalam masalah ini, sebuah ayat didalam surat Āli Imrān yaitu firman
Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang artinya:
“Katakanlah jika kalian benar-benar menyintai Allāh maka hendaklah kalian mengikuti
aku niscaya Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menyintai kalian” (QS Āli Imrān: 31)
Kalau kita ingin mencari ucapan yang dicintai oleh Allāh, akhlaq yang dicintai
Allāh, ibadah yang dicintai oleh Allāh maka kita melihat bagaimana Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam berucap, beramal dan beribadah. Maka kita akan
dapatkan disana sebagai ucapan yang dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
berbagai ibadah dan amalan yang dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
Mengikuti syar’iatku yang isinya tentang ‘aqidah, tentang akhlaq, tentang ibadah,
janganlah menyelisihi aku karena yang dibawa oleh beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam
semuanya dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk mendapatkan kecintaan
Allāh Subhānahu wa Ta’āla caranya adalah dengan mengikuti Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam
Ini adalah balasan, ganjaran dan juga pahala bagi orang yang mengikuti
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Ini adalah salah satu diantara ciri-ciri wali-
wali Allāh Subhānahu wa Ta’āla bahwasanya dia mengikuti Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam. Mengikuti Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam didalam aqidahnya
didalam tauhīdnya, didalam dakwahnya, didalam ibadahnya, didalam akhlaqnya,
didalam muamalahnya.
Adapun orang yang tidak mengikuti sunnah beliau, beramal dengan amalan yang
diada-adakan, mengajak kepada kesyirikan, beribadah dengan ibadah yang tidak
pernah diajarkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka yang demikian
tidak dinamakan dengan wali Allāh.
.
Beliau rahimahullāh mengatakan:
ُوا َم ْن يَرْ تَ َّد ِم ْن ُك ْم ع َْن ِد ْينِ ِه فَ َسوْ فَ يَْأتِ ْي هّللا ُ بِقَوْ ٍم ي ُِحبُّهُ ْم َوي ُِحبُّوْ نَه
ْ ُ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن:.َوآيَةٌ فِ ْي سورة المائدة
Dan satu ayat didalam surat Al Māidah yaitu firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman barangsiapa diantara kalian yang murtad dari
agamanya, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan mendatangkan sebuah kaum yang
dicintai oleh Allāh dan mereka juga mencintai Allāh”
ِ َِأ ِذلَّ ٍة َعلَى ْٱل ُمْؤ ِمنِينَ َأ ِع َّز ٍة َعلَى ْٱل َك ٰـفِ ِرينَ يُ َج ٰـ ِه ُدونَ فِى َسب
يل ٱهَّلل ِ َواَل يَخَافُونَ لَوْ َمةَ ٓاَل ِئ ۢ ٍم
“Yang mereka merendahkan diri dihadapan orang-orang yang beriman yang mereka
memiliki i’zah, memiliki wibawa diatas orang-orang yang kāfir, mereka berjihād
dijalan Allāh dan mereka tidak takut dengan celaan orang-orang yamg mencela”
Ini ada didalam surat Al Māidah ayat 54 dan disebutkan didalam ayat yang
mulia ini beberapa sifat yang dimiliki oleh wali-wali Allāh.
Mereka dicintai oleh Allāh dan mereka pun mencintai Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.
Dan satu ayat didalam surat Yūnus yaitu firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang
artinya:
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allāh tidak takut dan mereka tidak bersedih”
Mereka adalah orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang
bertaqwa. Jelas didalam ayat ini, Allāh menyebutkan kepada kita tentang sifat wali-
wali Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Sesungguhnya wali-wali Allāh, mereka tidak takut
yaitu tentang apa yang akan mereka hadapi dimasa yang akan datang ketika hari
kiamat. Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan memberikan keamanan kepada
mereka memberikan rasa tenang, memberikan rasa aman dimasa ketika manusia yang
lain dalam keadaan takut.
Dan mereka tidak akan bersedih dengan apa yang sudah ditinggalkan dari dunia
dan seisinya. Mereka yakin bahwasanya apa yang mereka akan dapatkan disisi Allāh
lebih baik daripada dunia dan seisinya.
