Anda di halaman 1dari 28

MULTIPEL SKLEROSIS

MULTIPLE SCLEROSIS

HOW CITE THIS ARTICLE :

Kurniawan, S. N. 2016. Multipel Sklerosis dalam Continuing


Neurological Education 5, Update on Neuroscience and Clinical
Neurology. UB Media, Universitas Brawijaya, Malang. p1-25
MULTIPEL SKLEROSIS

Shahdevi Nandar Kurniawan

Multipel sklerosis (MS) merupakan kelainan susunan saraf pusat yang


paling banyak mengenai usia muda dan paruh baya. Penyakit ini memiliki
manifestasi yang beragam dan perjalanan yang bervariasi, lesi demielinating
memiliki spektrum klinis yang luas, mulai dari episode tunggal yang ringan hingga
yang berpotensi fatal. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa MS lebih banyak
didapatkan di area Utara, dua kali lebih banyak pada wanita, dan paling sering
muncul pada dekade ketiga dan keempat. Ras Kaukasia -kulit berwarna- beresiko
dua kali lebih besar menderita MS di United States dan Kanada. Menariknya, ketika
MS berkembang di populasi Asia, MS dominan mempengaruhi nervus optikus dan
medula spinalis, keterlibatan otak jarang didapatkan, berbeda dengan di Amerika
Utara dan Eropa. Individu yang lahir di area Utara, dengan ras dan usia yang sesuai,
memiliki resiko bawaan yang lebih kecil karena habitat wilayah jika mereka
berpindah ke area Selatan sebelum usia 15 tahun. Individu lain yang juga berpindah
dari Utara ke Selatan, namun setelah usia 15 tahun, memiliki resiko bawaan yang
tetap lebih tinggi. Meskipun ada beberapa predisposisi faktor genetik yang masih
perlu diidentifikasi untuk MS, faktor ini saja bertanggung jawab terhadap
variabilitas yang disebutkan sebelumnya, seperti populasi yang dibandingkan
secara genetik bervariasi dalam prevalensi MS tergantung pada tempat kelahiran
dan usia migrasi. (Aminoff MJ, 2015)

Faktor Genetik

Tidak ada tipe genetik pasti yang ditentukan pada review tentang
heritabilitas alami MS. Namun kadang kala kluster penyakit familial memang ada.
Resiko MS pada keluarga dekat (first-degree relative) pada individu yang terkena
(diperkirakan 1 diantara 500-1000) mencapai 20 kali lipat pada populasi umumnya.
Pada pasien dengan MS, setidaknya 10-15% memiliki 1 anggota keluarga dekat
(first-degree relative) yang terkena, namun resikonya tidak jauh berbeda untuk
hubungan orang tua-anak dengan hubungan lainnya, hal ini menyingkirkan
penurunan tipe dominan, resesif, maupun sex-linked. Resiko MS pada first-degree

1
relative tidak pernah lebih dari 5%, kecuali pada kembar monozigot, dimana angka
kecocokannya sekitar 25%. (Mary, AM. 2012)

Patologi dan Patofisiologi

Pada MS klasik, proses primernya salah satunya adalah demielinisasi yang


menyebabkan hilangnya mielin pada akson susunan saraf pusat. Hilangnya mielin
muncul bersamaan dengan proses patologi lain yang juga mempengaruhi akson,
elemen glia, atau pembuluh darah. Oligodendrosit pada susunan saraf pusat
bertanggung jawab pada perluasan mielin otak. Struktur ini didominasi lipid (70%),
dengan sisanya adalah protein. Satu bagian, mielin berbahan dasar protein, terutama
rentan secara imunologi dan ensefalitogenik secara eksperimental. (Aminoff MJ,
2015)

Gambar 1. Histologi pada MS. (Gregory FW. 2011)


(A) Gross examination of the brain at autopsy. (B) Perivascular and parenchymal
infiltration of leukocytes. (C) A plaque margin reveals a blurred but discrete edge
(arrows). (D) Inactive plaque demonstrating borders that are distinct and devoid of
inflammation (E) CD3 + lymphocytes clustering in a perivascular cuff within an active
lesion area (F) Foamy macrophages characterized by fragments of myelin (arrow).

Inspeksi otak secara kasar pada pasien MS tidak menunjukkan abnormalitas


yang mengindikasikan perubahan histologi bermakna pada pemeriksaan
mikroskopik. Namun, nervus optikus, kiasma optikus, dan medula spinalis dapat
mengalami atropi secara alami. Kadang kala, area patchy demyelination dapat

2
terlihat pada permukaan basis pontis, pedunkulus serebeli, dan permukaan medula,
dan dasar ventrikel keempat. (Mary, AM. 2012)

Gambar 2. Lesi kortikal pada MS dengan imunohistokimia. (Gregory FW, 2011)

Potongan koronal otak menunjukkan perubahan yang mirip pada MRI,


dimana tampak berbagai ukuran plak MS. Lesi yang baru terjadi berwarna pink dan
lembut, sementara kronik MS berwarna abu-abu, jernih, dan padat. Seringkali sulit
menghubungkan lesi multipel dengan riwayat pasien pada otopsi atau melalui MRI
neuroaxis. Kadangkala plak MS klasik muncul pada pasien yang tidak pernah
dicurigai secara klinis. (Mary, AM. 2012)

