Anda di halaman 1dari 64

HSI Silsilah Pembahasan Kitab

Al-Ushulu As-Sittah
Abdullah Roy
Halaqah 1 | Muqaddimah Ushulu As-Sittah Bagian 1
Halaqah yang pertama dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi Rahimahullah.

Kita akan bersama-sama mempelajari tentang sebuah kitab yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab bin Sulaiman At Tamimi Rahimahullah yaitu kitab yang berjudul Al-Ushulu As-Sittah
yang artinya enam kaidah.
Dan ini adalah termasuk karangan beliau yang sangat bermanfaat. Dan dia meskipun ringkas akan tetapi
mengandung banyak faedah. Yang hendaknya seorang muslim mengetahui faedah-faedah ini.

Beliau menyebutkan di dalam kitab ini, enam perkara yang sangat penting.
Beliau adalah seorang ulama yang bernama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman At
Tamimi. Beliau lahir pada tahun 1115 Hijriyyah dan menimba ilmu agama ini semenjak kecil. Dan
diantara gurunya adalah bapak beliau sendiri, demikian pula ulama-ulama besar yang lain di zaman
beliau, seperti Asy Syaikh Muhammad Al Hayah As Sindi, dan juga yang lain.
Dan di dalam mencari ilmu, beliau telah pergi ke beberapa daerah, diantaranya adalah ke Basrah,
demikian pula ke daerah-daerah di Hijaz seperti Mekkah dan juga Madinah dan menimba ilmu dari para
ulama yang tinggal di sana.

Dan hampir-hampir beliau menuju ke kota Syam (daerah Syam) untuk menimba ilmu di sana, hanya
karena ada rintangan dan halangan tertentu akhirnya beliau mengurungkan niatnya.
Dan beliau termasuk ulama yang gigih di dalam menghidupkan Al Qur’an, menghidupkan As Sunnah,
mengajak manusia kembali kepada Allah, bertauhid kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Dan beliau meninggal pada tahun 1206 Hijriyyah. Dan telah meninggalkan karangan yang sangat
banyak, yang sangat bermanfaat.
Diantaranya adalah:
– Al Ushul Ats-Tsalatsah
– Al Qawa’idul Arba’
– Ushulul Iman
– Kasyfusy Syubuhat
– Kitabut Tauhid
Dan diantaranya adalah kitab yang Insya Allah akan kita pelajari yaitu Al-Ushulu As-Sittah.
Beliau berkata,
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
Memulai kitabnya dengan basmalah.
Meniru dan mengikuti apa yang Allah lakukan di dalam Al Qur’anul Karim, karena Allah Subhānahu
wa Ta’āla memulai kitabnya dengan basmalah.
Demikian pula mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika Beliau menulis surat yang isinya
adalah dakwah kepada raja-raja yang ada di zaman Beliau ‫ﷺ‬. Beliau memulai kitabnya dengan
basmalah.

Oleh karena itu di sini pengarang memulai kitabnya dengan basmalah.


‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
Dan ‫ ب‬di sini adalah ‫ ب‬al-isti’anah yaitu ‫ ب‬yang fungsinya untuk memohon pertolongan.
Orang yang mengatakan ‫ بسم هللا‬pada hakikatnya dia telah memohon pertolongan kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Ismillah dengan nama Allah.
Kalimat yang mufrad, yang tunggal, yaitu ism dan dia disandarkan kepada kalimat lafdzul jalalah dan
ini maknanya adalah mencakup seluruh nama Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Orang yang mengatakan ‫ بسم هللا‬berarti dia telah beristi’anah (memohon) pertolongan dengan seluruh
nama Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Allah (lafdzul jalalah) adalah nama Allah yang paling a’dham (paling besar) yang disandarkan
kepadanya nama-nama Allah yang lain.

Oleh karena itu setelahnya disebutkan Ar-Rahman Ar-Rahim. Dan Ar-Rahman Ar-Rahim adalah nama
diantara nama-nama Allah.
Diambil dari Ar-Rahmah yang artinya kasih sayang.
Dan perbedaan antara Ar-Rahman dengan Ar-Rahim disebutkan oleh para ulama diantaranya adalah:
Ar-Rahman adalah kasih sayang Allah yang lebih umum mencakup orang yang beriman dan mencakup
orang yang kafir kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Orang kafir juga mendapatkan bagian dari kasih sayang Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Allah memberikan rezeki kepada mereka, memberikan makan kepada mereka, memberikan minum
kepada mereka, memberikan kesehatan kepada mereka, memberikan anak, memberikan istri,
memberikan harta, dan ini semua adalah termasuk kasih sayang Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Adapun Ar-Rahim, maka mengandung rahmat, mengandung kasih sayang yang lebih khusus yaitu kasih
sayang yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman.
Berupa hidayah kepada jalan yang lurus, berupa keimanan, berupa rasa tenang ketika dzikrullah.

Ini semua adalah termasuk kasih sayang Allah Subhānahu wa Ta’āla akan tetapi dikhususkan oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla kepada orang-orang yang beriman dengan Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Halaqah 2 | Muqaddimah Ushulu As-Sittah Bagian 2
Halaqah yang ke dua dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,


َّ ُ‫ظ ُّنه‬
َ‫الظا ُّنون‬ ُ ‫اض ًحا لِلعَ َّوام فَوقَ َما ي‬ ُ ُ ‫ب ِستَّةُ أ‬
ِ ‫صول َب َّي َن َها هللاُ تَعَالَى َب َيا ًنا َو‬ ِ ‫علَى قُد َرةِ ال َملِكِ الغ َََّّل‬ ِ ‫ َوأَك َب ِر اآل َيا‬، ‫ب‬
َ ‫ت الدَّالَ ِة‬ ِ ‫مِ ن أَع َج‬
ِ ‫ب العُ َجا‬
“Termasuk sesuatu yang paling mengherankan, yang paling menakjubkan, dan termasuk tanda-tanda
kekuasaan Allah yang paling besar yang menunjukkan tentang kekuasaan Allah, Dzat yang Maha
Menguasai. Perkara-perkara atau pokok-pokok yang dijelaskan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla
dengan penjelasan yang sangat jelas bahkan dipahami oleh orang-orang awam, orang-orang yang biasa
di dalam kecerdasannya di atas dari apa yang disangka oleh orang-orang yang menyangka.”

‫ط فيها كَثير مِ ن أَذكِياءِ العَالَـم‬


َ ‫غ ِل‬
َ ‫ث َّم َبعدَ هَذا‬
“Kemudian setelah itu salahlah kebanyakan dari orang-orang yang cerdas diantara manusia ini.”

ِ ‫عقَ ََّل ُء‬


‫ابن آد ََم‬ ُ ‫َو‬
“Dan orang-orang yang berakal dari anak-anak Adam.”
‫ِإ َّّل أَقَ َّل القَلِي ِل‬
“Kecuali sedikit saja diantara mereka.”

Maksud dari ucapan beliau rahimahullah di dalam muqaddimah kitab beliau ini,
“Bahwasanya di sana ada perkara-perkara (yang maksudnya adalah enam perkara yang selalu akan
beliau sebutkan) yang telah Allah jelaskan di dalam Al Quranul Karim dengan penjelasan yang sangat
jelas. Sampai saking jelasnya, perkara-perkara ini dipahami oleh orang-orang yang awam sekalipun
atau kasarannya orang yang bodoh, orang yang jahil. Akan tetapi ternyata banyak diantara orang-orang
yang cerdas salah di dalam memahami perkara ini.”

Dipahami oleh sebagian orang, bahkan orang yang awam, akan tetapi di sana ada orang yang cerdas
atau bahkan dianggap pintar dan ulama oleh sebagian manusia, akan tetapi ternyata dia salah di dalam
memahami enam perkara ini.
Ini adalah maksud dari ucapan beliau rahimahullah di dalam muqaddimah kitab ini.

Sebelum beliau menyebutkan enam perkara ini, beliau ingin menyampaikan kepada kita, mengingatkan
kepada kita, bahwasanya perkara-perkara yang akan beliau sebutkan, dipahami oleh orang awam akan
tetapi banyak orang yang cerdas dan mengaku dia adalah mengemban ilmu agama ternyata dia salah di
dalam memahami perkara tersebut.
Dan ini menunjukkan kepada kita bahwasanya hidayah dan taufiq adalah di tangan Allah Subhānahu
wa Ta’āla, tidak berkaitan dengan kecerdasan seseorang.
Terkadang Allah Subhānahu wa Ta’āla menunjukkan Al Haq (kebenaran) kepada seorang yang
mungkin diantara manusia dianggap sebagai orang yang awam. Namun Allah mengharamkan
kebenaran ini dari sebagian orang yang dianggap sebagai orang yang cerdas.

Dan ini menunjukkan bahwasanya hidayah dan taufiq (petunjuk) adalah di tangan Allah Subhānahu wa
Ta’āla.
‫شآء‬
َ ‫شا ٓ ُء َو َيهدِى َمن َي‬
َ ‫ُض ُّل َمن َي‬
ِ ‫ي‬
“Allah Subhānahu wa Ta’āla menyesatkan siapa yang dikehendaki, dan memberikan hidayah kepada
siapa yang dikehendaki.”
(QS. An Nahl: 93/QS. Fathir: 8)

Meskipun dia adalah orang yang awam, dianggap terbelakang oleh sebagian orang, tetapi kalau Allah
Subhānahu wa Ta’āla berkehendak memberikan hidayah kepadanya niscaya dia termasuk orang yang
mendapatkan petunjuk.

Dan ini menjadikan kita untuk senantiasa merendahkan diri kita di hadapan Allah Subhānahu wa Ta’āla,
meminta hidayah kepada-Nya.

Dan kita jangan bertawakal dengan ilmu yang kita miliki, kecerdasan yang kita miliki, meminta kepada
Allah Subhānahu wa Ta’ala petunjuk supaya Allah menunjukkan kepada kita kebenaran dan
menjauhkan kita dari syubhat dan juga kebathilan.
Halaqah 3 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 1
Halaqah yang ke tiga dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau menyebutkan perkara yang pertama yang dipahami oleh orang-orang awam di
kalangan kaum muslimin akan tetapi banyak orang-orang cerdas yang tidak memahami perkara ini.
Beliau mengatakan,

ِ ‫ َو َب َيا ُن‬، ُ‫ِل تَ َعالَى َوحدَهُ َّل ش َِريكَ له‬


ِ ‫ض ِد ِه الذِي ه َُو الشِركُ ِبا‬
‫لل‬ ُ ‫ ِإخ ََّل‬: ‫اَْلَص ُل اْل َ َّو ُل‬
ِ ِ ‫ص الدِي ِن‬
Perkara yang pertama adalah:
Mengikhlaskan agama untuk Allah Subhānahu wa Ta’āla, tidak ada sekutu baginya, dan menjelaskan
lawan dari keikhlasan ini yaitu syirik kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Diantara perkara yang sudah Allah jelaskan di dalam Al Qur’an dengan penjelasan yang gamblang
(penjelasan sangat jelas) adalah masalah mengikhlaskan agama ini hanya untuk Allah dan bahwasanya
tidak ada sekutu bagi Allah Subhānahu wa Ta’āla, juga menjelaskan tentang bahaya syirik kepada Allah
Subhānahu wa Ta’āla.

Ini semua Allah sebutkan dengan jelas di dalam Al Qur’an.


‫شتَّى ِبك َََّلم َيف َه ُمهُ أَبلَدُ ال َعا َّم ِة‬
َ ‫ان َهذَا اْلَص ِل مِ ن ُو ُجوه‬ ِ ‫َوكَو ُن أَكثَ ِر القُر‬
ِ ‫آن فِي َب َي‬
Dan bahwasanya sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an adalah untuk menjelaskan tentang:
1. Ikhlas kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam ibadah.
2. Menjelaskan tentang bahayanya kesyirikan di dalam beribadah kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

‫شتَّى‬
َ ‫مِ ن ُو ُجوه‬
“Dalam bentuk-bentuk yang sangat berbeda, dengan cara yang berbeda.”
Artinya Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al Qur’an menjelaskan tentang perkara ini dalam berbagai
cara (penjelasan).
‫ِبك َََّلم َيف َه ُمهُ أَبلَدُ ال َعا َّم ِة‬
“Dengan ucapan yang dipahami oleh bahkan orang yang paling bodoh diantara orang-orang awam.”
Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan Al Qur’an ini sebenarnya semuanya adalah tauhid dari
awal sampai akhir.

Dan diantara buktinya, surat yang pertama, demikian pula surat yang terakhir isinya adalah tentang
masalah tauhid.
Al Fatihah penuh dengan makna tauhid.
‫لرحِ ي ِم ۞ َم ٰـلِكِ َي ۡو ِم ٱ ِلدي ِن ۞ ِإ َّياكَ نَعۡ ُبدُ َو ِإ َّياكَ نَسۡ تَ ِعي ُن‬ َّ ‫ب ٱ ۡل َع ٰـلَمِ ينَ ۞ ٱ‬
َّ ‫لرحۡ َم ٰـ ِن ٱ‬ ِ َّ ِ ُ‫ٱ ۡل َحمۡ د‬
ِ ‫ِل َر‬
Di dalamnya ada:

• Tauhid Asma’ wa Shifat

• Tauhid rububiyah

• Tauhid al uluhiyyah

‫ِإ َّياكَ نَعۡ ُبدُ َو ِإ َّياكَ نَسۡ تَ ِعي ُن‬

“Hanya kepada-Mu lah Ya Allah, kami menyembah dan hanya kepada-Mulah Ya Allah, kami
memohon pertolongan.”

Demikian pula surat An Naas,

ِ ‫اس ۝ إِلَ ٰـ ِه ٱل َّن‬


( ‫اس‬ ِ ‫اس ۝ َملِكِ ٱل َّن‬
ِ ‫ب ٱل َّن‬ ُ َ ‫)قُ ۡل أ‬
ِ ‫عوذُ ِب َر‬

Ini semua adalah tauhid kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla (meminta perlindungan kepada Allah
Subhānahu wa Ta’āla) Raja manusia, sesembahan manusia.
Semua surat di dalam Al Qur’an isinya adalah tentang tauhid.
Penjelasan tentang bagaimana keutamaan tauhid, bagaimana cara bertauhid, penjelasan tentang bahaya
kesyirikan, apa bentuk kesyirikan, penjelasan tentang pahala bagi orang yang bertauhid dan adzab bagi
orang yang berbuat syirik.
kisah yang ada di dalam Al Qur’an banyak diantaranya yang berkaitan dengan masalah tauhid.

Bagaimana kisah nabi Nuh alayhissallam?


Kisahnya adalah bagaimana beliau berdakwah dan mendakwahi umatnya kepada tauhid.
Demikian pula kisah nabi Shalih, nabi Hud, nabi Syu’aib dan juga nabi-nabi yang lain.
Kalau kita tadabburi ternyata Al Qur’an semuanya adalah masalah tauhid. Masalah (mengikhlaskan
ibadah untuk Allah Subhānahu wa Ta’āla) dan tentang bahaya kesyirikan.
Namun ternyata banyak diantara manusia yang tidak memahami tentang perkara ini.
Bahkan termasuk orang yang cerdas diantara mereka.

Kenapa demikian?
Diantara sebabnya adalah:
1. Al I’rodh (seseorang berpaling dari agama Allah Subhānahu wa Ta’āla).
Tidak mau mempelajari agama Allah, sibuk dengan yang lain (sibuk dengan dunianya, sibuk dengan
hobinya).
Dan dia berpaling tidak mau menekuni dan tidak mau mempelajari agama Allah Subhānahu wa Ta’āla.
2. Al Kibr (sombong).
Dia mengetahui kebenaran akan tetapi dia tidak mau mengamalkan dan menerima kebenaran tersebut.
Sebagaimana dilakukan oleh iblis ketika diperintahkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla melakukan
sujud penghormatan kepada nabi Adam alayhissallam akan tetapi enggan dan sombong, dan dia adalah
termasuk orang-orang yang kafir.
Al Qur’an diturunkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla tujuan utamanya adalah untuk diamalkan,
ditadabburi, dipahami dan bukan hanya sekedar dibaca atau diperbaiki tajwidnya atau diambil
berkahnya ketika membaca.

Semua itu adalah termasuk kebaikan, akan tetapi bukan tujuan utama diturunkannya Al Qur’an.
Tujuan utama diturunkannya Al Qur’an adalah untuk ditadabburi kemudian setelah itu diamalkan di
dalam kehidupan kita sehari-hari.

ِ ‫ِكتَ ٰـب أَنزَ ل َن ٰـهُ ِإلَيكَ ُم َب ٰـ َرك ِل َيدَّ َّب ُر ٓوا َءا َي ٰـ ِت ِهۦ َو ِل َيتَذَ َّك َر أُولُوا ٱْلَل َب ٰـ‬
‫ب‬
(QS. Sad: 29)

Sebuah Kitab (Al Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu yang berbarokah supaya mereka manusia
mentadabburi ayat-ayat Allah Subhānahu wa Ta’āla, memikirkan, membaca, kemudian memahami
maknanya dan memikirkan makna tersebut. Dan supaya orang-orang yang cerdas dan berakal
mengingat Allah Subhānahu wa Ta’āla dengan membaca ayat-ayat tersebut.
Halaqah 4 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 2
Halaqah yang ke empat dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,


‫ َوأَظ َه َر لَ ُه ُم‬،‫صير في ُحقو ِق ِهم‬ ِ ‫صالِحينَ َوالتَّق‬ ِ ُّ‫ور ِة تَ َنق‬
َّ ‫ص ال‬ َ ‫ص‬ َّ ‫صار؛ أَظ َه َر لَـ ُه ُم ال‬
َ ‫شيطا ُن اإلخ‬
ُ ‫َّلص في‬ َ ‫على أَكثَ ِر اْل ُ َّم ِة َما‬
َ ‫صار‬
َ ‫ث َّم لَـ َّما‬
‫صالِحينَ َو ِاتبا ِع ِهم‬َّ ‫ورةِ َمح َّب ِة ال‬
َ ‫ص‬ُ ‫الشِركَ ِباللِ في‬

Kemudian ketika menimpa umat ini apa yang menimpanya berupa kejahilan dan lain-lain, maka
syaithan menampakkan kepada mereka, bahwasanya keikhlasan dan tauhid ini adalah sebagai bentuk
penghinaan dan peremehan terhadap orang-orang yang shalih.

Ketika menimpa umat ini kebodohan, dan mereka jauh dari ilmu agama, jauh dari bimbingan para
ulama, jauh dari petunjuk Al Qur’an dan juga hadits, maka syaithan menampakkan kepada mereka,
bahwasanya tauhid (meng-Esa-kan Allah Subhānahu wa Ta’āla) itu artinya adalah meremehkan orang-
orang yang shalih dan meremehkan hak-hak meraka. Dan ini adalah salah satu bentuk talbis dari
syaithan dalam usaha menyesatkan manusia.
Syaithan menampakkan di mata manusia bahwasanya orang yang bertauhid berarti dia adalah orang
yang tidak menghormati orang yang shalih, tidak menghormati Nabi, tidak menghormati wali.

Dan untuk memperjelas perkara ini kita terangkan kembali bagaimana kisah nabi Nuh alayhissallam
bersama kaumnya dan bagaimana awal terjadinya kesyirikan di permukaan bumi ini.
Di zaman nabi Nuh alayhissallam, ada lima orang yang shalih yang dikenal oleh kaumnya dengan
ibadahnya, dengan amalannya, dengan keshalihannya.
Ketika mereka berlima ini meninggal dunia, datanglah syaithan dan mewahyukan kepada mereka (kaum
nabi Nuh) supaya mereka membuat patung-patung, kemudian dinamakan dengan nama orang-orang
yang shalih tersebut.

Tujuannya adalah supaya ketika mereka merasa malas di dalam beribadah, ketika mereka melihat
orang-orang shalih tersebut berada di hadapan mereka di majelis mereka, meskipun sebagai patung,
diharapkan mereka bisa bersemangat kembali, mengingat tentang keshalihan mereka dan semangat di
dalam beribadah kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Ketika generasi ini meninggal dunia, datang kembali syaithan dan mengatakan kepada orang-orang
tersebut, bahwasanya bapak-bapak kalian dahulu membuat patung-patung ini, tujuannya adalah untuk
diibadahi, disembah.
Dan telah dilupakan ilmu, maka akhirnya mereka menyembah orang-orang shalih tersebut yang dibuat
simbolnya berupa patung. Ini adalah awal terjadinya kesyirikan di permukaan bumi.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,
‫عا َو َّل َيغُوثَ َو َيعُوقَ َونَس ًرا‬ ُ ‫َوقَالُوا َّل تَذَ ُر َّن َءا ِل َهتَ ُكم َو َّل تَذَ ُر َّن َودا َو َّل‬
ً ‫س َوا‬
Dan mereka berkata, “Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan janganlah
kalian tinggalkan Waddan, Suwa’an, Yaghuts dan Ya’uq dan juga Nasr.”
(QS. Nuh: 23)

Mereka ini adalah lima nama orang yang shalih. Ini adalah nama orang-orang shalih yang meninggal
yang kemudian disembah oleh kaumnya nabi Nuh alayhissallam.
Ketika terjadi kesyirikan pertama kali di permukaan bumi yang dilakukan oleh kaumnya nabi Nuh
alayhissallam, akhirnya Allah Subhānahu wa Ta’āla mengutus nabi Nuh yang merupakan rasul yang
pertama.

