Anda di halaman 1dari 26

UNIVERSITAS INDONESIA

FENOMENA OVERCROWDING PENJARA SEBAGAI DAMPAK


PENGGUNAAN HUKUMAN PENJARA DAN KETIDAKEFEKTIFAN
REHABILITASI TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA

MAKALAH UJIAN TENGAH SEMESTER

RAHIMA SHIFA FEBRIASIH

1906295486

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI

DEPOK

APRIL, 2022
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Makalah ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Rahima Shifa Febriasih

NPM : 1906295486

Tanda tangan:

1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Overcrowding telah menjadi masalah serius yang dialami banyak penjara di dunia. Di
tahun 2018, fenomena overcrowding di penjara setidaknya terjadi di 27 negara dengan
tingkat kepadatan penghuni penjara mencapai 150% hingga 200% (Baggio et. al, 2020).
Fenomena overcrowding penjara ini kemudian melahirkan banyak permasalahan dan
tantangan terkait bagaimana memelihara kesehatan dan menjamin keselamatan para
narapidana. Sebab, penjara yang kelebihan kapasitas berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan dan kondisi yang dapat membahayakan bagi kesejahteraan para narapidana baik
secara fisik maupun mental (MacDonald, 2018; Srinivasan, 2021). Secara lebih terperinci,
kemudian Marco & Garcia-Guerrero (2020) merumuskan lima dampak dari fenomena
overcrowding dalam penjara. Pertama, fenomena overcrowding menyulitkan pemisahan
antara narapidana laki-laki dan perempuan; kedua, fenomena overcrowding sebagai risiko
terhadap kesehatan fisik dan psikis narapidana; ketiga, fenomena overcrowding yang
berimbas pada layanan kesehatan publik yang ada di sekitar penjara; keempat, fenomena
overcrowding yang berpotensi menciptakan situasi berbahaya baik bagi narapidana maupun
petugas penjara; terakhir, fenomena overcrowding menjadi potensi pelanggaran terhadap hak
asasi manusia karena dapat mengakibatkan perlakuan yang tidak manusiawi.

Salah contoh konkret yang menjadi dampak dari overcrowding terhadap kesehatan
antara lain penularan penyakit dan masalah kesehatan mental yang disebakan dari buruknya
kebersihan serta tidak terjaganya pola makan (Joseph et. al, 2021; Haney, 2012). Dalam
tulisan Walter et. al (2021), dijabarkan bahwa pemenjaraan dalam praktiknya memiliki
konsekuensi serius pada risiko timbulnya penyakit mental, penyakit kronis dan penyakit
menular seperti COVID-19, HIV, Hepatitis C, dan tuberkulosis. Hal ini disebakan karena
kondisi penjara yang merupakan lingkungan berisiko dengan akses perawatan fisik yang
tidak memadai. Kondisi tersebut kemudian diperparah oleh kelebihan kapasitas narapidana
atau overcrowding di dalam penjara. Masih mengutip tulisan yang sama, menurut penelitian
yang dilakukan Walter et. al (2021) yang berfokus pada isu penularan tuberkulosis di dalam
penjara, overcrowding merupakan salah satu faktor terkuat dalam penularan penyakit ini.

Selain permasalahan terkait kondisi kesehatan, fenomena overcrowding dalam penjara


juga memiliki dampak yang buruk terhadap kehidupan sosial narapidana. Penelitian tentang

2
Universitas Indonesia
penjara-penjara di Amerika Latin dan Karibia menemukan bahwa overcrowding bukan hanya
menimbulkan sejumlah masalah seperti sanitasi dan kebersihan yang buruk. Lebih jauh,
overcrowding juga memicu masalah lain seperti tindak kekerasan antar narapidana dengan
narapidana maupun narapidana dengan petugas penjara serta terjadinya kesalahan dalam
mengurus kelembagaan penjara itu sendiri. Situasi ini membuat penjara tidak hanya berisiko
terhadap kesehatan tetapi juga menciptakan kondisi yang rentan terjadinya kekerasan,
kerusuhan, upaya melarikan diri, dan residivisme (Limoncelli et. al, 2020; Drago, Galbiati,
Vertova, 2011).

Indonesia merupakan salah satu negara yang turut menghadapi masalah overcrowding
di penjara. Data yang dihimpun dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan
bahwa peningkatan jumlah narapidana melaju dengan sangat tinggi dibandingkan dengan
kapasitas penjara maupun rumah tahanan yang tersedia. Hingga tahun 2019, jumlah penjara
dan rumah tahanan di Indonesia adalah 522 unit dengan kapasitas 126.994 orang. Namun, di
tahun yang sama, jumlah narapidana yang menghuni penjara dan rumah tahanan mencapai
262.926 orang atau 107% lebih tinggi dari kapasitas yang disediakan (Ravena & Mahmud,
2019). Statistik terakhir yang dipaparkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada
tahun 2022 juga tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Narapidana dan
tahanan yang menghuni penjara dan rumah tahanan hingga kini telah mencapai 270.847 jiwa.
Jumlah ini merupakan akumulasi dari 225.586 narapidana dan 45.261 tahanan dari seluruh
penjara dan rumah tahanan di Indonesia. Meski kapasitas penjara dan rumah tahanan telah
ditambah menjadi 132.107 orang, nyatanya populasi narapidana dan tahanan masih
mengalami kelebihan hingga 169% (Ditjen PAS, 2022).

Berdasarkan jenis pidana, narkotika merupakan pidana yang memiliki jumlah


narapidana terbanyak, yaitu sejumlah 138.095 narapidana. Kemudian, disusul oleh pidana
umum sejumlah 126.889 narapidana. Sementara itu, untuk pidana korupsi cenderung jauh
lebih sedikit, yaitu 4.783 narapidana, Jenis pidana lain seperti terorisme, illegal logging,
pencucian uang, dan human trafficking angkanya tidak lebih dari 600 narapidana (Ditjen
PAS, 2022). Berdasarkan persebarannya, narapidana narkotika terbanyak berstatus sebagai
pengguna, yaitu sejumlah 103.232 narapidana dan sisanya sejumlah 12.933 narapidana
adalah pengedar, penadah, dan produsen. Sementara itu, untuk jumlah tahanan kasus
narkotika, datanya juga tidak jauh berbeda. Tahanan pidana narkotika yang berstatus sebagai
pengguna adalah yang paling banyak, yaitu 19.041 tahanan sementara untuk penadah,
pengedar dan produsen adalah 2.889 tahanan (Ditjen PAS, 2022).

3
Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah

Seperti yang telah disinggung dalam bagian latar belakang, dampak dari
overcrowding di penjara memiliki sejumlah konsekuensi destruktif terutama bagi narapidana
itu sendiri. Indonesia sebagai negara yang memiliki permasalahan overcrowding dalam
penjara menunjukkan bahwa mayoritas penghuni penjara di Indonesia merupakan narapidana
kasus narkotika, tepatnya pengguna narkotika. Hal ini kemudian bertentangan dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang
pemidanaan penjara bagi pengguna narkotika. Pasal 127 ayat 3 UU No. 45 tahun 2009
menuliskan bahwa pengguna narkoba seharusnya menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Dalam Pasal 128 ayat 3 dan 4, hal ini kembali dipertegas bahwa pengguna
narkotika baik yang belum cukup umur maupun telah cukup umur yang sedang menjalani
rehabilitasi tidak boleh dituntut pidana.

