LAPORAN PENDAHULUAN BPH Reviisi
LAPORAN PENDAHULUAN BPH Reviisi
HALAMAN JUDUL......................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................................................iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
LAPORAN PENDAHULUAN .....................................................................................1
GANGGUAN BENIGN PROSTATE HIPERPLASIA ..................................................1
A. Pengertian .........................................................................................................1
B. Etiologi ...............................................................................................................1
C. Patofisiologi .......................................................................................................2
D. Tanda dan Gejala ..............................................................................................2
E. Komplikasi .........................................................................................................3
H. Penatalaksanaan ...............................................................................................7
I. Komplikasi .........................................................................................................8
J. Nursing Care Plans ............................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................13
iv
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
Menurut Haryono (2013), kelenjar prostat adalah suatu jaringan
fibromuskular dan kelenjar granula yang melingkari uretra bagian proksimal,
yang terdiri dari kelenjar majemuk, saluran-saluran dan otot polos terletak di
bawah kandung kemih dan melekat pada dinding kandung kemih dengan
ukuran panjang 3-4 cm dan lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm dan sebesar biji
kenari, pembesaran pada prostat akan membendung uretra dan dapat
menyebabkan retensi urin, kelenjar prostat terdiri dari lobus posterior lateral,
anterior dan lobus medial, kelenjar prostat berguna untuk melindungi
spermatozoa terhadap tekanan yang ada uretra dan vagina. Serta
menambah cairan alkalis pada cairan seminalis.
B. Etiologi
Menurut Haryono (2013), penyebab pasti terjadinya BPH sampai
sekarang belum diketahui. Namun, kelenjar prostat jelas sangat tergantung
pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan. Ada beberapa faktor yang kemungkinan menjadi penyebab
antara lain :
1. Dihydrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron.
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma-epitel.
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati.
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari
kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan
membentuk jaringan prostat.
1
C. Patofisiologi
Menurut Mansjoer Arif (2000) sebagaimana dikutip oleh Haryono
(2013), pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus
urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi
perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat,
leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat
Sebagai akibatnya, serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan
penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihar sebagai
balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan
sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor
sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula
dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase
kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya
akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi,
sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas.
2
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
2. Gejala Iritasi, yaitu :
a. Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
E. Komplikasi
Menurut Haryono (2013), komplikasi BPH sebagai berikut :
1. Aterosclerosis
2. Infark jantung
3. Imponten
4. Haemoragik post operasi
5. Fistula
6. Struktur pasca operasi dan inkontinesia urin
7. Infeksi
3
F. Pathway
Perubahan keseimbangan antara
hormoneestrogen dan
Estrogen meningkat
testosterone
Dehidro Testosterone (DHT)
Apoptosis menurun
Proses menua
Interaksi sel
Pembetukan sel baru Diikat resesptor (dalam sitoplasma sel prostat) epitel dan
Estrogen
stroma
meningkat
Sel punca meningkat dan Mempengaruhi Epidermal Inflamasi
testosterone intisel (RNA) growth factor
menurun meningkat & Volume
Proliferasi sel transit
Ketidakseimbangan Proliferasi transforming prostattumbuh
hormon sel growth factor lebih cepat
Ketidaktepatan aktivitas menurun
selpunca
Hyperplasia pada epitel dan
stromapada kelenjar
Produksi berlebihan prostat
BPH
Nyeri Akut
4
Prosedur pembedahan
Pre Operasi
Post Operasi
Perdarahan
Tidak terkontrol
Resiko perdarahan
G. Pemeriksaaan Penunjang
Menurut Haryono (2013), pemeriksaan penunjang BPH sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus
sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam
rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur dapat
diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada
prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat
diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan.Sisa
miksi ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar
dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan
ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
5
Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu:
a. Rectal grading
Rectal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-
bulit kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan
dalam penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan
beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum.
Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. Pembagian
grade sebagai berikut:
0-1 cm..........: Grade 0
0-2 1-2 cm..........:Grade 1
0-3 2-3 cm..........:Grade 2
0-4 3-4 cm..........:Grade 3
Lebih 4 cm........:Grade 4
Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba
karena benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan
menentukan rectal grading maka didapatkan kesan besar dan
beratnya prostat dan juga penting untuk menentukan macam
tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1) maka
terapi yang baik adalah TURP (Trans Urethral Resection Prostat)
Bila prostat besar sekall (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy
terbuka secara transvesical.
a. Clinical grading pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah
banyaknya sisa urin, Pengukuran ini dilakukan dengan cara
meminta pasien berkemih sampai selesai saat bangun tidur pagi,
kemudian memasukkan kateter ke dalam kandung kemih untuk
mengukur sisa urin.
Sisa urin 0 cc..............Normal
Sisa urin 0-50 cc........Normal Grade 1
Sisa urin 50-150 cc............Grade 2
Sisa urin >150 cc................Grade 3
Sama sekali tidak bisa berkemih.......Grade 4
b. Intra urethra grading.
Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam
lumen urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan
penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari urologi yang spesifik.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin, ureum kreatinin.
b. Bila perlu Prostate Spesific Antigen (PSA), untuk dasar penentuan
biopsi.
6
3. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
b. BNO-IVP
c. Systocopy/Systografi Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan
hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria.
Pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di
dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila
darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica.
Selain itu, sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar
prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan
melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
d. USG (Ultrasonografi)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat
juga keadaan buli-buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik
H. Penatalaksanaan
Menurut Rudy (2013:121-123), penatalaksanaan pada BPH sebagai
berikut :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat andrenergik a, misalnya prazosin, doxazosin, alflurosin
atau a 1a (tamsulosin).
b. Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah: waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergan
tung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah, yaitu:
a. Retensio urin berulang (Poscar)
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kencing berulang
e. Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,dronefrosis.
f. Ada batu saluran kemih.
7
I. Komplikasi
Menurut Rudy (2013:117), komplikasi pada BPH sebagai berikut:
1. Aterosclerosis
2. Infark jantung
3. Impoten
4. Haemoragik post operasi
5. Fistula
6. Struktur pasca operasi dan inconentia urin
7. Infeksi
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Haryono (2013), diagnosa keperawatan yang muncul
sebagai berikut :
a. Nyeri akut yang berhubungan dengan agen injuri fisik, pembedahan.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer yang tidak
adekuat, prosedur invasif.
c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah.
8
d. Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan dan
pengobatannya berhubungan dengan kurang familier terhadap
informasi, kognitif.
e. Defisit self care berhubungan dengan kelemahan, penyakitnya.
f. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan
imponten akibat TURP.
g. PK : Perdarahan
3. Perencanaan
a. Nyeri Akut
Menurut Moorhead.,et al dalam buku NOC (2018-2020:271),
sedangkan menurut Butcher dalam buku NIC (2018-2020:180
dan 249) perencanaan yang dapat ditegakkan:
RENCANA
No
Tujuan Dan Kriteria Tindakan
Dx.
(Noc Dan Indikator) (NIC dan Aktivitas)
1 NOC : Kontrol Nyeri NIC 1 : Manajemen Nyeri : Akut
Tujuan : Pasien mampu mengontol Aktivitas:
nyeri secara efektif setelah dilakukan 1. Identifikasi intensitas nyeri
tindakan keperawatan sampai selam pergerakan
tanggal.........., dengan indikator : misalnya aktifitas yang
diperlukan sema
No Indikator 1 2 3 4 5 pemulian,(batuk dan nafas
1 Mengenali dalam ,ambulasi, taner ke
kapan nyeri kursi)
terjadi 2. Berikan analgesik 24-48
2 Menggambar jam setelah pembedahan
kan nyeri truma atau cedera kecuali
3 Melakukan jika status sedasi atau
teknik pernafasan atau
relaksasi kebalikannya
efektif 3. Sediakan informasi akurat
4 Mendapatkan pada keluarga dan pasien
informasi mengenai pengalaman
mengenai nyeri pasien.
kontrol nyeri 4. Beritahukan dokter jika
5 Melaporkan kontrol nyeri tidak berhasil
nyeri yang
terkontrol NIC 2 : Pemberian Analgesik
Aktivitas :
9
Keterangan : a. Monitor tanda vital setelah
1. Tidak pernah menunjukan dan sebelum pemberian
2. Jarang menunjukan analgesik
3. Kadang-kadang menunjukan b. Lakukan pola komunikasi
4. Sering menunjukan yang efektif diantara
5. Secara konsisten menunjukan pasien, keluarga, dan
pemberi perawatan untuk
mencapai manajemen
nyeri yang adekuat
c. Dokumentasi respon
terhadap analgesik dan
adanya efek saping
d. Kolaborasi dengan dokter
apakah dosis, obat, rute
pemberian atau perubhan
interval yang dibutuhkan ,
buat rekomendasi khusu
berdasarkan prinsip
analgesik
10
b. Retensi Urin
Menurut Tim Pokja dalam buku SLKI DPP PPNI (2018:24)
dan SIKI DPP PPNI (2018:175 dan 238), perencanaan yang dapat
ditegakkan :
No Rencana
Dx Tujuan dan Kriteria Tindakan
. (SLKI dan Indikator) (SIKI dan Aktivitas)
1 SLKI : Eliminasi urin SIKI 1 : Manajemen eliminasi urin
Tujuan : Pasien mampu mencapai Aktivitas :
eliminasi urin secara efektif setelah 1. Indentifikais tanda dan
dilakukan tindakan keperawatan gejala retensi atau
sampai tanggal.........., dengan inkontinensia urin
indikator : 2. Catat waktu-waktu
haluaran berkemih
No Indikator 1 2 3 4 5 3. Ajarkan mengenali tanda
1 Berkemih tidak berkemih dan waktu yang
tuntas tepat untuk berkemih
(hesitancy) 4. Kolaborasi pemberrian obat
2 Volume residu suposituria uretra, jika perlu
urin
3 Urin menetes SIKI 2 : Pemantauan cairan
(dribbling) Aktivitas :
4 Frekuensi BAK 1. Monitor frekuensi dan
Keterangan 4-5 :
1. Memburuk
2. Cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup membaik
5. Membaik
11
12
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1 Cetakan 3. Dewan Pengurusan Pusat PPNI, Jakarta.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan (SIKI), Edisi 1 Cetakan 2. Dewan
Pengurus Pusat PPNI, Jakarta.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (SLKI). Dewan Pengurus Pusat
PPNI, Jakarta.
13