Anda di halaman 1dari 47

TUGAS MATA KULIAH

KAJIAN PEMBELAJARAN SOSIAL BUDAYA, ETIKA &


KARAKTER

KONSEP DASAR ETIKA DAN KARAKTER

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Eri Sarimanah, M.Pd.
Dr. Tustiyana Windiyani, M.Pd.

Disusun oleh :
TINI AGUSTIANI
NPM. 072822007

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN DASAR


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PAKUAN
2023
KONSEP DASAR ETIKA DAN KARAKTER
A. KONSEP DASAR ETIKA
1. Pengertian Etika

Secara bahasa kata ‘etika’ lahir dari bahasa Yunani ethos yang artinya tampak dari suatu
kebiasaan. Dalam hal ini yang menjadi perspektif objeknya adalah perbuatan, sikap, atau
tindakan manusia. Pengertian etika secara khusus adalah ilmu tentang sikap dan
kesusilaan suatu individu dalam lingkungan pergaulannya yang kental akan aturan dan
prinsip terkait tingkah laku yang dianggap benar.

Sedangkan pengertian etika secara umum adalah aturan, norma, kaidah, ataupun tata cara
yang biasa digunakan sebagai pedoman atau asas suatu individu dalam melakukan
perbuatan dan tingkah laku. Penerapan norma ini sangat erat kaitannya dengan sifat baik
dan buruknya individu di dalam bermasyarakat.

2. Pengertian Etika Menurut Para Ahli

Berikut ini adalah penjabaran secara singkat mengenai pengertian etika dari beberapa
ahli.

a. Aristoteles

Aristoteles merupakan seorang filsuf asal Yunani dan murid dari Plato berpendapat
dengan membagi etika menjadi 2 pengertian, yakni Terminius Technicus dan Manner
and Cutom.

Terminius Technicus merupakan etika sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari


problema tingkah laku atau perbuatan individu (manusia), sedangkan Manner and
Cutom merupakan pengkajian etika berkaitan dengan tata cara dan adat yang melekat
dalam diri individu, serta terkait dengan baik dan buruknya tingkah laku, perbuatan,
ataupun perilaku individu tersebut.

b. W. J. S. Poerwadarminta

Wilfridus. J. S Poerwadarminta merupakan salah satu tokoh sastra Indonesia,


mengemukakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan terkait perbuatan dan perilaku
manusia dilihat dari sisi baik dan sisi buruknya yang ditentukan oleh manusia pula.

2
c. Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja

Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja merupakan salah satu tokoh pendidikan di


Indonesia, memberikan definisi bahwa etika adalah suatu ilmu yang memberikan
arahan, acuan, dan juga pijakan pada suatu perilaku atau perbuatan manusia.

d. Louis O. Kattsoff

Kattsoff memberikan pandangan bahwa etika pada hakikatnya lebih cenderung


berkaitan dengan asas-asas pembenaran dalam relasi tingkah laku antarmanusia.

e. H. A Mustafa

H. A. Mustafa mengemukakan pengertian etika adalah ilmu yang menelaah suatu


tingkah laku atau perbuatan manusia dari segi baik dan buruknya dengan
memperhatikan perilaku manusia tersebut sejauh yang diketahui oleh akal pikiran
manusia.

f. K. Bertens

Menurut K. Bertens, pengertian etika, yakni:


Etika adalah nilai moral dan norma yang menjadi pedoman, baik bagi suatu individu
maupun suatu kelompok, dalam mengatur tindakan atau perilaku. Dengan kata lain,
pengertian ini disebut juga sebagai sistem nilai di dalam hidup manusia, baik
perorangan maupun bermasyarakat.

Etika berarti ilmu mengenai baik dan buruknya manusia (moral).

Kemudian, etika juga diartikan sebagai kumpulan nilai moral dan asas (kode etik).

g. Prof. Robert Salemon

Menurutnya, etika adalah karakter atau kepribadian suatu individu atau hukum sosial
yang mengendalikan, mengatur, juga membahas terkait perilaku individu.

h. Sumaryono

Sumaryono mendefinisikan etika sebagai studi yang membahas mengenai suatu


kebenaran dari tindakan atau perilaku manusia atas kodrat atau fitrah yang memang
sudah melekat pada diri manusia itu.

3
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan suku, bangsa, agama, adat istiadat, dan
lainnya. Selain itu, beragam pula pandangan antarindividu yang satu dengan lainnya.
Pancasila lahir sebagai pedoman bangsa Indonesia yang mana di dalamnya memuat 5 sila
sebagai petunjuk dalam bermasyarakat.

3. Ciri-Ciri atau Karakteristik Etika

Berikut akan dijabarkan ciri-ciri ataupun karakteristik dari etika.

a. Etika Bersifat Mutlak atau Absolut

Etika mempunyai sifat mutlak atau absolut berarti sebuah etika berlaku untuk siapa
saja, di mana saja, dan kapan saja. Etika sebagai prinsip yang tidak dapat
dinegosiasikan dan tidak pula tergantung dengan dasar moral yang berubah-ubah.

Sebagai contoh, membunuh dan merampas hak atau milik orang lain merupakan
perbuatan dan tindakan yang tidak bermoral apapun itu alasannya.

b. Etika Tetap Berlaku Meskipun Tanpa Disaksikan oleh Orang Lain

Umumnya, etika tetap berlaku meskipun tidak disaksikan oleh siapapun. Hal itu
karena etika berkaitan dengan hati nurani dan prinsip hidup manusia yang baik.

Sebagai contoh, apabila ada individu yang mencuri meskipun tak diketahui oleh orang
lain, tetap saja itu itu merupakan suatu tindakan yang telah melanggar etika dan norma
yang berlaku. Sehingga bagaimanapun juga moral dari individu tersebut akan buruk,
meski tidak dijerat oleh aparat penegak hukum sekalipun.

c. Etika Berhubungan dengan Cara Pandang Batin Manusia

Etika, yakni cara perspektif batin yang berhubungan dengan baik dan buruknya suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia atau individu.

Pada hakikat, setiap manusia tentu diajarkan berbagai hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Maka lambat laun manusia akan mengetahui perkara yang baik dan buruk
sehingga akan terbentuk dan tertanam di hatinya.

Hal ini tentunya akan memunculkan perdebatan dalam diri manusia apabila ingin
melakukan perbuatan yang buruk atau jahat.

4
d. Etika Berhubungan dengan Perbuatan, Perilaku, dan Tingkah Laku Manusia

Etika sangat erat kaitannya dengan perilaku, perbuatan, dan tingkah laku suatu
individu. Dengan begitu, umumnya, etika akan terbentuk secara alami akibat adanya
perilaku, perbuatan, dan tingkah laku dari individu tersebut.

Perilaku dan perbuatan yang buruk dianggap sebagai etika yang buruk, sedangkan
perilaku dan perbuatan yang baik maka dianggap sebagai etika yang baik pula.

Intinya, bagaimanapun juga etika sangat amat berkaitan dengan perilaku dan perbuatan
yang dilakukan oleh individu itu sendiri.

Etika bukan hanya diperlukan di lingkungan bermasyarakat saja, melainkan juga di


lingkungan profesi. Setiap profesi pasti erat kaitannya dengan etika terkait nilai,
norma, dan kewajiban moral. Maka dari itu, setiap anggota suatu profesi harus sadar
bahwa pekerjaannya memiliki keterlibatan moral tertentu. Buku Etika Profesi
membahas secara jernih mengenai peranan etika dalam profesi, masalah khusus dalam
etika profesi, seperti otonomi dalam profesi dan kesulitannya, dan tentunya masih
banyak lagi yang dibahas di dalam buku ini.

4. Macam-Macam Etika

Berikut ini merupakan pembahasan mengenai apa saja macam-macam etika berdasarkan
jenisnya, cakupannya, lingkungannya, dan sumbernya. Simak penjelasan di bawah ini.

a. Etika Berdasarkan Jenisnya

Menurut jenisnya, ada dua jenis-jenis etika di antaranya etika normatif dan etika
deskriptif. Berikut penjabarannya secara singkat.

1). Etika Normatif

Etika normatif adalah jenis etika yang berusaha menentukan dan


menetapkanberbagai perilaku, perbuatan, sikap ideal yang seharusnya dimiliki
oleh tiap individu di dalam hidup ini.

5
2). Etika Deskriptif

Etika deskriptif adalah jenis etika yang berusaha memandang perilaku dan sikap
individu, serta apa yang individu itu kejar di dalam hidup ini atas perkara yang
memiliki nilai.

b. Etika Berdasarkan Cakupannya

Menurut cakupannya, ada dua jenis-jenis etika, yaitu etika khusus dan etika umum.
Berikut penjabarannya secara singkat.

1). Etika Khusus

Etika khusus merupakan jenis etika yang menjadi suatu implementasi dari prinsip
atau asas moral di dalam kehidupan individu secara khusus.

2). Etika Umum

Etika umum merupakan jenis etika yang berkaitan dengan situasi dan kondisi
dasar mengenai perilaku dan tindakan individu secara etis.

c. Etika Berdasarkan Lingkungannya

Berdasarkan lingkungannya, ada dua jenis etika, yaitu etika individual dan etika
sosial. Berikut penjabarannya secara singkat.

1). Etika Individual

Etika individual merupakan etika yang memiliki kaitannya dengan sikap dan
kewajiban dari individu atas dirinya sendiri.

2). Etika Sosial

Etika sosial merupakan jenis etika yang memiliki kaitannya dengan sikap dan
kewajiban, serta perilaku suatu individu sebagai umat manusia.

d. Etika Berdasarkan Sumbernya

Menurut sumbernya, ada dua jenis etika, di antaranya etika teologis dan etika
filosofis. Berikut penjabarannya di bawah ini.

6
1). Etika Teologis

Etika teologis adalah jenis etika yang berhubungan dengan agama juga
kepercayaan suatu individu, tanpa adanya batasan pada suatu agama tertentu. Ada
dua hal yang perlu ditekankan dalam etika teologis ini.

Pertama, etika teologis tidak dibatasi oleh satu agama saja, hal itu karena
mengingatnya banyaknya jumlah agama di dunia ini. Pada hakikatnya, setiap
agama pastinya memiliki etika teologisnya masing-masing berbeda dan juga
spesifik.

Kedua, etika ini merupakan secara lingkupan dari etika umum yang sebagian
besar individu telah menerapkan dan mengetahuinya. Etika umum ini condong
luas dan banyak dengan bagian-bagian yang tak terbatas. Sehingga tak langsung,
seorang individu memahami etika teologis dengan cara mengetahui dan
memahami pula dari etika umum, dan sebaliknya.

2). Etika Filosofis

Etika filosofis adalah jenis etika yang lahir dari kegiatan berpikir atau berfilsafat
yang dilakukan oleh individu dan termasuk dalam bagian dari filosofis
(berdasarkan filsafat).

Filsafat sebagai suatu bidang ilmu yang salah satunya mempelajari pikiran
manusia. Adapun etika filosofis dibagi menjadi dua sifat, yakni empiris dan non-
empiris.Empiris merupakan jenis filsafat yang erat kaitannya dengan sesuatu yang
nyata, berwujud, atau konkret. Contohnya, apabila suatu individu mengambil
salah satu bidang filsafat hukum, akan membahas terkait hukum

Kemudian, non-empiris merupakan bagian yang berupaya melebihi suatu yang


nyata, berwujud, atau konkret sebelumnya. Sifat non-empiris ini cenderung
menanyakan gejala konkret yang menyebabkannya.

5. Fungsi Etika

Tentu etika memiliki beberapa fungsi, yaitu:

7
a. Sebagai tempat untuk mendapatkan pandangan atau perspektif kritis yang berhadapan
langsung dengan berbagai suatu moral yang membingungkan.
b. Guna pandangan atau orientasi etis ini perlu adanya mengambil suatu sikap yang
wajar dalam situasi dan kondisi masyarakat yang majemuk (pluralisme).
c. Guna memperlihatkan suatu keterampilan berpikir jernih, yaitu suatu kebolehan untuk
berargumentasi secara kritis dan rasional.
d. Berfungsi sebagai pembeda mana yang boleh diubah dan mana yang tidak dapat
diubah.
e. Berfungsi menyelidiki suatu konflik atau permasalahan hingga ke akar-akarnya.
f. Berfungsi untuk membantu sebuah konsistensi.
g. Berfungsi untuk menyelesaikan konflik, baik konflik moralitas maupun konflik sosial
lainnya, dengan bentuk gagasan yang tersistematis juga kritis.
6. Manfaat Etika

Etika sebagai sesuatu yang melekat pada diri manusia, tentunya memiliki beberapa
manfaat di dalam kehidupan bermasyarakat dan bersosial. Berikut ini akan dijabarkan
secara singkat manfaat dari etika di kehidupan bermasyarakat.

a. Etika Bermanfaat sebagai Penghubung Antarnilai

Etika bisa dikatakan sebagai jembatan antarnilai satu dengan nilai yang lainnya.
Sebagai contoh, arti budaya dan nilai agama, dengan adanya etika maka dua hal ini
akan bisa jadi suatu kesatuan kebiasaan yang melekat di dalam masyarakat, tanpa ada
pihak yang merasa dirugikan sekalipun.

Dengan begitu, itu menunjukkan bahwa etika dikatakan mampu sebagai jembatan
antarnilai agama dan budaya. Pada buku Etika Praktis oleh Romo Al. Budyapranata,
PR dijelaskan mengenai nilai etika berdasarkan sepuluh perintah Allah yang ada.

b. Etika Bermanfaat sebagai Pembeda Antara yang Baik dan Buruk

Etika yang telah melekat pada diri individu lambat laun akan membuat individu
tersebut mengetahui dan memahami secara penuh terhadap hal atau sesuatu yang ada
di sekitarnya. Pemahaman yang dimaksud di atas adalah sesuatu yang dianggap baik
dan buruk.

8
Apabila individu sudah dapat membedakan yang baik dengan yang buruk dan
melakukan segala ‘sesuatu’ sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku, etika
akan menjadi suatu pedoman di mana individu itu mampu menerapkan ‘sesuatu’
tersebut.

c. Etika Bermanfaat untuk Menjadikan Individu Memiliki Sikap Kritis

Etika yang sudah lama tertanam pada diri individu membuat dirinya lebih kritis
dalam menghadapi sebuah kondisi dan situasi. Individu tersebut tak hanya pasrah
pada keadaan, melainkan ikut memikirkan jalan keluar atau solusi yang tepat.

Etika akan membuat individu menjadi pribadi yang tidak mudah terpengaruh karena
tentunya dirinya akan mempertimbangkan perasaan dengan pikirannya. Hal yang
utama adalah individu tak akan melakukan sesuatu atas keinginannya sendiri atau
gegabah.

d. Etika Bermanfaat sebagai Suatu Pendirian dalam Diri

Etika bisa dijadikan sebagai pedoman dalam bertindak atau dalam menjalani suatu
hal. Individu yang paham betul akan etika tentu akan berperilaku sesuai tata aturan
yang berlaku, tanpa dirinya merasa terpaksa. Hal ini bisa dikatakan akan
memengaruhi pendirian individu atas pemahaman etika yang ada di dalam
masyarakat.

e. Etika Bermanfaat untuk Membuat Sesuatu Sesuai dengan Peraturan

Etika akan membuat individu memberlakukan individu lain sesuai dengan kadarnya.
Artinya, individu tersebut akan dihukum sesuai dengan kesalahan yang ia lakukan.
Apabila ia melakukan kesalahan kecil, hukuman yang diberikan akan ringan.
Sebaliknya, apabila dirinya melakukan kesalahan yang besar hingga fatal, hukuman
yang diberikan kepadanya cenderung berat.

Oleh sebab itu, pentingnya untuk dapat menyesuaikan diri ke dalam lingkungan yang
ada. Salah satunya contohnya, untuk menciptakan lingkungan tempat tinggal yang
rukun, kamu harus dapat bersosialisasi dengan tetangga. Pada buku Etika
Bertetangga oleh Hetti Restianti ini akan dijelaskan betapa pentingnya etika dalam
bertetangga.

9
f. Etika sebagai Bentuk Mengorbankan Sedikit Kebebasan dalam Dirinya

Peraturan yang ada dalam suatu kode etik telah disetujui bersama akan membuat
individu tak dapat berbuat seenaknya sendiri. Semua peraturan yang telah disepakati
harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Karena apabila individu tersebut
melanggarnya, tentu akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

g. Etika Dapat Membantu dalam Menentukan Pendapat

Di dalam suatu forum diskusi, tentu ada etika dalam mengemukakan gagasan atau
pendapat. Dengan begitu, individu telah sepakat untuk menghargai siapapun itu yang
hendak menyampaikan pendapatnya.

Akan tetapi, penentuan kesepakatan harus berdasar pada ketentuan bersama. Apabila
pendapat, argumen, atau usulan tidak dapat diterima oleh audience dalam forum
tersebut, individu yang memberikan usulan tersebut harus berlapang dada.

7. Contoh Etika dalam Kehidupan Sehari-hari

Pada dasarnya, etika ini sudah ada dalam kehidupan kita sehari-hari, hanya saja tidak
semua orang sadar akan pentingnya menerapkan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Supaya mengetahui contoh etika, maka kamu bisa simak pembahasannya di bawah ini.

a. Menunjukkan Sikap Hormat Kepada Orang Lain

Menunjukkan sikap hormat kepada orang lain merupakan salah satu dari contoh etika
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan hormat kepada
orang lain adalah jangan berperilaku sombong, menjaga nada bicara saat berbicara
dengan orang lain, dan selalu berusaha bersikap sederhana.

b. Tidak Memandang Rendah Orang Lain

Memandang rendah orang lain sangat tidak bagus dan sangat tidak disarankan.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan kalau memandang rendah orang lain bisa
memunculkan sebuah konflik. Jadi, sudah seharusnya bagi setiap orang untuk
memandang orang lain sama dan tidak membedakan antara individu yang satu
dengan individu lainnya.

c. Berperilaku Sopan

10
Berperilaku sopan adalah salah satu contoh perilaku etika dalam kehidupan sehari-
hari, yang bisa dilakukan di rumah, kantor, atau sekolah. Dengan berperilaku sopan,
maka akan banyak orang yang menghargai kita.

d. Menghargai Perbedaan Pendapat

Setiap pendapat yang seseorang miliki belum tentu sama dengan pendapat orang lain.
Oleh sebab itu, setiap individu harus bisa saling menghargai atas pendapat yang
berbeda. Menghargai setiap perbedaan pendapat merupakan salah satu contoh
perilaku etika.

e. Membantu Orang Lain yang Membutuhkan

Hidup akan menjadi lebih indah apabila bisa membantu orang lain yang sedang
membutuhkan bantuan. Dengan bantuan yang kita berikan, maka seseorang yang
dibantu akan senang. Jadi, sebisa mungkin cobalah bantu orang lain ketika sedang
membutuhkan bantuan atau pertolongan.

Kesimpulan mengenai Etika

Etika merupakan nilai yang sejatinya telah melekat pada diri individu dan sangat dibutuhkan
dalam bersosialisasi. Hal itu karena etika akan menjadi jembatan agar terciptanya suatu
kondisi yang diinginkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, tanamkan dalam
diri etika yang baik agar hubungan antarsesama berlangsung baik pula.

B. Konsep Dasar Pendidikan Karakter


Secara harfiah, karakter berarti kualitas mental atau moral, nama atau reputasinya. Dalam
pandangan Doni Koesoema karakter diasosiasikan dengan temperamen yang memberinya
sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan
konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut pandang behavioral yang
menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Disini karakter
dianggap sama dengan kepribadian.

Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri
seseorang, yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungannya,
misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir. Menurut

11
Tadkirotun Musfiroh karakter mengacu kepada serangkaian sikap (Attitude), Perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skillls). Makna karakter sendiri
sebenarnya berasal dari Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan
bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan tingkah laku.[1] Sehingga
orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan berperilaku jelek dikatakan sebagai orang yang
berkarakter jelek. Sebaliknya , orang yang berperilaku sesuai dengan kaidah moral
dinamakan berkarakter mulia.

Menurut Ratna Megawati dalam bukunya Dharma Kusuma menjelaskan bahwa pendidikan
karakter yaitu “ sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan
dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungan”[2]. Selanjutnya menurut Suyanto
karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi cirikhas individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.[3] Sedangkan
Menurut Fakry Gaffar pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai
kehidupan untuk ditumbuhkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam
perilaku kehidupan orang itu[4]. Hal ini berbeda dengan Hermawan Kertajaya yang
menyatakan, bahwa karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu.
Ciri khas tersebut bersifat asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu terebut,
dan merupakan mesin yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, belajar dan
merespon sesuatu. [5]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang
menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen
pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkunan maupun bangsa, sehingga terwujud insan kamil[6].

1. Dasar Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter pada umumnya bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semua dijiwai
oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.[7]

12
Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas, tidak hanya otaknya
namun juga cerdas secara emosi. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan kecerdasan emosi, seseorang
akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis.

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono merumuskan lima tujuan


pendidikan karakter, yaitu:[8]

a. Membentuk manusia Indonesia yang bermoral.


b. Membentuk manusian Indonesia yang cerdas dan rasional.
c. Membentuk manusia Indonesia yang inovatif dan suka bekerja keras.
d. Membentuk manusia Indonesia yang optimis dan percaya diri.
e. Membentuk manusia Indonesia yang berjiwa patriot

Hal ini sesuai dengan rumusan tujuan pendidikan nasional yang terdapat pada UUSPN
No.20 tahun 2003 Bab 2 Pasal 3:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta


peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang
berimandan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negarayang demokratis serta bertanggung
jawab.[9]

Selain itu, pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai dalam diri siswa dan
sebagai pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu.
Untuk tujuan jangka panjangnya adalah mendasarkan diri pada tanggapan aktif
kontekstual individu atas impuls natural sosial yang diterimanya, yang pada gilirannya
semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri secara
terus-menerus (on going formation).[10] Sedangkan dari segi pendidikan , pendidikan
karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang
mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu dan seimbang.[11]

2. Nilai – Nilai Pendidikan Karakter


13
Nilai adalah suatu jenis kepercayaan seseorang, tentang bagaimana seseorang sepatutnya,
atau tidak sepatutnya dalam melakukan sesuatu, atau tentang apa yang berharga untuk
dicapai.[12] Dalam pedidikan karakter, nilai – nilai atau kebajikan merupakan dasar
atribut dalam membentuk karakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah
pengembangan nilai – nilai yang berasal dari pandangan ideology bangsa Indonesia,
agama, budaya, dan nilai – nilai dalam perumusan tujuan pendidikan nasional.[13]

Hal ini dapat dirumuskan bahwasanya nilai – nilai dalam pendidikan karakter di
Indonesia berasal dari empat sumber, yaitu: pertama, Agama: masyarakat Indonesia
adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu,, kehidupan individu, masyarakat, bangsa
selalu didasari pada ajaran agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka pnilai-nilai
pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaedah
yang berasal dari agama. Kedua, Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia
ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut
pancasila.

Pancasila terdapat pada pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-
pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi,
kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan
mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang
memiliki kemampuan , dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai
warga Negara.

Ketiga, Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu.
Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan
arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian
penting dalam kehidupan maysarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Keempat, Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki
setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan
diberbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai

14
kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan
pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa.[14]

Selain dari keempat sumber nilai tersebut sebenarnya bangsa Indonesia diharapkan
memiliki 18 nilai – nilai dalam pendidikan karakter, diantaranya:[15]

No Nilai karakter Pengertian


1 Religius Sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama
lain.

2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan


dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,


suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain
yang berbeda dari dirinya.

4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh


pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5 Kerja Keras Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh


pada berbagai ketentuan dan peraturan.

6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan


cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada


orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8 Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai

15
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10 Semangat Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang


Kebangsaan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.

11 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang


menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.

12 Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk


Prestasi menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,
dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.

13 Bersahabat/ Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk


Komunikatif menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,
dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.

14 Cinta Damai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk


menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,
dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.

16 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah


kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki

16
kerusakan alam yang sudah terjadi.

17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas


dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

3. Pusat dan Peranan Pendidikan Karakter

Pusat pendidikan karakter memiliki tiga titik utama dalam perkembangan peserta didik
atau anak. Ketiganya bias dapat diimplementasikan secara struktural dan kontekstual.
Secara struktural artinya membangun karakter dapat dimulai dari lingkungan keluarga
sebagai lingkungan pendidikan informal, sekolah sebagai pendidikan formal, dan
lingkungan masyarakat sebagai pendidikan nonformal. Sementara aspek kontekstual
terkait dengan nilai-nilai pokok yang diperlukan untuk membentuk kekuatan karakter.
[16] Adapun nilai-nilai pokok pendidikan karakter ini dapat diinternalisasikan pada pusat-
pusat pendidikan karakter yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat.

Keempat, keluarga berantai, yaitu keluarga yang terbentuk karena peceraian atau
kematian pasangan yang dicintai dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali da
merupakan suatu keluarga inti. Kelima, keluarga duda atau janda (single family) adalah
keluarga yang terjadi karena penceraian dan atau kematia pasangan yang dicintai.
Keenam, keluarga komposit (composite family) adalah keluarga dari perkawinan
poligami dan hidup bersama. Ketujuh, keluarga kohabitasis (cohabitation), yaitu dua
orang menjadi satu keluarga tanpa pernikahan. Kedelapan, keluarga inses (incest family),
yaitu keluarga dengan pernikahan sedarah.[17]

Peran penting keluarga sangat berpengaruh pada anak, khususnya dalam pedidikan.
Keluarga merupakan wahana terbaik dalam proses sosialisasi dan pendidikan bagi anak-
anak. Pedidikan dalam keluarga sebetulnya adalah inti yang menjadi fondasi untuk

17
perkembangan anak karena keluarga menjadikan bentukan pertama karakter anak baik
melalui mendidik, mengasuh, mensosialisasikan sesuatu pada anak, mengembangkan
kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan
baik.

Hal ini diperkuat oleh pandapat Suyanto, dasar pendidikan karakter sebaiknya diterapkan
sejak usia kanak-kanak atau biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas, karena
usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan
potensinya. Hasil penelitian Suyanto menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas
kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30%
berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir
dasarwasa keudua. Dari sini kemudian menyimpulkan bahwa pendidikan karakter dimulia
dari dalam keluarga yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter
anak.[18]

a. Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga mejadi tempat berlangsungnya sosialisasi yang berfungsi dalam


pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
susila, dan makhluk keagamaan. Keluarga yang rukun, harmonis, dan damai akan
mempengaruhi kondisi psikologis dan karakter seorang anak. Begitupun sebaliknya,
anak yang kurang berbakti bahkan melakukan tindakan di luar moral kemanusiaan
disibabkan karena ketidakharmonisan dalam lingkungan keluarga.

Beberapa teori pendidikan yang kita kenal, misalnya teori empirisme menyebutkan
anak lahir seperti kertas putih (tabularasa), yang bisa ditulis apa saja oleh orang
dewasa. Aliran ini berpendapat bahwa lingkungan mempengaruhi karakter si anak.
Ada juga teori nativisme yang menyebutkan bahwa anak membawa karakter, bakat,
minat dari sejak lahirnya. Artinya, anak lebih banyak dibentuk oleh factor bawaan
dari sejak lahir. Ada juga teori konvergensi yang berpendapat bahwa baik factor
bawaan maupun lingkungan saling mempengaruhi perkembangan anak.

Dalam pendidikan karakter anak dilingkungan keluraga perlu diperhatikan juga nilai-
nilia karakter yang harus terbentuk. Pembentukan nilai-nilai karakter ini menjadikan
tumbuhnya sebuah idealism untuk pemantapan identitas diri. Penanaman nilai-nilai

18
karakter di lingkungan keluarga dapat mengacu pada delapan belas nilai dengan
penjelasan sebagai berikut:[19]

1). Nilai relegius. Nilai ini tidak cukup diberikan melalui pelajaran, pengertian,
penjelasan, dan pemahaman namun juga memerlukan bimbingan, yaitu usaha
untuk menuntun, mengarahkan sekalingus mendampingi anak dalam hal-hal
tertentu.
2). Jujur, Sifat ini merupakan sifat dasar yang harus dimiliki anak namun seringkali
orang tua mengabaikanya. Sebagai refleksi, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan orang tua untuk menumbuhkan kejujuran pada anak yaitu: jangan
membohongi anak, hargai kejujuran anak, tanamkan kejujuran sejak dini, dan
selalu memotivasi anak berlaku jujur.
3). Toleransi, Rasa toleransi ini perlu diajarkan pada anak agar anak paham akan
sebuah perbedaan dan anak dapat menerima sebuah perbedaan tersebut. Dengan
memiliki rasa toleransi aak akan mampu menilai sebuah situasi, melihat kekuatan,
kebutuhan, dan ketertarikan orang lain yang senantiasa memiliki perbedaan. Ada
beberapa aspek dalam mengajarkan toleransi dan rasa hormat diantaranya:
(1). buat anak merasa bahwa dirinya special, aman, dan dicintai.
(2). ciptakan sarana belajar di tempat terbaru, orang-orang baru, da budaya
berbeda.
(3). gunakan komentar positif untuk membentuk sikap si anak.
(4). tunjukkan cara dalam mensikapi sebuah toleransi.
4). Disiplin. Kedisiplinan perlu ditanamkan pada anak sejak dini. Dengan
kedisiplinan menjadikan anak dalam melakukan sesuatu langsung melakukannya
tanpa adanya perintah secara berkali-kali. Menumbuhkan rasa kedisiplinan
memiliki hal – hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: 1) orang tua harus
konsisten, 2) berikan aturan yang sederhana danjelas sehingga anak mudah
melakukannya, 3) jangan mengatur anak di hadapan orang lain karena hal itu akan
membuat anak merasa malu, 4) alas an dan tata tertib yang dilakukan itu perlu
dijelaskan pada anak sehingga anak melakukannya dengan penuh kesadaran, 5)
hadiah berupa pujian, penghargaan, barang/ kegiatan apabila anak melakukan
perilaku positif, 6) orang tua harus berhati-hati dalam memberikan hukuman, 7)

19
jangan terlalu kaku dalam menegakkan disiplin, 8) sebaiknya anak dilibatkan
dalam setiap membuat tata tertib sehingga anak merasa dihargai dan diakui dalam
keluarga, 9) bersikap tegas bukan berarti bersikap kasar baik dalam tindakan fisik
atau perbuatan.
5). Kerja keras. Dalam ranah ini anak harus diberikan kesadaran bahwa untuk
mendapatkan uang, kita harus bekerja dan tanpa uang kita tidak akan dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu orang tua harus dapat
menjadi teladan dan anak harus diberikan penjelasan bahwa kerja keras yang baik
dan benar akan mendatangkan kebaikan, baik berupa materi, fasilitas, kehormatan,
dan tentu pahala dari tuhan.
6). Kreatif. Dalam pendidikan keluarga sebuah kreatifitas anak sering kali diabaikan
karena para orang tua kebanyakan hanya terfokus pada ranah kognitif saja dengan
tujuan anaknya pandai dan menjadi pintar. Perspektif ini perlu diluruskan, karena
selain kognitif sebuah kualitas pendidikan juga dinilai dari kualitas – kualitas yang
lebih subtantif seperti kemampuan mengambil keputusan, menumbuhkan
kreativitas, keterampilan berkarya, dan lainnya. Ada beberapa hal yang dapat
dilakukan orang tua untuk menumbuhkan kreativitas pada anak, diantaranya
sebagai berikut: 1) bangun ruang yang kondusif untuk anak, 2) orang tua
seyogyanya memberi kesempatan dan dorongan untuk kegiatan di luar
pelajarannya di sekolah, 3) dorongan lebih banyak dari pada larangan, 4) apresiasi
inisiatif dan kerja keras anak, 5) perbesar toleransi pada kesalahan dan
ketidaksempurnaan, 6) ekspose pada keragaman.
7). Mandiri. Kemandirian merupakan salah satu modal penting bagi anak – anak
untuk bertahan hidup kelak saat mereka dewasa. Karenanya mengajarkan
kemandirian merupakan salah satu tanggung jawab terpenting yang dimiliki orang
tua. Kemandirian dapat ditanamankan melalui cara berikut: 1) sediakan pilihan –
pilihan, 2) tetapkan waktu tidur malam yang rutin, 3) jangan melakukan sesuatu
untuk anak bila dia mampu melakukannya sendiri.
8). Demokratis. Perilaku ini membutuhkan prasyarat kerelaan mendengarkan dan
menghargai pendapat orang lain. Pembentukan perilaku ini harus dimulai dari
orang tua sendiri agar tidak memiliki sikap otoriter terhadap anak. Orang tua
harus menghargai setiap pendapat anak, dan tidak melakukan hukuman semenah

20
– menah melainkan perlu adanya sudut pandang lain ketika anak melakukan
kesalahan dengan begitu secara tidak langsung anak akan mengikuti perilaku kita
sebagai orang tua.
9). Rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu membuat kecerdasan anak semakin
berkembang, dengan pertanyaan yang dilontarkan pada anak secara tidak
langsung perkembangan otak anak akan semakin meningkat dan pengetahuan
anak semakin tahu akan banyak hal. Para ahli pendidikan umumnya sepakat
bahwa salah satu ciri anak cerdas adalah memiliki rasa ingin tahu yang sangat
besar.
10). Semangat kebangsaan. Dalam kaitannya dengan mendidik semangat kebangsaan
pada anak, orang tua dapat memanfaatkan momen liburan dengan mengajak
anak berkunjung ke museum. Dengan pergi ke museum, orang tua dapat
mengajarkan banyak hal terutama yang berhubungan dengan sejarah. Anak
akan lebih bisa menghargai warisan – warisan leluhur dan orang tua juga dapat
menamkan semangat kebangsaan yang lebih lagi kepada anak.

11). Cinta tanah air. Di era globalisasi ini banyak anak yang sudah mulai lupa dengan
identitas bangsanya sendiri. Anak – anak cenderung lebih suka hal – hal yang
kebarat – baratan. Untuk menghindari dari perspektif ini, orang tua dapat
melakukan hal – hal kecil seperti ketika berpergian ke suatu tempat, anak
dikenalkan dengan makanan ataupun minuman khas dari daerah tersebut
sehingga anak mengenal keaneragaman kuliner yang ada di Indonesia. Cara
lainnya adalah menanamkan perasaan bangsa memakai batik sebagai salah satu
warisan dari leluhur yang juga merupakan identitas dari Negara Indonesia.

12). Menghargai prestasi. Ganjaran yang diberikan sebagai bentuk penghargaan dari
orang tua atas prestasi yang dilakukan oleh anaknya adalah hal penting yang
dapat menopang keberhasilan penanaman nilai karakter “menghargai prestasi”
pada anak.
13). Bersahabat/ Komunikatif. Banyak factor yang dapat membuat anak tumbuh dan
berkembang dengan baik. Salah satunya, memberik sedikit pada anak agar
mudah bergaul. Sebab, anak yang punya banyak teman sesungguhnya dapat
membawa dampak positif bagi perkembangannya, terutama dalam

21
menumbuhkan karakter pandai bersahabat dan mampu berinteraksi serta
berkomunikasi secara baik di lingkungannya.
14). Cinta Damai. Dalam hal ini peran penting keluarga harus menjadi teladan yang
baik dalam menumbuhkan karakter cinta damai pada anaknya. Untuk tujuan
tersebut orang tua harus menjaga emosi dan keegoisannya agar tidak bertengkar,
dengan hal ini psikologi anak akan mengalami cinta kasih dan perdamain dalam
hati anak.
15). Gemar membaca. Gemar membaca dapat ditumbuhkan melalui sebuah kecintaan
akan membaca. Dengan sebuah kecintaan ini kelak akan anak dapati sebagai
sosok yang mencintai aktifitas membaca sekalipun ia masih terlalu dini untuk
mengenal huruf dan susunan kalimat dalam buku.
16). Peduli lingkungan. Sikap kecintaan lingkungan anak merupakan hasil proses
pendidikan yang dialaminya, baik dari sekolah maupun orang tua. Pada
umumnya anak menghabiskan dua pertiga hari di rumah. Oleh karena itu,
pendidikan yang paling efektif adalah keteladanan dari orang tua. Untuk itu,
orang tua perlu membiasakan pola hidup yang bersih, sehat, dan ramah
lingkungan dalam keluarga. Tanamkan pada diri anak bahwa menjaga alam
merupakan bagian dari ibadah, yang memberi manfaat bagi peningkatan kualitas
hidup.
17). Peduli sosial. Untuk menanamkan jiwa sosial tersebut pada anak, orang tua harus
lebih banyak melakukan praktik daripada hanya berteori sehingga anak-anak
akan mencontoh perbuatan-perbuatan nyata yang orang tua lakukan. Banyak hal
yang dapat dipraktikkan untuk menanamkan jiwa sosial pada anak, antara lain:
mengajak anak bersama-sama menengok saudara atau tetangga yang sedang
sakit, mengajak anak bersama-sama mengunjungi panti jompo, rutin bersedekah
dan mengajarkan pentingnya bersedekah pada anak, berbagi kebahagiaan dengan
anak-anak jalanan saat ulang tahun anak, menyuguhi minuman pada tukang
sampah yang mengangkut sampah dari rumah kita, berbagi makanan yang kita
masak pada tetangga di sekitar yang kurang mampu, dan mengajak untuk
bersama-sama berbagi kebahagiaan di hari raya keagamaan dengan anak-anak di
panti asuhan.

22
17). Tanggung jawab. Tanggung jawab ini dapat ditumbuhkan pada jiwa anak salah
satunya ialah melalui pembagian tugas rumah. Dengan memberikan suatu tugas,
amanah, pekerjaan tertentu, yang kemudian dikontrol kembali.

b. Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah yang merupakan lingkungan pendidikan formal, juga


menentukan dalam perkembangan dan pembinaan karakter peserta didik. Bahkan
sekolah dapat disebut sebagai lingkungan pendidikan kedua setelah keluarga yang
berperan dalam pendidikan karakter pada seorang peserta didik.[20]hal ini cukup
beralasan karena sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu
pengetahuan.

Tujuan pendidikan di lingkungan sekolah, termasuk pengembangan karakter,


semestinya dapat dicapai melalui pengembangan dan implementasi kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan
(SNP). Di dalam SNP telah secara jelas dijabarkan standar kompetensi lulusan dan
materi yang harus disampaikan kepada peserta didik.

Demikian pula basis dari pengembangan kurikulum 2013 juga adalah membangun
pendidikan berkarakter. Menurut Hamid Muhammad, ada tiga nilai utama yang
dikembangkan di dalam kurikulum 2013. Pertama, menghormati kembali norma-
norma budaya bangsa. Pembangunan karakter jujur, bertanggung jawab, dan disiplin
merupakan sebagian dari hal itu. Kedua, menumbuhkan nilai-nilai keilmuan. Ketiga,
menumbuhkan nilai kebangsaan serta cinta tanah air, termasuk menghargai budaya
dan karya bangsa.[21]

Pendidikan karakter di lingkungan sekolah seharusnya membawa peserta didik ke


pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang selama ini
ada di lingkungan sekolah perlu segera dikaji dan dicari alternatif-alternatif

23
solusinya, serta perlu dikembangkan secara lebih operasional sehingga mudah
diimplementasikan.[22]

Kegiatan pembinaan kesiswaan yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan


salah satu media yang potensial untuk pendidikan karakter dan peningkatan mutu
akademik peserta didik. Kegiatan pembinaan kesiswaan merupakan kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik
sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang
secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang
berkemampuan dan berkewenangan di lingkungan sekolah sekolah.[23]

Ada beberapa aspek penting yeng semestinya diperhatikan dalam pendidikan


karakter di lingkungan sekolah, yaitu:

1. Pembenahan kurikulum sekolah

Pengembangan pendidikan karakter di lingkungan sekolah pada dasarnya adalah


mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai karakter
sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya
melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan
selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip
tersebut, peserta didik belajar melalui proses “berpikir, bersikap, dan berbuat”.
Ketiga proses dalam pendidikan karakter ini bertujuan untuk mengembangkan
kamampuan peserta didik dlaam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta
didik untuk melihat diri sendiri tidak hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga
makhluk sosial.[24]

Selain paparan diatas, pengembangan kurikulum pendidikan karakter pada


prinsipnya terintegrasi ke dalam mata – mata pelajaran, pengembangan diri, dan
budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan pemangku kebijakan pendidikan di
sekolah hendaknya dapat mengintegrasikan nilai – nilai yang dikembangkan dalam
pendidikan karakter ke dlaam kurikulum sekolah, silabus, dan rencana program
pembelajaran.

2. Memperbaiki kompetensi, kinerja, dan karakter guru/ kepala sekolah

24
Kompetensi merupakan keharusan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia
berhasil dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru.[25] Menurut Asnawir
dalam bukunya Syamsul Kurniawan ada tiga kompetensi yang harus dan sudah
dimiliki seorang guru, yaitu pertama, kompetensi dibidang kognitif, yaitu
kemampuan intelektual yang harus dimiliki oleh seorang guru yang mencakup
penguasaan materi pelajaran, pengetahuan cara mengajar dan tingkah laku individu,
pengetahuan tentang adminitrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil
belajar murid, pengetahuan tentang kemasyarakatan, serta pengetahuan umum
lainnya.

Kedua, kompetensi di bidang sikap, yaitu kesiapan dan kesediaan guru terhadap
berbagai hal berkenaan dengan tugas dan profesinya yang mencakup: menghargai
pekerjaan, mencintai, dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang
dibinanya, punya sikap toleransi terhadap sesame taman profesinya, dan mempunyai
kemauan yang keras untuk mengetahui hasil pekerjaannya. Ketiga, kompetensi
perilaku, yaitu kemampuan guru dalam berbagai keterampilan berperilaku yang
mencakup keterampilan mengajar, membimbing, menggunakan alat bantu, media
pengajaran, bergaul/ berkomunikasi dengan teman dalam menumbuhkan semangat
belajar murid, menyusun persiapan perencanaan mengajar dan keterampilan
pelaksanaan adminitrasi kelas.[26]

Adapun menurut Nini Subini, kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yaitu:
kompetensi pedagogic, kompetensi professional, kompetensi sosial, dan kompetensi
kepribadian. [27] pada dasarnya, kompetensi pedagogic adalah kemampuan yang
harus dimiliki guru dalam mengajarkan materi tertentu kepada peserta didiknya.
Kompetensi ini antara lain: 1) memahami karakteristik peserta didik dari berbagai
aspek sosial, moral, dan kultural, emosional, dan intelektual, 2) memahami gaya
belajar dan kesulitan belajar peserta didik, 3) memfasilitasi pengembangan potensi
peserta didik, 4) menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang
mendidik, 5) mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik
dlaam pembelajaran , 6) merancang pembelajaran yang mendidik, 7) melaksanakan
pembelajaran yang mendidik, 8) memahami latar belakang keluarga dan masyarakat
peserta didik dan kebutuhan belajar dalam konteks kebhinekaan budaya, 9)

25
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran,
10) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, 11)
mengevaluaasi proses dan hasil pembelajaran, 12) melakukan tindakan reflektif
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, 13) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.[28]

Selanjutnya, kompetensi professional berupa kemampuan penguasaan materi


pembelajaran secara luas dan mendalalm yang memungkinkannya membimibing
peserta didik memenuhi standar kompetensi. Selain itu, kompetensi professional juga
berhubungan dengan penguasaan konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan,
teknologi, atau seni yang relevan serta penyesuaian tugas – tugas keguruan lainnya.
Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dlaam
kompetensinya berupa: pertama, kemampuan untuk menguasai landasan
kependidikan misalnya memahami tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan
nasional, institusional, kurikuler, dan tujuan pembelajaran. Kedua, pemahaman di
bidang psikologi pendidikan misalnya memahami tentang tahapan perkembangan
peserta didik dan paham tentang teori – teori belajar.

Ketiga, kemampuan dalam penguasaan materi pembelajaran sesuai dengan bidang


studi yang diajarkannya. Keempat, kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai
metodelogi dan strategi pembelajaran. Kelima, kemampuan merancang dan
memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar. Keenam, kemampuan dlaam
melaksanakan evaluasi pembelajaran dan penelitian. Ketujuh, kemampuan dalam
menyusun program pembelajaran. Kedelapan, kemampuan dalam mealaksanakan
unsur penunjang misalnya, adminitrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
Kesembilan, kemampuan dlam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk
meningkatkan kinerja. Kesepuluh, kemampuan meingkatkan kualitas pembelajaran
melalui evaluasi dan penelitian. Kesebelas, mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. Keduabelas, memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
[29]

Kompetensi sosial adalah kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan guru


sebagai anggota masyarakat dan makhluk sosial. Dlam hal ini juga termasuk

26
kemampuan guru dalam komunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesame
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali dan masyarakat. kompetensi
sosial yang dimaksud mencakup: 1) kemampuan guru dlaam berinteraksi dan
berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan
profesionalnya, 2) kemampuan guru untuk mengenal dan memahami fungsi – fungsi
setiap lembaga kemasyarakatan, 3) kemampuan guru untuk menjalin kerja sama baik
secara individual maupun secara kelompok, 4) kemampuan guru berkomunikasi
secara simpatik dan empatik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, sesama
pendidik dan tenaga kependidikan, dan masyarakat, serta memiliki kontribusi
terhadap perkembangan peserta didik, sekolah dan masyarakat, dan dapat
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
pengembangan diri, 5) seorang guru dapat bersikap inklusif, bertindak objektif serta
tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik,
latar belakang keluarga dan status sosial – ekonomi, 6) seorang guru dapat
beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Indonesia yang mempunyai
keragaman sosial budaya, 7) seorang guru dapat berkomunikasi dengan komunitas
profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tuliisan atau bentuk lain seperti
bahasa isyarat, 8) seorang guru dapat bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesame pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau
wali peserta didik, 9) seorang guru dapat bergaul secara santun dengan masyarakat
sekitar dengan mengindahkan norma serta system nilai yang berlaku, 10)
menerapkan prinsip – prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.[35]

Terakhir, kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berhubungan dengan


pribadi masing – masing guru. Kompetensi kepribadian meliputi: 1) memiliki
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, 2) menjadi teladan
bagi peserta didik dan masyarakat, 3) dewasa, juur, dan berakhlak mulia, 4) mampu
mengevaluasi kinerja sendiri, 5) mampu mengembangkan diri secara berkelanjutan,
6) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional
Indonesia, 7) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri, 8) menjunjung tinggi kode etik profesi guru.[36]

27
Adapun terkait dengan pemerintah, kepala sekolah perlu memiliki power sharing
sebagai jalan untuk menjebatani antara keinginan sekolah dengan pemerintah.
Sementara strategi substansial, yaitu strategi pengembangan sekolah yang berbasis
pada kesatuan visi, misi, dan tujuan sekolah yang dijabarkan dalam program
pendidikan dan diaplikasikan dlaam bentuk muatan kurikulum serta kegiatan intra
dan ekstrakurikuler bagi peserta didik. Orientasi vvisi, misi, dan tujuan pembelajaran
di sekolah harus berpedoman pada amanah yang diemban oleh lembaga pendidikan.

3. Pengintegrasian dalam budaya sekolah

Sekolah adalah institusi sosial. Intuisi sosial adalah organisasi yang dibangun
masyarakat untuk memepertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya. Untuk itu,
sekolah harus memiliki budaya sekolah yang kondusif, yang dapat memberi ruang
dan kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk mengoptimalkan potensi dirinya
masing – masing.

Menurut Kemendiknas dalam bukunya Agus Wibowo mendefenisikan budaya


sekolah merupakan suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi,
baik dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai
adminitrasi dengan sesamanya, dan antar – anggota kelompok masyarakat sekolah.
Interaksi internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma,
moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah.[37]

Budaya sekolah yang positif akan mendorong sumua warga sekolah untuk bekerja
sama yang didasarkan saling percaya, mengundang partisipasi seluruh warga,
mendorong munculnya gagasan – gagasan baru, dan memberikan kesempatan untuk
terlaksananya pembaruan di sekolah yang semuanya ini bermuara pada pencapaian
hasil terbaik. Budaya sekolah yang baik dapat menumbuhkan iklim yang mendorong
semua warga sekolah untuk belajar, yaitu belajar bagaimana belajar dan belajar
bersama.

28
Budaya sekolah yang baik dapat memperbaiki kinerja sekolah, baik kepala sekolah,
guru, peserta didik, karyawan maupun pengguna sekolah lainnya. Situasi tersebut
akan terwujud manakala kualifikasi budaya tersebut bersifat sehat, solid, kuat,
positif, dan profoseional. Dengan demikian, suasana kekeluargaan, kolaborasi,
ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan untuk bekerja keras dan belajar
mengajar dapat diciptakan.

Dalam pendidikan karakter anak dilingkungan sekolah perlu diperhatikan juga nilai-
nilia karakter yang harus terbentuk. Pembentukan nilai-nilai karakter ini menjadikan
tumbuhnya sebuah idealisme untuk pemantapan identitas diri.

Berikut penjelasan tentang strategi internalisasi karakter pada peserta didik di


lingkungan sekolah:

1. Nilai relegius.

Kegiatan religious yang dapat diajarkan kepada peserta didik di sekolah tersebut
yang dapat dijadikan sebagai pembiasaan, diantaranya: 1) berdoa atau bersyukur,
2) melaksanakan kegiatan di musholla, 3) merayakan hari raya keagamaan sesuai
dengan agamanya, 4) mengadakan kegiatan keagmaan sesuai dengan agamanya.
[38]

2. Jujur

Salah satu bentuk program yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk
menumbuhkan kejujuran pada peserta didik adalah, yaitu dengan membuat kantin
kejujuran. Kantin kejujuran adalah tempat menjual minuman dan makanan di
sekolah kepada peserta didik dengan tujuan untuk melatih kejujuran para peserta
didik dalam membayar makanan dan minuman yang mereka ambil.[39]

3. Toleransi.

Untuk membentuk peserta didik yang memiliki rasa toleransi terhadap sesama
tentu tidak mudah. Namun, ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan
sebagai acuan dalam memulai dan berinovasi. Beberapa poin yang dapat dijadikan
acuan bagi guru dalam membentuk sikap toleransi peserta didik, sebagai berikut:

29
1) memperhatikan ranah afektif, 2) keteladanan guru, 3) pembiasaan terhadap
perbedaan, 4) melatih heterogenitas dalam kelompok.[40]

4. Disiplin.

Kedisiplinan penting dimiliki peserta didik sehingga seorang guru harus mampu
menumbuhkan perilaku disiplin dalam diri peserta didiknya, terutama disiplin diri
sendiri. Dalam kaitan ini, seorang guru harus mampu malakukan hal – hal berikut:
1) membantu peserta didik mengembangkan pola perilaku untuk dirinya, 2)
membantu peserta didik meningkatkan standar perilakunya karena pserta didik
berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, jelas mereka ada yang
memiliki standar perilaku tinggi, sebaliknya ada yang mempunyai standar
perilaku yang sangat rendah, 3) menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat.

5. Kerja keras.

Peserta didik perlu diajrkan mengenai pentingnya kerja keras. Kerja keras adalah
perilaku yang menunjukkan upaya sungguh – sungguh dalam mengatasi berbagi
hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik – baiknya.
[46] Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan seorang guru untuk mengajarkan
dan menanamkan kegigihan dalam diri seorang peserta didik: 1) bantu pserta
didik untuk membuat target pencapaian yang realistis dan bisa dicapai oleh
peserta didik, 2) guru harus menyadari bahwa target ataupun pencapaian adalah
sarana belajar bagi peserta didik dan rambu – rambu agar peserta didik menjadi
giat dlam belajar dan berusaha, 3) hargailah setiap proses belajar yang belajar
yang telah dilalui peserta didik, 4) secara eksplisit, ajarkan peserta didik akan arti
nilai kerja keras dan ketekunan, 5) bila seorang peserta didik menemui
kegagalan dalam mencapai targetnya, ajarkan peserta didik untuk berdamai
dengan kegagalan itu, dan dorong peserta didik agar segera bangkit lagi untuk
menyelesaikan masalah tersebut, 6) berikan kesempatan kepada peserta didik
untuk menghadapi tantangan dan hal – hal baru.[41]

6. Kreatif.

30
Kreatif adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang baru,
sebagai kemampuan untuk memberikan gagsan-gagasan baru yang dapat
diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat
hubungan – hubungan baru antara unsur – unsur yang sudah ada sebelumnya.[48]
Menurut Akhmad Sudrajat dalam buku Syamsul Kurniawan menunjukkan
beberapa hal seseorang peserta didik dikatakan memiliki kreativitas, yaitu: 1)
merasa penasaran dan memiliki rasa ingin tahu, mempertanyakan, dan menantang
serta tidak terpaku pada kaidah – kaidah yang ada, 2) memiliki kemampuan
berpikir lateral dan mampu membuat hubungan – hubungan di luar hubungan
yang lazim, 3) memimpikan tentang sesuatu, dapat membayangkan, melihat
berbagai kemungkinan, bertanya “apa seandainya…?” dan melihat sesuatu dari
sudut pandang yang berbeda, 4) mengeksplorasi berbagai pemikiran dan pilihan,
mamainkan idenya, mencobakan alternatif – alternative dengan melalui
pendekatan yang segar, memelihara pemikiran yang terbuka, dan memodifikasi
pemikirannya untuk memperoleh hasil yang kreatif, 5) merefleksi secara kritis
atas setiap gagasan, tindakan, dan hasil – hasil, meninjau ulang kemajuan yang
telah dicapai, mengundang dan memanfaatkan umpan balik, mengkritik secara
konstruktif dan dapat melakukan pengamatan secara cerdik.[42]

7. Mandiri.

Mandiri adalah suatu sikap dan perilaku yang mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas – tugas. [43] Untuk menjadi mandiri, perserta didik di
lingkungan sekolah hendaknya sesekali dibiasakan belajar secara mandiri. Peserta
didik dapat mempelajari pokok bahasan atau topic pelajaran tertentu dengan
membaca buku atau melihat dan mendengarkan program media audia visual tanpa
bantuan atau dengan bantuan terbatas dari orang lain. Di samping itu, peserta
didik mempunyai otonomi dalam belajar. Otonomi tersebut terwujud dalam
beberapa kebebasan sebagai berikut: 1) peserta didik mempunyai kesempatan
untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan belajarnya, 2) peserta didik boleh ikut menentukan bahan
belajar yang ingin dipelajarinya dan cara mempelajarinya, 3) peserta didik
mempunyai kebebasan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri, 4)

31
peserta didik dapat ikut menentukan cara evaluasi yang akan digunakan untuk
menilai kemajuan belajarnya.[44]

8. Demokratis.

Demokrasi adalah cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai secara sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Nilai – nilai demokratis ini dipercaya
akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat egalitarian
dibandingkan dengan ideology non-demokrasi. Menurut Syamsul Kurniawan ada
beberapa poin yang dapat dijadikan acuan dalam mengajarkan dan menanamkan
nilai – nilai demokrasi dalam diri seorang peserta didik: 1) peran guru, 2)
pengembangan nilai – nilai demokratis dalam proses pembelajaran di kelas, 3)
menggunakan model active learning atau belajar aktif, 4) dalam hal pengambilan
keputusan, peserta didik harus dilatih secara demokratis memutuskan dan
melaksanakan keputusan secara bertanggung jawab.[45]

9. Rasa ingin tahu.

Rasa ingin tahu pada setiap orang amatlah penting. Untuk itu, seorang guru
seharusnya bisa memupuk sifat ini pada peserta didik guna merangsang kreativitas
di masa depannya. Menurut Syamsul Kurniawan, sekurang – kurangnya ada
empat alasan dalam pentingnya rasa ingin tahu, yaitu: 1) rasa ingin tahu membuat
pikiran peserta didik menjadi aktif, 2) rasa ingin tahu membuat peserta didik
menjadi para pengamat yang aktif, 3) rasa ingin tahu akan membuka dunia –
dunia baru yang menantang dan menarik pserta didik untuk mempelajarinya lebih
dalam, 4) rasa ingin tahu membawa kejutan – kejutan kepuasan dalam diri peserta
didik dan meniadakan rasa bosan untuk belajar.[46]

10.Semangat kebangsaan.

Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang


menempatkan kepentingan bangsa dan nebara di atas kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Upaya menanamkan semangat kebangsaan pada peserta didik di
sekolah, diantaranya dapat melalui kegiatan – kegiatan seperti: 1) melakukan
upacara bendara secara rutin di tiap minggunya, 2) melakukan ucpacara hari –
hari besar nasional, 3) menyelenggarakan peringatan hari kepahlawanan nasional,
32
4) memiliki program kunjungan ke tempat bersejarah, 5) mengikutsertakan
peserta didik dalam kegiatan lomba pada peringatan hari besar nasional.[47]

11.Cinta tanah air.

Mengingat pentingnya rasa cinta tanah air, sudah semestinya


ditumbuhkembangkan dalam jiwa setiap peserta didik di lingkungan sekolah.
Beberapa kegiatan sekolah yang dapat menumbuhkembangkan rasa cinta tanah air
diantaranya: 1) menyanyikan lagi kebangsaan setiap upacara bendera dan
peringatan hari besar nasional, 2) memajang foto pahlawan nasional di kelas –
kelas, 3) memperingati hari besar nasional dengan kegiatan lomba atau pentas
budaya, 4) mengenalkan aneka kebudayaan bangsa secara sederhana dengan
menunjukkan miniature candid an menceritakannya, gambar rumah, dan pakaian
adat, 5) mengenakan pakaian adat pada hari kartini atau hari lainnya yang dirasa
perlu, 6) mengunjungi museum terdekat, 7) dan lain – lain.[48]

12.Menghargai prestasi.

Pendidikan adalah proses memindahkan ilmu pengetahuan dan informasi dari


guru ke peserta didik. Karena merupakan proses maka harus ada tolak ukur
prestasi dari proses yang dilakukan tersebut, inilah mengapa diperlukan evaluasi
pembelajaran yang menjadi indicator keberhasilan pendidikan di sekolah. Namun
setiap hasil proses yang diperoleh peserta didik perlu menghargainya, dengan
sebuah penghargaan, peserta didik akan lebih semangat dalam belajar.

13.Bersahabat/ Komunikatif.

Dalam menanamkan pendidikan karakter bagi peserta didik diperlukan adanya


bentuk keteladanan dan pembiasaan. Secara psikologis perkembangan peserta
didik dalam proses pembelajaran, dipengaruhi dari apa yang mereka ingat dan
meniru apa yang mereka lihat. Dengan hal tersebut, maka guru hendaknya
memberi contoh yang baik kepada peserta didiknya. Salah satu contoh
menumbuhkan sifat bersahabat yaitu dengan membiasakan untuk menyapa atau
mengucapkan salam ketika bertemu dengan peserta didik, hal ini membuat
peserta didik akan terbiasa dengan sikap bersahabat/komunikatif guru – guru
mereka.[49]
33
14.Cinta Damai.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang memiliki system terstruktur,


kepemimpinan yang terorganisasi, dan waktu pembelajaran yang sistematis,
semestinya memang dapat menjadi tempat membentuk karakter peserta didik yang
cinta damai. Ada beberapa poin yang dapat dijadikan acuan sekolah dalam
membentuk karakter peserta didik yang cinta damai, yaitu: menciptakan suasana
sekolah dan bekerja yang nyaman, tentram, dan harmonis, 2) membiasakan
perilaku warga sekolah yang antikekerasan, 3) membiasakan perilaku warga
sekolah yang tidak bias gender.[50]

15.Gemar membaca.

Gemar membaca dapat ditumbuhkan melalui sebuah kecintaan akan membaca.


Dengan sebuah kecintaan ini kelak peserta didik dapati sebagai sosok yang
mencintai aktifitas membaca. Aktifitas ini dapat dilakukan dengan memfasilitasi
perpustakaan dengan kreatifitas dan pelayanan yang baik.

16.Peduli lingkungan.

Kepedulian peserta didik pada lingkungan dapat dibentuk melalui budaya sekolah
kondusif dan produktif. Sekolah yang secara kondusif dan produktif mampu
memberikan pengalaman baik bagi tumbuhkembangnya karakter peserta didik
seperti yang diharapkan. Misalnya dengan: 1) pembiasaan memelihara kebersihan
dan kelestarian lingkungan sekolah, 2) tersedia tempat cuci tangan, 3)
menyediakan kamar mandi dan air berish, 4) pembiasaan hemat energy, 5)
membuat biopori di area sekolah, 6) membangun saluran pembuangan air limbah
dengan baik, 7) melakukan pembiasaan memisahkan jenis sampah organic dan
anorganik, 8) dan lain – lain.[51]

17.Peduli sosial.

Kepedulian sosial adalah sebuah tindakan bukan hanya sebatas pemikiran atau
perasaan. Tindakan peduli tidak hanya tahu tentang sesuatu yang salah atau benar,
tapi ada kemauan melakukan gerakan sekecil apapun. Memiliki jiwa kepedulian
sosial sangat penting bagi setiap orang, begitu juga pentingnya bagi seorang

34
peserta didik. Untuk itu ada beberapa alternative kegiatan yang dapat diadakan
dalam kerangka mengajarkan dan menanamkan nilai – nilai kepedulian dalam
diri seorang peserta didik, misalnya menfasilitasi kegiatan yang bersifat sosial,
melakukan aksi sosial, menyediakan fasilitas untuk menyumbang, dan lain – lain.

18.Tanggung jawab.

Tanggung jawab penting untuk ditanamkan sejak dini pada peserta didik di
lingkungan sekolah. Agar guru dapat mengajari tanggung jawab secara lebih
efektif dan efesien kepada peserta didiknya, guru dapat melakukan beberapa cara
sebagai berikut: 1) memberi peringatan pada peserta didik apa itu sebenarnya
tanggung jawab, 2) perlu adanya pembagian tanggung jawab peserta didik satu
dengan yang lain, 3) mulailah memberikan pelajaran kepada peserta didik tentang
rasa tanggung jawab mulai dari hasil-hasil kecil.[52]

c. Lingkungan Pendidikan Masyarakat

Sebagai lingkungan pendidikan nonformal, masyarakat semestinya juga turut


berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan karakter. Setiap individu sebagai
anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan
suasana yang nyaman dan mendukung.[53]

Dalam pendidikan anak, orang tua hendaknya memilih lingkungan yang mendukung
pendidikan anak dan menghindari lingkungan masyarakat yang kurang baik. Sebab,
ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyrakat yang kurang baik,
perkembangan karakter atau kepribadian anak tersebut dapat menjadi kurang baik.
Orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai
tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Demikian pula sekolah sebagai
lingkungan pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan masyarakat yang baik
sehingga ikut mendukung proses pendidikan.[54]

Karena pentingnya peran masyarakat sebagai pusat pendidikan karakter maka setiap
individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi
keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi didalamnya. Di Indonesia, dikenal
adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community based education)
sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan
35
pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan sekolah sebagai
pendidikan formal, dengan adanya konsep ini sekaligus menunjukkan bahwa
kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan, serta keberadaannya sangat berpengaruh
terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah.[55]

Dalam pentingnya pendidikan karakter di lingkungan masyarakat, secara spesifik


ada beberapa aspek penting yaitu: 1) pengondisian di lingkungan masyarakat, 2)
sarana – sarana pendidikan karakter di lingkungan masyarakat yang meliputi: tempat
– tempat ibdah, perpustakaan daerah, organisasi sosial masyarakat, kegiatan –
kegiatan masyarakat, dan media sosial, 3) keteladanan pemimpin, tokoh agama, dan
tokoh masyarakat.[56]

4. Komponen Pendidikan Karakter

Pada dasarnya dalam rangkaian suatu proses pendidikan memiliki komponen yang sama,
yang membuat proses pendidikan itu dapat berlangsung. Demikian pula halnya dengan
pendidikan karakter. Menurut Syamsul Kurniawan ada tujuh komponen dalam
pendidikan karakter diantaranya: [57]

a. Pendidik

Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam hal mendidik. Pendidik bisa
berupa orang tua, guru, maupun tokoh masyarakat atau sejenisnya. Karena
pelaksanaan pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga,
sekolah, dan masyarakat maka semestinya tidak boleh ada yang menganggap bahwa
pendidikan hanya menjadi tanggung jawab lingkungan sekolah saja. Disamping
keluarga, masyarakat juga harus mengambil peran penting dalam pelaksanaan
pendidikan karakter. Untuk itu, setiap orang dewasa di dalam masyarakat dapat
menjadi pendidik[58]

b. Peserta Didik

36
Dalam masyarakat, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut peserta
didik, seperti siswa, murid, santri, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya. Istilah siswa,
murid, dan pelajar, umumnya digunakan untuk menyatakan peserta didik pada jenjang
pendidikan dasar sampai sekolah menengah. Sementara bagi peserta didik pada tingkat
pendidikan tinggi atau akademi, disebut mahasiswa. Istilah santri digunakan untuk
mengatakan peserta didik yang menuntut ilmu di pondok pesantren.[59]

Menurut Syamsul Kurniawan, peserta didik adalah orang- orang yang sedang
memerlukan pengatahuan atau ilmu, bimbingan, maupun arahan dari orang lain.
[60]Untuk menentukan jenis peserta didik maka tidak dapat terlepas dari jenis – jenis
atau bentuk – bentuk pendidikan. Secara umum, bentuk pendidikan dibagi menjadi
dua, yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pendidikan sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal. Sementara pendidikan luar sekolah
mengambil bentuk dalam pendidikan informal (lingkungan keluarga) dan pendidikan
nonformal (lingkungan masyarakat). Murid adalah peserta didik di sekolah, anak
kandung adalah peserta didik di lingkungan keluarga, dan anak – anak penduduk
adalah peserta didik dari masyarakat sekitar.

c. Kurikulum Pendidikan Karaktar

Saat ini istilah kurikulum lebih lazim digunakan pada lingkungan pendidikan formal,
yaitu sekolah dari pada lingkungan pendidikan informal atau di lingkungan pendidikan
nonformal, untuk menyebut seluruh program pendidikan yang ada didalamnya
tercakup masalah – masalah metode, tujuan, tingkat pengajaran, materi pelajaran
setiap tahun ajaran, topik – topik pelajaran, serta aktivitas yang dilakukan setiap
peserta didik pada setiap materi pelajaran.[61]

Dilihat dari fungsi maupun tujuan, kurikulum merupakan sejumlah kegiatan yang
mencakup berbagai rencana strategi belajar mengajar. Pengaturan – pengaturan
program agar dapat diterapkan, hal – hal yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Dalam implementasi pendidikan karakter di lingkungan pendidikan formal, kurikulum


merupakan salah satu komponen. Namun demikian, dlam kurikulum itu sendiri juga
mempunyai beberapa komponen. Hasan Langlung menyebutkan sekurang – kurangnya

37
ada empat komponen utama dalam kurikulum, yaitu: a) tujuan – tujuan yang ingin
dicapai oleh suatu jenjang pendidikan, b) pengetaguan (knowledge), informasi, data –
data, aktivitas, dan pengalaman dari mana dan bagaimana yang dimuat oleh suatu
kurikulum, c) metode dan cara – cara mengajar yang dipakai oleh pendidik untuk
mengajar dan memotivasi peserta didik untuk membawa mereka kea rah yang
dikehendaki kurikulum, d) metode dan cara penilaian yang dipergunakan dalam
mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang direncanakan
kurikulum tersebut.[62]

Satu hal yang menjadi sebab pentingnya kurikulum dalam pendidikan karakter, yaitu
dengan kurikulum maka kegiatan pendidikan karakter akan terarah dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.[63]

d. Pendekatan dalam Pendidikan Karakter

Setiap institusi pendidikan baik informal, formal, maupun nonformal niscaya


mendambakan dan ikut serta berupaya melahirkan generasi penerus (out put) yang
selain memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage) untuk menjadi subjek
dalam percaturan di dunia kerja, juga memiliki karakter yang baik sehingga dapat
memakmurkan dan memuliakan kehidupan material dan spiritual diri, keluarga, dan
masyarakat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam proses pendidikan karakter dan pengajaran
nilai – nilai karakter diperlukan pendekatan yang bersifat multiapproach, yang
pelaksanaannya mengikuti hal – hal berikut: a) pendekatan religious, yang
menitikberatkan kepada pandangan bahwa peserta didik adalah makhluk yang berjiwa
religious dengan bakat – bakat keagamaan, b) pendekatan filosofis, yang memandang
bahwa peserta didik adalah makhluk rasional sehingga segala sesuatu yang
menyangkut pengembangannya didasarkan pada sejauh mana kemampuan berpikirnya
dapat dikembangkan sempai titik maksimal perkembangannya, c) pendekatan sosio
kultural, yang bertumpu pada pandangan bahwa peserta didik adalah makhluk
bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga dipandang sebagai homo sosialis dalam
38
kehidupan bermasyarakat yang berkebudayaan, d) pendekatan scientific, dimana titik
beratnya pada pandangan bahwa peserta didik memiliki kemampuan menciptakan
(kognitif), berkemauan dan merasa (emosional atau afektif).[64]

e. Metode Pendidikan Karakter

Metode pendidikan adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan atau pengajaran. Umumnya pendidik selain guru (orang tua atau
masyarakat) tidak mengenal nama – nama dan jenis – jenis metode pendidikan, namun
dari segi praktik yang mereka lakukan tidak lain banyak yang sudah
mengimplementasikan dari metode pendidikan yang dilakukan atau yang dipelajari di
sekolah.

Beberapa metode pendidikan yang lazim dipraktikkan di lingkungan sekolah, antara


lain metode ceramah, Tanya jawab, diskusi, latihan, pemberian tugas, cerita,
demonstrasi, sosio-drama, dan sebagainya. Dlaam lingkungan pendidikan formal,
yaitu sekolah, metode pendidikan tersebut dipilih dan digunakan secara bervariasi
dengaan mempertimbangkan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, keadaan
peserta didik, situasi yang sedang berlangsung, kemampuan pendidik, serta fasilitas
penunjang yang tersedia.[65]

f. Evaluasi Pendidikan Karakter

Dalam pendidikan karakter, evaluasi mutlak dilakukan karena bertujuan untuk


mengukur dan menilai tingkat pencapain tujuan – tujuan pendidikan karakter, untuk
selanjutnya menentukan langkah – langkah tindak lanjut atau kebijakan berikutnya.

Evaluasi pendidikan karakter merupakan seperangkat tindakan atau proses untuk


menentukan nilai suatu yang berkaitan dengan pendidikan karakter berdasarkan suatu
standar. Dalam evaluasi pendidikan karakter memiliki tujuan, adapun tujuannya
adalah: a) untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan proses pendidikan
karakter dan b) untuk memperbaiki kekurangan yang ada supaya hasil selanjutnya
menjadi lebih baik.[66]

g. Sarana Prasarana dan Fasilitas Pendidikan Karakter

39
Pendidikan karakter memerlukan sarana dan fasilitas pendidikan karakter. Sarana dan
fasilitas pendidikan antara lain, dapat berupa gedung dan ruang belajar, perpustakaan,
laboratorium, peralatan belajar, dan lain sebagainya, yang diperlukan sebagai sarana
dan prasarana penunjang kelancaran proses pembelajaran.

Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan karakter khususnya di lingkungan


keluarga, kepentingannya tidak terletak pada kelengkapan sarana dan fasilitas yang
disediakan, tetapi pada kemampuan menata dan memanfaatkan serana dan fasilitas
yang ada di rumah, menjadi sarana dan fasilitas pendidikan.[67]

h. Implementasi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada
diri seseorang melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan
sehingga seseorang sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan
mengintegrasikan nilai yang menjadi nilai inti (core values) dalam pendidikan yang
dijalaninya ke dalam kepribadiannya.

Dalam pendidikan, peran dan fungsi pendidikan sangat strategis yang tidak dapat
dipungkiri. Sebab seorang pendidik turut menentukan sesuatu yang relevan
digunakan dalam mendidik dan mengajar, dan bagaimana peserta didik itu belajar
memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai hidupnya dengan mengimplisitkan nilai
dalam pengetahuannya itu serta bersedia menularkan pengetahuannya kepada orang
lain.[68] Hal ini sebagaiman tertera dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional
yang tertera dalam UU No 20 Tahun 2003 pasal 3, mengisyaratkan bahwa
pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis.

Berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik, diharapkan meraka mampu


bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
berdasarkan penelitiannya di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan
seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard
skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).[69] Hal
ini berbeda dengan praktek pendidikan di Indonesia yang cenderung lebih berorentasi
pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis) yang lebih bersifat
mengembangkan intelligence quotient (IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan

40
softskill yang tertuang dalam emotionalintelligence (EQ), dan spiritualintelligence (SQ).
Pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi lebih menekankan pada
perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Banyak guru yang memiliki
persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensiyang baik adalah memiliki nilai
hasil ulangan/ujian yang tinggi.

Seiring perkembangan zaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill yaitu
menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai
dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill
(interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan
masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar sesorang
dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi
juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Adapun Muchlas
Samani mengemukakan tentang beberapa langkah yang dapat dikembangkan dalam
melakukan proses pembentukan karakter yang baik, dalam hal ini dapat dikaitkan dalam
pendidikan karakter dalam lingkungan sekolah agar peserta ddiik lebih baik dan
kompeten. Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut:

 Menambahkan nilai kebaikan dalam diri peserta didik (knowing the good)
 Menggunakan cara yang dapat membuat peserta didik memiliki alasan atau
keinginan untuk berbuat baik (desiring the good)
 Dorongan untuk melakukan hal-hal yang baik dalam diri peserta didik (doing the
good)
 Membiasakan olah pikir dan kalbu pada peserta didik (habit of the mind and heart)
[70]

Sementara Masnur Muslich memberikan formula bahwa pendidikan karakter jika ingin
efektif dan utuh harus menyertakan tiga basis desain dalam pemogramannya.[71]

1) Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru
sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks
pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks

41
pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak
arah sebab komunitas kelas terdiri atas guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi
dengan materi.

2) Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun
kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata
sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri peserta didik.

3) Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah


tidak berjuang sendirian.Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga,
masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk
mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka.

Referensi

Dr. William Chang, OFM, Etika dan Etiket Komunikasi: Rahasia, Sadap-Menyadap, Ujaran
Kebencian, Hoax

Prof. Dr. H.Kaelan, MS., Etika Kehidupan Berbangsa Prinsip-Prinsip Etika Dalam Kehidupan

J. Sudarminta, Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif

ROMO AL. BUDYAPRANATA, PR, Etika Praktis

[1]Tadkirotun Musfiroh, “ Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter” dalam


Tinjauan Berbgagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter?
( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h.28.

[2] Dharma kusuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, h. 4

42
[3] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 33.

[4] Dharma kusuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, h. 4

[5] Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan karakter di Sekolah
(Yogyakarta: Diva press, 2011), h.28.

[6] Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Karakter di Sekolah (Yogyakarta: Laksana, 2011),
h.18-19.

[7] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, 30.

[8] Nuria Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, 97.

[9] Darma Kususma, ea al., Pendidikan Karakter, 6.

[10] Asmani, Jamal Ma’mur. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah
( Yogyakarta: Diva Press, 2011), 6.

[11] Ibid. 42

[12] Dharma kusuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, h. 6.

[13] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), h.72-73

[14] Ibid, h.73-74

[15] Retno Listyanti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, & Kreatif, (Jakarta:
Esensi, 2012), h.5-8

[16] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2013),
h.42

[17] Ibid, h.43

[18] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011), h.659

[19] Suparyato, “pengertian Keluarga”, dalam http://dr-suparyanto.blogspot.com

43
[20] Suyanto, “Urgensi Pedidikan Karakter” dalam www.mandikdasmen. Depdiknas.go.id

[21] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.85-101

[22] Moh.Haitami Slaim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h.268

[23] Buku panduan pendidikan karakter di Sekolah Menengah Atas Pertama, dalam
http://goeroendeso.file.wordpress.com

[24] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.48

[25] Ibid, h.48

[26] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban,
h.72

[27] Remayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h.152

[28] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.116

[29] Nini Subini, Awas, Jangan Jadi Guru Karbitan: Kesalahan – Kesalahan Guru dalam
Pendidikan dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Javalitera, 2012), h.66-69

[30] Ibid, h.6

[31] Ibid, h.67

[32] Ibid, h.68-69

[33] Ibid, h.69

[34] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban,
h.93

[35] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.128-129

44
[36] Ibid, h.130

[37] Didik Hariyanto, Membentuk Sikap Toleransi Siswa Melalui Pendidikan Berbasis Karakter,
dalam http://www.lazuardibirru.org.

[38] Nini Subini, Awas, Jangan Jadi Guru Karbitan: Kesalahan – Kesalahan Guru dalam
Pendidikan dan Pembelajaran, h.42

[39] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.138-139

[40] Utami Munandar, Pengembangan Emosi dan Kreativitas, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
h.25

[41] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.141

[42] Nini Subini, Awas, Jangan Jadi Guru Karbitan: Kesalahan – Kesalahan Guru dalam
Pendidikan dan Pembelajaran, h.42

[43] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.143

[44] Ibid, 145-147

[45] Ibid, h.148

[46] Nini Subini, Awas, Jangan Jadi Guru Karbitan: Kesalahan – Kesalahan Guru dalam
Pendidikan dan Pembelajaran, h.43

[47] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.151

[48] Ibid, h.154

[49] Ibid, h.155

[50] Ibid, h.156

[51] Ibid, h.158

[52] Ibid, h.49

45
[53] Ibid,

[54] Moh. Haitamin dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruz
Media, 2012), h.271

[55] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.197-202

[56] Ibid, 50-61

[57] Ibid, 52

[58] WJS. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka: 1976), h.644
dan 955

[59] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.52

[60] Moh.Haitami Slaim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, h.176-177

[61] Hasan Langlung, Asas – Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Husna, 1988), h.303

[62] Syamsul kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu di
Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.55

[63] Ibid, h.55-56

[64] Ibid, h.56-57

[65] Ibid, h.57-59

[67] Ibid, h.60

[68] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial
Kreatif, Cet Ke-V, (Yogyakarta: Rekesarasin, 2000), h. 71

[69] Mansur Muslich, Penddikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, Cet
Ke-II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 84

[70] Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Cet Ke-II,
(Bandung: Rosda Karya, 2012), h. 47-48

46
[71] Mansur Muslich, Penddikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, h.
160-161

47

Anda mungkin juga menyukai