Reformasi UU Narkotika
Reformasi UU Narkotika
1906295486
DEPOK
APRIL, 2022
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Makalah ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
NPM : 1906295486
Tanda tangan:
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Salah contoh konkret yang menjadi dampak dari overcrowding terhadap kesehatan
antara lain penularan penyakit dan masalah kesehatan mental yang disebakan dari buruknya
kebersihan serta tidak terjaganya pola makan (Joseph et. al, 2021; Haney, 2012). Dalam
tulisan Walter et. al (2021), dijabarkan bahwa pemenjaraan dalam praktiknya memiliki
konsekuensi serius pada risiko timbulnya penyakit mental, penyakit kronis dan penyakit
menular seperti COVID-19, HIV, Hepatitis C, dan tuberkulosis. Hal ini disebakan karena
kondisi penjara yang merupakan lingkungan berisiko dengan akses perawatan fisik yang
tidak memadai. Kondisi tersebut kemudian diperparah oleh kelebihan kapasitas narapidana
atau overcrowding di dalam penjara. Masih mengutip tulisan yang sama, menurut penelitian
yang dilakukan Walter et. al (2021) yang berfokus pada isu penularan tuberkulosis di dalam
penjara, overcrowding merupakan salah satu faktor terkuat dalam penularan penyakit ini.
2
Universitas Indonesia
penjara-penjara di Amerika Latin dan Karibia menemukan bahwa overcrowding bukan hanya
menimbulkan sejumlah masalah seperti sanitasi dan kebersihan yang buruk. Lebih jauh,
overcrowding juga memicu masalah lain seperti tindak kekerasan antar narapidana dengan
narapidana maupun narapidana dengan petugas penjara serta terjadinya kesalahan dalam
mengurus kelembagaan penjara itu sendiri. Situasi ini membuat penjara tidak hanya berisiko
terhadap kesehatan tetapi juga menciptakan kondisi yang rentan terjadinya kekerasan,
kerusuhan, upaya melarikan diri, dan residivisme (Limoncelli et. al, 2020; Drago, Galbiati,
Vertova, 2011).
Indonesia merupakan salah satu negara yang turut menghadapi masalah overcrowding
di penjara. Data yang dihimpun dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan
bahwa peningkatan jumlah narapidana melaju dengan sangat tinggi dibandingkan dengan
kapasitas penjara maupun rumah tahanan yang tersedia. Hingga tahun 2019, jumlah penjara
dan rumah tahanan di Indonesia adalah 522 unit dengan kapasitas 126.994 orang. Namun, di
tahun yang sama, jumlah narapidana yang menghuni penjara dan rumah tahanan mencapai
262.926 orang atau 107% lebih tinggi dari kapasitas yang disediakan (Ravena & Mahmud,
2019). Statistik terakhir yang dipaparkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada
tahun 2022 juga tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Narapidana dan
tahanan yang menghuni penjara dan rumah tahanan hingga kini telah mencapai 270.847 jiwa.
Jumlah ini merupakan akumulasi dari 225.586 narapidana dan 45.261 tahanan dari seluruh
penjara dan rumah tahanan di Indonesia. Meski kapasitas penjara dan rumah tahanan telah
ditambah menjadi 132.107 orang, nyatanya populasi narapidana dan tahanan masih
mengalami kelebihan hingga 169% (Ditjen PAS, 2022).
3
Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Seperti yang telah disinggung dalam bagian latar belakang, dampak dari
overcrowding di penjara memiliki sejumlah konsekuensi destruktif terutama bagi narapidana
itu sendiri. Indonesia sebagai negara yang memiliki permasalahan overcrowding dalam
penjara menunjukkan bahwa mayoritas penghuni penjara di Indonesia merupakan narapidana
kasus narkotika, tepatnya pengguna narkotika. Hal ini kemudian bertentangan dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang
pemidanaan penjara bagi pengguna narkotika. Pasal 127 ayat 3 UU No. 45 tahun 2009
menuliskan bahwa pengguna narkoba seharusnya menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Dalam Pasal 128 ayat 3 dan 4, hal ini kembali dipertegas bahwa pengguna
narkotika baik yang belum cukup umur maupun telah cukup umur yang sedang menjalani
rehabilitasi tidak boleh dituntut pidana.
