Anda di halaman 1dari 10

SISTEM PEMASYARAKATAN

NEGARA INDONESIA DENGAN NEGARA SWEDIA

Anggota Kelompok 1 Hukum Penitensier Kelas B:


● Ahmada Aliftano Nugroho (E0021016)
● Christivany Purba (E0021113)
● Indriya Ramadhani (E0021203)
● Mutiara Nuqi A.P (E0021034)
● Ricky Febriyansyah Akbar (E0021388)
● Yobi Adi Pratama (E0021463)

Sistem pemasyarakatan di Indonesia dapat mengambil inspirasi dari Swedia dalam


mengembangkan pendekatan rehabilitatif yang lebih manusiawi dan berfokus pada pemulihan
dan reintegrasi sosial narapidana. Perbaikan infrastruktur penjara dan peningkatan akses
terhadap pelayanan kesehatan menjadi penting untuk menciptakan kondisi hidup yang lebih
baik bagi narapidana. Selain itu, melalui perubahan kebijakan terkait hukuman mati dan
hukuman seumur hidup, Indonesia dapat membuka peluang rehabilitasi dan reintegrasi yang
lebih baik bagi narapidana. Penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan merujuk
pada jurnal atau literatur terkait untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang
strategi dan solusi yang spesifik.
Dalam konteks sistem peradilan pidana dan pemasyarakatan, perbandingan antara
berbagai negara dapat memberikan wawasan yang berharga dalam merumuskan kebijakan dan
praktik yang efektif. Dalam tulisan ini, kami akan memfokuskan perhatian kita pada
perbandingan antara sistem pemasyarakatan di Indonesia dan Swedia. Indonesia dan Swedia
memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal penegakan hukum, rehabilitasi narapidana, serta
pemulihan dan reintegrasi sosial. Melalui analisis perbandingan ini, kami akan mengeksplorasi
upaya dan solusi yang dapat diadopsi oleh Indonesia berdasarkan pengalaman Swedia dalam
menerapkan sistem pemasyarakatan yang lebih humanistik dan rehabilitatif. Kami akan
membahas perbedaan pendekatan, infrastruktur penjara, fokus rehabilitasi, perawatan
kesehatan, serta penggunaan hukuman mati dan hukuman seumur hidup. Dengan memahami
perbandingan ini, diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi pembaharuan dan
peningkatan sistem pemasyarakatan di Indonesia untuk mencapai tujuan rehabilitasi dan
reintegrasi sosial yang lebih efektif.

1
A. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
Negara Indonesia mengembangkan sistem penjara menjadi sistem
pemasyarakatan yang bertujuan untuk mengendalikan pemidanaan sebagai suatu
perbaikan bagi warga binaan supaya setelah mendapat pelayanan pemasyarakatan
menjadi warga negara yang baik. Pergantian sistem kepenjaraan menjadi sistem
pemasyarakatan dilatarbelakangi oleh ketidakefektifan sistem kepenjaraan yang
menggunakan metode kekerasan untuk memberikan efek jera. Sistem pemasyarakatan
saat ini lebih mengedepankan pelaksanaan pembinaan dan reintegrasi sosial guna
memulihkan kembali kesatuan hidup dan kesesuaian terhadap tujuan hukum yaitu
mengembalikan pada keadaan semula (Nugraha, 2020).
Pengertian sistem pemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 2 Undang - Undang
No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan adalah sebagai suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta metode pelaksanaan fungsi pemasyarakatan secara terpadu.
Berlandaskan kepada pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sistem
pemasyarakatan merupakan tata cara untuk membina seseorang yang telah melakukan
kesalahan supaya dapat memperbaiki kesalahannya dan dapat diterima kembali dalam
kehidupan bermasyarakat (Situmorang, 2019). Pemasyarakatan adalah bagian dari
rangkaian atau subsistem dari pelaksanaan sistem peradilan pidana yang dilakukan oleh
negara untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat (Prakoso S & Subroto,
2023). Sistem Pemasyarakatan di Indonesia melalui Undang - Undang No. 22 Tahun
2022 tentang Pemasyarakatan diberikan suatu arahan guna memperbaiki dan
meningkatkan pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang meliputi membimbing,
melayani, membina, merawat, memberikan perlindungan, serta melaksanakan
pemenuhan hak asasi manusia. Sistem Pemasyarakatan sebagai suatu tahapan terakhir
dalam subsistem peradilan pidana memiliki tugas untuk membina dan membimbing
warga binaan akibat dari adanya hukuman pencabutan kemerdekaan. (Salsabila DM &
Pratomo, 2017). Di dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan dilaksanakan dalam
dua segi, yaitu segi pengamanan dan segi pembinaan yang saling bersinergi guna
menjaga dan memelihara ketertiban serta melancarkan pembinaan terhadap warga
binaan (Wulandari, n.d., 2020).
Hasil dari sistem pemasyarakatan pada masa kini dianggap tidak sesuai dengan
tujuan pemasyarakatan karena beberapa hal, seperti adanya pungutan liar dalam lapas,
diskriminasi, dan overcrowding dalam lapas yang menyebabkan sulitnya
penyelenggaraan pemasyarakatan. Dalam data yang dikutip dari jurnal Sains Sosio dan

2
Humaniora, Indonesia mengalami peningkatan sebanyak lebih dari 2 kali lipat jumlah
warga binaan lapas pada rentang waktu 2015 -2019, kepadatan penjara atau lapas ini
dapat diakibatkan oleh peningkatan kejahatan dan masih dominannya pidana penjara
dalam regulasi di Indonesia. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana di Indonesia,
persentase tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara adalah 98%, sedangkan
untuk tindak pidana diluar KUHP memiliki ancaman pidana sebanyak 92%(Nugraha,
2020). Faktor lain yang dapat menimbulkan asumsi bahwa sistem pemasyarakatan di
Indonesia saat ini adalah masih adanya stigma masyarakat bahwa seorang mantan
narapidana adalah orang yang kotor dan layak dijauhi yang pada dasarnya salah satu
tujuan utama sistem pemasyarakatan adalah untuk memperbaiki warga binaan agar
dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
B. Sistem Pemasyarakatan di Swedia
Sistem pemasyarakatan di Swedia adalah salah satu sistem pemasyarakatan
modern di dunia. Sistem pemasyarakatan di negara ini mengedepankan nilai
humanisme dan sudah menghapuskan hukuman mati. Lembaga pemasyarakatan
(penjara) di Swedia juga memberikan pelayanan terbaik bagi para penghuninya.
Menurut Kepala penjara dan layanan masa percobaan Swedia bernama Nils Oberg
dalam wawancaranya dengan theguardian.com, penjara di Swedia bukanlah tempat
untuk menghukum, melainkan untuk mengubah seseorang menjadi lebih baik (Fachri
Syawal, Padmono Wibowo, 2021). Ia juga mengumumkan bahwa pada bulan
November 2013 empat penjara Swedia akan ditutup karena penurunan jumlah tahanan
yang “luar biasa”. Layanan pemasyarakatan di Swedia ini ditangani oleh suatu lembaga
di bawah Kementerian Kehakiman yang bernama Layanan Penjara dan Masa
Percobaan Swedia ( Swedia : Kriminalvården ). Lembaga ini memiliki tugas sebagai
penjaga penjara, menahan tersangka yang ditangkap di penjara dan melacak narapidana
yang melarikan diri.
Penjara di Swedia memiliki reputasi di seluruh dunia sebagai penjara liberal dan
progresif. Penjara Swedia berhasil mempertahankan pendekatan hukuman yang
manusiawi secara luas, bahkan untuk pelanggar yang paling serius, hukuman penjara
jarang melebihi 10 tahun. Mereka yang menerima hukuman penjara seumur hidup
masih dapat mengajukan permohonan ke pengadilan setelah satu dekade agar
hukumannya diubah menjadi jangka waktu tetap, biasanya antara 18 sampai 25 tahun.
Pengaturan pidana penjara seumur hidup di Swedia tercantum dalam The 1962 Swedish
Penal Code. Kejahatan yang diancam dengan pidana seumur hidup di Swedia antara