Mereka wali-wali Allāh, mereka adalah orang-orang yang beriman dan orang-orang
yag Bertaqwa.
Apabila Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan didalam sebuah ayat dua kalimat ini
yaitu iman dan taqwa, maka iman dan taqwa ini memiliki makna yang berbeda.
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan juga manusia kecuali untuk beribadah kepadaku”
(QS. Adz-Dzāriyāt: 56)
Dan perintah pertama yang ada didalam Al Qur’ān yang Allāh sebutkan adalah
perintah untuk bertauhīd (meng-Esa-kan Allāh Subhānahu wa Ta’āla) didalam ibadah.
“Wahai manusia hendaklah kalian beribadah kepada Rabb kalian. (QS. Al Baqarah:
21)
“Dia adalah yang menciptakan kalian dan menciptakan orang-orang sebelum kalian
supaya kalian bertaqwa”
Ini adalah perintah pertama yang Allāh sebutkan (yaitu) perintah untuk
bertauhīd. Sebelum menyebutkan perintah-perintah yang lain, seorang wali Allāh
Subhānahu wa Ta’āla adalah orang yang bertauhīd, meng-Esa-kan Allāh, mengajak
manusia untuk beribadah hanya kepada Allāh bukan beribadah kepada dirinya dan
tidak mengajak manusia untuk menyembah kepada selain kepada Allāh, memuja selain
Allāh mengagungkan selain Allāh, ini lah seorang wali Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dan yang dimaksud dengan at-taqwa adalah meninggalkan larangan, dan larangan
yang paling besar adalah larangan untuk melakukan kesyirikan kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
ِ ك لَظُ ْل ٌم ع
َظي ۭ ٌم َ ِْإ َّن ٱل ِّشر
ب َأ ْعظَ ُم؟
ِ َأيُّ ال َّذ ْن
“Yā Rasūlullāh, dosa apa yang paling besar disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla?”
“Engkau menjadikan sekutu bagi Allāh, padahal Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang telah
menciptakan dirimu”
Allāh yang menciptakan kamu, kemudian engkau menyembah kepada selain Allāh,
menyerahkan ibadah kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla atau sebagian ibadah
kepada selain Allāh, seorang yang menjadi wali Allāh adalah orang yang meninggalkan
kesyirikan
ِ .َرْ ِك اتِّب..َ َّد فِ ْي ِه ْم ِم ْن ت.ُا َء اَل ب..َ ِإلَى َأ َّن اَأْلوْ لِي، ع
ْل. اع الرُّ ُس. ِ صا َر اَأْل ْم ُر ِع ْن َد َأ ْكثَ ِر َم ْن يَ َّد ِع ْي ْال ِع ْل َم َوَأنَّهُ ِم ْن هُدَا ِة ْالخ َْل
ِ َّق َو ُحف
ِ ْاظ ال َّشر َ ثُ َّم
ْس ِم ْنهُ ْم
َ َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم فَلَي
“Menurut sebagian besar orang yang mengaku berilmu dan bahwasanya dia adalah
termasuk da’i seorang juru dakwah dan penjaga syar’iat menurut mereka bahwasanya
wali-wali, dia harus meninggalkan mengikuti para rasūl alayhissallām.
Jadi dibalik, artinya amalannya harus tidak sesuai dengan Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam, maka inilah yang dinamakan wali menurut mereka.
Kemudian kata mereka orang yang dinamakan wali adalah orang yang
meninggalkan iman dan taqwa, maka barangsiapa yang beriman dan bertaqwa maka
dia bukan termasuk wali. Ini adalah keyakinan sebagian manusia yang dinamakan wali
adalah orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa.
۟ ُوا َو َكان
َوا يَتَّقُون ۟ ُٱلَّ ِذينَ َءامن
َ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (QS. Yūnus: 63)
Ini adalah penjelasan dari mualif menceritakan kepada kita tentang apa yang
beliau lihat, apa yang beliau dengar, yang beliau rasakan dimana manusia dan
khususnya kaum muslimin banyak diantara mereka yang tidak bisa membedakan
antara wali Allāh dengan wali syaithān.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan didalam Al Qur’ān disana ada wali Allāh
dan disana ada wali syaithān.
