MULTIPLE SCLEROSIS
Faktor Genetik
Tidak ada tipe genetik pasti yang ditentukan pada review tentang
heritabilitas alami MS. Namun kadang kala kluster penyakit familial memang ada.
Resiko MS pada keluarga dekat (first-degree relative) pada individu yang terkena
(diperkirakan 1 diantara 500-1000) mencapai 20 kali lipat pada populasi umumnya.
Pada pasien dengan MS, setidaknya 10-15% memiliki 1 anggota keluarga dekat
(first-degree relative) yang terkena, namun resikonya tidak jauh berbeda untuk
hubungan orang tua-anak dengan hubungan lainnya, hal ini menyingkirkan
penurunan tipe dominan, resesif, maupun sex-linked. Resiko MS pada first-degree
1
relative tidak pernah lebih dari 5%, kecuali pada kembar monozigot, dimana angka
kecocokannya sekitar 25%. (Mary, AM. 2012)
2
terlihat pada permukaan basis pontis, pedunkulus serebeli, dan permukaan medula,
dan dasar ventrikel keempat. (Mary, AM. 2012)
3
Gambar 3. Heterogenitas pada MS. (Dendrou CA, 2015)
4
Pada MS juga didapatkan komponen kerusakan aksonal dan neuronal yang
cukup signifikan. Hal ini terutama relevan dengan outcome jangka panjang dan
disabilitas pasien. Bukti kerusakan aksonal dapat ditemukan pada fase awal
penyakit. Hal ini dapat ditemukan pada area demielinisasi yang mudah dilihat dan
area white dan gray matter yang tampak normal pada pemeriksaan kasar.
5
Subtipe Klinis
6
Diagnosis Banding
Karena MS dapat mengenai berbagai area SSP mulai dari nervus optikus
hingga bagian distal medula spinalis, pasien dapat datang dengan manifestasi yang
sangat bervariasi yang dapat muncul pada rentang usia mulai remaja hingga
pertengahan dekade keenam. Ketika seseorang mengalami proses neurologi akut
yang terutama mengenai SSP pada pasien muda yang sebelumnya sehat, dokter
harus mempertimbangkan bahwa hal tersebut mungkin merupakan manifestasi
awal MS. (Mary, AM. 2012)
Tabel 3. Diagnosis banding pada MS. (Joel O, 2006)
• Balo disease
MS variants • Schilder disease
• Marburg disease
Overlap • Optic neuritis
syndromes • Transverse myelitis
• Devic’s disease
• Harding disease (Leber variant)
• Acute/monophasic disseminated encephalomyelitis (ADEM)
Other
demyelinating • Noninflammatory diseases such as PML, central pontine
disease myelinolysis, and B12 deficiency
• Common leukodystrophies such as adrenoleukodystrophy
(ALD)/metachromatic leukodystrophy (MLD) and Krabbe
disease
• Vasculitis
• Connective tissue disease (Sjögren syndrome, SLE)
Other • Neurosarcoid
inflammatory • Whipple disease
diseases • Behçet disease
• Infective disease (human T-cell lymphotropic virus 1
[HTLV1], tertiary Lyme disease)
Malignancy and genetic (HSP)
Vascular disease, including antiphospholipid syndrome
Pendekatan Diagnostik
Meskipun tidak ada kriteria spesifik untuk menentukan diagnosis MS, MRI
merupakan modalitas penunjang yang paling membantu diagnostik. Ketika
didapatkan temuan tipikal pada MRI disertai dengan anamnesis dan temuan klinis
yang klasik, modalitas lain mungkin tidak perlu dilakukan lagi pada seting klinis.
