Untuk mengawali tulisan tentang filantropi ini saya mengutip sebuah kata mutiara
Arab yang diambil dari potongan hadits Nabi, ( خير الناس أنفعهم للناسkhoirunnas anfa'uhum
linnas). Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Kalimat
tersebut sudah sejak lama menjadi motto hidup saya.
Sebagai umat islam saya meyakini bahwa Islam adalah agama yang Rahmatan lil
‘alamin (rahmat untuk seluruh alam) yang representasinya adalah memberikan keselamatan,
kasih sayang kepada sekelilingnya atau yang akan kita sebut dengan istilah filantropi dalam
pembahasan ini. Menurut saya bicara tentang agama ya harus bicara filantropi, meskipun
bicara filantropi tidak harus bicara tentang agama.
Mengenal Filantropi
1
“Definition of Philanthropy” diakses 30 November 2022, http://www.merriam-
webster.com/dictionary/philanthropy
1. Goodwill to fellow members of the human race, especially: active effort to
promote human welfare
2. (a) an act or gift done or made for humanitarian purposes; (b) an organization
distributing or supported by funds set aside for humanitarian purposes2
Kata kunci yang bisa kita ambil dari definisi tersebut adalah niat baik (good will),
untuk sesama manusia (human race), dan meningkatkan kesejahteraan (promotion of human
welfare). Jika demikian makna filantropi, maka sebagai praktik tentu tidak sulit bagi orang
untuk mengetahui kegiatan-kegiatan semacam menolong tetangga yang memerlukan,
menyumbang untuk kegiatan kampung, bergotong-royong membangun rumah warga,
menjadi relawan saat ada bencana atau saat ada kegiatan yang melibatkan kepentingan
umum, atau anak-anak sekolah menggalang dana untuk teman sekelas yang sakit.
Dalam praktiknya di masyarakat kita, mungkin istilah filantropi kalah akrab dengan
istilah yang lebih spesifik seperti ‘gotong-royong’, ‘kerja bakti’, atau yang lebih umum lagi
seperti ‘kegiatan sosisal’. Beberapa buku filantropi mengaitkan istilah-istilah tadi dengan
mendefinisikan filantropi sebagai, “voluntary action for the public good3” atau “tindakan
sukarela untuk kepentingan umum”.
Ada duan unsur penting filantropi dalam definisi tersebut: pertama, tindakan
sukarela. Sebuah tindakan filantropis tidak berangkat dari paksaan atau kewajiban. Misalnya,
membayar pajak bukan tindakan filantropis karena pajak adalah kewajiban setiap warga
negara.
2
Ibid.
3
Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy: Its Meaning and Mission
(Bloomington: Indiana University Press, 2008), hal. 6.
Kenapa Menolong Orang Lain?
Jika filantropi didefinisikan sebagai tindakan menolong orang lain, maka muncul
pertanyaan penting; kenapa orang mau menolong orang lain? kenapa orang mau memberikan
apa yang ia miliki kepada orang lain?
Bagi mereka yang sejak kecil dididik dengan ajaran agama dan berada dalam
lingkungan orang-orang beragama, mungkin satu-satunya referensi mereka dalam berbuat
baik kepada orang lain adalah agama. Bagi seorang muslim kaidah paling sederhana yang
ditanamkan sejak kecil adalah: kita harus berbuat baik agar tidak masuk neraka. Kalau kamu
memukul temanmu, kamu akan masuk neraka. Kalau kamu menolong temanmu, kamu dapat
pahala dan masuk surga. Begitulah, jarang sekali ada referensi lain di luar kaidah-kaidah
agama yang membesarkan mereka.
Padahal berbuat baik kepada orang lain adalah nilai universal yang dapat ditemukan
di mana saja melintasi batas agama, ras, dan geografi. Fenomena berbuat baik atau berkorban
untuk orang lain bukan fenomena eksklusif mereka yang beriman.
Argumen darwinian tersebut didasarkan pada dua hal. Pertama, tindakan filantropis
bukan satu-satunya tindakan yang bersifat dan bermotif ‘demi kepentingan orang lain’ atau
‘kepentingan umum’. Tindakan politik dan ekonomi juga dapat diklaim untuk memajukan
kepentingan umum. Membuka industri di kawasan miskin agar warga sekitar mendapatkan
4
Robert Wuthnow, Encyclopedia of Politics and Religion (Washington, D.C.: CQ Press, 2007), hal. 600,
http://library.cqpress.com/cqresearcher/cqresrre2006120800, diakses 30 November 2022
pekerjaan juga mempunyai bobot kepentingan umum. Demikian juga pemimpin yang
bertindak bersih untuk melanggengkan kekuasaan politiknya.
Bahkan kalau ditarik kepada orang yang sekilas bermotif religius pun, filantropi
mungkin terjadi karena motif pribadi. Misalnya, orang-orang Muslim diwajibkan oleh agama
untuk membayar zakat mal atas harta miliknya yang sudah memenuhi syarat nisab. Ketika ia
menunaikan kewajiban itu, boleh jadi yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan
dirinya: entah untuk masuk surga atau selamat dari neraka. Atau, seperti dikatakan dalam
Hadits “as-shodaqoutu tadfa’u al-bala’” (sedekah/zakat itu dapat menolak balak). Ia sedekah
agar ia selamat dari bencana, bukan karena ia peduli dengan tetangganya yang miskin.
Meskipun tidak mudah, beberapa tulisan ilmiah berusaha menganalisis motif atau
alasan orang untuk memberi, menyumbang, atau melakukan kegiatan filantropis. Van Slike
yang menggunakan pendekatan ekonomi, misalnya, merumuskan tiga faktor yang
mempengaruhi keputusan orang untuk menyumbang: latar belakang orang, pemicu tindakan,
dan tindakan untuk merespon (lihat Gambar 1).6
5
Ibid., hal. 601.
6
David Van Slyke and Arthur Brooks, “Why do People Give?”, The American Review of Public
Administration, vol. 35, no. 3 (2005), hal. 199-222, https://doi.org/10.1177/0275074005275308
Keputusan untuk memberi dipengaruhi salah satunya oleh latar belakang seseorang,
baik latar belakang demografis (usia, jenis kelamin, tempat tinggal), pengalaman pribadi,
pengetahuan tentang masalah terkait, dan kemampuan memberi. Sementara pemicu untuk
menyumbang dapat berupa permintaan sumbangan, keringanan pajak dan sejenisnya, serta
kewajiban. Sedangkan perilakunya dapat berupa menyumbang untuk oraganisasi sosial,
menjadi relawan, atau terlibat dalam organisasi kemasyarakatan.
Ketiga faktor dan ragam variabel tersebut bersifat sangat cair dan nyaris tidak dapat
ditarik pola tunggal. Mereka terkadang saling terkait dan terkadang berjalan secara mandiri.
Misalnya, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberi, bisa jadi memberikan
sumbangan tetapi dalam bentuk non-materi, menjadi relawan.
Jadi, kita tidak dapat membuat penjelasan tunggal tetapi tabel tiga faktor tersebut
dapat setidaknya membantu menjelaskan mengapa orang menyumbang dan bagaimana
organisasi-organisasi filantropi dapat memanfaatkan analisis terhadap tiga faktor tersebut
untuk meningkatkan penggalangan dana mereka.
Dalam konteks filantropi Islam, penting untuk kita catat bahwa dalam laporan itu
CAF menyebutkan bahwa faktor utama yang membuat Indonesia juara adalah agama, dalam
hal ini: zakat.
Religious giving strongly influences Indonesia’s giving culture, with zakat driving the
philanthropic work of many. Zakat defines giving to the vulnerable and needy as a
religious duty for all Muslims who meet the necessary wealth criteria. This practice
also applies to other religions in Indonesia. Indonesia is the world’s most populous
Muslim-majority country and is home to 231 million Muslims.
Pernyataan ini menarik perhatian kita karena ternayata di masa pandemi, bukannya
menurun, kegiatan membayar zakat secara global malah mengalami kenaikan. Menurut
hemat saya, hal ini karena di masyarakat-masyarakat yang religius ada kepercayaan bahwa
pandemi adalah ujian dari Tuhan yang harus dilewati dengan lebih meningkatkan religiusitas,
7
Charities Aid Foundations “CAF World Giving Index 2022” diakses 30 November 2022,
https://www.cafonline.org/docs/default-source/about-us-research/caf_world_giving_index_2022_210922-
final.pdf
menurunkan ego, meningkatkan kepedulian ke sesama. Khotbah-khotbah agama selama
bencana dan pandemi biasanya mengambil tema-tema ini.
“Berbuat baik tidak harus beragama, tapi orang beragama harus berbuat baik”
Sebagai agama rahmat, Islam hadir untuk kemanusiaan. Wujud kehadiraan adalah
dengan mengajari umatnya untuk berbuat baik kepada semua orang. Minimal, kalau pun ia
tidak berbuat baik bagi orang lain, orang lain tidak ia rugikan. “Seseorang disebut ‘muslim’
kalau orang lain selamat dari [kejahatan] perbuatan dan ucapannya.” Dalam versi lain juga
disebutkan “Seseorang disebut mu’min kalau orang lain aman darinya”.
Jadi, seorang muslim atau mukmin itu minimal tidak merugikan, menyusahkan dan
membahayakan orang lain. Lebih baik lagi kalau ia dapat membantu orang lain. Nah, sebaik-
baiknya orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam sebuah Hadits disebutkan:
يا رسول هللا أي الناس أحب إلى هللا ؟ وأي: فقال، أن رجال جاء إلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم، عن ابن عمر
وأحب، « أحب الناس إلى هللا أنفعهم للناس: األعمال أحب إلى هللا عز وجل ؟ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
وألن، أو تطرد عنه جوعا، أو تقضي عنه دينا، أو تكشف عنه كربة، األعمال إلى هللا سرور تدخله على مسلم
ومن كف غضبه، شهرا، يعني مسجد المدينة، أمشي مع أخ لي في حاجة أحب إلي من أن أعتكف في هذا المسجد
ومن مشى، مأل هللا عز وجل قلبه أمنا يوم القيامة، ولو شاء أن يمضيه أمضاه، ومن كظم غيظه، ستر هللا عورته
» مع أخيه في حاجة حتى أثبتها له أثبت هللا عز وجل قدمه على الصراط يوم تزل فيه األقدام
Dari Ibnu Umar, bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi SAW dan berkata, “Wahai
Rasulallah, siapakah orang yang paling dicintai Allah dan amal apakah yang paling
dicintai Allah SWT? Rasulullah SAW menjawab, “Orang yang paling dicintai Allah
adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai
Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau
engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau
menghilangkan kelaparan.
Dan sesungguhnya aku lebih suka berjalan bersama seorang saudaraku untuk
(menunaikan) suatu kebutuhan daripada aku beritikaf di masjid ini -yaitu Masjid
Madinah- selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka
Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal
dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan
harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya
untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka
Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari
perhitungan).” HR. Thabrani
Ajaran dalam Hadits tersebut sangat lengkap. Pesan moralnya sangat tegas. Muslim
yang baik adalah Muslim yang aktif membantu orang lain. Muslim yang baik menjadi solusi
bagi lingkungannya. Hadits itu bahkan secara spesifik menyebutkan kasus-kasus yang hingga
kini selalu menjadi daftar masalah sosial: kemiskinan, yang disimbolkan lewat kesusahan
(kurbah), terjerat dalam hutang (dain), dan kelaparan (ju’). Upaya membantu orang yang
sedang dalam masalah-masalah ini dianggap lebih utama daripada ibadah personal di dalam
masjid selama sebulan.
Jadi, tidak ada dalam kamus ajaran Islam bahwa kesalehan itu diukur dari seberapa
rajin orang ada di masjid. Indikator kesalehan itu terletak pada lingkungan dimana si Muslim
tinggal. Dalam salah satu riwayat disebutkan:
Dalam banyak versi Hadits disebutkan bahwa relasi Muslim-Allah itu ditentukan oleh
relasi Muslim-Masyarakat. Misalnya, Allah SWT berfirman:
ت ا َ ْق َدا َم ُك ْم
ْ ص ْر ُك ْم َويُثَ ِب
ُ ّللا يَ ْن ُ ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْْٓوا ا ِْن ت َ ْن
َ ٰ ص ُروا
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. QS. Muhammad ayat 7
Dalam Surat Muhammad ini Allah menjanjikan bahwa jika kita ‘menolong’ Allah,
Allah pasti menolong kita. Pertanyaannya, bagaimana cara kita menolong Allah? Dalam
Hadits ternyata disebutkan bahwa pertolongan Allah itu akan diberikan kalau kita menolong
sesama. Dengan kata lain, menolong Allah itu adalah dengan menolong makhluk-makhluk
Allah.
علَى ُم ْعسِر فِي ال ُّد ْنيَا يَس ََّرَ ب يَ ْو ِم ْال ِقيَا َم ِة َو َم ْن يَس ََّر
ِ ع ْنهُ ُك ْربَة مِ ْن ُك َر َ ّللا
ُ َّ س َ َّب ال ُّد ْنيَا نَفِ ع ْن ُم ْسلِم ُك ْربَة مِ ْن ُك َر َ س َ ََّم ْن نَف
ع ْو ِن ْالعَ ْب ِد َما ُ َّ علَ ْي ِه فِي ال ُّد ْنيَا َو ْاْلخِ َرةِ َو
َ ّللا فِي َ ّللا َ علَى ُم ْسلِم فِي ال ُّد ْنيَا
ُ َّ ست ََر َ ست ََر َ علَ ْي ِه فِي ال ُّد ْنيَا َو ْاْلخِ َرةِ َو َم ْن
َ ّللا
ُ َّ
ع ْو ِن أَخِ ي ِه
َ ِي ف د
ُ ب
ْ ع
َ ْ
ال َان َك
Barangsiapa yang meringankan (menghilangkan) kesulitan seorang muslim di
dunia, maka Allah akan meringankan (menghilangkan) baginya kesulitan di akhirat
kelak. Barangsiapa yang memberikan kemudahan bagi orang yang mengalami
kesulitan di dunia, maka Allah akan memudahkan baginya kemudahan (urusan) di
dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu
di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Sesungguhnya
Allah akan senantiasa menolong seorang hamba yang ia selalu menolong
saudaranya.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini senada dengan Hadits-hadits sebelumnya tetapi ditambah dengan satu
penekanan bahwa Allah fii ‘aun al-‘abd maa kaana al-‘abd fii ‘aun akhihi (Allah menolong
seseorang kalau ia menolong orang lain).
Filantropi Dalam Islam
- Zakat
- Infaq
- Sedekah
- Wakaf
- Kurban
- Baby Boomers
- Milenial
- Gen-Z