Anda di halaman 1dari 151

MARITAL RAPE DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

Oleh :

NAMA: KHAIRUL AKBAR


NIM: 18.2150.8078

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


JURUSAN ILMU SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS SAMARINDA
2022
MARITAL RAPE DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

Oleh :

NAMA: KHAIRUL AKBAR


NIM: 18.2150.8078

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


JURUSAN ILMU SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS SAMARINDA
2022

i
MARITAL RAPE DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda Sebagai Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Keluarga Strata 1 (S1) dalam Ilmu Syariah

Oleh :

NAMA: KHAIRUL AKBAR


NIM: 18.2150.8078

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


JURUSAN ILMU SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS SAMARINDA
2022

ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Khairul Akbar

NIM : 1821508078

Jurusan : Ilmu Syariah

Fakutas : Syariah

PRODI : Hukum Keluarga

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Marital Rape Dalam

Perspektif Hukum Positif Indonesia Dan Hukum Islam”, ini adalah hasil karya

saya sendiri. Jika ternyata skripsi ini merupakan karya orang lain, maka saya

bersedia dituntut secara hukum dan gelar sarjana saya dicabut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Samarinda, 1 November 2022

Yang Menyatakan

Khairul Akbar
NIM. 1821508078

v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Khairul Akbar


NIM : 1821508078
Tempat, Tanggal Lahir : Tembilahan, 12 Desember 1998
Email : 12akbarkhairul@gmail.com
Alamat : Jl.Ketapi 1 No.28 Sampit Kalimantan tengah
Fakultas/Jurusan/PRODI : Syariah
: Jurusan Ilmu Syariah
: Program Studi Hukum Keluarga
Status Perkawinan : Belum Kawin
Riwayat Pendidikan : SDN 01 Mentawa Baru Hilir Sampit Kal-Teng
MTs Ulumuddin Al-Arsyadi Samboja Kal-Tim
SMA Syaichona Cholil Balikpapan Kal-Tim
Orang Tua
Ayah : Sayuti Zainuddin
Ibu : Miftahul jannah
Saudara : Rizkiatul Syahira
Abdul Fattah
Alamat Orangtua : Jl.Christope Mihing Baamang Tengah Sampit
Kal-Teng
Organisasi/Magang :

 Organisasi Ma‟had Al‟jamiah (OSMJ) Bidang Bahasa (2019-2020).


 Koordinator Bidang Bahasa OSMJ (2020-2021).
 Koordinator Bidang SEP (Sosialisasi Edukasi Publik) Klinik Etik Komisi
Yudisial Kalimantan Timur (2019-2020).
 Bidang KOMINFO Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah (DEMA).
 Fakultas Syariah (2021-2022).
 Magang Borneo Mediaton Center (BMC) 2021.
 Vocational School Graduate Academy (VSGA) Media Relatation Officer
(MRO) KOMINFO 2022.

vi
HALAMAN PERSEMBAHAN

Puja dan Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan

limpahan berkahnya terhadap kita semua. Begitu pula sholawat serta salam selalu

dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW hingga akhir hayat.

Skripsi ini saya persembahkan kepada setiap pembaca, peneliti dan para

literatur-literatur yang menjadikan skripsi ini sebagai referensi dan bahan acuan

penelitian. Semoga dengan adanya penelitian ini bisa menjadi pembuka pada

penelitian berikutnya.

Kemudian, secara khusus saya persembahkan juga untuk ibu saya “Miftahul

Jannah” yang telah memberikan seluruh tenaga, pengetahuan, dan kasih

sayangnya yang tiada batas. Atas usaha dan kerja kerasnya mendorong para anak-

anaknya untuk melek pada dunia pendidikan dan mengingatkan begitu pentingnya

agama. Semoga setiap keringat yang jatuh terbayarkan dengan ridho Allah SWT

dan menjadi amal jariyah yang tiada habisnya, begitu pula kepada ayah saya.

Kepada semua guru-guru, dosen-dosen, ustadz-ustadzah yang senantiasa

menuntun dan menyalurkan ilmunya tanpa pamrih kepada saya, besar harapan

semoga atas apa yang telah dilakukan bisa menjadi amal jariyah dikemudian hari.

dan Kepada teman-teman dan sahabat saya, siapapun itu yang telah membantu

serta menjadi inspirasi saya dalam dunia pendidikan.

vii
MOTTO

“Lakukanlah apa yang kamu bisa lakukan, selama tangan dan kaki bergerak

lakukanlah sebisamu”

(Khairul Akbar)

viii
KATA PENGANTAR

‫ميحرلا نمحرلا هللا‬ ‫بسم‬


Assalamualaikum, Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat, dan

hidayahnya kepada kepada penulis, yang mana pada akhirnya penulis mampu

menyelesaikan tugas skripsi ini yang berjudul dengan “Marital Rape Dalam

Perspektif Hukum Positif Indonesia Dan Hukum Islam”. Dengan maksud

penulisan penelitian sebagai bentuk tugas akhir kuliah untuk persyaratan

memperoleh gelar sarjana Strata satu (1) pada Universitas Islam Negeri (UIN)

Sultan Aji Muhammad Idris samarinda.

Tentunya dengan hal ini penulis sangat sadar bahwa dalam penulisan

penelitian skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan juga kesalahan.

Dengan itu penulis berharap dan mohon atas kritik serta saran yang bisa

membantu penulis untuk penyempurnaan skripsi ini. Besar harapan penulis,

penelitian skripsi ini bisa memberikan manfaat juga sebagai referensi kepada

khalayak untuk penelitian lainnya.

Dengan kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr.Mukhammad Ilyasin, M.Pd, Selaku Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris samarinda.

2. Bapak Dr. Bambang Iswanto, M.H Selaku Dekan Fakultas Syariah.

3. Bapak Dr. Iskandar, M.Ag. selaku wakil Dekan 1 bidang Akademik dan

kelembagaan.

ix
4. Dr. Bahrani, M.Pd. selaku Wakil Dekan II bidang Administrasi Umum,

Perencanaan dan Keuangan.

5. Ibu Dr. Lilik Andaryuni, S.H.I., M.S.I. selaku Wakil Dekan III bidang

Kemahasiswan, Alumni, dan Kerjasama. Dan juga sebagai dosen

Pembimbing 1.

6. Bapak Ahmad Sofyan, S.H., M.H. Selaku Ketua Program studi Hukum

keluarga.

7. Ustadz Abd Syakur, Lc., M.H. selaku Sekretaris program studi hukum

keluarga, dan juga sebagai dosen pembimbing II.

8. Dr.H. Murjani,S.Ag., S.H,.M.H. Sebagai dosen pembimbing eksternal

9. Segenap para ustadz dan ustadzah Ma‟had al-Jamiah.

10. Segenap teman-teman mahasiswa/i UINSI, fakultas syariah, hukum keluarga,

dan mahasiswa asrama putra. Yang selalu mendukung dan mendoakan saya.

Dengan lapang dada saya selalu menerima kritikan dan masukkan

sebagai bentuk proses pemantapan diri saya. Dan juga sebagai bentuk alamiah

seorang manusia yang selalu berproses dan berevolusi terhadap keadaan dan

sekitar. Sekali lagi saya memohon maaf jika ada kekeliruan dan kekhilafan.

Semoga kita senantisa dalam lindungan Allah SWT dan dan selalu diberikan nilai

juang terhadap agama dan negara. Amin ya Rabbal Alamin

Wassaalamu „alaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Samarinda, 1 November 2022


Peneliti

Khairul Akbar

x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Sesuai dengan SKB Menteri Agama RI, Menteri Pendidikan dan Menteri
Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543b/U/1987 Tertanggal 22 Januari 1988

A. Konsonan Tunggal

Huruf
Nama Huruf Latin Keterangan
Arab
‫أ‬ Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

‫ة‬ Bā' b -

‫ت‬ Tā' t -

‫ث‬ Śā' ś s (dengan titik diatas)

‫ج‬ Jim j -

‫ح‬ Hā' ḥa‟ h ( dengan titik di


bawah)

‫خ‬ Khā' kh -

‫د‬ Dal d -

‫ذ‬ Źal ź z ( dengan titik di atas)

‫ر‬ Rā' r -

‫ز‬ Zai z -

‫س‬ Sīn s -

‫ش‬ Syīn sy -

‫ص‬ Şād ş s (dengan titik di


bawah)

‫ض‬ Dād dad d (dengan titik di


bawah)

‫ط‬ Tā' ţ t (dengan titik di


bawah)

‫ظ‬ Zā' ẓ z (dengan titik di


bawah)

xi
‫ع‬ 'Ayn „ koma terbalik ke atas

‫غ‬ Gayn g -

‫ؼ‬ Fā' f -

‫ؽ‬ Qāf q -

‫ؾ‬ Kāf k -

‫ؿ‬ Lām l -

‫و‬ Mīm m -

‫ف‬ Nūn n -

‫و‬ Waw w -

‫ي‬ Hā' h -

‫ء‬ Hamzah ‟ Apostrof

‫ي‬ Yā y -

B. Konsonan Rangkap Karena tasydid Rangkap

‫متع ّددة‬ Ditulis muta‟addidah

‫عد ة‬ Ditulis „iddah

C. Tā' marbūtah di akhir kata


1. Bila dimatikan, dirulis h:

‫حكمة‬ Ditulis Hikmah

‫جزية‬ Ditulis Jizyah

(Ketentuan ini tidak diperlukan terhadap kata-kata Arab yang sudah


terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti zakat, shalat dan sebagainya,
kecuali dikehendaki lafal aslinya).

xii
2. Bila Ta‟ Marbūtah diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan
kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h

‫كرامة االولياء‬ Ditulis karāmah al-auliyā‟

3. Bila Ta‟ Marbūtah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan
dammah ditulis t

‫ز كاة الفطر‬ Ditulis zākat al-fitr

D. Vokal Pendek

----------- fathah Ditulis A


----------- kasrah Ditulis -I
----------- dammah Ditulis U

E. Vokal Panjang

1. Faţḥah + alif ditulis Ā


‫جاىلية‬ ditulis Jāhiliyya
h
2. Faţḥah + ya‟ mati ditulis Ā
‫تنسي‬ Ditulis Tansā
3. Kasrah + ya‟mati ditulis Ī
‫كرمي‬ Ditulis Karim
4. ḍammah + wawu mati ditulis Ū
‫فروض‬ ditulis Furūd

F. Vokal Rangkap

1. Faţḥah + ya‟ mati ditulis Ai


‫بينكم‬ ditulis Bainaku
m
2. Faţḥah + wawu mati ditulis Au
‫قوؿ‬ ditulis Qaul

xiii
G. Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata, dipisahkan dengan apostrof

‫أأنتم‬ ditulis a'antum

‫اعدت‬ ditulis u'iddat

‫لئن شكرمت‬ ditulis la'in syakartum

H. Kata sandang Alif+Lam


1. Bila diikuti huruf Qamariyyah

‫القرأف‬ ditulis al-Qur'ān

‫القيا س‬ ditulis al-Qiyās

2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah, ditulis dengan huruf Syamsiyyah yang


mengikutinya sertamenghilangkan huruf l (el)-nya.

‫السماء‬ Ditulis as-samā'

‫الشمس‬ Ditulis asy-syams


I. P
enulisan kata-kata dalam rangkain
Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya.

‫ذوى الفروض‬ Ditulis zawi al-furūd

‫أىل السنة‬ Ditulis ahl al-sunnah

xiv
ABSTRAK

Khairul Akbar, 2022. “Marital Rape dalam Perspektif Hukum Positif


Indonesia dan Hukum Islam”. Skripsi, Program studi Hukum Keluarga, Jurusan
Ilmu Syariah Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda.
Penelitian ini dibimbing oleh Ibu Dr. Lilik Andaryuni, S.H.I,. M.S.I dan Ustadz
Abd.Syakur, Lc,.M.H.
Penelitian ini dilatarbelakangi dengan tingginya kasus kekerasan seksual
di Indonesia dan salah satunya jenis marital rape, kekerasan seksual dalam rumah
tangga. Dikutip dari catatan tahunan KOMNAS anti kekerasan pada perempuan,
di tahun 2021 kekerasan marital rape terindikasi tertinggi kedua sebanyak 25%
dengan 597 kasus. Tentunya persoalan ini sangat penting dibahas, terlebih lagi
konsep marital rape yang masih belum diterima oleh semua kalangan masyarakat.
Acuan perspektif marital rape dalam hukum positif Indonesia dan hukum Islam
akan mengukur sejauh mana ketentuan marital rape didalamnya. Sedangkan
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perspektif marital rape pada
hukum positif Indonesia dan hukum Islam.
Penelitian ini bersifat kualitatif dan metode penelitian yang digunakan
adalah kepustakaan (library research). Menggunakan teknik pendokumentasian
dan pengumpulan data, yakni berupa buku-buku dan jurnal-jurnal serta sumber
literatur yang memilik relevansi terhadap penelitian. Dan teknik analisis berupa
interprestasi data dengan cara penafsiran data yang memmiliki relevansi terhadap
subjek atau objek penelitian dan disajikan dengan bentuk deskriptif.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan (1) marital rape dalam hukum
positif Indonesia dilarang, sebagaimana diatur pada pasal 5,8 dan 46 UU PKDRT,
juga pada pasal 4huruf b dan pasal 6huruf b UU TPKS. Selain itu, marital rape
menurut peneliti masih tidak dicermati dengan baik sebagai tindak pidana khusus
(Lex Specialis) dalam pengaturan kekerasan seksual khususnya dalam ranah
domestik. (2) marital rape bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini dikarenakan
konsep marital rape bertentangan dengan 3 konsep perkawinan yaitu an taradhin
(saling ridha), mu‟asyarah bil ma‟ruf (memperlakukan dengan baik), dan ad-
Dharar yuzal (kondisi bahaya harus dihilangkan) serta konsep maqashid syariah
pada prinsip memelihara agama, jiwa, akal dan keturunan.

xv
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ...........................................................................................i


HALAMAN JUDUL ............................................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vii
MOTTO .............................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................... xi
ABSTRAK ........................................................................................................... xv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xviii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix
BAB 1 : PENDAHULUAN
A.Latar Belakang ...................................................................................... 1
B.Rumusan Masalah ................................................................................. 8
C.Tujuan Penelitian................................................................................... 9
D.Manfaat Penelitian ................................................................................ 9
E.Penegasan Istilah ................................................................................. 10
F.Kajian Pustaka ..................................................................................... 14
G.Metode Penelitian ............................................................................... 20
H.Sistematika Penulisan ......................................................................... 23
BAB II:.KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A.Rumah Tangga .................................................................................... 24
B.Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ........................................ 44
C.Maqashid Syari‟ah .............................................................................. 49

xvi
BAB III:.MARITAL RAPE DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
A.Marital Rape ........................................................................................ 56
B.UU No.23 tahun 2004 PKDRT dan UU No.12 tahun 2022 TPKS ..... 60
BAB IV : HASIL PENELITIAN
A.Marital Rape Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia .................. 75
B.Marital Rape Dalam Perspektif Hukum Islam .................................... 81
BAB V : PENUTUP
A.Simpulan ............................................................................................. 87
B.Saran .................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xvii
DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. KAJIAN PUSTAKA ................................................................................17

II. PERBANDINGAN UU NO. 23 2004 PKDRT DAN UU NO. 12 2004


TPKS ........................................................................................................73

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

I. UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2022 TPKS

II. UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2004 PKDRT

III. SURAT BIMBINGAN SKRIPSI

IV. LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI

V. LEMBAR PERBAIKAN SKRIPSI

xix
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejatinya manusia sebagai salah satu makhluk hidup atau makhluk

biologis memiliki naluriah untuk hidup secara berpasang-pasangan dan untuk

memiliki keturunan. Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam menciptakan

makhluknya secara berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan, jantan

dan betina, dan begitu pula pada makhluk lainnya. 1 Hal tersebut sangat lumrah

untuk dilakukan oleh manusia dan memiliki nilai tersendiri bagi dirinya kepada

tuhan sebagai bentuk ketaatan kepada yang Maha Kuasa. Dengan terjadinya proses

akad nikah dan ijab kabul antara kedua pihak pasangan (laki-laki dan perempuan)

yang kemudian akan menjadikannya sah sebagai suami dan istri di mata agama

untuk membangun sebuah rumah tangga yang harmonis.

Pernikahan merupakan suatu proses yang sakral dalam Islam dan dapat

dikatakan sebagai momen terpenting bagi setiap individu. Karena pernikahan

adalah bentuk memulai kehidupan baru dengan pasangan dan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah

antara dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun batin menjadi satu (dalam

1
Abd Thalib, Hukum Keluarga dan Perikatan, (Pekanbaru: UIR Press, 2008), h.4.
2

rumah tangga).2 Dan dengan adanya pernikahan tersebut diharapkan bisa menjadi

suatu bentuk ibadah kepada tuhan dan terhindar dari perbuatan zina.

Pada pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki

dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan terbentuknya keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Oleh

karena itu dari kedua belah pihak harus menghormati ikatan sakral yang dijalani

keduanya agar tidak terjadi perpecahan dalam rumah tangga yang bisa

menyebabkan kekerasan dan perceraian.

Melangsungkan pernikahan dan hidup dalam berumah tangga tidak hanya

berbicara kesiapan secara fisik namun secara mental juga perlu. Pernikahan yang

dilandaskan dengan ibadah karena Allah SWT dan sehat secara fisik maupun batin

akan lebih cenderung langgeng atau tahan lama. Walaupun pada takdirnya hanya

Allah SWT saja yang mengetahui langgeng atau tidaknya suatu rumah tangga

terlepas itu dari niatnya. Dibandingkan pernikahan yang hanya dilandaskan dengan

kesiapan secara materi namun tidak secara batin, yaitu tidak siap dan tidak

mempelajari hakikat dalam pernikahan. Membangun rumah tangga dengan

ketidaksiapan akan memberikan peluang yang lebih besar terhadap

ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Hal tersebut meliputi bagaimana seorang


2
A.M. Ismatulloh, Konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah dalam Al-Qur‟an (Perspektif
Penafsiran Kitab Al-Qur‟an dan Tafsirnya, dalam Mazahib Jurnal Pemikiran Islam, No.1, Vol. XIV,
2015.
3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, 2 Januari
1974, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, (Jakarta : Yayasan Peduli Anak
Negeri,1974), h.2.
3

suami memberikan nafkah, menjaga istri maupun anak, kewajiban seorang suami

kepada istri dan kewajiban istri kepada suami. Dengan ketidaksiapan tersebut akan

dikhawatirkan pada setiap permasalahan yang muncul dalam rumah tangga tidak

bisa mengatasinya bahkan memperburuk keadaan sehingga menimbulkan

kekerasan dalam rumah tangga atau disingkat dengan KDRT (selanjutnya disebut

dengan KDRT).

Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (KDRT) dapat menimpa

siapa saja baik itu pihak suami ataupun pihak istri, dari anak-anak hingga orang

dewasa dalam lingkup rumah tangga. Namun yang sering menjadi dan perhatian

publik adalah kekerasan yang terjadi pada pihak perempuan baik itu istri ataupun

anak-anak. Istilah KDRT ini bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat namun

sudah menjadi persoalan yang perlu ditangani oleh pemerintah dengan

pembentukkan undang-undang yang mengatur hal tersebut.

Oleh karena itulah Allah SWT telah mensyariatkan pernikahan dengan

menjadikannya sebagai bentuk dasar yang kuat bagi kehidupan manusia. Dengan

beberapa nilai yang terjalin antara kehidupan mereka kepada tuhannya sebagai

bentuk ibadah dan tujuan yang mulia. Untuk mencapai kehidupan yang bahagia

dan terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela. Sebagaimana dalam firman Allah

SWT dalam Al-Qur‟an An-Nisa Ayat 34:


4

ِ ۤ ِ
‫ض َّوِِبَآ اَنْػ َف ُق ْوا ِم ْن‬ٍ ‫ض ُه ْم َع هلى بَػ ْع‬ ‫ع‬ ‫ػ‬‫ب‬ ‫اّلل‬ ‫ه‬ ‫َّل‬ ‫ض‬ ‫ف‬ ‫ا‬ ِ
َ ْ َ ُّ َ َ َ ‫اؿ قَػ َّو ُام ْو َف َعلَى النّ َس‬
‫ِب‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ُ ‫اَ ِّلر َج‬
‫اّللُ ۗ َوا هلِّ ِْت ََتَافُػ ْو َف نُ ُش ْوَزُى َّن‬
ّ‫ظ ه‬َ ‫ب ِِبَا َح ِف‬ ِ ‫ت لِّْلغَْي‬ ِ
ٌ ‫هت هحف هظ‬
ِ ‫الصلِ هح‬
ٌ ‫ت هقنت‬
ِِ
ُ ّ‫اَْم َواِل ْم ۗ فَ ه‬
‫اض ِربػُ ْوُى َّن ۚ فَاِ ْف اَطَ ْعنَ ُك ْم فَ ََل تَػْبػغُ ْوا َعلَْي ِه َّن‬
ْ ‫ضاج ِع َو‬
ِ ‫فَعِظُوى َّن واىجروى َّن ِِف الْم‬
َ َ ُ ُُْ ْ َ ُ ْ
‫اّللَ َكا َف َعلِيِّا َكبِْيػًرا‬ ِ
ّ‫َسبِْي ًَل ۗا َّف ه‬
Terjemahan: kaum laki-laki itu adalah pemimpim bagi kaum perempuan, karena
Allah SWT telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta
mereka. Sebab itu, istri yang shalihah ialah yang taat kepada Allah SWT lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah SWT telah
memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatikah mereka dan tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah
ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati
kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah SWT Maha Tinggi lagi Maha Besar.( An-Nisa Ayat 34) 4

Dijelaskan oleh Imam Syafi‟i, firman Allah SWT An-nisa ayat 34:
ِ ‫وا هلِِّت ََتافُػو َف نُشوزى َّن فَعِظُوى َّن واىجروى َّن ِِف الْمض‬
‫اج ِع‬ َ َ ُ ُْ ُ ْ َ ُ ْ َُْ ُ ْ َ ْ َ
“Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka

nasehatilah mereka dan tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang),...”.