ض ِعيفًا .َ ت فَقَ ٰـتِلُ ٓو ۟ا َأوْ لِيَٓا َء ٱل َّش ْيطَ ٰـ ِن ۖ ِإ َّن َك ْي َد ٱل َّش ْيطَ ٰـ ِن َك
َ ان ِ يل ٱلطَّ ٰـ ُغو ۟ يل ٱهَّلل ِ ۖ َوٱلَّ ِذينَ َكفَر
ِ ُِوا يُقَ ٰـتِلُونَ فِى َسب ۟ ُٱلَّ ِذينَ َءامن
ِ ِوا يُقَ ٰـتِلُونَ فِى َسب َ
َوَِإ َّن ٱل َّشيَ ٰـ ِطينَ لَيُوحُونَ ِإلَ ٰ ٓى َأوْ لِيَٓاِئ ِه ْم لِيُ َج ٰـ ِدلُو ُك ْم ۖ وَِإ ْن َأطَ ْعتُ ُموهُ ْم ِإنَّ ُك ْم لَ ُم ْش ِر ُكون
Dan tidak harus seseorang yang dinamakan dengan wali Allāh harus memiliki
kemampuan yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, misalnya bisa
terbang, atau berjalan diatas air atau kemampuan-kemampuan lainnya yang tidak
dimiliki oleh manusia biasa. Karena sebagian orang tidak bisa membedakan antara
karamah dengan sihir, atau antara karamah dengan ahwal syaithāniyyah.
Sebagaimana disebutkan oleh para ulamā yaitu keadaan-keadaan syaithān yang
dinamakan dengan karamah adalah sesuatu yang luar biasa yang Allāh berikan kepada
wali-walinya dengan tujuan untuk menguatkan keimanan dia. Dan karamah tidak bisa
dipelajari bahkan seorang walipun belum tentu apabila dia menghendaki kemudian
terjadi, sebagaimana muzijat yang Allāh berikan kepada para nabi, ini adalah dengan
kehendak Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
ِ ُول َأن يَْأتِ َى بِـَٔايَ ٍة ِإاَّل بِِإ ْذ ِن ٱهَّلل .َ َو َما َك
ٍ ان لِ َرس
“Tidaklah seorang rasūl bisa mendatangkan sebuah muzijat sebuah ayat kecuali
dengan izin Allāh Subhānahu wa Ta’āla” (QS. Ar Ra’d: 38)
Karamah tidak bisa dipelajari lain dengan sihir, yang bisa dipelajari, disana ada
gurunya disana ada sekolahnya, disana ada kitāb yang dijual yang dipelajari yang
isinya tentang sihir. Oleh karena itu kita dapatkan kitāb-kitāb seperti ini banyak
dijual dipasar-pasar, ditoko-toko, bagaimana seseorang bisa kebal, bagaimana
seseorang bisa begini dan begitu, seperti yang dinamakan dengan kitāb Al Mujarabat
yang dijual dengan murah, siapa saja bisa membeli, siapa saja bisa mempelajari, ini
bukan karamah tetapi dinamakan dengan sihir, yang mungkin samar bagi sebagian
orang, Yang dinamakan karamah menambah keimanan bagi seorang tersebut dan
menjadikan dia semakin merendahkan dirinya dihadapan Allāh dan rendah hati
diantara manusia. Seseorang, seorang wali yang dia mendapatkan karamah maka
semakin dia bertambah keimanannya kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Yakin
dengan pertolongan Allāh, semakin yakin dengan agama yang benar ini, dan dia akan
semakin rendah hati diantara manusia.
Berbeda dengan sihir orang yang melakukannya maka dia akan semakin jauh dari
Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan semakin dia sombong diantara manusia. Saya bisa
melakukan ini, saya bisa melakukan itu, melakukan pertunjukkan, diceritakan kepada
manusia, inilah yang dinamakan dengan sihir.