Dalam Huey & McNulty (2005), salah satu penyebab dari masalah overcrowding
dapat terjadi karena tidak diterimanya narapidana untuk menjalani program rehabilitasi.
Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, fenomena overcrowding dipandang
sebagai dampak dari pengaplikasian UU yang tidak sesuai. Sebab, sesuai data yang diperoleh
dari Ditjen Pemasyarakatan, populasi terbanyak penghuni penjara adalah narapidana
pengguna narkotika padahal seharusnya mereka menjalani rehabilitasi dan bukan dikenakan
pidana penjara.
1.3.2 Apa solusi yang dapat diberikan terkait permasalahan overcrowding dalam
penjara yang disebabkan oleh penjatuhan hukuman penjara sebagai hukuman
utama dibanding rehabilitasi?
Tujuan peneltian ini bersifat deskriptif, yaitu mengetahui bahwa proses hukum dan
prosedur rehabilitasi di Indonesia berperan dalam fenomena overcrowding yang terjadi di
penjara. Penelitian ini juga dilakukan untuk sebagai bentuk pengajuan solusi terkait
permasalahan overcrowding di penjara yang disebabkan oleh proses hukum dan prosedur
rehabilitasi yang ridak sesuai. Adapun secara lebih lanjut tujuan penelitian ini:
4
Universitas Indonesia
a. Untuk mengetahui ketidaksesuaian pengaplikasian UU Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika terkait penanganan bagi pengguna narkotika yang selanjutnya
berdampak pada fenomena overcrowding dalam penjara.
5
Universitas Indonesia
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
6
Universitas Indonesia
negara-negara Amerika Latin tetapi tidak untuk negara Costa Rica yang mulai
mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam artikel ini juga ditunjukkan bahwa reformasi
hukum dan perundang-undangan dalam mengatasi krisis overcrowding perlu disertai
perubahan paradigmatik negara itu sendiri dalam memandang peran sistem
pemasyarakatan. dan populasi penjara. Artikel ini selanjutnya memfokuskan
permasalahan overcrowding penjara di Amerika Latin sebagai akibat dari dua hal,
yaitu 1). adanya hukuman yang ketat terkait dan hukuman wajib minimum terkait
kasus pelanggaran narkotika, dan 2). penggunaan hukuman penahanan pra-
persidangan yang berlebihan.
7
Universitas Indonesia
Kelima, memberikan akses yang sama pada manfaat prosedural, misalnya perawatan
dan program pelatihan kejuruan. Para pelanggar harus diberikan akses yang setara
untuk mengambil manfaat dari program rehabilitasi. resosialisasi, reintegrasi, dan
ksempatan mendapatkan pembebasan bersyarat.
8
Universitas Indonesia
dekriminalisasi dan depenalisasi pelanggaran narkotika di Thailand. Tujuannya adalah
untuk memastikan hukuman yang proporsional bagi perempuan yang terlibat dalam
kasus pelanggaran narkotika.
9
Universitas Indonesia
Berkaitan dengan metode penelitian, artikel ini disusun dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dan memiliki tujuan deskriptif. Di dalamnya menjelaskan
tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait tugas dan fungsi pembina
pemasyarakatan dalam melakukan rehabilitasi narkotika. Sumber data yang
digunakan penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari diskusi fokus grup
bersama pembina pemasyarakatan di sejumlah penjara dan data sekunder merupakan
peraturan perundnag-undnagan terkait seperti UU tentang Pemasyarakatan, UU
tentang Narkotika, peraturan pelaksanaan rehablitasi, serta literatur tentang rehablitasi
narkotika. Merujuk pada tugas dan fungsi pembina rehabilitasi dan masih belum
memadainya peran pembina rehabilitasi, artikel memberikan rekomendasi untuk
dilakukannya Kerjasama antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan Badan
Narkotika Nasional untuk menyediakan pendidikan dan pelatihan rehabilitasi.
10
Universitas Indonesia
dianggap memiliki hubungan terhadap terjadinya kejahatan dan konsekuensi
pemenjaraan. Berkaitan dengan pemenjaraan massal terhadap ras tertentu di Amerika
Serikat, hal ini secara linear berhubungan dengan kampanye War on Drug di Amerika
Serikat yang pada praktiknya mengkriminalisasi penduduk Afrika Amerika. Dari
pemenjaraan massal yang dilakukan terhadap ras tertentu di perkotaan Amerika
Serikat ini kemudian dampak yang ditimbulkan adalah overcrowding dalam penjara.
Solusi yang ditawarkan oleh artikel ini untuk mengatasi pemenjaraan masal
terkait kebijakan yang harus dilakukan ada dua. Pertama, perubahan kebijakan
melalui reformasi penjara untuk mengatasi overcrowding dalam penjara. Reformasi
penjara ini juga harus dilakukan secara merata mulai dari tingkat federal hingga ke
negara bagian atau lokal. Kedua, perlu dipikirkan kembali terkait pengendalian sosial
dalam mengatasi permasalahan narkotika di Amerika Serikat yang sebelumnya
menggunakan strategi penegakan hukum yang punitif menuju pendekatan yang
berbasis kesehatan masyarakat.
Artikel ini menuliskan bahwa faktor penyebab overcrowding dapat dilihat dari
struktur ekonomi, sosial, budaya, politik, sentimen publik, dan legitimasi politik suatu
negara. Karena artikel ini menyelidiki faktor penyebab overcrowding penjara di
Finlandia, maka didalamnya menjabarkan tentang bagaimana overcrowding penjara
terjadi di Finlandia. Penulis artikel menemukan bahwa overcrowding penjara di
Finlandia terjadi karena faktor politik yang condong pada hukuman penjara. Dalam
11
Universitas Indonesia
mengatasi hal ini solusi yang diberikan adalah reformasi yang didasarkan pada fungsi
istem peradilan pidana. Hal ini berhubungan dnegan perumusan undang-undnag sebab
dalam praktiknya, peraturan perundang-undangan selalu ditemukan pada tiap tingkat
dalam sistem peradilan pidana (proses pidana, sanksi, prinsip penghukuman,
penegakan hukum, dan hukuman penjara). Oleh karena itu diperlukan kerjasama dari
setiap kelompok yang terlibat dalam sistem peradilan pidana.
12
Universitas Indonesia
pelanggaran terhadap aturan negara, restorative justice justru berusaha merangkul
korban dan pelaku untuk bersama-sama pulih kembali. Restorative justice memang
tidak selalu dibutuhkan tetapi bagi orang-orang yang ingin melakukannya pada
umumnya memperoleh hasil yang positif (Carlan, Nored, & Downey, 2011). Model
ini sekaligus mengkritik hukuman retributif karena dianggap kontraproduktif dan
upaya rehabilitasi yang hanya fokus pada pelaku tetapi mengabaikan korban
(Neubauer & Fradella, 2019).
1. Kita memiliki kewajiban untuk memulihkan korban, pelanggar dan komunitas yang
telah dirugikan oleh kejahatan
2. Korban, pelaku, dan komunitas harus memiliki kesempatan untuk terlibat aktif
dalam proses restorative justice seawal dan semaksimal mungkin
13
Universitas Indonesia
CNN Indonesia. Sementara itu, analisis data dan kasus diperoleh dari artikel jurnal,
buku, dan sumber bacaan akademik lain yang menunjang.
BAB III
PEMBAHASAN
Salah satu contoh kasusnya adalah kerusuhan dan kebakaran yang terjadi di Rumah
Tahanan Kelas II B Siak Sri Indrapura yang terletak di Kabupaten Siak, Provinsi Riau
Kerusuhan pada awalnya diduga terjadi karena adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh
petugas penjara saat menemukan narkotika pada beberapa narapidana. Selanjutnya,
berdasarkan kunjungan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, ditemukan bahwa tindak
kekerasan yang berujung pada kerusuhan tersebut diperparah oleh kondisi rutan yang
mengalami overcrowding (Latifah, 2019). Rutan Kelas II B Siak Sri Indrapura seharusnya
hanya mampu menampung 128 narapidana tetapi kemudian memiliki populasi hingga 145
orang narapidana. Kerusuhan ini kemudian mengakibatkan kebakaran hingga
menghanguskan bangunan rutan tersebut (ICJR, 2021).
Dua tahun kemudian, tepatnya pada bulan September 2021, kebakaran di penjara
kembali terjadi tepatnya di Blok C2 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang.
Dari peristiwa kebakaran ini, setidaknya ada 48 orang narapidana tewas akibat kebakaran
tersebut (Kompas, 2022). Blok C2 sendiri dihuni oleh sebanyak 122 narapidana dan terdiri
14
Universitas Indonesia
dari 19 kamar berkapasitas 38 orang. Sebagai rincian, 119 orang narapidana merupakan kasus
narkotika, 2 orang kasus terorisme, 1 orang kasus pidana umum, dan 2 orang warga negara
asing (Tirto, 2021). Pada saat terjadinya kebakaran, Lapas Kelas I Tangerang juga sedang
megalami overcrowding di mana kapasitas keseluruhan laps yang seharusnya hanya
menampung 600 orang tetapi memiliki populasi narapidana hingga 2.069 orang. Untuk
penyebab kebakaan di Lapas Kelas I Tangerang, menurut hasil penyelidikan disebabkan oleh
arus pendek listrik. Dalam sidang terkait kasus kebakaran ini, Kepala Lapas Kelas I
Tangerang menjelaskan bahwa banyak di antara narapidana tidak mengetahui jalan keluar di
Blok C2, lokasi saat terjadinya kebakaran. Hal ini yang kemudian membuat banyak
narapidana tidak dapat menyelamatkan diri dan akhirnya menjadi korban (Kompas, 2021).
Hal yang berbeda disampaikan oleh peneliti ICJR, Maidina Rahmawati. menurut Maidina,
banyaknya korban yang berjatihan dari kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang cenderung
disebabkan oleh overcrowding. Overcrowding tersebut membuat pengawasan dan perawatan
lapas akan sulit. Hal ini menjadi poin penting sebab kebakaran Lapas Kelas I Tangerang
disebabkan oleh korsleting lisrik. Selain itu, overcrowding juga membuat proses evakuasi
saat terjadinya persitiwa kebakaran menjadi terhambat (CNN, 2021).
Kasus kebakaran Lapas Kelas I Tangerang selanjutnya menambah catatan kelam bagi
lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Sebab, apabila dihubungkan dengan status narapidana,
mayoritas narapidana yang menghuni Lapas Kelas I Tangerang adalah narapidana kasus
narkotika. Hal ini juga yang kemudian membuat proses hukum terkait penyalahgunaan
narkotika sebagai faktor utama permasalahan overcrowding. Hingga kini, pidana penjara
masih ditetapkan sebagai hukuman utama dari kasus narkotika bahkan untuk pengguna
narkotika meski terdapat alternatif rehabilitasi.