Dalam Huey & McNulty (2005), salah satu penyebab dari masalah overcrowding
dapat terjadi karena tidak diterimanya narapidana untuk menjalani program rehabilitasi.
Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, fenomena overcrowding dipandang
sebagai dampak dari pengaplikasian UU yang tidak sesuai. Sebab, sesuai data yang diperoleh
dari Ditjen Pemasyarakatan, populasi terbanyak penghuni penjara adalah narapidana
pengguna narkotika padahal seharusnya mereka menjalani rehabilitasi dan bukan dikenakan
pidana penjara.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1.3.1 Bagaimana penjatuhan hukuman penjara bagi pengguna narkotika di Indonesia


berkontribusi terhadap fenomena overcrowding dalam penjara?

1.3.2 Apa solusi yang dapat diberikan terkait permasalahan overcrowding dalam
penjara yang disebabkan oleh penjatuhan hukuman penjara sebagai hukuman
utama dibanding rehabilitasi?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan peneltian ini bersifat deskriptif, yaitu mengetahui bahwa proses hukum dan
prosedur rehabilitasi di Indonesia berperan dalam fenomena overcrowding yang terjadi di
penjara. Penelitian ini juga dilakukan untuk sebagai bentuk pengajuan solusi terkait
permasalahan overcrowding di penjara yang disebabkan oleh proses hukum dan prosedur
rehabilitasi yang ridak sesuai. Adapun secara lebih lanjut tujuan penelitian ini:

4
Universitas Indonesia
a. Untuk mengetahui ketidaksesuaian pengaplikasian UU Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika terkait penanganan bagi pengguna narkotika yang selanjutnya
berdampak pada fenomena overcrowding dalam penjara.

b. Untuk memberikan solusi dan rekomendasi terkait permasalahan overcrowding


dalam penjara yang disebabkan oleh ketidaksesuaian proses hukum dan prosedur
rehabilitasi bagi pengguna narkotika di Indonesia.

1.5 Signifikansi Penelitian

1.5.1 Signifikansi Akademis

1.5.1.1 Menambah wawasan terkait fenomena overcrowding dalam penjara


sebagai dampak dari ketidaksesuaian proses hukum dan prosedur rehabilitasi
melalui kerangka pemikiran kebijakan kriminal

1.5.1.2 Memperluas pengetahuan tentang fenomena overcrowding dalam


penjara serta ketidaksesuaian proses hukum dan prosedur rehabilitasi sebagai
isu pengendalian sosial narkotika kontemporer.

1.5.2 Signifikansi Praktis

1.5.2.1 Memberikan gambaran bahwa pemidanaan penjara bukan solusi yang


terbaik dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika.

1.5.2.2 Memberikan solusi pada penegak hukum terkait langkah alternatif


yang dapat dilakukan untuk mengatasi fenomena overcrowding yang
dsisebabkan oleh ketidaksesuaian proses hukum dan prosedur rehabilitasi

5
Universitas Indonesia
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


2.1.1 Addressing Prison Overcrowding in Latin America: A Comparative
Analysis of the Necessary Precursors to Reform (Woods, C)

Artikel ini membahas tentang overcrowding yang terjadi di penjara-penjara di


Amerika Latin seperti Bolivia, Kolombia, dan Peru. Seperti halnya permasalahan
overcrowding dalam penjara di berbagai negara, overcrowding dalam penjara-penjara
di Amerika Latin pun memiliki permasahalan yang sama, yaitu buruknya kondisi
kesehatan dan keamanan penjara. Keterbatasan kebutuhan makan, minum, lingkungan
yang bersih serta berbagai tragedi kemanusiaan seperti kebakaran dan kerusuhan
dalam penjara merupakan masalah yang umum di Amerika Latin. Disebutkan dalam
artikel bahwa overcrowding terjadi karena undang-undang dan regulasi tentang obat-
obatan yang ketat sejak tahun 1980-an. Pemberian hukuman yang tidak sesuai adalah
fokus permasalahan yang mengakibatkan overcrowding penjara di Amerika Latin.
Salah satu contohnya adalah penerapan hukum yang tidak berbeda untuk pelanggaran
kasus narkotika ringan dan kasus narkotika dalam kejahatan terorganisasi. Di
beberapa negara di Amerika Latin, keduanya sama-sama berpotensi untuk dijatuhi
hukuman hingga 30 tahun. Selain hukuman penjara, masa tahanan yang lama juga
disoroti sebagai penyebab overcrowding penjara di Amerika Latin. Banyak dari para
tahanan dijatuhi masa tahanan lebih lama dari hukuman maksimum, tidak memiliki
akses untuk mendapatkan keadilan, mengalami perampasan kebebasan dan akhirnya
berkontribusi pada overcrowding dalam penjara.

Namun, menyadari bahwa hukuman yang diterapkan pada pelanggaran ringan


tidak berdampak dalam menekan perdagangan narkoba, maka dicetuskanlah
rekonseptualisasi hukuman. Dalam mengambil langkah ini, organisasi internasional
kemudian terlibat dalam reformasi aturan hukum guna mnegurangi overcrowding
penjara di Amerika Latin. Reformasi ini dilakukan dengan memastikan
proporsionalitas dalam hukuman, menetapkan dan memperluas alternatif
penghukuman selain pidana penjara bagi pelanggaran ringan, menghapus hukuman
wajib minimum, serta menghindari praktik penahanan dalam kasus pelanggaran
ringan dan tanpa kekerasan. Hal ini memang cukup sulit dilakukan di beberapa

6
Universitas Indonesia
negara-negara Amerika Latin tetapi tidak untuk negara Costa Rica yang mulai
mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam artikel ini juga ditunjukkan bahwa reformasi
hukum dan perundang-undangan dalam mengatasi krisis overcrowding perlu disertai
perubahan paradigmatik negara itu sendiri dalam memandang peran sistem
pemasyarakatan. dan populasi penjara. Artikel ini selanjutnya memfokuskan
permasalahan overcrowding penjara di Amerika Latin sebagai akibat dari dua hal,
yaitu 1). adanya hukuman yang ketat terkait dan hukuman wajib minimum terkait
kasus pelanggaran narkotika, dan 2). penggunaan hukuman penahanan pra-
persidangan yang berlebihan.

Penelitian ini dilakukan dengan analisis komparatif terhadap hukuman atas


pelanggaran narkotika di Bolivia, Kolombia, dan Peru. Ditemukan bahwa ukuman
yang ketat terhadap kasus pelanggaran narkotika di ketiga negara tersebut berdampak
pada overcrowding dalam penjara, potensi pelanggaran hak asasi manusia, dan
meningkatkan residivisme. Selanjutnya, di bagian rekomendasi, artikel ini
memberikan saran dalam mengurangi overcrowding dalam penjara. Pertama,
pemberian hukuman untuk kasus pelanggaran ringan misalnya kepemilikan dan
konsumsi pribadi. Untuk kasus kepemilikan dan konsumsi pribadi, artikel
merekomendasikan untuk dilakukan program reintegrasi dan rehabilitasi bagi
pelanggar. Kedua, memperhatikan proporsionalitas pemberian hukuman. Hal ini
dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor ketika menetapkan lamanya
hukuman seperti jenis kejahatan, jenis narkotika yang digunakan, tingkat pelanggaran,
posisi pelanggar dalam kejahatan, dan apakah kasus pelanggaran narkotika tersebut
disertai kekerasan atau tidak. Tujuannya adalah agar hukuman penjara sebia mungkin
dihindarkan dengan mempertimbangkan keadaan yang meringankan. Ketiga,
menghapus hukuman wajib minimum. Pernyataan ini masih berhubungan dengan
proporsionalitas pemberian hukuman sebab di banyak negara di Amerika Latin,
pemberian hukuman wajib minimum masih diberlakukan tanpa melihat kecil atau
besarka skala pelanggaran yang dilakukan. Tujuannya adalah memberikan hukuman
yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan tanpa memukul rata seluruh bentuk
pelanggaran. Keempat, menghindari melakukan penahanan untuk pelanggaran ringan
dan tanpa kekerasan. Hal ini dilakukan untuk menghindari keterpaparan para
pelanggar ringan untuk terlibat lebih jauh dengan narkotika ketika dalam tahanan dan
melindungi mereka yang rentan secara ekonomi dari kesulitan karena harus ditahan.

7
Universitas Indonesia
Kelima, memberikan akses yang sama pada manfaat prosedural, misalnya perawatan
dan program pelatihan kejuruan. Para pelanggar harus diberikan akses yang setara
untuk mengambil manfaat dari program rehabilitasi. resosialisasi, reintegrasi, dan
ksempatan mendapatkan pembebasan bersyarat.

2.1.2 Thai Drugs Laws and Practices: Disproportionate Punishment Against


Women Minor Drug Offenders (Mekara, N)

Artkel ini membahas tentang overcrowding dalam penjara perempuan di


Thailand yang disebabkan oleh hukuman yang tidak proporsional dalam undang-
undang. Secara khusus perempuan yang yang menjadi subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah perempuan di bawah umur yang terlibat dalam pelanggaran
narkotika dan menerima hukuman yang berat karena tindakan mereka. Artikel ini juga
menuliskan bahwa ketrlibatan perempuan dalam kejahatan narkotika hanya
memainkan peran kecil dan oleh karena itu mereka seharusnya tidak dihukum dengan
hukuman penjara. Untuk meredakan fenomena overcrowding yang disebabkan oleh
hukuman penjara pada perempuan, maka dalam artikel ini, undang-undang yang
mengatur hal tersebut disarankan untuk diubah. Contohnya adalah peraturan tentang
ambang batas narkotika yang terlalu rendah yang dapat menyebabkan pelanggar
perempuan di bawah umur menerima hukuman yang berat.

Sebagai negara yang memandang kejahatan narkotika sebagai kejahatan yang


serius, perempuan yang terlibat dalam kasus pelanggaran narkotika di Thailand dapat
dikenakan hukuman penjara yang lama atau bahkan hukuman mati meski mereka
hanya memainkan peran yang ringan Hal ini tentunya tidak proporsional dengan
pelanggaran yang dilakukan. Di dalam artikel ini turut disertakan beberapa contoh
keputusan Mahkamah Agung Thailand yang dianggap tidak proporsional dalam
menghukum perempuan yang terlibat dalam kasus narkotika. Undang-undang yang
mengatur tentang kejahatan narkotika dianggap gagal untuk menekan perdagangan
narkotika. Aturan yang dibuat untuk memberantas narkotika dan organisasi kejahatan
narkotika justru menekan perempuan di bawah umur melalui pemberian hukuman
penjara. Penelitian dalam artikel ini dilakukan dengan mempertimbangkan latar
belakang perempuan dan faktor-faktor yang meringkankan untuk menghindari
hukuman penjara. Disajikan pula perbandingan penyelesaian kasus-kasus narkotika di
negara lain yang menggunakan prinsip non hukuman sebagai upaya mendorong

8
Universitas Indonesia
dekriminalisasi dan depenalisasi pelanggaran narkotika di Thailand. Tujuannya adalah
untuk memastikan hukuman yang proporsional bagi perempuan yang terlibat dalam
kasus pelanggaran narkotika.

Berkaitan dengan saran untuk mengubah undang-undang dan hukuman bagi


pelanggar perempuan, artikel ini menawarkan 3 saran. Pertama, menghapus ambang
batas minimum perdagangan narkotika dan memberikan hakimkeleluasan untuk
mempertimbangkan kasus per kasus. kedua, undnag-undnag narkoba harus
menjelaskan bahwa penuntutan dibutuhkan dan jika tidak terbukti, maka harus
dibebaskan. Upaya pembuktian tidak boleh dibebankan pada terdakwa karena
pembuktian tidak bersalah terlalu sulit untuk meyakinkan pengadilan. Ketiga,
Mengubah undang-undang dan memberikan alternatif hukuman selain penjara.

2.1.3 The Strategic Role of Correctional Advisers in the Implementation of


Narcotics Rehabilitation for Prisoners (Firdaus, I., Haryono, H. F., &
Firmanditya, N)

Artikel ini membahas tentang narapidana di penjara-penjara Indonesia yang


sebagian besar merupakan narapidana narkotika tepatnya pecandu, penyalahguna, dan
korban dari penyalahgunaan narkotika. Menurut artikel ini, hal tersebut seharusnya
tidak terjadi sebab pecandu, peyalahguna, dan korban dari penyalahgunaan narkotika
membutuhkan rehabilitasi. Artikel ini juga memaparkan bahwa meski mereka
seharusnya tidak dipenjara melainkan direhabilitasi, hal ini cukup sulit dilakukan.
Sebab, menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum dan Hak
Asasi Manusia, pelaksanaan rehabilitasi belum efektif karena dinilai belum tepat
sasaran dan belum dilakukan secara terpadu serta berkesinambungan. Salah satu
penyebab dari permasalahan rehabilitasi ini adalah belum memadainya peran pembina
di lembaga pemasyarakatan atau penjara dalam proses rehabilitasi narkotika. Padahal,
pembina pemasyarakatan memiliki peran sentral dalam keberhasilan rehabilitasi
pengguna narkotika. Pembina pemsyarakatan memiliki tugas dan fungsi untuk
melakukan pengecekan, mendampingi, memberikan pembinaan dan bekerja sebagai
konsultan untuk mengawasi perkembangan narapidana yang menjalani rehabilitasi.
Pembina bertanggung jawab untuk memastikan bahwa rehabilitasi yang dilakukan
tepat dan berjalan secara berkesinambungan,

9
Universitas Indonesia
Berkaitan dengan metode penelitian, artikel ini disusun dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dan memiliki tujuan deskriptif. Di dalamnya menjelaskan
tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait tugas dan fungsi pembina
pemasyarakatan dalam melakukan rehabilitasi narkotika. Sumber data yang
digunakan penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari diskusi fokus grup
bersama pembina pemasyarakatan di sejumlah penjara dan data sekunder merupakan
peraturan perundnag-undnagan terkait seperti UU tentang Pemasyarakatan, UU
tentang Narkotika, peraturan pelaksanaan rehablitasi, serta literatur tentang rehablitasi
narkotika. Merujuk pada tugas dan fungsi pembina rehabilitasi dan masih belum
memadainya peran pembina rehabilitasi, artikel memberikan rekomendasi untuk
dilakukannya Kerjasama antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan Badan
Narkotika Nasional untuk menyediakan pendidikan dan pelatihan rehabilitasi.