Hal ini dapat diartikan jika melihat pertanda akan perbuatan nusyuz oleh istri,

artinya ada kekhawatiran terjadinya hal tersebut maka harus menasehati sang istri.

Dan jika sang istri tetap akan melakukannya, maka perlu melakukan pisah ranjang.

Dan jika sang istri benar-benar telah melakukannya, maka boleh memukulnya.

Dengan hal tersebut, ayat yang berkenaan antara nasehat, pisah ranjang,

serta pemukulan dilakukan atas dasar perbuatan yang nyata menunjukan bahwa

perlakuan kepada istri berbeda-beda dan dilakukan tergantung dengan

4
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, Cet.1, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 84.
5

perbuatannya. Dan jika mereka berbuat nusyuz dan khawatir mereka akan terus

melakukannya maka kalian boleh menasehati, pisah ranjang, dan sekaligus

pemukulan. Akan tetapi jika istri yang berbuat nusyuz sudah insyaf atau bertaubat

maka seorang suami tidak diperkenankan untuk melakukan hal tersebut.5

Dalam penjelasan ayat tersebut, dalam pelaksanaannya (Menasehati,

pisah tempat tidur, memukul) beberapa ulama fiqih memiliki perbedaan pendapat

apakah dilakukan dengan cara berurutan atau tidak. Beberapa jumhur ulama

mengatakan begitu juga dengan mazhab hambali, pelaksanaan tersebut harus

dilakukan secara berurutan dan disesuaikan dengan tingkatan nusyuznya.

Sedangkan menurut mazhab Syafi‟i begitu juga dengan Imam Nawawi, bahwa

dalam pelaksanaan (Menasehati, pisah tempat tidur, memukul) tersebut tidak harus

dilakukan dengan berurutan, dan diperbolehkan untuk memilih dengan catatan

apabila dirasa dapat memberikan manfaat dan faedah, apabila tidak maka tidak

perlu dilakukan lebih baik dengan memaafkannya (Saleh bin ganim Al-saldani).

Dan sebagai akibat atas hukum yang lain pada perbuatan nusyuz yang

dilakukan, jumhur ulama sepakat apabila istri yang tidak taat pada suaminya (tidak

ada tamkin sempurna dari istri) dengan tidak adanya alasan yang dapat di benarkan

dan diterima secara Syar‟i ataupun Aqli maka istri dapat dikatakan nusyuz dan

tidak berhak atas nafkah dan diperbolehkan untuk dipukul.6

5
Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir al-Imam asy-Syafi‟i, Cet.1,( Riyadh: Dar At-
Tadmuriyyah 2008), h.131.
6
Thohir Luth, Syariat Islam Menjawab Persoalan Umat, (Malang: UB Press, 2014), h.97.
6

Dikutip dalam catatan tahunan komisi Nasional (KOMNAS) Anti

Kekerasan pada Perempuan tahun 2021 bahwasanya kekerasan seksual ranah

personal dengan jenis marital rape yang terjadi di Indonesia menempati peringkat

kedua tertinggi sebanyak 25% dengan 597 kasus. 7

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual pada ranah

personal dapat dikatakan tinggi. Yang mana sebagian pelakunya adalah suami dan

istri yang menjadi pihak korbannya. Adanya data permasalahan kekerasan dalam

rumah tangga tersebut merupakan salah satu cerminan dan bentuk ketidaksiapan

seseorang dalam berumah tangga. Walaupun pada faktanya ketidaksiapan dalam

rumah tangga adalah salah satu alasan dari sekian banyaknya alasan yang muncul

dalam permasalahan rumah tangga. Yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan

secara sosial dan merugikan salah satu pihak.

Timbulnya berbagai permasalahan dalam rumah tangga bisa hanya berupa

pertengkaran kecil yang akan dianggap sepele. Akan tetapi ketika hal tersebut

tidak segera diselesaikan akan bisa menimbulkan masalah yang lebih besar bahkan

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga

merupakan hal yang buruk dalam keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga atau

yang dikenal dengan istilah KDRT ini mempunyai berbagai bentuk kekerasan

dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk KDRT di antaranya; kekerasan fisik,

psikologis, seksual, dan ekonomi. Dari beberapa bentuk kekerasan tersebut,

7
KOMNAS Perempuan, “CATAHU 2022: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan
Tahun 2021”, 2022.
7

kekerasan seksual yang menarik perhatian untuk dicermati. Bentuk kekerasan

tersebut adalah kekerasan dalam pemaksaan berhubungan intim atau perkosaan

dalam perkawinan (marital rape). Marital rape merupakan kejahatan tersembunyi

dalam perkawinan, yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga.

Kejahatan yang masuk dalam ruang lingkup non-publik sehingga sangat sulit

untuk ditampakkan pada permukaan.

Marital Rape (pemerkosaan dalam perkawinan) termasuk dalam kategori

penderitaan seksual yang dialami oleh perempuan dan juga ancaman dalam

kehidupan pribadi. Secara Etimologi marital rape berasal dari kosakata Inggris,

gabungan dari kata marital yang berarti segala bentuk yang terkait perkawinan,

dan rape yang berarti Pemerkosaan. Marital Rape, karenanya diartikan sebagai

pemerkosaan yang terjadi dalam sebuah ikatan perkawinan.8

Sampai saat ini Indonesia telah mengesahkan dua undang-undang yang

mengatur tentang permasalahan kekerasan dalam rumah tangga. Yakni Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga (selanjutnya disebut dengan UU PKDRT) dan Undang-undang Nomor 12

Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut

dengan UU TPKS). Yang mana dalam dua undang-undang tersebut memiliki

kesamaan tentang pembahasan permasalahan kekerasan seksual. Dan juga, dua

undang-undang tersebut secara teori memiliki pembahasan tentang marital rape di

8
Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan seksual terhadap istri, Cet-1, (Yogyakarta: Pustaka
pesantren, 2007), h. 11.
8

dalamnya, tentunya hal tersebut akan memiliki kesamaan dan perbedaan (lihat

hal.52). Dengan adanya kedua definisi hukum tersebut antara hukum Islam dan

hukum positif terlihat adanya dikotomik satu sama lain. Disatu sisi, hukum Islam

memperbolehkan dengan adanya memukul terhadap istri yang melakukan nusyuz.

Kemudian disisi lain undang-undang hukum positif juga melarang untuk memukul

terlebih di lingkup rumah tangga.

Dari dua hukum yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa segala

bentuk kekerasan merupakan dari bentuk sebuah kejahatan tidak dapat diterima di

manapun baik dari sudut pandang hukum Islam maupun hukum positif. Oleh

karena itu, dengan adanya dua hukum yang mengatur tentang kekerasan

terkhususnya dalam rumah tangga. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan pembahasan bagaimana perspektif marital rape dalam dua peraturan

hukum UU PKDRT dan UU TPKS, dengan judul “Marital Rape Dalam Perspektif

Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang peneliti

angkat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah marital rape dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia?

2. Bagaimanakah marital rape dalam Perspektif Hukum Islam?


9

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan peneliti mengadakan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana marital rape dalam perspektif hukum positif

Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana marital rape dalam perspektif hukum Islam.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat

dan kesan, baik itu secara teoriti ataupun praktis:

1. Manfaat penelitian secara teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat :

a. Sebagi bahan acuan dan bahan informasi untuk penelitian tentang marital

rape dalam perspektif hukum positif Indonesia dan hukum Islam.

b. Dan sebagai bahan untuk menambah wawasan dan pemahaman bagi

pembaca tentang marital rape dalam perspektif hukum positif Indonesia dan

hukum Islam.

2. Manfaat penelitian secara praktis

Secara praktis penelitian ini diharapakan dapat memberi manfaat Bagi

kampus UINSI Samarinda, penulis dan para mahasiswa sebagai bentuk

informasi awal yang nantinya akan melakukan penelitian lebih lanjut tentang

pemahaman tentang marital rape.


10

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan tentang permasalahan

yang dikaji dalam penelitian ini, serta untuk memberikan gambaran yang lebih

jelas dalam memahami judul penelitian, berikut penegasan istilah dari judul

peneliti, “Marital Rape Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia dan Hukum

Islam.”

1. Marital Rape

Marital rape secara Etimolog adalah kata yang berasal dari bahasa

bahasa inggris yakni marital sebuah hubungan atau ikatan pernikan, dan rape

adalah sebuah tindakan perkosaan. Marital rape dapat diartikan sebagai bentuk

tindakan kekerasan seksual atau perkosaan yang terjadi dalam ikatan

perkawinan (rumah tangga). Dan yang dimaksud dengan perkosaan disini

adalah sebuah aktivitas pemaksaan seksual yang dilakukan oleh salah satu

pihak (suami atau istri). Akan tetapi secara umum tindakan kekerasan seksual

ini lebih cenderung dilakukan pada istri dibandingkan suami.9

Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksud dalam marital rape

adalah, menurut Budiary 2008 setiap bentuk atau tindakan kekerasan yang

dilakukan oleh salah satu anggota keluarga dalam rumah tangga. Dan tindakan

tersebut dapat berupa dan mengakibatkan luka secara fisik, psikis, seksual, dan

9
Mochamad Sodik, Telaah Ulang Wacana Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan
kalijaga, DEPAG RI, dan McGill-CIDA, 2004), h.313-314.
11

ekonomi.10 Tindakan perkosaan yang dilakukan dalam ikatan perkawinan sama

saja dengan tindakan perkosaan lainnya. Sama-sama memiliki konsep kontak

seksual yang tidak diinginkan secara paksa. Dalam pernikahan tindakan

perkosaan mengacu pada hubungan seksual yang tidak diinginkan oleh seorang

pria dengan istrinya yang dilakukan secara paksa, ancaman, kekerasan, bahkan

fisik atau ketika tidak mendapatkan persetujuan. Hal ini merupakan tindakan

yang menyimpang kekerasan non-konsensual oleh pihak suami kepada istrinya

yang mana dilecehkan secara fisik ataupun seksual.11

2. Hukum

a. Hukum Positif Indonesia

Hukum positif Indonesia yang dimaksud dalam judul penelitian ini

adalah dua undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual lama

dan baru Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang No.12 tahun

2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga adalah undang-undang yang disahkan pemerintah

Indonesia tahun 2004 yang membahas tentang persoalan kekerasan seksual

dalam rumah tangga. Lingkup rumah tangga pada undang-undang ini

10
Fibrianti, Pernikahan Dini Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Di Lombok
Timur NTB), Cet.1, (Malang: Ahlimedia Press, 2021), h.9.
11
Sheila Fakhria dan Rifqi Awat Zahara, “Membaca Marital Rape dalam Hukum Keluarga
Islam dan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS)”, dalam Jurnal
Iijtihad, Vol 37, No.2, tahun 2021.
12

meliputi suami, istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan

keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dengan huruf a (Suami, istri

dan anak) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan

perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan orang yang bekerja

membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dan

pada undang-undang ini memiliki asas dan tujuan sebagai, penghormatan

terhadap hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non

diskriminasi, dan perlindungan korban. Dan bentuk kekerasan yang terjadi

dalam rumah tangga pada undang-undang ini meliputi kekerasan secara fisik,

psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga.

Undang-undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana

Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah Undang-undang yang disahkan

pemerintah indonesia pada tahun 2022 yang membahas tentang persoalan

tindak pidana atas kekerasan seksual. Dalam undang-undang ini

pengaturannya didasarkan atas penghargaan atas harkat dan martabat

manusia, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan,

kemanfaatan, dan kepastian hukum.

b. Hukum Islam

Hukum Islam yang dimaksud adalah sebuah khas ilmu dari Indonesia

yang merupakan terjemahan dari ilmu al-Fiqh al- Islam atau sebuah ilmu
13

tertentu pada as-syariah al-Islamy. 12 Dan hukum Islam yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah hukum maqashid syariah. Menurut manshur al-

khalify maqashid syariah sebagai al-ma‟ani yaitu “makna-makna” dan

hikam yaitu “hikmah-hikmah” yang dikehendaki oleh syari‟ pada penetapan

hukum untuk mewujudkan maslahat manusia di dunia dan di akhirat. Atau

makna sempurnanya yang dikemukakan oleh wahbah al-zuhaili, “Maqashid

al-syariah adalah makna-makna dan tujuan yang dapat dipahami atau

dicatat pada setiap hukum dan untuk mengagungkan hukum itu sendiri, atau

bisa juga didefiniskan dengan tujuan akhir dari syariat Islam dan rahasia-

rahasia yang ditetapkan oleh syari pada setiap hukumnya”. Dalam

maqashid syariah itu sendiri terdapat lima bentuk dasar yaitu maqashid

syariah untuk melindungi agama, untuk melindungi jiwa, untuk melindungi

pikiran, untuk melindungi harta dan untuk melindungi keturunan.13

Dan bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga pada

undang-undang ini meliputi tindakan kekerasan seksual (pelecehan seksual

fisik dan non-fisik, pemaksaan kotrasepsi, strerilisasi, perkawinan,

penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, kekerasan

seksual berbasis elektronik).14 Selain itu juga meliputi perkosaan, perbuatan

cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan

12
Husain, et.al...Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Cv Media Sains Indonesia, 2021), h.7.
13
Busyro, Maqashid al-Syariah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah, Cet.1, (Jakarta:
Kencana, 2019), h.7.
14
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022, Tindak Pidana Kekerasan
Seksual.
14

eksploitasi anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan

kehendak korban, pornografi, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang

yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup

rumah tangga, pencucian uang yang berasal dari tindak pidana kekerasan

seksual, dan tindakan lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak

pidana kekerasan seksual.

F. Kajian Pustaka

Setelah peneliti mencari penulisan yang memiliki korelasi dengan

“Marital Rape Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam”.

Ada beberapa sumber yang memiliki kesamaan dalam penulisan ini, adapun

sebagai berikut:

1. Jurnal yang berjudul “Kebjakan Formulasi Kekerasan seksual Terhadap Istri

(marital Rape) Berbasis Keadilan Gender Di Indonesia ”, disusun oleh Aldila

Arumita dan R.B Sularto. Penelitian ini menjelaskan bagaimana kebijakan

ataupun formulasi yang terjadi pada kekerasan seksual pada istri (marital rape)

yang disandarkan dengan sistem keadilan gender di indonesia meliputi

ketentuan hukum dan aturan pemerintah. Penelitian ini memiliki kesamaan

pendekatan secara hukum pada subjek penelitiannya yakni kekerasan pada

istri. 15 dan yang menjadi perbedaan adalah konsep keadilan gender menjadi

bahan analisis pada penelitian ini. Dan hasil penelitian menyebutkan bahwa

15
Aldila Arumita dan R.B Sularto, “Kebjakan Formulasi Kekerasan seksual Terhadap Istri
(marital Rape) Berbasis Keadilan Gender Di Indonesia”, dalam Jurnal Yuridis Edisi No.1, Vol.7, 2020.
15

pada KUHP belum bisa dikatakan bisa mengatur secara eksplisit pada persoalan

dalam pernikahan atau marital rape.Selain itu pada UU PKDRT juga tidak

menjelaskan secara spesifik kriteria korban. Sehingga peneliti menyimpulkan

perlunya diadakan pembaharuan hukum pidana mengenai tindak pidana marital

rape.

2. Tesis “Konstruksi Perlindungan Korban Dalam Perumusan Tindak Pidana

Marital Rape (Kajian Pengaturan Tindak Pidana Marital Rape Di Indonesia)”,

yang disusun oleh Ayunda Ulima Islamey, dalam penulisan membahas tentang

babagaimana kondisi konstruksi tindak pidana marital rape pada hukum pidana

yang ada di Indonesia dan bagaimana sistem perlindungan hukumnya yang

telah dijalankan pada kasus marital rape di Indonesia. Tesis ini menggunakan

metode penelitian Yuridis Normatif dengan pendekatan kepustakaan. Dan hasil

penelitian ini menjelaskan bahwa peneliti belum menemukan adanya suatu

ketentuan secara khusus mengenai permasalahan marital rape yang ada di

peraturan ataupun perundang-undangan Indonesia. Sehingga diperlukan untuk

pembaharuan hukum pidana yang secara komphrehensif serta konkrit.16

3. Jurnal Yang berjudul “Perkosaan Dalam Undang-undang Perkawinan (Marital

Rape Ditinjau Dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga”, yang disusun oleh Ni Made Sintia Ardi Ari dan Ida Bagus Surya

Dharma Jaya. Dalam penelitian ini membahas mengenai tentang pengaturan

16
Ayunda Ulima Islamey, Konstruksi Perlindunngan Korban Dalam Perumusan Tindak
Pidana Marital Rape (Kajian Pengaturan Tindak Pidana Marital Rape Di Indonesia)”, Tesis,
Direktorat Program Pascasarjana Universitas Malang, 2022, h. 9.
16

tindakan perkosaan dalam ikatan perkawinan (marital rape) di Indonesia serta

untuk mengetahui sanksi bagi pelaku tindak pelaku tersebut. Dalam jurnal ini

menggunakan metode penelitian hukum normatif, untuk menganalisis terkait

perkosaan dalam perkawinanan (marital rape) dalam UU. No 23 tahun 2004

PKDRT. Dengan hasil penelitian perkosaan dalam perkawinanan (marital rape)

tidak diatur dalam UU KUHP namun telah diatur dalam pasal 8 UU. No 23

tahun 2004 PKDRT. Dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa perkosaan

dalam perkawinanan (Marital Rape) tidak dapat dikatagorikan sebagai tindak

pidana perkosaan, maka hal ini mengakibatkan selaku korban tidak bisa

mengadukan perkosaan dalam perkawinanan (Marital Rape) sebagai tuduhan

perkosaan yang telah diatur dalam pada pasal 285 KUHP. Akan tetapi dapat

diproses dengan tuduhan penganiayaan sebagaimana pasal 351, 354, dan 356

KUHP.17

4. Jurnal Yang berjudul “Analisis Ketentuan Pidana kekerasan seksual Perspektif

Hukum Islam (Studi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 46, pasal 47.

Pasal 48”, yang disusun oleh Idham, Novi Puspita, dan Siti ayunah. Penelitian

ini memiliki kesamaan padda subjek penelitian yang sama membahas tentang

persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi pada metode

pendekatannya memiliki perbedaan yakni dengan analisis secara hukum dan

17
Ni Made Sintia Ardi Ari, et.al, “Perkosaan Dalam Perkawinan (Marital Rape) Ditinjau
Dari Undang-Undnag Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga”, dalam JurnalFakultas Hukum
Universitas Udayana, 2019. h.1.
17

kebisasaan pada masyarakat desa.18 Kemudian hasil kesimpulan dari penelitian

ini bahwasanya setiap tindakan pelanggaran pada UU PKDRT 2004

dikategorikan sebagai tindakan pidana dan dilarang dan para pelakunya dapat

dihukum. Kemudian dari segi pendekatan secara empirisnya dapat dikatakan

masih minimnya pengetahuan dan faktor budaya atau adat masyarakat desa

menjadikan kekerasan dalam rumah tangga cukup normal atau hal yang biasa.

TABEL I
KAJIAN PUSTAKA

Nama Judul Diteliti


Khairul Marital Rape Dalam
Akbar Perspektif Hukum a. Marital Rape Dalam Perspektif
Positif Indonesia dan Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam Hukum Islam. yaitu UU No.23
tahun 2004 PKDRT, UU No.12
tahun 2022 TPKS dan Hukum
Nusyuz Islam.
b. Penulisan ini menggunakan jenis
kualitatif (Library Research),
dengan mengkaji dan menelaah
sumber-sumber tertulis (buku,
tesis, skripsi, jurnal dan literatur
lainnya) yang memilki korelasi
dengan penelitian.