Allah mengutus nabi Nuh alayhissallam kepada mereka untuk mengajak mereka kembali kepada tauhid
dan menjauhi kesyirikan ini.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

ُ‫ِل َما لَ ُكم ِم ۡن ِإ ٰلَه غ َۡي ُره‬


َ َّ ‫س ۡلنَا نُو ًحا ِإلَ ٰى قَ ۡومِ ِۦه فَقَا َل ٰ َيقَ ۡو ِم ٱ ۡعبُدُوا ٱ‬
َ ‫َولَقَ ۡد أ َ ۡر‬
Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka beliau berkata, “Wahai kaumku!
Sembahlah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah oleh kalian selain Dia.”
(QS. Al Mu’minun: 23)

Beliau mengingatkan umatnya siang dan malam dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan selama
950 tahun, mengajak mereka untuk kembali kepada Allah. Mengingatkan mereka bahwasanya ini
adalah termasuk perbuatan syirik yang tidak diridhai oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla. Meskipun yang
disembah adalah orang-orang shalih. Mengajak mereka untuk bertauhid dan meng-Esa-kan ibadah ini
hanya untuk Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Namun ternyata yang mengikuti dakwah beliau dan ajakan beliau adalah orang yang sangat sedikit dan
menganggap bahwasanya apabila kita hanya menyembah Allah Subhānahu wa Ta’āla, seakan-akan kita
ini telah meremehkan orang-orang yang shalih. Ini adalah termasuk talbis dari iblis laknatullah).
Menganggap (menunjukkan) di mata manusia bahwasanya ikhlas kepada Allah berarti kita harus
meremehkan dan merendahkan kedudukan orang-orang yang shalih.
Oleh karena itu banyak diantara mereka yang menolak dakwahnya nabi Nuh alayhissallam.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

ۡ‫…… َوقَالُوا َّل تَذَ ُر َّن َءا ِل َهتَ ُكم‬..


(QS. Nuh: 23)
Mereka saling berwasiat diantara mereka, “Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan
kalian.”
√ Kita harus menghormati orang yang shalih
√ Kita harus menjunjung tinggi kedudukan mereka
Apabila diminta dan diseru hanya menyembah kepada Allah, hati mereka resah, hati mereka gelisah.
َ‫َو ِإذَا ذُك َِر ٱ َِّلُ َوحۡ دَهُ ٱ ۡش َمأ َ َّز ۡت قُلُوبُ ٱلَّذِينَ َّل ي ُۡؤمِ نُونَ ِبٱ ْۡلٓخِ َرةِ َو ِإذَا ذُك َِر ٱلَّذِينَ مِ ن دُو ِن ِهۦٓ ِإذَا هُمۡ َيسۡ ت َۡبش ُِرون‬
(QS. Az-Zumar: 45)

Apabila hanya disebutkan Allah saja, ketika diminta hanya bertauhid kepada Allah, hati orang-orang
yang tidak beriman kepada akhirat menjadi resah, gelisah, tidak tenang hatinya ketika disebutkan hanya
Allah Subhānahu wa Ta’āla saja.
Tapi ketika disebutkan bersama Allah yang lain, maka tiba-tiba hati mereka menjadi sangat gembira,
bahagia.

Oleh karena itu di sini beliau mengatakan,

“Syaithan menampakkan kepada mereka, bahwasanya ikhlas dan tauhid berarti kita harus
meremehkan orang-orang yang shalih.”
Dan ini sekali lagi adalah termasuk talbis syaithan yang sudah berjanji dari awal di hadapan Allah
Subhānahu wa Ta’āla untuk menyesatkan manusia dan menghias-hiasi diantara mereka yang bathil
menjadi benar, yang benar menjadi bathil dengan berbagai cara. Bagaimana supaya mereka
menyimpang dari shirathal mustaqim, dari jalan yang lurus. Entah menyimpangnya ke kanan, atau ke
kiri, atau ke atas, atau ke bawah, yang jelas mereka menyimpang dari jalan yang lurus. Dari mana bisa
digoda, maka mereka akan menggodanya.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

َ ‫طكَ ٱ ۡل ُمسۡ تَق‬


‫ِيم‬ ِ ۡ‫۞ َْل َ ۡقعُد ََّن لَ ُهم‬
َ ‫ص ٰ َر‬

َ ٰ ۡ‫ش َما ٓ ِئ ِل ِهمۡ َو َّل ت َِجدُ أ َ ۡكثَ َر ُهم‬


َ‫شك ِِرين‬ َ ‫۞ ث ُ َّم َْل ٓ ِت َي َّن ُهم ِمن َب ۡي ِن أ َ ۡيدِي ِهمۡ َومِ ۡن خ َۡل ِف ِهمۡ َو‬
َ ‫ع ۡن أ َ ۡي ٰ َم ِن ِهمۡ َو‬
َ ‫عن‬
(QS. Al A’raf: 16-17)

(Iblis) berjanji untuk menyesatkan mereka dari shirathal mustaqim, dan akan didatangi baik dari
kanannya, dari kirinya, dari atasnya, dari bawahnya, sehingga mereka menjadi orang-orang yang tidak
bersyukur kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Diantaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Syaikh di sini, menghias-hiasi di mata manusia
bahwasanya orang yang bertauhid berarti dia meremehkan orang-orang yang shalih.
Halaqah 5 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 3
Halaqah yang ke lima dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,


‫صالِحِ ينَ َو ِات َبا ِع ِهم‬
َّ ‫صو َر ِة َم َح َّب ِة ال‬ ِ ‫َوأَظ َه َر لَ ُه ُم الشِركَ ِبا‬
ُ ‫لل فِي‬
Dan mereka (syaithan) menjerumuskan manusia ke dalam kesyirikan kepada Allah.
Dengan dipoles seakan-akan itu adalah termasuk mencintai orang-orang yang shalih dan mengikuti
mereka.

Dan ini adalah termasuk makar dan juga tipu daya syaithan.
Tidak langsung mengatakan asyrikbillah (hendaklah engkau menyekutukan Allah), tidak!
Tapi menjerumuskan manusia ke dalam kesyirikan dan dipoles dengan mengatakan, “Ini adalah
termasuk mencintai orang yang shalih.”
Semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla memudahkan kita memahami agama ini, dan menampakkan
kebenaran itu kebenaran dan menampakkan bahwasanya yang bathil adalah sesuatu yang bathil.
Di dalam agama Islam tidak ada pertentangan antara tauhid dan mencintai orang-orang yang shalih,
ikhlas kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla, yang sesuai amalannya dengan Al Qur’an dan juga hadits-
hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang shalih baik dhahirnya maupun bathinnya.

Mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di sisi Allah Subhānahu wa Ta’āla, dengan
ketaqwaan mereka.
‫ِل أَتقَىٰ ُكم‬
ِ َّ ‫ِإ َّن أَك َر َم ُكم عِندَ ٱ‬
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah Subhānahu wa Ta’āla diantara kalian adalah
orang-orang yang paling bertaqwa diantara kalian.”
(QS. Al Hujurat: 13)

Orang-orang yang shalih dan mereka bertingkat-tingkat ketaqwaannya. Kita diperintahkan untuk
menghormati mereka.
‫ِل مِ ن ِع َبا ِد ِه ٱلعُلَ َم ٰـٓؤُا‬
َ َّ ‫إِ َّن َما َيخشَى ٱ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”

(QS. Fathir: 28)


Dan Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
ِ‫إِ َّن العُلَ َما َء َو َرثَةُ اْلَن ِبيَاء‬
“Para ulama adalah pewaris para nabi.”
Mewarisi ilmu mereka, mengajak manusia untuk berpegang teguh dengan warisan para nabi, para ulama
jelas memiliki keutamaan yang tinggi di sisi Allah Subhānahu wa Ta’āla.
kita diperintahkan untuk mencintai, mengikuti, meneladani mereka di dalam keshalihan ini.
Ini adalah cara untuk mencintai orang-orang yang shalih, yaitu dengan mencintai mereka dengan hati
kita sesuai dengan kadar keimanan mereka, demikian pula mengikuti mereka dan meneladani mereka
di dalam ibadah mereka kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Menghormati orang yang shalih dan mencintai mereka adalah diperintahkan, namun penghormatan ini
memiliki batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syar’iat.
Ada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak boleh penghormatan
kita kepada orang-orang yang shalih melebihi dari batasan-batasan ini.
Kalau sampai melebihi maka berarti masuk di dalam apa yang dinamakan dengan Al Ghuluw (berlebih-
lebihan) terhadap orang-orang yang shalih.
Dan ghuluw terhadap orang-orang yang shalih adalah sebab terjadinya kesyirikan pertama kali di
permukaan bumi ini seperti yang terjadi pada kaumnya nabi Nuh alayhissallām.
Oleh karena itu Allah Subhānahu wa Ta’āla mencela ahlul kitab karena mereka berlebih-lebihan
terhadap nabi Isa alayhissallam.

Beliau adalah seorang Rasul, seorang hamba, tetapi mereka saking ghuluw-nya (berlebih-lebihan),
mengatakan bahwasanya Nabi Isa adalah anak Allah Subhānahu wa Ta’āla.
‫ِل َو َك ِل َمتُهُٓۥ أَلقَىٰ َها ٓ ِإ َل ٰى َمر َي َم َو ُروح‬ َ ‫ِل ِإ َّّل ٱل َح َّق ِإ َّن َما ٱل َمسِي ُح عِي‬
ُ ‫سى ٱب ُن َمر َي َم َر‬
ِ َّ ‫سو ُل ٱ‬ ِ َّ ‫علَى ٱ‬ ِ ‫َي ٰـٓأَه َل ٱل ِكتَ ٰـ‬
َ ‫ب َّل تَغلُوا فِى دِي ِن ُكم َو َّل تَقُولُوا‬
‫س ِل ِه‬ ِ َّ ‫ِمن هُفَـَٔامِ نُوا ِبٱ‬
ُ ‫ِل َو ُر‬
(QS. An Nisa: 171)

Wahai Ahlul Kitab, janganlah kalian ghuluw di dalam agama kalian dan janganlah kalian mengatakan
atas nama Allah kecuali yang Haq (kecuali yang memang ada dalilnya). Sementara ucapan mereka, Isa
adalah anak Allah, ini adalah suatu yang tanpa ada dalil dari Allah. Sesungguhnya Isa bin Maryam
adalah seorang Rasulullah, bukan seorang anak Allah dan kalimat Allah yang Allah tiupkan pada
Maryam, yaitu dengan ucapan Allah kun fayakun.
Allah Subhānahu wa Ta’āla mencela orang-orang ahlul kitab, orang-orang Nashrani karena mereka
ghuluw terhadap orang yang shalih, para nabi adalah pemukanya orang-orang shalih.
Demikian pula Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan beliau adalah sebaik-baik Rasul namun
beliau mencela umatnya untuk ghuluw terhadap beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan melarang
mereka untuk ghuluw terhadap beliau.
Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,
‫سى ابنَ َمر َي َم‬
َ ‫ى عِي‬
ِ ‫ار‬
َ ‫ص‬ ِ ‫َّل تُط ُرونِي َك َما أَط َر‬
َ ‫ت ال َّن‬
“Janganlah kalian berlebih-lebihan terhadapku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan
terhadap Isa ibnu Maryam.”
Larangan dari beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada kita semua meskipun kita mencintai beliau
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
َ‫اس أَج َمعِين‬
ِ ‫ّل يُؤمِ ُن أ َ َحدُ ُكم َحتَّى أ َ ُكونَ أ َ َحبَّ إِلَي ِه مِ ن َولَ ِد ِه َو َوا ِل ِد ِه َوال َّن‬

Dan tidak akan dinamakan seseorang beriman sampai mencintai beliau lebih dari anaknya, lebih dari
orang tuanya, lebih dari semua manusia.
Akan tetapi beliau melarang kita berlebih-lebihan terhadap beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
‫إنما أنا عبد فقولوا عبدهللا ورسوله‬

“Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, bukan sesembahan, bukan seorang Tuhan, tapi aku adalah
seorang hamba yang menyembah kepada Allah.

Maka katakanlah oleh kalian bahwasanya aku adalah seorang hamba Allah dan juga seorang Rasul.”
Maka di dalam syahadat ‫ واشهد ان محمدا عبده ورسوله‬dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah
hamba Allah dan juga Rasul-Nya.

Pertama kita bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang hamba, artinya tidak disembah.
Dan ke dua kita bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang Rasul, artinya harus dibenarkan dan diikuti
syar’iatnya.
Kalau kita dilarang untuk berlebih-lebihan kepada beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam tentunya kepada
yang lain lebih dilarang.

Tidak ada yang lebih mulia kedudukannya di sisi Allah daripada beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Dan diantara bentuk ghuluw terhadap orang-orang yang shalih di zaman sekarang adalah diantaranya:

• Berdo’a kepada orang-orang yang shalih yang sudah meninggal atau dinamakan dengan tawasul.

• Demikian pula membangun kuburan mereka, menghias-hiasi kuburan mereka.

• Demikian pula ber’itikaf berdiam diri di kuburan mereka.

Ini semua adalah termasuk bentuk diantara ghuluw terhadap orang-orang shalih.
Berdo’a adalah termasuk ibadah yang tidak boleh diserahkan kecuali kepada Allah Subhānahu wa
Ta’āla.
Halaqah 6 | Penjelasan Pokok Ke Dua Bagian 1
Halaqah yang ke enam dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,
َ َّ
ِ ‫عن التَّف َُّر‬
‫ق فيهِ؛ فَ َبيَّنَ هللاُ هَذا َبيا ًنا شا ِفيًا تَف َه ُمهُ ال َعوا ُّم‬ َ ‫ َو َن َهى‬،‫ِين‬ ِ ‫أ َم َر هللاُ ِباّلجت‬: ‫اْلَص ُل الثاني‬
ِ ‫ِماع في الد‬
Pokok yang ke dua:
Bahwasanya Allah Subhānahu wa Ta’āla telah memerintahkan kita untuk bersatu, berkumpul di dalam
agama, dan melarang kita untuk saling berpecah belah.
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini, yaitu perintah untuk bersatu, berkumpul,
dan larangan berpecah belah di dalam Al Qur’an dengan penjelasan yang sudah cukup, yang sangat
jelas dipahami oleh orang awam sekalipun.

Artinya apa yang Allah perintahkan tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk dipahami.
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang perintah untuk bersatu adalah ayat-ayat yang jelas dipahami oleh
seorang yang awam, seorang yang cerdas, semuanya memahami tentang perintah Allah Subhānahu wa
Ta’āla ini.

Diantaranya adalah firman Allah Subhānahu wa Ta’āla:


1. Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

َ َّ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا ٱتَّقُوا ٱ‬


َ‫ِل َح َّق تُقَا ِت ِۦه َو َّل تَ ُموت ُ َّن إِ َّّل َوأَنتُم ُّمسۡ ِل ُمون‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa
dan janganlah kalian meninggal dunia kecuali kalian dalam keadaan sebagai seorang yang Muslim
(menyerahkan dirinya kepada Allah).”
(QS. Ali Imran: 102)

2. Kemudian Allah berfirman,


‫يعا َو َّل تَف ََّرقُوا‬ ِ َّ ‫َص ُموا ِب َح ۡب ِل ٱ‬
ٗ ِ‫ِل َجم‬ ِ ‫…… َوٱ ۡعت‬
“Dan hendaklah kalian semua berpegang teguh dengan hablullah (dengan Al Qur’an, berpegang teguh
dengan As Sunnah), kalian semuanya (baik laki-laki maupun wanita) dan janganlah kalian saling
berpecah belah.”
(QS. Ali Imran: 103)
Jelas ayat ini menunjukkan kepada kita tentang perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla supaya kita
semuanya bersatu di dalam berpegang teguh dengan Al Qur’an, berpegang teguh dengan As Sunnah,
berpegang teguh dengan agama ini.
Dan jelas menunjukkan tentang larangan berpecah belah di dalam agama karena Allah berfirman,
‫َو َّل تَف ََّرقُوا‬

“Dan janganlah kalian saling berpecah belah.”

Orang yang awam pun memahami tentang firman Allah Subhānahu wa Ta’āla ini.

3. Dan di dalam ayat lain Allah mengatakan,

َ ‫َو َّل تَ ُكونُوا َكٱلَّذِينَ تَف ََّرقُوا َوٱختَلَفُوا مِ ن َبع ِد َما َجا ٓ َءهُ ُم ٱل َب ِي َن ٰـتُ َوأُولَ ٰـٓئِكَ لَ ُهم‬
َ ‫عذَاب‬
‫عظِ يم‬

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang saling berpecah belah, saling ber-ikhtilaf, setelah
datang kepada mereka Al Bayyinat (keterangan yang jelas, dalil yang jelas). Dan merekalah orang-
orang yang mendapatkan adzab yang pedih.
(QS. Ali Imran: 105)
Orang yang berpecah belah dan berselisih, padahal sudah mengetahui dalilnya maka ini mendapatkan
ancaman adzab dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.

4. Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,


‫س ٰ ٓى أ َ ۡن أَقِي ُموا ٱلدِينَ َو َّل تَتَف ََّرقُوا فِي ِه‬
َ ‫س ٰى َوعِي‬ َّ ‫ِي أ َ ۡو َح ۡي َنا ٓ ِإ َل ۡيكَ َو َما َو‬
َ ‫ص ۡينَا ِب ِۦٓه ِإ ۡب ٰ َره‬
َ ‫ِيم َو ُمو‬ ٓ ‫ص ٰى ِب ِۦه نُوحٗ ا َوٱلَّذ‬ ِ ‫ع لَ ُكم ِمنَ ٱلد‬
َّ ‫ِين َما َو‬ َ ‫ش ََر‬
“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mensyari’atkan bagi kalian dari agama ini, apa yang Allah
wasiatkan kepada Nuh dan telah diwahyukan kepadamu wahai Muhammad dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, hendaklah kalian menegakkan agama ini dan janganlah
kalian saling berpecah belah di dalam agama ini.”
(QS. Asy Syura: 13)
Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla dan ini yang diwahyukan oleh Allah kepada Nuh, kepada
Ibrahim, Musa, dan Isa, kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita menjalankan
agama ini dan supaya kita tidak saling berselisih dan berpecah belah diantara kita.

5. Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,

ِ‫ِإ َّن ٱلَّذِينَ فَ َّرقُوا دِي َن ُهمۡ َوكَانُوا ِش َي ٗعا لَّسۡ تَ مِ ۡن ُهمۡ فِي ش َۡيء ِإ َّن َما ٓ أَمۡ ُرهُمۡ ِإلَى ٱ َِّل‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka saling berkelompok
kelompok dalam golongan-golongan, Engkau wahai Muhammad tidak termasuk golongan mereka. Dan
urusan mereka (perkara mereka) dikembalikan kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.” (QS. Al An’ām:
159)
Ayat yang banyak, yang menunjukkan tentang perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla kepada kita untuk
bersatu di dalam agama Allah, bersatu di dalam hak, bersatu di dalam berpegang teguh dengan Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan larangan untuk berpecah belah di
dalam agama ini.
Orang yang awam sekalipun mereka memahami tentang perkara ini.
Oleh karena itu beliau mengatakan,

“Ayat-ayat ini dipahami oleh orang-orang awam sekalipun apalagi oleh para ulama dan para penuntut
ilmu.”
Kemudian beliau mengatakan,
‫َو َن َهانَا أَن َن ُكونَ كَالذِينَ تَف ََّرقُوا َواختَلَفُوا قَبلَنَا فَ َهلَ ُكوا‬
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah melarang kita menjadi orang-orang sebelum kita yang berselisih
(berpecah belah) seperti orang-orang sebelum kita, yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani, yang
mereka berpecah belah, berselisih di dalam agama mereka, maka akhirnya mereka hancur dan
dihancurkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla karena sebab perselisihan mereka.

Dan di dalam hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan bahwasanya, “Orang-orang
Yahudi telah berselisih dan berpecah belah menjadi 70 golongan, dan orang-orang Nashrani telah
berpecah belah menjadi 72 golongan, dan ummatku (kata beliau) akan berpecah belah menjadi 73
golongan.”

Dan kita dilarang untuk mengikuti jalan-jalan orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Tidaklah beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan dan mengabarkan kepada kita tentang
perpecahan orang-orang Yahudi dan Nashrani kecuali diantaranya adalah untuk mengingatkan kita,
jangan sampai kita terperosok di dalam apa yang mereka sesat di dalamnya.
Orang-orang Yahudi dan Nashrani berpecah belah di dalam agamanya dan kita dilarang untuk
mengikuti kesesatan mereka di dalam berpecah belah ini.
Halaqah 7 | Penjelasan Pokok Ke Dua Bagian 2
Halaqah yang ke tujuh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,

ِ ‫ع ِن التَّف َُّر‬ َ َ
‫ق فِي ِه‬ ِ ‫َوذَك ََر أ َّنهُ أ َم َر ال ُمسلِمِ ينَ ِباّلج ِت َم‬
َ ‫اع فِي الدِي ِن َو َن َهاهُم‬
Dan Allah menyebutkan bahwasanya Allah memerintahkan orang-orang muslimin untuk bersatu di
dalam agama dan melarang mereka untuk berpecah belah di dalamnya.

َ‫ب فِي ذَلِك‬ ِ ‫س َّنةُ مِ نَ ال َع َج‬


ِ ‫ب العُ َجا‬ ُّ ‫َو َي ِزيدُهُ ُوضُو ًحا َما َو َردَت ِب ِه ال‬
Dan kejelasan ini menjadi lebih jelas dengan apa yang ada dan datang di dalam sunnah Rasulullah
Shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang semakin menambah keheranan kita kepada orang-orang yang
berpecah belah di dalam agamanya.

Di dalam hadits-hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam juga menerangkan tentang
perintah bersatu di dalam agama dan larangan untuk berpecah belah di dalam agama.
Sebagaimana sabda Beliau Shallallāhu shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
‫َاص ُحوا َمن‬ ِ ‫ّللا َجمِ ي ًعا َو َّل تَف ََّرقُوا َوأَن تَن‬ ِ ‫ َوأَن تَعت‬،‫ضى لَ ُكم أَن تَعبُدُوهُ َو َّل تُش ِر ُكوا ِب ِه شَيئًا‬
ِ َّ ‫َص ُموا ِب َحب ِل‬ َ ‫ضى لَ ُكم ثَ ََّلثًا َير‬
َ ‫ِإ َّن هللا َير‬
َ
‫ّللاُ أم َر ُكم‬ َّ
َّ ‫َوّلهُ ُم‬
“Sesungguhnya Allah telah meridhai untuk kalian tiga perkara, Allah meridhai untuk kalian supaya
kalian menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Allah dengan apapun.