Dalam Huey & McNulty (2005), salah satu penyebab dari masalah overcrowding
dapat terjadi karena tidak diterimanya narapidana untuk menjalani program rehabilitasi. Hal
ini juga menjadi permasalahan bagi penerapan rehabilitasi bagi pengguna narkotika di
Indonesia. Dalam mengatasi situasi overcrowding penjara, sebenarnya pemerintah melalui
institusi penegak hukum sempat mengeluarkan regulasi terkait hukuman alternatif tetapi hal
tersebut tidak dijalankan secara efektif. Contohnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung
15
Universitas Indonesia
No. 4 tahun 2010, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 2011, dan Surat Edaran Jaksa
No. E-002/A/02/2013. Ketiga surat edaran tersebut mengatur tentang penempatan korban dan
penyalahguna narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun,
apabila melihat situasi overcrowding dalam penjara saat ini yang didominasi oleh pengguna
narkotika, hal tersebut mengindikasikan bahwa aturan tentang rehabilitasi bagi pengguna
narkotika belum berhasil.
Pasal 111 dan Pasal 112 cenderung dipilih untuk menuntut pengguna narkotika
daripada Pasal 127 dan Pasal 128 karena dianggap dapat dengan mudah untuk dibuktikan.
Sementara itu, Pasal 127 dan Pasal 128 hanya menegaskan bahwa pengguna tidak boleh
dijatuhi pidana penjara melainkan rehabilitasi. Oleh karena itu, untuk mengajukan tuntutan
umumnya Jaksa memilih Pasal 111 atau Pasal 112 karena penggunaan narkotika secara
pribadi dianggap telah memenuhi unsur pelanggaran dalam Pasal 111 dan Pasal 112 di mana
16
Universitas Indonesia
pengguna telah menyimpan, memiliki, dna menguasai narkotika tersebut (ICJR, 2017).
Tentunya hal ini merupakan hal yang sangat disayangkan dalam memproses kasus
penyalahgunaan narkotika sebab dilakukan dengan tata cara yang sangat tekstual dan
terkesan menjebak para pengguna narkotika. Dampaknya adalah terjadinya kriminaliasi
besar-besaran terhadap para pengguna narkotika yang berimbas pada fenomena overcrowding
dalam penjara.
17
Universitas Indonesia
penjara pada pengguna narkotika dapat dipandang sebagai bentuk kriminalisasi oleh
kelompok penguasa. Kelompok penguasa yang dimaksud di sini adalah negara melalui sistem
peradilan pidana dan peraturan perundang-undangan. Sebab, dalam fenomena ini negara
melalui sistem peradilan pidana berkontribusi dalam menetapkan dan melaksanakan UU No.
35 tahun 2009 tentang Narkotika yang sangat represif terhadap pengguna narkotika.
Berkaitan dengan solusi untuk mengatasi overcrowding penjara yang disebabkan oleh
penggunaan hukuman penjara dibanding rehabilitasi, penulis mengumpulkan rekomendasi
dari beberapa penelitian. Penelitian-penelitian tersebut sebelumnya sudah dilampirkan pada
bagian kajian pustaka dan kemudian akan disesuaikan dengan konteks Indonesia. Pertama,
sebagaimana permasalahan overcrowding di berbagai negara yang disebabkan karena
penggunaan hukuman penjara untuk pengguna narkotika, hal ini juga ditemukan dalam kasus
overcrowding di Indonesia. Oleh karena itu, langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi
hal ini adalah menghapuskan penggunaan hukuman penjara sebagai hukuman utama untuk
pengguna narkotika (Woods, 2015; Mekara, 2020). Penghukuman penjara tidak seharusnya
ditetapkan sebagai hukuman primer bagi para pengguna. Namun, merujuk pada Pasal 127 dan
Pasal 128 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini sebenarnya sudah diatur tetapi
karena pasal tersebut saling tarik menarik dengan pasal tentang kepemilikan narkotika, maka
pengguna dapat ditetapkan sebagai produsen dan pengedar sehingga berpotensi dijatuhi
hukuman penjara. Maka, untuk konteks Indonesia, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
menyesuaikan hukuman yang diberikan terkait pelanggaran yang dilakukan. Apabila
seseorang berstatus sebagai pengguna, seharusnya Pasal 111 dan Pasal 112 tentang
kepemilikan tidak dikenakan kepada mereka karena akan membebani pembuktian bahwa
mereka adalah pengguna. Perlu ada batasan hukum terkait pengguna, produsen dan pengedar
narkotika agar pengguna tidak dikategorikan sebagai pengedar atau produsen atas
kepemilikan narkotika.
Melihat bahwa penghukuman penjara juga bukan merupakan solusi yang efektif
dalam mengatasi pengedaran dan perdagangan gelap narkotika, seharusnya perumus
kebijakan juga mempertimbangkan hal tersebut. Penggunaan hukuman penjara dalam
memproses kasus planggaran narkotika justru mengkriminalisasi para pengguna yang
akhirnya menyebabkan overcrowding dalam penjara dan melahirkan masalah baru. Berangkat
18
Universitas Indonesia
dari permasalahan tersebut, unsur yang kemudian harus diperkuat adalah alternatif dari
penghukuman penjara, yaitu rehabilitasi. Meski penghukuman penjara ditentang dan
penggunaan rehabilitasi didorong sebagai alternatifnya, kita perlu juga merenungkan dan
mengavaluasi praktik rehabilitasi di Indonesia. Dalam penelitian Firdaus, Haryono, dan
Firmanditya (2021), ditemukan bahwa pelaksanaan rehabilitasi di Indonesia belum dijalankan
secara maksimal. Hal ini disebabkan karena belum memadainya peran pembina di lembaga
pemasyarakatan atau penjara dalam proses rehabilitasi narkotika. Oleh karena itu, solusi yang
dapat diberikan terkait permasalahan ini adalah memberikan pendidikan dan pelatihan
terhadap pembina rehabilitasi. Tujuannya adalah agar nanti jika peraturan perundang-
undangan tidak lagi memenjarakan pengguna anrkotika, lapas atau penjara telah siap
melakukan rehabilitasi dengan maksimal.
19
Universitas Indonesia
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Overcrowding merupakan masalah serius bagi banyak penjara di dunia termasuk
Indonesia. Dalam konteks Indonesia, faktor penyebab utama dari overcrowding adalah
penggunaan hukuman penjara sebagai hukuman utama atas tindak kejahatan yang dilakukan.
Meski UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika telah secara jelas menyatakan bahwa
pengguna tidak boleh dikenakan pidana penjara melainkan rehabilitasi, nyatanya populasi
narapidana di penjara masih didiominasi oleh pengguna narkotika. Hal ini yang kemudian
menjadi masalah baru sebab penggunaan hukuman penjara tersebut justru menyasar pada
kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Akibatnya, banyak penjara mengalami overcrowding
karena kriminalisasi terhadap para pengguna narkotika ini.
Fenomena overcrowding ini tentunya memiliki dampak buruk bagi narapidana
maupun petugas penjara mulai dari sisi keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan
penghuninya. Oleh karena itu, muncul sebuah urgensi untuk tidak lagi menggunakan
hukuman penjara bagi pengguna narkotika. Namun, secara hukum, hal ini sulit sebab hukum
yang ada masih menyamakan para pengguna dengan pengedar dan produsen melalui pasal
yang mengatur kepemilikan narkotika, yaitu Pasal 111 dan Pasal 112. Hal ini menjadi
tantangan untuk Indonesia agar segera melakukan reformasi hukum agar tidak
mengkriminalisasi para pengguna narkotika dengan pasal yang slaing tarik menarik dan
akhirnya berkontribusi terhadap fenomena overcrowding. Dalam tulisan ini, rekomendasi
yang diberikan adalah mengatur ulang batasan terkait pengguna, produsen, dan pengedar
narkotika. Selain itu, untuk menyiapkan alternatif penghukuman, perlu dilakukan
peningkatan kualitas rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
20
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Baggio, S., Peigné, N., Heller, P., Gétaz, L., Liebrenz, M. and Wolff, H., 2020. Do
Overcrowding and Turnover Cause Violence in Prison? Frontiers in Psychiatry, 10.
Carlan, Nored, dan Downey., 2011. An Introduction to Criminal Law. Ontario: Jones and
Bartlett Publishers Canada.
DeKeseredy,W., 2020. Criminology and Criminal Justice. In Henry N. Pontell., Critical
Criminologies. Oxford: Oxford Research Encyclopedias.
Dey Ravena, A. M., 2019. The Implications of Overcrowding for Fostering Prisoners in
Prison: Management and Systems Problems. Journal of Southwest Jiaotong
University, 54(5).
Drago, F., Galbiati, R., & Vertova, P., 2011. Prison conditions and recidivism. American law
and economics review, 13(1), pp.103-130.
Firdaus, I., Haryono, H. F., & Firmanditya, N. (2021, May). The Strategic Role of
Correctional Advisers in the Implementation of Narcotics Rehabilitation for Prisoners.
In 1st International Conference on Law and Human Rights 2020 (ICLHR 2020), pp.
139-146.
Direktorat Jenderal Pemasayarakatan., 2022. Sistem Database Publik. Diakses pada 30 Maret
2022 dari sdppublik.ditjenpas.go.id.
Gavrielides, T., 2007. Restorative Justice Theory and Practice: Addressing the Discrepancy.
Helsinki: Academic Bookstore.
Haney, C., 2012. Prison Effects in the Era of Mass Incarceration. The Prison Journal, 20(10),
pp.1-24.
Huey, M. and McNulty, T., 2005. Institutional Conditions and Prison Suicide: Conditional
Effects of Deprivation and Overcrowding. The Prison Journal, 85(4), pp.490-514.
ICJR, 2021. Data Lapas Terbakar 2019-2021. [Online] Availabe at https://icjr.or.id [Diakses
30 Maret 2022].
Joseph, O. E., Femi, A. F., Ogadimma, A., Bamidele, R., Oluwakemisola, O., Akintoyese, O.
21
Universitas Indonesia
I., & Jide Joseph, O., 2021. Prison overcrowding trend in Nigeria and policy
implications on health. Cogent Social Sciences, 7(1), 1956035.
Kumah-Abiwu, F., 2021. Mass Incarceration in Urban America. Global Encyclopedia of
Public Administration, Public Policy, and Governance, pp. 1-10.
22
Universitas Indonesia
Weitekamp, E & Kerner, H., 2002. Restorative Justice Theoretical Foundations. Devon:
Willan Publishing age.
Woods, C. S., 2015. Addressing prison overcrowding in Latin America: A comparative
analysis of the necessary precursors to reform. ILSA J. Int'l & Comp. L., 22, 533.
Artikel Berita
CNN Indonesia., 2021. Kebakaran Lapas Tangerang, ICJR Soroti Over Kapasitas Napi.
CNNIndonesia.com. [Online] Available at
https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20210908124404-
20-691372/kebakaran-lapas-tangerang-icjr-soroti-over-kapasitas-napi/amp. [Diakses
pada 29 Maret 2022.
Naufal, M., 2022. Puluhan Napi Tewas dalam Kebakaran Lapas Tangerang, Eks Kalapas
Sebut Korban Tak Tahu Jalan Keluar. Kompas.com. [Online] Available at
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/megapolitan/read/2022/02/15/2115
5391/puluhan-napi-tewas-dalam-kebakaran-lapas-tangerang-eks-kalapas-sebut
[Diakses pada 29 Maret 2022].
Taher, A & Briantika, A., 2021. Krinologi Kebakaran Lapas Tangerang: Korban Tewas di Sel
Velarosdela, R., 2021. Korban Tewas Kebakaran Lapas Tangerang Jadi 48 Orang.
Dokumen Negara
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. [Online]
Available
at bpk.go.id [Diunduh pada 28 Maret 2022].
23
Universitas Indonesia
Lampiran Uji Turnitin
24
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia