Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN GANGGUAN MUSKULUSKELETAL

FRAKTUR

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu


Syarat

Tugas Praktik Klinik Keperawatan

Dosen Pembimbing:

Budi

Kristanto,S,Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :

Elisabet Putri Pamungkas

2020.020

DIPLOMA III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI KOSALA SURAKARTA

2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Sistem muskuluskeletal fraktur ”.Laporan Pendahuluan
ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Dra. Endang Dwi Ningsih,M.M, selaku Direktur Stikes Panti Kosala
Surakarta.
2. Bapak Budi Kristanto,S,Kep.,Ns.,M.Kep selaku pembimbing laporan
pendahuluan praktik KDM.
3. Dosen Stikes Panti Kosala Surakarta, yang telah memberi bekal ilmu yang
besar manfaatnya bagi penulis.
4. Orang Tua tercinta yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan Laporan Pendahuluan
di waktu yang akan datang. Penulis berharap semoga Laporan Pendahuluan ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, 2021

Penulis

DAFTAR ISI
LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN GANGGUAN MUSKULUSKELETAL FRAKTUR

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Menurut Manurung ( 2018: 42 ),fraktur merupakan suatu pahatan
pada kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun tidak
langsung. Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi
tergantung pada jenis, kekuatan dan ranah trauma.
Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan, suatu
pengisutan atau perimpilin kortes, biasanya patahan itu lengkap dan
fragmen tulang bergeser. Kalau kulit bagian atas masih utuh, keadaan ini
disebut fraktur tertutup (fraktur sederhana ), kalau kulit atau salah satu
rongga tubuh tertembus keadaan ini disebut fraktur terbuka (Fraktur
compound) yang cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi.

Menurut Linda (2016 : 1624),fraktur adalah semua kerusakan


pada kontinuitas tulang fraktur beragam dalam hal keparahan
berasarkan lokasi dan jenis fraktur. Meskipun fraktur terjadi pada semua
kelompok usia,kondisi ini lebih umum pada orang yang mengalami
trauma yang terus menerus dan pada pasien lansia.

2. Etiologi
Menurut Manurung Nixson ( 2018: 43-44 ) penyebab dari fraktur adalah :
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur vector kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya dan penarikan.

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang,


dimana trauma tersebut kekuatanya melebihi kekuatan tulang, 2 faktor
yang mempengaruhi terjadinya fraktur :

a. Ekstrinsik meliputi kecepatan dari durasi trauma yang mengenai


tulang, arah dan kekuatan trauma.
b. Instrisik meliputi kapasitas tulang mengabsobsi energi trauma,
kelenturan, kekuatan dan densitas tulang.
Setelah fraktur lengkap, fragmen fragmen biasanya bergeser.
Sebagian oleh gaya berat dan sebagian oleh tarikan otot yang melekat
padanya. pergeseran biasanya disebut dengan aposisi, penjajaran
(alignment), rotasi dan berubahnya panjang.

Semua fraktur terbuka harus dianggap terkontaminasi, sehingga


mempunyai potensi untuk terjadi infeksi. Pada fraktur tulang dapat terjadi
pergeseran fragmen-fragmen tulang. Pergeseran fragmen bias
diakibatkan adanya keparahan cedera yang terjadi,gaya berat,maupun
tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran fragmen fraktur akibat
suatu trauma dapat berupa :

a. Aposisi (pergeseran kesamping /sideways, tumpeng tindih dan


berhimpitan /overlapping, bertubrukan sehingga saling
tancap/impacted) fragmen dapat bergerak ke samping, ke belakang
atau kedepan dalam hubunganya dengan satu sama lain, sehingga
permukaan fraktur kehilangan kotak. Fraktur biasanya akan menyatu
sekalipun posisi tidak sempurna, atau sekali pun ujung ujung tulang
terletak tidak berkontak sama sekali.
b. Angulasi (kemiringan /penyilangan antara kedua aksis fraktur)
fragmen dapat miring atau menyudut dalam hubunganya satu sama
lain.
c. Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur pada sumbu panjang) salah satu
fragmen dapat berotasi pada poros longutidinal, tulang itu tampak
lurus tetapi tungkai akhirnya mengalami deformitas rotasional.
d. Panjang (Pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau
overlapping antara fragmen fraktur) fragmen dapat tertarik dan
terpisah atau dapat tumpang tindih, akibat spasmen otot,
menyebabkan pemendekan tulang.