Kemudian yang ke dua, hendaklah kalian berpegang teguh dengan tali Allah (dengan Al Qur’an) dan
supaya kalian jangan berpecah belah.”
Allah Subhānahu wa Ta’āla ridha apabila kita saling bersatu di atas hak (di atas Al Qur’an).
Di dalam hadits qudsi disebutkan bahwasanya Allah mengatakan,

ِ َّ َ‫ َو ُكونُوا ِع َباد‬،‫غضُوا َوّلَ تَدَا َب ُروا‬


‫ّللا ِإخ َوا ًنا‬ َ ‫ َو َّل تَ َبا‬،‫سدُوا‬
َ ‫ّلَ تَ َحا‬
“Janganlah kalian saling berhasad, janganlah kalian saling memutus, janganlah kalian saling
membelakangi, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.”

Jelas, dijelaskan Beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, perintah untuk menjadi hamba-hamba Allah yang
bersaudara, tidak saling hasad, tidak saling memutus.
Dan beliau mengatakan,
ُ‫ َوّل َيخذُلُه‬،ُ‫ َوّل َيحق ُِره‬،‫ّل َيظ ِل ُمه‬: ‫ال ُمس ِل ُم أ َ ُخو ال ُمسلِم‬
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak mendholiminya, tidak menghinanya, tidak
meninggalkanya ketika dia butuh pertolongan.”
Ini adalah perintah-perintah dari Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita saling bersatu dan tidak
berpecah belah.
Oleh karena itu di dalam Islam, Allah Subhānahu wa Ta’āla melarang perkara-perkara yang kira-kira
menjadikan permusuhan diantara kita.
Kita dilarang ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), dilarang mengadu domba, bahkan dilarang
minuman keras demikian pula perjudian, diantara hikmahnya adalah untuk ini.
Karena dua perkara ini menjadi wasilah (perantara) bagi syaithan untuk memecah belah diantara kaum
muslimin dengan sebab khamr dan juga dengan sebab perjudian.

َ ‫ط ٰـ ُن أَن يُو ِق َع َبي َن ُك ُم ٱل َع ٰدَ َوة َ َوٱل َبغ‬


‫ضا ٓ َء فِى ٱلخَم ِر َوٱل َميسِر‬ َ ‫شي‬
َّ ‫ِإ َّن َما ي ُِريدُ ٱل‬

“Sesungguhnya syaithan menginginkan untuk menimbulkan permusuhan diantara kalian di dalam


minuman keras, demikian pula di dalam perjudian.” (QS. Al Maidah: 91)
Ini adalah dalil-dalil dari As Sunnah yang semakin memperjelas bagi kita tentang pentingnya bersatu
di dalam agama dan juga larangan di dalam berpecah belah.
Dan yang dimaksud dengan bersatu di sini adalah bersatu di atas hak (bersatu di atas kebenaran) dan
larangan berpecah belah, apabila seseorang sudah jelas datang baginya dalil yang benar dari Al Qur’an
dan juga Sunnah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Dan ini bukan berarti seseorang dilarang untuk beramar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan kepada
yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran).
Bersatu bukan berarti kita tidak beramar ma’ruf nahi munkar.
Kita diperintahkan untuk bersatu, satu di dalam akidah, satu di dalam ibadah, satu di dalam
bermuamalah, dan dilarang kita saling berpecah belah, akan tetapi kita juga diperintahkan oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla untuk saling beramar ma’ruf nahi munkar.
Jadi bersatu bukan berarti tidak boleh saling menasehati antara satu dengan yang lain, bukan berarti
tidak boleh kita saling beramar ma’ruf nahi munkar.
Bahkan persatuan umat Islam diantara wasilahnya adalah dengan ber’amar ma’ruf nahi munkar.
Oleh karena itu ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam ayat menyebutkan tentang perintah bersatu,
‫يعا َو َّل تَف ََّرقُوا‬ ِ َّ ‫َص ُموا ِب َح ۡب ِل ٱ‬
ٗ ِ‫ِل َجم‬ ِ ‫َوٱ ۡعت‬
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan hablullah (Al Qur’an) dan jangan saling berpecah belah.”
(QS. Ali Imran: 103)
Di dalam ayat setelahnya, Allah Subhānahu wa Ta’āla memerintahkan kita untuk beramar ma’ruf nahi
mungkar.

Allah mengatakan,
َ‫ع ِن ٱل ُمنك َِر َوأُولَ ٰـٓئِكَ هُ ُم ٱل ُمف ِلحُون‬
َ َ‫َولتَ ُكن ِمن ُكم أ ُ َّمة َيدعُونَ إِلَى ٱلخَي ِر َو َيأ ُم ُرونَ ِبٱل َمع ُروفِ َو َين َهون‬
“Dan hendaklah ada diantara kalian golongan yang dia mengajak kepada kebaikan dan beramar ma’ruf
nahi munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imran: 104)
Halaqah 8 | Penjelasan Pokok Ke Dua Bagian 3
Halaqah yang ke delapan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Bersatu bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.


Ber-amar ma’ruf nahi munkar adalah sifat orang yang beriman.

َ َ‫ض ُهمۡ أ َ ۡو ِل َيا ٓ ُء َبعۡ ض َي ۡأ ُم ُرونَ ِبٱ ۡل َمعۡ ُروفِ َو َي ۡن َه ۡون‬


‫ع ِن ٱ ۡل ُمنك َِر‬ ُ ۡ‫َوٱ ۡل ُم ۡؤمِ نُونَ َوٱ ۡل ُم ۡؤمِ ٰ َنتُ َبع‬
“Dan orang-orang yang beriman, yang laki-laki dan juga yang wanita, sebagian mereka adalah wali
bagi sebagian yang lain. Mereka saling ber-amar ma’ruf nahi munkar.”
(QS. At Tawbah: 71)

Menunjukkan bahwasanya diantara sifat orang yang beriman adalah ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Dan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita berpecah belah di dalam agama.
Tentunya yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar di sini adalah amar ma’ruf nahi munkar
yang mengikuti batasan-batasan syar’iat, adab-adab yang telah ditentukan oleh syar’iat.
Bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi munkar yang didasari oleh semangat, akan tetapi tidak
beraturan.

Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla dan Rasul-Nya. Dan caranya,
adab-adabnya, dan hukum-hukumnya telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Diantaranya adalah tidak ada pengingkaran di dalam masalah ijtihadiyah (yaitu) masalah yang masih
menerima ijtihad di dalamnya karena tidak ada naskh di dalam perkara tersebut.
Sebagian ulama (sebagian imam yang empat) mengatakan demikian, sebagian imam yang lain
mengatakan demikian, maka di dalam perkara ini tidak ada pengingkaran.
Seperti misalnya, sebagian menganggap bahwasanya menyentuh lawan jenis adalah membatalkan
wudhu, sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhu.
Atau dalam masalah yang lain, makan daging unta membatalkan wudhu, sebagian yang lain
mengatakan tidak membatalkan wudhu.
Maka ini adalah termasuk masalah-masalah ijtihadiyah yang menerima ijtihad di dalamnya, karena
tidak ada naskh yang sharih.
Dalam masalah seperti ini tidak ada pengingkaran.

Namun di dalam perkara yang jelas di sana ada naskh yang sharih, dan perkara ini tidak ada diantara
sahabat yang berselisih di dalamnya, maka tidak sepantasnya seorang muslim dan juga muslimah
berselisih di dalam perkara tersebut.
Seperti misalnya, ada sebagian yang meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad. Dan ada sebagian
yang mengatakan tidak ada nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Di dalam perkara seperti ini, tidak boleh diantara kita saling berselisih karena jelas di dalam Al Qur’an,
Allah mengabarkan bahwasanya nabi Muhammad Shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah penutup para
nabi (‫)خاتم النبين‬
Demikian pula di dalam hadits,

َّ ‫ َّل َن ِب‬، َ‫وأَنَا خَاتَ ُم ال َّن ِب ِيين‬


‫ي َبعدِي‬

“Dan aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.”

Dan tidak ada diantara sahabat Radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, para tabiut tabi’in yang mereka
meyakini ada nabi setelah nabi Muhammad Shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Bahkan setiap orang yang mengaku menjadi nabi setelah itu, maka dia adalah seorang pendusta yang
harus diperangi. Tidak boleh ada diantara orang Islam yang meyakini bahwasanya ada nabi setelah nabi
Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Perkara yang seperti ini harus diingkari dan ini bukan termasuk perkara ijtihadiyah.
Demikian pula orang yang meyakini bahwasanya Al Qur’an ini telah ditambah atau telah dikurang, atau
orang-orang yang mencela para sahbat Rasulullah Shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ini adalah
perpecahan yang tercela.
Tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’an telah dirubah, telah ditambah, telah
dikurangi, dan tidak boleh mengatakan bahwsanyaa para sahabat, mereka adalah orang-orang yang
tercela atau orang-orang yang murtad.
Karena Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwasanya Allah telah
menjaga Al Qur’an.
ُ ‫إِ َّنا نَح ُن ن ََّزلنَا ٱلذِك َر َوإِ َّنا لَهُۥ لَ َح ٰـ ِف‬
َ‫ظون‬

“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya kami akan menjaganya.”

(QS. Al Hijr: 9)

Menjaga Al Qur’an baik dari lafadznya maupun dari maknanya.


‫َّّل َيأتِي ِه ٱل َبـٰطِ ُل مِ ن َبي ِن َيدَي ِه َو َّل مِ ن خَل ِف ِه‬

“Tidak akan datang ke dalam Al Qur’an sebuah kebathilan, baik dari depannya maupun dari
belakangnya.”
(QS. Fussillat: 42)
Allah Subhānahu wa Ta’āla telah berjanji untuk menjaga Al Qur’an. Tidak boleh ada seorang yang
mengaku dirinya muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’an telah ditambah atau dikurangi.
Seandainya ada seseorang di atas gunung dan dia di dalam gua berusaha untuk menambah satu huruf
pun di dalam Al Qur’an, niscaya Allah Subhānahu wa Ta’āla akan menampakkan itu di tengah-tengah
manusia.

Tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslim mencela para sahabat Radhiyallahu ‘anhum,
mencela mereka, atau bahkan mengkafirkan mereka, karena di dalam Al Qur’an Allah Subhānahu wa
Ta’āla jelas-jelas memuji para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dalam ayat yang banyak.
‫س َّجدًا‬ َ ‫ِل َوٱ َّلذِينَ َمعَ ٓهۥُ أ َ ِشدَّآ ُء‬
ِ َّ‫علَى ٱل ُكف‬
ُ ‫ار ُر َح َما ٓ ُء َبي َن ُهم ت ََرىٰ ُهم ُر َّكعًا‬ ِ َّ ‫سو ُل ٱ‬
ُ ‫ُّم َح َّمد َّر‬
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap
orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”
(QS. Al Fath: 29)
Di dalam ayat yang lain, Allah mengatakan,
ُ‫ع ۡنه‬
َ ‫ع ۡن ُهمۡ َو َرضُوا‬
َ ُ‫ي ٱ َِّل‬
َ ‫ض‬ َ ٰ ۡ‫ار َوٱلَّذِينَ ٱتَّ َبعُوهُم ِبإِح‬
ِ ‫سن َّر‬ ِ ‫ص‬َ ‫س ِبقُونَ ٱ ْۡل َ َّولُونَ مِ نَ ٱ ۡل ُم ٰ َه ِج ِرينَ َوٱ ْۡلَن‬
َّ ٰ ‫َوٱل‬

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan mereka pun ridha kepada Allah.”
(QS. At Tawbah: 100)

Allah meridhai para sahabat Radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Bagaimana seseorang mengatakan bahwasanya
para sahabat kafir padahal Allah Subhānahu wa Ta’āla telah meridhai mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Perbedaan pendapat seperti ini adalah perbedaan pendapat yang tercela, harus diingkari dan dijelaskan
kepada umat.
Adapun perselisihan pendapat yang berdasarkan dalil, sebagian Imam mengatakan pendapat A dan
Imam yang lain mengatakan pendapat B, dan masing-masing memiliki dalil dan berusaha untuk
mengikuti Al Qur’an, berusaha untuk mengikuti sunnah, berusaha untuk mengikuti ijma’, akan tetapi
akhirnya memiliki pendapat yang berbeda padahal sudah berusaha untuk mengikuti Al Qur’an dan
Sunnah, maka perselisihan pendapat yang seperti ini diperbolehkan.
Dan sikap seorang muslim, masing-masing berusaha untuk mencari kebenaran dengan melihat dalil.
Dan apabila dia sudah menguatkan sebuah pendapat maka hendaklah dia bertoleransi di dalam masalah
ini dan tidak memaksakan kehendaknya kepada yang lain.
Dan ini yang dilakukan oleh para Imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i,
dan Imam Ahmad bin Hambal) mereka adalah imam-imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Saling berguru antara satu dengan yang lain.

• Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Malik bin Anas

• Imam Ahmad bin Hambal adalah murid dari Imam Syafi’i rahimahullah

(atau dengan kata lain)

• Imam Ahmad berguru kepada Imam Syafi’i

• Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik bin Anas.

Akan tetapi tidak pernah terdengar bahwasanya mereka saling mencela satu dengan yang lain, bahkan
sebagian berimam kepada imam yang lain, menjadi makmum kepada yang lain.
Karena mereka memiliki manhaj yang satu, jalan yang satu, yaitu berusaha di dalam ibadahnya sesuai
dengan Al Qur’an, sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan pemahaman
para sahabat Radhiyallahu ‘anhu.
Apabila setelah itu terjadi perselisihan, maka sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam,
‫ وإذا اجتهد فاخطأ فله أجر واحد‬،‫إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران‬

“Apabila seorang hakim, seorang ulama, berijtihad kemudian dia benar maka dia mendapatkan dua
pahala.”
Dua pahala, yaitu:
1. Pahala berijtihad, bersungguh-sungguh dengan melihat dalil.
2. Pahala ishabatul Haq, yaitu bisa mendapatkan kebenaran tersebut.
Akan tetapi apabila dia berijtihad kemudian dia salah di dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu
pahala, yaitu pahala berijtihad, pahala bersungguh-sungguh di dalam mencari kebenaran. Ini di dalam
masailu al ijtihadiyah.
Halaqah 9 | Penjelasan Pokok Ke Dua Bagian 4
Halaqah yang ke sembilan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan,

ُ ُ ‫ار اْلَم ُر إِلَى أ َ َّن اّلفت َِراقَ فِي أ‬


‫صو ِل الدِي ِن َوفُ ُرو ِع ِه ه َُو العِل ُم َوالفِقهُ فِي الدِي ِن‬ َ ‫ص‬َ ‫ث ُ َّم‬
Kemudian setelah itu di zaman beliau di zaman sekarang jadilah bahwasanya berpecah belah di dalam
agama, baik di dalam ushul agama (pokok-pokok) agama maupun di dalam cabang-cabangnya
dinamakan dengan ilmu dan fiqih di dalam agama.
Di zaman sekarang kata beliau,
Sebagian mengatakan bahwasanya berpecah belah di dalam agama adalah termasuk pemahaman (fiqih).
Artinya orang yang mengatakan, “Boleh kita berpecah belah, kita memiliki kebebasan untuk berakidah,
kebebasan untuk beribadah, kebebasan untuk menganut kepercayaannya masing-masing.” Dianggap
ucapan ini sebagai bentuk pemahaman terhadap agama.
Orang yang paham terhadap agama, maka dia akan membebaskan manusia untuk berakidah, untuk
memiliki kepercayaan masing-masing.
Kemudian beliau mengatakan,
‫اع في دين َّل َيقُولُهُ إِ َّّل ِزندِيق أَو َمجنُون‬ َ َ ‫ص‬
ِ ‫ار اْلم ُر ِباّلج ِت َم‬ َ ‫َو‬
Perintah untuk berkumpul dan bersatu di dalam agama, sebagian mengatakan bahwasanya ini adalah
tidak diucapkan kecuali oleh seorang yang zindiq, seorang pendusta, atau orang yang gila.
Jadi dianggapnya, orang yang mengajak manusia untuk bersatu padu di dalam hak, di dalam kebenaran,
dianggap orang yang zindiq atau orang yang gila.
Tidak mungkin kita semua bersatu, tidak boleh kita mengajak orang lain untuk mengikuti kebenaran.
Mereka berkata, “Biarkan masing-masing memiliki kepercayaan masing-masing, tidak boleh saling
menganggu satu dengan yang lain.”
Apabila ada sebagian yang mengajak untuk bersatu di dalam kebenaran, meninggalkan akidah yang
bathil, meninggalkan kepercayaan yang tidak benar, dianggapnya orang yang seperti ini adalah orang
gila atau orang zindiq.
Dan ini yang terjadi di zaman beliau, demikian pula di zaman kita.
Orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang lain untuk memiliki akidah yang benar,
memiliki tauhid yang benar, melarang mereka untuk memiliki akidah yang salah, kepercayaan yang
salah, dianggapnya ini adalah orang yang majnun (orang gila) atau orang yang zindiq.
Adapun orang yang membiarkan kepercayaan-kepercayaan tersebut, membiarkan akidah-aqidah
tersebut tersebar diantara masyarakat, maka ini dianggap sebagai orang yang paham tentang agamanya.
Dan ini tentunya kebalikan dari apa yang sudah Allah jelaskan di dalam Al Qur’an dan telah dijelaskan
oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam hadits-hadits yang shahih.
Ini adalah pokok yang ke dua yang ingin dijelaskan oleh pengarang di dalam kitab ini, yaitu
kesimpulannya:
• Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla pada kita semua kaum muslimin untuk saling bersatu di
dalam al haq (kebenaran)
• Larangan bagi kita untuk saling berpecah belah di dalam agama kita.
Dan apabila terjadi perselisihan diantara kita, diantara kaum muslimin baik dalam masalah akidah, baik
dalam masalah ibadah, baik masalah halal dan juga haram, maka Allah dan Rasul-Nya telah
memberikan jalan keluar.
Di dalam Al Qur’an, Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,

ِ‫سو ِل إِن ُكنتُمۡ ت ُ ۡؤمِ ُنونَ ِبٱ َِّل‬


ُ ‫لر‬ ِ َّ ‫سو َل َوأُولِي ٱ ْۡلَمۡ ِر مِ ن ُكمۡ فَإِن تَ ٰ َنزَ ۡعتُمۡ فِي ش َۡيء فَ ُردُّوهُ إِلَى ٱ‬
َّ ‫ِل َوٱ‬ ُ ‫لر‬ َ َّ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ٓوا أَطِ يعُوا ٱ‬
َّ ‫ِل َوأَطِ يعُوا ٱ‬
‫َوٱ ۡل َي ۡو ِم ٱ ْۡلٓخِ ِر‬

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian taat kepada Allah, dan hendaklah kalian taat
kepada Rasul, dan juga pemerintah kalian (penguasa kalian). Maka apabila kalian saling berselisih di
dalam satu perkara, baik dalam masalah akidah, masalah ibadah, masalah yang lain, maka hendaklah
kalian kembalikan kepada Allah, dan juga kepada Rasul-Nya.”
(QS. An-Nisa: 59)
Dikembalikan kepada Allah, dikembalikan kepada Al Qur’an, dilihat apakah sesuai dengan Al Qur’an
atau tidak pendapat kita.
Kembalikanlah kepada Rasul, kembalikan kepada hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, apakah
pendapat kita sesuai dengan hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam atau tidak.
Kalau sesuai, maka kita amalkan dan kalau tidak sesuai maka harus kita tinggalkan.
Dan ini kata Allah,

“Apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir hendaklah kalian
mengembalikan perselisihan kita kepada Allah dan juga Rasul-Nya.”
Apabila diantara dua orang saling berselisih, satunya mengatakan sunnah, satunya mengatakan tidak
disunnahkan, maka masing-masing harus mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kalau Allah dan Rasul-Nya mengatakan Sunnah, maka harus sami’na wa atha’na (mendengar dan taat)
tidak boleh ada diantara kita yang memiliki pilihan yang lain di dalam perpecahan ini.
Apabila Allah mengatakan A, dan Rasul-Nya mengatakan A, maka semuanya harus mengatakan A
tersebut.
Di dalam hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

َّ ِ‫س َّن ِة ال ُخلَفَاء‬


َ‫الرا ِشدِين‬ ُ ‫ فَعَلَي ُكم ِب‬،‫س َي َرى اخ ِتَّلَ فًا َكثِي ًرا‬
ُ ‫س َّنتِي َو‬ َ َ‫فَإِ َّنهُ َمن َيعِش مِ ن ُكم ف‬
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan
yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan Sunnah para khulafaur
rasyidin.”
(Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Ketika melihat perselisihan yang banyak, perpecahan yang banyak diantara umat, maka petunjuk Beliau
shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita kembali kepada sunnah beliau dan juga kepada sunnah para
khulafaur rasyidin.
Ini adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan.
Halaqah 10 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 1
Halaqah yang ke sepuluh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,
ُ ‫ اَْلَص ُل الثَّال‬:
‫ِث‬

َ ‫عةَ ِل َمن تَأ َ َّم َر‬


َ َ‫علَينَا َولَو كَان‬
‫عبدًا َح َبشِيا‬ َّ ‫أ َ َّن مِ ن تَ َم ِام اّلج ِت َماع السَّم َع َو‬
َ ‫الطا‬ ِ
Perkara pokok yang ke tiga:
Sesungguhnya termasuk diantara kesempurnaan bersatu adalah mendengar dan taat kepada orang yang
telah berkuasa atas kita (pemerintah atau para penguasa kita).
Beliau mengatakan ini adalah termasuk kesempurnaan persatuan, setelah beliau membahas tentang
masalah bersatu di atas hak (diatas Al Qur’an, di atas hadits ) dengan pemahaman para sahabat
radhiyallahu ‘anhum, maka beliau menyebutkan pada perkara yang ke tiga ini bahwasanya diantara
yang menyempurnakan persatuan diantara kaum muslimin adalah apabila mereka mau mendengar dan
taat kepada penguasanya.
Dan ucapan ini adalah ucapan yang hak.
Beliau mengatakan,
“Ini adalah kesempurnaan dari makna persatuan.”
Tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu, kecuali apabila di sana ada penguasa, ada pemerintah yang
dia akan memberikan hak kepada yang berhak, melindungi orang yang terdholimi, ber-amar ma’ruf
nahi munkar, menegakkan syar’iat dan melakukan perkara-perkara yang lain, baik yang berhubungan
dengan dunia maupun yang berhubungan dengan ibadah yang tidak mungkin dilakukan kecuali apabila
di sana ada penguasa.
Dan tidak bermanfaat adanya seorang penguasa dan pemerintah kecuali apabila rakyatnya, mereka mau
mendengar dan taat kepada penguasa.
Seandainya di sana ada seorang penguasa, pemerintah di sebuah negara, akan tetapi rakyatnya tidak
mau mendengar dan tidak mau mentaati apa yang datang darinya, baik berupa perintah maupun
larangan, maka keberadaan penguasa tersebut sama dengan tidak adanya.
Oleh karena itu, ini pentingnya kita mendengar dan taat kepada pemerintah, tidak akan bersatu umat
Islam kecuali dengan adanya penguasa, baik penguasa tersebut adalah penguasa yang shalih maupun
penguasa yang tidak shalih.
Dan tidak bermanfaat yang dinamakan dengan penguasa atau pemerintah kecuali kita mau mendengar
dan taat kepada pemerintah tersebut.
Oleh karena itu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan dari beliau).
Bahwasanya beliau mengatakan,
‫عة‬ َ ‫ارة َ إِ َّّل ِب‬
َ ‫طا‬ َ ‫عةَ إِ َّّل ِبإِ َم‬
َ ‫ َو َّل إِ َم‬، ‫ارة‬ َ ‫ّل إِس ََّل َم إِ َّّل ِب َج َما‬
َ ‫ َو َّل َج َما‬، ‫عة‬
“Tidak ada Islam kecuali dengan berjam’ah, kecuali dengan bersatu. Dan tidak ada persatuan kecuali
apabila di sana ada penguasa. Dan tidak ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan.”
Islam tidak akan tegak kecuali dengan adanya persatuan diantara kaum muslimin. Karena banyak
ibadah atau syar’iat di dalam agama Islam yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan persatuan
diantara kaum muslimin (persatuan antara rakyat dengan pemerintah dan diantara kaum muslimin).

Tidak mungkin kaum muslimin bersatu kecuali apabila di sana ada pemimpinnya.
Karena apabila sebuah kelompok, sekecil apapun, seandainya tidak ada pemimpin maka masing-masing
merasa tidak dikuasai oleh orang lain, sehingga melakukan apa yang dia inginkan.
Tidak ada yang berhak untuk memerintah dia, tidak ada yang berhak untuk melarang dia, membuat
peraturan sendiri, tidak mungkin sebuah kelompok sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila di sana
ada pemimpinnya.

Oleh karena itu di dalam Islam, ketika seseorang safar bersama yang lain, ketika dalam bepergian, maka
diperintahkan untuk mengangkat seorang pemimpin. Apalagi di dalam keadaan seseorang dalam
keadaan muqim.
Tidak mungkin kelompok apapun, sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila memiliki pemimpin.
Oleh karena itu beliau mengatakan (radhiyallahu ‘anhu),
“Tidak ada persatuan kecuali apabila di sana ada imarah, ada kekuasaan. Dan tidak ada kekuasaan
kecuali dengan ketaatan.
Tidak bermanfaat (tidak berfaedah) yang dinamakan dengan kekuasaan kecuali apabila anggotanya,
rakyatnya mentaati penguasa tersebut.
Di sini kita memahami hubungan yang erat antara Islam dan ketaatan kepada pemerintah.
Hubungan antara Islam dengan ketaatan kepada pemerintah adalah sangat erat, dan ini diucapkan oleh
seorang khulafa’ur rasyidin yang kita diperintahkan untuk mengikuti sunnahnya.

َّ ِ‫س َّن ِة ال ُخلَفَاء‬


َ‫الرا ِشدِين‬ ُ ‫علَي ُكم ِب‬
ُ ‫س َّنتِي َو‬ َ
Menunjukkan tentang pentingnya di dalam Islam, taat kepada penguasa dan juga pemerintah kita.
Oleh karena itu beliau mengatakan,

َ ‫عةَ ِل َمن تَأ َ َّم َر‬


‫علَينَا‬ َّ ‫أ َ َّن مِ ن تَ َم ِام اّلج ِت َماع السَّم َع َو‬
َ ‫الطا‬ ِ
Bagi orang yang telah Allah takdirkan untuk menjadi penguasa bagi kita, baik dia adalah orang yang
shalih, baik dia adalah seorang yang fajir (yang bermaksiat) apabila Allah telah menjadikan dia sebagai
seorang penguasa, maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat.
Kemudian beliau mengatakan,

َ َ‫َولَو كَان‬
‫عبدًا َح َبشِيا‬
“Meskipun yang berkuasa tersebut adalah seorang budak dari Habasyah.”
Seorang budak, seandainya dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita adalah mendengar dan
taat.
Padahal yang namanya penguasa kebanyakan adalah orang yang merdeka, dan seandainya qadarullah
yang terjadi penguasa tersebut adalah seorang budak (bukan seorang yang merdeka) maka kita tetap
diwajibkan mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.
Habasyian (budak dari Habasyah) dan budak dari Habasyah, ini dikenal oleh orang-orang Arab sebagai
budak yang di mata manusia adalah seorang yang rendah (kedudukannya hina), akan tetapi apabila dia
menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita, meskipun kita adalah seorang yang merdeka, bukan
seorang budak, maka kita harus mendengar dan taat penguasa tersebut.
Dan ucapan beliau ini diambil dari hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika Beliau shallallāhu
‘alayhi wa sallam memberikan nasehat kepada para sahabat di akhir hayat Beliau.
Suatu hari setelah shubuh Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan nasehat kepada para
sahabat dengan nasehat yang sangat dalam.
Kemudian salah seorang sahabat berkata kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
َ ‫ّللا ! َكأ َ َّن َها َمو ِع‬
‫ظةُ ُم َو ِدع‬ ِ َّ ‫سو َل‬
ُ ‫َيا َر‬
“Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah.
(Nasehat yang sangat dalam yang penuh dengan makna yang membuat gemetar hati para sahabat dan
membuat mata mereka menangis).
Maka hendaklah engkau memberikan wasiat kepada kami.”

Nasehat orang yang berpisah, tentunya orang yang berpisah tersebut akan memilih nasehat yang luas
maknanya, yang sangat penting bagi orang yang akan ditinggalkan.
Apa yang Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan?

ِ ُ‫أ‬
َّ ‫وصي ُكم ِبتَق َوى‬
ِ‫ّللا‬
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah.”
Nasehat pertama yang Beliau ucapkan kepada para sahabat adalah nasehat untuk bertaqwa kepada
Allah.

Kemudian apa yang Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan?

َ ‫عةَ ِل َمن تَأ َ َّم َر‬


َ َ‫علَيكم ولو كَان‬
‫عبدًا َح َبشِيا‬ َّ ‫والسَّمع َو‬
َ ‫الطا‬ ِ
“Dan hendaklah kalian mendengar dan taat kepada orang yang telah menjadi amir (menjadi penguasa)
bagi kalian meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.”

Ini adalah nasehat Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada para sahabat.
Setelah beliau berwasiat untuk bertaqwa kepada Allah, maka wasiat beliau yang ke dua adalah
mendengar dan taat kepada pemerintah kita (kepada penguasa kita) meskipun dia adalah seorang budak
dari Habasyah.

Dan ini menunjukkan pentingnya mendengar dan taat. Bahkan Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam)
menjadikan mendengar dan taat kepada pemerintah nomor dua setelah Beliau berwasiat dengan
ketaqwaan kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Halaqah 11 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 2
Halaqah yang ke sebelas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,
‫ان شَرعًا َوقَد ًَرا‬ َ
ِ ‫فَ َبيَّنَ هللا له هَذا َبيا ًنا شا ِئ ًعا كا ِفيًا ِب ُو ُجوه مِ ن أن‬
ِ ‫واع ال َب َي‬
Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini dengan penjelasan yang cukup, dengan
berbagai uslub (cara) baik secara syar’iat maupun dengan takdir.

Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan pentingnya mendengar dan taat kepada penguasa dengan
penjelasan yang sangat jelas di dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam di dalam hadits-hadits yang shahih, baik dengan tinjauan syari’at maupun dari segi takdir.

Di dalam Al Qur’an diantaranya adalah firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,


‫سو َل َوأُولِى ٱْلَم ِر مِ ن ُكم‬ َّ ‫ِل َوأَطِ يعُوا ٱ‬
ُ ‫لر‬ َ َّ ‫َي ٰـٓأ َ ُّي َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ٓوا أَطِ يعُوا ٱ‬
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul, dan
ulil amri diantara kalian.”
(QS. An-Nisa: 59)
Dan yang dimaksud dengan ulil amri di sini adalah para ulama dan para pemerintah (para penguasa).

Allah mengatakan kepada orang-orang yang beriman,

“Wahai orang-orang yang beriman (yang merasa bahhwasanya dia beriman kepada Allah, beriman
kepada malaikat, beriman kepada kitab-kitab, beriman kepada para Rasul, beriman kepada hari akhir,
beriman kepada takdir) hendaklah kalian taat kepada Allah dan taat lah kalian kepada Rasul dan orang
yang memerintah diantara kalian.”

Ulil amri sebagaimana disebutkan oleh para mufassirin adalah para ulama dan juga para umara. Kita
diperintah untuk mentaati mereka dan ini menunjukkan tentang wajibnya mentaati pemerintah dan juga
penguasa, karena Allah mengatakan, ‫( أَطِ يعُوا‬hendaklah kalian mentaati).
Namun ketaatan kepada seorang penguasa dan pemerintah bukanlah ketaatan yang mutlak, berbeda
dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu ketika menyebutkan Allah dan juga Rasul-Nya, didahului dengan kalimat ‫أَطِ يعُوا‬.
‫سو َل‬ َّ ‫ِل َوأَطِ يعُوا ٱ‬
ُ ‫لر‬ َ َّ ‫َي ٰـٓأ َ ُّي َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ٓوا أَطِ يعُوا ٱ‬
Karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan yang mutlak.
Adapun ketika menyebutkan ulil amri, maka Allah mengatakan ‫( َوأُولِى ٱْلَم ِر مِ ن ُكم‬dan pemerintah diantara
kalian) karena ketaatan kepada pemerintah dan penguasa bukanlah ketaatan yang mutlak, akan tetapi
ketaatan yang berada di dalam ketaatan. Ketaatan di dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila seorang pemerintah dan penguasa, memerintah dengan perkara yang sesuai dengan syari’at,
sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, maka perintah tersebut harus ditaati.
Namun apabila dia memerintah dengan kemaksiatan dengan sebuah dosa dengan sebuah perkara yang
bertentangan dengan syari’at Allah Subhānahu wa Ta’āla maka perintah tersebut tidak boleh ditaati.

Adapun di dalam hadits, maka diantara dalil yang menunjukkan pentingnya dan wajibnya kita
mendengar dan taat kepada pemerintah adalah ketika Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam berwasiat
kepada para sahabat.
1. Wasiat dengan ketakwaan
2. Wasiat mendengar dan taat kepada penguasa meskipun yang berkuasa adalah seorang budak dari
Habasyah.

Dan diantara dalilnya dari sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah ucapan Ubadah Ibnu
Shamit ketika beliau mengatakan,

َ ‫ َوعلى أَثَ َرة‬،‫ َويُس ِرنَا‬،‫سرنَا‬


‫علَينَا‬ ِ ‫ع‬َ ‫ و‬،‫ فِي َمنشَطِ نَا َو َمك َر ِهنَا‬،ِ‫عة‬ َّ ‫علَى السَّمع َو‬
َ ‫الطا‬ َ ‫َبا َيعَنَا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
ِ
“Kami dahulu membai’at Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk mendengar dan taat baik
ketika kami dalam keadaan semangat maupun dalam keadaan malas, baik dalam kesusahan maupun
dalam kemudahan.”

Mendengar dan taat meskipun harus diambil sebagian dari hak kami, baik hak harta maupun yang lain.
Meskipun diambil sebagian hak kita, baik harta maupun yang lain, maka tidak boleh ini menjadikan
kita keluar dari ketaatan kepada pemerintah.
Kemudian beliau mengatakan,
ُ‫ع اْلَم َر أَهلَه‬ ِ ‫َوأَن ّلَ نُن‬
َ ‫َاز‬
“Dan kami telah membai’at Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk tidak memberontak, untuk
tidak mengambil kekuasaan dari yang memiliki.”
Ini adalah isi dari bai’at para sahabat radhiyallāhu ‘anhum kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam, diantaranya adalah supaya kita tidak mengambil kekuasaan dari pemiliknya.
Yaitu memberontak kepada pemerintah, memberontak kepada penguasa yang sah, maka ini diharamkan
di dalam agama kita.
Kemudian Beliau mengatakan,

ِ َّ َ‫ عِندَ ُكم مِ ن‬،‫وقال إِّلَّ أَن ت ََروا ُكف ًرا َب َوا ًحا‬
‫ّللا فِي ِه بُرهَان‬

“Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang jelas, kekafiran yang jelas, dari pemerintah tersebut
dan engkau memiliki dalil (memiliki burhan) yang sangat jelas yang tidak ada kesamaran di dalamnya
(maka dalam keadaan seperti itu boleh seseorang memberontak).”
Yaitu apabila melihat kekufuran, dan di sini Beliau mengatakan ‫( ُكف ًرا َب َوا ًحا‬kekufuran yang jelas) artinya,
bukan hanya sekedar keragu-raguan atau kekufuran yang samar, kekufuran yang jelas maksudnya
adalah kekufuran yang semua umat Islam bersepakat atas kekufuran tersebut.
Dan di sana ada dalil yang jelas di dalam Al Qur’an maupun hadits yang mengatakan bahwasanya ini
adalah sebuah kekufuran dan bukan hanya sekedar keraguan, bukan hanya sekedar kemaksiatan.
Engkau memiliki dalil dari Allah Subhānahu wa Ta’āla atas masalah tersebut.

Dan para ulama menyebutkan ini adalah perkecualian, dan ini menunjukkan kepada kita hanya sekedar
melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang penguasa, maka ini tidak menjadikan dan tidak
membolehkan seseorang untuk keluar dan memberontak kepada pemerintah, karena Beliau mengatakan
‫ ُكف ًرا َب َوا ًحا‬, sebuah kekafiran yang sangat jelas.
Adapun hanya melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh pemerintah, maka ini tidak boleh menjadikan
seseorang keluar dan memberontak kepada pemerintah tersebut.
Yang dinamakan dengan korupsi, maka ini adalah sebuah kemaksiatan dan bukan kekufuran. Tidak
boleh menjadikan seseorang memberontak dan keluar kepada pemerintah.
Berbuat dholim adalah kemaksiatan. Kemaksiatan tersebut akan ditanyakan oleh Allah Subhānahu wa
Ta’āla kepada penguasa di hari kiamat, kemaksiatan dia adalah untuk dia sendiri dan kewajiban kita
adalah mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut, selama perintah tersebut sesuai dengan syari’at
Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Ucapan Beliau,
‫إِّلَّ أَن ت ََروا ُكف ًرا َب َوا ًحا‬
Menunjukkan kepada kita bahwasanya kemaksiatan tidak menjadikan seseorang keluar dari ketaatan
kepada pemerintah kita.
Dan di sini Beliau memberikan syarat-syarat yang ketat sebuah kekafiran dan kekafiran tersebut adalah
kekafiran yang sangat jelas dan memiliki dalil yang sangat kuat.
Halaqah 12 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 3
Halaqah yang ke dua belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Para ulama menjelaskan apabila memang terjadi kekufuran yang sangat jelas dari seorang penguasa
(dari seorang pemerintah), maka di sana ada syarat-syarat yang lain yang harus dipenuhi dan ini
disebutkan oleh para ulama, (yaitu)

(1) apabila tidak terjadi di sana kerusakan yang lebih besar.


Apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar, apabila seseorang memberontak karena
pemerintahnya melakukan kekufuran, melakukan kekafiran yang jelas, apabila di sana justru terjadi
kerusakan yang lebih besar, maka diharamkan seseorang untuk memberontak. Ini disebutkan oleh para
ulama di dalam kitab-kitabnya.
(2) kaum muslimin memiliki ganti yang lebih baik.
Kalau misalnya bisa memberontak tetapi tidak memiliki ganti yang lebih baik, maka tidak
diperbolehkan untuk melakukan pemberontakan.
Dan juga syarat-syarat yang lain.

Para ulama telah ketat di dalam masalah ini. Dan perkara seperti ini dikembalikan kepada para pembesar
ulama, bukan hanya kepada seorang da’i, seorang ustadz, tetapi dikembalikan kepada ulama-ulama
besar yang mereka mengetahui maslahat dan juga mudharat, mana yang baik dan mana yang buruk bagi
kaum muslimin.
Dalil yang lain yang menunjukkan tentang wajibnya mendengar dan taat kepada pemerintah, Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ”Bahwanya kita diperintahkan untuk mendengar dan taat
kecuali apabila dia diperintahkan untuk kemaksiatan.

َ‫عة‬ َ َ‫سم َع َوّل‬


َ ‫طا‬ ِ ‫فَإِن أُمِ َر ِب َمع‬
َ َ‫ص َية فََّل‬
“Apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan.” (HR
Muslim 3423/1839)
‫اس َمعُوا َوأَطِ يعُوا‬
Mendengarlah kalian dan taatlah kalian,
Namun apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat, َ‫عة‬ َ َ‫سم َع َوّل‬
َ ‫طا‬ َ َ‫ فََّل‬maka tidak ada mendengar dan
tidak ada ketaatan.

Artinya di dalam perintah tersebut, penguasa dan juga pemerintah memiliki peraturan-peraturan. Di
antara peraturan tersebut ada yang sesuai dengan syari’at Allah dan Rasul-Nya dan ada di antara
peraturan tersebut yang tidak sesuai.
Yang sesuai dengan syari’at Allah dan Rasul-Nya maka kita diwajibkan untuk mendengar dan juga taat.
Disebutkan oleh para ulama, contohnya (misalnya) peraturan lalu lintas.
Kita diharuskan memiliki SIM, kita diharuskan untuk mengikuti rambu-rambu lalu lintas, dilarang
parkir di sebuah tempat, apabila lampu berwarna merah maka harus berhenti, maka ini adalah peraturan-
peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan bersama.

Pada asalnya ini adalah kewajiban kita sebagai rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa
tersebut di dalam peraturan-peraturan ini, karena peraturan-peraturan ini tidak bertentangan dengan
syari’at Allah dan juga Rasul-Nya.
Namun ketika membuat peraturan yang di situ ada kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
tidak boleh seseorang untuk mendengar dan taat di dalam peraturan tersebut dan dia masih diwajibkan
untuk mendengar dan taat pada peraturan-peraturan yang lain yang sesuai dengan Al Qur’an dan juga
hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Kemudian Beliau mengatakan ‫و َقد ًَرا‬,


َ demikian pula dari segi takdir, Allah Subhānahu wa Ta’āla telah
menjelaskan baik dengan syari’at maupun dengan takdir.
Maksudnya dengan takdir adalah dengan apa yang kita lihat di sekitar kita. Kita bisa bedakan antara
sebuah negara yang rakyatnya di situ mendengar dan taat kepada penguasanya, dengan sebuah negara
yang rakyatnya tidak mendengar dan juga tidak taat kepada pemerintahnya.

Beda antara dua negara ini, negara yang rakyatnya melakukan ketaatan dan mendengar apa yang
diperintahkan oleh pemerintah, maka kita dapatkan keamanan di dalam negara tersebut, ketenangan,
nyaman rakyatnya di dalam melakukan berbagai kegiatan, baik kegiatan agama maupun kegiatan dunia,
dengan leluasa mereka beribadah, melakukan haji setiap tahun, melakukan shalat lima waktu secara
berjama’ah, mendirikan shalat hari raya, juga syari’at syari’at yang lain.
Dan dengan leluasa mereka melakukan kegiatan dunia, berdagang, bepergian, karena rakyatnya
mendengar dan taat kepada pemerintahnya.

Lain dengan sebuah negara yang di situ rakyatnya tidak mendengar dan tidak taat kepada pemerintah.
Keamanan tidak stabil, rakyatnya di dalam berbagai kegiatan mereka merasa tidak aman, baik ketika
beribadah maupun dalam melakukan kegiatan-kegiatan dunia, banyak di antara mereka yang tidak bisa
melaksanakan haji, takut untuk shalat berjama’ah, wanita yang muslimah takut untuk menggunakan
jilbab dan juga perkara-perkara yang lain.

Beda antara sebuah negara yang rakyatnya taat kepada penguasa dengan sebuah negara yang rakyatnya
tidak taat kepada penguasa.
Oleh karena itu beliau mengatakan: ‫ شَرعًا َو َقد ًَرا‬Baik secara syari’at maupun takdir, taat kepada
pemerintah adalah sesuatu yang sangat penting bagi seorang muslim.
Halaqah 13 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 4
Halaqah yang ke tiga belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,

َ ‫ف عِندَ أَكثَ ِر َمن َيدَّعِي العِل َم فَكَي‬


‫ف العَ َم ُل ِبه‬ ُ ‫ار َهذَا اْلَص ُل َّل يُع َر‬
َ ‫ص‬َ ‫ث ُ َّم‬
Kemudian berlalulah masa, sehingga perkara ini tidak diketahui oleh sebagian besar orang yang
mengaku berilmu, apalagi beramal dengan perkara ini.

Dengan berlalunya waktu dan umat Islam tertimpa dengan kejahilan, dengan syubhat, dengan syahwat,
sehingga perkara ini, yaitu pentingnya taat kepada pemerintah dan penguasa tidak diketahui oleh
sebagian besar orang yang mengaku memiliki ilmu.
Maka bagaimana dengan beramal dengannya? Kalau mengetahui saja tidak, apalagi mengamalkan
perkara ini.