Analisis mikroskopik menunjukkan bahwa banyak plak tidak memiliki


korelasi dengan traktus nervus tertentu. Seringkali, plak terdistribusi di perivenular
dan paraventrikular. Hilangnya mielin dari serabut saraf tampak jelas dan paling
baik dilihat dengan pengecatan toluidine blue. Sering ditemukan akumulasi
makrofag yang menyertai. Plak aktif berisi debris mielin. Kehilangan
oligodendrosit yang berat pada plak MS sering dikaitkan bersamaan dengan temuan
hipertrofi astrosit. Mungkin didapatkan tanda penyangatan leptomeningeal, seperti
yang ditemukan pada acute disseminated MS. (Mary, AM. 2012)

3
Gambar 3. Heterogenitas pada MS. (Dendrou CA, 2015)

Gambar 4. Patologi pada MS. (Dendrou CA, 2015)

4
Pada MS juga didapatkan komponen kerusakan aksonal dan neuronal yang
cukup signifikan. Hal ini terutama relevan dengan outcome jangka panjang dan
disabilitas pasien. Bukti kerusakan aksonal dapat ditemukan pada fase awal
penyakit. Hal ini dapat ditemukan pada area demielinisasi yang mudah dilihat dan
area white dan gray matter yang tampak normal pada pemeriksaan kasar.

Diduga bahwa komponen destruktif antigen spesifik yang terkait baik


dengan sel T maupun autoantibodi maupun efek makrofag teraktivasi dan mikroglia
meyebabkan kerusakan aksonal yang signifikan pada patogenesis MS. Fungsi
mitokondria dapat terganggu ketika berbagai substrat seluler berkontribusi lebih
jauh pada proses patologi ini. (Mary, AM. 2012)

Gambar 5. Neurodegeneratif dan inflamasi pada MS. (Dendrou CA, 2015)

5
Subtipe Klinis

Tabel 1. Tipe-tipe MS (Loma I, 2011)

Most common type, accounts for approximate 85% of


Relapsing/Remitting cases. Characterized by discrete attacks that evolve
Multiple Sclerosis over days to weeks followed by some decree of
(RRMS) recovery over weeks to months. In between attacks,
the patient has no worsening neurological function.
Secondary Progressive Characterized by initial relapses, followed by
Multiple Sclerosis gradual neurological deterioration not associated
(SPMS) with acute attacks.
Primary Progressive Characterized by steady functional decline from the
Multiple Sclerosis onset of the disease. No relapses ever.
(PPMS)
Characterized by steady functional decline from
Progressive Relapsing
onset of the disease with later superimposed acute
Multiple Sclerosis
attacks. PRMS and PPMS cannot be distinguished
(PRMS)
during early stages, until the relapses occur

Tabel 2. Gejala dan tanda dari MS. (Aminoff MJ, 2015)

Gejala Persen Tanda Persen


Absent abdominal
Paresthesia 37 81
reflexes
Gait disorder 35 Hyperreflexia 76
Lower extremity
weakness or 17 Lower extremity ataxia 57
incoordination
Extensor plantar
Visual loss 15 54
responses
Upper extremity
Impaired rapid
weakness or 10 49
alternating movements
incoordination
Impaired vibratory
Diplopia 10 47
sense
Optic neuropathy 38
Nystagmus 35
Impaired joint position
33
sense
Intention tremor 32
Spasticity 31
Impaired pain or
22
temperature sense
Dysarthria 19
Paraparesis 17
Internuclear
11
ophthalmoplegia

6
Diagnosis Banding
Karena MS dapat mengenai berbagai area SSP mulai dari nervus optikus
hingga bagian distal medula spinalis, pasien dapat datang dengan manifestasi yang
sangat bervariasi yang dapat muncul pada rentang usia mulai remaja hingga
pertengahan dekade keenam. Ketika seseorang mengalami proses neurologi akut
yang terutama mengenai SSP pada pasien muda yang sebelumnya sehat, dokter
harus mempertimbangkan bahwa hal tersebut mungkin merupakan manifestasi
awal MS. (Mary, AM. 2012)
Tabel 3. Diagnosis banding pada MS. (Joel O, 2006)

• Balo disease
MS variants • Schilder disease
• Marburg disease
Overlap • Optic neuritis
syndromes • Transverse myelitis
• Devic’s disease
• Harding disease (Leber variant)
• Acute/monophasic disseminated encephalomyelitis (ADEM)
Other
demyelinating • Noninflammatory diseases such as PML, central pontine
disease myelinolysis, and B12 deficiency
• Common leukodystrophies such as adrenoleukodystrophy
(ALD)/metachromatic leukodystrophy (MLD) and Krabbe
disease
• Vasculitis
• Connective tissue disease (Sjögren syndrome, SLE)
Other • Neurosarcoid
inflammatory • Whipple disease
diseases • Behçet disease
• Infective disease (human T-cell lymphotropic virus 1
[HTLV1], tertiary Lyme disease)
Malignancy and genetic (HSP)
Vascular disease, including antiphospholipid syndrome

