Anda di halaman 1dari 12

STUDI KOMPARASI IBNU TAIMIYYAH DAN IBNU KHALDUN MENGENAI ILMU

EKONOMI DAN SOSIAL DALAM ISLAM.


Anisa Agusti1, Cica Septia Ningsih2
1
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sukabumi,
Jl.R.Syamsudin,S.H No.50 Cikole, Kec.Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat 43113;
anisa.cacit22@gmail.com
2
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sukabumi,
Jl.R.Syamsudin,S.H No.50 Cikole, Kec.Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat 43113;
cicaseptyaningsih@gmail.com

Abstrak
Tujuan Penelitian: Salah satu kepemimpinan Quraish ialah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Khaldun, yang
mana kedua tokoh tersebut merupakan ahli di bidang social politik yang memiliki latar belakang social
yang berceda. Ibnu Taimiyyah dikenal juga sosok da i yang tangguh serta memahami berbagai
permasalahan pada masanya dengan ilmunya. Arus pemikiranya terutama dalam berbagai permasalahan
politik, kenegaraan dan pemerintahan, juga terkesan terjalin erat dengan konteks kebanggan dan
keagamaan. Ibnu Khaldun memiliki keturunan salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang bernama
Wail Ibnu Hujr. Ibnu Khaldun hidup dalam kondisi politik dan kesukaan yang rumit. Pada masa itu beliau
berpindah-pindah antara Maroko, Andalusia dan Mesir adalah tempat beliau wafat. Ia merupakan sosok
agung yang muncul ketika dunia islam menjadi negara-negara kecil karena terpecah-belah. Ibnuu
Taimiyyah memhami makna hadist kepemimpinan Quraish dengan menggunakan metode masalah
mursalah dan Ibnu Khaldun menggunakan metode pendekatan Sosiologis.
Metode/Penelitian: Adapun metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana
peneliti meneliti secara langsung buku-buku Ibnu Taimiyyah dan beberapa literature pendukung yang
lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa ada beberapa konsep tentang ekonomi islam
yaitu harga yang adil, mekanisme pasar dan regulasi harga yang memiliki beberapa pembagian yang jelas
sesuai dengan konsep ekonomi islam menurut Ibnu Taimiyah.
Kata Kunci: Studi Komparasi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun, Ekonomi, Sosial
A. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia tidak lepas dari masalah ekonomi yang pastinya melibatkan
hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain, bahwasanya hubungan itu harus
didasarkan pada norma-norma agama Islam yang mengatur semua aspek kehidupan termasuk
isu-isu yang berkaitan dengan mu’amalah. Dalam konteks inipun, upaya pengembangan-
pengembangan sistem ekonomi dan sosial dalam Islam, kami sebagai penulis mencoba melihat
dan memahami konsep gagasan dari kedua tokoh yang kami teliti ini sebagai bahan inspirasi dan
bimbingan dalam kehidupan sehari-hari :Penulis mencoba ingin menyampaikan serta
menjelaskan pokok teori mengenai Ilmu Ekonomi dan Sosial dalam Islam.
Tokoh ulama Kharismatik yang kami teliti dari karya serta pengalaman-pengalamannya yaitu
yang pertama adalah Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah mengenai masalah ekonomi. Dan yang
kedua adalah Ibnu Khaldun Mengenai sejarah dan sosial.
Adapun Riwayat dari Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, Beliau hidup pada akhir abad ke-7
Hijriyah dan awal abad ke-8 Hijriyah, beliau memiliki pengetahuan yang sangat mendalam
tentang ajaran-ajaran Islam. Dan yang mana pada saat itu, Ekonomi Islam sangat juga
membutuhkan pandangan yang jelas tentang apa dan bagaimana saja yang diharapkan untuk
mencapai kebebasan yang diperlukan dalam hak bisnis, yang pastinya dibatasi oleh hukum moral
dan diawasi oleh Negara yang menggunakan hukum positif dan mampu menegakkan hukum-
hukum syariah. Semua kegiatan ekonomi pada saat itu diperbolehkan, kecuali yang secara tegas
dilarang oleh Syariah Islam. Sedangkan Riwayat dari Ibnu Khaldun yaitu Ibnu Khaldun ini,
beliau menunjukkan karakter intelektualnya kepada dunia melalui karyanya yang Fenomenal
(al-‘Ibar atau Muqoddimah). Bahkan setelah masyarakat dunia mengkaji karya-karyanya,
pemikirannya justru menjadi Cikal bakal menjadi Filasafat Sejarah dan dalam bidang Sosiologi
juga, Yang mana dari sejarah dan karya-karya beliau lah para pelajar berubah haluan dari yang
sebelumnya mengakui Auguste Comte sebagai Bapak sosiologi, Kemudian menganggap yang
pantas disebut Bapak Sosiologi adalah Ibnu Khaldun. Melalui Muqoddimah-nya, Ibnu Khaldun
telah memberikan Janin bagi sosiologi yang dilahirkan pada abad sebelum Auguste Comte
dengan teori Positivism-nya.
Kita semua dan kami selaku penulis khususnya dapat mencoba menggali pemikiran Ibnu
Khaldun yang cukup monumental dan komprehensif dalam karya-nya yaitu sebanyak 6 Bab,
sebagaimana yang terkandung dalam Muqoddimah-nya, yaitu (1) Peradaban umat yang secara
umum, corak, dan pembagiannya menurut ilmu bumi; (2) Peradaban tentang padang pasir
(masyarakat pengembala), kabilah dan bangsa-bangsa pengembara; (3) Negara-negara, khalifah,
kekuasaan dan kerajaan, dan pembicaraan tentang tingkatan pemerintah; (4) Peradaban orang-
orang menetap, kota-kota dan provinsi-provinsi; (5) Mengenai keahlian, mata pencaharian,
usaha-usaha dalam kehidupan dan berbagai segala aspeknya; (6) Mengenai Ilmu Pengetahuan,
cara memperoleh ilmu dan mempelajari ilmu-ilmunya.
B. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sebuah Metode kualitatif deskriptif dan
dengan jenis penelitian Pustaka (Library Research), Karena objek jurnal penelitian yang penulis
ambil ini merupakan Studi komparasi dari Ibnu Taimiyyah dan juga Ibnu Khaldun.
Dalam memperoleh sumber data ini, penulis menggunakan cara : Literatur buku, yang
mana penulis (kami) melakukan penelitian terdahulu dan artikel-artikel jurnal yang berkaitan
dengan judul penelitian yang berkenaan dengan Studi Komparasi Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Khaldun mengenai Ilmu Ekonomi dan Sosial dalam Islam.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ibnu Khaldun lahir di Tunis Afrika Barat tanggal 25 Mei tahun 1332 M. dari keturunan
keluarga bangsawan Banu Khaldun bermigrasi ke Tunisia pasca jatuhnya Saville ke Reconquesta
pada pertengahan abad ke-13. Di bawah kekuasaan seorang Tunisia, keluarga Ibnu khaldun
memegang beberapa jabatan politik. Namun kemudian bapak dan kakeknya menarik diri dari
duni apolitik dan menjalani kehidupan spiritual (a mystic order) (Al-Tanju, 1951: 1). Semasa
hidupnya, beliau membantu berbagai sultan di Tunisia, Maroko, Spanyol dan Aljazair sebagai
duta besar, bendaharawan dan anggota dewan penasehat sultan (Goodman, 2004:8). Ibnu
Khaldun di kenal sebagai anak yang sudah menguasai Al-quran dan Bahasa Arab pada usia yang
relative muda. Dia juga menguasai ilmu klasik seperti, filsafat, metafisika, tasawuf.
Disamping itu, dia tertarik dengan geografis, sejarah dan ilmu ekonomi. Pada usia 20 tahun,
beliau telah di angkat menjadi sekretaris sultan Abu Inan di Fez, Maroko. Setelah itu beliau
menjadi perdana Mentri Sultan Buogie (sekarang Aljazair), kemudian ia pindah ke Biskra
(daerah selatan Konstantinopel ). Pada tahun 1375 M. ia mulai berkencipung di dunia keilmuwan
(Ramadhan, 2009).Bahwasannya penguasa negara bukanlah pemimpin yang mendapatkan
kekuasaan dari tuhan menyebabkan Ibnu Khaldun dipenjara selama 2 tahun di Maroko. Ibnu
Khaldun juga meneliti kekacauan politik yang terjadi di Afrika Barat Laut (Lauer, 2003:41).
Ibnu Khaldun mengundurkan diri dari kehidupan politik dan kembali ke Afrika Utara. Disana dia
melakukan studi dan menulis secara intensif selama 5 tahun dan menghasilkan karya-karya yang
menyebabkan beliau terkenal dan di angkat menjadi guru besar studi Islam di Universitas Al-
Azhar Kairo. Menjelang kematiannya tahun 1400 M. Ibnu Khaldun telah menghasilkan
sekumpulan karya yang mengandung berbagai pemikiran yang mirip dengan sosiologi jaman
sekarang. Dia melakukakn studi Ilmiah tentang masyarkat, riset empiris, dan meneliti sebab-
sebab fenomena social.

Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota
Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M. (10 Rabiul Awal 661 H). ia berasal dari keluarga yang
berpendidikan tinggi. Ayah paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hambali dan
penulis sejumlah buku. Ibnu Taimiyah saat muda mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran,
seperti tafsir, hadist, fiqih, matematika, dan filsafat serta berhasil menjadi yang terbaik di antara
teman-teman seperguruannya. Gurunya berjumlah 200 orang diantaranya adalah Syamsuddin Al-
Maqdisi, Ahmad bin Abu Al Khair, Ibnu Abi Al Yusr dan Al Khamal bin Abdul Majd bin
Asakir. Saat bersusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah diberi kepercayaan oleh gurunya yaitu
Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan patwa. Keistimewaan Ibnu Taimiyah tidak hanya
terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya
dalam berlaga di medan perang. Selama hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan
sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya. Selama dalam tahanan
Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Ketika penguasa mencabut
haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan batu
arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20
Dzul Qaidah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
Sejarah sosial Ibnu Khaldun
Dalam kedidupan masyarakat di Afrika, atau yang berlatar belakang masyarakat barbar,
Ibnu Khaldun membagi dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat nomaden (Badui) dan
masyarakat menetap. Berdasarkan objek kajiannya mengenai masyarakat primitive dan
masyarakat menetap atau masyarakat kota (Madinah). Ibnu Khaldun memandang bahwa
mobilitas masyarakat nomaden merupakan proses sejarah dan masyarakat kota yang menetap
adalah masyarakat yan terorganisir dan berperadaban.
Intinya Ibnu Khaldun berbicara tentang asal mula negara manusia sebagai makhluk
politik, manusia yang membutuhkan orang lain dalam mempertahankan hidupnya sehingga
kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (Ibnu
Khaldun, 2000:41). Ibnu Khaldun juga mengemukakan suatu observasi yang menarik yang
parallel dengan teori sosiologi modern mengenai pembagian kerja dan diferensiasi sosial. Ia
mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai sesuatu kematangan dalam urbanisme
dimana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung memuaskan diri
pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsistem, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok
(al-aqwat).
Solidaritas Sosial Ibnu Khaldun
As abiyyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern. As
abiyyah mengan dung makna group feeling. Soldaritas kelompok, fanatisme kesukuan,
nasionalisme atau sentimen sosial yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara
atau tetangganya ketika salah satu dari mereka dari mereka diperlakukan tidak adil atau disakiti.
Kategori ini yaitu sosial fundamental yaitu badawah (komunitas pendalaman, masyarakat
primitive atau daerah gurun) dan had arah (komunitas masyarakat kota, beradab) sebagai
fenomena yang alamiah dan niscaya (Ibnu Khaldun, 2000:43).
Penelitian Ibnu Khaldun tentang masyarakat barbar (Ibnu Khaldun,2000:43), yaitu
kelompok padang pasir yang liar lebih kuat mudah menaklukan masyarakat kota. Tujuan akhir
solidaritas adalah kedaulatan dan dapat mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan
mengalahkan musuh.
Persaudaraan Berdasarkan Kesamaan Keyakinan (Mu akhah)
Menurut Ibnu Khaldun persamaan ketuhanan (mu akhah), yaitu solidaritas yang di
bangun berdasarkan persaudaraan atas kesamaan keyakinan membuat mereka berhasil
mendirikan Dinasti, karena menurutnya bangsa Arab adalah bangsa yang tidak mau tunduk
kepada satu sama lain, kasar, angkuh dan ambisius. Maka yang menjadi pemimpin pada saat itu
adalah suku/kabilah bukan Dinasti. Khafilah adalah pemerintah yang berlandaskan agama yang
memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk agama, baik dalam hal duniawi maupun
ukhrawi.
Ibnu Khaldun menetapkan ilmu syarat bagi khalifah/imam/sultan: (1) memiliki
pengetahuan, (2) memiliki sifat-sifat adil, (3) mempunyai kemampuan (memimpin), (4) sehat
fisik dan panca indra, (5) keturunan Quraisy berdasarkan teori Asabiyyah (Ibnu khaldun,
2000:194). Menurut Ibnu Khaldun keturunan Quraysi memiliki keutamaan, yaitu orang-orang
Quraysi adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari Bani Mudhar,
solidaritas kelompoknya kuat, memiliki wibawah yang tinggi, maka tidak heran jika pemimpin
agamanya dipercayakan pada suku Quraysi.
Politik dan ulama
Menurut Ibnu Khaldun, ada tiga bentuk pemerintahan dalam suatu Negara, yaitu:
pertama, pemerintahan yang natural (siyasah t abi iyyah), yaitu pemerintahan yang membawa
masyarakat sesuai tujuan nafsu. Artinya, seorang raja lebih mementingkan keinginan nafsunya
ketimbang rakyatnya. Jadi berakibat, rakyatnya tidak mau mentaati pemerintahannya, maka
terjadi terror, penindasan dan anarki. Kedua, pemerintahannya berdasarkan nalar (siyasah
aqliyah), yaitu pemerintah yang membawa rakyatnya sesuai rasio dalam mencapai kemaslahatan
duniawi dan mencegah kemudharatan pemerintahan yang berdasarkan undang-undang, dibuat
oleh para cendekiawan. Ketiga, pemerintahan berdasarkan agama (siyasah diniyyah), yaitu
pemerintah yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan ketentuan agama baik yang bersifat
keduniawian maupun ukhrawi. Menurut Ibnu Khaldun, pemerintahan model ini adalah
pemerintahan yang berlandaskan agama islam. Kepala negara disebut khalifah, imam atau sultan
karena mereka harus berperan sebagai pengganti nabi dalam memelihara kelestarian agama dan
kesejahteraan duniawi dan rakyatnya.
Ibnu Khaldun (2000:173) memberikan klarifikasi mengenai timbul dan tenggelamnya
suatu negara peradaban yaitu: pertama, tahap konsolidasi dimana otoritas negara didukung oleh
masyarakat yang berhasil menggulingkan dinasti sebelumnya. Kedua, tahap tirani yaitu upaya
menyelesaikan masalah konflik internal dalam rangka proses kematangan pemerintahan dengan
mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda, tetapi jika ada yang melawan maka akan
diadakan permusnahan bahkan dengan cara kekerasan seperti yang terjadi pada masa
pemerintahan Al-Abbas dari bani Abbas pascaperalihan wewenang politik dari dinasti Bani
Umayyah. Al-Abbas mengejar dan membunuh orang-orang Bani Umayyah bahkan
pendukungnya sendiri yang dianggap berpotensi melakukan pembangkangan politik seperti pada
Abu Muslim Al-Khurasani dan pamanya sendiri. Ketiga, tahap distribusi pembangunan, yaitu
pemimpin dan rakyatnya tercurah pada usaha membangun negara dan kesejahteraan rakyatnya
dalam berbagai aspek. Keempat, tahap ketenangan. Pada tahap ini merupakan tahap yang
diharapkan semua pihak, baik pemimpin maupun rakyatnya, yaitu kepuasan hati, tentram dan
damai. Kelima, tahap hidup boros. Tahap inilah yang cendrung membuat para pemimpin dan
rakyatnya lengah pada kewajiban dan tanggung jawabnya.
Adapun ulama, menurut Ibnu Khaldun harus jauh dari persoalan-persoalan politik dan
hal-hal yang rumit. Kata Ibnu Khaldun tentang ulama adalah manusia yang paling jauh dari
politik dan seluruh cabang-cabangnya. Ulama cendrung jauh atau menjauh politik karena watak
mereka yang lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam dunia ide dan refleksi
intelektual (mu tadun al-naz ar al-fikri wa al-ghaus ala al-ma ani). Mereka cenderung
melakukan abstraksi, dalam pengertian mencari pola-pola umum dari data-data empiric yang
terserak.
Model Generasi Politik
Ibnu Khaldun juga memiliki gambaran tentang model generasi politik. Dalam hal ini
menurut dia, ada tiga model generasi, yaitu (1) generasi pembangun yang dengan segala
kesederhanaan di atas solidaritas yang tulus dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. (2)
generasi penikmat, yaitu mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam
system kekuasaan menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. (3) generasi
yang tidak lagi memiliki hubungan emosial dengan negara.
Menurut Ibnu Khaldun, ketiga model generasi ini ada secara bergantian dalam beberapa
kali proses pemerintahan atau berada dalam rentang waktu sekitar satu abad. Sebuah peradaban
besar dimulai generasi dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan
dan penuh perjuangan. Impian yang tercapai memunculkan sebuah peradaban baru. Kemudian
diikuti dengan kemunduran peradaban (Abdallah, 2008;172). Tahapan-tahapan ini kemudian
terulang lagi dan begitu seterusnya. Menurut Ibnu Khaldun ini tidak ada status quo, karena
keniscayaan proses sejarah manusia yang selalu berubah dan berputar.
Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Konomi Islam
Ibnu Taimiyah adalah seorang fuqaha yang mempunyai karya pemikiran dalam berbagai
bidang ilmu yang luas, termasuk dalam bidang ekonomi. Dalam bukunya Al-Hisbah Fi i islam
dan As-Siyasah AsySyar iyah fi islah al Ra i wa Al-Ra iyah (legal poliies to Reform the Rules
and the Ruled) ini banyak membahas problem ekonomi yang dihadapi saat itu, baik dalam
tinjauan sosial maupun hukum islam (fiqh). Meskipun demikian, karyanya banyak yang
mengandung ide yang berpandangan kedepan, sebagaimana kemudian banyak dikaji oleh
ekonomi barat. Ibnu Taimiyah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar bebas (free
market), peranan market supervisor dan lingkup dari peranan negara. Negara harus
mengiplementasikan aturan main yang islami sehingga produsen, pedagang dan para agen
ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair. Negara juga harus menjamin
pasar berjalan secara bebas dan terhindar dari praktik pemaksaan, manipulasi dan eksploitasi
yang memanfaatkan kelemahan pasar sehingga persaingan dapat berjalan dengan sehat. Selain
itu, negara juga bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar (basi need) dari rakyatnya.
Dalam hal kepemilikan (ownership) atas sumber daya ekonomi, Ibnu Taimiyah tampak
berada pada pandangan pertengahan jika dari pemikiran ekstrim kapitalisme dan sosialisme saat
ini. Negara juga harus membatasi dan menghambat kepemilikan individual yang berlebihan
meskipun ia sangat menekankan pentingnya pasar bebas. Pemikiran Ibnu Taimiyah tentanng
islam banyak di ambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu Fatwa Syaikh al-islam, as-
syar iyyah fi ishlah ar-Ra i wa ar- Ra iyah dan al-hisbah fi al-islam.
Peranan Pemerintah Dalam Kebijakan Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan hak milik dimungkinkan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah. Al-Qur an menegaskan dalam (Q.S.Al-Anfal ayat 28) Artinya : Dan
ketauilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di
sisi Allah pahala yang besar. (Q.S. Al-Anfal; 28)
Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh ini tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hak milik itu, bagi Ibnu Taimiyah adalah sebuah
kekuatan yang didasari atas syariah untuk menggunakan sebuah objek, tetapi kekuatan itu sangat
bervariasi dalam bentuk dan jenisnya.
Sejarah Sosial Menurut Ibnu Khaldun
Dalam Kehidupan masyarakat di Afrika, atau yang berlatar belakang masyarakat Barbar,
Ibnu Khaldun membagi dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat nomaden (Badui) dan
masyarakat menetap. Berdasarkan pada objek kajiannya mengenai masyarakat nomaden atau
masyarakat primitif dan masyarakat menetap atau masyarakat kota (Madinah). Ibnu Khaldun
memandang bahwa mobilitas masyarakat nomaden merupakan proses sejarah dan masyarakat
kota yang menetap adalah masyarakat yang terorganisir dan berperadaban. Dalam perjalanannya
menuju perubahan-perubahan yang signifikan, masyarakat akan berhadapan dengan berbagai
problem yang lahir dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam kelompok masyarakat yang akan
berproses kepada tujuan yang diingingkan bersama. Dalam mencapai tujuan itu diperlukan
kerjasama dan solidaritas dalam suatu masyarakat atau kelompok secara terorganisir, baik dalam
bentuk kelompok sosial, kesukuan maupun negara. Pada intinya, Ibnu Khaldun berbicara tentang
asal mula negara manusia sebagai makhluk politik, manusia yang membutuhkan orang lain
dalam mempertahankan hidupnya sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi
sosial merupakan sebuah keharusan (Ibnu Khaldun, 2000:41).
Hal terkait lebih lanjut, bahwa manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan
bantuan makanan sedang untuk memenuhi kebutuhan makanan yang sedikit dengan waktu satu
hari saja memerlukan banyak rangkaian pekerjaan. Sebagai contoh, butir-butir gandum yang
akan menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang, butir- butir tersebut harus
ditumbuk kemudian diolah menjadi adonan, lalu dibakar. Sebelum disiapkan untuk dibuat dan
dimakan dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya, dibutuhkan kerja sama dengan tukang
pandai kayu/besi, dan seterusnya (Ibnu Khaldun, 2000:41).
Manusia memerlukan perlindungan hidup dengan pertahanan yang terorganisir dan suatu
organisasi masyarakat memerlukan pemimpin/ khalifah. (Ibnu Khaldun, 2000:43).Setelah
oganisasi masyarakat terbentuk dan terlaksana maka inilah yang disebut masyarakat peradaban.
Menurutnya, tujuan masyarakat nomaden pada hakikatnya adalah menjadi masyarakat menetap
atau masyarakat kota. Dan merancang dalam kesarjanaan modern lalu diterjemahkan sebagai
peradaban yang dapat diartikan sebagai Urbanisme atau gejala mengkota. Sebab apa yang
disebut sebagai umran oleh Ibnu Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-had ar)
sebagai lawan dari gejala masyarakat Badui yang cenderung nomaden. Dalam bagian ini Ibnu
Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi
modern mengenai pembagian kerja dan diferensiasi sosial. la mengatakan bahwa masyarakat
yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme dimana kota-kotanya belum
berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi
kebutuhan subsistem, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini
terlampau, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a'mal) mulai
muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-
zal'd) untuk hal- hal yang bersifat kemewahan hidup kuries&al-kamálat min al- ma'ash).
Solidaritas Sosial
As abiyyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir moderen.
Peradaban badui, orang kota dan solidaritas sosial (as abiyyah) menurut Ibnu Khaldun
merupakan faktor pembentuk negara (dawlah). As abiyyah yang mengandung makna group
feeling. solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme atau sentimen sosial yaitu cinta
dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya
diperlakukan tidak adil atau disakiti. Hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu
badawah (komunitas pedalaman, masyarakat primitif atau daerah gurun) dan had arah
(komunitas masyarakat kota, beradab) sebagai fenomena yang alamiah dan niscaya (Ibnu
Khaldun, 2000:43).
Sifat-sifat kepemimpinan selalu dimiliki oleh orang-orang yang memiliki solidaritas
sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunannya yang bersifat khas maupun umum. Setiap
kaum harus ada solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas masing-masing individu, sebab
apabila masing-masing individu meyakini keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin maka
akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya (Ibnu Khaldun, 2000:132)
Kelompok padang pasir yang liar lebih kuat dan mudah menaklukan masyarakat kota. Ini
adalah hasil penelitiannya pada masyarakat Barbar (Ibnu Khaldun, 2000:138).
Tujuan akhir solidaritas adalah kedaulatan. Dan solidaritas sosial dapat mempersatukan tujuan,
mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Kemudian ketika satu kelompok solidaritas
sosial yang menguasai negara sudah tua maka akan digantikan atau direbut oleh solidaritas sosial
lain yang lebih kuat atau merekruk pemimpin dari kelompok yang sudah tua bergandengan
tangan dengan pemimpin kelompok solidaritas sosial lain yang lebih kuat. Itulah yang terjadi
pada orang-orang Turki yang masuk ke dalam kedaulatan Bani Abbas (Ibnu Khaldun, 2000:132).
Persaudaraan Berdasarkan Kesamaan Keyakinan (Mu'akhah).
Menurut Ibnu Khaldun persamaan ketuhanan (mu'akhah), yaitu solidaritas yang dibangun
berdasarkan persaudaraan atas kesamaan keyakinan membuat mereka berhasil mendirikan
Dinasti, karena menurutnya bangsa Arab adalah bangsa yang tidak mau tunduk kepada satu sama
lain, kasar, angkuh dan ambisius. Maka yang menjadi pemimpin pada bangsa Arab adalah
pemimpin suku/kabilah bukan dinasti. Itulah kenapa Nabi diturunkan di wilayah Arab.
Hegemonitas kelompok dapat disatukan oleh keyakinan agama (Ibnu Khaldun, 2000:132).
Khilafah adalah pemerintahan yang berlandaskan agama yang memerintahkan rakyatnya
sesuai dengan petunjuk agama, baik dalam hal duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu,
pemerintahan yang berlandaskan agama disebut dengan hilafah mamah atau Bultanah sedangkan
pemimpinnya disebut halifah atau amtault án Khalifah adalah pengganti Nabi Muhammad.
dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia, lembaga imamah
adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibainya Abu Bakar sebagai
khalifah, tetapi ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/atau perlunya manusia
terhadap organisasi sosial. Namun, hukum wajibnya adalah Fardhu Kifayah (Ibnu Khaldun,
2000:191-193). Ibnu Khaldun menetapkan lima syarat bagi khalifah imam sultan: (1) memiliki
pengetahuan, (2) memiliki sifat-sifat adil, (3) mempunyai kemampuan (memimpin), (4) sehat
fisik dan panca indra, (5) Keturunan Quraisy berdasarkan teori As abiyyah (Ibnu Khaldun,
2000:194).
Menurut Ibnu Kaldun keturunan Quraisy memiliki keutamaan, yaitu orang-orang Quraisy
adalah pemimpin-pemipin terkemuka, original dan tampil dari Bani Mudhar, solidaritas
kelompoknya kuat, memiliki wibawah yang tinggi, maka tidak heran jika pemimpin agamanya
dipercayakan pada suku Quraisy. Nabi menginginkan persatuan solidaritas dan persaudaraan
(Ibnu Khaldun, 2000:191-193) Meski demikian jika solidaritas suku Quraisy lemah, maka
dimungkinkan suku lain yang lebih kuat solidaritasnya pada saat itu.
Politik dan Ulama
Menurut Ibnu Khaldun, ada tiga bentuk pemerintahan dalam suatu Negara, yaitui:
pertama, pemerintahan yang natural (siväsah tabi'iyyah), yaitu pemerintahan yang membawa
masyarakat sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja lebih mementingkan keinginan
nafsunya ketimbang rakyatnya. Akibatnya, rakyatnya tidak mau mentaati pemerintahannya,
maka terjadilah teror, penindasan dan anarki. Pada zaman sekarang disebut pemerintahan
otokratik; kedua, pemerintahan berdasarkan nalar (siyasah aqliyah), yaitu, pemerintahan yang
membawa rakyatnya sesuai rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah
kemudharatan pemerintahan yang berdasarkan undang-undang, dibuat oleh para cendekiawan.
Pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan republik dan kerajaan institusional. Karena
hanya mampu mewujudkan keadilan sampai batas tertentu, ketiga: Pemerintah berdasarkan
agama (siyisah diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan
ketentuan agama baik yang bersifat keduniawian maupun ukhrawi. Model pemerintahan seperti
ini menurut Ibnu Khaldun (2000:191) adalah pemerintahan yang berlandaskan agama Islam.
Kepala negara disebut khalifah, imam atau sultan karena mereka harus berperan sebagai
pengganti nabi dalam memelihara kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi dan rakyatnya.
Imam sebagai pemimpin negara ibarat imam dalam salat yang harus diikuti oleh rakyat schagai
makmum.
Dari pembagian di atas, tampak bahwa Ibnu Khaldun menempuh jalur baru dibandingkan
dengan Al-Farabi dan Ibnu Al- Kabi dalam mengklasifikasikan pemerintahan la tidak
memandang sisi personalnya juga bukan pada jabatan imam melainkan pada makna fungsional
keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-
undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan. Mengenai timbul dan
tenggalamnya suatu negara peradaban, Ibnu Khaldun (2000:173) memberikan klasifikasi sebagai
berikut: pertama, tahap konsolidasi, di mana otoritas negara didukung oleh masyarakat yang
berhasil yang menggulingkan dinasti sebelumnya; kedua, tahap tirani, yaitu upaya
menyelesaikan masalah konflik internal dalam rangka proses kematangan pemerintahan dengan
mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda, tetapi jika ada yang melawan maka akan
dilakukan pemusnahan bahkan dengan cara kekerasan seperti yang terjadi pada masa
pemerintahan Al-Abbas dari Bani Abbas pascaperalihan wewenang politik dari Dinasti Bani
Umayyah. Al-Abbas mengejar dan membunuh orang-orang Bani Umayyah bahkan
pendukungnya sendiri yang dianggap berpotensi melakukan pembangkangan politik seperti pada
Abu Muslim Al- Khurasani dan pamannya sendiri: ketiga, tahap distribusi pembangunan, yaitu
pemimpin dan rakyatnya tercurah pada usaha membangun negara dan kesejahteraan rakyatnya
dalam berbagai aspek; keempat, tahap ketenangan. Pada tahap ini merupakan tahap yang
diharapkan semua pihak, baik pemimpin maupun rakyatnya, yaitu kepuasan hati, tenteram dan
damai. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam sejarah pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid
dari Dinasti Bani Abbas atau dalam sejarah pemerintahan Umar bin Abd Aziz dari Dinasti Bani
Umayyah; dan kelima, tahap hidup boros. Tahap inilah yang cenderung membuat para pemimpin
dan rakyatnya lengah pada kewajiban dan tanggung jawabnya. Ini akan menjadi biang masalah
dalam pemerintahan dan kehancuran sebuah rezim politik.
Adapun ulama, menurut Ibnu Khaldun, harus jauh dari persoalan-persoalan politik dan
hal-hal yang rumit. Ibnu Khaldun berbicara tentang lama adalah manusia yang paling jauh dari
politik dan seluruh cabang-cabangnya. Ulama cenderung jauh atau menjauh politik karena watak
mereka yang lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam dunia ide dan refleksi
intelektual (m'tadun al-naz ár al-fikri wa al-ghaus 'ala al-ma dni). Mereka cenderung melakukan
abstraksi, dalam pengertian mencari pola-pola umum dari data-data empirik yang terserak. Minat
mereka bukan pada fakta-fakta empiris yang bersifat sporadis dan carut marut, tetapi mencari
pola-pola umum, atau apa yang disebut oleh Ibnu Khaldun sebagai mur kulliyyah ammah
Abdalla, 2008). Ibnu Khaldun justru meninggalkan tradisi Al-Farabi yang melihat pilitik sebagai
wilayah kerja ara filosofseperti dalam kerangka pemikiran Plato. Wawasan Ibnu Khaldun jelas
lebih empirik.
Model Generasi Politik
Ibnu Khaldun juga memiliki gambaran tentang model generasi politik. Dalam hal ini
menurut dia, ada tiga model generasi, yaitu (1) generasi pembangun yang dengan segala
kesederhanaan di atas solidaritas yang tulus di bawah otoritas kekuasaan yang didukukungnya;
(2) generasi penikmat, yaitu mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam
sistem kekuasaan menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan Negara; dan (3)
generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara. Mereka dapat melakukan
apa saja yang mereka sukai tanpa memperdulikan nasib negara jika suatu bangsa sudah sampai
pada generasi ketiga maka keruntuhan negara sebagai sunatullah sudah diambang pintu (Abdalla,
2008:172).
Menurut Ibnu Khaldun, ketiga model generasi ini ada secara bergantian dalam beberapa
kali proses pemerintahan atau berada dalam rentang waktu sekitar satu abad. Sebuah peradaban
besar dimulai generasi dari masyarakat yang telah di tempa dengan kehidupan keras, kemiskinan
dan penuh perjuangan. Keinginan hidup yang makmur dan terbatas dari kesusahan hidup
ditambah dengan As abiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk
mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian
memunculkan sebuah peradaban baru. Kemudian diikuti dengan kemunduran peradaban
(Abdalla, 2008:172). Tahapan-tahapan ini kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya.
Berdasar ini pula, menurut Ibnu Khaldun, tidak ada status quo, karena keniscayaan proses
sejarah manusia yang selalu berubah dan berputar.
KESIMPULAN
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota
Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M. (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang
berpendidikan tinggi. Hasil renungan dan pemikiran seorang Ibnu Taimiyah sebenarnya tidaklah
terbatas hanya pada persoalan ekonomi saja, lebih dari isu mencakup sebagian aspek kehidupan
dalam negara dan agama. Tapi dalam bahasan kali ini, hanya mengedepankan aspek ekonomi
yang dapat disimpulkan sebagai Pemikiran Ibnu Taimiyah yang membahas tentang masalah
harga yang adil, yang oleh beliau dikelompokkan menjadi dua tema, yakni kompensasi yang
setara (‘Iwad al-Mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-Mitsl). Dimanapun, beliau membedakan
antara dua jenis harga : harga yang tak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang sejarah dan sosiologi, pada dasarnya memberi kontribusi bagi
dunia intelektual. Teori-teori sejarah dan sosiologinya menjadi pijakan kajian bagi kaum
intelektual modern meskipun nama besarnya sempat redup ketika era keemasan intelektual
Eropa. Peran para orientalis dan sarjana muslim mengkaji pemikiran para sarjana muslim abad
XIV M, membuka mata dunia tentang kualitas pemikiran sarjana-sarjana muslim dan patut dikaji
sebagai khasanah keilmuwan khususnya di bidang sejarah dan ilmu- ilmu sosial. Bahkan para
pemikir moderen pun belum ada yang mampu menyamai pemikirannya. Termasuk tokoh-tokoh
sosiologi seperti August Comte dari Prancis, Max Weber dari Jerman atau lainnya.
Lingkaran perubahan ikatan sosial atau solidaritas kelompok dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahannya melalui tiga tahap, yaitu (1) solidaritas sangat kuat yang ditimbulkan oleh
kekerasan kondisi kehidupan nomaden di gurun pasir; (2) Munculnya kukur kehidupan menetap
dilokasi tertentu dan meningkatnya kemakmuran memperburuk ikatan kelompok dan
memperlemah solidaritas; dan (3) ini menyebabkan hancurnya solidaritas sosial, membubarkan
kelompok, lalu diikuti oleh kristalisasi kelompok berdasarkan solidaritas sosial baru. Dalam
bagian ini Ibnu Khaldun mengemukakan suatu observasi menarik yang paralel dengan teori
sosiologi modern mengenai pembagian kerja dan diferensi sosial. Kini di dunia Eropa maupun di
dunia Islam, nama Ibnu Khaldun menjadi popular seirama dengan perkembangan kajian
keilmuwan. khususnya di bidang sejarah dan sosiologi. Dengan demikian pemikiran-pemikiran
Ibnu Khaldun dapat dijadikan sebagai rujukan dalam kajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya,
serta menjadi kekayaan sejarah bagi masyarakat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sugiono, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif-Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2010). Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah Fi Al-Islam (Kairo: Dar Al-Sha’b, 1976)
https://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/mua/article/download/4733/3158/14091
Abdalla, Ulil Absar, Ibnu Khaldun dan sejarah sosialnya beserta latar belakang, (blogspot,2008)
https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/download/143/133/
Mila Melyani, /Pemahaman Hadis Kepemimpinan Quraish: Studi Komparasi Ibnu Taimiyyah
dan Ibnu Khaldūn https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Diroyah/article/download/8986/pdf

Anda mungkin juga menyukai