Dan ini yang terjadi di zaman beliau rahimahullah, demikian pula di zaman kita, banyak orang yang
mengaku berilmu, memiliki kecerdasan akan tetapi di dalam masalah ketaatan kepada waliyul amr
(ketaatan kepada pemerintah, kepada penguasa) ternyata mereka jauh dari tuntunan agama, bahkan
menganggap bahwasanya memberontak kepada pemerintah, membicarakan kejelekan pemerintah
disebut sebagai sebuah keberanian atau dipolesi dengan amar ma’ruf nahi munkar.
Dianggap ini adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.

Dan mereka menganggap bahwasanya orang yang mendengar dan taat kepada pemerintah dianggap
sebagai seorang yang pengecut, dianggap sebagai seorang yang mencari muka di hadapan penguasa.
Maka ini adalah semuanya karena seseorang tidak mengetahui tentang pentingnya mendengar dan taat
kepada pemerintah.

Dan bukan berarti mendengar dan taat kepada pemerintah kemudian kita tidak memberikan nasihat. Di
dalam Islam, nasihat diperuntukan bagi rakyat biasa, demikian pula kepada pemerintah kaum muslimin.
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

َ ‫سو ِل ِه َو ِْل َ ِئ َّم ِة ال ُمسلِمِ ينَ َو‬


‫عا َّم ِت ِهم‬ ُ ‫ ِل َمن؟ قَا َل للِ َو ِل ِكتَا ِب ِه َول َِر‬: ‫صي َحةُ قُلنَا‬
ِ ‫ال ِدي ُن ال َّن‬
“Agama ini adalah nasihat. Para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, untuk siapa?”

َ ‫سو ِل ِه َو ِْل َ ِئ َّم ِة ال ُمسلِمِ ينَ َو‬


‫عا َّم ِت ِهم‬ ُ ‫لل َو ِل ِكتَا ِب ِه َول َِر‬
ِ
Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) mengatakan,
َ ‫َو ِْل َ ِئ َّم ِة ال ُمسلِمِ ينَ َو‬
‫عا َّم ِت ِهم‬
“Nasehat bagi pemerintah kaum muslimin demikian pula orang-orang yang awam diantara mereka.”
(Hadits shahih riwayat Muslim nomor 55)

Dan bahwasanya menasihati pemerintah harus memiliki adab yang baik.


Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,
َّ َ‫عَّلنيةً ولِيأخذُ بي ِد ِه فإن قب َل منهُ فذاك‬
‫وإّل قد أدَّى ما علي ِه‬ َ ُ‫سلطان فَّل يُب ِد له‬
ُ ‫ص َح لِذي‬
َ ‫َمن أرادَ أن َين‬
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menasihati kepada pemerintah (penguasa) maka janganlah
menampakkan nasihat tersebut.”

Artinya jangan sampai menasihati seorang penguasa dan seorang pemerintah di depan khalayak ramai
(di depan orang banyak).
“Dan hendaklah mengambil tangannya (dan hendaklah berkhalwat dengannya).”

Artinya bersendirian, tidak dilihat oleh rakyatnya, tidak didengar oleh rakyatnya, tetapi nasihat tersebut
adalah nasihat secara pribadi antara dirinya dengan penguasa tersebut.
Karena seorang penguasa dan pemerintah ini memiliki wibawa di depan rakyatnya, di depan
bawahannya. Apabila seseorang menasehati pemerintah, menyebutkan kesalahannya diantara
rakyatnya atau di depan rakyatnya tentunya ini akan menimbulkan perkara yang tidak baik. Wibawa
seorang pemerintah menjadi turun, dan apabila turun maka rakyat akan enggan untuk mendengar dan
taat kepada pemerintah tersebut.
Dan kalau mereka tidak mau mendengar, tidak mau mentaati, maka yang terjadi adalah kerusakan di
sebuah daerah.

“Apabila diterima nasihatnya, maka itulah yang kita inginkan. Kalau tidak diterima maka dia telah
melakukan kewajibannya.”

Artinya apabila diterima nasihat kita maka itulah yang kita inginkan, kebaikan bagi penguasa adalah
kebaikan bagi rakyatnya.
Tapi kalau tidak diterima oleh pemerintah tersebut (oleh penguasa tersebut) maka kita sudah
melaksanakan kewajiban kita sebagai seorang muslim, sebagai seorang rakyat, yaitu memberikan
nasihat kepada pemerintah dan penguasa kita. Adapun dia tidak menerima nasihat kita, maka ini urusan
dia dengan Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Ini adalah petunjuk Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam menasihati pemerintah, bukan
menunjukkan kesalahan pemerintah dan mengobralnya di depan umum ketika khutbah-khutbah, ketika
ceramah-ceramah, maka ini semua melanggar petunjuk Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Halaqah 14 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 1
Halaqah yang ke empat belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,

َ ‫ش َّب َه ِب ِهم َولَي‬


‫س مِ ن ُهم‬ َّ ‫اَْلَص ُل‬
َ َ‫ َو َب َيا ُن َمن ت‬، ِ‫ َوالفِق ِه َوالفُ َق َهاء‬، ِ‫ َب َيا ُن العِل ِم َوالعُلَ َماء‬: ‫الرا ِب ُع‬
Perkara pokok yang keempat adalah tentang:
Penjelasan makna dari ilmu dan para ulama dan makna dari fiqih dan juga para fuqaha’ dan menjelaskan
tentang orang-orang yang menyerupai mereka, padahal dia bukan termasuk ulama dan bukan termasuk
fuqaha’.

Hal ini juga termasuk perkara yang penting seperti yang dikatakan oleh pengarang, karena banyak di
zaman kita orang yang tidak mengetahui apa itu sebenarnya ilmu.
Yang telah datang keutamaannya di dalam Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi
wa sallam.
Yang kita diperintahkan untuk menuntutnya.
yang dengannya seseorang mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah.
Yang dengannya dia bisa selamat di dunia dan juga di akhirat.
Banyak diantara saudara-saudara kita yang belum mengetahui apa sebenarnya ilmu tersebut.
Dan para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan ilmu yang ada di dalam Al Qur’an dan juga hadits-
hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang kita didorong dan dianjurkan untuk menuntutnya, yang
barangsiapa menuntutnya maka akan dimudahkan jalan menuju surga, dan bahwasanya orang yang
menuntutnya berarti Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menginginkan kebaikan darinya.

Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah:


‫ما قال هللا و قال الرسول‬
“Apa yang dikatakan oleh Allah dan apa yang dikatakan oleh Rasul-Nya.”
Apabila di situ disebutkan ilmu, maka yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah ilmu syar’i, ilmu
yang bersumber (berdasar) dari Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam
yang shahih.

Di dalam ayatnya, Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,


‫َيرفَعِ ٱ َِّلُ ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا مِ ن ُكم َوٱلَّذِينَ أُوتُوا ٱلعِل َم د ََر َج ٰـت‬

“Allah Subhānahu wa Ta’āla akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-
orang yang diberikan ilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11)
Di sini Allah Subhānahu wa Ta’āla berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan
juga orang-orang yang diberikan ilmu, diangkat oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla beberapa derajat.
Yang dimaksud dengan ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu agama, apa yang dikatakan oleh Allah dan
apa yang dikatakan oleh Rasul-Nya.
Demikian pula firman Allah Subhānahu wa Ta’āla menceritakan tentang perintah Allah Subhānahu wa
Ta’āla kepada Nabi-Nya untuk meminta tambahan ilmu sebagaimana firman Allah,

ِ ‫َوقُل َّر‬
‫ب ِزدنِى عِل ًما‬
Dan katakanlah wahai Muhammad, “Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha: 114)

Maka yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya.
Allah Subhānahu wa Ta’āla menyuruh Nabi-Nya untuk meminta tambahan, bukan meminta tambahan
dunia atau kekuasaan atau yang lain, akan tetapi disuruh untuk meminta tambahan ilmu, dan ilmu di
sini adalah ilmu agama.
Demikan pula ilmu yang datang di dalam hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, maka yang
dimaksud adalah ilmu agama.

Sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,


‫ط ِريقًا إلَى ال َج َّن ِة‬
َ ‫ّللاُ لَهُ ِب ِه‬
َّ ‫س َّه َل‬ ُ ِ‫ط ِريقًا َيلتَم‬
َ ‫س فِي ِه عِل ًما‬ َ َ‫سلَك‬
َ ‫َمن‬
“Barangsiapa yang menuntut atau menempuh sebuah jalan di dalam jalan tersebut dia ingin mencari
ilmu agama, maka Allah Subhānahu wa Ta’āla akan memudahkan dia jalan menuju surga.” (Hadits
shahih riwayat Muslim)

Dan jalan di sini, bisa jalan haqiqi seseorang bepergian jauh dengan berjalan kaki atau menggunakan
kendaraan atau yang dimaksud dengan jalan di sini adalah jalan maknawi yaitu cara untuk mendapatkan
ilmu. Seperti seseorang membaca atau mendengarkan, maka ini juga termasuk jalan menuntut ilmu
agama. Pahalanya maka Allah Subhānahu wa Ta’āla akan memudahkan dia jalan menuju Surga.

Karena orang yang menuntut ilmu maka dia akan mengetahui yang benar, sehingga dia bisa
mengamalkan kebenaran tersebut. Dan orang yang menuntut ilmu maka dia akan mengenal yang bathil,
sehingga dia dengan mudah meninggalkan kebathilan tersebut.

Apabila seseorang istiqomah dengan ilmu yang dia miliki, mengetahui kebenaran dan
mengamalkannya, dan mengetahui kebathilan kemudian meninggalkannya, sampai dia meninggal
dunia maka diharapkan orang yang demikian akan dimudahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla masuk
ke dalam surga.
Halaqah 15 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 2
Halaqah yang ke lima belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Demikian pula sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,


‫ـرا يُـفَـقِـههُ فِي الدِي ِن‬
ً ‫َمن ي ُِر ِد هللاُ ِب ِه خَي‬
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah Subhānahu wa Ta’āla akan menjadikan
dirinya faqih (memahami) agamanya.”
Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan kepada dirinya, diinginkan oleh Allah menjadi orang yang
beruntung.
Ciri-cirinya apa? Allah akan jadikan dia memahami agamanya.
Yang dimaksud dengan fiqih di sini adalah ilmu agama dan ini menunjukkan tentang keutamaan
menuntut ilmu agama.
Dijadikan dia semangat menuntut ilmu, dijadikan dia mudah untuk memahami agamanya, inilah orang
yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla. Dan sebaliknya orang yang tidak Allah
kehendaki kebaikan maka dijadikan dia tidak memahami agamanya.

Dan dalil-dalil yang lain apabila kita menemukan lafadz ilmu di dalam Al Qur’an maupun hadits-hadits
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, maka ketahuilah bahwasanya ilmu tersebut maksudnya adalah ilmu
agama, bukan ilmu yang lain.
Karena sebagian, apalagi di zaman sekarang menganggap semua pengetahuan dinamakan dengan ilmu,
sehingga ilmu-ilmu dunia pun dianggap itu ilmu yang dimaksud di dalam Al Qur’an dan juga hadits-
hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Padahal para ulama telah menjelaskan bahwasanya ilmu agama itulah yang dimaksud di dalam Al
Qur’an dan juga hadits. Adapun ilmu-ilmu dunia meskipun dinamakan ilmu oleh sebagian manusia
maka itu bukan yang dimaksud di dalam Al Qur’an dan juga hadits.
Ilmu dunia ini, apabila digunakan untuk kebaikan, manfaat bagi manusia, maka seseorang diharapkan
mendapatkan pahala. Namun apabila ilmu dunia digunakan untuk mudharat (merusak), maka tentunya
orang yang menyebarkannya (mengajarkannya) bukan mendapatkan pahala akan tetapi justru
mendapatkan dosa.
Ini perbedaan antara ilmu agama yang dimaksud di dalam Al Qur’an dan juga hadits dengan ilmu-ilmu
dunia.
Dan yang dimaksud dengan ulama adalah orang yang berpegang teguh dengan Al Qur’an dan juga
sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan mengilmui keduanya.
Setelah kita mengetahui apa itu ilmu, berarti kita mengetahui siapa itu ulama, yaitu orang yang
membawa Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Merekalah para ulama dan merakalah yang telah dipuji oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al
Qur’an, bahwasanya mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla karena
ilmu yang dia miliki, ilmu yang ada di dalam Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi
wa sallam.
Merekalah yang paling mengetahui dan mengenal Allah.
Merekalah yang paling takut dengan Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Oleh karena itu Allah berfirman,
‫ِل مِ ن ِع َبا ِد ِه ٱلعُلَ َم ٰـٓؤُا‬
َ َّ ‫ِإ َّن َما َيخشَى ٱ‬
“Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya adalah para ulama.”

(QS. Fathir: 28)


Kenapa demikian?
Karena mereka paling mengenal apa yang ada di dalam Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengenal siapa Allah dan apa hak-Nya.
Mengenal siapa Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan apa haknya.
Mengenal tentang agama Islam ini.
Mengenal pondasi agama ini dan apa cabangnya, sehingga merekalah yang disifati oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla sebagai hamba-hamba-Nya yang sangat takut dengan Allah Subhānahu wa
Ta’āla.
Dan di dalam hadits, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

ِ‫العُلُ َما ُء َو َرثَةُ اْلَن ِبيَاء‬


“Para ulama adalah pewaris para nabi.”

(Hadits shahih riwayat At Tirmidzi)

Ini menunjukkan bahwasanya ulama adalah orang yang mengetahui apa yang datang dari para nabi.
Apa yang datang dari mereka?
Yang datang dari mereka adalah,
‫ما قال هللا و قال الرسول‬

“Apa yang dikatakan oleh Allah dan apa yang dikatakan oleh Rasul-Nya.”

Dan para ulama, tugas mereka adalah mewarisi apa yang datang dari para nabi, artinya mewarisi
(mengambil dari mereka) apa adanya dan menyampaikan kepada yang setelahnya.
Jadi tugas ulama bukan menambah apa yang datang dari para nabi dan bukan mengurangi apa yang
datang dari nabi atau merubah-rubah maknanya. Tapi tugas mereka adalah mewarisi para nabi.
Inilah yang dinamakan dengan ulama yang datang di dalam Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Dan ini terkadang samar bagi sebagian orang, sehingga mereka tidak bisa membedakan siapa ulama
dan siapa yang bukan ulama.
Karena berlalunya masa, berlalunya waktu, banyaknya fitnah, banyaknya syubhat, sehingga sebagian
saudara kita tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan ulama dan mana yang bukan ulama.
Halaqah 16 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 3
Halaqah yang ke enam belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,

َ ‫ش َّب َه ِب ِهم َولَي‬


‫س مِ ن ُهم‬ َ َ‫َو َب َيا ُن َمن ت‬
Dan penjelasan siapa orang yang menyerupai mereka (para ulama).
Baik menyerupai pakaiannya misalnya, atau menyerupai ucapannya, atau menyerupai perilakunya, atau
menyerupai karena mereka memiliki pengikut yang banyak. Padahal mereka bukan termasuk ulama.
Kata beliau ini perlu dijelaskan dan ini adalah termasuk perkara yang penting, menjelaskan kepada umat
tentang siapa ulama dan siapa yang bukan ulama.
Apalagi di zaman sekarang hanya sekedar seseorang berani untuk berpidato atau berani untuk tampil
ke depan atau dibesar-besarkan oleh media, atau dia bisa menghapal satu ayat atau dua ayat, atau
sekedar memiliki pakaian yang berbeda dengan yang lain, memakai pakaian yang biasa dipakai oleh
para ulama, dan dia berani untuk tampil ke depan kemudian dianggap dan diyakini bahwasanya dia
seorang yang ‘alim atau seorang ulama.
Dan ini adalah termasuk usaha iblis untuk menyesatkan manusia, dan orang yang seperti ini, apa yang
dia rusak, ini lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.

Karena apabila seorang dianggap oleh manusia sebagai seorang ulama kemudian dia berfatwa, maka
fatwa yang datang darinya dikhawatirkan adalah fatwa yang tidak berdasarkan ilmu, tidak berdasarkan
Al Qur’an, tidak berdasarkan hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

َ ‫ُض َّل ٱل َّن‬


‫اس ِبغَي ِر عِلم‬ ِ ‫ِل َك ِذ ًبا ِلي‬ َ ‫فَ َمن أَظلَ ُم مِ َّم ِن ٱفت ََر ٰى‬
ِ َّ ‫علَى ٱ‬
“Siapa yang lebih zhalim daripada orang yang membuat kedustaan atas nama Allah Subhānahu wa
Ta’āla.”
Allah menghalalkan, kemudian dia mengatakan haram diantara manusia.
Allah mengatakan ini disunnahkan, kemudian dia mengatakan ini adalah sesuatu yang tidak
disunnahkan.

َ ‫ُض َّل ٱل َّن‬


‫اس ِبغَي ِر عِلم‬ ِ ‫ِلي‬
“Untuk menyesatkan manusia tanpa dasar ilmu.”

Oleh karena itu hendaklah seorang muslim dan juga muslimah waspada di dalam masalah ini.
Ilmu yang akan kita ambil adalah agama kita. Oleh karena itu kita melihat dari siapa kita mengambil
agama ini, sebagaimana ucapan sebagian salaf.
‫ع َّمن تَأ ُخذُونَ دِي َن ُكم‬ ُ ‫ فَان‬، ‫إِ َّن َهذَا العِل َم دِين‬
َ ‫ظ ُروا‬
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil
agama kalian.”
Seseorang ketika ingin mencari pengetahuan-pengetahuan dunia maka dia akan melihat dari siapa dia
mengambil pengetahuan tersebut.
Seseorang ingin mahir dalam komputer, maka dia akan mencari orang yang mahir (yang benar-benar
paham) yang dikenal tentang ilmunya di dalam masalah komputer.
Maka bagaimana dengan ilmu agama yang berkaitan dengan kebahagiaan kita di dunia maupun di
akhirat.

Kemudian beliau mengatakan,


ۡ
‫ع َل ۡي ُكمۡ ِإلَى قَو ِل ِه قَب َل ذِك ِر ِإب َراهِي َم‬ َ ‫ِي ِإسۡ ٰ َٓرءِ ي َل ٱذ ُك ُروا نِعۡ َمت‬
َ ُ‫ِي ٱلَّت ِٓي أ َ ۡن َعمۡ ت‬ ُ ‫َوقَد َبيَّنَ هللاُ تَ َعالَى َهذَا اْلَص َل فِي أ َ َّو ِل‬
ٓ ‫ ٰ َي َبن‬: ‫سو َر ِة ال َبقَ َر ِة مِ ن قَولِه‬
‫اآلية‬. … ‫ َيا َبنِي إِس َرا ِئي َل‬: { ‫علي ِه الس َََّّل ُم‬ َ َ
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini di dalam awal surat Al Baqarah, yaitu
dari firman Allah,

ۡ
َ ُ‫ِي أ َ ۡن َعمۡ ت‬
ۡ‫علَ ۡي ُكم‬ َ ‫ٰ َي َبن ِٓي ِإسۡ ٰ َٓرءِ ي َل ٱذ ُك ُروا نِعۡ َمت‬
ٓ ‫ِي ٱلَّت‬
Sampai firman Allah Subhānahu wa Ta’āla sebelum menyebutkan Ibrahim alayhissallām ‫ِي إِسۡ ٰ َٓرءِ ي َل‬
ٓ ‫ٰ َي َبن‬
Beliau rahimahullah ingin menjelaskan kepada kita tentang makna ilmu dengan mengambil dalil dari
awal surat Al Baqarah, yaitu ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla menceritakan tentang Bani Israil, yang
telah diturunkan kepada mereka Al Kitab, yaitu kitab Taurat dan telah diutus kepada mereka para Rasul.
Jadi mereka adalah orang-orang yang berilmu, oleh karena itu dinamakan dengan ahlul kitab,
diturunkan kepada mereka Al Kitab, Al Munazzal. Akan tetapi ternyata Bani Israil, mereka tidak
mengamalkan apa yang mereka ilmui.

Mengenal Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan tetapi tidak beriman dengan Beliau.
‫َيع ِرفُو َنهُ َك َما َيع ِرفُونَ أَبنَا َءهُم‬

“Mereka mengenal Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebagaimana mereka mengenal anak-
anak mereka.”
Mengenal anaknya, kapan lahirnya, bagaimana sifatnya, namun mereka tidak beriman dengan
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengenal bahwasanya Muhammad adalah Nabi yang hak yang dikabarkan di dalam kitab mereka, akan
tetapi tidak mengikuti Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

َ ‫علَى ٱلَّذِينَ َكف َُروا فَلَ َّما َجا ٓ َءهُم َّما‬


ِ‫ع َرفُوا َكف َُروا ِب ِۦه فَلَع َنةُ ٱ َِّل‬ َ َ‫صدِق ِل َما َمعَ ُهم َوكَانُوا مِ ن قَب ُل َيستَف ِتحُون‬ ِ َّ ‫َولَ َّما َجا ٓ َءهُم ِكتَ ٰـب ِمن عِن ِد ٱ‬
َ ‫ِل ُم‬
َ‫علَى ٱل َك ٰـف ِِرين‬ َ
“Dan ketika datang kepada mereka (orang-orang Bani Israil) ‫صدِق ِل َما َمعَ ُهم‬ ِ َّ ‫( ِكتَ ٰـب ِمن عِن ِد ٱ‬sebuah kitab
َ ‫ِل ُم‬
dari sisi Allah Subhānahu wa Ta’āla yang membenarkan apa yang ada pada mereka) setelah datang Al
Qur’an yang dibawa oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang isinya adalah membenarkan
apa yang ada di dalam kitab mereka.”
‫علَى ٱلَّذِينَ َكف َُروا‬
َ َ‫َوكَانُوا مِ ن قَب ُل َيستَف ِتحُون‬
“Dan sebelumnya orang-orang Yahudi, orang-orang Bani Israil, mereka mengancam orang-orang kafir
dari musyrikin, yaitu orang-orang musyrikin yang ada di kota Madinah ini.”

Orang-orang Yahudi dahulu tinggal di sini, di kota Madinah, berdampingan dengan orang-orang
musyrikin sebelum mereka masuk Islam.
Orang-orang Yahudi sering mengancam dan mengatakan kepada orang-orang musyrikin, sebentar lagi
akan datang seorang nabi dan kami akan memerangi kalian bersama nabi tersebut.
Kami akan beriman dengan nabi tersebut dan kami akan memerangi kalian bersama nabi tersebut.

Tetapi ketika datang apa yang mereka ketahui, datang Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersama
Beliau Al Qur’an, tiba-tiba mereka kufur dan mengingkari Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengatakan bahwasanya Beliau adalah seorang pendusta.
Mengatakan bahwasanya dia adalah bukan nabi yang dimaksud, karena kesombongan mereka.
Padahal mereka sangat tahu bahwasanya itu adalah seorang nabi dan itu adalah nabi yang dimaksud di
dalam kitab mereka.
Bahkan sebagian mereka mengutus seseorang ke kota Mekkah saat itu untuk menanyakan kepada
Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam tiga perkara, dimana tiga perkara ini tidak mungkin menjawabnya
kecuali seorang nabi.
Ditanyakan kepada beliau tentang:
1. Ashabul kahfi
2. Dzulqarnain

Setelah Allah Subhānahu wa Ta’āla menurunkan surat Al Kahfi, Beliau bisa menjawab itu semua.
Tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut, kecuali seorang nabi yang diutus oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
Mereka tahu bahwasanya itu adalah seorang nabi atau nabi yang diutus dan yang dimaksud olah Allah
Subhānahu wa Ta’āla di dalam kitab mereka.
Tapi mereka mengingkari dan kufur karena kesombongan.

Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,


ۡ
َ ُ‫ِي أ َ ۡن َعمۡ ت‬
ۡ‫علَ ۡي ُكم‬ َ ‫ٰ َي َبن ِٓي ِإسۡ ٰ َٓرءِ ي َل ٱذ ُك ُروا نِعۡ َمت‬
ٓ ‫ِي ٱلَّت‬
“Wahai Bani Israil hendaklah kalian mengingat kenikmatanku yang telah aku berikan kepada kalian.”
(QS. Al Baqarah: 40)
Kalian telah diberikan kitab, diutus kepada kalian Rasul, dan disebutkan di dalam ayat-ayat selanjutnya
bagaimana kenikmatan yang Allah berikan kepada Bani Israil.
Dahulu mereka dalam cengkraman Fir’aun kemudian diutus Musa ‘alaihissalam dan diselamatkan dari
Fir’aun, dan mereka melihat bagaimana Fir’aun ditenggelamkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Kemudian diberikan mereka Al Ardhu Al Muqaddasah (tanah yang suci) dan mereka diperintahkan
untuk masuk ke dalamnya, dan kenikmatan-kenikmatan yang lain yang banyak, yang Allah berikan
kepada Bani Israil.

Supaya apa? Ketika mereka mengingat kenikmatan tersebut mereka mau beriman dengan Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Cara bersyukurnya adalah dengan cara beriman dengan Rasul yang terakhir yang Allah utus kepada
mereka.
Sampai firman Allah,
‫قَب َل ذِك ِر ِإب َراهِي َم‬
Yaitu sebelum ayat,
‫َوإِ ِذ ٱبتَلَ ٰ ٓى إِب ٰ َر ِه ۧـ َم َر ُّبهُۥ ِب َك ِل َم ٰـت فَأَتَ َّم ُه َّن‬

َ ‫علَي ُكم َوأَنِى فَضَّلت ُ ُكم‬


َ‫علَى ٱل َع ٰـلَمِ ين‬ َ ‫ِى ِإس ٰ َٓرءِ ي َل ٱذ ُك ُروا نِع َمت‬
َ ُ‫ِى ٱلَّت ِٓى أَن َعمت‬ ٓ ‫َي ٰـ َبن‬
“Wahai Bani Israil, ingatlah kenikmatan yang telah aku berikan kepada kalian dan sesungguhnya aku
telah memuliakan kalian di atas alam ini (di atas manusia yang lain).” (QS. Al Baqarah: 47)

Allah Subhānahu wa Ta’āla mengingatkan Bani Israil tentang kenikmatan-kenikmatan yang Allah
berikan kepada mereka dengan harapan mereka mau beriman dan bersyukur dan mengikuti Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Halaqah 17 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 4
Halaqah yang ke tujuh belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan,
‫امي ِ ال َبلِي ِد‬
ِ َ‫ح لِلع‬ ِ ‫س َّنةُ فِي َهذَا الك َََّل ِم ال َكثِي ِر ال َب ِي ِن ال َو‬
ِ ‫اض‬ ُّ ‫ص َّر َحت ِب ِه ال‬
َ ‫َو َي ِزيدُهُ ُوضُو ًحا َما‬
Dan perkara ini menjadi jelas (yaitu tentang masalah makna ilmu dan siapa ulama).
Menjadi jelas dengan apa yang datang di dalam hadits-hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam
yang dipahami oleh seorang yang bodoh sekalipun.
ِ ‫ار العِل ُم َوالفِقهُ ه َُو ال ِبدَعُ َوالض َََّّل َّل‬
‫ت‬ َ ‫ص‬ َ ‫ار َهذَا أَغ َر‬
َ ‫ب اْلَشيَاءِ َو‬ َ ‫ص‬َ ‫ث ُ َّم‬
“Kemudian setelah itu jadilah ini perkara yang aneh.”
Seseorang apabila ceramah atau berbicara hanya berdasarkan Al Qur’an dan hadits, maka ini dianggap
sesuatu yang aneh dan bahwasanya ini adalah tidak lumrah (berbicara hanya berdasarkan Al Qur’an
dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam).
“Kemudian jadilah yang dinamakan dengan ilmu adalah bid’ah dan juga kesesatan.”
Inilah yang dimaksud dengan ilmu menurut sebagian manusia, apabila seseorang memiliki kemahiran
di dalam bid’ah, pengetahuan yang banyak tentang bid’ah-bid’ah, amalan-amalan yang tidak
berdasarkan Al Qur’an dan hadits, maka dia dikatakan sebagai orang yang memiliki ilmu. Demikian
pula kesesatan-kesesatan, ini dianggap sebagai ilmu agama.
Kemudian beliau mengatakan,
‫ق ِبالبَاطِ ِل‬ ُ ‫ار َما عِندَهُم لَب‬
ِ ‫س ال َح‬ ُ ‫َوخِ َي‬
“Dan apa yang terbaik di dalam mereka adalah mencampuri (membolak balik) kebenaran dengan
kebathilan.”
‫ق َو َمدَ َحهُ َّل َيتَف ََّوهُ ِب ِه ِإ َّّل ِزندِيق أَو َمجنُون‬
ِ ‫علَى الخَل‬
َ ‫ضهُ هللاُ تَ َعالَى‬
َ ‫ار العِل ُم الذِي فَ َر‬
َ ‫ص‬َ ‫َو‬
Kemudian menurut sebagian manusia bahwasanya ilmu yang tadi kita sebutkan yang telah diwajibkan
oleh Allah atas makhluk-makhluknya dan telah Allah puji, mereka mengatakan, “Tidak menyampaikan
ilmu ini kecuali zindiq atau seorang yang majnun (seorang pendusta atau orang yang gila).”
Dianggapnya orang yang ketika menyampaikan hanya ‫ قال هللا قال الرسول‬, dianggapnya ini adalah seorang
yang zindiq atau seorang yang majnun (orang yang tidak waras).

َ ِ ‫ف فِي التَّحذِي ِر مِ نهُ َوال َّنهي‬


‫عنهُ ه َُو الفَقِيهُ العَا ِل ُم‬ َ ‫ص َّن‬ َ ‫ار َمن أَنك ََرهُ َو‬
َ ‫عادَاهُ َو‬ َ ‫ص‬َ ‫َو‬
“Dan jadilah orang yang mengingkari cara seperti ini, dan memusuhi cara seperti ini, bahkan mengarang
karangan-karangan yang isinya adalah mengingatkan manusia dari menuntut ilmu dengan cara seperti
ini dan melarang darinya disebut sebagai seorang yang faqih, sebagai seorang yang ‘alim.”
Yaitu orang-orang yang mengingatkan manusia dari ceramah-ceramah yang isinya adalah apa yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya, dengan pemahaman para sahabat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum.
Dan ini semua termasuk talbis iblis, yaitu supaya manusia jauh dari para ulama, jauh dari Al Qur’an,
jauh dari hadits, jauh dari pemahaman para sahabat radhiyallāhu ‘anhum. Dan supaya mereka dekat
dengan imam-imam kesesatan, dekat dengan ulama su’, ulama-ulama yang tidak benar, yang tidak baik.
Itulah yang ingin disampaikan oleh pengarang pada perkara yang ke empat ini.
Halaqah 18 | Penjelasan Pokok Ke Lima Bagian 1
Halaqah yang ke delapan belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau rahimahullah mengatakan,

ُ ِ‫اَْلَص ُل الخَام‬:
‫س‬

ِ ‫سب َحا َنهُ ِْلَو ِليَاءِ هللاِ َوتَف ِريقُهُ َبي َن ُهم َو َبينَ ال ُمتَش َِب ِهينَ ِب ِهم مِ ن أَعدَاءِ هللاِ ال ُمنَافِقِينَ َوالفُج‬
‫َّار‬ ُ ِ‫َب َيا ُن هللا‬
Perkara yang penting yang ke lima:
Penjelasan dari Allah Subhānahu wa Ta’āla tentang wali-wali Allah dan pembedaan Allah antara wali-
wali Allah dengan orang-orang yang menyerupai mereka dari musuh-musuh Allah baik dari kalangan
orang-orang munafik maupun dari orang-orang yang fajir.

Ini adalah perkara yang ke lima yang sangat penting yang hendaknya diketahui oleh seorang muslim.
Yaitu tentang penjelasan Allah tentang siapa wali-wali Allah Subhānahu wa Ta’āla dan apa perbedaan
antara wali-wali Allah dengan wali-wali syaithan yang mereka menyerupai atau berusaha untuk serupa
dengan wali-wali Allah baik dari kalangan orang-orang munafik maupun orang-orang yang fajir.

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al Qur’an demikian pula di dalam sunnah Nabi-Nya telah
menjelaskan sifat-sifat wali-wali Allah.
Yang barangsiapa bersifat atau memiliki sifat tersebut maka dia termasuk wali Allah Subhānahu wa
Ta’āla. Adapun yang tidak memiliki sifat tersebut dan bertentangan dengan sifat tersebut maka dia
bukan termasuk wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Telah dijelaskan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al Qur’an dan telah dijelaskan oleh
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam hadits-hadits yang shahih. Namun ternyata masih
banyak di kalangan kaum muslimin yang samar baginya perkara ini, sehingga tidak bisa membedakan
antara wali Allah dengan wali syaithan.
Terkadang wali Allah mereka anggap sebagai wali syaithan dan sebaliknya wali syaithan dianggap
sebagai wali Allah.

Sebagian berkeyakinan bahwasanya wali Allah harus memiliki kemampuan yang luar biasa, memiliki
kesaktian, memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia yang lain, bisa menghilang, bisa
terbang, bisa berjalan di atas air, bisa bergerak dengan cepat dari satu tempat ke tempat yang lain, kebal
dari senjata tajam.
Dan sebagian meyakini bahwasanya wali Allah, mereka harus berasal dari keturunan tertentu.
Dan sebagian meyakini bahwasanya yang dinamakan dengan wali Allah harus memiliki pakaian
tertentu, yang berbeda pakaian tersebut dari yang lain.
Dan sebagian mempercayai bahwasanya yang dinamakan dengan wali adalah orang yang tidak
berkewajiban untuk melakukan syari’at, tidak perlu shalat, tidak perlu puasa, tidak perlu berhaji.
Dan sebagian meyakini bahwasanya seorang wali berarti dia boleh untuk melakukan segala perkara
yang dilarang. Boleh berzina, boleh minum khamr, boleh berdusta.
Ini adalah keyakinan sebagian saudara kita, yang dinamakan dengan wali adalah demikian. Atau
berkeyakinan bahwasanya seorang wali adalah seseorang yang kuburannya dibangun di atasnya
bangunan, dibuat kubah yang besar, dibuat rumah, dikunjungi oleh orang banyak, maka ini dinamakan
dengan wali diantara wali-wali Allah.

Demikianlah kenyataannya ukuran manusia di dalam menilai wali. Padahal Allah Subhānahu wa Ta’āla
di dalam Al Qur’an, demikian pula Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam telah menyebutkan sifat-
sifat wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Oleh karena itu di sini pengarang menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an yang berisi tentang sifat-sifat
wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Beliau mengatakan,

َ َ‫﴿قُل ِإن ُكنتُم تُحِ بُّون‬: ‫ِي قَولُهُ تَعالَى‬


]31: ‫هللا فَاتَّ ِبعُونِي يُح ِبب ُك ُم هللاُ﴾ [آل عمران‬ َ ‫ور ِة آ ِل عِمرانَ ؛ َوه‬
َ ‫س‬ُ ‫آ َية في‬: ‫ َو َيكفِي في هَذا‬،
Dan cukup di dalam masalah ini, sebuah ayat di dalam surat Ali Imran yaitu firman Allah Subhānahu
wa Ta’āla yang artinya,
“Katakanlah kalau kalian benar-benar mencintai Allah, maka hendaklah kalian mengikuti aku, niscaya
Allah Subhānahu wa Ta’āla akan mencintai kalian.” (QS Ali Imran: 31)

Tanda bahwasanya seseorang mencintai Allah adalah mencintai Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam dan mengikuti Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Orang yang mencintai Allah, maka dia akan mengucapkan, akan mengamalkan apa yang dicintai oleh
Allah Subhānahu wa Ta’āla. Kalau kita mengaku mencintai Allah, maka kita tidak akan melakukan
perbuatan, tidak akan mengucapkan ucapan yang akan membuat marah Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Karena kita mengaku mencintai Allah Subhānahu wa Ta’āla, kita sebagai seorang makhluk apabila
mencintai makhluk yang lain tentunya kita tidak ingin keluar dari diri kita ucapan atau perbuatan yang
akan membuat marah makhluk tersebut.
Demikian pula seorang muslim yang mengaku mencintai Allah Subhānahu wa Ta’āla. Dia ingin
mengucapkan segala ucapan yang dicintai oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla supaya Allah ridho
dengannya dan dia ingin mengamalkan segala amalan yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Subhānahu
wa Ta’āla sehingga dia mendapatkan kecintaaan dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Dari mana kita tahu bahwasanya ucapan dicintai oleh Allah dan bahwasanya perbuatan dicintai oleh
Allah Subhānahu wa Ta’āla?
Tidak ada jalan untuk mengetahui bahwasanya ucapan atau perbuatan dicintai oleh Allah kecuali
dengan melihat bagaimana Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Kalau kita ingin mencari ucapan yang dicintai oleh Allah, akhlak yang dicintai Allah, ibadah yang
dicintai oleh Allah, maka kita melihat bagaimana Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam berucap,
beramal, beribadah.
Maka kita akan dapatkan di sana berbagai ucapan yang dicintai oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla,
berbagai ibadah, dan amalan yang dicintai oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Mengikuti syari’at-ku yang isinya tentang akidah, tentang akhlak, tentang ibadah. Janganlah
menyelisihi aku karena yang dibawa oleh Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam semuanya dicintai oleh
Allah Subhānahu wa Ta’āla. Untuk mendapatkan kecintaan Allah Subhānahu wa Ta’āla caranya adalah
dengan mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

‫َو َيغفِر لَ ُكم ذُنُو َب ُكم‬


“Dan Allah akan mengampuni dosa kalian.”

Ini adalah balasan, ganjaran, dan juga pahala bagi orang yang mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alayhi
wa sallam.
Ini adalah salah satu diantara ciri-ciri wali-wali Allah Subhānahu wa Ta’āla, bahwasanya dia mengikuti
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Mengikuti Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam akidahnya, di dalam tauhidnya, di dalam
dakwahnya, di dalam ibadahnya, di dalam akhlaknya, di dalam muamalahnya.

Adapun orang yang tidak mengikuti sunnah Beliau, beramal dengan amalan yang diada-adakan,
mengajak kepada kesyirikan, beribadah dengan ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka yang demikian tidak dinamakan dengan wali Allah.
Halaqah 19 | Penjelasan Pokok Ke Lima Bagian 2
Halaqah yang ke sembilan belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,


ُ‫ف َيأتِي ّللاُ ِبقَوم يُحِ ُّب ُهم َويُحِ بُّو َنه‬ َ ‫ َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا َمن َيرتَدَّ مِ ن ُكم‬،‫ِي قَولُهُ تَعالَى‬
َ َ‫عن دِي ِن ِه ف‬
َ ‫سو‬ َ ‫َوآ َية فِي سورة المائدة َوه‬
Dan satu ayat di dalam surat Al Maidah, yaitu firman Allah Subhānahu wa Ta’āla yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya, maka Allah
Subhānahu wa Ta’āla akan mendatangkan sebuah kaum yang dicintai oleh Allah dan mereka juga
mencintai Allah.”
Dan ayat selanjutnya,
ٓ َ َ‫ِل َو َّل َيخَافُونَ لَو َمة‬
‫ّلئِم‬ َ ‫علَى ٱل ُمؤمِ نِينَ أَع َِّزة‬
َ ‫علَى ٱل َك ٰـف ِِرينَ يُ َج ٰـ ِهدُونَ فِى‬
ِ َّ ‫س ِبي ِل ٱ‬ َ ‫أ َ ِذلَّة‬
“Yang mereka merendahkan diri mereka di hadapan orang-orang yang beriman, yang mereka
memiliki izzah (memiliki wibawa) di atas orang-orang yang kafir, mereka berjihad di jalan Allah dan
mereka tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela.”
Ini ada di dalam surat Al Maidah (ayat 54).

Dan disebutkan di dalam ayat yang mulia ini beberapa sifat yang dimiliki oleh wali-wali Allah:
1. Mereka dicintai oleh Allah dan mereka pun mencintai Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Kenapa dicintai oleh Allah? Karena mereka mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengikuti Beliau dengan sebaik-baiknya, baik dalam aqidahnya, dalam ibadahnya, dalam akhlaknya,
dan mereka juga mencintai Allah Subhānahu wa Ta’āla, lebih dari cintanya kepada hartanya, kepada
jabatannya, daripada keluarganya, mencintai Allah lebih dari segala-galanya.

2. Mereka merendahkan dirinya terhadap orang-orang yang beriman, mencintai orang-orang yang
beriman, yang mereka adalah saudaranya.
‫إِ َّن َما ال ُمؤمِ نُونَ إِخ َوة‬

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara.”

‫المسلم أخو المسلم‬

“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.”

Mereka merendahkan dirinya di hadapan orang-orang beriman, tidak menyombongkan dirinya.


Inilah diantara sifat wali-wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Adapun bersama orang-orang kafir maka mereka memiliki izzah (memiliki wibawa), membenci orang-
orang kafir tersebut.
3. Mereka adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah Subhānahu wa Ta’āla dalam rangka
meninggikan kalimat Allah.

4. Dan mereka tidak takut celaan orang-orang yang mencela.


Ketika mereka beramar ma’ruf nahi munkar, menegakkan agama Allah, tentunya di sana ada orang
yang tidak senang. Namun seorang wali Allah Subhānahu wa Ta’āla mereka tidak takut dengan celaan
orang-orang yang mencela tersebut.
Inilah diantara sifat-sifat wali-wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Kemudian yang ke tiga,


‫س َوهي قولُهُ تعالى‬
َ ُ‫َوآ َية فِي يُون‬
َ ‫}أ َ َّل إِ َّن أَو ِل َيا َء ّللاِ ّلَ خَوف‬
{ َ‫الذِينَ آ َمنُوا َوكَانُوا َيتَّقُون‬. َ‫علَي ِهم َو َّل هُم َيحزَ نُون‬
Dan satu ayat di dalam surat Yunus (ayat 62-63), yaitu firman Allah Subhānahu wa Ta’āla yang artinya:

“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah,mereka tidak takut dan mereka tidak bersedih. Mereka
adalah orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa.”
Jelas di dalam ayat ini, Allah menyebutkan kepada kita tentang sifat wali-wali Allah Subhānahu wa
Ta’āla.
Sesungguhnya wali-wali Allah, mereka tidak takut, yaitu tentang apa yang akan mereka hadapi di masa
yang akan datang ketika hari kiamat.
Karena Allah Subhānahu wa Ta’āla akan memberikan keamanan kepada mereka, memberikan rasa
tenang, memberikan rasa aman, di masa ketika manusia yang lain dalam keadaan takut.
َ‫ظلم أُولَ ٰـٓئِكَ لَ ُه ُم ٱْلَم ُن َوهُم ُّمهتَدُون‬ ُ ‫ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا َولَم َيل ِب‬
ُ ‫س ٓوا ِإي َم ٰـ َن ُهم ِب‬

“Orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanannya dengan kedholiman (yaitu dengan
kesyirikan), maka merekalah yang akan mendapatkan keamanan.” (QS. Al An’am: 82)
Karena di dunianya mereka menunaikan hak-hak Allah Subhānahu wa Ta’āla.
َ‫َو َّل هُم َيحزَ نُون‬

“Dan mereka tidak akan bersedih (dengan apa yang sudah mereka tinggalkan dari dunia dan seisinya).”

Dan mereka yakin bahwasanya apa yang akan mereka dapatkan di sisi Allah adalah lebih baik daripada
dunia dan seisinya.
Siapa mereka? Allah mengatakan,
Mereka wali-wali Allah. Mereka adalah orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang
bertakwa.
Apabila Allah Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan di dalam sebuah ayat dua kalimat ini (yaitu iman
dan taqwa), maka iman dan taqwa ini memiliki makna yang berbeda.

• Iman adalah menjalankan perintah.

• Taqwa adalah menjauhi larangan.


Menjalankan perintah, dan perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla sangat banyak. Dan perintah yang
paling besar adalah perintah untuk bertauhid (meng-Esa-kan Allah Subhānahu wa Ta’āla) yang dengan
sebab inilah diutus para Rasul, diturunkan kitab-kitab, bahkan tidak diciptakan jin dan juga manusia
kecuali untuk menunaikan, mewujudkan, mentauhidkan Allah Subhānahu wa Ta’āla.

ِ ‫نس إِ َّّل ِل َيعبُد‬


‫ُون‬ َ ‫َو َما َخلَقتُ ٱل ِج َّن َوٱ ِإل‬
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan juga manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” (QS. Adz-
Dzariyat: 56)
Dan perintah pertama yang ada di dalam Al Qur’an yang Allah sebutkan adalah perintah untuk bertauhid
(meng-Esa-kan Allah Subhānahu wa Ta’āla) di dalam ibadah.
َ‫اس ٱعبُدُوا َر َّب ُك ُم ٱلَّذِى َخلَقَ ُكم َوٱ َّلذِينَ مِ ن قَب ِل ُكم لَ َعلَّ ُكم تَتَّقُون‬
ُ ‫َي ٰـٓأ َ ُّي َها ٱل َّن‬
“Wahai manusia hendaklah kalian beribadah kepada Rabb kalian.” (QS. Al Baqarah: 21)

Siapa Rabb kalian?


َ‫ٱلَّذِى َخلَقَ ُكم َوٱلَّذِينَ مِ ن قَب ِل ُكم لَعَلَّ ُكم تَتَّقُون‬

“Dia adalah yang menciptakan kalian dan menciptakan orang-orang sebelum kalian supaya kalian
bertakwa.”
Ini adalah perintah pertama yang Allah sebutkan, adalah perintah untuk bertauhid.
Sebelum menyebutkan perintah-perintah yang lain, seorang wali Allah Subhānahu wa Ta’āla adalah
orang yang bertauhid, meng-Esa-kan Allah, mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah,
bukan beribadah kepada dirinya dan tidak mengajak manusia untuk menyembah kepada selain Allah,
memuja selain Allah, mengagungkan selain Allah. Inilah seorang wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Dan yang dimaksud dengan At-Taqwa adalah meninggalkan larangan. Dan larangan yang paling besar
adalah larangan untuk melakukan kesyirikan kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.
‫عظِ يم‬ ُ َ‫ِإ َّن ٱلشِركَ ل‬
َ ‫ظلم‬
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedholiman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Ditanya Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam oleh seorang sahabat,


َ ‫ب أَع‬
‫ظ ُم عِندَ هللا؟‬ ُّ َ ‫أ‬
ِ ‫ي الذَّن‬
“Ya Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah Subhānahu wa Ta’āla?”

Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

ِ ِ ‫أَن تَجعَ َل‬


َ‫ َوه َُو َخلَقَك‬،‫ِل نِدا‬

“Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah Subhānahu wa Ta’āla yang telah menciptakan
dirimu.”

Allah yang menciptakan kamu, kemudian engkau menyembah kepada selain Allah, menyerahkan
ibadah kepada selain Allah Subhānahu wa Ta’āla atau sebagian ibadah kepada selain Allah.
Seorang yang menjadi wali Allah adalah orang yang meninggalkan kesyirikan.
Halaqah 20 | Penjelasan Pokok Ke Lima Bagian 3
Halaqah yang ke dua puluh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,


َ ِ ‫ار اْلَم ُر عِندَ أَكثَ ِر َمن َيدَّعِي العِل َم َوأ َ َّنهُ مِ ن هُدَا ِة الخَل‬
‫سل َو َمن‬ ُ ‫الر‬
ُّ ‫اع‬ ِ ‫ ِإلَى أ َّن اْلَو ِل َيا َء َّل ُبدَّ فِي ِهم مِ ن تَركِ ِات َب‬، ‫ع‬ َّ ‫ق َو ُحفَّاظِ ال‬
ِ ‫شر‬ َ ‫ص‬َ ‫ث ُ َّم‬
َ ‫تَ ِبعَ ُهم فَلَي‬
‫س مِ ن ُهم‬
Kemudian setelah itu kata beliau,
“Menurut sebagian besar orang yang mengaku berilmu dan bahwasanya dia adalah termasuk da’i,
seorang juru dakwah, dan penjaga syari’at, menurut mereka bahwasanya wali-wali, dia harus
meninggalkan mengikuti para Rasul alayhimussallām.”

َ ‫َو َمن تَ ِبعَ ُهم فَلَي‬


‫س مِ ن ُهم‬
“Barangsiapa yang mengikuti Rasul, maka dia bukan termasuk wali.”
Jadi dibalik, artinya amalannya harus tidak sesuai dengan Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Maka inilah yang dinamakan wali menurut mereka.
Berkebalikan dengan apa yang difirmankan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla,

َ َّ ‫قُل إِن ُكنتُم تُحِ بُّونَ ٱ‬


ُ‫ِل فَٱتَّ ِبعُونِى يُح ِبب ُك ُم ٱ َِّل‬
“Kalau kalian benar-benar mencintai Allah maka hendaklah kalian mengikuti aku.”

(QS. Ali Imran: 31)

Seorang wali adalah orang yang mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam, namun sebagian
orang membalik dan mengatakan bahwasanya seorang wali adalah orang yang tidak shalat, orang yang
tidak zakat, orang yang tidak puasa, artinya yang tidak mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam.
Inilah yang dinamakan wali karena dia sudah sampai hakikat, derajat yang paling tinggi, sehingga dia
tidak perlu mengikuti syari’at ini.

Wali dianggap adalah orang yang tidak mengikuti syari’at Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ini
menurut sebagian manusia, bertentangan dengan apa yang Allah kabarkan di dalam Al Qur’an.

َ ‫ فَ َمن جا َهدَ فَلَي‬،ِ‫الجهاد‬


‫س مِ ن ُهم‬ ِ ِ‫َوّل بُدَّ مِ ن تَرك‬
Dan menurut sebagian orang, yang namanya wali adalah orang yang meninggalkan jihad.
Adapun orang yang berjihad fii sabilillah maka dia bukan termasuk wali.

ِ َّ ‫س ِبي ِل ٱ‬
Padahal diantara sifat wali-wali Allah, ‫ِل‬ َ ‫ يُ َج ٰـ ِهدُونَ فِى‬mereka berjihad fii sabilillah.

َ ‫اإليمان َوالتَّقوى فَلَي‬


‫س مِ ن ُهم‬ ِ ‫ فَ َمن تَ َع َّهدَ ِب‬،‫يمان َوالتَّق َوى‬
ِ ‫اإل‬ِ ِ‫َوّل ُبدَّ مِ ن تَرك‬
Kemudian kata mereka, orang yang dinamakan wali adalah orang yang meninggalkan iman dan taqwa.
Maka barangsiapa yang beriman dan bertaqwa maka dia bukan termasuk wali.
Ini adalah keyakinan sebagian manusia, yang dinamakan wali adalah orang yang tidak beriman dan
tidak bertaqwa.
Berkebalikan dengan apa yang Allah sebutkan di dalam ayat,
َ‫ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا َوكَانُوا َيتَّقُون‬

“Mereka adalah orang yang beriman dan mereka adalah orang yang bertakwa kepada Allah Subhānahu
wa Ta’āla.” (QS. Yunus: 63)

Ini adalah penjelasan dari muallif, menceritakan kepada kita tentang apa yang beliau lihat, apa yang
beliau dengar, yang beliau rasakan, di mana manusia dan khususnya kaum muslimin banyak diantara
mereka yang tidak bisa membedakan antara wali Allah dengan wali syaithan.
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan di dalam Al Qur’an, di sana ada wali Allah dan di sana
ada wali syaithan.

‫ضعِيفًا‬ َ ‫شي‬
َ َ‫ط ٰـ ِن كَان‬ َّ ‫ت فَقَ ٰـ ِتلُ ٓوا أَو ِل َيا ٓ َء ٱل‬
َ ‫شي‬
َّ ‫ط ٰـ ِن إِ َّن كَيدَ ٱل‬ َّ ‫س ِبي ِل ٱ‬
ِ ‫لط ٰـغُو‬ َ ‫ِل َوٱلَّذِينَ َكف َُروا يُقَ ٰـ ِتلُونَ فِى‬ َ ‫ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا يُقَ ٰـ ِتلُونَ فِى‬
ِ َّ ‫س ِبي ِل ٱ‬
“Orang-orang yang beriman, mereka berperang fii sabilillah. Dan orang-orang yang kafir mereka
berperang di jalan thaghut. (Kemudian Allah mengatakan) maka hendaklah kalian memerangi wali-wali
syaithan.” (QS. An-Nisa’: 76)

Di sana ada wali-wali Allah dan di sana ada wali-wali syaithan, dan kita diperintahkan untuk memerangi
wali-wali syaithan.
Kemudian Allah berfirman,
َ َ ‫ش َيـٰطِ ينَ لَيُوحُونَ إِلَ ٰ ٓى أَو ِل َيا ٓ ِئ ِهم ِليُ َج ٰـ ِدلُو ُكم َوإِن أ‬
َ‫طعت ُ ُموهُم إِ َّن ُكم لَ ُمش ِر ُكون‬ َّ ‫َوإِ َّن ٱل‬

“Dan sesungguhnya syaithan-syaithan, mereka mewahyukan kepada wali-walinya, supaya mereka


mendebat kalian. Dan seandainya kalian mentaati mereka (mentaati wali-wali syaithan), niscaya kalian
menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’am: 121)

Dan tidak harus seseorang yang dinamakan dengan wali Allah harus memiliki kemampuan yang luar
biasa, yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, misalnya bisa terbang, atau berjalan di atas air atau
kemampuan-kemampuan yang lain yang tidak dimiliki oleh manusia biasa.
Karena sebagian orang tidak bisa membedakan antara karamah dengan sihir, atau antara karamah
dengan ahwal syaithaniyyah, sebagaimana disebutkan oleh para ulama, yaitu keadaan-keadaan
syaithan.

Yang dinamakan dengan karamah adalah sesuatu yang luar biasa yang Allah berikan kepada wali-wali-
Nya dengan tujuan untuk menguatkan keimanan dia.
Dan karamah tidak bisa dipelajari. Bahkan seorang wali pun belum tentu apabila dia menghendaki,
kemudian terjadi. Sebagaimana mukjizat yang Allah berikan kepada para Nabi, ini adalah dengan
kehendak Allah Subhānahu wa Ta’āla.
‫ِل‬ َ ‫سول أَن َيأت‬
ِ َّ ‫ِى ِبـَٔا َية ِإ َّّل ِبإِذ ِن ٱ‬ ُ ‫َو َما َكانَ ل َِر‬
“Tidaklah seorang Rasul bisa mendatangkan sebuah mukjizat (sebuah ayat), kecuali dengan izin Allah
Subhānahu wa Ta’āla.” (QS. Ar Ra’d: 38)

Karamah tidak bisa dipelajari. Lain dengan sihir yang bisa dipelajari. Di sana ada gurunya, di sana ada
sekolahnya, di sana ada kitab yang dijual yang dipelajari, yang isinya adalah tentang sihir.
Oleh karena itu kita dapatkan kitab-kitab seperti ini banyak dijual di pasar-pasar, di toko-toko,
bagaimana seseorang bisa kebal, bagaimana seseorang bisa begini dan begitu, seperti kitab yang
dinamakan dengan Al Mujarrabat yang dijual dengan murah, siapa saja bisa membeli, siapa saja bisa
mempelajari. Ini bukan karamah tetapi dinamakan dengan sihir, yang mungkin samar bagi sebagian
orang.
Yang dinamakan dengan karamah, menambah keimanan bagi seorang tersebut dan menjadikan dia
semakin merendahkan dirinya di hadapan Allah dan rendah hati diantara manusia.
Seorang wali yang dia mendapatkan karamah, maka semakin dia bertambah keimanannya kepada Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
Yakin dengan pertolongan Allah, semakin yakin dengan agama yang benar ini, dan dia akan semakin
rendah hati diantara manusia.
Berbeda dengan sihir. Orang yang melakukannya, maka dia akan semakin jauh dari Allah Subhānahu
wa Ta’āla dan semakin dia sombong diantara manusia.
Saya bisa melakukan ini, saya bisa melakukan itu, melakukan pertunjukan, diceritakan kepada manusia,
inilah yang dinamakan dengan sihir.
Dan karamah tidak bisa dilawan dengan sesuatu apapun, karena dia berasal dari Allah Subhānahu wa
Ta’āla.

Adapun sihir, maka bisa dilawan dengan yang semisalnya, atau dilawan dengan ayat-ayat Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
Karena sihir berasal dari bantuan syaithan dan syaithan lari dari dzikrullah Azza wa Jalla.
Ketika dibacakan ayat, dibacakan ayat kursi, dibacakan surat Al Baqarah maka mereka akan lari.

Dan wali Allah, mereka tidak memiliki pakaian tertentu yang membedakan dirinya dari manusia yang
lain. Pakaian mereka sama dengan pakaian manusia biasa. Pakaian yang dipakai oleh kaum muslimin
di daerahnya itulah yang dipakai oleh dia.
Pakaian dia tidak berbeda dengan yang lain, bahkan terkadang seseorang yang tidak dikenal diantara
manusia, bukan seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat, namun ternyata dia
adalah orang yang dekat dengan Allah Subhānahu wa Ta’āla dan dia adalah wali Allah Subhānahu wa
Ta’āla.
Halaqah 21 | Penjelasan Pokok Ke Lima Bagian 4
Halaqah yang ke dua puluh satu dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan dan ini dinamakan dengan
haditsul wali. Di dalam hadits qudsi Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,

ِ ‫عادَى لِي َولِيا فَقَد آذَنتُهُ ِبال َحر‬


‫ب‬ َ ‫َمن‬
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku niscaya Aku akan mengumumkan peperangan kepadanya.”
(Hadits riwayat Bukhari nomor 6021/6502)

Allah Subhānahu wa Ta’āla akan menolong walinya dan barangsiapa yang memusuhi wali diantara
wali-wali Allah, maka Allah Subhānahu wa Ta’āla akan mengumumkan peperangan kepadanya.
Kemudian Allah menyebutkan tentang sifat-sifat wali.
‫علَي ِه‬ َّ َ‫عبدِي ِبشَيء أ َ َحبَّ إِل‬
َ ُ‫ي مِ َّما افت ََرضت‬ َ ‫َو َما تَقَ َّر‬
َ ‫ب‬
“Dan tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa
yang Aku wajibkan atasnya.”
Diantara sifat wali Allah adalah melakukan kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, mengerjakan shalat lima waktu, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, dan juga
mengerjakan kewajiban-kewajiban yang lain.
Dan kewajiban ini adalah sesuatu yang sangat dan paling dicintai oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Adapun seorang yang dianggap wali kemudian dia tidak melakukan shalat lima waktu, ketika
Ramadhan dia tidak berpuasa, maka ini bukan seorang wali.
Kemudian Allah mengatakan,
ُ‫ي ِبال َّن َوافِ ِل َحتَّى أُحِ َّبه‬
َّ َ‫عبدِي َيتَ َق َّربُ ِإل‬
َ ‫َوّل َيزَ ا ُل‬
“Dan senantiasa hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan perkara-perkara yang sunnah sehingga Aku
mencintai dia.”
Diantara sifat-sifat wali Allah Subhānahu wa Ta’āla adalah mereka bertaqarrub kepada Allah
Subhānahu wa Ta’āla dengan sesuatu yang sunnah; shalat sunnah, puasa-puasa sunnah, yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
‫ش ِب َها َو ِرجلَهُ الَّتِي َيمشِي ِب َها‬
ُ ِ‫ص ُر ِب ِه َو َيدَهُ الَّتِي َيبط‬
ِ ‫ص َرهُ الَّذِي يُب‬
َ ‫سمعَهُ الَّذِي َيس َم ُع ِب ِه َو َب‬
َ ُ‫فَإِذَا أَح َببتُهُ ُكنت‬
“Maka apabila Aku mencintai orang tersebut, (kata Allah Subhānahu wa Ta’āla) maka,
• Aku akan menjadi pendengarannya yang dia akan mendengar dengannya.
• Aku akan menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya.
• Aku akan menjadi tangannya yang dia akan memukul dengannya.
• Aku akan menjadi kakinya yang dia berjalan dengan kaki tersebut.
Maksudnya sebagaimana disebutkan oleh para ulama, dia akan diberikan taufiq untuk meninggalkan
kemaksiatan.
• Tidak mendengar kecuali yang diridhoi oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
• Tidak melihat kecuali yang diridhoi oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
• Tidak memukul kecuali pada yang hak, pada tempatnya.
• Tidak berjalan ke sebuah tempat kecuali tempat yang diridhoi oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Apabila Allah mencintai seseorang, maka dia akan diberikan taufiq untuk meninggalkan kemaksiatan.
Dan ini adalah sifat diantara sifat-sifat wali Allah Subhānahu wa Ta’āla, orang yang dicintai oleh Allah
meninggalkan kemaksiatan.
Oleh karena itu bagaimana kita mengatakan bahwasanya orang yang minum minuman keras, berzina,
melakukan kemaksiatan-kemaksiatan, akan tetapi dia memakai pakaian seorang ulama, kemudian kita
katakan bahwasanya dia adalah seorang wali diantara wali-wali Allah.

Seorang wali adalah orang yang meninggalkan kemaksiatan.


ُ‫سأَلَنِي َْلُعطِ َي َّنهُ َولَئِن استَ َعاذَنِي َْلُعِيذَ َّنه‬
َ ‫َو ِإن‬
“Apabila dia meminta kepada-Ku (kata Allah), niscaya Aku akan memberikan dan apabila dia
memohon perlindungan niscaya Aku akan melindungi orang tersebut.”
Halaqah 22 | Penjelasan Pokok Ke Enam Bagian 1
Halaqah yang ke dua puluh dua dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,
َ‫أ َ َّن القُرآن‬: ‫ِي‬
َ ‫ِباع اآلراءِ َواْلَهواءِ ال ُمتَف َِرقَ ِة ال ُمختَ ِلفَةِ؛ َوه‬
ِ ‫ َوات‬،ِ‫س َّنة‬ ِ ‫شيطا ُن في تَركِ القُر‬
ُّ ‫آن َوال‬ َ ‫شب َه ِة ا َّلتِي َو‬
َّ ‫ض َعها ال‬ ُّ ‫ َردُّ ال‬: ‫ِس‬ ُ ‫اْلَص ُل السَّاد‬
َ ً َّ َ
ُ ‫أوصافًا لَعَلها ّل تُو َجدُ تَا َّمة في أبي َبكر َو‬- ‫وف ِبكَذا َوكَذا‬
‫ع َم َر‬ ُ ‫ص‬ ُ ‫ والمجتهد هو الـ َمو‬،ُ‫س َّنةَ ّل َيع ِرفُ ُهما إِّل الـ ُمجتَ ِهدُ الـ ُمطلَق‬ ُّ ‫َوال‬
Pokok perkara yang ke enam:
“Adalah membantah kerancuan yang telah diletakkan oleh syaithan untuk meninggalkan Al Qur’an dan
juga Sunnah, dan supaya mengikuti pendapat-pendapat dan hawa-hawa yang saling berbeda dan saling
berpecah belah.
Dan syubhat (kerancuan) tersebut bahwasanya Al Qur’an dan juga Sunnah tidak dipahami kecuali oleh
seorang yang mujtahid mutlaq.
Dan mujtahid menurut mereka adalah seseorang yang memiliki sifat ini dan ini, sifat-sifat yang
mungkin tidak dimiliki oleh seseorang seperti Abu Bakar dan Umar.”

Ini adalah pokok perkara yang ke enam yang ingin beliau sampaikan, yaitu ingin membantah kerancuan
(syubhat) yang telah diletakkan oleh syaithan di dalam mengajak manusia meninggalkan Al Qur’an,
meninggal As Sunnah, dan mengajak manusia untuk mengikuti pendapat-pendapat dan mengikuti hawa
nafsu. Dan ini adalah syubhat yang terkadang masih ada diantara kita yang mengamalkannya,
mengikutinya.

Syaithan berusaha untuk menjauhkan manusia dari petunjuk Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Allah Subhānahu wa Ta’āla ketika melaknat syaithan dan mengeluarkan dari surga, demikian pula
menurunkan nabi Adam alayhissallam, maka Allah Subhānahu wa Ta’āla juga menurunkan petunjuk
yang barangsiapa mengikuti petunjuk tersebut maka dia akan selamat di dunia dan juga di akhirat.
Namun barangsiapa yang berpaling dari petunjuk yang sudah Allah turunkan, maka dia akan celaka.
َ‫علَ ۡي ِهمۡ َو َّل هُمۡ َيحۡ زَ نُون‬ ۡ ُ ‫قُ ۡلنَا ٱ ۡه ِب‬
ٗ ِ‫طوا مِ ۡن َها َجم‬
َ ‫يعا فَإِ َّما َيأ ِت َي َّن ُكم ِمنِي هُ ٗدى فَ َمن تَ ِب َع هُد‬
َ ‫َاي فَ ََّل خ َۡوف‬
Kami katakan, “Hendaklah kalian turun semuanya (baik nabi Adam alayhissallam maupun syaithan).
Apabila telah datang kepada kalian petunjuk dari Allah Subhānahu wa Ta’āla, maka barangsiapa yang
mengikuti petunjukku yang telah diturunkan Allah Subhānahu wa Ta’āla, maka tidak ada ketakutan
baginya dan mereka tidak akan bersedih.”

Dan syaithan ketika melihat bahwasanya ini adalah petunjuk Allah Subhānahu wa Ta’āla yang apabila
diikuti seseorang akan selamat (mendapat petunjuk), maka dia berusaha untuk menjauhkan manusia
dari memahami petunjuk Allah, mengilmui, apalagi mengamalkan petunjuk Allah Subhānahu wa
Ta’āla.
Diantara caranya seperti yang disebutkan oleh pengarang di sini. Syubhat (kerancuan) yang diletakkan
oleh syaithan supaya manusia meninggal Al Qur’an dan Sunnah dan supaya mereka hanya mengikuti
pendapat-pendapat manusia dan hawa nafsu mereka.

Apa kerancuan tersebut?


Syaithan membisikan, mengajarkan bahwanya Al Qur’an dan Sunnah tidak dipahami kecuali oleh
seseorang yang merupakan mujtahid mutlaq.
Ini adalah kerancuan yang dibuat oleh syaithan, membisikan kepada manusia bahwasanya Al Qur’an
ini yang telah diturunkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla dan bahwasanya hadits-hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ini tidak dipahami dan tidak dimengerti kecuali apabila seseorang sudah
sampai derajatnya sebagai seorang mujtahid, seorang mujtahid yang mutlaq.

Dengan maksud apa?


Dengan maksud supaya kita orang yang awam, orang yang tidak sampai derajatnya sebagai seorang
mujtahid mutlaq, supaya kita tidak mau memahami Al Qur’an, supaya kita malas untuk memikirkan,
mentaddaburi, memahami petunjuk yang datang di dalam Al Qur’an maupun sunnah-sunnah Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Apabila seseorang sudah jauh dari Al Qur’an, jauh dari As Sunnah, tidak mau memahami Al Qur’an
dan juga Sunnah, maka dia akan jauh dari petunjuk Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Inilah maksud dari syaithan menyampaikan kerancuan ini kepada manusia.


Dan yang dimaksud dengan al mujtahid al mutlaq (mujtahid mutlaq) adalah mujtahid yang memiliki
syarat-syarat sebagaimana disebutkan oleh para ulama, yang mereka menguasai bahasa Arab,
menguasai ushul fiqih, ushul hadits, ushul tafsir, mengenal sebagian besar dari ayat-ayat Allah
Subhānahu wa Ta’āla dan memahaminya dan menghapalnya, memahami dan menghapal sebagian besar
dari hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan juga syarat-syarat yang lain yang disebutkan
oleh para ulama.
Halaqah 23 | Penjelasan Pokok Ke Enam Bagian 2
Halaqah yang ke dua puluh tiga dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Apa itu mujtahid?


Mereka mengatakan yang dimaksud dengan mujtahid adalah yang memiliki sifat ini dan itu, sifat-sifat
yang mungkin tidak dimiliki oleh seseorang seperti Abu Bakar dan Umar.
Sebagian mereka mengatakan seorang mujtahid yang boleh memahami Al Qur’an, yang boleh
memahami hadits, maka dia harus menghapal seluruh hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Dan ini belum tentu dimiliki oleh seseorang yang paling afdhal diantara kaum muslimin seperti Abu
Bakar dan Umar, kata beliau.
Karena seperti Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu, tidak semua hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam
sampai kepada beliau radhiyallāhu ‘anhu. Di sana ada beberapa hadits yang tidak sampai kepada Abu
Bakar radhiyallāhu ‘anhu, seperti ketika beliau didatangi oleh seorang nenek yang bertanya tentang
bagiannya dari harta warisan.

Dan ketika ditanya, maka Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu tidak mengetahui tentang bagian seorang
nenek dari harta warisan.
Kemudian sebagian sahabat mengabarkan bahwasanya Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam
memberi seorang nenek 1/6 dari harta warisan.
Menunjukkan bahwasanya tidak semua hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sampai kepada Abu
Bakar radhiyallāhu ‘anhu.

Demikian pula Umar, ada beberapa hadits yang tidak sampai kepada beliau, sebagaimana ketika
sebagian sahabat mengabarkan tentang haditsul isti’dzan.
Hadits yang isinya adalah diantara adab meminta izin ketika bertamu, apabila seseorang mengetuk pintu
3 kali maka hendaklah dia meninggalkan rumah tersebut.
Dan ini tidak diketahui oleh Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu. Menunjukkan bahwasanya ada
beberapa hadits yang tidak sampai kepada Umar.

Demikian pula ketika beliau radhiyallāhu ‘anhu bersama sebagian sahabat radhiyallāhu ‘anhum, ketika
mereka akan memasuki kota Syam, di zaman kekhalifahan Umar bin Khatab.
Namun ternyata di sana ada tha’un (tersebar wabah penyakit) sehingga saat itu para sahabat
radhiyallāhu ‘anhum diajak bermusyawah oleh Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu,
“Apakah kita akan pulang kembali ke kota Madinah atau kita terus akan memasuki kota Syam yang di
situ sedang tersebar wabah penyakit (sedang tersebar tha’un)”.
Para sahabat saling bermusyawarah, kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf, mengabarkan
kepada Umar bin Khatab bahwasanya saya punya ilmu di dalam masalah ini.
Saya mendengar Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mendengar atau barangsiapa yang berada di dalam sebuah kota yang di dalamnya
ada tha’un, maka janganlah dia keluar dari kota tersebut, dan apabila dia berada di luar maka janganlah
dia memasuki kota tersebut.”

Demikianlah makna dari hadits yang disampaikan oleh Abdurrahman bin Auf.
Dan ini sesuai dengan ijtihad Umar saat itu yang memang setelah bermusyawarah beliau mengambil
pendapat dan menguatkan pendapat untuk kembali ke kota Madinah.

Ini menunjukkan bahwasanya ada sebagian hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang tidak sampai
kepada Abu Bakar dan juga Umar radhiyallāhu ‘anhumā tetapi diketahui dan sampai kepada sahabat
yang lain.
Dan ini sebagian orang mengatakan bahwasanya seorang mujtahid harus menghapal seluruh hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang ini kata beliau mungkin tidak didapatkan secara sempurna pada
seseorang seperti Abu Bakar dan Umar.
Dan tujuan ucapan ini adalah:
• Untuk memalingkan manusia dari Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
• Supaya mereka tidak mau memahami Al Qur’an dan hadits.
• Supaya mereka di dalam agamanya hanya melakukan taqlid buta yang tercela.

Kemudian beliau mengatakan,

َ ‫سا ُن َكذَلِكَ فَليُع ِرض‬


‫عن ُه َما فَرضًا َحت ًما َّل شَكَّ َو َّل إِشكَا َل فِي ِه‬ ِ ‫فَإِن لَم َي ُكن‬
َ ‫اإلن‬
“(Kemudian dia mengatakan) apabila seseorang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka hendaklah dia
berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah tersebut. Dan ini adalah wajib, yang tidak ada keraguan di
dalamnya dan tidak ada masalah di dalamnya.”

Ini adalah ucapan sebagian orang, apabila seseorang tidak memiliki syarat-syarat tersebut, sifat-sifat
tersebut, maka hendaklah dia berpaling dari Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi
wa sallam dan ini menurut mereka adalah kewajiban.
Halaqah 24 | Penjelasan Pokok Ke Enam Bagian 3
Halaqah yang ke dua puluh empat dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian mereka mengatakan,

ُ ‫ْلَج ِل‬- ‫ َو ِإ َّما َمجنون‬،‫ ِإ َّما ِزندِيق‬: ‫ب الـ ُهدَى مِ ن ُهما؛ فَ ُه َو‬
‫صعو َب ِة فَهمِ ِهما‬ َ َ‫طل‬
َ ‫َو َمن‬

“Dan barangsiapa yang berusaha untuk mencari petunjuk dari Al Qur’an dan juga hadits, maka kata
mereka dia adalah seorang yang zindiq (pendusta) atau dia adalah seorang yang gila (karena susahnya).”
Kenapa demikian?
Mereka mengatakan karena susahnya memahami Al Qur’an dan juga hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa
sallam.
Ini adalah ucapan sebagian manusia yang ingin memalingkan kaum muslimin dari Al Qur’an dan juga
Sunnah.
Kemudian beliau (muallif) mengatakan,
‫شتَّى َب َلغَت ِإلى َح ِد‬
َ ‫شب َه ِة الـ َملعُو َن ِة مِ ن ُوجوه‬ُّ ‫ في َر ِد َه ِذ ِه ال‬-‫ خَلقًا َوأَم ًرا‬،‫شَرعًا َوقَد ًَرا‬- ُ‫سب َحا َنه‬ ُ َ‫ف‬
ُ ُ‫سبحانَ هللاِ َو ِب َحم ِد ِه !كَم َبيَّنَ هللا‬
َ
َ‫اس ّل َيعل ُمون‬ َّ َ َ َّ َ
ِ ‫ َولكِن أكث َر الن‬،ِ‫ت العَا َّمة‬
ِ ‫وريَّا‬
ِ ‫الض َُّر‬
“Maka Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Betapa banyak dan betapa sering Allah Subhānahu
wa Ta’āla menjelaskan baik secara syari’at di dalam Al Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam, atau secara takdir, khalqan dan amran (maknanya hampir sama), betapa banyak Allah
menjelaskan dan membantah kerancuan yang mal’unah, yang terlaknat ini, dengan berbagai cara
dengan berbagai ushlub dengan berbagai metode sehingga metode-metode tersebut sampai pada batas
yang dhoruri, akan tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahui.”
Jadi muallif (pengarang) di sini ingin menjelaskan kepada kita bahwasanya Allah telah menjelaskan di
dalam Al Qur’an hal yang membantah kerancuan tadi.
Mereka mengatakan bahwasanya Al Qur’an dan Sunnah tidak dipahami kecuali oleh seorang yang
mujtahid mutlaq, padahal Allah dan Rasul-Nya tidak menerangkan demikian.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an,


‫َولَقَد َيسَّرنَا ٱلقُر َءانَ لِلذِك ِر فَ َهل مِ ن ُّمدَّكِر‬

“Dan sungguh Kami telah mudahkan Al Qur’an untuk dzikir (untuk mengingat Allah Subhānahu wa
Ta’āla), apakah ada orang yang mau mengingat?”
(QS. Al Qamar: 17, 22, 32, 40)
Allah mengatakan di sini, ‫( َولَقَد َيسَّرنَا‬dan sungguh kami telah mudahkan), Allah telah turunkan Al Qur’an
dan Allah telah mudahkan kalimat-kalimatnya, makna-maknanya, supaya kita bisa berdzikir dengan Al
Qur’an tersebut (mengingat Allah dengan Al Qur’an tersebut).

Berbeda dengan ucapan mereka yang mengatakan bahwasanya sangat sulit dan susah untuk memahami
Al Qur’an dan Sunnah.
Allah mengatakan ‫ َولَقَد َيسَّرنَا‬dan mereka mengatakan susah untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah.
Demikian pula Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,
ٓ ‫علَ ٰى قُلُوب أَقفَالُ َها‬
َ ‫أَفَ ََّل َيتَدَب َُّرونَ ٱلقُر َءانَ أَم‬
“Apakah mereka tidak mentadaburi Al Qur’an ataukah di dalam hati-hati ada kunci-kuncinya?”

(QS. Muhammad: 24)

Ini adalah anjuran dan dorongan dari Allah Subhānahu wa Ta’āla, supaya kita mau mentadaburi apa
yang datang dari Allah berupa Al Qur’an.
Dan seseorang tidak mungkin bisa mentadaburi kecuali apabila dia memahami apa yang ada di dalam
Al Qur’an tersebut.
Seandainya Al Qur’an tidak bisa dipahami kecuali oleh seseorang yang mujtahid yang mutlaq, niscaya
Allah tidak akan mendorong kita untuk mentadaburi Al Qur’an. Tapi ternyata Allah menyuruh kita,
mendorong kita, mengajak kita, untuk mentadaburi Al Qur’an.
Menunjukkan bahwasanya Al Qur’an bisa dipahami oleh seorang yang awam, seorang tholabul ilmi
(penuntut ilmu), demikian pula oleh para ulama.

Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,

ِ ‫ِكتَ ٰـب أَنزَ ل َن ٰـهُ ِإلَيكَ ُم َب ٰـ َرك ِل َيدَّب َُّر ٓوا َءا َي ٰـ ِت ِهۦ َو ِل َيتَذَ َّك َر أُولُوا ٱْلَل َب ٰـ‬
‫ب‬

“Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu (Wahai Muhammad), yang penuh dengan barokah
(yang pertama) adalah supaya manusia mau mentadaburi ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang
memiliki akal mau berdzikir dengan Al Qur’an tersebut (mengingat Allah dengan Al Qur’an tersebut).”
(QS. Shad: 29)

Allah turunkan Al Qur’an kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita mau
mentadaburi, bukan hanya sekedar dibaca tetapi tidak dipahami maknanya.
Membaca Al Qur’an adalah amal shalih dan seseorang mendapat pahala dari membaca Al Qur’an
sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Satu huruf yang kita baca,
kita mendapatkan 10 kebaikan.
Namun tidak cukup dengan hanya membaca dengan baik, dengan tahsin dengan tajwid, kemudian
seseorang meninggalkan memahami Al Qur’an. Karena justru tujuan utama diturunkannya Al Qur’an
adalah supaya kita memahami Al Qur’an tersebut kemudian setelah itu kita amalkan Al Qur’an tersebut.
Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla supaya kita mentadaburi Al Qur’an, menunjukkan
bahwasanya Al Qur’an adalah kitabullah yang bisa dipahami oleh semua kaum muslimin, baik yang
awam, yang menuntut ilmu, maupun seorang ulama.
Tentunya dalam hal ini pemahaman antara seorang ulama dengan seorang penuntut ilmu, dengan
seorang yang awam, ini berbeda-beda.
Satu ayat dibaca oleh seorang ulama dan dibaca oleh seorang penuntut ilmu, dibaca oleh seorang yang
awam, tentunya pemahaman masing-masing berbeda-beda sesuai dengan apa yang Allah berikan
kepada mereka.
Allah Subhānahu wa Ta’āla telah memudahkan Al Qur’an untuk dipahami dan Allah memerintahkan
untuk mentadaburinya.

Demikian pula firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,


َ‫ع َر ِبيا لَّعَلَّ ُكم تَع ِقلُون‬
َ ‫إِ َّنا ٓ أَنزَ ل َن ٰـهُ قُر ٰ َء ًنا‬
“Kami telah menurunkan Al Qur’an dengan berbahasa Arab yang jelas, supaya kalian memahami apa
yang ada di dalamnya.”
(QS. Yusuf: 2)

Ta’qilun ( َ‫ )تَع ِقلُون‬artinya supaya kita mengakali, memahami, mentadaburi.


Inilah yang disampaikan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla bahwasanya Al Qur’an mudah untuk
dipahami.
Berbeda dengan yang diucapkan oleh sebagian manusia yang mereka mengatakan bahwasanya Al
Qur’an dan Sunnah hanya dimengerti dan dipahami oleh seorang yang mujtahid mutlaq, yang memiliki
sifat-sifat tertentu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh di sini, yang mungkin tidak dimiliki oleh
seseorang seperti Abu Bakar dan juga Umar radhiyallāhu ‘anhuma.

Seorang tabi’in yang bernama Abu Abdirrahman As Sullami beliau mengatakan,


‫أ َ َّن ُهم إذَا تَعَلَّ ُموا مِ ن‬: ‫ابن َمسعُود َوعُث َما ُن ب ُن عفان َوغَي ُر ُه َما‬ ِ ِ‫سو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َكعَب ِد هللا‬ ِ ‫َحدَّثَنَا الَّذِينَ يُق ِرئُو َننَا مِ ن أَص َحا‬
ُ ‫ب َر‬
‫عش َر آ َيات لَم يُ َجا ِو ُزو َها َحتَّى َيتَ َعلَّ ُموا َما فِي َها مِ ن العِل ِم َوال َع َم ِل‬
َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ ‫ال َّن ِبي‬
“Telah mengabarkan kepada kami orang-orang yang mengajarkan kepada kami Al Qur’an dari
kalangan sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam seperti Abdullah bin Mas’ud, Ustman bin Affan,
dan selain keduanya, bahwasanya mereka dahulu apabila mempelajari 10 ayat dari Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam maka mereka tidak akan berpindah dari 10 ayat tersebut, sampai mempelajari apa
yang ada di dalam 10 ayat tersebut baik ilmunya maupun amalnya.”
Artinya mereka berusaha untuk memahami 10 ayat yang mereka dapat dari Rasulullah shallallāhu
‘alayhi wa sallam dan berusaha untuk mengamalkan 10 ayat tersebut.
Tidak berpindah kepada ayat yang lain kecuali setelah mereka memahami dan kecuali setelah mereka
mengamalkan 10 ayat tersebut.
Oleh karena itu apabila ada diantara sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang menghapal sebuah
surat, maka ketahuilah bahwasanya dia memahami ayat tersebut, memahami surat tersebut dan juga
mengamalkan apa yang ada di dalamnya.
Apabila ada seorang sahabat Nabi yang menghapal surat Al Baqarah atau menghapal surat Ali Imran,
maka berarti dia telah memahami isinya dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu orang yang menghapal surat Al Baqarah dan Ali Imran diantara kalangan sahabat Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam, itu menjadi orang yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi para
sahabat radhiyallāhu ‘anhum.
Karena mereka menghapal, bukan hanya menghapal. Mereka menghapal Al Qur’an, memahami isinya,
dan juga mengamalkan apa yang ada di dalamnya.
Halaqah 25 | Penjelasan Pokok Ke Enam Bagian 4
Halaqah yang ke dua puluh lima dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan (membawakan sebuah atau beberapa ayat dari Al Qur’an) yang
menunjukkan tentang akibat orang yang berpaling dari Al Qur’an dan juga Sunnah.
Yaitu firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,

َ ۡ‫ان فَ ُهم ُّم ۡق َمحُونَ ۞ َو َجعَ ۡلنَا مِ ن َب ۡي ِن أ َ ۡيدِي ِهم‬ ٰ ٰ ٓ ‫علَ ٰ ٓى أ َ ۡكثَ ِرهِمۡ فَ ُهمۡ َّل ي ُۡؤمِ نُونَ ۞ إِ َّنا َجعَ ۡلنَا ف‬ َ ‫لَقَ ۡد َح َّق ٱ ۡلقَ ۡو ُل‬
‫س ٗدا‬ ِ َ‫ي إِلَى ٱ ْۡل َ ۡذق‬
َ ‫ِي أ َ ۡع َن ِق ِهمۡ أ َ ۡغلَ َّٗل فَ ِه‬
َ ‫علَ ۡي ِهمۡ َءأَنذَ ۡرتَ ُهمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذ ِۡرهُمۡ َّل ي ُۡؤمِ نُونَ ۞ ِإ َّن َما تُنذ ُِر َم ِن ٱتَّ َب َع ٱلذ ِۡك َر َو َخش‬
‫ِي‬ َ ‫س َوآء‬
َ ‫۞و‬
َ َ‫ص ُرون‬ َ ۡ‫َومِ ۡن خ َۡل ِف ِهم‬
ِ ‫س ٗدا فَأ َ ۡغش َۡي ٰ َن ُهمۡ فَ ُهمۡ َّل ي ُۡب‬
‫ب فَ َبش ِۡرهُ ِب َم ۡغف َِرة َوأَجۡ ر ك َِريم‬ ِ ‫لرحۡ ٰ َمنَ ِبٱ ۡلغ َۡي‬
َّ ‫۞ ٱ‬
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

“Dan sungguh, telah tetap atas mereka ketetapan Allah Subhānahu wa Ta’āla atas sebagian besar
mereka, bahwasanya mereka tidak beriman.
Kami telah menjadikan pada leher-leher mereka belenggu-belenggu. Maka belenggu-belenggu tersebut
sampai dagu mereka sehingga mereka mengangkat kepalanya ke atas.
Dan kami telah menjadikan dari depan mereka penutup dan dari belakang mereka penutup, maka kami
menutupi mereka sehingga mereka tidak bisa melihat.
Kemudian Allah mengatakan yang artinya:

“Dan sama saja apakah engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak memberikan
peringatan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan beriman. Sesungguhnya engkau wahai
Muhammad, memberikan peringatan kepada orang yang mengikuti Adz Dzikr (mengikuti Al Qur’an),
dan dia takut kepada Allah dalam keadaan ghaib, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan
ampunan dan pahala yang melimpah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.”
Ayat-ayat yang disebutkan oleh pengarang di sini adalah surat Yasin ayat ke-7 sampai 11.
Menunjukkan tentang bagaimana orang yang berpaling dari Adz Dzikr (Al Qur’an) yang Allah
turunkan. Dan bahwasanya mereka ditutupi dari arah depannya, dari arah belakangnya, sehingga
mereka tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar.
Kemudian Allah mengabarkan bahwasanya sama saja atasmu wahai Muhammad, apabila seseorang
sudah ditutupi dari hidayah Allah, sama saja apakah engkau memberikan peringatan kepada mereka,
atau tidak memberikan peringatan niscaya mereka tidak akan beriman.
Dan Allah mengabarkan bahwasanya Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam hanya memberikan
peringatan dan akan bermanfaat peringatan Beliau bagi orang yang mau mengikuti Adz Dzikr
(mengikuti Al Qur’an), dan takut kepada Ar Rahman, yaitu Allah Subhānahu wa Ta’āla dalam keadaan
ghaib, yaitu dia takut kepada Allah padahal dia tidak pernah melihat Allah, akan tetapi dia takut kepada
Allah Subhānahu wa Ta’āla.
‫فَ َبش ِۡرهُ ِب َم ۡغف َِرة َوأَجۡ ر ك َِريم‬

“(Maka orang yang mau mengikuti Al Qur’an, (mengikuti Adz Dzikr) dan takut kepada Allah padahal
Allah adalah ghaib), maka kabarkanlah dia dengan ampunan dan pahala yang besar (dari Allah
Subhānahu wa Ta’āla).”
Itulah perkara yang ke enam yang ingin disampaikan oleh pengarang di sini. Semoga bisa bermanfaat.
Kemudian beliau menutup kitab beliau dengan mengatakan,
َ‫ب العَالَمِ ين‬
ِ ‫ِل َر‬
ِ ِ ُ‫ َوال َحمد‬، ُ‫آخِ ُره‬
“Terakhir kita mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil’alamīn.”

Kemudian beliau mengatakan,


‫ِين‬ ً ‫سلَّ َم تَسلي ًما ك‬
ِ ‫َثيرا إِلى َيو ِم الد‬ َ ‫صح ِب ِه َو‬
َ ‫على آ ِل ِه َو‬
َ ‫ َو‬،‫س ِيدِنا ُم َح َّمد‬ َ ُ‫َوصلَّى هللا‬
َ ‫على‬
“Semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla senantiasa memberikan shalawat kepada sayyid kita,
Muhammad (pemuka kita, Muhammad) dan kepada keluarganya, dan para sahabatnya, dan semoga
Allah memberikan salam dengan salam yang banyak kepada Beliau sampai hari kiamat.”

Anda mungkin juga menyukai