Dan karamah tidak bisa dilawan dengan sesuatu apapun, karena dia berasal dari
Allāh Subhānahu wa Ta’āla, adapun sihir maka bisa dilawan dengan yang semisalnya,
atau dilawan dengan ayat-ayat Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Karena sihir berasal dari
bantuan syaithān dan syaithān lari dari dzikrullāh Azza wa Jalla, ketika dibacakan
ayat, dibacakan ayat kursi, dibacakan surat Al Baqarah maka mereka akan lari. Dan
wali Allāh mereka tidak memiliki pakaian tertentu, yang membedakan dirinya dari
manusia yang lain, pakaian mereka sama dengan pakaian manusia biasa, pakaian yang
dipakai oleh kaum muslimin didaerahnya itulah yang di pakai oleh dia. Pakaian dia
tidak berbeda dengan yang lain, bahkan terkadang seseorang yang tidak dikenal
diantara manusia, bukan seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi dimata
masyarakat, namun ternyata dia adalah orang yang dekat dengan Allāh Subhānahu
wa Ta’āla. dan dia adalah wali Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
‘Dan tidaklah hambaku bertaqarrub kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai
daripada apa yang aku wajibkan atasnya”
Shalāt sunnah.
ْص ُر بِ ِه َويَ َدهُ الَّتِي يَب ِْطشُ بِهَا َو ِرجْ لَهُ الَّتِي يَ ْم ِشي بِهَا
ِ الَّ ِذي يُب.ُص َره ُ فَِإ َذا َأحْ بَ ْبتُهُ ُك ْن
َ َت َس ْم َعهُ الَّ ِذي يَ ْس َم ُع بِ ِه َوب
Maka apabila aku mencintai orang tersebut, kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka;
Aku akan menjadi pendengarannya yang dia akan mendengar dengannya.
Aku akan menjadi kakinya yang dia berjalan dengan kaki tersebut.
Maksudnya sebagaimana disebutkan oleh para ulamā, dia akan diberikan taufīq untuk
meninggalkan kemaksiatan.
Tidak berjalan kesebuah tempat kecuali ketempat yang diridhāi oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Apabila Allāh mencintai seseorang, maka dia akan diberikan taufīq untuk
meninggalkan kemaksiatan. Dan ini adalah sifat diantara sifat-sifat wali Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, orang yang dicintai oleh Allāh meninggalkan kemaksiatan. Oleh
karena itu bagaimana kita mengatakan bahwasanya orang yang minum minuman keras,
berzinah, melakukan kemaksiatan-kemaksiatan akan tetapi dia memakai pakaian
seorang ulamā kemudian kita katakan bahwa dia adalah seorang wali diantara wali-
wali Allāh.
ُوَِإ ْن َسَألَنِي ُأَل ْع ِطيَنَّهُ َولَِئ ْن ا ْستَ َعا َذنِي ُأَل ِعي َذنَّه
Apabila dia meminta kepadamu kata Allāh, niscaya aku akan memberikan dan apabila
dia memohon perlindungan niscaya aku akan melindungi orang tersebut.
Dan subhat (kerancuan) tersebut bahwasanya Al Qur’ān dan juga sunnah tidak
dipahami kecuali oleh seorang yang mujtahid mutlaq. Mujtahid menurut mereka
adalah seseorang yang memiliki sifat ini dan ini, sifat-sifat yang mungkin tidak
dimiliki oleh seseorang seperti Abū Bakar dan Umar.
Ini adalah pokok perkara yang keenam yang ingin beliau sampaikan (yaitu) ingin
membantah kerancuan (subhat) yang telah diletakkan oleh syaithān didalam
mengajak manusia meninggalkan Al Qur’ān, meninggal As Sunnah dan mengajak
manusia untuk mengikuti pendapat-pendapat dan mengikuti hawa-hawa nafsu dan ini
adalah subhat yang terkadang masih ada diantara kita yang mengamalkannya,
mengikutinya. Syaithān berusaha untuk menjauhkan manusia dari petunjuk Allāh
Subhānahu wa Ta’āla. Allāh Subhānahu wa Ta’āla ketika melaknat syaithān dan
mengeluarkan dari Surga demikian pula menurunkan nabi Ādam alayhissallām maka
Allāh Subhānahu wa Ta’āla juga menurunkan petunjuk yang barangsiapa mengikuti
petunjuk tersebut maka dia akan selamat di dunia juga di akhirat. Namun
barangsiapa yang berpaling dari petunjuk yang sudah Allāh turunkan maka dia akan
celaka.