3
lain kejahatan spionase yang serius; kejahatan pembakaran yang serius terhadap
properti; penculikan; sabotase dalam skala besar; sabotase maritim, penerbangan dan
bandara; atau kejahatan perusakan yang menyebabkan publik dalam keadaan bahaya.
Pidana penjara seumur hidup tetap diberlakukan karena dianggap masih memiliki
“fungsi simbolis” untuk menangani kejahatan, tetapi dengan syarat dijaminnya
peninjauan secara berkala terhadap narapidana seumur hidup dalam undang-undang
(Satria Manda Adi Marwan, 2021).
Swedia juga merupakan negara pertama di Eropa yang memperkenalkan
penandaan elektronik terhadap penjahat yang dihukum dan terus berusaha untuk
meminimalkan hukuman penjara jangka pendek sedapat mungkin dengan
menggunakan tindakan berbasis komunitas dan terbukti lebih efektif dalam mengurangi
pengulangan pelanggaran . Tingkat residivis di Swedia juga sangat rendah. Menurut
Kementerian Kehakiman Inggris tingkat pelanggaran ulang secara keseluruhan di
Swedia berkisar antara 30 dan 40% selama tiga tahun – sekitar setengahnya di Inggris.
Salah satu faktor yang membuat tindak pidana berulang turun dan tingkat penahanan di
Swedia adalah bahwa usia tanggung jawab pidana ditetapkan pada usia 15 tahun serta
dukungan pasca-penjara yang tersedia di Swedia ( Erwin James, 2013). Layanan masa
percobaan ditugaskan tidak hanya untuk mengawasi mereka yang dalam masa
percobaan tetapi juga menjamin penyediaan program perawatan bagi pelaku dengan
masalah narkoba/alkohol atau kekerasan. Layanan ini dibantu oleh sekitar 4.500
pengawas awam – anggota masyarakat yang secara sukarela berteman dan mendukung
pelanggar di bawah pengawasan. Selain memberikan rehabilitasi bagi pecandu narkoba,
lembaga pemasyarakatan Swedia juga mengembangkan program untuk mengatasi
perilaku seperti agresi dan kekerasan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi
kejahatannya kembali salah satunya dengan program yoga di lembaga pemasyarakatan
yang sudah dilakukan sejak tahun 2002.

C. Komparisi kelebihan & kekurangan


Terdapat kelebihan serta kekurangan terkait dengan implementasi sistem
pemasyarakatan yang ada di Indonesia, perbandingan tersebut dapat dilihat dalam tabel
berikut :

4
Aspek Indonesia Swedia
Kondisi yang ada di Lembaga pemasyarakatan di Lembaga pemasyarakatan
dalam Lembaga Indonesia yangmengalami yang ada di Swedia
Pemasyarakatan kepadatan narapidana. Kondisi cenderung mengalami
lembaga pemasyarakatan di atas
penurunan jumlah kuantitas
mengalami kelebihan penghuni,
narapidana. Hal ini dapat
kondisi tersebut juga semakin
ditinjau dari penurunan
membuat tidak berimbang
jumlah penjara yang ada di
dengan jumlah penghuni di
Swedia, penurunan jumlah
lembaga pemasyarakatan.
penjara di swedia mengalami
kemerosotan dengan
kecepatan 1 persen setiap
tahun sejak 2004, bahkan
hingga mengalami penurunan
hingga 6 persen sepanjang
2011-2012.

Peran serta dan Kinerja atau peran setiap kantor Kinerja petugas
implementasi wilayah (Kanwil)
untuk pemasyarakatan yang ada di

stakeholder terkait mengawasi masing-masing rutan swedia berupaya senantiasa


atau lapas yang ada di
sebagai pemangku optimal dalam memberikan
wilayahnya sangat kurang.
kebijakan pelayanan kepada
narapidana, penjara di Swedia
bukan sebagai tempat untuk
menghukum, melainkan
untuk mengubah seseorang
menjadi lebih baik.
Hak hak narapidana Tidak dipenuhinya hak dasar Hak hak atas narapidana
narapidana, lapas di Indonesia sangat diperhatikan
yang masih serba kekurangan, mengingat penjara di Swedia
sehingga membuat hak-hak
memiliki reputasi sebagai
tahanan dan narapidananya
penjara liberal dan progresif
terabaikan. Misalkan banyak

5
aduan lapas atau napi yang di dunia. Penjara Swedia
kekurangan air dan makanan. berhasil mempertahankan
pendekatan hukuman yang
manusiawi secara luas,
bahkan untuk pelanggar yang
paling serius, hukuman
penjara jarang melebihi 10
tahun.

D. Hal hal yang mempengaruhi efektivitas sistem pemasyarakatan


Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi sistem pemasyarakatan terutama di
Indonesia, mulai dari faktor lingkungan, sosial, kultur, dan juga budaya yang tumbuh
dan berkembang di masing masing daerah di Indonesia. Efektivitas sistem
pemasyarakatan erat hubungannya dengan suksesnya implementasi sanksi pidana. Hal
ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Richard D. Schwartz dan Jerome H.
Skolnick, yang menyatakan bahwa sanksi pidana dimaksudkan untuk :
a) mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism);
b) mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama similar acts);
c) menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for
the expression of realiatory motives)
Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa
indikator:
1. Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan.
2. Pelanggaran hak-hak narapidana.
3. Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat.
4. Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan.
Menurut pendapat yang dikeluarkan oleh Roger Hood, beliau menyatakan bahwa
sasaran pidana disamping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensial melakukan
tindak pidana juga untuk memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social
values), dan juga untuk menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan
(allaying public fear of crime). Ahli di bidang kepenjaraan (penolog) mengakui bahwa

6
ada 3 (tiga) elemen pokok yang mempengaruhi apabila tujuan pemasyarakatan hendak
dicapai, yaitu:
1) petugas;
2) narapidana; dan
3) masyarakat.
Adanya unsur masyarakat disini patut dipertimbangkan, dikarenakan unsur
masyarakatlah sesuatu hal yang rasional, mengingat dalam realita kehidupan yang ada,
perlu diingat kembali bahwa narapidana merupakan masyarakat yang telah melanggar
hukum, para tahanan dan juga narapidana pasca menjalankan masa hukumannya
kemudian akan dikemalikan kepada masyarakat. Sistem pemasyarakatan dibentuk
supaya para pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya dan dapat memperbaiki
diri untuk kedepannya, diharapkan narapidana bisa diterima kembali di dalam lingkup
sosial masyarakatnya, turut serta kembali aktif berperan dalam pembangunan, dan juga
dapat hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

E. Implementasi sistem pemasyarakatan yang baik


Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu unit pelaksana teknis
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tugas utamanya melaksanakan
pemasyarakatan narapidana/anak didik.. Salah satu fungsi lembaga pemasyarakatan
adalah untuk memenuhi fungsi pendidikan yang merupakan proses dari sistem
pemasyarakatan, untuk pelaksanaan reformasi pemasyarakatan yang dahulu disebut
lembaga pemasyarakatan juga merupakan proses pendidikan lembaga pemasyarakatan,
mengingat narapidana sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu dan anggota
masyarakat.
Pelaksanaan pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan
bertujuan agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, sebagaimana telah menjadi arah
pembangunan nasional, melalui jalur pendekatan memantapkan iman dan membina
mereka agar mampu berintegrasi secara wajar didalam kehidupan kelompok selama
dalam Lembaga Pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat) setelah
menjalani pidananya. (Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan, Buku Pedoman
Pembebasan Bersyarat, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, 2005, hlm.1)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 29022, tentang Pemasyarakatan dalam
penjelasan umumnya memuat perbaikan secara mendasar dalam pelaksanaan fungsi
Pemasyarakatan yang meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan,

7
perawatan, pengamanan, dan pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
Pembinaan narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang dan
harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana, yaitu :
1. Diri sendiri yaitu narapidana itu sendiri
2. Keluarga adalah anggota keluarga inti atau keluarga dekatnya
3. Masyarakat adalah orang-orang yang berada disekeliling narapidana
pada saat masih di luar LP/Rutan dapat masyarakat biasa, pemuka
masyarakat atau pejabat setempat
4. Petugas dapat berupa kepolisian, pengacara, petugas keagamaan,
petugas sosial, petugas LP/Rutan, Balai Pemasyarakatan (BAPAS),
Hakim dan Lain Sebagainya (Dona Raisa Monica dan Diah Gustiniati
Maulani, 2018, hlm. 85)
Keberhasilan dalam mencapai tujuan pemasyarakatan bergantung pada
beberapa pemangku kepentingan, termasuk petugas dan profesional yang memberikan
pelatihan, instansi pemerintah terkait, dan yang paling penting, partisipasi masyarakat,
yang diharapkan dapat membantu pelaksanaan pelatihan lapas. Peran masyarakat
sangat penting dalam proses resosialisasi narapidana yang saat ini sulit dilaksanakan.
Hal ini dikarenakan setelah narapidana menjalani masa hukumannya dan siap untuk
kembali masuk ke dalam masyarakat, sering timbul permasalahan karena masyarakat
tidak mau menerima mantan narapidana.
Disinilah peran petugas lembaga pemasyarakatan dibutuhkan untuk
membimbing para narapidana dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip
pembinaan agar tidak kembali mengulangi perbuatan yang sama, maka peran aktif
petugas pemasyarakatan sangatlah dibutuhkan bagi para narapidana terkhusus
narapidana wanita agar tidak menjadi residivis, mereka kembali ke masyarakat agar
menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya dan diterima oleh masyarakat.
Tujuan diberikan pemidanaan adalah salah satu bagian dari rehabilitasi watak dan
perilaku para narapidana, selama mengalami hukumannya narapidana mendapatkan
bimbingan dan didikan yang berdasarkan pancasila. Narapidana akan kembali ke
masyarakat sebagai warga negara yang berguna dan sebisa mungkin tidak terbelakang.
Secara garis besar tugas pemidanaan ada dua faktor yaitu : pemberian hukuman dan
pemberian pembinaan. Artinya di dalam suatu pemberian pembinaan tersirat suatu
pemberian hukuman, sistem pemasyarakatan yang baik tidak meninggalkan kedua

8
unsur tersebut. Oleh karena mereka berbeda secara fisik maupun psikologis dari kaum
pria, maka dalam pola pembinaannya pun harus ada perbedaan.

F. Upaya dan Solusi Penerapan Sistem Pemasyarakatan di Indonesia dengan


berkaca Swedia:
1. Pendekatan dan Fokus Rehabilitasi:
Indonesia dapat memperkuat pendekatan rehabilitatif dalam sistem pemasyarakatan
dengan mengadopsi pendekatan yang lebih humanistik seperti yang diterapkan di
Swedia. Hal ini meliputi peningkatan program rehabilitasi yang komprehensif,
pendidikan, pelatihan kerja, dan dukungan kesehatan mental untuk membantu
narapidana mempersiapkan kembali kehidupan mereka setelah pembebasan.
2. Perbaikan Infrastruktur Penjara:
Pemerintah Indonesia dapat memprioritaskan perbaikan infrastruktur penjara untuk
mengatasi masalah kelebihan kapasitas, kepadatan, dan kekurangan fasilitas. Upaya ini
termasuk pembangunan penjara yang lebih kecil, fasilitas yang memadai, serta
peningkatan keamanan dan ketersediaan staf yang terlatih.
3. Peningkatan Akses terhadap Layanan Kesehatan:
Indonesia dapat meningkatkan akses narapidana terhadap layanan kesehatan yang
memadai, termasuk pemberian perhatian khusus pada kesehatan mental dan
penanganan kecanduan. Langkah-langkah ini akan membantu memperbaiki perawatan
kesehatan dan kesejahteraan narapidana.
4. Kebijakan Alternatif untuk Hukuman Mati dan Hukuman Seumur Hidup:
Indonesia dapat mempertimbangkan perubahan kebijakan terkait hukuman mati dan
hukuman seumur hidup, seperti yang dilakukan oleh Swedia. Penghapusan hukuman
mati dan penerapan hukuman penjara dengan batas maksimum yang ditentukan, dengan
kemungkinan pembebasan lebih awal melalui proses penilaian, dapat memberikan
kesempatan rehabilitasi yang lebih baik bagi narapidana.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan, 2005, Buku Pedoman Pembebasan Bersyarat,


Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta

9
Ismail. 2019. Pembinaan Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan. Jurnal Unpal. 57-58
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang

James, Erwin. 2013. Prison and Probation Why is Sweden Closing its Prisons ?, The Guardian,
Diakses pada 5 Juni 2023 jam 23.30.

Marwan, Satria Manda Adi. 2021.The existence of life imprisonment in Indonesia is viewed
from the perspective of the goals of modern criminal law Eksistensi Pidana Penjara
Seumur Hidup Di Indonesia Ditinjau Dalam Perspektif Tujuan Hukum Pidana Modern.
De Jure: Jurnal Hukum dan Syar’iah, vol 13 (1), hal 147.

Monica, Dona Raisa, Diah Gustiniati Maulani, 2018, Pengantar Hukum Penitensier dan Sistem
Pemasyarakatan Indonesia, Aura, Bandar Lampung.

Surbakti, Natangsa, Sudaryono, 2005, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas


Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Syawal, Fachri, Padmono Wibowo. 2021. Pemenuhan Hak Akomodasi Narapidana Di Lapas
Kelas I Makassar, Justitia : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, vol 8 (6), hal 1747.

Nugraha, A. (2020, Juni). Konsep Community Based Corrections Pada Sistem Pemasyarakatan
Dalam Menghadapi Dampak Pemenjaraan. Sains Sosio Humaniora, 4(1), 141 - 151.
Prakoso S, G. T., & Subroto, M. (2023, Februari). Peran Lembaga Pemasyarakatan Dalam
Penegakan Hukummenurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang
Pemasyarakatan (The Role of Correctional Institutions In a Law
EnforcementAccording to Law Number 22 of 2022 about Corrections). Komunikasi
Hukum, 9(1), 1255 - 1262.
Salsabila DM, I., & Pratomo, I. W. P. (2017, November). Jaminan HAM untuk Narapidana
dalam Kacamata Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Lex Scientia Law Review, 1(1),
33 - 40.
Situmorang, V. H. (2019). Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Bagian Dari Penegakan Hukum
(Correctional Institution as Part of Law Enforcement). Balitbangkumham, 13(1), 85 -
98.
Wulandari, S. (n.d.). Fungsi Sistem Pemasyarakatan Dalam Merehabilitasi Dan Mereintegrasi
Sosial Warga Binaan Pemasyarakatan. Serat Acitya.

10

Anda mungkin juga menyukai