Pendekatan Diagnostik

Meskipun tidak ada kriteria spesifik untuk menentukan diagnosis MS, MRI
merupakan modalitas penunjang yang paling membantu diagnostik. Ketika
didapatkan temuan tipikal pada MRI disertai dengan anamnesis dan temuan klinis
yang klasik, modalitas lain mungkin tidak perlu dilakukan lagi pada seting klinis.
(Mary, AM. 2012)

7
Tabel 4. Red flags pada diagnosis MS. (Alroughani R, 2016)

• No dissemination in time/space
• Onset <10 or >55 years of age
• Prominent fever/headache, impairment of
Clinical consciousness, uveitis, peripheral neuropathy
presentations • Abrupt hearing loss
• Non-scotomatous field defect
• Cortical feat (seizures, aphasia, cortical blindness)
• E nc e p ha l o pat hy
• Bilateral presentation
• Severe pain restricting ocular movements (infectious,
sarcoidosis)
Optic • Severe visual loss (sarcoidosis, infectious
Neuritis • No spontaneous recovery, conti progression > 2 w
• Macular star (neuroretinitis)
• Severe optic disc edema and vitreous reaction
• Hi st ory of c anc e r
• Hyper-acute non progressive onset
• Symmetrical symptoms
• Complete involvement of the spinal segment
• Progressive myelopathy with absence of bladder
Transverse
involvement
Myelitis
• Anterior spinal artery territory lesion
• Localized or radicular spinal pain
• Cauda equina Syndrome
• Co-existing lower motor neuron signs
• Fluctuating or fatiguable ocular or bulbar symptoms
Brainsteml • Complete external ophthalmoplegia
Cerebellar • Isolated trigeminal neuralgia associated with objective
sensory impairment
• Fluctuating level of consciousness
• Brain: normal, small lesions, prominent gray matter
involvement, hydrocephalus, absence of callosal or
MRI periventricular lesion, symmetric confluent
features • Spine: large multi-level involvement, swelling of the cord,
full thickness or leptomeningeal involvement, Ti
hypointense
• Normal IgG Inde x
• Disappearance of oligoclonal bands
CSF findings • White cell count > 50
• P rot e i n > 1 gram

8
Tabel 5. Investigasi spesifik MS pada kondisi red flags. (Alroughani R, 2016)

• MRI brain with gadolinium including orbital cuts "optic nerve sheath
meningioma"
• CSF cytology "lymphoma" and PCR "TB"
• Serology for syphilis, TB, brucella, HIV, HTLV-1
• Pathergy Test "Behcer s disease"
• Chest X-ray or Computed Tomography "sarcoidosis"
• Gallium scan & serum angiotensin converting enzyme "sarcoidosis"
• Genetic testing "Leber Hereditary Optic Neuropathy, Hereditary Spastic
Paraparesis" Serum Very Long Chain Fatty Acid, arylsulfatase A, beta-
galactocerebrosidase "leukodystrophies"
• Nerve conduction study/ Electromyography if signs of neuropathy or other
lower motor neuron signs present
• Serum Anti-Aquaporin-4 IgG "Neuromyelitis Optica"
Magnetic Resonance Imaging

Diagosis MS telah menjadi jelas dengan MRI; studi positif menunjukkan


data dasar diagnostik solid bagi klinisi yang mengarahkan diagnostik segera dan
akurat MS pada 95% pasien. Lesi baru biasanya memiliki gambaran penyangatan
gadolinium yang seragam, sementara, ringlike enhancement sesuai dengan
gambaran reaktivasi lesi sebelumnya. Plak fase akut memiiki gambaran area bulat
dengan high-signal inensity pada sekuen FLAIR dan T2. Penyangatan gadolinium
pada sekuen T1 merupakan akibat sekunder dari kerusakan akibat inflamasi pada
blood-brain barrier. (Aminoff MJ, 2015)

Temuan klasik MRI ditandai dengan multiple well-demarcated ovoid


plaque yang aksis panjangnya terletak tegak lurus di sepanjang callososeptal
interfaces dan menunjukkan perivenular extension pada corpus callosum (Dawson
finger). Terlebih lagi, plak tersebut memiliki kecenderungan di periventrkular dan
subcortical white matter, middle cerebellar peuduncle, pons, atau medulla.