18
Idham, et.al..., “Kekeraan dalam Rumah Tangga (Analisis Dalam Perspektf Hukum Dan
kebiiasaan Masyarakat Desa), dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, 2020.
18

Nama dan judul Hasil Persamaan Perbedaan


Widyanita, KUHP belum bisa pendekatan konsep keadilan gender
Pencegahan dikatakan bisa secara hukum menjadi bahan analisis
Bentuk KDRT mengatur secara pada subjek pada penelitian ini Bentuk
dalam Perspektif eksplisit pada penelitiannya KDRT”
Al-Qur‟an dan persolana dalam yakni tindakan
UU PKDRT
pernikahan atau kekerasan pada
(No.23 tahun
2004) marital rape.Selain istri
itu pada UU
PKDRT juga tidak
menjelaskan secara
spesifik kritera
korban. Sehingga
peneliti
menyimpulkan
perlunya diadakan
pembaharuan
hukum pidana
mengenai tindak
pidana marital
rape.
Ayunda Ulima Peneliti belum Pada penelitian Perbedaan terdapat subjek
Islamey, menemukan adanya ini memiliki serta pendekatan yang
Konstruksi suatu ketentuan kesamaan pada menggunakan Konstruksi
Perlindunngan secara khusus objek kajian Perlindunngan Korban
Korban Dalam mengenai yaitu Pengaturan Dalam Perumusan Tindak
Perumusan permasalahan Tindak Pidana Pidana marital rape
Tindak Pidana marital rape yang marital rape Di
marital rape ada di peraturan Indonesia
(Kajian ataupun perundang-
Pengaturan undangan indonesia.
Tindak Pidana Sehingga diperlukan
marital rape Di untuk pembaharuan
Indonesia) hukum pidana yang
secara
komphrehensif serta
konkrit
Ni Made Sintia perkosaan dalam Penulisan ini Pada penelitian ini hanya
Ardi Ari dan Ida perkawinanan memiliki menggunakan analisis secara
Bagus Surya (marital rape) tidak kesamaan hukum dan tidak
19

Dharma Jaya, dapat dikatagorikan menjadikan UU disandingkan dengan hukum


Perkosaan sebagai tindak pidana PKDRT No.23 Islam.
Dalam Undang- perkosaan, maka hal tahun
undang ini mengakibatkan 2004sebagai
Perkawinan selaku korban tidak Objek penelitian
(marital rape bisa mengadukan
Ditinjau Dari perkosaan dalam
Undang-undang perkawinanan
Penghapusan (marital rape)
Kekerasan sebagai tuduhan
Dalam Rumah perkosaan yang telah
Tangga diatur dalam pada
pasal 285 KUHP.
Akan tetapi dapat
diproses dengan
tuduhan
penganiayaan
sebagaimana pasal
351, 354, dan 356
KUHP.
Idham, Novi setiap tindakan Kesamaan metode pendekatannya
Puspita, dan Siti pelanggaran pada diantaranya memiliki perbedaan yakni
ayunah, UU PKDRT 2004 pada subjek dengan analisis secara
Kekerasan dikategorikan penelitian yang hukum dan kebisasaan
Dalam Rumah sebagai tindakan sama membahas pada masyarakat desa
Tangga tentang
pidana dan dilarang
(Analisis Dalam kekerasan dalam
Perspektf dan para pelakunya rumah tangga.
Hukum dan dapat dihukum. dan penggunaan
Kebasaan secara empirisnya UU PKDRT
Masyarakat dapat dikatakan 2004 sebagai
Desa) masih minimnya dasar hukum
pengetahuan dan peneltian.
faktor budaya atau
adat masyarakat
desa menjadikan
kekerasan dalam
rumah tangga
cukup normal

\
20

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode library

reseacrh (pustaka). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan

untuk mencari realitas atau kebenaran dibalik gejala yang tersimpan secara

indrawi dalam paradigma interpretif. Penulisan kualitatif memiliki sifat

deskriptif dan menggunakan analisis dengan pendekatan secara induktif untuk

menemukan teori, konsep, dan juga filosofi yang berbasi pada sebuah data.

Secara umum penelitian ini disusun dalam bentuk sebuah narasi yang bersifat

kreatif, mendalam dan menunjukkan karakter ilmiah. Penulisan kualitatif ini

menggunakan metode Library reseacrh (pustaka) yaitu metode penelitian yang

mengadakan studi atau telaah pada buku, laporan, catatan, ataupun karya sastra

yang memiliki korelasi terhadap masalah yang akan dipecahkan dalam

penelitian.19

Pada skripsi ini peneliti akan mendeskripsikan atau memberikan

gambaran yang mendalam mengenai marital rape dalam perspektif hukum

positif Indonesia dan hukum Islam.

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Bahan Primer:

19
Suhar Saputra, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan tindakan pengarang, Cet.1,
(Bandung: Refika Aditama, 2012), h. 4.
21

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2022 tentang

Tindak Pidana kekerasan Seksual.

3) Al-Qur‟an

Bahan Sekunder:

1) Literatur yang memiliki relevansi dengan UU PKDRT dan UU TPKS

2) Literatur yang memiliki relevansi dengan hukum Islam (maqashid syariah)

b. Sumber data Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dam sekunder.

1) Kamus Ensiklopedia

2) Kamus Bahasa Indonesia dan kamus Hukum

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan pengumpulan data secara studi

kepustakaan (libarry research), dengan memuat data kualitatif. Dan juga

mencari dengan bahan-bahan yang mempunyai relevansi terhadap penelitian.

Dengan teknik dokumentasi, yaitu semua data atau referensi yang telah tersusun

sistematis baik berupa buku, jurnal ataupun literatur-literatur yang berkaitan

dengan penelitian.
22

4. Analisis Data

Analisis data adalah sebuah proses untuk mencari dan menyusun

secara sistematis pada data yang telah diperoleh dari hasil wawancara, catataan

lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisir data ke dalam kategori,

menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, dan menyusun pola,

memilih yang mana penting dan yang dipelajari, dan yang akan dipelajari, dan

membuat kesimpulan sehingga mudah dan bisa dipahami oleh diri sendiri serta

orang lain.20

Adapun instrumen analisis data yang digunakan pada penelitian ini

berupa interprestasi data dengan cara menafsirkan isi atau bahan yang memiliki

relevansi pembahasan tentang marital rape dalam perspektif hukum positif

Indonesia dan hukum Islam.

Pemilihan pada bidang tertentu sebagai objek kajian penelitian, dalam

penelitian ini berupa “marital rape dalam perspektif hukum positif Indonesia

dan hukum Islam” :

a. Mengumpulkan data yang digunakan tentang marital rape melalui Buku-

buku, jurnal, dan sumber lainnya yang memiliki relevansi.

b. Kemudian menganalisa “marital rape dalam perspektif hukum positif

Indonesia pada UU No.23 tahun 2004 PKDRT dan UU No.12 tahun 2022

TPKS dan hukum maqashid syariah”.

20
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 244.
23

H. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini disusun atas lima bab sebagai bentuk memudahkan

penulisan dan pembatasan maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I Terdiri dari pendahuluan: Latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, kajian pustaka,

metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II Terdiri dari penjelasan: kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif

Hukum Islam.

BAB III Terdiri dari Penjelasan: marital rape dan Hukum Positif di Indonesia

BAB VI Terdiri dari : hasil penelitian marital rape dalam perspektif hukum

Indonesia dan hukum Islam.

BAB V Terdiri dari : Kesimpulan dan saran.


BAB II
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Rumah tangga yang telah terjalin antara suami dan istri terkadang tidak

serta merta berjalan dengan mulus, tentu setiap rumah tangga akan mengahadapi

cobaan dan permasalahannya masing-masing. Dan setiap orang yang berada di

dalam rumah tangga tentu akan berusaha untuk mengatasinya. Dari cobaan atau

permasalahan tersebut akan memiliki hasil akhir apakah setiap individu yang

berada di dalamnya mampu bertahan dalam rumah tangga sehingga kehidupannya

harmonis untuk kedepannya, ataupun setiap individu tidak mampu untuk

menghadapi dan bertahan dalam rumah tangga sehingga kadang menimbulkan

sebuah percerian. Tentunya cobaan dan permasalahannya yang terjadi berbeda-beda,

dan salah satunya adalah permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Sebelum penjelasan KDRT, berikut dari masing penjelasan mengenai rumah tangga

dan kekerasan yang nanti memiliki makna secara kesatuan yang asalnya dari dua

kalimat yang berbeda.

A. Rumah Tangga
1. Definisi Rumah Tangga

Penjelasan atau pengertian dari rumah tangga tidak ada sumber yang

menyebutkan secara terperinci, namun secara umum rumah tangga dapat

diketahui merupakan sebuah organisasi terkecil dalam lingkup masyarakat

yang terbentuk karena adanya suatu proses pengikatan atau yang disebut
25

dengan perkawinan. Secara hukum positif tidak ditemukan istilah atau

pengertian khusus mengenai rumah tangga, namun hal yang lain memiliki

kesamaan dalam pemakanaan yaitu istilah “keluarga”. Istilah keluarga

ditemukan dalam pasal 1 ke 30 undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang

Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan “keluarga

adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau

hubungan perkawinan”.1

Pada awalnya beberapa kalangan menyebutkan bahwa konsep

keluarga sama saja dengan pengistilahan terhadap rumah tangga, yakni secara

fungsi domestik dari keluarga. Namun kenyataannya di lapangan, konsep

antara keduanya (keluarga dan rumah tangga) tidak selalu berjalan selaras.

Menurut Wilk dan Netting rumah tangga merupakan sebuah atau satuan

lingkup sosial yang selalu reaktif pada perubahan yang terjadi di sekitarnya,

tidak hanya sekedar pada satuan sosial yang berisikan hubungan sedarah dan

perkawinan.2

Dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2004 pasal 2 menyebutkan

bahwa lingkup rumah tangga terdiri seorang suami, istri, dan anak, orang-

orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana

dimaksud paa huruf a (Suami, istri, dan anak) karena hubungan darah,

1
Soeroso dan Moerti hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Yuridis-
Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 62.
2
Achmad Fedyani Ssifuddin, Keluarga dan Rumah Tangga: satuan Penelitian dalam
Perubahan Masyarakat, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No.3, Vol. 30, 2006.
26

perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam

rumah tangga, dan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap

dalam rumah tangga tersebut.3

Hidup bersama pasangan dalam rumah tangga tentunya masing-

masing pihak memiliki tujuan dan rencana yang ingin dicapai guna

keberlangsungan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Dengan tujuan

masing-masing yang beragam namun masih selaras antara suami dan istri

sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada pernikahan. 4 Tujuan rumah

tangga sangatlah beragam, namun pada masing-masing orang tentunya

memiliki perbedaan tersendiri. Secara umum tujuan berumah tangga dapat

dikategorikan sebagai berikut:

a. Berumah tangga untuk memenuhi kebutuhan naluri alami sebagai

manusia (Hubungan seksual).

b. Berumah tangga untuk terhindar dan menjaga diri dari perbuatan yang

tercela dan dilarang oleh agama.

c. Berumah tangga untuk memenuhi kewajiban beribadah kepada tuhan.

Dalam setiap hubungan rumah tangga tentu memiliki tujuan besar

untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman antara keduanya baik itu istri

ataupun suami. Hal ini selaras sebagaimana dalam kompilasi hukum Islam

3
Undang-undang Republik Indonesia No.23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
4
Kauma Fuad, Membimbing Istri Mendampingi Suami, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),
h.8
27

(KHI) pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.5 Tujuan dasar dari terjadinya

pernikahan tentunya adalah menciptakan sebuah ketentraman jiwa atau batin

yang hanya didapat dengan proses hubungan atas dasar kasih sayang,

bukannya sebuah hubungan dengan kekuasaan ataupun kekerasan.

Dalam Islam konsep rumah tangga juga disebutkan dalam surah Ar-

Rum ayat 21 sebagaimana Allah SWT berfirman:

‫اجا لِّتَ ْس ُكنُػْٓوا اِلَْيػ َها َو َج َع َل بَػْيػنَ ُك ْم‬ ِ ِ ِ ِ


ً ‫َوم ْن اه هيتو اَ ْف َخلَ َق لَ ُك ْم ّم ْن اَنْػ ُفس ُك ْم اَْزَو‬
‫ت لَِّق ْوٍـ يػَّتَػ َف َّكُرْو َف‬
ٍ ‫ك َ هَليه‬ ِ ِ ‫َّموَّدةً َّور ْْحةً ۗ اِ َّف‬
َ ‫ِف هذل‬
ْ ََ َ
Terjemahan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa dan
kasih sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir”
6

Dari ayat tersebutlah merupkan salah satu kriteria dan juga sebuah

filosofi rumah tangga yang ideal menurut Islam. Dengan adanya kriteria

tersebut akan sangat penting untuk menciptakan sebuah keluarga yang

berkualitas. 7

Dalam Islam, pengartian konsep berumah tangga tidak hanya sebagai

bentuk ibadah terpanjang umat Islam, akan tetapi juga sebagai bentuk ikatan

lahiriah dan batiniah antara seorang suami dan seorang istri. Dengan adanya

5
Majelis Ulama Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, 2003.
6
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 406.
7
A.Fatih Syuhud, Keluarga Sakinah, Cet. 1, (Malang: Pustaka Al khoirot, 2013), h.11.
28

ikatan tersebut diharap dan akan memberikan sebuah hubungan timbal balik atas

dasar kewajiban dan hak masing-masing antara suami istri.

Dalam teori rumah tangga peneliti mengacu pada tiga konsep dasar

dalam penegakan dan pemenuhan antara kewajiban dan hak suami istri yakni, an

taradhin, muasyarah bil ma‟ruf, dan ad-Dhoror yuzal.

a. An taradhin

An taradhin merupakan sebuah konsep muamalah pada setiap

kegiatan baik secara individu ataupun berkelompok dengan dasar saling

ridho. Pada umumnya konsep ini banyak digunakan pada bidang

perniagaan atau jual beli. akan tetapi tidak menutup kemungkinan hal ini

dapat diqiyaskan pada konsep rumah tangga. Tidak dipungkiri bahwa

pernikahan dapat dikatakan sebagai bentuk ibadah dalam muamalah

mengingat perannya yang begitu besar dalam mewujudkan keluarga yang

harmonis . Hal ini didasari pada ayat al-Qur‟an surah an-Nisa ayat 29:

ٍ ‫اط ِل اََِّلٓ اَ ْف تَ ُك ْو َف ِِتَ َارًة َع ْن تَػَر‬


‫اض‬ ِ ‫هٰٓيَيػُّها الَّ ِذين اهمنُػوا ََل ََتْ ُكلُٓوا اَموالَ ُكم بػيػنَ ُكم ِِبلْب‬
َ ْ َْ ْ َ ْ ْ ْ َ َْ َ
‫اّللَ َكا َف بِ ُك ْم َرِحْي ًما‬ ِ ِ
ّ‫ّمْن ُك ْم ۗ َوََل تَػ ْقتُػلُْٓوا اَنْػ ُف َس ُك ْم ۗ ا َّف ه‬
Terjemahan : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali
berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.8

b. Mu‟asyarah bil ma‟ruf

8
Annisa Eka Rahayu dan Kiki Zakiah, “Aspek Keridhaan Dalam Komunikasi Bisnis
Perspektif Tafsir Surah An-Nisaa‟ Ayat 29”, dalam Jurnal Istiqro: Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Bandung, Vol.6, No.2, 2020.
29

Dalam konsep mu‟asyarah bil ma‟ruf segala tindakan yang

didasari dengan akad dan transaksi dengan manusia akan menciptakan

sebuah kewajiban dan hak pada pelakunya. Sama halnya dalam perkawinan

sebagai bentuk awal terbangunnya sebuah rumah tangga yang didasari hak

dan kewajiban sebagai bentuk untuk menjaga kemaslahatan didalamnya.

Selain itu bentuk hak dan kewajiban ditujukan untuk menciptkan keluarga

yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan adanya sebuah interaksi

dan relasi antar anggota dalam pemenuhan atas hak dan kewajiban

menandakan terbetuknya relasi dan interaksi yang baik dalam keluarga

(mu‟asyarah bil ma‟ruf). Penerapan yang fleksibel diartikan dengan setiap

tindakan hak dan kewajiban dapat dimusyawarahkan menyesuaikan

keadaan masing-masing pihak rumah tanggga dengan acuan terbentuknya

kebaikan dan harmonis. dan pemenuhan antara hak dan kewajiban pada

suami dan istri haruslah seimbang satu sama lain.

Setiap tindak dalam pemenuhan antara suami dan istri adalah

seimbang satu sama lain dengan cara yang baik. Kepercayan satu sama lain

yang baik dan pergaulan antara keduanya yang saling menghargai dan

mengasihi juga mempengaruhi keharmoniasan rumah tangga.

Hal ini juga selaras pada undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 1

(1) “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam


30

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat.”

c. ad-Dhoror Yuzal

Dan setiap perlakuan antara suami dan istri dalam rumah tangga

harus terhindar dari perbuatan yang mudharat. Dalam kaidah ushul fiqih

‫اَلضََّرُر يػَُز ُاؿ‬


Artinya: Kemudharatan hendaknya dihilangkan
‫ضرَ َار‬
ِ َ‫ضرَ َر َوَل‬
َ َ‫َل‬
Artinya: Sa'īd Al-Khudriy -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan,
bahwasanya Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tidak
boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang
lain." Hadis sahih - Diriwayatkan oleh Ibnu Mājah

Artinya segala bentuk yang memiliki kemudharatan dan yang

membahayakan adalah haram dan menyingkirkannya merupakan

kewajiban yang harus dilakukan.9

2. Hak dan Kewajiban Suami dan Istri

Dalam kontekstual lingkup rumah tangga, masing-masing pihak antara

suami dan istri tentunya memiliki peranan penting sebagai bentuk komitmen

dalam ikatan pernikahan dan membentuk rumah tangga yang harmonis.

Kewajiban yanng merupakan bentuk segala hal harus dilakukan oleh setiap

pihak dan hak adalah segala bentuk yang harus diterima oleh masing-masing

pihak antara suami dan istri. Dari dua bentuk hal tersebut merupakan sebuah

9
Hadeethenc, Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang
lain, Diakses pada 13 Oktober 2022, https://hadeethenc.com/id/browse/hadith/4711
31

komitmen pernikahan dan juga sebuah amanah dari syariat untuk dikerjakan

semaksimal mungkin. Dengan adanya syariat antara hak dan kewajiban suami

istri tidak lain untuk terciptanya sebuah keluarga atau rumah tangga yang

sakinah mawaddah dan rahmah.10

a. Hak-hak Istri dalam kewajiban suami

Dalam berumah tangga ada beberapa hal yang harus dipenuhi

seorang suami untuk istrinya, diantaranya ada berupa materi dan ada juga

yang berupa non materi.11

1) Istri berhak untuk memperoleh mahar dari suami,


ۤ
‫ْب لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّمْنوُ نَػ ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َىنِْيػًا‬ ِ ‫واهتُوا النِّس ۤاء ص ُد هقتِ ِه َّن ِ ِْنلَةً ۗ فَاِ ْف‬
‫ط‬
َْ َ ََ َ
ِۤ
‫َّمريْػًا‬
Terjemahan: Berikanlah maskawin (mahar)kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah)pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” Q.S An-Nisa:4.12

2) Istri berhak untuk memperoleh nafkah dari suami

ۗ
ۚ ‫س اََِّل ُو ْس َع َها‬ ‫ف‬‫ػ‬‫ن‬ ‫ف‬َّ
‫ل‬
ٌ َْ ُ ُ ‫ك‬
َ ‫ت‬ ‫َل‬
َ ِ
‫ؼ‬ ‫َو َعلَى الْ َم ْولُْوِدلَو ِرْزقُػ ُه َّن َوكِ ْس َوتُػ ُه َّن ِِبلْ َم ْعُرْو‬
Terjemahan: “...dan kewajiban bapak memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya...” Q.S Al Baqarah:233.13

10
Firman Arifandi, Serial Hadist Nikah 6: Hak dan Kewajiban Suami Istri, (Jakarta: Lentera
Islam, 2020), h. 3.
11
Ali Manshur, Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam, Cet.1, (Malang: UB press, 2017),
h. 136.
12
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 77.
13
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 38.
32

3) Istri berhak digauli dengan secara baik dan adil

Seorang istri berhak digauli (bersenggama) oleh suaminya

dengan cara yang baik dan adil. Karena hal tersebut merupakan makna

dari sebuah pernikahan, yaitu dapat menyalurkan hasrat seksual kepada

seseorang yang telah halal baginya. Sebagaimana dalam firman Allah

SWT.

‫اّللُ فِْي ِو‬ ِ ِ ِ


ّ‫َو َعاش ُرْوُى َّن ِِبلْ َم ْع ُرْوؼ ۚ فَا ْف َك ِرْىتُ ُم ْوُى َّن فَػ َع هٓسى اَ ْف تَكَْرُى ْوا َشْيػًا َّوََْي َع َل ه‬
‫َخْيػًرا َكثِْيػًرا‬
Terjemahan: “dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah)karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah SWT menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” Q.S An-Nisa:19.14

Dalam ayat tersebut juga menjelaskan bahwa terkadang dalam

pergaulan sehari-hari (antara suami istri) terdapat perkataan dan sikap

istri yang tidak berkenan di hati suami atau sebaliknya. Maka Allah

SWT menganjurkan untuk bersabar dalam menghadapinya karena pada

setiap keadaan ada hikmahnya.15

pada hadist nabi juga menyebutkan

‫ أَ ْك َمل‬: ‫صلَّى هللا َعلَ ِيو َو َسلَّ َم‬


َ ‫اّلل‬ َّ ‫َع ْن أَِِب ُىَريْػَرَة َر ِض َي‬
َّ ‫ قَ َاؿ َر ُسوؿ‬:‫اّللُ َعْنوُ قَ َاؿ‬
‫ َو ِخيَ ُارُك ْم ِخيَ ُارُك ْم لِنِ َسائِ ِه ْم … رواه الرتمذي‬،‫هم ُخلًُقا‬ ْ ُ‫َح َسن‬ ً َ‫ني إِمي‬
ْ ‫اًن أ‬
ِِ
َ ‫الْ ُم ْؤمن‬
‫وغريه‬

14
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 80.
15
Ali Manshur, Hukum... h.137.
33

Artinya: Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang


paling baik akhlaknya, dan sebaik-baiknya kamu adalah yang paling
baik terhadap istrinya.
Dalam hadist lain juga menyebutkan bahwa seorang suami

dianjurkan untuk tidak memukul istrinya. sebagaimana dalam hadist:

‫ «ََل‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َاؿ‬ ِ ِ


َ ‫َّب‬
ِ ِ ِ ِ
ِّ ‫َع ْن َعْبد هللا بْن َزْم َعةَ َرض َي هللاُ َعْنوُ َعن الن‬
.‫ رواه البخاري‬.»‫آخ ِر الْيَػ ْوِـ‬ ِ ‫ ُُثَّ َُي ِامعها ِِف‬،‫ََيلِ ُد أَح ُد ُكم امرأَتَو ج ْل َد الْعب ِد‬
َُ َ َْ َ ُ َ ْ ُ َ ْ
Terjemahan:“Dari Abdulllah bin Zam‟ah ra, dari Nabi Saw bersada:
Janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya layaknya
memukul hamba sahaya, (padahal) ia menggaulinya di ujung hari.
(Sahih Bukhari, no. Hadis: 5259)”. 16

Dari pengertian tersebut dapat dipahami dalam pemenuhan hak

dan kewajiban istri dan suami adalah keputusan bersama. Dan harus

dijalani dan dinikmati oleh kedua pihak dengan baik begitupun dengan

halnya dalam berhubungan seksual (jima‟).

Tentunya seorang suami juga perlu adab dan aturan ketika

ingin mendatangi istrinya. Dalam agama Islampun juga mengajarkan

tetang tata krama dalam berhubungan intim antara suami dan istri. Salah

satunya hendaknya seorang suami untuk melakukan pemanasan atau

istilah lainnya dikenal dengan foreplay, dalam keterangan ini tidak ada

dasar hadist yang kuat sebagai rujukan, kecuali hadist dhaif ini:17

‫اّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َع ِن الْ ُم َواقَػ َع ِة قَػْبل الْ ُمَلَ َعبَ ِة‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫نَػهى رسوؿ‬
َ ‫اّلل‬ َُ َ
16
Faqihuddin Abdul Kodir, 60 Hadiist Shahih, Cet. 1, (Yogyakarta: DIVA Press, 2019),
h.123.
17
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih kehidupan (8): Pernikahan, (Jakarta: Fiqih Publishing, 2019),
h.188.
34

Artinya : Rasulullah melarang melakukan jima‟ sebelum mula‟abah

Mula‟abah dapat diartikan sebagai bermain-main, yang

memiliki asal kata dari la‟iba-yal‟abu. Makna permainan yang

dimaksud yaitu pemanasan sebelum melakukan hubungan suami istri.

Dari beberapa poin tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban

seorang istri sangat penting pada suaminya, akan tetapi seorang suami

juga harus mengerti pada keadaan istrinya dan juga menjaga harus adab

ketika hendak mendatangi istrinya. Hendaknya antara suami istri rela

ketika salah satunya meminta untuk berhubungan bukan dengan paksaan

ataupun kekerasan sehingga menimbulkan cedera.

Selain itu seorang suami diingatkan untuk tidak sibuk dengan

dunianya sendiri dan mengabaikan bercanda dan bemesraan dengan

istrinya, apalagi bersenggama dengannya. Karena hal tersebut

merupakan hal yang tidak adil, dan termasuk dalam perbuatan aniaya

(dzalim) terhadap istrinya dan dapat mengakibatkan pertengkaran

bahkan perselingkuhan antara keduanya.

4) Menjaga istri dari perbuatan dosa

Seorang suami harus menjaga dan mengajarkan istri dan

keluarganya dari perbuatan dosa yang bisa mengakibatkan kesengsaraan

dalam rumah tangga. Sebagaimana dalam firman Allah SWT.


35

‫اْلِ َج َارةُ َعلَْيػ َها‬ ِ ِ َّ


ْ ‫َّاس َو‬ ُ ‫هٰٓي َۤيػُّ َها الذيْ َن اه َمنُػ ْوا قُػْٓوا اَنْػ ُف َس ُك ْم َواَ ْىلْي ُك ْم ًَن ًرا َّوقُػ ْوُد َىا الن‬
ِ ٌ ‫م هل ِٕى َكةٌ ِغ ََل‬
‫اّللَ َمآ اََمَرُى ْم َويَػ ْف َعلُ ْو َف َما يػُ ْؤَم ُرْو َف‬ ُ ‫ظ ش َد ٌاد ََّل يَػ ْع‬
ّ‫ص ْو َف ه‬ َ
Terjemahan: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras.
Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan
kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(Q.S At-
Tahrim: 6).18
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa seorang suami atau

seorang kepala keluarga wajib bertangung jawab untuk menjaga istri,

anak dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan yang dimurkai Allah

SWT. Dan juga, seorang suami harus harus membimbing keluarganya

dengan cara yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi keluarganya.19

5) Memberikan kasih sayang kepada istri

Hendaknya seorang suami untuk memberikan rasa tenang dan

tenteram ketika istri bersamanya. Sebagaimana firman Allah SWT,

‫اجا لِّتَ ْس ُكنُػْٓوا اِلَْيػ َها َو َج َع َل بَػْيػنَ ُك ْم َّم َوَّد ًة‬ ِ ِ ِ ِ


ً ‫َوم ْن اهيهتو اَ ْف َخلَ َق لَ ُك ْم ّم ْن اَنْػ ُفس ُك ْم اَْزَو‬
‫ت لَِّق ْوٍـ يػَّتَػ َف َّك ُرْو َف‬
ٍ ‫ك َ هَل هي‬ ِ ِۗ
َ ‫َّوَر ْْحَةً ۗا َّف ِ ِْف هذل‬
Terjemahan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa dan kasih sayang. Sesungguhnya pada demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Q.S Ar-
Rum: 21).20

18
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 560.
19
Ali Manshur, Hukum... h.138.
20
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 406.
36

b. Hak-hak suami dalam kewajiban Istri

Seorang suami yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga tentu

memikul banyak beban dan amanah yang harus dijalankan. Dengan menjaga

istri, anak, dan keluarganya baik dari persoalan dunia maupun akhirat,

menafkahi mereka dengan memberikan kebutuhan makanan, minuman,

pakaian, pendidikan dan tempat tinggal.

Dengan tanggung jawab yang tidak mudah tersebut, maka harus

diimbangi dengan ketaatannya seorang istri sebagai pendamping suami dalam

berumah tangga. Oleh karenanya maka kewajiban seorang istri terhadap

suaminya setingkat setelah kewajiban dalam urusan agamanya. Hak seorang

suami lebih di atas dari hak siapapun setelah hak Allah SWT dan Rasul-Nya,

termasuk dalam hak kedua orang tuanya. Adapun hak-hak suami yang

dimaksud:

1) Nafkah Batin

Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat

223:
ۤ ِ
‫ث لَّ ُك ْم ۖ فَأْتُػ ْوا َح ْرثَ ُك ْم اَ هّّن ِشْئػتُ ْم ۖ َوقَ ِّد ُم ْوا َِلَنْػ ُف ِس ُك ْم ۗ َواتَّػ ُقوا ّه‬
‫اّللَ َو ْاعلَ ُمْٓوا‬ ٌ ْ َ ْ ُ ُ ‫ن َس‬
‫ر‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ك‬‫ؤ‬ ‫ا‬
ِِ ِ
َ ْ ‫اَنَّ ُك ْم ُّم هل ُق ْوهُ ۗ َوبَ ّش ِر الْ ُم ْؤمن‬
‫ني‬
Terjemahan: istri-istrimu adalah (seperti)tanah tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanamnmu itu bagaimana
saja kamu hendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
37

bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan


menemui-Nya, dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.21

Tafsir dari ayat tersebut menjelaskan bahwasanya seorang suami

dapat dan diperbolehkan untuk mendatangi atau menggauli istri dengan


22
cara yang dikehendakinya. Sebagaimana dalam tafsir al-Qurthubi

menjelaskan bahwa menurut orang-orang yahudi penduduk Quraisy

menggauli istrinya dengan cara yang munkar. Mereka bersenang-senang

pada istrinya dengan keadaan (istrinya) menghadap, terlentang, dan

membelakangi. Dan ketika para penduduk Muhajirin ke Madinah, dan

diantara mereka menikahi salah satu wanita anshar, kemudian orang itupun

melakukan perbuatan serupa (menghadap, terlentang, dan membelakangi)

pada istrinya, dan istrinya pun mengingkarinya, “sesungguhnya kami

hanya digauli dari arah samping. Lakukanlah hal itu, jika tidak jauhilah

aku”. Dan kabar itupun tersebar luas dan sampai kepada Rasulullah SAW,

hingga Allah SWT menurunkan ayat “maka datangilah tanah tempat

bercocok tanamnmu itu bagaimana saja kamu hendaki”. 23 Yakni boleh

mendatangi istri dalam keadaan menghadap, terlentang, dan

membelakangi sesuai dengan yang kita hendaki.24

2) Taat terhadap Suami

21
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 37.
22
Syaikh Imam Al-Qurthubi, “Al-Jami‟li ahkaam Al-Qur‟an.” Terj., Faturrahman, et.al,
Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), h.200.
23
Syaikh Mahmud al-Mashri, “Az-zawaj al-Islami as-Sa‟id”, Terj., Iman Firdaus, Bekal
Pernikahan, (Jakarta: Qisthi Press, 2010), h.402.
24
Syaikh Imam Al-Qurthubi, “Al-Jami‟li...h. 201.
38

Seorang istri diwajibkan untuk menaati setiap perintah suami

selama bukan perbuatan maksiat atau tercela. Pada umumnya perintah

suami yang diberikan kepada istrinya cenderung hanya dalam urusan

rumah tangga, seperti ajakan untuk berhubungan suami istri (bersenggama)

atau hanya ajakan tidur bersama. Maka seorang istri diwajibkan untuk

melaksanakannya selama tidak ada uzur darurat yang menghalanginya.

‫ت النِّ َساءَ أَ ْف يَ ْس ُج ْد َف أل َْزَو ِاج ِه َّن لِ َما‬ ٍ ‫لَو ُكْنت ِآمرا أَح ًدا أَ ْف يسج َد أل‬
ُ ‫َحد أل ََم ْر‬
َ ُ َْ َ ً ُ ْ
ْ ‫اّللُ َِلُْم َعلَْي ِه َّن ِم َن‬
‫اْلَ ِّق‬ َّ ‫َج َع َل‬
Artinya : “ Seandainya aku memerintahkan seorang untuk sujud pada yang
lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada
suaminya karena Allah SWT telah menjadikan begitu besarnya hak suami
yang menjadi kewajiban istri”, (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad).25
Kemudian hadist lain juga memberikan keterangan serupa tetang

kewajiban seorang istri terhadap suaminya:

‫ َع ْن أَِِب ُىَريْػَرَة‬،‫ َع ْن أَِِب َحا ِزٍـ‬،‫ش‬ ِ ‫ َع ِن األ َْع َم‬،َ‫ َح َّدثَػنَا أَبُو َع َوانَة‬،‫َّد‬ ٌ ‫َح َّدثَػنَا ُم َسد‬
َّ ‫ إِ َذا َد َعا‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ َِّ ‫وؿ‬ َّ ‫َر ِض َي‬
ُ‫الر ُج ُل ْامَرأَتَو‬ َ ‫اّلل‬ ُ ‫ قَ َاؿ َر ُس‬:‫ قَ َاؿ‬،ُ‫اّللُ َعْنو‬
ِ ِِ ِ
‫صبِ َح‬ ْ ُ‫ضبَا َف لَ َعنَػْتػ َها ال َػم ََلئ َكةُ َح ََّّت ت‬
ْ ‫ات َغ‬َ َ‫ت فَػب‬ْ َ‫إِ ََل فَراشو فَأَب‬
Artinya: “dikisahkan dari Musaddad, Abu „awanah, al-A‟masy,
Abi Hazim, Abu Hurairah radliyyallahu „anhu, Rasulullah SAW
bersabda, ”jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, namun
sang istri tidak mau sehingga suaminya marah, maka malaikat akan
melaknat istri tersebut sampai pagi hari”. (HR. Al-Bukhari No. 3237)

25
Mutmainah Afra Rabbani, 1001 Kewajiban Istri dalam Mengarungi Bahtera Rumah Tangga,
(Yogyakarta: Lembar Pustaka Indonesia, 2015), h. 89.
39

Al-Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa, “hal ini merupakan

sebuah dalil yang menjelaskan haramnya bagi seorang istri yang menolak

ajakan suaminya untuk berjima‟ apabila tidak ada alasan secara syara”.

Dalam kitab Fathul bari Syarh shahih al-Bukhari juga menjelaskan, bahwa

dari teks hadist tersebut mengisyaratkan adanya muqayyad (dibatasi

dengan syarat).26 Yakni apabila penolakan yang dilontarkan oleh istri dan

tidak menimbulkan kemarahan suaminya karena paham dan mengerti

kondisi sang istri maka intervensi dari malaikat tidak akan terjadi. Artinya,

intervensi malaikat dalam hadist tersebut tidak bersifat mutlak apabila

suaminya tidak marah.

3) Hak diberikan Rasa Kasih sayang

Seorang istri diwajibkan bersikap lembut dan memberikan kasih

sayang kepada suaminya, sehingga ketika suami di sampingnya merasa

tenang dan selalu merindukan kehadirannya. Selain itu seorang istri juga

harus memahami keadaan suami dan tidak memberatkannya. Kewajiban

istri lainnya sebagai berikut:27

a) Meringankan mahar suami, beban belanja suami, menjaga harta suami.

b) Mengikuti tempat tinggal suami

c) Berdandan hanya untuk suami

d) Memelihara dan mengasuh anak

26
Moh. Suri sudahri, Adabul Mufrad, Cet.1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h.125.
27
Mutmainah Afra Rabbani, 1001...h. 93.
40

e) Tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami

f) Tidak berpuasa sunah kecuali dengan izin suami

g) Mensyukuri pemberian suami

c. Nusyuz

Hidup dalam lingkup rumah tangga antara suami dan istri tentu

memiliki banyak cobaan dan tantangan, entah itu datangnya dari luar ataupun

dari dalam. Seringkali dengan adanya cobaan tersebut mengakibatkan dan

menimbulkan permasalahan antara suami dan istri, dan membuat salah

satunya “Purik” (ngambek) dan hal ini akan berimbas terhadap kewajiban

mereka sebagai suami ataupun istri atau yang di sitilahkan dengan nusyuz.

1) Pengertian Nusyuz

‫ينشز‬-‫نشز‬
Secara bahasa, nusyuz adalah bentuk kata dari isim.................

mashdar, Yang artinya terangkat tinggi ke atas. Dan menurut al-Qurtubi,

‫ ًنشز‬Adalah sesuatu yang terangkat ke atas dari bumi.28


makna.........

Kata nusyuz juga dimaknai dengan sesuatu hal yang menonjol

dari dalam atau dari suatu tempatnya. Dan jika dikaitkan dengan

permasalahan hubungan antara suami dan istri, maka hal tersebut

memiliki makna sebagai sikap seorang siteri yang durhaka, membangkan,

menentang dan membenci terhadap suaminya.29

28
Mughniatul Ilma, “Kontekstualisasi Konsep Nusyuz Di Indonesia,” Jurnal Pemikiran
KeIslaman 30, no. 1 (2019): h. 51, https://doi.org/10.33367/tribakti.v30i1.661.
29
M.Dahlan, Fikih Munakahat, Cet. 1, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h.125.
41

Dalam Al-Qur‟an kata nusyuz terdapat lima kali penyebutan

yang memiliki berbagai maksud dan makna penjelasan di setiap

pembahasannya. Dalam istilah syarak nusyuz adalah suami ataupun istri

yang lalai dalam menjalankan kewajiban atau tanggung jawab mereka

terhadap pasangan masing-masing sebagaimana yang telah di tetapkan

oleh Allah SWT serta tidak ada alasan untuk tidak menjalankannya

kecuali apabila ada uzur yang di syariatkan.30

2) Dasar Hukum Nusyuz

Penjelasan hukum yang mengatur tentang nusyuz dijelaskan

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)pada pasal 84 Ayat 1 yang

merumuskan:

“Istri dapat dianggap Nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-


kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali
dengan alasan yang sah”

Counter Legal Draft (CLD) juga menyebutkan bahwa

perbuatan nusyuz bukan hanya terjadi pada istri, akan tetapi pada suami

juga bisa terjadi hal ini sesuai dengan penjelasan dalam AL-Qur‟an . Pada

pasal 53 CLD menyebutkan bahwa: 31

a) Suami atau Istri dapat dianggap nusyuz apabila tidak melaksanakan


kewajiban atau melanggar hak sebagaimana diatur dalam pasal 50
dan 51.

30
Norzulaili Mohd Ghazali, et al,. Nusyuz, syiqaq Dan Hakam Menurut Al-Qur‟an, Sunnah
Dan Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: KOLEJ UNIVRSITI ISLAM MALAYSIA
(KUIM), 2006). h. xi.
31
Sulistyowati Irianto, perempuan dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif
Kesetaraandan Keadilan, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 162.
42

b) Penyelesaian nusyuz dilakukan dengan cara damai dengan


musyawarah keluarga.
c) Apabila tidak tercapai penyelesaian damai, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan atau gugatan penyelesaian
kepada pengadilan.
d) Apabila terjadi kekerasan atau penganiyaan akibat nusyuz, maka
pihak yang dirugikan dapat melaporkan kepada pihak kepolisian
sebagai tindak pidana.

Kemudian dalam Islam, konsep dasar hukum mengenai nusyuz ini


disebutkan dalam Al-Qur‟an:

‫صلِ َحا‬ ‫ي‬


ُّ ‫ف‬ْ ‫ا‬
َ ٓ‫ا‬ ‫م‬ ِ
‫ه‬ ‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬ ‫اح‬ ‫ن‬ ‫ج‬ ‫َل‬
َ ‫ف‬
َ ‫ا‬ ‫اض‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ِ‫واِ ِف امراَةٌ خافَت ِم ْۢن بػعلِها نشوزا اَو ا‬
ْ َ ْ َ َ َ ُۗ ً َْ ْ ًْ ُ ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ
‫ُّح َواِ ْف ُُْت ِسنُػ ْوا َوتَػتَّػ ُق ْوا فَاِ َّف‬
َّ ‫س الش‬ ِ ِ
ُ ‫الص ْل ُح َخْيػٌر ۗ َواُ ْحضَرت ْاَلَنْػ ُف‬ ُّ ‫ص ْل ًحا َۗو‬ ُ ‫بَػْيػنَػ ُه َما‬
‫اّللَ َكا َف ِِبَا تَػ ْع َملُ ْو َف َخبِْيػًرا‬
ّ‫ه‬
Terjemahan: “ dan jika seorang wanita akan khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.
Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah SWT
adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S An-Nisa: 128).32
Dari ayat tersebut kemudian dijelaskan bahwa nusyuz tidak

hanya terjadi pada istri saja, melainkan juga kepada suami yang lalai atau

tidak melaksanakan hak dan kewajibannya terhadap. Misalnya

pelanggaran sighat taklik talak, meninggalkan istri dalam kurun waktu

dua tahun berturut-turut atau lebih, tidak menafkahi selama tiga bulan,

menelantarkan istri dan anak-anaknya dan lain sebagainya.33

3) Bentuk-bentuk Perbuatan nusyuz

32
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 99.
33
Ecep Nurjamal, Praktik Beracara Di Pengadilan Agama, (Tasikmalaya: Edu Publisher,
2020), h. 160.
43

Dari perbuatan nusyuz ini timbul dikarenakan adanya kelalaian

atau tidak dijalankannya kewajiaban antara suami dan istri yang

merugikan masing-masing pihak. Ada beberapa keadaan atau ciri-ciri

perbuatan nusyuz yang telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an, diantaranya

sebagai berikut:

a) Nusyuz dari pihak istri

Ketika istri berbuat nusyuz, maka dia sedang berbuat

durhaka dan tidak menaati perintah suaminya. Yang mana seharusnya

setiap perintah seorang suami adalah wajib dilaksanakan dengan

catatan masih dalam syariat Islam. Disebutkan oleh Imam Ad-

Dzahabi bahwa melakukan perbuatan nusyuz adalah salah satu dosa

besar.

"‫ "نُ ُش ْوُز اْلَرأْ َة َعلَى َزْوِج َها‬:‫السابِ َعةُ َو ْاألََربَػعُ ْو َف‬
َّ ُ‫اْل َكبِْيػَرة‬
َ
Maksudnya: Dosa besar yang ke 47: “Perbuatan nusyuz seorang
istri kepada suaminya”34
Dengan adanya nusyuz tersebut maka diklsifikasikan sebagai berikut:

(1) Menolak ajakan suami untuk berhubungan badan tanpa alasan

yang jelas dan sah, karena pada dasarnya hal tersebut merupakan

kewajiban seorang istri dan merupakan hak seorang suami.

34
Syafri Muhammad Noor, Ketika Istri Berbuat Nusyuz, (Yogyakarta:Lentera Islam, 2017), h.
23.
44

(2) Menolak untuk berhias dan berdandan sementara suami

menasehati dan menginginkannya.

(3) Tidak betah dan keluar rumah tanpa seizin seorang suami

(4) Mengingkari kebaikan seorang suami terhadap istrinya

(5) Tidak mematuhi ajakan atau perintah suami

b) Nusyuz dari pihak suami

(1) Suami tidak menafkahi istri dan anaknya

(2) Berbuat kasar dan keras hati terhadap istrinya

(3) Tidak memenuhi kewajibannya terhadap istri dalam persoalan

gilir

(4) Sikap suami cenderung otoriter sebagai pemimpin keluarga,

takabur dan mendominasi kekuasaanya.35

B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Menjalani hidup dalam lingkup rumah tangga tentunya setiap pasangan

akan menemukan permasalahan dan cobaan. Persoalan tersebut bisa datang kapan

saja pada awal pernikahan ataupun di pertengahan pernikahan. Tentunya dengan

adanya permasalahan tersebut akan menguji setiap pasangan rumah tangga.

Dalam membangun rumah tangga yang harmonis atau sakinnah, mawaddah,

warahmah seperti yang dicita-citakan setiap pasangan suami istri pada

35
Prosiding Seminar Serantau Islam Kontemporer Indonesia-Malaysia, Islam Kontemporer
Di Indonesia dan Malaysia, (Makassar:Fakultas Ushuluhuddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar,
2015), h. 94.
45

kenyataannya banyak rumah tangga yang berjalan tidak sesuai apa yang dicita-

citakan. Berbagai permasalahan menjadi penyebab tidak tercapai rumah tangga

yang diharapkan, seperti persoalan ekonomi, egoisme, ataupun kekerasan.36

Pada dasarnya rumah tangga diharapkan jadi tempat lingkup kecil

institusi sosial yang saling berbagi kehangatan dan intensif pada setiap

anggotanya dan juga sebagai tempat untuk menumbuhkan nilai-nilai sosial. 37

Namun bagaimana sebaliknya, jika rumah tangga menjadi tempat yang tidak

kondusif dan penuh kekerasan bagi anggotanya.

Pemerintah Indonesia telah mengatur tentang idealisme keluarga dan

rumah tangga pada Undang-undang perkawinan yang disahkan pada tahun 1974.

Namun dalam undang-undang tersebut ketentuannya lebih cenderung bersifat

mengatur dan non hukum, dalam artian tidak akan memiliki atau menimbulkan

dampak hukum bagi suami atau istri yang melanggarnya termasuk kekerasan.38

Kemudian pada tanggal 22 september 2004 pemerintah Indonesia telah

mengesahkan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU

PKDRT) sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah bahwa setiap warga negara

berhak untuk mendapatkan perlindungan, rasa aman dan terbebas dari segala

bentuk kekerasan, termasuk dalam kekerasan pada rumah tangga atau yang disebut

KDRT. Berikut penjelasan mengenai KDRT:


36
Abdul Aziz, “Islam dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, dalam Jurnal Kordinat edisi
No.1, Vol.XVI, 2017.
37
TO Ihromi, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), h. 15.
38
Ikin Zainal Muttaqin, “Langkah-langkah Advokasi Legislatif LBH APIK bersama jaringan
dalam Menangani Isu KDRT”, http://www.docstoc.com/docs/68853221/langkah-langkah-advokasi,
diakses tanggal 13 Mei 2022.
46

1. Pengertian KDRT

KDRT atau yang disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga

merupakan kekerasan yanng dilakukan dalam lingkup rumah tangga baik itu

dilakukan oleh suami ataupun istri. Dalam undang-undang penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT) tahun 2004 pada pasal 1

menyebutkan bahwa KDRT adalah:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama pada perempuan, yang


berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan oerbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukumm dalam lingkup rumah tangga ”

Mengacu pada pengertian di atas, bahwasanya segala bentuk KDRT

adalah salah pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan kejahatan terhadap

sesama manusia serta tindakan diskriminasi yang harus dihapuskan.39

Pemaknaan lainnya mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT) merupakan penyerapan istilah yang digunakan dari Domestic Violence

dan Intimate-Partner Violence yang mana kalimat tersebut seringkali

digunakan pada konteks kekerasan yang meliputi fisik, emosional, ataupun

seksual pada pasangan yanng menikah ataupun tidak menikah.

Kemudian ada istilah lainnya yaitu Domestic Violence, suatu

kekerasan yang dilakukan terhadap pasangan intim (Intimate Partner Violence),

kekerasan yang dilakukan dalam keluarga (family Violence), penganiayaan

39
Saptosih Ismiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) & Hak Asasi Manusia
(Sebuah Kajian Yuridis), Cet. 1, (Yogyakarta: Deepublish, 2020), h. 4.
47

yang dilakukan pasangan (Spouse Abuse), penganiayaan yang dilakukan pada

istri (Wife Abuse) atau serangan yang terjadi pada istri (Wife assault). Dari

istilah-istilah tersebut seringkali merujuk pada kondisi dan jenis kekerasan yang

dilakukan pada seorang perempuan. Akan tetapi kekerasan yanng terjadi pada

perempuan tersebut dapat juga terjadi pada laki-laki, ataupun anak laki-laki

oleh orang tua atau pengasuhnya.40

2. Bentuk-bentuk KDRT

Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga (UU PKDRT) No.23 Tahun 2004 menyebutkan ada 4 poin terkait

bentuk-bentuk KDRT yang terjadi pada rumah tangga.41

Pasal 6
Kekerasan Fisik: yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat.

Pasal 7
Kekerasan Psikis: yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakuan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pasal 8
Kekerasan Seksual : yaitu perbuatan yang melakukan pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan tergadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut. perbuatan pemaksaan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/ atau
tujuan tertentu.

Pasal 9
Penelantaran : yaitu perbuatan yang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya namun secara hukum merupakan kewajibannya. Perbuatan

40
Triantono, Pemidanaan Rehabilitasi Pelaku Kejahatan Domestik, (Magelang: Pustaka
Rumah C1nta, 2020). h. 13-14.
41
Undang-Undang No.24 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasa Dalam Rumah Tangga.
48

yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/


atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah tangga
sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Dalam Islam bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga secara

umum meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual.42

Bentuk KDRT yang pertama Kekerasan secara fisik yaitu kekerasan yang

dilakukan mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, dan luka berat. Hal tersebut

dapat berupa tamparan, pukulan, meludahi, menjambak rambut, menendang,

dll.

Kemudian kekerasan yang dilakukan secara psikis, yaitu perbuatan

yang dapat mengakibat ketakutan, trauma, atau hilangnya rasa percaya diri.

Hal tersebut dapat berupa tuduhan zina, hinaan, ataupun kata kasar.

Selanjutnya kekerasan yang dilakuakan secara seksual, yaitu

pemaksaan berhubungan badan suami istri. Hal tersebut terjadi apabila salah

satu pasangan mengehendaki hubungan badan namun salah satunya menolak

dengan alasan sedang haid atau ada udzur lainnya yang sesuai dengan syariat

Islam dan diperbolehkan, akan tetapi pasangannya memaksa untuk tetap

berhubungan badan.

Selain itu kekerasan suami juga dapat terjadi dengan bentuk ketidak

pedulian suami terhadap kepuasaan seorang istri dalam berhubungan badan,

42
Rizem Aizid, Fiqih Keluarga terlengkap, Cet.1, (Yogyakarta: Laksana, 2018), h.268.
49

dan Islam melarang hal tersebut. Karena hal tersebutlah, menjadikannya salah

satu adab dalam berhubungan badan menurut Islami.43

C. Maqashid Syari’ah
Secara bahasa, maqashid syariah memiliki kalimat yang berasal dari

kata maqashid bentu jama‟ dari maqshuduu yang artinya kesengajaan atau tujuan.

Dan Syariah yang artinya menuju sumber air atau dapat juga dimaknai dengan

menuju sumber pokok kehidupan.44

Menurut Abdullah yusuf ali maqashid syariah merupakan segala

sesuatu yang digunakan atau ditetapkan Allah SWT pada agama untuk mengatur

hidup hamba-hambanya. Maka poin yang terkandung dalam maqashid syariah atau

tujuan hukumnya adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Dan kemaslahatan

tersebut tidak hanya dilihat melalui arti teknis saja akan tetapi juga sebagai upaya

dinamika dan pengembangan suatu hukum saja akan tetapi juga dilihat sebagai

sesuatu yang mengandung nilai-nilai filosofi pada hukum-hukum yang

disyariatkan.45

Dasar hukum maqashid syariah terkandung dalam Qur‟an Surah an-

Nisa ayat 18:

ۤ
‫هك َع هلى َش ِريْػ َع ٍة ِّم َن ْاَلَ ْم ِر فَاتَّبِ ْع َها َوََل تَػتَّبِ ْع اَ ْى َواءَ الَّ ِذيْ َن ََل يَػ ْعلَ ُم ْو َف‬
َ ‫ُُثَّ َج َع ْلن‬

43
Rizem Aizid, Fiqih...h. 270-273.
44
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqhal-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al-Syari‟ah
dari Konsep Kependekatan, (Yogyakarta: Lkis, 2010),h. 178-179.
45
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-syar‟ah Menurut al- Syatibi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1996), h. 61.
50

Terjemahan: Kemudian, kami jadikan engkau (nabi muhammad )mengikuti syariat


dari urusan (agama) itu. Maka, ikutilah ia (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.46

dan juga dalam Qur‟an surah al-Syuraa ayat 13:

‫صْيػنَا بِٓو اِبْػ هرِىْي َم َوُم ْو هسى‬ َّ ‫ك َوَما َو‬ ِ ِ


َ ‫صى بِو نػُ ْو ًحا َّوالَّذ ْٓي اَْو َحْيػنَآ الَْي‬
ِ ِ
ّ‫ع لَ ُك ْم ّم َن ال ّديْ ِن َما َو ه‬ َ ‫َشَر‬
‫ني َما تَ ْدعُ ْوُى ْم اِلَْي ِۗو اَ هّّللُ ََْيتَِ ْٓب اِلَْي ِو‬ ِ‫و ِعي هٓسى اَ ْف اَقِيموا ال ِّدين وََل تَػتَػ َفَّرقُػوا فِي ِۗو َكبػر علَى الْم ْش ِرك‬
َ ْ ُ َ َُ ْ ْ َ َْ ُْ ْ َ
ۗ ِ ِِ ِ ۤ
‫ب‬ُ ‫َم ْن يَّ َشاءُ َويَػ ْهد ْٓي الَْيو َم ْن يُّنْي‬
Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)
Nya orangyang kembali.47

Secara konsep maqashid syariah menenkankan pada tujuan penetapan

hukum Islam dengan upaya untuk menjaga kemaslahatan hidup manusia. Dengan

menimbulkan kemanfaatan dan menghindarkan diri dari bahaya. Ibnu al-Qayyim

al-Jauziyyah menjelaskan bahwa prinsip dan dasar suatu pendapat hukum Islam

adalah untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Dan juga menurutnya, hukum Islam

itu adil, membawa rahmat dan hkmah, dan juga mengandung maslahat. Pandangan

lain oleh Imam al-Ghazali berpendapat, maslahat pada dasarnya merupakan suatu

ungkapan dari memperoleh manfaat dan menolak mudharat. 48 Ada tiga macam

46
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 80.
47
M.Quraish Shihab, Al-Qur‟an ... h. 484.
48
Asafri Jaya Bakri, Konsep...h. 62.
51

tujuan atau tingkatan dari adanya maqashid syari‟ah menurut para ulama, yang

pertama Maqashid Al-Syariah, Maqashid Al- Hajiat, Maqashid Al-Tahsiniyat.

1. Maqashid Al-Syariah

Menurut Imam Juwayniy yang kemudian dikembangkan oleh al-

Ghozali dan as-Syatibi, untuk menjaga al-umurdh-dharuriyah yaitu hal-hal

yang menjadi sendi-sendi kehidupan manusia dan yang diharuskan ada untuk

kemaslahatan mereka. Ada lima syariat yang harus tercakup didalamnya, yakni

hukum-hukum untuk menjaga al-umurdh-dharuriyah:

a) Hifz al-Din

Perlindungan untuk agama, yakni menegakkan agama Islam dengan

mewajibkan iman, terkhusus iman yang enam dan mensyariatkan hukum

atau aturan yang berkatan dengan rukun Islam.

b) Hifz al-Nafs

Perlindungan pada jiwa, Islam memerintahkan untuk makan dan

minum, mengenakkan pakain, dan mencarai tempat teduh untuk tempat

tinggal agar terhindar dari kebinasaan. Begitu juga dengan syariat qishas,

diyat, dan kifarat bagi mereka yang melakukan pembunuhan, penyiksaan

terhadap tubuh. Tujuannya untuk terhindar dari kemudharatan yang

mengancam jiwa.

c) Hifz al-Aql
52

Perlindungan akal, Islam mengharamkan jenis makanan dan

minuman yang memabukkan atau khamr karena merusak pada akal. Dan

juga memberkan hukuman pada pelanggarnya.

d) Hifz al-Mal

Perlindungan pada harta benda, Islam melarang untuk mencuri,

menipu, menjalankan atau memakan uang hasil riba. dan setiap memperoleh

harta disyaratkan atau diatur dengan usaha-usaha yang halal.

e) Hifz al-Nasl wa al-Ird

Perlindungan pada kehormatan dan keturunan, Islam mensyariatkan

hukuman badan (had) bagi mereka yang melakukan zina. dan untuk

keturunan Islam mensyariatkan untuk menikah dan memiliki anak untuk

menjaga keturunan. Islam melarang bagi mereka yang menghina dan

melecehkan, ghibah, fitnah, mengumpat dll.49

2. Metode Penetapan Maqashid Syariah

Maqashid Syariah tidak dapat dikatakan mandiri sebagai dalil hukum,

melainkan sebagai dasar dalam penetapan hukum dengan beberapa metode

pengambilan hukum. Menurut as-Syatibi ada 3 pengelompokkan dalam

pemahaman:50

49
Asmuni Mth, “Upaya Pemkiran al-Maqashid (Upaya menemukan Fondasi Ijtihad
Akademik yang Dinamis)”, dalam jurnal Al-Mawardi, Edisi XIV, 2005.
50
Diyan Putri Ayu, “Tinjaun Maqashid Syariah Terhadap Akibat Tindakan Marital Rape
dalam UU No,23 TH.2014 dan RKUHP”, dalam jurnal al-Manhaj:Jurnal Hukum dan Pranata Sosial
Islam, Vol.1, No.2, 2019.
53

a) Ulama berpendapat bahwasanya maqashid syariah adalah sesuatu yang

abstrak, tidak diketahui kecualii dengan cara petunjuk tuhan yang terungkap

dalam bentuk zahir lafal jelas. Dan petunjuk tersebut memerlukan sebuah

penelitian dan analisa yang pada gilirannya akan bertentangan dengan

kehendak bunyi lafal, kelompok tersebut dikenal dengan al-Zahiriyah.

b) Ulama yang tidak menggunakan dengan pendekatan zahir lafal nash.

kelompok ini terbagi jadi dua golongan. Golongan pertama berpendapat

bahwasanya maqashid syariah diketahui bukan pada zahir lafal dan juga

bukan dari tunjukan zahir lafal. Akan tetapi maqashid syariah adalah hal lain

yang terdapat dibalik tunjukan zahir dalam semua aspek syariat, kelompok

tersebut dikenal ulama dengan al-Batiniyyah. Kemudian pada golongan

kedua berpendapat bahwasanya maqashid syariah harus dikaitkan dengan

pengertian zahir lafal. Maksudnya pada zahr lafal tidak diharuskan

mengandung tunjukan mutlak. Jadi apabila terjadi pertentangan antara zahir

lafal dengan nalar, maka hal yang diutamakan adalah nalar. Baik itu atas

dasar keharusan ataupun dasar untuk menjaga kemaslahatan atau tidak,

kelompok itu disebut ulana al-Muta‟ammiqin fial Qiyas.

c) Kemudian terdapat ulama yang menyatukan dan pendekatan (zahir lafal dan

pertimbangan ilat) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pada pemaknaan

zahir lafal dan tidak juga merusak kandungan makna atau ilat. Dan

menjadikannya tetap berjalan secara bersamaan tanpa adanya kontradiksi.


54

Kelompok tersebut disebut ulama al-Rasikhin. Dengan hal tersebut, Imam

al-Syatibi memahami maqashid al-syariah dengan merumuskan tiga cara:

1) Tindakan analisa pada lafal perintah dan larangan. Suatu perintah

menurut Imam al-Syatibi yaitu menginginkan perwujudan pada sesutu

yang diperintahkan. Perwujudan pada isi dan perintah itu menjadi bagian

tujuan yang dikehendaki oleh al-syar‟i. Begitu juga sebaliknya, pada

perintah larangan yang menghendaki perbuatan yang dilarang itu

ditinggalkan. Maka keharusan atau kewajiban untuk meninggalkan

perbuatan yang dilarang adalah tujuan yang diinginkan tuhan.

2) Menganalisa atau mengkaji illat al-Amr (perintah) dan al-nahy (larangan).

Menurut Imam al-Syatibi pemahaman pada maqashid syariah dapat

dilakukan dengan cara analisa illat hukum yang terkandung dalam al-

Qur‟an ataupun hadist. Illat hukum tersebut juga terkadang tertulis secara

jelas dalam ayat al-Qur‟an dan hadist. Maka menurutnya, diharuskan

untuk mengikuti apa yang tertulis. Apabila Illat tidak tertulis, maka

diharuskan untuk tawaquf, bukan bersifat pasti melainkan sebaliknya.

3) Mengkaji pada sikap syar‟i, ini merupakan cara memahami persoalan-

persoalan hukum yang tidak dijelaskan oleh syar‟i.


BAB III

MARITAL RAPE DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Pemerkosaan adalah sebuah konsep yang kontroversial, kita dapat

mendefinisikan pemerkosaan secara sederhana sebagai seks sensual dengan paksaan

yang melibatkan penetrasi vagina, oral, atau anal. Akan tetapi hal tersebut tidak

sesederhana itu, tidak ada pemahaman langsung mengenai pemerkosaan secara detail

melainkan hanya berdasarkan tindakan (pemerkosaan) itu sendiri. Tindakan

perkosaan akan sangat berdampak dan mengakibatkan rusak secara psikologis yang

berat, serta pengaruh buruk yang lainnya seperti penyakit kelamn, ganguan pada alat

reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan, dan trauma.

Definisi budaya dan hukum tentang pemerkosaan selalu dibentuk oleh

hubungan dan status mereka yang terlibat, sebuah premis yang berlaku baik secara

historis ataupun lintas budaya. Pada umumnya serangan seksual oleh orang asing

mungkin lebih terlihat sebagai “pemerkosaan yang nyata” dibandingkan pemerkosaan

yang dilakukan oleh seseorang yang dikenal korban.1

Menurut Estelle B. Freedman, pengistilahan ulang terhadap pemerkosaan

“pada intinya pemerkosaan adalah istilah hukum yang mencakup persepsi yang dapat

1
Kersti Yllo dan M. Grabiela torres, Marital Rape: Consent, Marriage, and Social Change in
Global Context, (USA: Oxford University Press, 2016), h.1
56

ditempa dan ditentukan secara budaya dari suatu tindakan. Dengan demikian arti

pemerkosaan dapat berubah-ubah”.2

A. Marital Rape

1. Pengertian

Marital Rape bermakna dari kata inggris, marital “segala sesuatu hal

yang terkait dengan perkawinan” dan rape “pemerkosaan.” 3 Marital Rape

dimaknai dengan “Rape committed by the person to whom the victim is married”

diartikan sebagai tindakan perkosaan yang terjadi dan dilakukan dalam rumah

tangga atau dalam sebuah ikatan perkawinan atau pada orang yang sudah

dinikahinya. Dibeberapa negara bagian barat salah satunya Amerika memaknai

marital rape sebagai sebuah tindakan seksual apapun yang tidak diinginkan

atau tidak disetujui oleh pasangan. Tindakan ini termasuk dalam berhubungan

badan, anal, dan tindakan lainnya yang menyakitkan, memalukan, merendahkan

dan tidak diinginkan oleh korban.4

Selain itu dalam literatur fiqih modern terdapat juga istilah mengenai

perkosaan dalam perkawinan dengan al-wath‟u bi alikraah atau al-wath‟u bi

al-ightishab yaitu suatu hubungan seksual yang dilakukan dengan paksaan.5

2. Sejarah Marital Rape

2
Kersti Yllo dan M. Grabiela torres, Marital Rape...h.1.
3
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesi, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), h.373.
4
“US Legal Definitions,” http://definitions.uslegal.com/m/marital-rape, diakses tanggal 18
juni 2022.
5
Wahbah az - Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu, Juz VII, (Damaskus: Dar ar-Fikr,
2006), h. 294.
57

Konsep tindakan penanganan atau penghapusan kekerasan dalam

rumah tangga telah tercatat sejak enam abad sebelum masehi pada zaman

Assyirian. Dijelaskan bahwa setiap suami yang melakukan tindak aniaya

terhadap istri akan diberikan sanksi atau pidana berupa pemotongan jari, dan

sebaliknya apabila seorang istri memukul suami akan dijatuhi sanksi denda dan

dipukul menggunakan rotan sebanyak dua puluh kali.6

Dalam bentuk perundang-undangan modern, tindakan KDRT

khususnya pada tindakan kekerasan seksual terhadap pasangan (marital rape)

mulai diatur sejak awal abad ke-20. 7 Dan diantara negara yang membuat

peraturan khusus mengenai marital rape tersebut yakni, Uni Soviet pada tahun

1922, Polandia pada tahun 1932, Cheko pada tahun 1950, Denmark pada tahun

1960, Swedia pada tahun 1965, Norwegia pada tahun 1971, dan beberapa

negara blok timur. Sedangkan beberapa negara lain di bagian Amerika Utara

dan juga pada Eropa Barat hiingga tahun 1980-an masih tidak menganggap

marital rape sebaga bentuk tindak pidana atau tindak kejahatan yang perlu

aturan khusus untuk diundangkan. Hingga pada tahun 1997, hanya sebanyak 17

negara yang berada di wilayah Amerika Utara dan Eropa yang membuat

undang-undang khusus tersebut.8

3. Kategori Marital Rape

6
A.E Martha, Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
dan Malaysia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo), 2011.
7
M. Irfan Syaifuddin, “Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat”, dalam Jurnal al-
Ahkam, Vol.3, No.2, 2018.
8
M.E. Susilo, “Islamic Perspective on Marital Rape”, dalam Jurnal Media Hukum, 2013.
58

Menurut Mulyana W,K ahli Kriminolog menjelaskan bahwa tindakan

perkosaan terbagai menjadi enam jenis:9

a. Sadistic Rape

Jenis ini memiliki sifat yang merusak para korbannya, dengan

kesenangan yang didapatkan pelaku bukan karena tindakan hubungan

seksual dengan korbannya. Melainkan dengan tindakan seranganan pada

korban baik itu ditubuhnya atau di alat vitalnya.

b. Angea Rape

Tindakan ini berupa pelampiasan amarah pelaku terhadap korban

sebagai objek pelampiasan.

c. Dononation Rape

Pada jenis ini tindakan pelaku lebih menekankan dominasi pelaku

terhadap korban berupa kekuasaan atas diri korban. Sehingga korban tidak

berdaya akan tubuhnya sendiri.

d. Seduktive Rape

Jenis ini terjadi akibat rangsangan yang dilakukan oleh keduanya

pelaku dan korban. Akan tetapi korban membatasi tindakan intim sehingga

adanya paksaan yang dilakukan pelaku untuk berhubungan.

e. Victim Precipitatied Rape

9
Wahid, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual, (Bandung: PT Refika Aditama,
2001), hal. 47.
59

Jenis ini terjadi karena korbannya sendiri yang memulai sehingga

memberikan peluang kepada pelaku untuk melakukan perkosaan.

f. Exploination Rape

Pada jenis ini pelaku perkosaan berada diposisi yang diuntungkan

atas korban, dimana pelaku dapat melakukan perkosaan terhadap korban

yang bergantung kepada pelaku baik itu secara ekonomi ataupun sosial.10

Jika dilihat dari jenis-jenis perkosaan tersebut, marital Rape dapat

dikategorikan jenis perkosaan Exploination Rape. Pengertian lain marital Rape

juga dapat diartikan sebagai tindakan perkosaan yang dilakukan antara suami

atau istri walaupun pada teori umumnya seorang suamilah yang cenderung

melakukannya terhadap istri, berupa tindakan paksaan untuk berhubungan

seksual tanpa memperhatikan kondisi atau keadaan pasangan ataupun tanpa

persetujuan salah satunya.11

Jika dilihat dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT), pengistilahan

Marital Rape atau pemerkosaan dalam perkawinan dikategorikan sebagai salah

satu bentuk kekerasan seksual. Hal ini disebutkan pada pasal 1 angka 1 UU

PKDRT.12

4. Effect dari Tindakan Marital Rape


10
Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak
Asasi Perempuan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2001), h 40.
11
Aldira Arumita Sari, “Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri (Marital
Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia,” dalam Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol.1,
2019.
12
Ni Made Sintia Ardi, et.al, Perkosaan...h.8.
60

Dari tindakan marital rape tersebut akan memiliki dampak negatif

yang luar biasa bagi korban dan sekitarnya. Terlebih lagi apabila dari

pandangan masyarakat yang terkadang mengabaikan dan menyepelekan akan

keadaan seperti tersebut, akan menambahkan penderitaan bagi korban.

Dilansir dari situs resmi aphrodite wounded, finkelhor dan Yllo

menyebutkan efek lain pada korban dari tindakan marital rape:perasaan

dikhianati dan tidak dihormati, dipermalukan, perasaan marah dan bersalah,

hilangnya rasa kepercayaan, hilangnya rasa aman dalam berhubungan seksual.13

B. UU No.23 tahun 2004 PKDRT dan UU No.12 tahun 2022 TPKS

Sebelum dibentuknya undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT), tidak ada dalam

hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai marital rape. Begitu pula

dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), sehingga apabila terjadinya

tindakan marital rape hanya dapat dikenakan dengan tindakan kekerasan dalam

rumah tangga (pasal 44 ayat 1 KUHP) bukan perkosaan. Jika dimaknai secara

perkata marital rape dalam hukum positif indonesia memiliki pengertian

perkosaan (rape). Perkosaan itu sendiri diatur dalam KUHP yaitu sebuah

tindakan yang dilakukan dengan kekerasan ataupun ancaman untuk melakukan

hubungan badan (di luar nikah). Hal inilah yang menjadi dilema dalam hukum

positif Indonesia, bahwasanya tindakan kekerasan seksual tidak hanya terjadi

13
“Aphrodite wounded, Effect of Intimate partner Sexual Violence”,
http://www.aphroditewounded.org/effects.html, diakses tanggal 18 Juni 2022.
61

pada hubungan luar nikah akan tetapi hubungan pada pernikahan kerap kali

terjadi.

Masyarakat umum hanya mengenal teori kekerasan dalam rumah tangga

walaupun yang terjadi sebenarnya adalah suatu tindakan marital rape dalam

pernikahan atau kekerasan seksual yang dilakukan pasangan. Hal ini terjadi

karena tidak adanya wadah hukum untuk pemahaman bahwa kegiatan kekerasan

yang dilakukan dalam rumah tangga juga dapat dikatakan sebagai tindakan

kekerasan seksual.

Setelah adanya pembentukan UU tahun 2003 PKDRT tersebut dapat

memberikan ruang hukum yang lebih baik bagi korbannya. Yang mana dalam

undang-undang tersebut tidak hanya mengatur marital rape saja akan tetapi

meliputi semua tindakan kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga.

Selain itu pemerintah Indonesia juga mengundangkan undang-undang No.12

tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. Yang mana dalam undang-

undang ini mengatur lebih terperinci terhadap tindakan kekerasan seksual.

1. Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan seksual

Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

UU PKDRT adalah undang-undang yang mengatur tentang

permasalahan kekekerasan seksual dalam rumah tangga. Undang-undang ini

mulai disahkan pemerintah Indonesia pada tanggal 22 September 2004,

sampai saat ini sudah 18 tahun digunakan sebagai payung hukum terhadap

kekerasan seksual dalam rumah tangga.


62

Pengaturan yang dicakupi oleh UU PKDRT meliputi beberapa aspek

tindak pencegahan, perlindungan, dan penindakan pada pelaku kekerasan

seksual dalam rumah tangga. Akan tetapi secara praktik tetap diutamakan

sebagai bentuk menjaga keutuhan rumah tangga. Tindak pidana yang diatur

dalam UU PKDRT hanya mengatur dua poin (pasal 8 UU PKDRT, tindakan

kekerasan seksual sebagaimana pasal 5 huruf c) yakni tindak paksaan

hubungan seksual oleh pihak yang terdapat dilingkup rumah tangga, dan

tindak paksaan hubungan seksual oleh salah satu pihak lingkup rumah tangga

dengan orang lain bertujuan komersi atau tertentu.

Selain itu setiap tindakan pidana pada UU PKDRT merupakan delik

aduan. Hal ini merupakan ciri khas pada nilai-nilai yang ingin dijaga pada

lingkup rumah tangga, dan setiap penegakannya tetap menjaga hak korban. 14

Terdapat beberapa faktor yang membuat terciptanya UU PKDRT

sebagai undang-undang awal pengaturan kekerasan seksual di Indonesia.

a. Faktor Yuridis

Terbentuknya UU PKDRT dapat dikatakan sebagai awal

upaya perlindungan pada korban kekerasan seksual yang terjadi dilingkup

rumah tangga terkhususnya bagi wanita dan anak yang rentan menjadi

korban.15 Selain itu UU PKDT juga mengatur terhadap langkah-langkah

14
Badan...Tentang Tindak Pidana kekerasan Seksual, Jakarta, 2021, h. 87.
15
Moerti, Kekerasan...h.89.
63

antisispasi terbentuknya kekerasan baru juga sebagai bentuk kejelasan

sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan seksual rumah tangga.

UU PKDRT dibentuk dilandaskan atas dasar tujuan untuk

memberikan perlindungan terhadap korban. Tidak hanya itu pada UU

PKDRT menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk

mendapakan rasa aman dari segala bentuk kekerasan, hal ini selaras

dengan isi undang-undang dasar negara republik Indonesia 1945.16 Dan

segala bentuk kekerasan, begitu juga dengan kekerasan seksual dalam

rumah tangga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia

dan termasuk kejahatan terhadap martabat manusia dan bentuk

diskriminasi yang harus dihapuskan.

Sebelum terbentuk UU PKDRT setiap tindakan kekerasan

seksual yang terjadi dalam rumah tangga, dilaporkan setelah korban

mengalaminya atau bahkan meninggal. Dengan aduan perbuatan

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau pidana saja bukan delik

khusus kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini juga riskan bawa tindakan

perkosaan yang diatur dalam undang-undang hanya menyebut diluar

pernikahan. Tidak ada pasal atau aturan khusus yang mengatur tentang

permasalahan perkosaan atau pemaksaan seksual dalam rumah tangga.17

16
Ester Lianawati, Konflik Dalam Rumah Tangga (Keadilan dan Kepedulian Proses Hukum
KDRT Perspektif Psikologi Feminis), (Yogyakarta: Paradigma Indonesia,tt), h.153.
17
Moerti, Kekerasan...h.36.
64

Pada KUHP terbatasnya jangkauan hukum pada persoalan

kekerasan seksual sehingga lemahnya KUHP sebagai acuan dasar hukum

dalam penegakan tindakan kekerasan seksual. hal tersebut diantaranya

terdapat pada:18

1) Terbatas Penjelasan Perkosaan

Pasal 285 KUHP menjelaskan bahwa korban tindak perkosaan

hanya terjadi apabila korbannya perempuan. Pemaknaan perkosaan

secara sempit ini mengakibatkan absennya perspektif korban pada

pihak laki-laki ataupun pelaku pada perempuan.

2) Terbatasnya Penjelasan zina

Pasal 284 menjelaskan bahwa zina hanya dilakukan oleh para pihak

yang telah menikah dengan pihak yang bukan terikat perkawinan.

Padahal zina dapat terjadi pada mereka yang bahkan masih lajang,

dengan absennya hal tersebut tidak dapat menyetuh bagi pelaku

yang melakukan zina sesama lajang (crime without victim). Hal ini

sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama mayoritas dan norma

kesusilaan yang berlaku dimasyarakat

3) Terbatasnya Pemaknaan Bersetubuh

Dalam KUHP penjelasan bersetubuh hanya dimaknai dengan

tindakan anggota kemaluan laki-laki dan perempuan. Walau pada

18
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor...Tahun...Tentang Tindak Pidana kekerasan
Seksual, Jakarta, 2021, h. 81.
65

kenyataannya aspek bersetubuh dapat dimaknai dengan tindakan

lain seperti, memasukkan benda, jari, anal, ataupun oral.

b. Faktor Sosiologis

Diperlukannya pembaharuan hukum didasari dengan lemahnya

undang-undang yang mengatasi persoalan kekerasan seksual

dimasyarakat. Dorongan kebutuhan masyarakat terlebih lagi tingkat

kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan oleh suami, keluarga

bahkan kerabat terdekat menjadikannya sebuah keharusan untuk

pembentukan undang-undang khusus (lex speciallis) yang mengatur

persoalan kekerasan seksual. 19

Pembentukan undang-undang ini sangat diperlukan karena

undang-undang sebelumnya tidak dapat memenuhi atas permasalahan dan

persoalan terhadap kekerasan seksual dalam rumah tangga. Sehingga

diperlukannya undang-undang khusus (Lex Speciallis) yang mampu

mengatasi persoalan dan permasalahan kekerasan seksual dalam rumah

tangga.20

Pengaturan marital rape dalam UU PKDRT hanya termuat pada

pasal 5, pasal 8, pasal dan pasal 46 dan pengistilahnnya hanya sebagai

tindakan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Yang mana hal ini

mengakibatkan kurang spesifiknya dan rinci persolan marital rape dalam

19
Sudut Hukum, “Latar Belakang Lahirnya UU No.23 Tahun 2004”, diakses 12 Oktober
2022, https://suduthukum.com/2015/07/latar-belakang-lahirnya-uu-no-23-tahun.html
20
Moerti, Kekerasan...h.90.
66

UU PKDRT. Pada pasal 5 yang menjadi rumusan masalah marital rape

adalah tindakan kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah tangga dengan

bentuk kekerasan secara seksual. Dan pada pasal 8 menjelaskan bentuk

pelarangan tindakan kekerasan seksual pada anggota rumah tangga termasuk

istri. Dan pasal 46 mencakupi sanski hukum 12 tahun penjara atau denda

Rp.36.000.000 apabila terjadi pelanggaran pada pasal tersebut.

Permasalahan penting yang terjadi pada undang-undang ini adalah

bunyi instrumen “marital rape” atau definisinya yang dirasa kurang kuat.

Sehingga tidak bisa menjadikannya patokan atauu dasar kuat atas tindakan

marital rape secara khusus. Sehingga pengaturan secara istilah marital rape

akan terjadi apabila yang menjadi korban pada kasusnya adalah pihak istri

yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Selain itu pada pasal 8 subjek

atau korban hanya merujuk pada kata “setiap orang” bukan “istri” secara

khusus, sehingga hal ini masih dimaknai secara luas dan multi tafsir.21

2. Undang-undang No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

(UU TPKS).

UU TPKS adalah undang-undang yang mengatur tentang

permasalahan tindak pidana kekerasan seksual. Undang-undang ini baru

disahkan pemerintah Indonesia pada tanggal 12 April 2022 Setelah 10 tahun

proses panjang dalam perealisasiannya. Pembentukannya dimulai sejak tahun

21
Nita Erlytawati dan Diana Lukitasari, “Tindak Pidana Dalam Perkawinan (Marital Rape)
Dalam Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Singapura”, dalam Jurnal Recidive, Vol.4, No.1,
2015.
67

2012 dengan penyebutan rancangan undang-undang pengahapusan kekerasan

seksual (RUU PKS) dan dicanangkan oleh Komisi Nasional (KOMNAS)

perempuan Indonesia kepada presiden Joko Widodo dan direalisasikan pada

tahun 2014.

Secara aspek historis terbentuknya UU TPKS tidak lepas dari

beberapa faktor:

a. Faktor Yuridis

Kewajiban perlindungan oleh pemerintah Indonesia terhadap

warganya dari segala bentuk ancaman ataupun kekerasan (UUD 1945).

Khususnya kekerasan seksual bagi perempuan dan anak-anak, menjadi

aspek dasar terbentuknya undang-undang tersebut.

Perjalanan panjang pembentukan undang-undang ini tentunya

atas dasar tertentu yang memiliki urgensi penting bagi khalayak umum.

Sebagaimana dalam undang-undang dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 (UUD 1945), “tujuan bernegara antara lain untuk melindungi

segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dan

perlindungan yang dimaksud adalah komphrehensif secara menyuluruh

bagi warga negaranya tanpa terkecuali. 22

Dalam UUD 1945 pasal 28G ayat 2, “setiap orang berhak

untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat

22
Heylaw Edu, “Bedah Formulasi Undang-Undang Tindak Pidana kekerasan Seksual (UU
TPKS)”, dalam http://heylawedu.id/blog/ Bedah Formulasi -Undang-Undang-tindak –
tidana- kekerasan Seksual-UU TPK. Diakses 24 Juli 2022.
68

martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara

lain”. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa terciptanya UU TPKS atas

dasar untuk melindungi para korban dan mencegah terjadinya tindak

pidana kekerasan seksual, baik itu didalam pernikahan (rumah tangga)

ataupun diluar pernikahan.

Secara yuridis atau hukum positif masih belum bisa menempat

kekerasan seksual menjadi prioritas utama. Terbatasnya bentuk

perlindungan atau pengaturan mengenai tindak kekerasan seksual pada

KUHP mengakibatkan banyaknya kasus yang tidak dapat diselesaikan

secara hukum. Yang mana pada akhirnya para pelaku tidak dapat ditindak

dan disanksi secara hukum. Pada kasus KDRT hanya dapat dipidana

dengan delik aduan.

Pada KUHP tindakan kekerasan seksual seperi perkosaan

hanya dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan, yang

mana seharusnya tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak

pidana. Dengan hal tersebut tentunya mengurangi kadar pidana pada

persoalan tersebut. Secara singkatnya, tindakan kekerasan seksual

hanyalah persoalan moral saja. Maka hal ini akan berimbas dengan

banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak diprioritaskan secara

hukum. 23

23
Badan ...Tentang Tindak Pidana kekerasan Seksual, Jakarta, 2021, h. 3.
69

Selain itu tidak efesiennya payung hukum yang ada dalam

penanganan kasus kekerasan seksual, sehingga tidak adanya aturan yang

memahami dan memiliki substansi yang tepat pada kasus kekerasan

seksual ini.24

Selain itu meningkatnya angka kriminalitas seksual yang

terjadi khususnya pada perempuan menjadi polemik penting yang perlu

segera ditangani. Bahkan antar rentang waktu pada tahun 2001-2011

hingga 2012 terdapatnya peningkatan kasus kekerasan seksual sebesar

181%. 25 Dan juga dihimpun oleh komnas Perempaun pada tahun 2020,

tercatat dalam rentang waktu selama 12 tahun terjadinya peningkatan

sebesar 792% pada kasus kekerasan pada perempuan.

b. Faktor Sosiologis

Kemudian faktor lain yang juga ikut mempengaruhi tingginya

angka kekerasan seksual adalah terdapat pada sistem budaya patriarkis

masyarakat Indonesia sehingga hal ini menjadikan korban kekerasan

seksual tidak hanya terjadi pada perempuan dewasa saja, melaikan juga

terjadi pada anak-anak. Patriarki yang dimaksud adalah sistem yang

menjadikan garis keturunan hanya terdapat ayah saja. 26 Makna lainnya

24
Novi Nur Lailisna, Polemik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU PKS): Studi Kritis dan Prospketif, dalam An-Natiq: Jurnal Kajian Isalm Interdisipliner 1, 2021.
h.67.
25
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-
undang Penghapusan Kekerasan Seksual Indonesia, 2017.
26
Nina Nurmila, “Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama dan
Pembentukan Budaya”, dalam Jurnal KARSA UIN Sunan Gunung Djati Bandung,Vol.23, No.1, 2015.
70

patriarki dapat juga disebut dengan sebuah konstruksi sosial yang

menjadikan pihak laki-laki dengan dominasi posisi kekuasaan pada

kepimpinan secara sosial, politik, moral ataupun properti.

Dengan sistem paradigma patriarki tersebut menjadikan

perempuan dikesampingkan daripada pihak –laki-laki. Sehingga

pandangan masyarakat pada perempaun sebagai makhluk yang lemah

pada bersuara atau hak pendapat seringkali diabaikan.

Selain faktor budaya yang terjadi pada masyarakat juga terjadi

pada sistem aparatur penegak hukum. Kurangnya pengetahuan terhadap

penyelesaian kasus kekerasan seksual dan juga masih memiliki

pandangan seperti masyarkatt pada umumnya terhadap moralitas dan

kekerasan seksual. Hal tersebut akan mempengaruh empati para penegak

hukum terhadap penyelesaian kasus kekerasan seksual.

Munculnya Undang-undang yang mengatur persoalan

kekerasan seksual juga dipengaruhi oleh para sikap korban yang pasif

pada tindakan kekerasan seksual terlebih lagi dalam keluarga. Kurangnya

kesadaran secara hukum mengakibatkan persoalan kasus kekerasan

seksual secara domestik akan sangat susah disentuh oleh pihak luar

ataupun para pemerintah. Perlunya keaktifan para korban untuk membuat

laporan akan menjadi efektifitas setiap aturan yang berlaku terhadap

persoalan kekerasan seksual. Namun yang terjadi dilapangan masih

begitu banyak masyarakat yang beranggapan bahwa tindakan kekerasan


71

seksual adalah sebuah aib dan harus ditutup secara rapat. Dengan hal

tersebut tentunya akan membuat dan menyuburkan tindakan kekerasan

seksual jika tidak ditangani secara baik oleh hukum.

Hal ini juga masih anggapan moralitas yang terjadi di masyarakat bahwa

pihak korban dapat disudutkan sebagai sumber atau peluang terjadinya

tindakan kekerasan seksual. Dengan adanya tindakan kekerasan seksual

tersebut para masyarakat akan memberikan stigma bahwa setiap korban

adalah aib bagi dirinya, keluarga bahkan komunitasnya.

Oleh karena itu penting untuk dimunculkannya kesadaran akan hukum

pada masyarakat terutama pada perempuan pihak yang mendominasi

sebagai korban akan haknya secara hukum.

KUHP merupakan aturan yang digunakan untuk persoalan

kekerasan seksual yang mana dalam penegakannya merujuk pada KUHAP.

Pada dasarnya korban kekerasan seksual memiliki ciri-ciri tertentu,

khususnya perempuan korban kekerasan seksual yang berisiko mengalami

reviktimisasi karena hukum proses hukum yang digunakan adalah hukum

acara untuk pelanggaran hukum umum. Itulah yang membuat perbedaan

antara UU TPKS, KUHP ataupun KUHAP.

Sedangkan pada UU TPKS, maka ketentuannya sendiri tentang

kekerasan hubungan seksual dalam KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.

Maka UU TPKS secara menyeluruh akan mengembangkan hukum acara


72

penanganan kasus kekerasan senksual sehingga dalam pelaksanaannya tidak

disamakan dengan perbuatan pidana umum.27

Oleh karena itu adanya UU TPKS akan memperbaiki kekurangan

yang terdapat pada UU PKDRT. Dan dalam pelaksanaannya berlaku pada

hubungan rumah tangga dan setiap hubungan yang tidak di akomodir oleh uu

PKDRT. Dalam penerapnnya kedua undang-undang tersebut (UU PKDRT

dan UU TPKS) saling mengisi satu sama lain. Pada UU TPKS tidak akan

mengatur apa yang telah ditetapkan pada undang-udang sebelumnya akan

tetapi secara fungsi akan membantu. Sehingga pada UU TPKS tidak akan

tumpang tindih (overlapping) dengan undang-undang lain.28

27
Badan...Tentang Tindak Pidana kekerasan Seksual, Jakarta, 2021, h. 84.
28
Badan...Tentang Tindak Pidana kekerasan Seksual, Jakarta, 2021, h. 83.
73

TABEL II
PERBANDINGAN UU NO.23 2004 PKDRT DAN UU NO.12 2022 TPKS

PERBANDINGAN
REGULASI
UU PKDRT 2004 UU TPKS 2022
Pasal 1 (1):
suami, isteri, dan anak; orang-orang
yang mempunyai hubungan
keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena
hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam
Tidak Disebutkan pada pasal tertentu
rumah tangga; dan/atau c. orang yang
Lingkup
bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga
tersebut.
(2).
Orang yang bekerja sebagaimana
dimaksud pada huruf c dipandang
sebagai anggota keluarga dalam
jangka waktu selama berada dalam
rumah tangga yang bersangkutan.
Pasal 3 Pasal 2
penghormatan hak asasi manusia, Penghargaan atas harkat dan martabat
keadilan dan kesetaraan gender, manusia;
nondiskriminasi, dan perlindungan Nondiskriminasi; Kepentingan terbaik
korban. bagii korban, Kemanfaatan; dan
Pasal 4 Kepastian hukum
mencegah segala bentuk kekerasan Pasal 3
dalam rumah tanggab. melindungi Mencegah segala bentuk kekerasan
korban kekerasan dalam rumah seksual
Asas & Tujuan
tangga, menindak pelaku kekerasan Menagani, melindungi, dan
dalam rumah tangga, memelihara memulihkan korban;
keutuhan rumah tangga yang Melaksanakan penegakan hukum dan
harmonis dan sejahtera. merehabiilitasi pelaku;
Mewujudkan lingkungan tanpa
kekerasan seksual; dan
Menjamin ketidakberulangan
kekerasan seksual.

kekerasan fisiK, kekerasan Pasal 4


psikis, kekerasan seksual, dan (1) Tindak pidana kekerasan seksual
penelantaran rumah tangga. terdiri atas:
Larangan a. Pelecehan seksual nonfisik;
b. Pelecehan seksual fisik;
74

c. Pemaksaan kontrasepsi
d. Pemaksaan sterilisasi
e. Pemaksaan perkawinan
f. Penyiksaan seksual
g. Ekploitasi seksual
h. Perbudakan seksual; dan
i. Kekerasan seksual berbasis
elektronik
(2) Selain tindak pidana kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), tindak pidana
kekerasan seksual juga meliputi;
a. Perkosaan
b. Perbuatan cabul
c. Persetubuhan terhadap anak,
perbuatan cabul terhadap anak,
dan/atau eksploitasi seksual
terhadap anak;
d. Perbuatan melanggar kesusilaan
yang bertentangan dengan
kehendak korban;
e. Pornografi yang melibatkan anak
atau pornografi yang secara
eksplisit memuat kekerasan dan
eksploitasi seksual;
f. Pemaksaan pelacuran
g. Tindak pidana perdangangan orang
yang ditujukan untuk eksploitasi
seksual;
h. Kekerasan seksual dalam lingkup
rumah tangga;
i. Tindak pidana pencucian uang yang
tindak pidana asalnya merupakan
tindak pidana kekerasan
seksual;dan
j. Tindak pidana lain yang dinyatakan
secara tegas sebagai tindak pidana
kekerasan seksual sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Marital Rape Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

Marital Rape dalam perspektif hukum positif Indonesia dilarang, hal

ini dengan diaturnya dalam beberapa pasal 5, 8 dan 46 UU PKDRT dan pasal 4

huruf b dan pasal 6 huruf b UU TPKS masih tidak dicermati dengan baik sebagai

tindak pidana secara khusus (Lex Specialis). Dari sudut pandang peneliti kedua

undang-undang (UU PKDRT dan UU TPKS) yang mengatur tentang persoalan

kekerasan seksual yang salah satunya tindak marital rape di Indonesia masih

kurang memadai dan tidak efesien secara penegakan hukum.

Secara filosofis terbentuknya aturan mengenai marital rape tidak lain

sebagai bentuk perwujudan pemerintah dalam pelindungan warga dan penjamin

hak-hak mereka atas tindakan kekerasan khususnya kekerasan seksual (UUD

1945). Didukung dekan problemtika yang terjadi dimasyarakat, dimana tindak

kekerasan seksual meningkat setiap tahunnya. Serta faktor lain yang menjadi

peranan penting persoalan ini terus muncul antara lain secara yuridis dan

sosiologis.

Faktor secara yuridis, pada awalnya dalam hukum positif Indonesia

marital rape bukanlah sebuah sebuah tindak pidana yang dapat disanksikan.

Marital rape yang memiliki pengertian pemaksaan atau perkosaan hubungan

seksual dalam ikatan perkawinan, adalah gejala yang ada dimasyarakat dan
76

lambat laun mulai dikriminalisasi oleh hukum Indonesia. Minimnya pengaturan

tindak kekerasan seksual pada KUHP juga mengakibatkan lemahnya hukum

yang dapat menangani perkara kekeraan seksual dengan baik secara hukum.

Di Indonesia pemahaman mengenai teori marital rape (perkosaan

dalam perkawinan) sangat sedikit bahkan masyarakat awam hanya mengira

tindakan perkosaan hanyalah dapat terjadi diluar pernikahan. Hal ini selaras

dengan setiap tindakan KDRT yang meliputi Perkosaan dalam perkawinan hanya

ditindak dengan pasal KDRT bukan dengan pasal tersendiri seperti pasal 285

KUHP perkosaan luar pernikahan. Begitupun undang-undang pidana Indonesia

yang hanya mengatur konsep perkosaan luar pernikahan.

Seperti yang diketahui secara umum, perkosaan merupakan sebuah tindakan

seksual yang dilakukan oleh korban dan pelaku diluar ikatan perkawinan.

Dalam pasal 285 KUHP, diketahui tidak adanya pengistilahan perkosaan atau

tindak pidana pemaksaan hubungan seksual yang terjadi dalam pernikahan.

Faktor secara sosiologis, dengan tingginya angka kekerasan seksual

dipengaruhi dengan sistem budaya patriarki yang subur pada masyarakat

Indonesia. Sehingga hal ini menjadikan korban kekerasan seksual tidak hanya

terjadi pada perempuan dewasa saja, melaikan juga terjadi pada anak-anak.

Sistem ini mengesampingkan hak-hak pada perempuan, stigma masyarakat yang

mengaitkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan dominasi sebagai pihak

korban kekerasan seksual.


77

Selain itu pasifnya pihak korban yang melaporkan kepada pemerintah

apabila terjadinya persoalan kekerasan seksual menjadi persoalan tersendiri yang

tumbuh dimasyarakat. Anggapan bahwa korban tindak kekerasan seksual adalah

aib bagi dirinya, keluaga, bahkan komunitasnya sekalipus yang harus ditutup

rapat. Sehingga adanya aturan yang berlaku sebelumnya menjadi tidak efektif

dengan metode delik aduan, karena pada dasarnya harus ada keatifan para korban

dalam penyelesaiannya. Dan pada penyelesaian perkara hanya dilakukan dengan

secara kekeluargaan saja tanpa adanya tindakan sanksi bagi pelaku.

Lingkungan domestik juga mempersulit gerak pihak luar atau

pemerintah dalam menjangkau persoalan tersebut. Oleh karena itu penting untuk

dimunculkannya kesadaran akan hukum pada masyarakat terutama pada

perempuan pihak yang mendominasi sebagai korban akan haknya secara hukum.

Kurangnya pengetahuan terhadap penyelesaian kasus kekerasan seksual oleh

pihak aparatur penegak hukum sehingga mempengaruhi pandangan dan empati

penegak hukum terhadap penyelesaian kekerasan seksual. Efektifitas pada

penerapan kedua undang-undang tersebut masih berupa delik aduan dan perlunya

keaktifan para korban dalam penegakan secara hukum.

Dengan hal yang sedemikian kompleks dan potensi terjadinya tindak

kekerasan seksual yang begitu mudah terlebih lagi dalam rumah tangga. Dan

sulitnya pihak aparat hukum menjangkau urusan domestik mengharuskan adanya

gagasan dalam pengaturan marital rape


78

Pengaturan tentang marital rape atau perkosaan dalam perkawinan

tidak dijelaskan sebelumnya dalam hukum pidana Indonesia, seperti KUHP

bahkan dalam UU PKDRT sekalipun secara eksplisit. Akan tetapi marital rape

dapat dianggap sebagai tindak pidana yang terjadi pada KDRT walaupun

cakupannya luas dan bukan secara khusus. Begitu juga dengan undang-undang

terbarunya UU TPKS tidak menyebut secara jelas mengenai redaksi marital rape

didalmnya, hanya sekedar mengistilahkan pemaksaaan perkawinan dalam

lingkup rumah tangga.

Ketentuan mengenai perkosaan dalam perkawinan atau marital rape

termuat pada UU PKDRT dan UU TPKS pada beberapa pasal. Dari kedua aturan

tersebut sama-sama memberikan dasar hukum bahwasanya setiap warga berhak

atas diberikannya rasa aman dan terbebas dari segala bentuk tindakan kekerasan

baik itu dalam rumah tangga ataupun tidak. Masing-masing undang-undang

tersebut memilki perbedaan dalam penerapan dan cakupannya. Dalam UU

PKDRT cakupan tindakan kekerasan seksual hanya diatur dalam lingkup rumah

tangga, hal ini disebutkan pada pasal 1 dan pasal 5.

Sedangkan dalam UU TPKS cakupan tindakan kekerasan tidak

dibatasi secara khusus seperti UU PKDRT, namun cakupannya luas meliputi

seluruh tindakan kekerasan seksual yang terjadi hal ini disebutkan pada pasal 1

UU TPKS. Hal ini juga memperjelas bahwa undang-undang sebelumnya yang

berkaitan dengan tindak kekerasan seksual masih belum optimal sampai


79

diundangkannya peraturan ini. Dan juga masih belum memenuhi hak dari korban,

serta pengaturannya belum komphrehensif secara hukum.

Kemudian poin perkosaan dalam perkawinan atau marital rape

terkandung dalam UU PKDRT pada pasal 5, 8, dan 46. Dari pasal tersebut pada

poin b menyebutkan ketentuan pelarangan tindakan kekerasan seksual lingkup

rumah tangga. Walaupun secara redaksi masih adanya multi tafsir dan

pemaknaan yang berubah-ubah, karena kekerasan tersebut bisa terjadi pada siapa

saja bagi mereka yang menetap dalam lingkup rumah tangga (pasal 2 UU

PKDRT). Sedangkan pada UU TPKS poin perkosaan dalam perkawinan atau

marital rape terkandung pasal 4 poin (1) mengenai pelecehan seksual secara fisik,

pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual. Kemudian di poin (2) huruf a

tentang perkosaan, huruf h mengenai kekerasan seksual dalam lingkup rumah

tangga. Hal ini sama saja seperti UU PKDRT terdapatnya redaksi yang dianggap

multi tafsir dan berubah-ubah walaupun pad poin tindaknnya sama.

Dari kedua undang-undang tersebut jika berkaitan dengan tindak

kekerasan seksual cakupan pada UU PKDRT tidak dapat dikatakan semaksimal

UU TPKS, karena lingkupnya hanya sebatas rumah tangga. Sedangkan jika

berkaitan dengan tindakan perkosaan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga,

UU PKDRT dapat dikatakan undang-undang khusus. Dengan adanya kedua

undang-undang tersebut sebagai bentuk pengaturan kekerasan seksual terhadap

undang-undang pidana umum lainnya adalah sebagai lex specialis atau aturan

khusus.
80

Pengistilahan kekerasan seksual pada UU PKDRT tahun 2004

menjadikannya sebagai regulasi pertama mengenai kekerasan seksual di

Indonesia. Walaupun pada undang-undang ini kekerasan seksual yang dimaksud

hanya sebatas spesifik dalam lingkungan rumah tangga saja. Sedangkan dalam

cakupan UU TPKS tahun 2022 lebih luas dan bukan saja pada kekerasan secara

fisik melainkan secara non fisik juga ada ketentuannya.

Dari kedua undang-undang tersebut yang mengatur tindak marital

rape masih belum dapat memenuhi ekspetasi peneliti yang mampu jadi dasar

hukum persoalan marital rape. Tidak jelasnya penyebutan secara redaksi dalam

undang-undang masih memberikan asumsi lain pada tindakan marital rape. Dan

dalam penerapannya masih delik aduan yang mana hal ini perlunya keaktifan

parakorban dalam penangan kasus. Peneliti beranggapan tindakan seksual

tersebut perlunya adanya regulasi seperti tindak pidana umum lainnya dengan

delik umum. Sehingga hal ini tidak menyulitkan para aparat penegak hukum

dalam penegakannya. Oleh karena itu adanya regulasi marital rape secara jelas

sebagai bentuk lex specialis dalam aturan hukum kekerasan seksual harus

diadakan.

Bentuk pemerintah dalam menghapus segala tindak kejahatan marital

rape dalam ketentuan hukum Indonesia memiliki perjalanan yang panjang dan

pengorbanan para pejuang keadilan yang begitu besar. Setiap pembahasan yang

menyangkut tentang kekerasan pada perempuan akan menyangkut permasalahan

yang luas. Hal tersebut dikaitkan dengan bentuknya seperti kekerasan secara fisik,
81

non fisik, psikis, seksual dan bahkan dalam bentuk verbal sekalipun. Dan

beberapa hal yang perlu dipahami dan menjadi fokus utama adalah bagaimana

pentingnya setiap individu dalam menanggapi setiap tindak kekerasan. Akan

tetapi yang paling terpenting adalah aturan hukum yang bisa diharapkan dan juga

mampu melindungi serta bisa memberikan rasa aman bagi setiap warga negara.

B. Marital Rape Dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam pandangan peneliti secara konsep tindakan marital rape

bertentangan dengan ajaran Islam, kemudian keberadaan gagasan yang mengatur

hal tersebut harus diadakan sebagai bentuk menjaga kemaslahatan terutama

dalam rumah tangga.

Poin besar dalam hal ini adalah, agama Islam tidak mengajarkan yang

namanya kekerasan terlebih lagi dalam rumah tangga urusan antara suami istri

yang hendak saling mendatangi (jima). Islam menganjurkan untuk berhubungan

antara suami istri atas dasar ridho satu sama lain (an taradhin) dalam hak dan

kewajibannya masing-masing. Yang mana hal ini tidak lain bertujuan untuk

tercapainya rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah (Q.s ar-Rum:21).

Dan setiap pasangan harus saling memahami kondisi pasangannya. Segala

sesuatu tindak dalam pemenuhan hak dan kewajiban harus didasari dengan hal

yang baik pada kepercayaan, penghormatan, mengasihi satu sama lain

(Mu‟asyarah bil ma‟ruf) (an-Nisa:19). Dan segala hal yang memiliki

kemudharatan harus dihindari hal ini sesuai dengan hadis atau kaidah ushul fiqih

“Kemudharatan hendaknya dihilangkan” dan "Tidak boleh melakukan sesuatu


82

yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain"(Sabda Nabi Muhammad

SAW Riwayat Malik dan Ibnu Majah).1

Selain itu kesadaran secara individu juga mendukung terjalinnya relasi

yang baik dalam rumah tangga, antara kewajiban dan hak suami istri secara

penuh dan baik akan menciptakan mu‟asyarah bil ma‟ruf. Apabila hal tersebut

tidak berjalan sebagaimana mestinya maka akan mengakiibatkan rusaknya dasar

dari konsep hubungan yang baik dan mempengaruh pemenuhan hak dan

kewajiban yang tidak sesuai dengan syari. Yang salah satunya seperti pemaksaan

dalam hubungan badan atau marital rape.

Dalam narasi fiqih menyebutkan bahwa penolakan istri pada saat suami

meminta berhubungan badan ketika tidak adanya uzur syar‟i atau sakit, puasa,

dan haid termasuk tindakan nusyuz. Hal ini sebagaimana dalam hadist nabi

(Riwayat Imam Bukhori 3237 dan muslim 1436). Akan tetapi dari dalil tersebut

tidak dapat diterapkan secara tekstual begitu saja, harus disandingkan dengan

konsep lain dalam ilmu fiqih, Seperti adanya konsep an taradhin, muasyarah bil

ma‟ruf, dan ad-dharar yuzal. Apabila hubungan badan antara suami yang

dilakukan dengan secara paksaan dikhawatirkan terjadinya tindakan marital rape

yang mengakibatkan luka secara fisik atau bantin bagi salah satu pihaknya.

Oleh karena itu perlunya ada penetapan atau gagasan secara hukum

yang sesuai dengan prinsip-prinsp syariah (maqashid syariah) dengan tujuan

1
Abdul halim dan Robiatul Adawiyah, “Pandangan Ulama‟ tentang Pemaksaan Berhubungan
Badan Terhadap Istri dalam Keadaan Sakit”. dalam Masadir:JurnalHukum Islam INKAFA Gresik,
Vol.2, No.1, 2022.
83

untuk kemaslahatan. Analisa maqashid syariah pada tindakan marital rape,

yakni setiap tindakan kekerasan dalam rumah tanggga yang berbasis secara

gender maka setiap penyelesaiannya harus berdasarkan atas nilai-nilai

kemanusiaan. Memuliakan secara sesama dan juga mengutamakan manfaat dan

menghilangkan segala bentuk kemudharatan bagi manusia.

Dan dalam Islam sendiri konteks marital rape atau perkosaan dalam

perkawinan harus sejalan dan selaras dengan hukum Islam, diantaranya meliputi

5 prinsip utama yakni pemeliharaan terhadap agama, akal, jiiwa, keturunan dan

harta. Maka apabila rumah tangga yang terjalin dengan dan pemenuhan hak serta

kewajibannya dengan baik atau sesuai mu‟asyarah bil ma‟ruf akan menjaga atau

memlihara sebaga berikut.

a) Pemeliharaan terhadap agama (Hifdz al-din),

segala bentuk tindakan kekerasan dan yang bersifat merusak, atau melukai

sangat bertentangan dalam agama Islam. Bentuk tindakan perkosaan yang

dilakukan pasangan tentu akan menyerang dan menggangu mental

korbannya. Dengan hal tersebut berdampak pada terganggunya integritas

mental piskologis korbannya yang akan memberikan kesulitan untuk

berekpresi dalam rasa syukur dan kepercayaan jaminan relasi dengan

tuhannya akan berkurang dan hal ini dilarang oleh agama. Sebagaiman

pada kaidah fiqih

‫صالِ ِح‬ ِ ‫َّـ َعلَى َج ْل‬


َ ‫ب الْ َم‬
ِِ
ٌ ‫َد ْرءُ الْ َم َفاسد ُم َقد‬
Maksudnya: menolak kerusakan itu lebih baik daripada menarik kebaikan
84

yang penjelasannya adalah apabila diantara pilihan menjalakan kebaikan

dan menolak kerusakan maka yang diutamakan menolak kerusakkan. Pada

dasarnya menolak kemudharatan sam halnya menjalankan kebaikan,

sejatinya tujuan hukum Islam adalah menjalakan kebaikan dunia dan

akhirat.

Ketika setiap anggota keluarga hidup tentram sesuai dengan

ajaran Islam saling mengasihi satu sama lain maka akan terhindar dari

rusaknya hubungan keluarga. Dan dengan hal tersebut tujuan keluarga yang

sesuai dengan ajaran Islam akan tercapai dan hal tersebut termasuk

menjaga keutuhan agama.

b) Pemeliharaan Terhadap Jiwa (Hifdz al-nafs),

Dengan terjalinnya rumah tangga yang sesuai dengan konsep

dasar mu‟asyarah bil ma‟ruf. Maka tentu, secara jiwa akan tenang tidak

adanya rasa takut dan was-was dalam berumah tangga. sebagaimana dalam

al-Qur‟an surah al-Furqon: 74 Tujuan berpasangan sebagai bentuk

penyenang hati.

‫ني اَِم ًاما‬ ِ ِ


َ ْ ‫اج َع ْلنَا ل ْل ُمتَّق‬ ٍ ُ ‫ب لَنَا ِم ْن اَْزو ِاجنَا وذُِّريهّتِنَا قُػَّرةَ اَ ْع‬
ْ ‫ني َّو‬ َ َ
ِ
ْ ‫َوالَّذيْ َن يَػ ُق ْولُْو َف َربػَّنَا َى‬
Terjemahan: Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang
yang bertakwa.”

Setiap tindakan yang merusak martabat dan kepercayaan

manusia pada marital rape merupakan suatu bentuk diskriminasi yang


85

nyata dan mengarah pada intervensi pelaku pada kehidupan korban. Seperti

yang kita ketahui rumah adalah tempat pertama bagi orang yang berumah

tangga untuk mendapatkan kedamaian dan ketenteraman baik secara

individu ataupun bersosial. Kedua pasangan yang saling menjaga

keseimbangan relasi antara keduanya menjadi peranan penting dalam

perlindungan jiwa. Tentunya jika terjadi suatu tindakan perkosaan dalam

perkawinan dikhawatirkkan akan mengakibatkan tergangunya pada

kejiwaan korban.

c) Pemeliharaan terhadap akal (Hifdz al-aql)

Pemikiran yang sehat dalam berumah tangga akan

mempengaruhi setiap tindak yang akan diambil baik itu dalam urusan

keseharian, ekonomi, pendidikan, hak ataupun kewajiban ibadah.

Sebagaimana firman Allah SWT,

‫اج ا لِتَ ْس ُك نُوا إِلَيْػ َه ا‬ ِ


ً ‫أَنػْ فُ س كُ ْم أ َْز َو‬ ‫ِم ْن‬ ‫آٰي تِوِ أَ ْف َخ لَ َق لَ ُك ْم‬ َ ‫َوم ْن‬
ِ
‫ت لِقَ ْو ٍـ يػَ تػَ َف َّك ُرو َف‬ٍ ‫ك ََل ٰي‬
َ َ ‫ِِف ذَ ل‬
ِ‫ه‬ ‫ۚ إِ َّف‬ ً‫َو َج عَ لَ بػَ يْػ نَ ُك ْم مَ َودَّ ةً َو َر ْْحَة‬
Terjemahan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa dan kasih sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Q.S Ar-Rum: 21).

Namun Apabila hal tersebut tidak berjalan dengan baik, setiap

pasangan yang menjadi korban dari tindakan perkosaan dalam perkawinan

tentunya secara akal akan dikekang. Ganguan trauma yang dlakukan oleh
86

pihak yang awalnya dipercaya sebagai pendamping hidup dan hidup satu

atap dan menjadi beban. Hilangnya daya pikir jernih sehingga tidak

mampunya berpikir secara logis, dan secara spritualpun para korban tidak

bisa mengekspresikan emosinya.2

d) Pemeliharaan terhadap keturunan (Hifdz al-Nasl),

Ketika secara fisik, psikis, jiwa, agama dalam berumah tangga baik, maka

akan mempengaruhi kerurunan yang baik pula. Terencananya setiap

tindakan yang diambil oleh suami dan istri dengan baik akan terhindarnya

dari penelentaran secara emosional, pendidikan, ekonomi dan agama.

Setiap pasangan suami istri secara agama dan sosial berhak untuk

mendapatkan keturunan secara baik dan tanpa paksaan. Prinsip mu‟asyarah

bil ma‟ruf antara pasangan sejatinya harus ditanamkan dengan baik dalam

kehidupan rumah tangga. Dan apabila terjadinya tindakan perkosaan dalam

perkawinan tersebut dikhawatirkan adanya kehamilan yang tidak

diinginkan oleh pasangan. Dikhawatirkan terjadinya penelantaran dan

kecacatan.3

2
Emi Sutrisminah, „‟Dampak Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Terhadap
Kesehatan Reproduksi”, dalam jurnal media neliti Kebidanan FIK Unissula, 2022.
3
Emi Sutrisminah, Dampak...2022
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari uraian analisa diatas dapat disimpulkan mengenai hasil penelitian meliputi:

1. Marital rape dalam hukum positif Indonesia, termasuk perbuatan yang

dilarang hal ini diatur sebagaimana pada pasal 5, 8 dan 46 UU PKDRT juga

pada pasal 4 huruf b, dan pasal 6 huruf b UU TPKS. UU PKDRT dapat

dikategorikan sebagai lex specialis bagi penegakkan hukum di Indonesia

dalam persoalan marital rape.

2. Marital rape dalam hukum Islam, bertentangan dengan ajaran Islam. Karena

tidak sesuai dengan konsep an taradhin kemudian keberadaan gagasan yang

mengatur hal tersebut harus diadakan sebagai bentuk menjaga kemaslahatan

terutama dalam rumah tangga. Hal ini dikarenakan konsep marital rape

bertentangan dengan 3 konsep perkawinan yaitu an taradhin (saling ridha),

mu‟asyarah bil ma‟ruf (memperlakukan dengan baik), dan ad-Dharar yuzal

(kondisi bahaya harus dihilangkan).

Kemudian jika dilihat dari segi maqashid syariah persoalan marital

rape telah melanggar empat poin maqashid syariah meliputi Pemeliharaan

terhadap keturunan (Hifdz al-Nasl), Pemeliharaan terhadap akal (Hifdz al-aql),

Pemeliharaan Terhadap Jiwa (Hifdz al-nafs), Pemeliharaan terhadap agama

(Hifdz al-din) .
88

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diurakan diatas, maka dapat diajukan

kritik dan saran dengan tujuan agar menjadi bahan pertimbangan peningkatan

pemahaman mengenai marital rape di kemudian hari.

1. Bagi pemerintah Indonesia Perlunya Undang-undang khusus yang mengatur

marital rape secara eksplisit dan efesien.

2. Perlunya diadakan sosialisasi pada masyarakat terkait pemahaman mengenai

tindakan kekerasan seksual ranah domestik (rumah tangga) khususnya pada

kasus marital rape oleh aparat penegak hukum.

3. Diharapkan penelitian ini bisa dilanjutkan dikemudian hari dengan konteks

yang berbeda dan masih seputaran marital rape. Dan juga penelitian ini bisa

menjadi saran atau acuan pada persoalan tindakan kekerasan seksual.


DAFTAR PUSTAKA

Aizid, Rizem. Fiqih Keluarga terlengkap. Yogyakarta: Laksana, 2018.


Al-Farran, Syaikh Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Imam Asy-Syafi‟i, Riyadh: Dar At-
Tadmuriyyah. 2008.
Al-Mashri, Syaikh Mahmud. “Az-zawaj al-Islami as-Sa‟id”. Terj., Iman Firdaus,
Bekal Pernikahan. Jakarta: Qisthi Press, 2010.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam, “Al-Jami‟li ahkaam Al-Qur‟an.” Terj., Faturrahman, et.al,
Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2012..
Al-Zarif, Ramel. Mirqotul Mafatih. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah. 2001.
Arifandi, Firman. Serial Hadist Nikah 6: Hak dan Kewajiban Suami Istri. Jakarta:
Lentera Islam, 2020.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001.
Az – Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu. Damaskus: Dar ar-
Fikri, 2006.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid al-syar‟ah Menurut al- Syatibi. Jakarta: PT
Raja Grafindo, 1996.
Busyro. Maqashid al-Syariah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah. Jakarta:
Kencana, 2019.
Dahlan, M. Fikih Munakahat. Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993.
Fahmi Khoirul, et.al. Mengukir Peradaban. Bantul: CV.Masyhida. 2018.
Fibrianti. Pernikahan Dini Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Di
Lombok Timur NTB. Malang: Ahlimedia Press, 2021.
Fuad, Kauma Fuad. Membimbing Istri Mendampingi Suami. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2000.
Ghazali, Norzulaili Mohd. et al,. Nusyuz, syiqaq Dan Hakam Menurut Al-Qur‟an,
Sunnah Dan Undang-Undang Keluarga Islam. Kuala Lumpur: KOLEJ
UNIVERSITI ISLAM MALAYSIA (KUIM), 2006.
Husain, et.al...Pengantar Hukum Islam. Bandung: Cv Media Sains Indonesia, 2021.
Ihromi, TO. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.
Irianto, Sulistyowati. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif
Kesetaraandan Keadilan. Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2008.
Ismiati, Saptosih. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) & Hak Asasi Manusia
(Sebuah Kajian Yuridis).Yogyakarta: Deepublish, 2020.
Kodir, Faqihuddin Abdul. 60 Hadiist Shahih. Yogyakarta: DIVA Press, 2019.
Lianawati, Ester. Konflik Dalam Rumah Tangga (Keadilan dan Kepedulian Proses
Hukum KDRT Perspektif Psikologi Feminis). Yogyakarta: Paradigma
Indonesia.
Luth, thohir. Syariat Islam Menjawab Persoalan Umat. Malang: UB Press, 2014.
Manshur, Ali. Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam. Malang: UB press, 2017.
Marbawi, Muhammad Idris Abdurrauf. Kamus Idris marbawi. Singapura: Daral
Ulum al-Islamiyah. Tt
Marlia, Milda. Marital Rape Kekerasan seksual terhadap istri. Yogyakarta: Pustaka
pesantren, 2007.
Martha, A.E. Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia dan
Malaysia. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. 2011.
Manzur, Ibn. Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukaram. Lisan al-Lisan
Tahzib Lisan al-Arab. Beirut: Dar a0Kutubal-Ilmiyah, 1993.
Majelis Ulama Indonnesia (MUI). Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Permata Press.
2003.
Mawardi, Ahmad Imam. Fiqh Minoritas fiqhal-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al-
Syari‟ah dari Konsep Kependekatan. Yogyakarta: Lkis, 2010.
Milda Marlia. Marital Rape: Kekerasan Seksual Terhadap Istri. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. 2007.
Noor, Syafri Muhammad. Ketika Istri Berbuat Nusyuz. Yogyakarta:Lentera Islam,
2017.
Nurjamal, Ecep. Praktik Beracara Di Pengadilan Agama. Tasikmalaya: Edu
Publisher, 2020.
Rabbani, Mutmainah Afra. 1001 Kewajiban Istri dalam Mengarungi Bahtera
Rumah Tangga. Yogyakarta: Lembar Pustaka Indonesia, 2015.
Rohidin. Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books. 2006.
Saputra, Suhar. Metode Penulisan: Kuantitatif, Kualitatif, dan tindakan pengarang.
Bandung: Refika Aditama, 2012.
Sarwat, Ahmad. Seri Fiqih kehidupan (8): Pernikahan. Jakarta: Fiqih Publishing,
2019.
Shadly, Hassan dan John M.Echols. Kamus Innggris-Indonesia. Jakarta:Gramedia
Pustaka. 1993.
Sodik, Mochamad. Telaah Ulang Wacana Seksualitas. Yogyakarta: PSW IAIN
Sunan kalijaga, Depag RI, dan McGill-CIDA, 2004.
Soeroso, Moerti hadiati. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Yuridis-
Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Suendi, Ahmad. Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2002.
Sudahri, Moh. Suri. Adabul Mufrad. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Sugiono. Metode Penulisan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2009.
Syuhud, A.Fatih. Keluarga Sakinah. Malang: Pustaka Al khoirot, 2013. Arifandi,
Firman. Serial Hadist Nikah 6: Hak dan Kewajiban Suami Istri. Jakarta:
Lentera Islam, 2020. Suendi, Ahmad. Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Thalib, Abd. Hukum Keluarga dan Perikatan. Pekanbaru: UIR Press. 2008.
Triantono. Pemidanaan Rehabilitasi Pelaku Kejahatan Domestik. Magelang: Pustaka
Rumah C1nta, 2020.
Wahid. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung: PT Refika
Aditama, 2001.
Wahid, Abdul. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas
Hak Asasi Perempuan. Bandung: PT. Refika Aditama, 2001.
Yllo, Kersti dan M. Grabiela torres. Marital Rape: Consent, Marriage, and Social
Change in Global Context. USA: Oxford University Press. 2016.
Jurnal
Ari, Ni Made Sintia Ardi dan Ida Bagus Surrya Dharma Jaya. “Perkosaan Dalam
Perkawinan (Marital Rape) Ditinjau Dari Undang-Undang Penghapusan
kekerasan dalam Rumah Tangga”. dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Udayana ,2019.
Asmuni Mth, “Upaya Pemikiran al-Maqashid (Upaya menemukan Fondasi Ijtihad
Akademik yang Dinamis)”, dalam jurnal Al-Mawardi, Edisi XIV, 2005.
Ayu, Diyan Putri.“Tinjaun Maqashid Syariah Terhadap Akibat Tindakan Marital
Rape dalam UU No,23 TH.2014 dan RKUHP”, dalam jurnal al-
Manhaj:Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol.1, No.2, 2019.
Aziz, Abdul, “Islam dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, dalam Jurnal Kordinat
edisi No.1, Vol.XVI, 2017.
Darussamin, Zikri, dan Armansyah, “Marital Rape Sebagai Alasan Perceraian Dalam
Kajian Maqashid Syariah”, dalam jurnal Hukum Keluarga Islam, 2019.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual Indonesia, 2017.
Erlytawati, Nita dan Diana Lukitasari. “Tindak Pidana Dalam Perkawinan (Marital
Rape) Dalam Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Singapura”, dalam
Jurnal Recidive, Vol.4, No.1, 2015.
Fakhria, Sheila dan Rifqii Awat Zahara. “Membaca Marital Rape dalam Hukum
Keluarga Islam dan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual (P-KS)”. dalam Jurnal Iijtihad. Vol 37, No.2, 2021.
Idham, Novi Puspita Sari, dan Siti Ayunah, “Kekeraan Dalam Rumah Tangga
(Analisis Dalam Perspektif Hukum dan Kebiasaan Masyarakat Desa)”, dalam
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, 2022.
Ilma, Mughniatul. “Kontekstualisasi Konsep Nusyuz Di Indonesia”, dalam Jurnal
Pemikiran KeIslaman 30, no. 1 (2019): h.51,
https://doi.org/10.33367/tribakti.v30i1.661.
Islamey, Ayunda Ulima, Konstruksi Perlindunngan Korban Dalam Perumusan
Tindak Pidana Marital Rape (Kajian Pengaturan Tindak Pidana
Marital Rape Di Indonesia)”, Tesis, Direktorat Program Pascasarjana
Universitas Malang, 2022.
Ismatulloh, A.M. “Konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahma dalam Al-Qur‟an
(Perspektif Penafsiran Kitab Al-Qur‟an dan Tafsirnya”, dalam Mazahib
Jurnal Pemikiran Islam, No.1, Vol. XIV, 2015.
Lailisna, Novi Nur. “Polemik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual (RUU PKS): Studi Kritis dan Prospketif”, dalam An-Natiq: Jurnal
Kajian Islam Interdisipliner 1, 2021.
Prosiding Seminar Serantau Islam Kontemporer Indonesia-Malaysia, “Islam
Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia”, (Makassar:Fakultas
Ushuluhuddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, 2015.
Malihah, Fikriya. “Marital Rape dalam legal-formal dan etika-moral Hukum Islam”,
Skripsi Fakultas syariah Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
2008.
Maula, Bani Syarif dan Vivi Ariyanti. “Kriminalisasi Perkosaan Dalam
Perkawinan Menurut Hukum Pidana Nasional dan Hukum Islam”. dalam
Jurnal Equalita Edisi Vol.3, 2021.
Nurmila, Nina. “Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama dan
Pembentukan Budaya”. dalam Jurnal KARSA UIN Sunan Gunung Djati
Bandung,Vol.23, No.1, 2015.
Rahayu, Annisa Ekadan Kiki Zakiah, “Aspek Keridhaan Dalam Komunikasi Bisnis
Perspektif Tafsir Surah An-Nisaa‟ Ayat 29”, dalam Jurnal Istiqro: Jurnal
Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Bandung, Vol.6, No.2,
2020.
Saifuddin, Achmad Fedyani. “Keluarga dan Rumah Tangga: satuan Penulisan dalam
Perubahan Masyarakat”, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No.3, Vol.
30, 2006.
Sari, Aldira Arumita. “Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri
(Marital Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia”. dalam Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia. Vol.1, 2019.
Siburian, Riskiyanti Juniver. “Marital Rape Sebagai Tindak Pidana Dalam RUU-
Penghapusan Kekerasan Seksual”. dalam Jurnal Yuridis Edisi No.1, Vol.7.
2020.
Sutrisminah, Emi. „‟Dampak Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Terhadap
Kesehatan Reproduksi”. dalam jurnal media neliti Kebidanan FIK Unissula.
2022.
Susilo, M.E. “Islamic Perspective on Marital Rape”, dalam Jurnal Media Hukum,
2013.
Syaifuddin, M. Irfan. “Konsep Marital Rape dalam Fikih Munakahat”. dalam jurnal
Ilmu Syari‟ah dan Hukum. Vol.3, No.2, 2018.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974. Tentang Perkawinan, 2
Januari 1974. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
1,1974.
Situs Web
Aphrodite wounded, Effect of Intimate partner Sexual Violence.
http://www.aphroditewounded.org/effects.html.diakses tanggal 18 Juni 2022.
Heylaw Edu, “Bedah Formulasi Undang-Undang Tindak Pidana kekerasan Seksual
(UU TPKS)”, dalam http://heylawedu.id/blog/ Bedah Formulasi -Undang-
Undang-tindak–tidana- kekerasan Seksual-UU TPK. Diakses 24 Juli 2022.
Muttaqin, Ikin Zainal. “Langkah-langkah Advokasi Legislatif LBH APIK bersama
jaringan dalam Menangani Isu KDRT”,
http://www.docstoc.com/docs/68853221/langkah- langkah-advokasi,
diakses tanggal 13 Mei 2022.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022, Tindak Pidana
Kekerasan Seksual.
Rancangan Undang-Undang republik Indonesia tentang Penghapusan kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
SIMFONI-PPA, Data Kekerasan di Indonesia”, kekerasan.kemenppa.go.id/ringkasan,
diakses tanggal 15 Juni 2022.
Undang-undang Republik Indonesia No.23 tahun 2004, tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
US Legal Definitions. http://definitions.uslegal.com/m/marital-rape. diakses tanggal
18 juni 2021.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I

UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2022 TPKS


Lampiran II

UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2004 PKDRT


Lampiran III

SURAT BIMBINGAN SKRIPSI

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA
FAKULTAS SYARIAH
Jalan H. A. M. Rifadin, Loa Janan Ilir, Samarinda 75131
Telepon (0541) 7270222 Faksimili (0541) 7268933
Website : http://www.fasya.iain-samarinda.ac.id E-mail : fasyaiainsmd@gmail.com

Nomor : FASYA/B-1065 /In.18/1/PP.00.9/07/2021 Samarinda, 19 Agustus 2021


Lamp. : -
Perihal : Bimbingan Skripsi

Kepada
Yth. Ibu Dr. Lilik Andaryuni, S.H.I.,M.SI.
di.-
Tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dalam rangka proses penyelesaian studi mahasiswa program Sarjana (S.1) Fakultas
Syariah IAIN Samarinda, maka diharapkan kesediaan Ibu untuk memberikan
bimbingan skripsi mahasiswa sebagai berikut :
Nama : Khairul Akbar
Nim : 1821508078
Jurusan / Prodi : Ilmu Syariah / Hukum Keluarga
Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Issue Marital Rape Dalam
Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) Pasal 479.
Pembimbing I : Ibu Dr. Lilik Andaryuni, S.H.I.,M.SI.
Pembimbing II : Bapak Abdul Syakur, Lc.,M.H.

Jangka waktu penyusunan skripsi mulai Tanggal 01 Agustus 2021 sampai dengan
01 Januari 2021
Demikian, atas kesediaannya disampaikan terima kasih

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Dekan,

Dr. Bambang Iswanto, M.H.


NIP.197405271999031004

Tembusan :
1. Pembimbing I
2. Pembimbing II
3. Mahasiswa yang bersangkutan
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA
FAKULTAS SYARIAH
Jalan H. A. M. Rifadin, Loa Janan Ilir, Samarinda 75131
Telepon (0541) 7270222 Faksimili (0541) 7268933
Website : http://www.fasya.iain-samarinda.ac.id E-mail : fasyaiainsmd@gmail.com

Nomor : FASYA/B-1064 /In.18/1/PP.00.9/07/2021 Samarinda, 13 Desember 2021


Lamp. : -
Perihal : Bimbingan Skripsi

Kepada
Yth. Bapak Abdul Syakur, Lc.,M.H.
di.-
Tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dalam rangka proses penyelesaian studi mahasiswa program Sarjana (S.1) Fakultas
Syariah IAIN Samarinda, maka diharapkan kesediaan bapak untuk memberikan
bimbingan skripsi mahasiswa sebagai berikut :
Nama : Khairul Akbar
Nim : 1821508078
Jurusan / Prodi : Ilmu Syariah / Hukum Keluarga
Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Issue Marital Rape Dalam
Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) Pasal 479.
Pembimbing I : Ibu Dr. Lilik Andaryuni, S.H.I.,M.SI.
Pembimbing II : Bapak Abdul Syakur, Lc.,M.H.

Jangka waktu penyusunan skripsi mulai Tanggal 01 Agustus 2021 sampai dengan
01 Januari 2021
Demikian, atas kesediaannya disampaikan terima kasih

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Dekan,

Dr. Bambang Iswanto, M.H.


NIP.197405271999031004

Tembusan :
1. Pembimbing I
2. Pembimbing II
3. Mahasiswa yang bersangkutan
Lampiran IV

LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI


Lampiran V

LEMBAR PERBAIKAN SKRIPSI

Anda mungkin juga menyukai