(Mary, AM. 2012)
7
Tabel 4. Red flags pada diagnosis MS. (Alroughani R, 2016)
• No dissemination in time/space
• Onset <10 or >55 years of age
• Prominent fever/headache, impairment of
Clinical consciousness, uveitis, peripheral neuropathy
presentations • Abrupt hearing loss
• Non-scotomatous field defect
• Cortical feat (seizures, aphasia, cortical blindness)
• E nc e p ha l o pat hy
• Bilateral presentation
• Severe pain restricting ocular movements (infectious,
sarcoidosis)
Optic • Severe visual loss (sarcoidosis, infectious
Neuritis • No spontaneous recovery, conti progression > 2 w
• Macular star (neuroretinitis)
• Severe optic disc edema and vitreous reaction
• Hi st ory of c anc e r
• Hyper-acute non progressive onset
• Symmetrical symptoms
• Complete involvement of the spinal segment
• Progressive myelopathy with absence of bladder
Transverse
involvement
Myelitis
• Anterior spinal artery territory lesion
• Localized or radicular spinal pain
• Cauda equina Syndrome
• Co-existing lower motor neuron signs
• Fluctuating or fatiguable ocular or bulbar symptoms
Brainsteml • Complete external ophthalmoplegia
Cerebellar • Isolated trigeminal neuralgia associated with objective
sensory impairment
• Fluctuating level of consciousness
• Brain: normal, small lesions, prominent gray matter
involvement, hydrocephalus, absence of callosal or
MRI periventricular lesion, symmetric confluent
features • Spine: large multi-level involvement, swelling of the cord,
full thickness or leptomeningeal involvement, Ti
hypointense
• Normal IgG Inde x
• Disappearance of oligoclonal bands
CSF findings • White cell count > 50
• P rot e i n > 1 gram
8
Tabel 5. Investigasi spesifik MS pada kondisi red flags. (Alroughani R, 2016)
• MRI brain with gadolinium including orbital cuts "optic nerve sheath
meningioma"
• CSF cytology "lymphoma" and PCR "TB"
• Serology for syphilis, TB, brucella, HIV, HTLV-1
• Pathergy Test "Behcer s disease"
• Chest X-ray or Computed Tomography "sarcoidosis"
• Gallium scan & serum angiotensin converting enzyme "sarcoidosis"
• Genetic testing "Leber Hereditary Optic Neuropathy, Hereditary Spastic
Paraparesis" Serum Very Long Chain Fatty Acid, arylsulfatase A, beta-
galactocerebrosidase "leukodystrophies"
• Nerve conduction study/ Electromyography if signs of neuropathy or other
lower motor neuron signs present
• Serum Anti-Aquaporin-4 IgG "Neuromyelitis Optica"
Magnetic Resonance Imaging
Pada medula spinalis, lesi white matter dapat melibatkan berbagai bagian
traktus aferen maupun eferen, terutama kolumna dorsalis. Pada saat tertentu lesi
dapat sangat besar dan menyerupai tumor intramedula dan ditandai dengan large
xpansile hyperintense plak pada area cervical atas seperti pada gambar 6-7. MRI
secara tegas telah menggantikan analisa LCS, begitu juga berbagai bentuk evoked
neurophysiology potentials sebagai metode diagnostik primer. (Aminoff MJ, 2015)
9
Gambar 6. Protokol standar MRI kepala pada MS.
a | Pre-contrast, b | axial T1-weighted and c | dualecho T2-weighted sequences, d
| contrast-enhanced sagittal, e | axial 2D T2-weighted fluid-attenuated inversion
recovery (FLAIR) and f | axial T1-weighted sequences. (Rovira À, 2015)
10
Peningkatan teknik dan kekuatan magnet mampu mengambarkan bentuk
variasi dari normal, yang kadang menyerupai MS namun bukan proses patologi,
yang kadang dapat menyulitkan interpretasi abnormalitasnya. “Unidentified bright
objects (UBOs)” merupakan imitator klasik yang terlihat pada mereka dengan
merokok, hipertensi, migrain, atau Lyme disease, atau dapat muncul tanpa sebab.
Hampir sama, Virchow-Robin spaces, suatu area vaskular yang melebar dan terisi
LCS, dapat memberikan gambaran high T2 signal intensity. Namun hal ini dapat
dibedakan dengan plak demyelinisasi pada MS karena lesi tersebut tidak muncul
dengan proton density image. (Aminoff MJ, 2015)
Cairan Serebrospinal
Pungsi lumbal pada LCS menjadi kurang bermanfaat ketika diagnosis telah
ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan gambaran MRI yang
tegas dan mendukung. MRI juga berguna untuk mengeksklusi diagnosis lain,
terutama Lyme disease, sarcoidosis, limfoma, atau infark multipel sekunder akubat
11
vaskulitis SSP primer. Namun, ketika tidak ada konfirmasi atau gambaran MRI
yang mendukung untuk diagnosis MS, pemeriksaan LCS dapat membantu prosedur
diagnostik. (Aminoff MJ, 2015)
12
proses inflamasi atau bahkan proses neoplastik. Jumlah sel yang ditemukan
mungkin berkorelasi dengan lesi menyangat pada MRI dan aktivitas penyakit.
Namun, tidak tampak adanya korelasi antara hitung sela dan keparahan lesi T2.
Kadar glukosa pada LCS didapatkan normal, sesuai dengan hitung sel yang juga
relatif normal. (Mary, AM. 2012)
Saat ini pemeriksaan EPs dilakukan ketika pasien datang dengan keluhan myelopati
dan membutuhkan penentuan adanya keterlibatan klinis multi area baik dari lokasi
maupun waktu (in space and time) untuk menegakkan diagnosis MS, karena
13
beberapa pasien lupa atau adanya subklinis optic neuritis, visual evoked response
(VER) dapat berguna dalam kondisi ini. Namun, EPs brainstem dan somatosensori
tidak lagi menjadi alat diagnostik MS. (Mary, AM. 2012)
14
obyektif MRI, hanya 1 serangan klinis, atau ketika progresifitasnya tidak nampak.
The McDOnald Diagnostic Criteria direvisi pada 2005 untuk mengimbangi
perkembangan peran MRI dalam diagnostik multipel sklerosis sekaligus untuk
membantu perkembangan terapi awal tanpa mengurangi sensitivitas dan
spesifisitasnya
1. Dua atau lebih serangan dengan bukti klinis obyektif dua atau lebih lesi
klinis cukup untuk mendiagnosis MS
2. Dua atau lebih serangan klinis :
a. Namun hanya satu lesi yang definitif pada pemeriksaan klinis
b. Terpenuhi kriteria tambahan diseminasi tempat yang dapat
dibuktikan dengan
i. Lesi MRI baru
ii. Kombinasi lesi MRI dengan temuan positif LCS atau
serangan klinis lain pada lokasi baru
3. Isolated clinical attack : kriteria MS dapat terpenuhi jika ada dua atau lebih
lesi dengan bukti diseminasi waktu oleh :
a. Lesi MRI baru
b. Serangan klinis kedua
4. Clinically isolated syndrome dengan hanya satu bukti obyektif lesi dapat
mendiagnosis MS dengan
a. Diseminasi tempat ditunjukkan dengan lesi MRI kedua disertai
temuan positif LCS
b. Diseminasi waktu ditunjukkan dengan
i. MRI, atau
ii. Serangan klinis kedua
5. Progresifitas lambat penyakit dapat mengarahkan diagnosis MS :
a. Jika penyakit progresif selama setidaknya 1 tahun dan
b. Terpenuhi dua dari tiga kondisi:
i. Temuan MRI kepala positif
ii. Temuan MRI medula spinalis positif (lebih bermakna dari
sebelumnya)
iii. Temuan LCS positif
Terapi Imunomodulatori
15
Gambar 10. Algoritma diagnosis pada MS (Joel O, 2006)
Lima obat yang disetujui oleh USFDA untuk terapi RRMS: interferon beta-
1b, interferon beta-1a intramuskular, glatiramer asetat, interferon beta-1a
subukutan, dan infus natalizumab. Interferon beta-1b subkutan (8 juta unit per hari)
tersedia. Sejak awal tahun 90an, diikuti dengan interferon beta-1a intramuskular
(30μg satu kali per minggu). Bentuk lain interferon beta-1a yang digunakan di
Eropa tersedia di US pada 2002 dan diinjeksikan 3 kali per minggu (22-44μg),
menggunakan dosis interferon beta-1a mingguan lebih besar. Gejala flulike
merupakan efek samping yang paling sering didapatkan, muncul pada hampir 60%
pasien yang mengggunakan interferon, namun efek ini dapat diredakan seiring
waktu dan dapat diterapi dengan baik dengan NSAID. (Mary, AM. 2012)
16
Glatiramer acetate (20mg per hari subkutan) tersedia di US pada 1996 dan
merupakan unrelated compound of polypeptides yang mungkin memiliki efek
samping potensial lebih sedikit dan mungkin memiliki lebih dari 1 mekanisme kerja
pada respon imun yang menyimpang. Beberapa manfaatnya mungkin dirasakan
lebih lambat dibandingkan interferon. (Mary, AM. 2012)
17
utama pada sebagian besar pasien dan klinisi, kasus toksisitas liver dan
kemungkinan asosiasi dengan melanoma juga perlu dipertimbangkan. Sejauh ini
belum ada controlled trials yang menilai secara adekuat efikasi natalizumab untuk
Secondary Progressive Multiple Sclerosis (SPMS). (Mary, AM. 2012)
18
yang diekspresikan oleh pemrukaan sel T. Hal ini menghambat transport sel T
teraktivasi melewati bood-brain barrier dengan menghambat ikatan mereka
terhadap molekul adesi endotel, sehingga secara dramatis mengurangi perluasan
populasi proliferasi abnormal sel darah putih dan sitokin SSP pada pasien MS.
(Mary, AM. 2012)
Neutralizing Antibodies
Protokol terapi pada MS yang tidak respon terapi belum ditemukan. Hanya
2 agen yang diseujui USFDA untuk rapidly progressive MS: mitoxantrone dan
interferon beta-1b. Mitoxantrone (12md/m2 iv diberikan setiap 3 bulan hingga dosis
kumulatif maksimal 144mg) merupakan agen kemoterapi yang digunakan untuk
terapi immune-mediated disorder yang lain. Biasanya dipertimbangkan sebagai
terapi terakhir setelah berbagai terapi lain gagal, hal ini karena potensi toksisitasnya
yang cukup mengkhawatirkan yaitu cardiac toxicity. (Mary, AM. 2012)
Tabel 9. Obat untuk prevensi dan relap pada MS. (Kes, VB, 2012)
Level of
Nama obat Dosis
evidence
19
Methylprednisolone 0.5-1 g per day i.v.(3-7 days) I
0.5-1 mg/kg body weight in
Prednisone taperingdoses; after 3-6 weeks, IV
Treatment
5-10 mg maintenance dose
of relapses
2.0-0.4 g/kg body weight 2-5
IVIG III
days
Plasma exchange 1-7 times every other day IV
Glatiramer acetate 20 mcg per day I
Avonex 6 MIU once per week,
First line Interferon beta 1a
Betaferon9.6 MIU every other
therapies and interferon beta I
day, Rebif 22 mcgor 44 mcg
1b
twice weekly
Fingolimod 0.5 mg per os per day I
Natalizumab 300 mg i.v. every 4 weeks II
2.5-3 mg/kg body weight per
Azathioprine IV
day; 1.5-2.5 maintenance dose
1-5 mg/kg twice per day
1 g i.v. every month for 6-12
months,then every 5 weeks
Cyclophosphamide II
during 2nd year andevery 6
weeks during 3rd year of
Second line
application
therapies
20 mg +1 g
methylprednisolone
oncemonthly or once in 3
Mitoxantrone months or 2-3x20mg per I
month followed by 10 mg
once in3 months till
cumulative dose
Mycophenolate 1 g twice daily
IV
mofetil
20
Cyclophosphamide
Methorexate
Dosis rendah oral mingguan tidak disetujui untuk terapi MS namun dapat
digunakan sebagai terapi tambahan pada off-label berdasarkan beberapa studi
terbatas pada pasien MS dan efikasinya pada rheumatoid arthritis, penyakit
autoimun yang lain. Methotrexate adalah competitive inhibitor terhadap
dihydrofolate reductase dan mempengaruhi produksi reduced cofactor yang
diperlukan untuk sntesis DNA dan RNA. Tampaknya agen ini memiliki efek
immunosupresif dan antiinflmasi serta aksi immunoregulator. Toksisitas meliputi
fibrosis pulomnal dan liver, sirosis, dan supresi sumsum tulang. (Mary, AM. 2012)
Metilprednisolon intravena
Selain efikasinya sebagai terapi pada fase relaps, siklus pemberian 500-
1000mg glukokortikoid infus intravena dapat dijadwalkan sebagai terapi setiap
bulan atau dua bulan sekali para pasien yang sering mengalami relaps dan transisi
dari RRMS menjadi secondary progressive MS. Terapi ini umumnya cukup aman,
dapat ditoleransi oleh pasien yang mengalami respon waning pada terapi
immunomodulator konvensional lain namun tidak bersedia menjalani kemoterapi.
(Mary, AM. 2012)
21
Gambar 12. Algoritma pengobatan MS tipe non agresif. (Alroughani R, 2016)
Plasma exchange
22
Gambar 13. Algoritma pengobatan MS tipe agresif. (Alroughani R, 2016)
Intravenous Immunoglobulin
23
DAFTAR PUSTAKA
24