Hubungan garis fraktur dengan energi trauma :

Garis Fraktur Mekanisme Trauma Energi


Transversal,oblik,spiral(sedikit Angulasi/memutar Ringan
bergeser /masih ada kontak)
Butterfly,tranvesal(bergeser)sedikit Kombinasi Sedang
kominuti
Segmen kominutif(sangat Variasi Berat
bergeser)

3. Patofisiologi
Menurut Linda (2016 : 1624),fraktur terjadi ketika tulang terajan ke
energi kinetik yang lebih besar daripada yang daat diabsorbsi. Fraktur
dapat terjadi akibat pukulan langsung, kekuatan tabrakan, gerakan
memutar tiba-tiba, kontraksi otot tertentu, dan enyakit yan melemahkan
tulang. Fraktur ada orang dewasa diklasifikasikan ada cara berikut :
a. Fraktur tertutup, jika kulit masih utuh. Jika integritas kulit tergangguu
dinamakan fraktur terbuka.
b. Fraktur komplet, melibatkan seluruh lebar tulang, sedangkan fraktur
tidak komplet hanya melibatkan bagian lebar pada tulang.
c. Garis fraktur dapat oblik (pada sudut tulang) atau spiral (melengkun di
sekitar tulang).
d. Faktur stabil adalah salah satu tulang mempertahankan kesejajaran
anatomiknya.

PATOFLOW DIAGRAM

Kekerasan langsung Kekerasan tidak Kekerasan akibat


langsung tarikan otot

Aposisi Angulasi Rotasi Panjang Tulang


Fraktur

Fraktur Fraktur
terbuka tertutup

Cereda jaringan Membram fasia


lunak tidak dapat
menyongkong

Nyeri
Nadi perifer Sianosis
menurun
Kesemutan
Kelelahan
Nyeri
akut
Hambatan
mobilitas
fisik

4. Manifestasi klinis
Menurut Linda (2016 : 1625-1626),fraktur sering kali disertai
dengan cedera jaringan lunak yang melibatkan otot, arteri, saraf, atau
kulit. Derajat ketrbilabtan jaringan lunak bergantung pada jumlah energgi
aatau kekuatan yang diberikan ke area.
a. Manifestasi awal
1) Nyeri akut
2) Nadi perifer normal atau turun
b. Manifestasi lanjut
1) Sianosis
2) Kesemutan, kehilanan sensasi
3) Kelehaman
4) Nyeri hebat, khususnya ketika ekstremitas fleksi secara pasif

Sindrom komparten adalah Otot, saraf, dan pembkuh darah


eksstremitas tertutup dengan membran fibrosa atau fasia, yang tidak
dapat dihabiskan, mnyonkong jaringan ini. Sindrom kompartem terjadi
ketika terjadi tekanan dalam ruang mengalami konstraksi dan menjerat
struktr di dalamnya.

5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Manurung ( 2018: 47- 48),pemeriksaan penunjang fraktur
adalah :
a. Pemeriksaan Fisik
Jaringan yang mengalami cedera juga harus ditangani dengan
hati-hati Untuk menimbulkan krepitus atau gerakan yang abnormal
tidak perlu menimbulkan nyeri, diagnosis dengan foto rontgen lebih
dapat diandalkan. Namun butir-butir pemeriksaan klinik yang biasa
harus selalu dipertimbangkan, kalau tidak kerusakan pada arteri dan
saraf dapat terlewatkan Pemeriksaan yang dilakukan adalah:
1) Look (inspeksi)
Pembengkakan,memar,dan deformitas mungkin terlihat jelas
tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak
2) Feel (palpasi)
Terdapat nyeri tekan setempat,tetapi perllu juga memeriksa
bagian distaldari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji
sensasi
3) Movement (Gerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditentukan,tetapi lebih
penting untuk menanyakan apakah pasien dapat mengerakan
sendi-sendi di bagian distal dari cidera.