Pada medula spinalis, lesi white matter dapat melibatkan berbagai bagian
traktus aferen maupun eferen, terutama kolumna dorsalis. Pada saat tertentu lesi
dapat sangat besar dan menyerupai tumor intramedula dan ditandai dengan large
xpansile hyperintense plak pada area cervical atas seperti pada gambar 6-7. MRI
secara tegas telah menggantikan analisa LCS, begitu juga berbagai bentuk evoked
neurophysiology potentials sebagai metode diagnostik primer. (Aminoff MJ, 2015)

9
Gambar 6. Protokol standar MRI kepala pada MS.
a | Pre-contrast, b | axial T1-weighted and c | dualecho T2-weighted sequences, d
| contrast-enhanced sagittal, e | axial 2D T2-weighted fluid-attenuated inversion
recovery (FLAIR) and f | axial T1-weighted sequences. (Rovira À, 2015)

Gambar 7. Medula spinalis servikal irisan sagital.


a | Fast spin-echo proton-density,b | T2-weighted and c | short-tau inversion
recovery (STIR) MRI sequences. (Rovira À, 2015)

10
Peningkatan teknik dan kekuatan magnet mampu mengambarkan bentuk
variasi dari normal, yang kadang menyerupai MS namun bukan proses patologi,
yang kadang dapat menyulitkan interpretasi abnormalitasnya. “Unidentified bright
objects (UBOs)” merupakan imitator klasik yang terlihat pada mereka dengan
merokok, hipertensi, migrain, atau Lyme disease, atau dapat muncul tanpa sebab.
Hampir sama, Virchow-Robin spaces, suatu area vaskular yang melebar dan terisi
LCS, dapat memberikan gambaran high T2 signal intensity. Namun hal ini dapat
dibedakan dengan plak demyelinisasi pada MS karena lesi tersebut tidak muncul
dengan proton density image. (Aminoff MJ, 2015)

MRI medula spinalis dapat berguna terutama dalam mendukung diagnosis


(lihat gambar 6-7). Pada kasus yang secara klinis dicurigai dengan MRI kepala
normal atau meragukan, lesi medula spinalis dapat muncul, meskipun tanpa gejala
medula spinalis. Namun demikian, kadang kala lesi medula spinalis sulit
diidentifikasi karena adanya artefak. Semakin banyaknya ketersediaan MRI 3–
Tesla di kemudian hari akan dapat memperjelas gambarannya terutama bentuk MS
spinal. (Mary, AM. 2012)

Ada beberapa pasien yang pada akhirnya terdiagnosis MS namun pada


evaluasi awal memiliki gejala yang tidak spesifik dan jelas bukan suatu MS klasik.
Mereka menjalani MRI yang pada awalnya untuk menyingkirkan kecemasan pasien
terhadap adanya abnormalitas struktural, seperti tumor atau mungkin MS. Dari
MRI secara tidak terduga ditemukan gambaran lesi demyelinisasi pada white matter
sesuai MS. Bagi klinisi, temuan MS ini terlihat tidak berhubungan dengan gejala
yang dialami pasien. Namun temuan ini harus diperhatikan. Hasil tersebut
memperluas definisi kita terhadap gambaran klinis awal multipel sklerosis dan ahli
neurologi harus lebih waspada terkait samarnya kelainan ini pada awal
perjalanannya. (Mary, AM. 2012)

Cairan Serebrospinal

Pungsi lumbal pada LCS menjadi kurang bermanfaat ketika diagnosis telah
ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan gambaran MRI yang
tegas dan mendukung. MRI juga berguna untuk mengeksklusi diagnosis lain,
terutama Lyme disease, sarcoidosis, limfoma, atau infark multipel sekunder akubat

11
vaskulitis SSP primer. Namun, ketika tidak ada konfirmasi atau gambaran MRI
yang mendukung untuk diagnosis MS, pemeriksaan LCS dapat membantu prosedur
diagnostik. (Aminoff MJ, 2015)

Tabel 6. Biomarker pada MS (Comabella M, 2014)

Category Body fluid Biomarker test


Natalizumab response
Anti-natalizumab
biomarker for an Serum ELISA
antibodies
adverse effect
CPE, luciferase
Neutralising Interferon-beta
Serum*, PBMCs gene-reporter
antibodies response biomarker
assay
IgG oligoclonal
Diagnostic CSF, serum EF/IB
bands
IgG index Diagnostic CSF, serum Formula‡
Anti-aquaporin-4 HC, CBA,
Diagnostic Serum*, CSF
antibodies ELISA
Natalizumab response
Anti-JC virus
biomarker for an Serum*, plasma ELISA
antibodies
adverse effect
Fingolimod-response
Anti-VZV
biomarker for an Serum*, plasma ELISA
antibodies
adverse effect

Gambar 7. Diagnostik pada LCS. (Mary, AM. 2012)

Gambaran LCS tipikal pada pasien MS ada digambar 7. Hitung leukosit


biasanya normal, dengan kurang dari 6 sel MN/mm3; namun kadangkala dapat
ditemukan pasien MS dengan sel 50 limfosit/mm3. Biasanya tidak melebihi 25
sel/mm3. Hitung limfosit lebih 100/mm3 harus meningkatkan kecurigaan adanya

12
proses inflamasi atau bahkan proses neoplastik. Jumlah sel yang ditemukan
mungkin berkorelasi dengan lesi menyangat pada MRI dan aktivitas penyakit.
Namun, tidak tampak adanya korelasi antara hitung sela dan keparahan lesi T2.
Kadar glukosa pada LCS didapatkan normal, sesuai dengan hitung sel yang juga
relatif normal. (Mary, AM. 2012)

Evoked Potentials (EPs)

Studi neurofisiologi bertujuan untuk menganalisa secara obyektif integritas


neuronal pathway baik di susunan saraf pusat maupun tepi. Sebelum tersedia MRI,
EPs merupakan modalitas yang berguna untuk mendeteksi kelainan SSP subklinis.
Pemeriksaannya relatif mudah dilakukan dan memerlukan kerjasama pasien yang
lebih minimal, terutama saat pemeriksaan visual dan auditory pathway.

Gambar 8. Visual evoked response (VER) (Mary, AM. 2012)

Gambar 9. Somatosensory evoked responses (SER) (Mary, AM. 2012)

Saat ini pemeriksaan EPs dilakukan ketika pasien datang dengan keluhan myelopati
dan membutuhkan penentuan adanya keterlibatan klinis multi area baik dari lokasi
maupun waktu (in space and time) untuk menegakkan diagnosis MS, karena

13
beberapa pasien lupa atau adanya subklinis optic neuritis, visual evoked response
(VER) dapat berguna dalam kondisi ini. Namun, EPs brainstem dan somatosensori
tidak lagi menjadi alat diagnostik MS. (Mary, AM. 2012)

Kriteria Diagnostik Multipel Sklerosis

Meskipun MRI menyediakan modalitas diagnostik yang sangat baik,


temuan ini selalu perlu disertai dengan gambaran klinis yang sesuai untuk
menentukan diagnostik pasti MS. Klinisi menggunakan beberapa kriteria dari
konsensus yang terus berkembang seiring perkembangan teknologi. Pemeriksaan
dan anamnesa adalah komponen utama diagnosis pada 1965 ketika Schumacher
dkk pertama kali mengeluarkan kriteria MS yang banyak dianut; hal ini
memerlukan terpenuhinya 5 dari 6 kondisi yang ada di kotak 46-1 sebelum
menentukan diagnosis definite MS. (Mary, AM. 2012)

Tabel 7. Kriteria Schumacher untuk diagnosis MS (Mary, AM. 2012)

1. Usia onset antara 10-50 tahun


2. Didapatkan defisit neurologis akibat lesi di otak.
3. Diseminasi waktu dengan
• 2 atau lebih serangan setidaknya 24 jam dan jarak minimal 1 bulan
• Progresifitas tanda dan gejala selama 6 bulan
4. Diseminasi tempat yang sesuai dengan lokalisasi pemeriksaan klinis
5. Tidak ada penjelasan lain untuk gejala yang muncul (harus ada)

Kriteria diagnostik MS direvisi pada 1983 seiring adanya peran


pemeriksaan evoked response dan neuromimaging dalam mengidentifikasi lesi
yang secara klinis tidak tampak dan adanya peran data laboratorium pendukung
MS. Selanjutnya disertai dengan temuan LCS terkait temuan spesifik peningkatan
jumlah oligoclonal bands di LCS dibandingkan serum, peningkatan kadar IgG, dan
peningkatan index IgG. Pada tahun 2001, kriteria McDonald menjadi standard
hampir diseluruh dunia yang digunakan dalam penelitian klinis dan untuk
menentukan disease-modifying therapies specific untuk terapi MS. (Mary, AM.
2012)

Kriteria ini memerlukan adanya serangan multipel, terpisah dalam waktu


maupun lokasi (separated in time dan space). Terlebih, kriteria ini juga
menyediakan pertimbangan temuan MRI dan LCS ketika ditemukan hanya 1 lesi

14
obyektif MRI, hanya 1 serangan klinis, atau ketika progresifitasnya tidak nampak.
The McDOnald Diagnostic Criteria direvisi pada 2005 untuk mengimbangi
perkembangan peran MRI dalam diagnostik multipel sklerosis sekaligus untuk
membantu perkembangan terapi awal tanpa mengurangi sensitivitas dan
spesifisitasnya

Tabel 8. Kriteria McDonald untuk diagnosis MS (Mary, AM. 2012)

1. Dua atau lebih serangan dengan bukti klinis obyektif dua atau lebih lesi
klinis cukup untuk mendiagnosis MS
2. Dua atau lebih serangan klinis :
a. Namun hanya satu lesi yang definitif pada pemeriksaan klinis
b. Terpenuhi kriteria tambahan diseminasi tempat yang dapat
dibuktikan dengan
i. Lesi MRI baru
ii. Kombinasi lesi MRI dengan temuan positif LCS atau
serangan klinis lain pada lokasi baru
3. Isolated clinical attack : kriteria MS dapat terpenuhi jika ada dua atau lebih
lesi dengan bukti diseminasi waktu oleh :
a. Lesi MRI baru
b. Serangan klinis kedua
4. Clinically isolated syndrome dengan hanya satu bukti obyektif lesi dapat
mendiagnosis MS dengan
a. Diseminasi tempat ditunjukkan dengan lesi MRI kedua disertai
temuan positif LCS
b. Diseminasi waktu ditunjukkan dengan
i. MRI, atau
ii. Serangan klinis kedua
5. Progresifitas lambat penyakit dapat mengarahkan diagnosis MS :
a. Jika penyakit progresif selama setidaknya 1 tahun dan
b. Terpenuhi dua dari tiga kondisi:
i. Temuan MRI kepala positif
ii. Temuan MRI medula spinalis positif (lebih bermakna dari
sebelumnya)
iii. Temuan LCS positif

Manajemen dan Terapi

Terapi Imunomodulatori

Manajemen medis MS awalnya terbatas pada perawatan paliatif. Intervensi


farmakologi memodifikasi perjalanan MS dengan mengurangi relap dan keparahan
lesi MRI, keduanya berperan dalam progresifitas penyakit. (Mary, AM. 2012)

15
Gambar 10. Algoritma diagnosis pada MS (Joel O, 2006)

Lima obat yang disetujui oleh USFDA untuk terapi RRMS: interferon beta-
1b, interferon beta-1a intramuskular, glatiramer asetat, interferon beta-1a
subukutan, dan infus natalizumab. Interferon beta-1b subkutan (8 juta unit per hari)
tersedia. Sejak awal tahun 90an, diikuti dengan interferon beta-1a intramuskular
(30μg satu kali per minggu). Bentuk lain interferon beta-1a yang digunakan di
Eropa tersedia di US pada 2002 dan diinjeksikan 3 kali per minggu (22-44μg),
menggunakan dosis interferon beta-1a mingguan lebih besar. Gejala flulike
merupakan efek samping yang paling sering didapatkan, muncul pada hampir 60%
pasien yang mengggunakan interferon, namun efek ini dapat diredakan seiring
waktu dan dapat diterapi dengan baik dengan NSAID. (Mary, AM. 2012)

16
Glatiramer acetate (20mg per hari subkutan) tersedia di US pada 1996 dan
merupakan unrelated compound of polypeptides yang mungkin memiliki efek
samping potensial lebih sedikit dan mungkin memiliki lebih dari 1 mekanisme kerja
pada respon imun yang menyimpang. Beberapa manfaatnya mungkin dirasakan
lebih lambat dibandingkan interferon. (Mary, AM. 2012)

Pada 2004, natalizumab disetujui untuk digunakan di US dan Eropa. Obat


ini pernah ditarik sementara oleh pabriknya pada Februari 2005 karena adanya 2
kasus progressive multifocal leukoencephalopathy (PML) pada MS yang diterapi
dengan kombinasi interferon beta-1a dan natalizumab. PML merupaan infeksi SSP
yang jarang, bersifat progresif, dan fatal yang muncul terutama pada pasien
immunocompromised, terutama mereka dengan HIV-AIDS atau mereka yang
dalam terapi immunosupresan jangka panjang, terutama kortikosteroid. PML
disebabkan oleh virulensi berlebih dari ubiquitois papillomavirus, JC virus. (Mary,
AM. 2012)

Gambar 11. Mekanisme obat injeksi pada MS. (Oh J, 2013)

Pada 2006 natalizumab kembali kepasaran dengan pedoman pemberian


yang lebih ketat dan digunakan hanya sebagai monoterapi pada bentuk relaps MS.
Sampai saat ini, kasus PML baru terus muncul dengan insiden rendah bahkan
dengan monoterapi. Meskipun resiko berkembangnya PML menjadi pertimbangan

17
utama pada sebagian besar pasien dan klinisi, kasus toksisitas liver dan
kemungkinan asosiasi dengan melanoma juga perlu dipertimbangkan. Sejauh ini
belum ada controlled trials yang menilai secara adekuat efikasi natalizumab untuk
Secondary Progressive Multiple Sclerosis (SPMS). (Mary, AM. 2012)

Masing-masing agen mengurangi angka relaps dan menurunkan keparahan


lesi pada MRI pada SSP. Perbedaan pada desain penelitian membuat perbandingan
efektivitas drug-to-drug sangat sulit. Sampai saat ini, penurunan angka relap selama
2 tahun meliputi 30-35% masing-masing pada terapi interferon dan glatiramer
acetate, sementara natalizumab menunjukkan penurunan angka relaps selama 1
tahun sebesar 68% dibandingkan plasebo. Kondisi pasien dapat mempengaruhi
pemilihan terapi pada pasien yang belum pernah mendapatkan terapi, misalnya,
riwayat depresi, ide bunuh diri, atau keduanya, yang mungkin memberberat efek
dari obat-obat interferon, dapat menggunakan glatiramer acetate sebagai plihan
terapi pada inividu tertentu. Beberapa pasien mungkin lebih nyaman dengan obat
tertentu dibandingkan yang lain, tergantung toleransi individual terhadap reaksi
obat, gejala flulike, frekuensi terapi, dan dampak terhadap gaya hidup sehari-hari.
Pasien yang tidak memiliki compliance yang baik terhadap injeksi intramuskular
atau subkutan mungkin dapat menggunakan infus natalizumab setiap bulan. (Mary,
AM. 2012)

Mekanisme Terapi Imunomodulatori

Interferon dan glatiramer acetate mengubah mekanisme presentasi antigen


pada MS. Mekanisme imun host distimulasi oleh presentasi antigen kandidat,
mungkin oleh protein intrinsik myelin. Sel T reaktif pada mielin teraktivasi dan
melewati blood-brain barrier, dimana mereka menginisiasi inflamasi pada myelin-
rich white matter. Interferon sesungguhnya tidak memasuki SSP dan karenanya
memberikan efeknya secara eksternal. Meskipun seperti interferon, glatiramer
acetate tidak melewati blood-brain barrier, memiliki efek mempengaruhi akivitas
dalam SSP dengan meningkatkan produksi faktor neurotropik pada otak. (Mary,
AM. 2012)

Natalizumab merupakan humanized recombinant monoclonal antibody


yang bekerja pada sel T teraktivasi dengan berikatan pada alpha 4 subunit integrin

18
yang diekspresikan oleh pemrukaan sel T. Hal ini menghambat transport sel T
teraktivasi melewati bood-brain barrier dengan menghambat ikatan mereka
terhadap molekul adesi endotel, sehingga secara dramatis mengurangi perluasan
populasi proliferasi abnormal sel darah putih dan sitokin SSP pada pasien MS.
(Mary, AM. 2012)

Neutralizing Antibodies

Meskipun keamanan jangka panjang lini pertama terapi imunomodulating


masih belum jelas, masing-masing tampaknya dapat ditoleransi dengan baik.
Namun, interferon, glatiramer acetate, dan natalizumab bukan merupakan protein
alami dalam tubuh manusia, dan karenanya beresiko menginduksi antibodi pada
penerimanya. Kecenderungan produksi antibodi tergantung pada agen, dosis, dan
rute pemberian. Kontroversi muncul terkait efek antibodi ini pada pemakain jangka
pajang terapi immunomodulator. (Mary, AM. 2012)

Drug-induced antibodi berikatan dengan molekul agen aktif dan mungkin


tidak memiliki fungsi yang signifikan. Neutralizing antibodi merupakan bagian dari
ikatan antibodi yang mungkin mempengaruhi aktivitas obat dengan hambatan sterik
terhadap ikatan obat pada reseptornya atau melalui efek jarak jauh pada aktivitas
obat melalui ikatan pada lokasi yang lain. (Mary, AM. 2012)

Terapi pada Multipel Sklerosis Berat

Protokol terapi pada MS yang tidak respon terapi belum ditemukan. Hanya
2 agen yang diseujui USFDA untuk rapidly progressive MS: mitoxantrone dan
interferon beta-1b. Mitoxantrone (12md/m2 iv diberikan setiap 3 bulan hingga dosis
kumulatif maksimal 144mg) merupakan agen kemoterapi yang digunakan untuk
terapi immune-mediated disorder yang lain. Biasanya dipertimbangkan sebagai
terapi terakhir setelah berbagai terapi lain gagal, hal ini karena potensi toksisitasnya
yang cukup mengkhawatirkan yaitu cardiac toxicity. (Mary, AM. 2012)

Tabel 9. Obat untuk prevensi dan relap pada MS. (Kes, VB, 2012)

Level of
Nama obat Dosis
evidence

19
Methylprednisolone 0.5-1 g per day i.v.(3-7 days) I
0.5-1 mg/kg body weight in
Prednisone taperingdoses; after 3-6 weeks, IV
Treatment
5-10 mg maintenance dose
of relapses
2.0-0.4 g/kg body weight 2-5
IVIG III
days
Plasma exchange 1-7 times every other day IV
Glatiramer acetate 20 mcg per day I
Avonex 6 MIU once per week,
First line Interferon beta 1a
Betaferon9.6 MIU every other
therapies and interferon beta I
day, Rebif 22 mcgor 44 mcg
1b
twice weekly
Fingolimod 0.5 mg per os per day I
Natalizumab 300 mg i.v. every 4 weeks II
2.5-3 mg/kg body weight per
Azathioprine IV
day; 1.5-2.5 maintenance dose
1-5 mg/kg twice per day
1 g i.v. every month for 6-12
months,then every 5 weeks
Cyclophosphamide II
during 2nd year andevery 6
weeks during 3rd year of
Second line
application
therapies
20 mg +1 g
methylprednisolone
oncemonthly or once in 3
Mitoxantrone months or 2-3x20mg per I
month followed by 10 mg
once in3 months till
cumulative dose
Mycophenolate 1 g twice daily
IV
mofetil

Dua studi menunjukkan bukti bahwa interferon beta-1b memiliki efek


positif pada pasien secondary progressive disease dengan mempertimbangkan
berbagai pengukuran keluaran/outcome (progresifitas disabilitas, angka penurunan
relaps, aktivitas MRI), tidak semuanya dari skor keluaran tersebut signifikan pada
dua studi. Interferon beta-1a dosis tinggi juga diteliti pada secondary progressive
disease; dua studi menunjukkan efikasi dibandingkan plasebo. Meskipun
heterogenesitas populasi studi dan pengukuran keluaran menjadikan studi ini sulit
dibandingkan, studi ini menawarkan rasionalisasi dalam memilih terapi baru pada
pasien yang telah berkembang dari relapsing-remitting menjadi RRMS yang lebih
agresif atau secondary prgressive, tanpa mempertimbangkan terapi sebelumnya.
(Mary, AM. 2012)

20
Cyclophosphamide

Cyclophosphamide merupakan agen imunosupresan lain yang dgunakan


secara luas untuk terapi gangguan autoimun dan neoplasma. Satu studi
menunjukkan beberapa respon terhadap skor expanded disability status scale
terhadap infus induksi diikuti booster pada pasien dengan usia kurang dari 40 tahun.
Toksisitas yang muncul termasuk hemorrhagic cystitis, leukopenia, myocarditis,
pulmonar interstitial fibrosis, malignancy, dan infertilitas. Mitoxantrone cenderung
ditoleransi lebih baik dengan efek asmping lebih sedikit, dan memiliki bukti efikasi
yang lebih baik untuk secondary progressive MS. (Mary, AM. 2012)

Methorexate

Dosis rendah oral mingguan tidak disetujui untuk terapi MS namun dapat
digunakan sebagai terapi tambahan pada off-label berdasarkan beberapa studi
terbatas pada pasien MS dan efikasinya pada rheumatoid arthritis, penyakit
autoimun yang lain. Methotrexate adalah competitive inhibitor terhadap
dihydrofolate reductase dan mempengaruhi produksi reduced cofactor yang
diperlukan untuk sntesis DNA dan RNA. Tampaknya agen ini memiliki efek
immunosupresif dan antiinflmasi serta aksi immunoregulator. Toksisitas meliputi
fibrosis pulomnal dan liver, sirosis, dan supresi sumsum tulang. (Mary, AM. 2012)

Metilprednisolon intravena

Selain efikasinya sebagai terapi pada fase relaps, siklus pemberian 500-
1000mg glukokortikoid infus intravena dapat dijadwalkan sebagai terapi setiap
bulan atau dua bulan sekali para pasien yang sering mengalami relaps dan transisi
dari RRMS menjadi secondary progressive MS. Terapi ini umumnya cukup aman,
dapat ditoleransi oleh pasien yang mengalami respon waning pada terapi
immunomodulator konvensional lain namun tidak bersedia menjalani kemoterapi.
(Mary, AM. 2012)

21
Gambar 12. Algoritma pengobatan MS tipe non agresif. (Alroughani R, 2016)

Plasma exchange

Plasmapharesis terutama melekukan intervensi pada level respon humoral,


meskipun diduga kurang berperan pada MS dibandingkan respon seluler. Tidak ada
data yang mendukung efek signifikan terapi ini. (Mary, AM. 2012)

22
Gambar 13. Algoritma pengobatan MS tipe agresif. (Alroughani R, 2016)

Intravenous Immunoglobulin

Data yang tersedia mengenai immunoglobulin intravena untuk MS sangat


terbatas. Ada beberapa efek samping jangka panjang namun tidak ada bukti bahwa
terapi ini lebih efektif dibandingkan terapi lain yang telah disetujui. Karena MS
bukan merupakan indikasi yang disetujui oleh USFDA untuk terapi
immunoglobulin, biaya untuk terapi menjadi kendala yang sering terjadi. (Mary,
AM. 2012)

23
DAFTAR PUSTAKA

Alroughani R, Ashkanani A, Al-Hashel J, Khan R, Thussu A, Alexander K et al.


2016. Consensus recommendations for the diagnosis and treatment of
multiple sclerosis in Kuwait. Clin Neurol Neurosurg. 2016 Apr;143:51-64.
Aminoff MJ, Greenberg DA, Roger PS. 2015. Clinical Neurology. McGraw-Hill
Education / Medical; 9 edition. p232-237.
Comabella M, Montalban X. 2014. Body fluid biomarkers in multiple sclerosis.
Lancet Neurol. Jan;13(1):113-26.
Dendrou CA, Fugger L, Friese MA. 2015. Immunopathology of multiple sclerosis.
Nat Rev Immunol. Sep 15;15(9):545-58.
Gregory FW, Enrique A. 2011. The immuno-pathophysiology of multiple sclerosis.
Neurol Clin. May ; 29(2): 257–278.
Joel Oger, Adnan Al-Araji. 2006. Multiple Sclerosis for the Practicing Neurologist.
World Federation of Neurology. 1st Ed.
Kes VB, Zavoreo I, Serić V, Solter VV, Cesarik M, Hajnsek S, et all. 2012.
Recommendations for diagnosis and management of multiple sclerosis.
Acta Clin Croat. Mar;51(1):117-35.
Loma I, Heyman R. 2011. Multiple sclerosis: pathogenesis and treatment. Curr
Neuropharmacol. Sep;9(3):409-16
Mary, AM. 2012. Multiple Sclerosis In Netter’s Neurology. Elsevier Inc. 2nd Ed.
p386-402.
Oh J, Calabresi PA. 2013. Emerging injectable therapies for multiple sclerosis.
Lancet Neurol. Nov;12(11):1115-26.
Rovira À, Wattjes MP, Tintoré M, Tur C, Yousry TA, Sormani MP, et al. 2015.
Evidence-based guidelines: MAGNIMS consensus guidelines on the use of
MRI in multiple sclerosis-clinical implementation in the diagnostic process.
Nat Rev Neurol. Aug;11(8):471-82.

24

Anda mungkin juga menyukai