َف َعلَ ۡي ِهمۡ َواَل هُمۡ يَ ۡح َزنُون َ وا ِم ۡنهَا َج ِميعٗ ۖا فَِإ َّما يَ ۡأتِيَنَّ ُكم ِّمنِّي ه ُٗدى فَ َمن تَبِ َع هُدَا
ٌ ي فَاَل خ َۡو ۡ قُ ۡلنَا
ْ ُٱهبِط
Kami katakan, “Hendaklah kalian turun semuanya baik nabi Ādam alayhissallām
maupun syaithān, apabila telah datang kepada kalian huda petunjuk dari Allāh
Subhānahu wa Ta’āla maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk ku yang telah
diturunkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, maka tidak ada ketakutan baginya dan
mereka tidak akan bersedih”
Dan syaithān ketika melihat bahwasanya ini adalah petunjuk Allāh Subhānahu
wa Ta’āla yang apabila di ikuti seseorang akan selamat mendapat petunjuk maka di
berusaha untuk menjauhkan manusia dari memahami petunjuk Allāh mengilmui
apalagi mengamalkan petunjuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Diantara caranya seperti
yang disebutkan oleh pengarang disini subhat (kerancuan) yang diletakkan oleh
syaithān supaya manusia meninggal Al Qur’ān dan As Sunnah dan supaya mereka
hanya mengikuti pendapat-pendapat manusia dan hawa nafsu mereka.
Apabila seseorang sudah jauh dari Al Qur’ān jauh dari As Sunnah, tidak mau
memahami Al Qurān dan juga Sunnah maka dia akan jauh dari petunjuk Allāh
Subhānahu wa Ta’āla. Inilah maksud dari syaithān menyampaikan kerancuan ini
kepada manusia dan yang dimaksud dengan al mujtahid al mutlaq adalah mujtahid
yang memiliki syarat-syarat sebagaimana disebutkan oleh para ulamā yang mereka
menguasai bahasa Arab, menguasai ushul fiqih, ushul hadīts, ushul tafsir, mengenal
sebagian besar dari ayat-ayat Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan memahaminya dan
menghapalnya, memahami dan menghapal sebagian besar dari hadīts-hadīts Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan juga syarat-syarat yang lain yang disebutkan oleh
para ulamā.
Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Ushulu AsSittah
Mereka mengatakan yang dimaksud dengan mujtahid adalah yang memiliki sifat
ini dan itu, sifat-sifat yang mungkin tidak dimiliki oleh seseorang seperti Abū Bakar
dan Umar.
Karena seperti Abū Bakar radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, tidak semua hadīts Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam sampai kepada beliau radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, disana ada
beberapa hadīts yang tidak sampai kepada Abū Bakar radhiyallāhu ta’āla ‘anhu
(seperti) ketika beliau didatangi oleh seorang nenek yang bertanya tentang
bagiannya dari harta warisan.
Dan ketika ditanya, maka Abū Bakar radhiyallāhu ta’āla ‘anhu tidak mengetahui
tentang bagian seorang nenek dari harta warisan. Kemudian sebagian shahābat
mengabarkan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberi seorang
nenek 1/6 dari harta warisan. Menunjukkan bahwasanya tidak semua hadīts Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam sampai kepada Abū Bakar radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.
Demikian pula Umar ada bebapa hadīts yang tidak sampai kepada beliau,
sebagaimana ketika sebagian shahābat mengabarkan tentang hadītsul istidzan.
Hadīts yang isinya adalah diantara adab meminta izin ketika bertamu, apabila
seseorang mengetuk pintu 3 kali maka hendaklah dia meninggalkan rumah tersebut.
Dan ini tidak diketahui oleh Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta’āla ‘anhu,
menunjukkan bahwasanya ada beberapa hadīts yang tidak sampai kepada Umar bin
Khaththāb.
Demikian pula ketika beliau radhiyallāhu ta’āla ‘anhu bersama sebagian
shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, ketika mereka akan memasuki kota Syām,
dizaman ke khalifahan Umar bin Khaththāb. Namun ternyata disana ada thā’ūn
(tersebar wabah penyakit) sehingga saat itu para shahābat radhiyallāhu ta’āla
‘anhum diajak bermusyawah oleh Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta’āla ‘anhu,
“Apakah kita akan pulang kembali ke kota Madīnah atau kita terus memasuki kota
Syām yang disitu sedang tersebar wabah penyakit (sedang tersebar thā’ūn)”.
Ini menunjukkan bahwa ada sebagian hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam
yang tidak sampai kepada Abu Bakar dan juga Umar radhiyallāhu ta’āla ‘anhumā
tetapi diketahui dan sampai kepada shahābat yang lain.
Supaya mereka didalam agamanya hanya melakukan taqlid buta yang tercela.
Kemudian Beliau rahimahullāh mengatakan:
ك َواَل ِإ ْش َكا َل فِ ْي ِه ِ ك فَ ْليُع
َّ ْرضْ َع ْنهُ َما فَرْ ضًا َح ْت ًما اَل َش َ ِفَِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن اِإْل ْن َسانُ َك َذل
Kemudian dia mengatakan apabila seseorang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka
hendaklah dia berpaling dari Al Qur’ān dan Sunnah tersebut, dan ini adalah wajib
yang tidak ada keraguan didalamnya dan tidak ada masalah didalamnya.
Ini adalah ucapan sebagian orang, apabila seseorang tidak memiliki syarat-
syarat tersebut, maka hendaklah dia berpaling dari Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan ini menurut mereka adalah kewajiban.
Dan barangsiapa ynag berusaha untuk mencari petunjuk dari Al Qur’ān dan juga
hadīts, maka kata mereka dia adalah seorang yang zindīq, pendusta ataua dia
seorang yang gila.
Kenapa demikian?
Mereka mengatakan karena susahnya memahami Al Qur’ān dan juga hadīts Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Ini adalah ucapan sebagian manusia yang ingin memalingkan kaum muslimin dari Al
Qur’ān dan juga Sunnah.
تى بلغت إلى حد..وه ش..بهة الملعونة من وج..ذه الش..راً في رد ه..ا ً وأم.دراً خلق..رعا ً وق..بحانه ش..ده كم بين هللا س..بحان هللا وبحم..فس
الضروريات العامة
“Maka Maha Suci Allāh dan segala puji bagi Nya. Betapa banyak dan betapa sering
Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjelaskan baik secara syar’iat didalam Al Qur’ān
maupun hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, atau secara taqdir, khalqan
dan amran maknanya hampir sama, betapa banyak Allāh menjelaskan dan membantah
kerancuan yang terlaknat ini, dengan berbagai cara dengan berbagai ushlub dengan
berbagai metode sehingga metode-metode tersebut sampai pada batas yang dharuri
akan tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahui”
Jadi mualif (pengarang) disini ingin menjelaskan kepada kita bahwasanya Allāh telah
menjelaskan didalam Al Qur’ān hal yang membantah kerancuan tadi.
Mereka mengatakan bahwasanya Al Qur’ān dan Sunnah tidak dipahami kecuali oleh
seorang yang mujtahid mutlaq, padahal Allāh dan Rasūl Nya tidak menerangkan
demikian.
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’ān untuk pelajaran, maka adakah
orang yang mengambil pelajaran?”
Allāh mengatakan disini, رْ نَا. ْد يَ َّس.َ( َولَقdan sungguh kami telah mudahkan), Allāh telah
turunkan Al Qur’ān dan Allāh telah mudahkan kalimat-kalimatnya, makna-maknanya
supaya kita bisa berdzikir dengan Al Qurān tersebut (mengingat Allāh dengan Al
Qurān tersebut).
Berbeda dengan ucapan mereka yang mengatakan bahwasanya sangat sulit dan susah
untuk memahami Al Qur’ān dan Sunnah.
Allāh mengatakan َولَقَ ْد يَسَّرْ نَاdan mereka mengatakan susah untuk memahami Al Qur’ān
dan Sunnah.
ب َأ ْقفَالُهَآ
ٍ َأفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْٱلقُرْ َءانَ َأ ْم َعلَ ٰى قُلُو
Ini adalah anjuran dan dorongan dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla, supaya kita mau
mentadaburi apa yang datang dari Allāh berupa Al Qur’ān.
Dan seseorang tidak mungkin bisa mentadaburi kecuali apabila dia memahami apa
yang ada didalam Al Qur’ān tersebut.
Seandainya Al Qur’ān tidak bisa dipahami kecuali oleh seseorang yang mujtahid yang
mutlaq, niscaya Allāh tidak akan mendorong kita untuk mentadaburi Al Qur’ān, tetapi
ternyata Allāh menyuruh kita, mendorong kita, mengajak kita untuk mentadaburi Al
Qur’ān.
Menunjukkan bahwasanya Al Qur’ān bisa dipahami oleh seorang yang awam, seorang
penuntut ilmu, demikian pula oleh para ulamā.
ب ۟ ُك لِّيَ َّدبَّر ُٓو ۟ا َءايَ ٰـتِِۦه َولِيَتَ َذ َّك َر ُأ ۟ول
ِ وا ٱَأْل ْلبَ ٰـ َ ِكتَ ٰـبٌ َأنز َْلنَ ٰـهُ ِإلَ ْي
ٌ ۭ ك ُمبَ ٰـ َر
“Ini adalah sebuah kitāb yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran.”
Allāh turunkan Al Qur’ān kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita
mentadabburi, bukan hanya sekedar dibaca tetapi tidak memahami maknanya.
Membaca Al Qur’ān adalah amal shālih dan seseorang mendapat pahala dari membaca
Al Qur’ān sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Satu huruf yang kita baca, kita mendapat 10 kebaikan, namun tidak cukup dengan
hanya membaca dengan baik, dengan tahsin dengan tajwid, kemudian seseorang
meninggalkan memahami Al Qur’ān, karena justru tujuan utama diturunkannya Al
Qur’ān adalah agar kita memahami Al Qur’ān tersebut kemudian kita amalkan Al
Qur’ān tersebut.
Tentunya dalam hal ini pemahaman antara seorang ulamā dengan seorang penuntut
ilmu dengan seorang yang awam ini berbeda-beda.
Satu ayat dibaca oleh seorang ulamā dan dibaca oleh seorang penuntut ilmu, dibaca
oleh seorang yang awam tentunya pemahaman masing-masing berbeda-beda sesuai
dengan apa yang Allāh berikan kepada mereka.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah memudahkan Al Qur’ān untuk dipahami dan Allāh
memerintahkan untuk mentadaburinya.
َ لَّ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُون.ِإنَّآ َأنز َْلنَ ٰـهُ قُرْ ٰ َءنًا َع َربِ ۭيًّا
(QS. Yūsuf: 2)
Berbeda dengan yang diucapkan oleh sebagian manusia yang mereka mengatakan
bahwasanya Al Qur’ān dan Sunnah hanya dimengerti dan dipahami oleh seorang
mujtahid mutlaq, yang tidak memiliki sifat-sifat tertentu sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh disini yang mungkin tidak dimiliki oleh seseorang seperti Abū Bakar dan
juga Umar radhiyallāhu ta’āla ‘anhumā.
لى هللا عليه.بي ص.وا من الن. وعبد هللا بن مسعود وغيرهما أنهم كانوا إذا تعلم. بن عفان. عثمان: حدثنا الذين كانوا يقرئوننا القرآن
وسلم عشر آيات لم يتجاوزوها حتى يعلموا ما فيها من العلم والعمل
Artinya mereka berusaha untuk memahami 10 ayat yang mereka dapat dari
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan berusaha untuk mengamalkan 10 ayat
tersebut.
Tidak berpindah kepada ayat yang lain kecuali setelah mereka memahami dan kecuali
setelah mereka mengamalkan 10 ayat tersebut.
Oleh karena itu apabila ada diantara shahābat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang
menghapal sebuah surat, maka ketahuilah bahwasanya dia memahami ayat tersebut,
memahami surat tersebut dan juga mengamalkan apa yang ada didalamnya.
Apabila ada seorang shahābat Nabi yang menghapal surat Al Baqarah atau
menghapal surat Āli Imrān, berarti dia telah memahami isinya dan mengamalkan apa
yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu orang yang menghapal surat Al Baqarah dan Āli Imrān diantara
kalangan shahābat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, itu menjadi orang yang memiliki
kedudukan yang tinggi disisi para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum.
ٰ
ۡ ِدي ِهم.ان فَهُم ُّم ۡق َمحُونَ ۞ َو َج َع ۡلنَا ِم ۢن بَ ۡي ِن َأ ۡي ِ َق ۡٱلقَ ۡو ُل َعلَ ٰ ٓى َأ ۡكثَ ِر ِهمۡ فَهُمۡ اَل ي ُۡؤ ِمنُونَ ۞ ِإنَّا َج َع ۡلنَا فِ ٓي َأ ۡع ٰنَقِ ِهمۡ َأ ۡغلَاٗل فَ ِه َي ِإلَى ٱَأۡل ۡذق َّ لَقَ ۡد َح
ۡ ِّ ۡ َأ َأ
ذك َر. َع ٱل. َ ِذ ُر َم ِن ٱتَّب. صرُونَ ۞ َو َس َوٓا ٌء َعلَ ۡي ِهمۡ َء ن َذ ۡرتَهُمۡ مۡ لَمۡ تُن ِذ ۡرهُمۡ اَل يُؤ ِمنُونَ ۞ ِإنَّ َما تُن ٰ َأ ۡ
ِ َس ٗ ّدا َو ِمن خَلفِ ِهمۡ َس ّدا فَ غش َۡينَهُمۡ فَهُمۡ اَل ي ُۡب
ۡ ٗ ۡ
ِ ۖ َش َي ٱلر َّۡح ٰ َمنَ بِ ۡٱلغ َۡي
ب فَبَ ِّش ۡرهُ بِ َم ۡغفِ َر ٖة َوَأ ۡج ٖر َك ِر ٍيم ِ ۞ َوخ
“Dan sungguh, telah tetap atas mereka ketetapan Allāh Subhānahu wa Ta’āla atas
sebagian besar mereka, bahwasanya mereka tidak beriman.
Dan kami telah menjadikan dari depan mereka penutup dan dari belakang mereka
penutup, maka kami menutupi mereka sehingga mereka tidak bisa melihat.
“Dan sama saja apakah engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak
memberikan peringatan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan beriman.
Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, memberikan peringatan kepada orang yang
mengikuti adzikr mengikuti Al Qur’ān, dan dia takut kepada Allāh dalam keadaan
ghāib, maka berikanlah kabar gembira padanya dengan ampunan dan pahala yang
melimpah dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla”
⇒ Ayat-ayat yang disebutkan oleh pengarang disini, adalah surat Yāsīn ayat ke-7
sampai 11.
Menunjukkan tentang bagaimana orang yang berpaling dari adzikr Al Qur’ān yang
Allāh turunkan, dan bahwasanya mereka ditutupi dari arah depannya dari arah
belakangnya sehingga mereka tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar.
Maka orang yang mau mengikuti Al Qur’ān, mengikuti adzkr dan takut kepada Allāh
padahal Allāh adalah ghāib, maka kabarkanlah dia dengan ampunan dan pahala yang
besar dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Itulah perkara yang keenam yang ingin disampaikan oleh pengarang disini semoga
bisa bermanfaat kemudian beliau menutup kitāb beliau dengan mengatakan:
صحْ بِ ِه َو َسلَّ َم تَ ْسلِ ْي ًما َكثِ ْيرًا ِإلَى يَوْ ِم ال ِّدي ِْن
َ صلَّى هللاُ َعلَى نَبِيِّنَا ُم َح َّم ٍد َوآلِ ِه َو
َ َو