b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan
keparahan kerusakan tulang dan jaringan lunak yang berhubungan
dengan derajat energi dari trauma itu sendiri .Untuk menghindari
kesalahan maka di kenal formulasi dua yaitu :
1.) Dua pandangan
Fraktur atau dislikasi mungkin tidak terlihat pada film rotgen
tunggal,dan sekurang-kurangnya harus dilakukan dua sudut
pandang (anteroposterior dan lateral)
2.) Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki,satu tulang dapat mengalami
fraktur dan angulasi.Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali
kalua tulang yang lain juga patah,atau suatu sendi mengalami
dislokasi,Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus
disertai pada foto rotgen
3.) Dua tungkai
Pada rotgen tulang anak-anak epifissis normal dapat
mengacaukan diagnosis fraktur.Foto pada tungkai yang tidak
cidera akan bernanfaat.
4) Dua cidera
Kekuatan yang hebat sering mengakibatkan cedera
berlebihan dari satu tingkat.Karena itu,bila ada fraktur pada
kalkaneus atau femur perlu juga di ambil foto rotgen
5) Dua kesempatan
Segera setelah cedera,suatu fraktur(skafoid karpal)mungkin sulit
di lihat.Kalau ragu-ragu sebagai resopsi tulang,pemeriksaan lebih
jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan diagnosa.
c. Pencitraan Khusus
Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata
pada foto rontgen biasa. Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal
atau fraktur kondilus tibia CT atau MRI mungkin merupakan satu-
satunya cara untuk menunjukkan apa kah fraktur vertebra
mengancam akan menekan medulla spinalis, sesungguhnya potret
transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat
pada tempat yang sukar misalnya kalkaneus atau asetabulum, dan
potret rekonstruksi tiga dimensi bahkan lebih baik. Scanning
radioisotop berguna untuk mendiagno sis fraktur tekanan yang
dicurigai atau fraktur tidak bergeser yang lain.

6. Penatalaksanaan

Menurut Manurung ( 2018: 49-55), penatalaksanaan fraktur adalah:

a. Penanganan fraktur terbuka

Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan


kecepatan diagnosis pada penanganan agar komplikasi terhindar
dari kematian atau kecacatan Penatalaksanaan fraktur terbuka
derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan
resusitasi sesuai dengan indikasi, pembersihan luka dengan
irigasi, eksisi jaringan mati dan debridement, pemberian antibiotik
(sebelum, selama dan sesudah operasi), pemberian anti tetanus,
penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitif
dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih
inflamasi/infeksi dan sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali
dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca trauma.

Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum


adalah sebagai berikut:

1.) Pertolongan pertama

Secara umum untuk mengurangi dan menghilangkan nyeri


dan mencegah gerak-gerak fragmen yang dapat merusak
jaringan sekitar

2.) Resusitasi

Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life


Support) dengan memberikan penanganan sesuai prioritas
(resusitasi),bersamaan itu pula dikerjakan penanganan fraktur
terbuka agar terhindar dari komplikasi.Tindakan resusitasi
dilakukan Ketika ditemukan tanda syok
hipovolemik,gangguan nafas atau denyut jantung karena
fraktur terbuka sering kali bersamaan dengan cidera organ
lain.

b. Mobilisasi GIPS (Plaster of paris)

Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen


fraktur tidak bergeser setelah dilakukan manipulasi/reposisi atau
sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar tercapai
imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak meru sak jaringan
lunak disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah
murah dan mudah digunakan oleh setiap dokter, non toksik,
mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota gerak,
bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihan.

Pada fraktur terbuka derajat III, dimana terjadi kerusakan jari


ngan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi, penggunaa gips
untuk stabilisasi fraktur cukup beralasan untuk mempermudah
perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi penggunaan
gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang
secondary bone healing dengan pembentukan kalus

c. Pemasangan fiksasi

Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang


paling diperlukan dalam stabilisasi fraktur pada umumnya
termasuk fraktur kruris terbuka derajat III Pilihan metode yang
dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam,yaitu:

1.) Pemasangan plate and screws

Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka


mempunyai risiko tinggi terjadi komplikasi infeksi, non-union
dan refraktur Pada penelitian awalnya pemasangan plat pada
fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan
penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus
Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur
Tapi pada kenyataan nya terjadi osteogenesis meduler dan
sedikit pembentukan kalus periosteum.

Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada


pemasangan plat itu sen diri telah mengganggu vaskularisasi
ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran
darah yang menyebabkan nonunion Mengatasi permasalahan
ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara
lain LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan
ada yang mem buat inovasi baru dengan merekonstruksi plat
yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang banyak
sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter. 1997 cit Trafton
2000)

Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan


irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum,
fascia dan otot karena dapat mengakibatkan non-union.
Penutupan kulit di atas plat sering mengalami kesulitan dan
dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial Untuk
pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan
pemasangan plat di bawah kulit dan sekrup langsung
dipasang ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi

2.) Pemasangan screws or wires

Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang


menghasilkan fraktur yang sta bil. Pemasangan screw banyak
digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler dan periartikuler,
baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan
dengan pemasangan plat atau external fixation device.
(Behrens, 1996).

Pemasangan intramedullary nails/rodsPada


pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan
ujung ujung fragmen fraktur diafisis mengalami robekan
periosteum kehilangan blood supply sehingga meningkatkan
kejadian infeksi dan non-union. Beberapa penelitian awal
menyimpulkan bahwa penggunaan undreamed intramedullary
nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap
vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk
stabilisasi fraktur terbuka derajat I, II dan III A, sedangkan
untuk derajat IIIB dan IIIC sementara disarankan dengan
traksi atau fiksasi luar

3.) Pemasangan external fixation devices

Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi


luar daripada pema sangan plat. Menurut Van der Linden dan
Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat disbanding
konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada
pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan
osteo mielitis Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan
memerlukan operasi berulang kali. Sedangkan Clifford et al.
(1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk
stabilisasi fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur
avulse

Menurut Bach dan Hansen (1989) yang


membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada
fraktur kruris terbuka menyimpul kan bahwa pemasangan plat
kurang ideal pada fraktur terbuka derajat II dan III (cit Court-
Brown et al., 1996). Penggunaan fiksasi luar yang pernah sa
ngat popular di Eropa dan Amerika mempunyai risiko
terjadinya komplikasi pada tempat masuknya pin (pin tract
infection) sebesar 20-42 %, dan risiko terjadi malunion
sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat
pelepasan fiksasi yang terlalu awal setelah lama pemasangan.
Pada fraktur diafisis tibia, pemasangan fiksasi luar dengan
unilateral frame external fixator merupakan indikasi, tetapi
pada fraktur yang tibia proksimal atau lebih distal penggunaan
multiplanar external fixator yang lebih cepat.

7. Komplikasi

Menurut Linda Ayu (2016 : 1626) Komplikasi yang dapat terjadi


antara lain :
a. Edema dan hemoragi
b. Terjadinya emboli lemak
c. Trombosis vena profunda
d. Gangguan penyembuhan
e. Gangguan neural

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian pada Pasien Fraktur
Menurut Linda (2016 : 1631 dan 1642), hal-hal yang perlu dikaji
yaitu :
a. Riwayat kesehatan : Usia, riwayat kejadian traumatis, riwayat cedera
muskuloskeletal sebelumnya, kesakitan kronik, medikasi (minta
lansia menyebutkan secara spesifik mengenai antikoagulan dan
suplemen kalsium).
b. Pengkajian fisik :
1) Nyeri saat bergerak, nadi, edema, warna kulit dan suhu,
deformitas, rentang gerak, sentuhan. 5P pengkajian
neurovaskular, seperti berikut ini, disertakan pada pengkajian
awal dan fokus pengkajian yang terus-menerus:
a) Nyeri (pain). Kaji nyeri di ekstremitas yang cedera dengan
meminta pasien membuat tingkatan pada skala paling 0
hingga hebat.10, dengan skala 10 sebagai nyeri paling hebat.
b) Nadi (pulse). Pengkajian nadi distal dimulai dengan
ekstremitas yang tidak terkena. Bandingkan kualitas nadi di
ekstremitas yang terkena dengan yang tidak terkena.
c) Kepucatan (palor). Observasi kepucatan dan warna kulit di
ekstremitas yang cedera. Pucat dan dan dingin dapat
mengindikasikan penurunan arteri, sedangkan hangat dan
warna kebiruan dapat mengindikasikan genangan darah
vena. Kaji capillary refill, bandingkan ekstremitas yang
terkena dan yang tidak terkena.
d) Paralisis/Paresis. Kaji kemampuan untuk memindahkan
bagian tubuh distal ke tempat fraktur. Ketidakmampuan untuk
berpindah mengindikasikan paralisis. Kehilangan kekuatan
otot (kelemahan) ketika bergerak adalah paresis. Temuan
keterbatasan rentang gerak dapat mengarah ke pengenalan
dini masalah seperti kerusakan saraf dan paralisis.
e) Parestesia. Tanyakan pasien ada atau tidak adanya
perubahan dalam hal sensasi, seperti terbakar, baal,
perasaan berduri, atau menyengat (semua ini adalah
parestesia) terjadi. Kaji sensasi distal terhadap cedera,
termasuk kemampuan untuk membedakan sentuhan tajam
dan tumpul serta membedakan dua titik.

2. Diagnostik
a. Radiografi
b. Pemeriksaan darah lengkap

3. Diagnosa Keperawatan
Menurut Linda (2016: 1646), diagnosa keperawatan yang dapat
ditegakkan pada pasien fraktur adalah :
a. Nyeri akut y.b.d fraktur.
b. Gangguan mobilitas fisik y.b.d tirah baring.
c. Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer y.b.d ketidakstabilan
tulang dan pembengkakan.
d. Risiko gangguan persepsi sensori y.b.d risiko gangguan saraf.
Berikut ini merupakan pengkajian NANDA internasional Herdman dan
Kamitsuru (2018 : 445 ) :
a. Diagnosa - I : Nyeri Akut
1.) Definisi : Pengalaman sensoria tau emosional tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau
potensial,atau yang digambarkan sebagai kerusakan
(international association for the study of pain ) lambat dengan
intensitas ringan hingga berat,dengan berakhirnya dapat
diantisipasi atau diprediksi,dan dengan durasi kurang lebih 3
bulan

2.) Batasan Karakteristik


a) Perubahan selera makan
b) Perubahan parameterfisiologis
c) Diaphoresis
d) Perilaku distraksi
e) Bukti nyeri dengan standar periksa nyeri
f) Perilaku ekspresi
g) Ekspresi wajah nyeri
h) Sikap tubuh melindungi
i) Putus asa
j) Sikap melindungi area nyeri
3.) Faktor yang berhubungan
a) Agens cedera biologis
b) Agens cedera kimiawi
c) Agens cedera fisik
Selain itu diagnosa pada pasien dengan gangguan fraktur menurut SDKI-
I Tim Pokja DPP PPNI (2016 :124 ) adalah sebagai berikut :
b. Diagnosa - II : Gangguan Mobilitas Fisik

1) Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih


ekstremitas secara mandiri.
2) Penyebab
a) Kerusakan integritas struktur tulang.
b) Perubahan metabolisme.
c) Ketidakbugaran fisik.
d) Penurunan kendali otot.
e) Penurunan massa otot.
f) Penurunan kekuatan otot.
g) Keterlambatan perkembangan.
h) Kekakuan sendi.
i) Kontraktur.
j) Malnutrisi.
k) Gangguan musculoskeletal
l) Gangguan neuromuskular.
m) Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia.
n) Efek agen farmakologis
o) Program pembatasan gerak
p) Nyeri.
q) Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik.
r) Kecemasan.
s) Gangguan kognitif.
t) Keengganan melakukan pergerakan.
u) Gangguan sensori persepsi
3) Gejala dan tanda
a) Mayor
(1) Subjektif
Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas
(2) Objektif
(a) Kekuatan otot menurun
(b) Rentang gerak (ROM) menurun

b) Minor
(1) Subjektif
(a) Nyeri saat bergerak.
(b) Enggan melakukan pergerakan.
(c) Merasa cemas saat bergerak
(2) Objektif
(a) Sendi kaku.
(b) Gerakan tidak terkoordinasi.
(c) Gerakan terbatas.
(d) Fisik lemah
4)Kondisi klinis terkait
a) Stroke
b) Cedera medulla spinalis
c) Trauma
d) Fraktur
e) Osteoarthritis
f) Ostemalasia
g) Keganasan

4. Perencanaan Keperawatan
Menurut Herdman dan Kamitsuru (2018 : 445 ),Moorhead, et.Al.,
(2018 :271),dan Butcher, et. Al., (2018 : 180 dan 249),Diagnosa NOC,
dan NIC pada pasien fraktur adalah :
Nanda 1: Nyeri Akut
a. NOC 1 : Kontrol Nyeri
1.) Definisi : Tindakan Pribadi untuk menghilangkan atau
menurunkan nyeri
2.) Tujuan : Pasien mampu mengontrol nyeri secara optimal pada
tanggal ... dengan indicator

No Indikator 1 2 3 4 5

1. Mengenali kapan nyeri terjadi

2. Menggambarkan faktor penyebab


3. Menggambarkan nyeri

4. Menggunakan analgesik yang


direkomendasikan

5. Mengenali apa yang terkait dengan


gejala nyeri

Keterangan :
1. Tdk menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5.Secara konsisten menunjukan

b. NIC 1 : Manajemen Nyeri


1.) Definisi : Pengurangan atau reduksi nyeri sampai pada tingkat
kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien
2.) Aktifitas
a) Lakukan pengkajian komprehensif yang meliputi
lokasi,karakteristik,onset,frekuensi,dan
kualitas ,intensitas ,serta apa yang mengurangi nyeri
dan faktor yang memicu
b) Identifikasi intensitas nyeri selama pergerakan
c) Gali bersama pasien faktor-faktor yang dapat
menurunkan atau memperbesar nyeri.
d) Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri
dalam interval yang spesifik.
e) Dukung istirahat atau tidur yang adekuat untuk
membantu penurunan nyeri.
f) Dorong pasien untuk menggunakan obat-obatan
penurun nyeri yang adekuat.
g) Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup pasien (misalnya: tidur, nafsu makan,
pengertian, perasaan, hubungan, performa kerja dan
tanggung jawab peran).
h) Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan dan antsipasi
dari ketidakseimbangan akibat prosedur.
i) Berikan informasi yang akurat yang meningkatkan
pengetahuan dan respon keluarga terhadap analgesik
pengalaman nyeri.
j) Pastikan keperawatan analgesik bagi pasien dilakukan
dengan pemantauan yang ketat.
k) Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan tim
kesehatan lainnya untuk tindakan penurunan nyeri
nonfarmakologi sesuai kebutuhan.
l) Beri tahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika
keluhan pasien saat ini berubah signifikan dari
pengalaman nyeri sebelumnya.
c. NIC 2 : Pemberian Analgesik
1.) Definisi : Penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi
atau menghilangkan nyeri
2.) Aktivitas :
a) Lakukan pola komunikasi yang efektif diantara
pasien,keluarga untuk mencapai manajemen nyeri
yang adekuat
b) Tentukan respon pasien sebelumnya terhadap
analgesic
c) Monitor tanda tanda vital sebelum dan setelah
memberi analgesic
d) Bantu pasien untu memilih aktivitas non
farmakologi yang mengurangi nyeri
e) Berikan jaminan bahwa pasien tidak memiliki resiko
untuk menggunakan opoid
f) Informasikan ke pasien yang mendapat narkotika
bahwa rasa ngantuk kadang terjadi 2-3 hari
pertama
g) Instruksikan pasien dan keluarga tentang
penggunaan analgesic
h) Kolaborasi dengan dokter apakah obat,dosis,rute
pemberian,atau perubahan,interval
dibutuhkan,buat rekomendasi khusus

Menurut SDKI-I Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016 :124),SLKI-I Tim Pokja
DPP PPNI (2018 : 65), SIKI-I Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2018 : 30 dan 22)
untuk ditegakkan pasien fraktur adalah :
a. SDKI : Gangguan mobilitas fisik
b. SLKI-I : Mobilitas fisik
1) Definisi : Kemampuan dalam gerakan fisik dan satu atau lebih
ektremitas secara mandiri
2) Tujuan : Pasien mampu mencapai mobilitas fisik secara mandiri
pada tanggal ... dengan indicator

No Indikator 1 2 3 4 5

1. Kekuatan otot

2. Rentang gerak (ROM)

3. Nyeri

4. Kaku sendi

5. Kelemahan fisik

Keterangan :
(1-2) (3-5)
1. Menurun 1. Meningkat
2. Cukup menurun 2. Cukup Meningkat
3. Sedang 3. Sedang
4. Cukup meningkat 4. Cukup Menurun
5. Meningkat 5. Menurun
c. SIKI-I : Dukungan Mobilisasi
1) Definisi : Memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas
pergerakan fisik.
2) Tindakan
a) Observasi
(1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
(2) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan.
(3) Monitor frekuensi jantug dan tekanan darah sebelum
memulai mobilisasi.
(4) Monitor kondisi umum selama selaku melakukan mobilisasi

b) Terapeutik
(1) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar
tempat tidur).
(2) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu.
(3) Libatkan kelurga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan.
c) Edukasi
(1) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
(2) Anjurkan melakuakn mobilisasi dini.
(3) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis.
duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi).

d. SIKI-II : Dukungan Ambulasi


1.) Definisi :Memfasilitasi Pasien untuk meningkatkan aktivitas
berpindah.
2.) Tindakan
a) Observasi
1.) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainya
2.) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
3.) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
memulai ambulasi
4.) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
b) Terapeutik
1.) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
(mis.tongkat,kruk)
2.) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
3.) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
c) Edukasi
1.) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
2.) Anjurkan melakukan ambulasi dini
3.) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
(mis.berjalan dari tempat tidur ke kursi roda,berjalan
dari tempat tidur ke kamar mandi,berjalan sesuai
toleransi )

DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, M Gloria Et Al. 2018.Nursing Interventions Classifikation (NIC) Edisi
Ketujuh. Alih Bahasa Intansari Nurjannah. CV Mocomedia, Indonesia.

Herdman, T Heather dan Shigemi Kamitsuru. 2017. NANDA Internasional Inc

Linda Ayu.2016.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan Respirasi Dan


Gangguan Muskuluskeletal.Jakarta :ECG.

Manurung nixsom.2018.Keperawatan Medikal Bedah : Konsep, Mind Mapping Dan


Nanda Nic Noc.Jakarta : CV.Trans Info media.

Tim Pokja.2018.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III


(Revisi).Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja.2018.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III


(Revisi).Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja.2019.Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III


(Revisi).Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai