Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rynaldi Mahardika Situmeang

NIM : 20.3576
Kelas : 6-A
Mata Kuliah : Etika-II
Dosen Pengampu : Pdt. Mixon A. Simarmata, M.Th
Budaya Populer dan Etika Ekonomi
Budaya populer dan etika ekonomi merupakan dua hal yang terbilang menarik apabila
diperhadapkan pada etika Kristen. Berbagai hal yang muncul sebagai akibat dari pergeseran
zaman membuat pertimbangan untuk “membenarkan” suatu hal menjadi sangat sulit –
abstrak – tidak memiliki dasar atau tolak ukur tertentu. Berbeda apabila diperhadapkan secara
langsung dengan etika Kristen, yang mana pertimbangan benar atau tidaknya sesuatu hal
dipusatkan dalam diri Yesus, kebenaran yang mutlak dan universal.
Kultus adalah sebuah bentuk penghormatan yang dilakukan secara berlebihan
terhadap suatu hal, yang kemudian mendorong pada tindak pemujaan. Ada beberapa hal yang
secara umum terdapat dalam kultus, yakni: (1) otoritas yang terpusat pada filosofi dan gaya
hidup; (2) perlawanan terhadap dominasi budaya luar; (3) komitmen bagi setiap anggota
untuk gencar melakukan “dakwah”; dan (4) isolasionisme yang mengakar. 1 Keempat hal
tersebut adalah ciri yang identik melekat dalam kultus, secara khusus yang dapat kita lihat
dewasa ini, yakni dengan adanya budaya populer.
Penggunaan kata “budaya” merujuk pada cara hidup manusia yang khas. Jelasnya,
terdapat tiga paradigma dalam memahami budaya.2
- Budaya sebagai standar keunggulan
Di sini budaya dipandang sebagai suatu “ideal” yang harus dicita-citakan oleh
individu dan masyarakat.
- Budaya sebagai cara hidup
Di sini, budaya dilihat sebagai keseluruhan kompleks, yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan
lain yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
- Budaya subaltern
Pandangan ini menolak pemahaman tentang budaya sebagai keutuhan monolitik
dan terintegrasi, dan sebaliknya mengusulkan bahwa budaya adalah sistem nilai
yang terintegrasi, yang dibentuk oleh usia, ras, etnis, jenis kelamin, dan
sebagainya – berkembang menjadi “subkultur”.
Budaya populer secara sederhana dapat dipahami sebagai cara hidup masyarakat yang
seragam. Secara umum, terdapat tiga karakteristik budaya populer, yakni:
1. Relativisme
Dalam hal ini, setiap orang merelatifkan segala sesuatu sehingga tidak ada yang
mutlak benar maupun mutlak salah.
2. Pragmatisme
Dalam hal ini, setiiap orang menerima apa saja yang dianggap bermanfaat bagi
dirinya, tanpa memperdulikan benar atau tidaknya.
3. Sekularisme
Dalam hal ini, agama tidak lagi dipentingkan, dianggap tidak relevan – tidak
mampu menjawab kebutuhan atau tuntutan zaman.

1
Bob Larson, Larson’s Book of Cults, (Illionis: Tyndale House Publisher, Inc., 1982), 26-27.
2
Kelton Cobb, Theology and Popular Culture, (Malden: Blackwell Publishing, 2005), 42-44.
Dapat diperhatikan secara serius bahwa perkembangan budaya populer ini semakin
tidak terbendung. Hal itu diakibatkan tawaran yang beraneka ragam, yang kemudian
berangsur-angsur berkembang menjadi suatu cara atau gaya hidup tersendiri dalam
masyarakat. Oleh karena itu, patut dipertanyakan kembali, apakah kekristenan perlu
melakukan interpretasi kembali atau tidak akibat kegagalannya dalam menjawab tantangan
dunia konteks kini. Apakah mungkin kekristenan masih cukup yakin dengan apa yang
dimilikinya? Terlebih saat ini, kekristenan sudah mulai ditinggalkan, digusur dari pusatnya
dan digantikan dengan “dongeng” hasil rekaan para kaum kapitalis. Meskipun masih diakui,
namun strukturnya sudah terpotong-potong sehingga sesuatu yang bukan teologi telah
menjadi pusat iman dari “komunitas populer”.3
Pertanyaan inilah yang kemudian dijawab oleh Paul Tillich dalam apa yang ia sebut
sebagai “Teologi Budaya”. Singkatnya, Tillich tidak ingin melihat budaya populer sebagai
sebuah ungkapan negatif – seperti yang diungkapkan oleh Niebuhr, bahwa hubungan antara
kekristenan dan budaya lebih sering berada pada titik tengkar - melainkan sebagai tindakan –
realitas ilahi – pada seluruh bentuk kebudayaan manusia yang ada. Tillich tetap yakin bahwa
segala hal yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah anugerah dari Allah, bukan hasil
usaha manusia. Kekristenan bersumber dari inisiatif dan penyataan diri Allah sendiri dan
bukan berdasarkan kapasitas manusia.
Erat kaitannya dengan budaya populer, salah satu paradigma ekonomi yang sering
dihubungkan dengan konsep berpikir teoretis iman Kristena adalah praktik membungakan
uang. Pemungutan bunga terhadap pinjaman di antara orang-orang Israel sebenarnya telah
dilarang oleh Allah (lih. Kel. 22:25; Im. 25:36-37; Ul. 23:19-20). Tetapi larangan tersebut
sebenarnya tidak merujuk pada bunga suatu investasi komersial, seperti yang salah satunya
dilakukan oleh sebuah koperasi simpan pinjam. Salah satunya di dalam kitab Ulangan yang
melarang adanya bisnis membungakan uang kepada sesama bangsa Israel, tetapi
memperbolehkan adanya peminjaman uang yang menggunakan bunga kepada “orang asing”.
Tetapi hukum-hukum lainnya yang secara jelas menyebutkan bahwa peminjaman hanya
diperlukan ketika ada kebutuhan pokok yang harus dipenuhi, terutama untuk kebutuhan
tahunan dari kehidupan pertanian, contohnya untuk menanam bibit gandum. Dengan
demikian yang dilarang bukanlah pertumbuhan dari ekonomi itu sendiri.
Adam Smith, yang disebut sebagai “Bapak Ekonomi Kapitalisme”, menguraikan
pandangannya tentang bagaimana ekonomi menyediakan produk dan layanan yang lebih
baik. Menurut Smith, ekonomi begitu fokus terhadap prinsip keuntungan, bukan pada
kebaikan bersama. Smith, dalam sistem kapitalismenya, membatasi kebaikan bersama atas
dasar adanya kepentingan pribadi. Sistem ini pada intinya dibangun di atas sebuah asumsi,
bahwa ketika orang mengejar kepentingan mereka sendiri, mereka secara otomatis mengejar
apa yang jadi kepentingan bersama.4
Kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang cukup kompleks. Secara
etimologis, kapital berarti modal. Pemilik modal menjadi titik tumpu perputaran ekonomi.
Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi dengan kebebasan kepemilikan modal bagi
swasta atau individu dalam melakukan kegiatan perekonomian. Secara kontras kapitalisme
merupakan lawan arah dari sistem ekonomi sosialis, di mana sosialisme menganut
kepemilikan/penguasaan modal di tangan negara atau kolektif. Kapitalisme bukanlah satu
wujud tunggal yang sederhana, tetapi ada variasi yang tak terhitung jumlahnya, yang berakar
pada sejarah dan budaya yang berbeda-beda di tiap negara. Kompleksitas kapitalisme masih
ditambah lagi jika kita kaitkan dengan arah perkembangan dunia yang semakin mengglobal
3
T.S. Elliot, Christianity and Culture, (Florida: Harcourt & Company, 1967), 125.
4
Joerg Rieger “Reconfiguring the Common Good and Religion in the Context of Capitalism: Abrahamic
Alternatives” dalam Common Goods: Economy, Ecology, and Political Theology, Melanie Johnson (ed.), (New
York: Fordham University Press, 2015), 149.
dan muncullah istilah kapitalisme global. Sebagai sebuah frasa, kapitalisme global terdengar
normal dan biasa saja. Namun tidak dipungkiri, sebagai sebuah fenomena yang sedang
berjalan saat ini, kapitalisme global memiliki ciri negatif dengan semakin melebarnya
ketimpangan sosial. Banyak orang secara mencolok terlihat menikmati hidup yang begitu
mewah, sementara dalam waktu bersamaan ratusan juta orang lainnya masih berjibaku hanya
untuk sekedar bertahan hidup.
Kapitalisme sebagai sebuah sistem tata ekonomi, memberi kebebasan yang besar
kepada pelaku ekonomi untuk melakukan kegiatan ekonominya. Penguasaan privat atas
modal digunakan dalam rangka pemanfaatan sumber daya ekonomi baik dari sisi produksi
maupun distribusi. Distribusi merupakan sebuah kegiatan yang menghubungkan kebutuhan
produsen dengan konsumen. Kebutuhan konsumen akan suatu produk bisa dipenuhi oleh
produsen yang bisa terhubung secara langsung atau melalui mata rantai distribusi yang
berjenjang dan panjang. Mata rantai distribusi inilah yang menjadi wilayah operasi
perdagangan yang mempertemukan kepentingan penjual dengan pembeli. Pada jaman purba
perdagangan dilakukan dengan tukar-menukar barang (barter). Seiring perkembangan
peradaban, manusia mengenal mata uang sebagai alat transaksi. Di masa kini, alat tukar
sudah mulai bergeser dengan diterimanya uang digital sebagai alat pembayaran yang sah.
Bahkan fenomena terbaru adalah munculnya cryptocurrency seperti bitcoin, sebagai aset
digital yang sebenarnya ia tidak memiliki nilai intrinsik, tetapi disepakati oleh para
penggunanya sebagai aset yang bisa diperdagangkan layaknya jual beli mata uang.
Teks Alkitab adalah sebuah entitas dalam tradisi kekristenan. Kapitalisme juga adalah
sebuah entitas dalam kehidupan sosial. Dua entitas tersebut bisa diperjumpakan secara arif
tanpa dominasi dari salah satunya. Dominasi adalah sebuah praktik ketidakadilan yang harus
dihindari. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah pendekatan yang berimbang dan tidak saling
meminggirkan di antara pihak-pihak yangdiperjumpakan. Dalam buku Discovering the Bible
in the Non-Biblical World, Pui-lan menulis:
To interpret the Bible for a world historically not shaped by the biblical vision, there
is a need to conjure up a new image for the process of biblical interpretation.5
Pui-lan juga menyatakan bahwa tradisi lain di luar tradisi kekristenan perlu
ditempatkan sebagai mitra dialog, bukan objek misiologis. Hal ini dibutuhkan ketika kita
ingin membangun suatu masyarakat sosial yang lebih baik. Pembacaan sebuah teks Alkitab
bisa menghadirkan beragam makna yang terus menerus bisa digali. Selagi kita menggunakan
kaidah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka pemaknaan tersebut layak
untuk kita terima sebagai ragam suara dalam pembacaan sebuah teks Alkitab. Kita perlu
menyadari bahwa penafsiran sebuah teks juga bisa dipengaruhi oleh sudut pandang atau
bahkan ideologi yang ada di kepala kita. Oleh karenanya, sebuah teks Alkitab tidak mungkin
kita batasi pada sebuah tafsir atau sebuah makna tunggal yang statis. Sebagai umat beriman,
kita perlu mengingat kembali bahwa sumber refleksi kita dalam menjalani kehidupan tidak
hanya terbatas pada teks Alkitab, tetapi juga memiliki sumber lain yaitu pengalaman hidup
dan lingkungan sosial budaya. Allah kita adalah Allah yang hidup, sehingga kita tidak perlu
membatasi seolah-olah Allah hanya berbicara melalui Alkitab saja. Allah juga berbicara
melalui pengalaman-pengalaman hidup kita dan juga melalui berbagai peristiwa yang terjadi
dalam lingkungan sosial dan budaya kita keseharian.Kapitalisme sebagai sebuah sistem
ekonomi yang sedang berjalan dalam lingkungan sosial kita saat ini perlu didialogkan dengan
kekristenan, sehingga dua-duanya mendapat tempat sebagai sumber refleksi untuk
menemukan makna yang terus dibaharui secara dinamis.

5
Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in The Non Biblical World, 51.

Anda mungkin juga menyukai