2.1.4 Mass Incarceration in Urban America (Kumah-Abiwu, F)

Artikel ini membahas tentang bagaimana pemenjaraan massal terjadi di


mastarakat urban di Amerika Serikat. Terdapat sejumlah pendapat megapa
pemenjaraan massal sangat tinggi di masyarakat urban Amerika Serikat. Pertama,
adanya aktifitas geng krimial dan perdagangan serta penggunaan narkotika seperti
heroin dan kokain di banyak komunitas khususnya komunitas urban. Kedua, ada juga
yang berpendapat bahwa pemenjaraan massal adalah produk industri penjara yang
tidak lain berorientasi pada keuntungan ekonomi. Ketiga, pemenjaraan massal sebagai
bentuk kriminalisasi yang menyasar ras tertentu khususnya penduduk kulit hitam di
Amerika Serikat. Selanjutnya, dalam makalah ini akan berfokus pada faktor yang
ketiga, yaitu pemenjaraan massal bagi penduduk Afrika-Amerika.

Dalam menjabarkan permasalahan tentang pemenjaraan massal bagi


masyarakat urban di Amerika Serikat, artikel ini menggunakan dua perspektif dan
satu teori, yaitu urban inequality perspective, dan social control perspective serta
critical race theory. Urban inequality perspective berargumen bahwa lingkungan
miskin di perkotaan cenderung mengalami tingkat pemenjaraan yang tinggi karena
hubungan wilayah perkotaan terhadap distirbusi kejahatan secara spasial. Sementara
itu, social control perspective memandang bahwa pemenjaraan massal memiliki
hubungan dengan proses pengendalian sosial terhadap ras tertentu. Ras tertentu yang
terjebak dalam kesulitan ekonomi seperti kemiskinan dan kurangnya kesempatan

10
Universitas Indonesia
dianggap memiliki hubungan terhadap terjadinya kejahatan dan konsekuensi
pemenjaraan. Berkaitan dengan pemenjaraan massal terhadap ras tertentu di Amerika
Serikat, hal ini secara linear berhubungan dengan kampanye War on Drug di Amerika
Serikat yang pada praktiknya mengkriminalisasi penduduk Afrika Amerika. Dari
pemenjaraan massal yang dilakukan terhadap ras tertentu di perkotaan Amerika
Serikat ini kemudian dampak yang ditimbulkan adalah overcrowding dalam penjara.

Solusi yang ditawarkan oleh artikel ini untuk mengatasi pemenjaraan masal
terkait kebijakan yang harus dilakukan ada dua. Pertama, perubahan kebijakan
melalui reformasi penjara untuk mengatasi overcrowding dalam penjara. Reformasi
penjara ini juga harus dilakukan secara merata mulai dari tingkat federal hingga ke
negara bagian atau lokal. Kedua, perlu dipikirkan kembali terkait pengendalian sosial
dalam mengatasi permasalahan narkotika di Amerika Serikat yang sebelumnya
menggunakan strategi penegakan hukum yang punitif menuju pendekatan yang
berbasis kesehatan masyarakat.

2.1.5 Causes of Prison Overcrowding (Lappi-Seppala, T)

Artikel ini secara umum membahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan


overcrowding dalam penjara. Ditemukan bahwa penggunaan hukuman penjara yang
tinggi berkontribusi secara langsung terhadap fenomena overcrowding dalam penjara.
Lalu, dalam artikel ini juga dijelaskan apa saja faktor yang membuat overcrowding
dalam penjara dan penggunaan hukuman penjara yang berlebih. Secara teknis hal ini
dapat terjadi karena sistem peradilan yang terus menerus memasukan narapidana ke
penjara dalam waktu yang lama di luar kapasitas yang telah disediakan. Hal ini yang
kemudian menjadi masalah sebab seharusnya penggunaan hukuman penjara hanya
dianjurkan sebagai upaya terakhir ketika alternatif penghukuman lain sudah
dilakukan. Dalam artikel ini, disebutkan pula bahwa penahanan yang dilakukan
sebelum persidangan juga berkontribusi terhadap overcrowding dalam penjara.

Artikel ini menuliskan bahwa faktor penyebab overcrowding dapat dilihat dari
struktur ekonomi, sosial, budaya, politik, sentimen publik, dan legitimasi politik suatu
negara. Karena artikel ini menyelidiki faktor penyebab overcrowding penjara di
Finlandia, maka didalamnya menjabarkan tentang bagaimana overcrowding penjara
terjadi di Finlandia. Penulis artikel menemukan bahwa overcrowding penjara di
Finlandia terjadi karena faktor politik yang condong pada hukuman penjara. Dalam

11
Universitas Indonesia
mengatasi hal ini solusi yang diberikan adalah reformasi yang didasarkan pada fungsi
istem peradilan pidana. Hal ini berhubungan dnegan perumusan undang-undnag sebab
dalam praktiknya, peraturan perundang-undangan selalu ditemukan pada tiap tingkat
dalam sistem peradilan pidana (proses pidana, sanksi, prinsip penghukuman,
penegakan hukum, dan hukuman penjara). Oleh karena itu diperlukan kerjasama dari
setiap kelompok yang terlibat dalam sistem peradilan pidana.

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Critical criminology

Critical criminology atau kriminologi kritis diperkenalkan pertama kali di


tahun 1970-an. Secara luas, kriminologi kritis merupakan penelitian mengenai
kejahatan, hukum, dan penyimpangan yang menantang kriminologi tradisional.
Pemikiran kriminologi kritis awal didominasi oleh ketimpangan kelas dan
dampaknya, ketimpangan gender dan ketimpangan ras. Pada awal kemunculannya,
kriminologi kritis sarat akan ide-ide Karl Marx. Misalnya dapat ditemukan dalam
karya Willem Bonger yang berjudul “Criminality and Economic Conditions” (1916),
yang menyatakan bahwa orang-orang di kelas bawah lebih banyak dikriminalisasi dan
dihukum daripada orang-orang kelas atas. Pemerintah memiliki kuasa untuk membuat
definisi kejahatan itu sendiri melealui konstruksi sosial dan politik. Tindakan yang
dilakukan masyarakat terlepas dari sifatnya yang legal atau illegal didefinisikan
sebagai kejahatan apabila menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkuasa.
Pemerintah melalui peradilan pidana dapat mengontrol apa yang dapat disebut
“kejahatan’ dan “penjahat”. Orang-orang dalam pemerintahan memiliki kekuatan
untuk membuat hukum dan mempengaruhi prosesnya serta memiliki peluang
melakukan kriminalisasi bagi siapa saja demi mempertahankan posisi dan
kepentingan mereka meski kriminalisasi tersebut merugikan pihak lain (Long, 2016).
Dengan kata lain, pendekatan kritis meyakini bahwa kejahatan disebabkan oleh
ketimpangan dalam kekuasaan dan sumber daya material (DeKeseredy, 2020).

2.2.2 Restorative Justice

Restorative justice adalah model yang ditempuh untuk mendamaikan pelaku


dan korban. Ini merujuk pada proses dimana korban dan pelaku yang didampingi
mediator mengidentifikasi dan menangani konsekuensi atas kejahatan yang terjadi.
Fokusnya adalah pada proses penyembuhan. Ketimbang melihat kejahatan sebagai

12
Universitas Indonesia
pelanggaran terhadap aturan negara, restorative justice justru berusaha merangkul
korban dan pelaku untuk bersama-sama pulih kembali. Restorative justice memang
tidak selalu dibutuhkan tetapi bagi orang-orang yang ingin melakukannya pada
umumnya memperoleh hasil yang positif (Carlan, Nored, & Downey, 2011). Model
ini sekaligus mengkritik hukuman retributif karena dianggap kontraproduktif dan
upaya rehabilitasi yang hanya fokus pada pelaku tetapi mengabaikan korban
(Neubauer & Fradella, 2019).

Restorative justice memiliki tiga prinsip dalam praktiknya (Weitekamp &


Kerner, 2002):

1. Kita memiliki kewajiban untuk memulihkan korban, pelanggar dan komunitas yang
telah dirugikan oleh kejahatan

2. Korban, pelaku, dan komunitas harus memiliki kesempatan untuk terlibat aktif
dalam proses restorative justice seawal dan semaksimal mungkin

3. Dalam menegakan keadilan, pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga tatanan


masyarakat dalam upayanya membangun perdamaian.

Restorative justice berfokus pada upaya pemulihan untuk membantu mereka


yang berstatus sebagai pelaku, korban, maupun masyarakat luas pulih dari kerugian
akibat kejahatan. Restorative justice melakukan upaya untuk mengembalikan mereka
kepada kondisi sebelum terjadinya kejahatan dengan partisipasi banyak pihak. Di saat
pelaku dan korban sama-sama memulihkan hubungan di antara mereka, pelaku
berkesempatan untuk memperbaiki kerugian yang timbul akibat dirinya (Gavrielides,
2007).

2.3 Metode Penulisan

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan


kualitatif. Di dalamnya berusaha menjabarkan kasus dan menyajikan analisisnya
menggunakan kerangka pemikiran critical criminology dan restorative justice. Data
yang digunakan dalam menjabarkan kasus merupakan data sekunder yang diperoleh
dari sejumlah sumber, yaitu Sistem Database Publik yang dikelola Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Laporan Institute for Criminal Justice, Undang-Undang No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika, dan artikel berita seperti Kompas.com, Tirto.id, dan

13
Universitas Indonesia
CNN Indonesia. Sementara itu, analisis data dan kasus diperoleh dari artikel jurnal,
buku, dan sumber bacaan akademik lain yang menunjang.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Kasus

Statistik tentang populasi narapidana di penjara-penjara di Indonesia dan ketersediaan


penjara untuk menampung narapidana menunjukkan permasalahan yang serius, yaitu
overcrowding. Sebagaimana dampak overcrowding yang telah dipaparkan di bagain
sebelumnya, hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Sejumlah permasalahan sosial yang
merupakan dampak buruk dari overcrowding dalam penjara juga terjadi di penjara-penjara di
Indonesia seperti kerusuhan, narpaidana melarikan diri hingga kebakaran dalam penjara.
Menurut daya yang diperoleh dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sedikitnya
telah ada 13 kebakaran penjara di Indonesia selama tiga tahun terkahir, yaitu sejak 2019-
2021. Dari 13 penjara yang mengalami peristiwa kebakaran tersebut, 10 penjara di antaranya
mengalami overcrowding. Penyebab kebakran dari 13 penjara ini juga beragam mulai dari
kerusuhan oleh pneghuni, korsleting listrik, ledakan kompor gas, hingga karena narpidana
melarikan diri.

Salah satu contoh kasusnya adalah kerusuhan dan kebakaran yang terjadi di Rumah
Tahanan Kelas II B Siak Sri Indrapura yang terletak di Kabupaten Siak, Provinsi Riau
Kerusuhan pada awalnya diduga terjadi karena adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh
petugas penjara saat menemukan narkotika pada beberapa narapidana. Selanjutnya,
berdasarkan kunjungan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, ditemukan bahwa tindak
kekerasan yang berujung pada kerusuhan tersebut diperparah oleh kondisi rutan yang
mengalami overcrowding (Latifah, 2019). Rutan Kelas II B Siak Sri Indrapura seharusnya
hanya mampu menampung 128 narapidana tetapi kemudian memiliki populasi hingga 145
orang narapidana. Kerusuhan ini kemudian mengakibatkan kebakaran hingga
menghanguskan bangunan rutan tersebut (ICJR, 2021).

Dua tahun kemudian, tepatnya pada bulan September 2021, kebakaran di penjara
kembali terjadi tepatnya di Blok C2 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang.
Dari peristiwa kebakaran ini, setidaknya ada 48 orang narapidana tewas akibat kebakaran
tersebut (Kompas, 2022). Blok C2 sendiri dihuni oleh sebanyak 122 narapidana dan terdiri

14
Universitas Indonesia
dari 19 kamar berkapasitas 38 orang. Sebagai rincian, 119 orang narapidana merupakan kasus
narkotika, 2 orang kasus terorisme, 1 orang kasus pidana umum, dan 2 orang warga negara
asing (Tirto, 2021). Pada saat terjadinya kebakaran, Lapas Kelas I Tangerang juga sedang
megalami overcrowding di mana kapasitas keseluruhan laps yang seharusnya hanya
menampung 600 orang tetapi memiliki populasi narapidana hingga 2.069 orang. Untuk
penyebab kebakaan di Lapas Kelas I Tangerang, menurut hasil penyelidikan disebabkan oleh
arus pendek listrik. Dalam sidang terkait kasus kebakaran ini, Kepala Lapas Kelas I
Tangerang menjelaskan bahwa banyak di antara narapidana tidak mengetahui jalan keluar di
Blok C2, lokasi saat terjadinya kebakaran. Hal ini yang kemudian membuat banyak
narapidana tidak dapat menyelamatkan diri dan akhirnya menjadi korban (Kompas, 2021).
Hal yang berbeda disampaikan oleh peneliti ICJR, Maidina Rahmawati. menurut Maidina,
banyaknya korban yang berjatihan dari kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang cenderung
disebabkan oleh overcrowding. Overcrowding tersebut membuat pengawasan dan perawatan
lapas akan sulit. Hal ini menjadi poin penting sebab kebakaran Lapas Kelas I Tangerang
disebabkan oleh korsleting lisrik. Selain itu, overcrowding juga membuat proses evakuasi
saat terjadinya persitiwa kebakaran menjadi terhambat (CNN, 2021).

3.2 Analisis Kasus

3.2.1 Kontribusi Penjatuhan Hukuman Penjara bagi Pengguna Narkotika di


Indonesia terhadap Fenomena Overcrowding

Kasus kebakaran Lapas Kelas I Tangerang selanjutnya menambah catatan kelam bagi
lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Sebab, apabila dihubungkan dengan status narapidana,
mayoritas narapidana yang menghuni Lapas Kelas I Tangerang adalah narapidana kasus
narkotika. Hal ini juga yang kemudian membuat proses hukum terkait penyalahgunaan
narkotika sebagai faktor utama permasalahan overcrowding. Hingga kini, pidana penjara
masih ditetapkan sebagai hukuman utama dari kasus narkotika bahkan untuk pengguna
narkotika meski terdapat alternatif rehabilitasi.

Dalam Huey & McNulty (2005), salah satu penyebab dari masalah overcrowding
dapat terjadi karena tidak diterimanya narapidana untuk menjalani program rehabilitasi. Hal
ini juga menjadi permasalahan bagi penerapan rehabilitasi bagi pengguna narkotika di
Indonesia. Dalam mengatasi situasi overcrowding penjara, sebenarnya pemerintah melalui
institusi penegak hukum sempat mengeluarkan regulasi terkait hukuman alternatif tetapi hal
tersebut tidak dijalankan secara efektif. Contohnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung

15
Universitas Indonesia
No. 4 tahun 2010, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 2011, dan Surat Edaran Jaksa
No. E-002/A/02/2013. Ketiga surat edaran tersebut mengatur tentang penempatan korban dan
penyalahguna narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun,
apabila melihat situasi overcrowding dalam penjara saat ini yang didominasi oleh pengguna
narkotika, hal tersebut mengindikasikan bahwa aturan tentang rehabilitasi bagi pengguna
narkotika belum berhasil.

Menarik lebih jauh permasalahan ketidakefektifan anjuran rehabilitasi sejatinya


adalah melihat bagaimana pengenaan sanksi hukum bagi pengguna narkotika itu sendiri
Tidak efektifnya penerapan rehabilitasi ini secara langsung berhubungan dengan pengenaan
pasal terkait penyalahgunaan narkotika yang masih rancu. Penerapan pasal-pasal dalam UU
No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika disinyalir menjadi alat untuk mengkriminalisasi para
pengguna narkotika. Hal ini diungkapkan dari penelitian yang dilakukan ICJR pada tahun
2016 bersama Rumah Cemara dan Yayasaan Orbit di Pengadilan Negeri Surabaya. Dari
penelitian tersebut ditemukan bahwa dakwaan tertinggi yang dikenakan bagi pengguna
narkotika adalah karena para pengguna memiliki, menyimpan, atau menguasai narkoba.
Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat 61% dakwaan yang dijatuhkan untuk
pengguna narkotika berasal dari Pasal 111 dan Pasal 112 yang mana memberikan sanksi
hukuman sangat tinggi, yaitu 4 hingga 12 tahun penjara. Selain itu, pasal 111 dan Pasal 112
juga menempatkan para pengguna narkotika bukan sebagai pengguna melainkan produsen
atau pengedar narkotika (ICJR, 2017). Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang
narkotika berbunyi “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpang, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling sikat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000 (delapan milyar rupiah). Sementara
itu, Pasal 112 mengatur hal yang serupa dan perbedaannya hanya terletak pada bentuk
narkotika yang dilarang, yaitu narkotika yang berasal dari bukan tanaman.

Pasal 111 dan Pasal 112 cenderung dipilih untuk menuntut pengguna narkotika
daripada Pasal 127 dan Pasal 128 karena dianggap dapat dengan mudah untuk dibuktikan.
Sementara itu, Pasal 127 dan Pasal 128 hanya menegaskan bahwa pengguna tidak boleh
dijatuhi pidana penjara melainkan rehabilitasi. Oleh karena itu, untuk mengajukan tuntutan
umumnya Jaksa memilih Pasal 111 atau Pasal 112 karena penggunaan narkotika secara
pribadi dianggap telah memenuhi unsur pelanggaran dalam Pasal 111 dan Pasal 112 di mana

16
Universitas Indonesia
pengguna telah menyimpan, memiliki, dna menguasai narkotika tersebut (ICJR, 2017).
Tentunya hal ini merupakan hal yang sangat disayangkan dalam memproses kasus
penyalahgunaan narkotika sebab dilakukan dengan tata cara yang sangat tekstual dan
terkesan menjebak para pengguna narkotika. Dampaknya adalah terjadinya kriminaliasi
besar-besaran terhadap para pengguna narkotika yang berimbas pada fenomena overcrowding
dalam penjara.

Fenomena overcrowding penjara di Indonesia ini sedikit banyak serupa dengan


overcrowding penjara di negara-negara lain yang telah dibahas pada bagian kajian pustaka
mulai dari penyebab hingga dampak yang ditimbulkan. Misalnya, di negara-negara Amerika
Latin dimana overcrowding di penjara disebabkan oleh aturan yang ketat dan hukuman yang
berat terkait penyalahgunaan narkotika. Dampak sosial yang ditimbulkan dari overcrowding
di negara-negara Amerika Latin juga cenderung sama seperti di Indonesia seperti terjadinya
kebakaran dan kerusuhan (Woods, 2015). Begitu pula fenomena overcrowding di Thailand
yang juga disebabkan oleh penjatuhan hukuman penjara yang berat bahkan unntuk
pelanggaran kasus narkotika yang ringan. Masalah proporsionalitas hukuman terkait
pelanggaran yang dilakukan menjadi penyebab utama fenomena overcrowding di Thailand
(Mekara, 2020). Bergeser ke Amerika Serikat, terdapat gagasan yang cukup berbeda terkait
fenomena overcrowding. Di Amerika Serikat, overcrowding penjara dihubungkan dengan
praktik kriminalisasi pada kelompok tertentu, yaitu penduduk Afrika-Amerika. Meski belum
ditemukan fenomena serupa di Indonesia, sedikit banyak isu ini tetap relevan sebab praktik
kriminalisasi ini sama-sama disertai penjatuhan hukuman penjara terhadap pengguna
narkotika (Kumah-Abiwu, 2021). Selanjutnya, untuk negara Eropa, fenomena overcrowding
yang ada di Finlandia juga serupa dengan di Indonesia. Finlandia dan Indonesia sama-sama
melaksanakan sistem peradilan yang condong pada bentuk penghukuman penjara sementara
memiliki pilihan untuk menggunakan hukuman alternatif (Lappi-Seppala, 2010). Terakhir,
berkaitan dengan kegagalan rehabilitasi yang seharusnya dilakukan pada pengguna narkotika,
berdasarkan hasil tinjauan literatur dan hasil penelitian yang dilakukan ICJR disebabkan oleh
dua hal. Pertama, karena belum memadainya pembinaan sebagai salah satu elemen
rehabilitasi itu sendiri dalam lapas (Firdaus, Haryono, Firmanditya, 2021). Kedua, tidak
efektifnya anjuran rehabilitasi yang dikeluarkan penegak hukum seperti Mahkamah Agung
dan Kejaksaan (ICJR, 2017).

Berkaitan dengan kerangka pemikiran yang digunakan, yaitu critical criminology,


fenomena overcrowding dalam penjara yang disebabkan karena penggunaan hukuman

17
Universitas Indonesia
penjara pada pengguna narkotika dapat dipandang sebagai bentuk kriminalisasi oleh
kelompok penguasa. Kelompok penguasa yang dimaksud di sini adalah negara melalui sistem
peradilan pidana dan peraturan perundang-undangan. Sebab, dalam fenomena ini negara
melalui sistem peradilan pidana berkontribusi dalam menetapkan dan melaksanakan UU No.
35 tahun 2009 tentang Narkotika yang sangat represif terhadap pengguna narkotika.

3.2.2 Solusi terkait Permasalahan Overcrowding dalam Penjara yang Disebabkan


oleh Penjatuhan Hukuman Penjara sebagai Hukuman Utama Dibanding Rehabilitasi

Berkaitan dengan solusi untuk mengatasi overcrowding penjara yang disebabkan oleh
penggunaan hukuman penjara dibanding rehabilitasi, penulis mengumpulkan rekomendasi
dari beberapa penelitian. Penelitian-penelitian tersebut sebelumnya sudah dilampirkan pada
bagian kajian pustaka dan kemudian akan disesuaikan dengan konteks Indonesia. Pertama,
sebagaimana permasalahan overcrowding di berbagai negara yang disebabkan karena
penggunaan hukuman penjara untuk pengguna narkotika, hal ini juga ditemukan dalam kasus
overcrowding di Indonesia. Oleh karena itu, langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi
hal ini adalah menghapuskan penggunaan hukuman penjara sebagai hukuman utama untuk
pengguna narkotika (Woods, 2015; Mekara, 2020). Penghukuman penjara tidak seharusnya
ditetapkan sebagai hukuman primer bagi para pengguna. Namun, merujuk pada Pasal 127 dan
Pasal 128 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini sebenarnya sudah diatur tetapi
karena pasal tersebut saling tarik menarik dengan pasal tentang kepemilikan narkotika, maka
pengguna dapat ditetapkan sebagai produsen dan pengedar sehingga berpotensi dijatuhi
hukuman penjara. Maka, untuk konteks Indonesia, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
menyesuaikan hukuman yang diberikan terkait pelanggaran yang dilakukan. Apabila
seseorang berstatus sebagai pengguna, seharusnya Pasal 111 dan Pasal 112 tentang
kepemilikan tidak dikenakan kepada mereka karena akan membebani pembuktian bahwa
mereka adalah pengguna. Perlu ada batasan hukum terkait pengguna, produsen dan pengedar
narkotika agar pengguna tidak dikategorikan sebagai pengedar atau produsen atas
kepemilikan narkotika.

Melihat bahwa penghukuman penjara juga bukan merupakan solusi yang efektif
dalam mengatasi pengedaran dan perdagangan gelap narkotika, seharusnya perumus
kebijakan juga mempertimbangkan hal tersebut. Penggunaan hukuman penjara dalam
memproses kasus planggaran narkotika justru mengkriminalisasi para pengguna yang
akhirnya menyebabkan overcrowding dalam penjara dan melahirkan masalah baru. Berangkat

18
Universitas Indonesia
dari permasalahan tersebut, unsur yang kemudian harus diperkuat adalah alternatif dari
penghukuman penjara, yaitu rehabilitasi. Meski penghukuman penjara ditentang dan
penggunaan rehabilitasi didorong sebagai alternatifnya, kita perlu juga merenungkan dan
mengavaluasi praktik rehabilitasi di Indonesia. Dalam penelitian Firdaus, Haryono, dan
Firmanditya (2021), ditemukan bahwa pelaksanaan rehabilitasi di Indonesia belum dijalankan
secara maksimal. Hal ini disebabkan karena belum memadainya peran pembina di lembaga
pemasyarakatan atau penjara dalam proses rehabilitasi narkotika. Oleh karena itu, solusi yang
dapat diberikan terkait permasalahan ini adalah memberikan pendidikan dan pelatihan
terhadap pembina rehabilitasi. Tujuannya adalah agar nanti jika peraturan perundang-
undangan tidak lagi memenjarakan pengguna anrkotika, lapas atau penjara telah siap
melakukan rehabilitasi dengan maksimal.

Pengguna narkotika dalam kasus penyalahgunaan narkotika harus dipandang sebagai


korban dan oleh karena itu penangangan yang diberikan kepada mereka haruslah berbasis
penyembuhan. Berkaitan dengan model peradilan pidana, Indonesia harus mulai
melaksanakan prinsip-prinsip restorative justice. Dengan restorative justice, panghapusan
hukuman penjara dan beralih pada rehabilitasi, merupakan langkah yang tepat dalam
memulihkan pengguna. narkotika. Sebab dalam kasus penyalahgunaan narkotika, pihak yang
dirugikan atau menjadi korban adalah pengguna narkotika itu sendiri. Oleh karena itu,
seharusnya para pengguna dirangkul untuk melakukan reintegrasi dengan masyarakat dan
bukan dikenakan hukuman penjara. Tahap awal sebelum menyiapkan reintegrasi pengguna
narkotika tersebut di masyarakat adalah dengan pelaksanaan rehabilitasi yang maksimal.

19
Universitas Indonesia
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Overcrowding merupakan masalah serius bagi banyak penjara di dunia termasuk
Indonesia. Dalam konteks Indonesia, faktor penyebab utama dari overcrowding adalah
penggunaan hukuman penjara sebagai hukuman utama atas tindak kejahatan yang dilakukan.
Meski UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika telah secara jelas menyatakan bahwa
pengguna tidak boleh dikenakan pidana penjara melainkan rehabilitasi, nyatanya populasi
narapidana di penjara masih didiominasi oleh pengguna narkotika. Hal ini yang kemudian
menjadi masalah baru sebab penggunaan hukuman penjara tersebut justru menyasar pada
kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Akibatnya, banyak penjara mengalami overcrowding
karena kriminalisasi terhadap para pengguna narkotika ini.
Fenomena overcrowding ini tentunya memiliki dampak buruk bagi narapidana
maupun petugas penjara mulai dari sisi keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan
penghuninya. Oleh karena itu, muncul sebuah urgensi untuk tidak lagi menggunakan
hukuman penjara bagi pengguna narkotika. Namun, secara hukum, hal ini sulit sebab hukum
yang ada masih menyamakan para pengguna dengan pengedar dan produsen melalui pasal
yang mengatur kepemilikan narkotika, yaitu Pasal 111 dan Pasal 112. Hal ini menjadi
tantangan untuk Indonesia agar segera melakukan reformasi hukum agar tidak
mengkriminalisasi para pengguna narkotika dengan pasal yang slaing tarik menarik dan
akhirnya berkontribusi terhadap fenomena overcrowding. Dalam tulisan ini, rekomendasi
yang diberikan adalah mengatur ulang batasan terkait pengguna, produsen, dan pengedar
narkotika. Selain itu, untuk menyiapkan alternatif penghukuman, perlu dilakukan
peningkatan kualitas rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

20
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel Jurnal

Baggio, S., Peigné, N., Heller, P., Gétaz, L., Liebrenz, M. and Wolff, H., 2020. Do
Overcrowding and Turnover Cause Violence in Prison? Frontiers in Psychiatry, 10.
Carlan, Nored, dan Downey., 2011. An Introduction to Criminal Law. Ontario: Jones and
Bartlett Publishers Canada.
DeKeseredy,W., 2020. Criminology and Criminal Justice. In Henry N. Pontell., Critical
Criminologies. Oxford: Oxford Research Encyclopedias.
Dey Ravena, A. M., 2019. The Implications of Overcrowding for Fostering Prisoners in
Prison: Management and Systems Problems. Journal of Southwest Jiaotong
University, 54(5).
Drago, F., Galbiati, R., & Vertova, P., 2011. Prison conditions and recidivism. American law
and economics review, 13(1), pp.103-130.
Firdaus, I., Haryono, H. F., & Firmanditya, N. (2021, May). The Strategic Role of
Correctional Advisers in the Implementation of Narcotics Rehabilitation for Prisoners.
In 1st International Conference on Law and Human Rights 2020 (ICLHR 2020), pp.
139-146.
Direktorat Jenderal Pemasayarakatan., 2022. Sistem Database Publik. Diakses pada 30 Maret
2022 dari sdppublik.ditjenpas.go.id.
Gavrielides, T., 2007. Restorative Justice Theory and Practice: Addressing the Discrepancy.
Helsinki: Academic Bookstore.
Haney, C., 2012. Prison Effects in the Era of Mass Incarceration. The Prison Journal, 20(10),
pp.1-24.
Huey, M. and McNulty, T., 2005. Institutional Conditions and Prison Suicide: Conditional
Effects of Deprivation and Overcrowding. The Prison Journal, 85(4), pp.490-514.
ICJR, 2021. Data Lapas Terbakar 2019-2021. [Online] Availabe at https://icjr.or.id [Diakses
30 Maret 2022].
Joseph, O. E., Femi, A. F., Ogadimma, A., Bamidele, R., Oluwakemisola, O., Akintoyese, O.

21
Universitas Indonesia
I., & Jide Joseph, O., 2021. Prison overcrowding trend in Nigeria and policy
implications on health. Cogent Social Sciences, 7(1), 1956035.
Kumah-Abiwu, F., 2021. Mass Incarceration in Urban America. Global Encyclopedia of
Public Administration, Public Policy, and Governance, pp. 1-10.

Lappi-Seppälä, T., 2010. Causes of prison overcrowding. In Workshop on Strategies to


Reduce Overcrowding in Correctional Facilities, 12th United Nations Congress on
Crime Prevention and Criminal Justice, Salvador, Brazil, pp. 12-19.
Latifah, M. (2019). Overcrowded pada Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di
Indonesia: Dampak dan Solusinya. Badan Hukum Info Singkat Kajian Terhadap Isu
Aktual Dan Strategis, XI (10), 2.
Limoncelli, K., Mellow, J. and Na, C., 2019. Determinants of Intercountry Prison
Incarceration Rates and Overcrowding in Latin America and the Caribbean.
International Criminal Justice Review, 30(1), pp.10-29.
Long, M., 2016. Critical Criminology. In Wesley G. Jennings (ed.) Encyclopedia of Crime
and Punishment, 1st edition, Wiley & Sons.
Marco, A. & García-Guerrero, J., 2022. Prison overcrowding and over-occupation: what we
are talking about and the situation in Spanish prisons. Revista Espanola de Sanidad
Penitenciaria, 22(3).
MacDonald, M., 2018. Overcrowding and its impact on prison conditions and health.
International Journal of Prisoner Health, 14(2), pp. 65-68.
Mekara, N. (2020). Thai drug laws and practices: disproportionate punishment against
women minor drug offenders. Journal of Humanities, Social Sciences, and Arts, 1(1),
pp. 12-40.
Neubauer, D & Fradella H. F., 2019. America’s Courts and the Criminal Justice System,
Thirteenth Edition. Boston: Cengage.
Novian et. al., 2018. Strategi Menangani Overcrowding di Indonesia: Penyebab, Dampak,
dan Penyelesaiannya. Jakarta: ICJR.
Srinivasan, S., 2021. Mental Health problems faced by Aged Inmates due to Overcrowding
of Central prison in Tamil Nadu. SSRN Electronic Journal, 9(3), pp.1542-1548.
Walter, K., Martinez, L., Arakaki-Sanchez, D., Sequera, V., Estigarribia Sanabria, G., Cohen,
T., Ko, A., García-Basteiro, A., Rueda, Z., López-Olarte, R., Espinal, M., Croda, J.
and Andrews, J., 2021. The escalating tuberculosis crisis in central and South
American prisons. The Lancet, 397(10284), pp.1591-1596.

22
Universitas Indonesia
Weitekamp, E & Kerner, H., 2002. Restorative Justice Theoretical Foundations. Devon:
Willan Publishing age.
Woods, C. S., 2015. Addressing prison overcrowding in Latin America: A comparative
analysis of the necessary precursors to reform. ILSA J. Int'l & Comp. L., 22, 533.
Artikel Berita

CNN Indonesia., 2021. Kebakaran Lapas Tangerang, ICJR Soroti Over Kapasitas Napi.
CNNIndonesia.com. [Online] Available at
https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20210908124404-
20-691372/kebakaran-lapas-tangerang-icjr-soroti-over-kapasitas-napi/amp. [Diakses
pada 29 Maret 2022.
Naufal, M., 2022. Puluhan Napi Tewas dalam Kebakaran Lapas Tangerang, Eks Kalapas
Sebut Korban Tak Tahu Jalan Keluar. Kompas.com. [Online] Available at
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/megapolitan/read/2022/02/15/2115
5391/puluhan-napi-tewas-dalam-kebakaran-lapas-tangerang-eks-kalapas-sebut
[Diakses pada 29 Maret 2022].
Taher, A & Briantika, A., 2021. Krinologi Kebakaran Lapas Tangerang: Korban Tewas di Sel

Terkunci. Tirto.id. [Online] Available at https://amp.tirto.id/kronologi-kebakaran-


lapas-tangerang-korban-tewas-di-sel-terkunci-gjkb. [Diakses pada 29 Maret 2022].

Velarosdela, R., 2021. Korban Tewas Kebakaran Lapas Tangerang Jadi 48 Orang.

Kompas.com. [Online] Available at


https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/megapolitan/read/2021/09/14/1019
3671/korban-tewas-kebakaran-lapas-tangerang-jadi-48-orang. [Diakses pada 29 Maret
2022].

Dokumen Negara
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. [Online]
Available
at bpk.go.id [Diunduh pada 28 Maret 2022].

23
Universitas Indonesia
Lampiran Uji Turnitin

24
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai