Anda di halaman 1dari 88

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pentingnya Ketersediaan Pasokan Tenaga Listrik

Di dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan, jaminan ketersedian energi listrik


yang handal, cukup, berkualitas dan ekonomis telah menjadi pra-syarat untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan kerja produktif,
memperkuat industri dan menciptakan sektor bisnis yang sehat. Energi listrik adalah sebagai
wujud konversi sumber daya energi primer (baik fosil dan non fosil) melalui pembangkitan
dan disalurkan melalui saluran transmisi dan didistribusikan ke semua level pelanggan
melalui jaringan distribusi. Pemerataan infratsruktur listrik menjadi bagian prasyarat untuk
bisa mendistribusikan pasokan listrik secara handal, berkualitas dan ekonomis. Tersedianya
infrastruktur pembangkit dan tersedianya energi primer yang ekonomis, akan menjamin harga
energi listrik yang kompetitif. Upaya mencukupi pasokan listrik dengan kualitas standar
senantiasa diupayakan oleh berbagai negara di dunia, dengan berbagai cara agar pemerataan
listriknya dapat menjangkau semua warga, baik rumah tangga, bisnis dan industri dengan
kriteria handal, secure, dan ekonomis. Ketersediaan energi listrik yang cukup, handal dan
ekonomis dengan dukungan infrastrukur yang baik, diyakini akan berkonstribusi besar
terhadap pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian juga halnya di Indonesia, pemerataan kelistrikan nasional untuk melistriki
hampir 270 juta penduduk yang tersebar di lebih 10.000 pulau bukanlah pekerjaan yang
mudah dibandingkan untuk melistriki penduduk yang terkonsentarsi di pulau-pulau utama.
Sampai saat ini rasio elektrifikasi sudah mencapai 99.48%, tetapi jika ditinjau dari aspek
pemerataan kehandalan, kualitas dan kecukupn pasokan masih belum merata di seluruh
wilayah Indonesia. Selain itu, jika dilihat dari sudut pandang ketersediaan energi listrik
nasional secara umum, energi listrik yang tersedia juga belum optimal untuk dimanfaatkan
sebagai pendukung utama produktiftas. Saat ini, energi listrik sebagian besar masih
dimanfaatkan untuk sektor penerangan dan rumah tangga.
Diketahui bahwa energi listrik merupakan energi yang paling efisien dan paling
mudah berdapatasi untuk mendukung berbagai keperluan kehidupan manusia, mulai untuk
hal yang sangat sederhana sebagai sumber penerangan, penggerak dan penjamin
pertumbuhan ekonomi (melalui sektor industri, bisnis dan pariwisata), menjaga stabilitas
sosial masyarakat hingga sebagai prestasi bagi suatu negara. Ketersediaan energi listrik yang

1
handal, cukup dan berkualitas telah menjadi pra-syarat utama terjaminnya pasokan yang
berkelanjutan, yang akan memberikan jaminan kepuasan dan keamanaan pagi para pengguna.
Secara umum jaminan ketersediaan listrik bagi suatu negara telah memberikan dampak
positif, diantaranya :
a. Pertumbuhan ekonomi dapat terjamin
b. Industri dapat lebih kompetitif
c. Sektor bisnis dapat tumbuh secara berkelanjutan
d. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat menjadi lebih baik,
e. Industri pendukung tumbuh dan berkembang
f. Kebanggaan sosial dan lingkungan menjadi lebih baik
g. Lapangan kerja tercipta dengan baik.
Situasi terjamin dan tersedianya pasokan listrik telah menjadi salah satu indikator kemajuan
yang dicapai oleh suatu negara. Berdasarkan potret kondisi secara nasional, wilayah-wilayah
yang memiliki pasokan listrik lebih baik mempunyai tingkat produktifitas yang lebih baik
dibandingkan dengan daerah-daerah yang pasokan listriknya belum tersedia dengan baik.
Berdasarkan data historis perkembangan penyediaan energi listrik di berbagai negara,
pada tahap awal penyediaan energi listrik, energi listrik merupakan bagian infrastrukur di
suatu negara untuk mendorong atau menjadi penggerak (driver) pertumbuhan ekonomi
sampai pada gross domestic product (GDP) per capita tertentu. Sebagai infrastruktur maka
berbagai kebijakan diterapkan agar penyediaan energi listrik bisa ekonomis dan efisien bagi
pengguna dan menarik potensi investasi sektor produktif melalui mekanisme bisnis dan
pengembangan industri. Berbagai kebijakan yang diterapkan, diantaranya adalah pemberian
harga khusus di energi primer, pemberian tarif secara khusus serta adanya dukungan fiskal
terhadap pembangunan infrastruktur kelistrikan. Kemudian, apabila telah mencapai GDP per
capita tertentu (misal 5000-10.000 USD per kapita), energi listrik beralih fungsi menjadi
sebuah komoditi yang diperdagangkan yang segala kebutuhan kelistrikan oleh konsumen
diterapkan berdasarkan nilai keekonomian.
Penyediaan energi listrik untuk menjamin pertumbuhan perekonomian, harus
memenuhi kriteria sebagai berikut ketercukupan pasokan (quantity), kualitas pasokan
memenuhi standar (quality), keandalan pasokan (reliability), dan harga memenuhi
keekonomian baik untuk perusahaan maupun pengguna. Untuk memenuhi kriteria-kriteria
tersebut maka penyediaan energi listrik harus memperhatikan ketersediaan pembangkit (harus
memiliki reserved margin yang cukup, handal, ekonomis dan berkelanjutan), ketersediaan
saluran transmisi yang mampu menyalurkan dengan losses yang minimum dan andal,

2
ketersediaan saluran distribusi yang mampu menjamin pemerataan listrik dengan tingkat
losses minimum dan memenuhi standar yang berlaku, komposisi bauran energi primer yang
efisien, dan memperhatikan sustainability development. Ilustrasi hubungan ketersediaan
energi listrik dan mendorong tumbuhnya perekonomian ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan ketersediaan energi listrik dan nilai tambah


Dengan ilustrasi yang ditunjukkan pada Gambar 1, dapat diketahui bahwa ketersediaan energi
listrik telah dan akan memberikan kontribusi terhadap pergerakan sektor swasta untuk
berinvestasi, pemanfaatan teknologi, multiplier process yang menghasilkan nilai tambah.
Berdasarkan ketersediaan energi listrik dan didukung dengan partisipasi sektor swasta dan
BUMN, maka munculnya gerakan ekonomi melalui industri serta bisnis memberikan
multiplier impact yang memberikan rente ekonomi yang panjang. Rente ekonomi yang
dihasilkan dapat diukur dari agregat kenaikan PDB maupun PDRB di tiap wilayah Indonesia.
Peran industri dan privat sektor dengan tersedianya pasokan listrik yang andal, ekonomis dan
berkelanjutan, diyakini tidak hanya memberikan manfaat secara ekonomi, tetapi berbagai
impact positif dapat dicapai, meliputi ;
(i) Mengoptimalkan nilai tambah sumber daya energi nasional (fosil dan non fosil)
(ii) Mampu menggerakkan hilirisasi sektor industri dan sumber daya mineral,
(iii) Menciptakan lapangan kerja baru melalui sektor bisnis dan industri (besar dan kecil),
(iv) Meningkatkan keunggulan kompetetitif dengan penguatan indsutri dan bisnis
(v) Pengembangan teknologi
(vi) Peningkatan penyediaan produk dan kebutuhan domestik,
(vii) mengurangi impor produk dan penguatan devisa
(viii) potensi peningkatan ekspor produk
(ix) menggerakkan investasi

3
(x) meningkatkan kewibawaan pemerintah,
(xi) menjaga kesetabilan sosial masyarakat dan negara
(xii) meningkatkan ketahanan dan pertahanan nasional
(xiii) meningkatkan harga dan martabat bangsa.
(xiv) Dengan agregat meingkatkan PDB dan PDRB
Gambaran kemanfaatan dengan tersedianya energi listrik beserta infrastruktur pendukungnya
di deskripsikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Berbagai manfaat tersedianya pasokan energi listrik.(sumber)

Bagi negara-negara yang mampu mengembangkan teknologi industri


ketenagalistrikan, negara-negara tersebut memiliki keberuntungan yaitu telah memiliki
kemampuan membangun industri di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur
ketenagalistrikannya. Negara negara seperti USA, Jerman, Perancis, Inggris, China, Jepang,
Korea, Austria, Rusia umumnya telah menguasasi teknologi dan telah memiliki industri
manufaktur ketenagalistrikan. Negara negara ini telah mampu mandiri, sehingga kebutuhan
kelistrikan dipasok dari industri dalam negeri dengan dukungan sumber daya manusia yang
terampil dan mumpuni. Bahwa negara negara tersebut juga telah mampu mengekspor produk-
produknya ke negara-negara berkembang yang menghasilkan devisa bagi negaranya, serta
menciptakan ketergantungan negara-negara berkembang terhadap mereka (sumber pustaka).
Bagi kita di Indonesia, dewasa ini kemajuan wilayah di Indonesia dapat dilihat dari
data historis yang ada, daerah-daerah yang telah didukung dengan infrastruktur
ketenagalistrikan yang baik, umumnya lebih maju perekonomiannya dibandingkan dengan
daerah-daerah yang infrastruktur ketenagalistrikannya belum baik.

1.2 Industri Ketenagalistrikan yang Sehat


Bisnis atau industri sektor ketenagalistrikan memiliki karakteristik yang berbeda
dengan industri industri hilir lainnya. Oleh karena itu, perlakuan khusus tetap harus dilakukan

4
agar industri listrik dapat tumbuh dan berkembang secara sehat. Ciri-ciri umum perusahaan
listrik yang sehat adalah harus memiliki strategi untuk mencapai financial performance yang
sehat, menjamin safety dan reliability, mengembangkan perusahaan berbasis sustainability
dan memiliki technology operasi berbasis teknologi informasi (TI) yang didukung oleh cyber
security yang handal. Ilustrasi terhadap ciri-ciri tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Basic Strategy Perusahaan Kelistrikan


Bila keempat hal tersebut seperti dideskripsikan pada Gambar 3 telah tercapai, maka
perusahaan kelistrikan akan mampu untuk:
a. Melayani semua tipe pelanggan pada wilayah yang sudah ditentukan;
b. Memberikan layanan yang memadai;
c. Melayani dengan harga yang wajar;
d. Melayani tanpa diskriminasi (pelanggan mendapatkan akses cukup dengan mutu yang
sama);
e. Memiliki kemampuan investasi pengembangan dan berlanjut meningkatkan mutu
pelayanan.
Salah satu indikator utama untuk menjamin perusahaan listrik dapat tumbuh sehat dan
berkembang adalah memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk melakukan investasi
yang didukung oleh sistem keuangan yang sehat. Faktor utama yang menjadi kunci agar
sistem keuangan perusahaan kelistrikan dapat sehat, adalah adaptasi tarif listrik yang sehat ke
berbagai pelanggannya yang akan mampu untuk menutup struktur biaya (cost structure)
berupa biaya produksi energi listrik dan tambahan margin yang adil (wajar) untuk
perusahaan. Situasi perusahaan kelistrikan yang sehat tersebut seharusnya juga berlaku
kepada PT PLN (Persero). Tetapi pada kenyataannya, PT PLN (Persero) belum memiliki
kriteria yang dapat dinyatakan sebagai perusahaan listrik yang memiliki kesehatan finansial
cukup agar memiliki kemampuan untuk berinvestasi jangka panjang dan terus menerus

5
menjaga kualitas dan mutu pelayanan. Beberapa aspek yang harus segera diperbaiki baik oleh
regulator, pemegang saham dan internal PT PLN (Persero) agar perusahaan dapat sehat
sebagai adalah :
a. Penerapan tarif menuju keekonomian dan penerapan TA yang adaptif;
b. Sesegera mungkin dilakukan penyederhanaan tarif dari yang sangat rigid ke tarif lebih
sederhana yang responsif dan adaptif untuk memenuhi: asas pemerataan, potensi
mengembangkan market baru, dan peluang pemberian discount dan insentif untuk
pelanggan produktif;
c. Dibebaskannya PT PLN (Persero) terhadap manajemen subsidi;
d. Pengaturan yang jelas antara penugasan sebagai PSO dan entity business;
e. Optimasi manajemen pembangkit untuk menekan BPP;
f. Pemberian margin diupayakan di atas 10%.
g. Internal manajemen PT PLN (Persero) secara total bergerak menuju perusahaan bisnis
yang profesional;
h. Penugasan dalam bentuk KPI oleh kementerian terkait harus terintegrasi.

Ilustrasi bagaimana PT. PLN (Persero) dapat menjadi perusahaan listrik yang sehat
ditunjukkan pada

Gambar 4. Ilustrasi bagaimana PT. PLN (Persero) dapat menjadi perusahaan listrik
yang sehat

1.3 Just Energy Transition (JET)


Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang Undang No. 16 tahun
2016, yang mengharuskan Indonesia untuk mengkomunikasikan aksi ketahanan iklim melalui
Nationally Determined Contribution (NDC) yang diserahkan kepada sekretariat United

6
Nations Framework Convention on Climate Change. Dalam NDC terbaru tertanggal 23
September 2022, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 31.89% pada 2030
dengan upaya sendiri, dan 43.20% dengan dukungan internasional.
Sebagai salah satu upaya untuk mencapai target atas komitmen tersebut, Indonesia
bersama dengan Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Prancis, Jerman,
Italia, Norwegia, Inggris Raya, mendeklarasikan pernyataan bersama tentang Indonesia Just
Energy Transition Plan (JETP) pada forum G20. Indonesia dan negara-negara tersebut
mengakui pentingnya transisi energi yang adil yang membawa peluang bagi inovasi industri
untuk menciptakan pekerjaan ramah lingkungan yang berkualitas yang mempertimbangkan
semua komunitas dan kelompok masyarakat yang terkena dampak secara langsung atau tidak
langsung oleh percepatan pengurangan emisi sektor ketenagalistrikan.
Hal ini didorong atas pentingnya transisi energi yang berkeadilan (just transition).
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa proses transisi energi dari energi berbasis karbon
menuju energi hijau seringkali akan menyebabkan dampak negatif bagi beberapa komunitas
rentan. Just transition diperlukan untuk menjamin bahwa proses transisi energi berlangsung
secara sehat dan tidak menyebabkan dampak yang berlebihan bagi komunitas rentan.1
Namun, masih belum terdapat batasan-batasan konkrit mengenai just transition. Sehingga
perlu digali lebih dalam mengenai konsep Just transition dan bagaimana akan
diimplementasikannya dengan mempertimbangkan regulasi yang mendukung transisi energi
di Indonesia.

1.4 Situasi Ketenagalistrikan Nasional

Pasokan kelistrikan nasional dewasa ini masih didominasi oleh unsur fosil. Berdasarkan
data sampai tahun 2022, komposisi pembangkit listrik nasional yang telah mencapai 83 GW,
masih di dominasi oleh unsur fosil 85%. Data tersebut ditunjukkan oleh gambar 1.2 berikut
(Jisman 2023). Berdasarkan komposisi energi pembangkit , komposisi dan konstribusi
sumber EBT baru mencapai 15 % atau setara 12.54 GW. Berdasarkan konsumsi per kapita
yang dicapai sampai akhir tahun 2022, konsumsi perkapita nasional baru mencapai sekitar
1.100 kWh/kapita, menempatkan Indonesia berada diurutan ke 6 dilingkungan negara negara
Asean dibawah Singapore (9.304 kWh/kapita), Brunei (9.296 kWh/kapita), Malaysia (4.470
kWh/kapita), Thailand (2.262 kWh/kapita) dan Vietnam (2.050 kWh/kapita).

1 Institute for Essential Services Reform, “Ensuring a Just Energy Transition in Indonesia: Lessons Learned
from Country Case Studies”, October 2020, hlm. 14-15.

7
Kondisi konsumis kelistrikan Nasional bila di refleksikan terhadap kelistrikan dunia,
Indonesia masih tertinggal jauh. Berdasarkan data data eksisting tahun 2022, rata rata
konsumsi dunia sudah mencapai 21.834 kWh/kapita. Negara negara kelompok OECD sudah
menkonsumi energi listrik dengan rata rata 21.118 kWh/kapita. Pada tabel 1.1 berikut
ditunjukkan perkembangan konsumsi energi listrik di beberapa negara Asia, Amerika dan
beberapa negara eropa Barat.

Table 1.1. Perkembangan konsumsi energi listrik di beberapa negara

No Nama Negara Konsumsi Energi Konsumsi Energi


Listrik (Kwh/Kapita) Listrik (Kwh/Kapita)
tahun 1985 tahun 2021
1 Ameria Serikat 11.300 12.325
2 Inggris 5.263 4.565
3 Jerman 6.730 6.970
4 Perancis 6.233 8.529
5 Korea Selatan 1.520 11.355
6 Jepang 5.548 7.692
7 China 387 5.950
8 Singapora 3.677 9.000
9 Brunei - 10.530
10 Malaysia 989 5.233
11 Thailand 455 2.610
12 Vietnam 85 2.511
13 Indonesia 99 1,129
14 India 239 1.218

Indonesia yang telah mencapai konsumsi 1.129 Kwh/kapita pada akhir tahun 2021,
dipandang masih rendah dilingkungan Asean dan masih dibawah konsumsi rata rata dunia
berdasarkan data tahun 2017. Pada tahun 2017 rerata konsumsi listrik dunia sudah mencapai
3000 Kwh/kapita (Gambar 1.3) . Konsumsi yang tinggi di negara negara yang telah memiliki
GDP per kapita yang lebih tinggi dari Indonesia, bukan karena Indonesia lebih efisien di
dalam penggunaa energi listrik, tetapi disebabkan konsumsi energi listrik berbasis
produktifitas masih belum maksimal. Hal ini berarti energi listrik yang masuk ke sektor

8
industri dan bisnis rata rata per kapitanya masih rendah. Konsumsi nasional tersebut saat ini
dipasok oleh sejumlah pembangkit, dengan kapasitas total mencapai 83 GW, yang terdiri dari
unsur fosil dan non fosil. Unsur fosil mendominasi dari segi kapasitas yaitu mencapai 85%
dan baru sisanya dari sumber EBT sebsar 15%. Dari sisi produksi, kemungkinan konstribusi
EBT masih lebih rendah dari 15%.
Berdasarkan data data perkembangan kelistrikan di negara negara lain, Indonesia
yang saat ini GDP perkapita masih lebih rendah dari 4000 USD, akan terus memacu
pertumbuhan ekonominya. Melalaui ambisi untuk mencapai Indonesia emas, diyakini GDP
perkapita menuju tahun 2045 dapat mencapai .... USD. Dengan target NZE yang dicanangkan
akan dicapai pada tahun 2060, diproyeksikan konsumsi energi listrik perkapita dapat
mencapai di kisaran antara 4000 – 6500 Kwh/Kapita. Apakah konsumsi perkapita alkan
mencapai kisaran angka tersebut tentu sangat tergantung bagaimana produktifitas bangsa ini
kedepan. Bila prinsip yang dikembangkan berbasis pertumbuhan tetapi berdasarkan
konsumsi, maka keunggulan produktifitas tidak akan terwujud.

Gambar 1.3. Konsumsi Kelistrikan Dunia berdasarkan Data tahun 2017

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut di prediksi diperlukan kapasitas pembang


nasional akan mencapai antara 400 – 600 GW. Besaran kapasitas pembangkit yang
diperlukan sangat tergantung kepada komposisi jenis pembangkit yang dipilih berdasarkan
keteresediaan sumber daya energi primer. Pemilihan energi primer juga harus benar benar
memperhatikan aspek yaitu; (i) ketersediaan pasokan, (ii) keberlanjutan, (iii) keekonomian
dan (iv) kehandalannya mendukung sistem kelistrikan yang terintegrasi.

9
Bila mengacu kepada PP. 79/2014, proyeksi kebutuhan energi nasional menuju tahun
2050 ditunjukkan oleh gambar 1. 3 berikut serta komposisi energi mix nasional yang harus
dicapai.

Upaya besar untuk mencapai NZE pada tahun 2060 bukanlah suatu pekerjaan yang
mudah. Untuk mencapai target tersebut mempercepat penyediaan energi bersih yang
bersumber dari EBT adalah opsi yang tidak dapat dihindarkan dan merupakan keputusan
mutlak yang harus dijalankan. Terkait dengan upaya pencapaian tersebut berbagai persiapan
harus dipersiapan secara detail, rinci dan dapat dieksekusi. Rencana rencana yang harus
dipersiapakam dan ditata dengan baik adalah menyangkut regulasi dan kebijakan, teknlogi
dan industri serta finansial dan keuangan. Ketiga aspek tersebut saling mengisi, saling
terintegrasi dan didukung oleh konsistensi serta komitmen Pemerintah yang terintegratif yang
perlu melibatkan berbagai stake holder dan pemangku kepentingan.

Gambar 1.3. Proyeksi pertumbuhan konsumsi energi dan lsitrik nasional menuju 2050

Oleh karena itu berbagai aspek dipandang masih perlu ditata dan disinkronkan agar industri
kelistrikan nasional dapat tumbuh sehat serta target NZE dapat tercapai. Berbagai aspek yang
perlu mendapatkan perhatian, meliputi :

a. Tatakelola kelistrikan Nasional


b. Ketepatan proyeksi pertumbuan demand

10
c. Potensi ketersediaan sumber daya energi Nasional serta tata kelolanya, dikotomi
antara mendorong ET ke-ekonomian dan Nuklir.
d. Isue percepatan retirement PLTU
e. Struktur tarif Listrik yang sangat komplek, tarif subsidi, kompensasi yang belum
sejalan dengan instrumen penyehatan industri kelistrikan
f. Kewajaran margin perusahaan listrik Nasional yang tercermin di dalam tarif
g. Keterlibitan private sektor pengembangan EBT dan penerapan power wheeling
h. Kesiapan Sumber Daya manusia mendukung transisi Energi
i. Kesiapan industri dalam negeri mendukung transisi energi

Serta berbagai aspek regulasi yang dijumpai belum terkoordinasi dengan baik.

1.4.1 Struktur Tarif Nasional

Saat ini struktur golongan tarif nasional masih sangat komplek yaitu terdiri dari 38
Struktur golongan tarif, terbagi tarif sosial, tarif kelompok pelanggan tidak mampu, bisnis
dan indsutri serta pemerintah.tarif belum menggambarkan ideal bagaimana berlaku tarif yang
ekonomis untuk kepentingan industri kelistrikan dan kepentingan pelanggan. Berikut pada
tabel 1.1 ditunjukkan bagaimana situasi struktur tarif existing.

Tabel 1.1. Struktur golongan Tarif Listrik Existing


Reguler
Pra
Golong Biaya Biaya Pemakaian (Rp/kwh)
Batas Bayar
an Beban dan Biaya kVarh (Rp/kVarh)
No Daya (Rp/
Tarif (Rp/kVa/
kWh)
bulan)
Abonemen per bulan (Rp) :
1. S-1/TR 220 VA - -
14.800
Blok I : 0 s.d. 30 kWh :
123
Blok II : di atas 30 kWh
2. S-2/TR 450 VA 10.000 s.d. 60 kWh : 325
265
Blok III : di atas 60 kWh :
360
3. S-2/TR 900 VA 15.000 Blok I : 0 s.d. 20 kWh : 455

11
Reguler
Pra
Golong Biaya Biaya Pemakaian (Rp/kwh)
Batas Bayar
an Beban dan Biaya kVarh (Rp/kVarh)
No Daya (Rp/
Tarif (Rp/kVa/
kWh)
bulan)
200
Blok II : di atas 20 kWh
s.d. 60 kWh :
295
Blok III : di atas 60 kWh :
360
1.300
4. S-2/TR *) 708 708
VA
2.200
5. S-2/TR *) 760 760
VA
3.500
VA
6. S-2/TR *) 900 900
s.d.
200 kVA
di atas Blok WBP = K X P X 735
7. S-3/TR 200 *) Blok LWBP = P x 735 -
kVA kVarh = 925 *)
Blok I : 0 s.d. 30 kWh :
169
Blok II : di atas 30 kWh
s.d. 450
8. R-1/TR 11.000 s.d. 60 kWh : 415
VA
360
Blok III : di atas 60 kWh :
495
9. R-1/TR 900 VA 20.000 Blok I : 0 s.d. 20 kWh : 605
275
Blok II : di atas 20 kWh
s.d. 60 kWh :

12
Reguler
Pra
Golong Biaya Biaya Pemakaian (Rp/kwh)
Batas Bayar
an Beban dan Biaya kVarh (Rp/kVarh)
No Daya (Rp/
Tarif (Rp/kVa/
kWh)
bulan)
445
Blok III : di atas 60 kWh :
495
900
10. R-1/TR VA- *) 1.352 1.352
RTM
1.300
11. R-1/TR *) 1.352 1.352
VA
2.200
12. R-1/TR *) 1.352 1.352
VA
3.500
s.d.
13. R-2/TR *) 1.352 1.352
5.500
VA
6.600
14. R-3/TR VA *) 1.352 1.352
keatas
Blok I : 0 s.d. 30 kWh :
254
15. B-1/TR 450 VA 23.500 535
Blok II : di atas 30 kWh :
420
Blok I : 0 s.d. 108 kWh :
420
16. B-1/TR 900 VA 26.500 630
Blok II : di atas 108 kWh :
465
1.300
17. B-1/TR *) 966 966
VA
18. B-1/TR 2.200 *) 1.100 1.100

13
Reguler
Pra
Golong Biaya Biaya Pemakaian (Rp/kwh)
Batas Bayar
an Beban dan Biaya kVarh (Rp/kVarh)
No Daya (Rp/
Tarif (Rp/kVa/
kWh)
bulan)
VA s.d.
5.500
VA
6.600
19. B-2/TR VA s.d. *) 1.352 1.352
200 kVA
Blok WBP = K X 1.020
Di atas
20. B-3/TM *) Blok LWBP = 1.020 -
200 kVA
kVarh = 1.117 *)
Blok I : 0 s.d. 30 kWh :
160
21. I-1/TR 450 VA 26.000 485
Blok II : di atas 30 kWh :
395
Blok I : 0 s.d. 73 kWh :
315
22. I-1/TR 900 VA 31.500 600
Blok II : di atas 73 kWh :
405
1.300
23. I-1/TR *) 930 930
VA
2.200
24. I-1/TR *) 960 960
VA
3.500
25. I-1/TR VA s.d. *) 1.112 1.112
14 kVA
Diatas
Blok WBP = K X 972
14 kVA
26. I-2/TR *) Blok LWBP = 972 -
s.d. 200
kVarh = 1.057 *)
kVA

14
Reguler
Pra
Golong Biaya Biaya Pemakaian (Rp/kwh)
Batas Bayar
an Beban dan Biaya kVarh (Rp/kVarh)
No Daya (Rp/
Tarif (Rp/kVa/
kWh)
bulan)
Blok WBP = K X 1.115
Di atas
27. I-2/TM *) Blok LWBP = 1.115 -
200 kVA
kVarh = 1.200 *)
30.000
Blok WBP dan LWBP = 1.191
28. I-4/TT kVA ke *) -
kVarh = 1.191 *)
atas
29. P-1/TR 450 VA 20.000 685 685
30. P-1/TR 900 VA 24.000 760 760
1.300
31. P-1/TR *) 1.049 1.049
VA
2.200
VA s.d.
32. P-1/TR *) 1.076 1.076
5.500
VA
6.600
33. P-1/TR VA s.d. *) 1.352 1.352
200 kVA
Blok WBP = K X 1.115
Di atas
34. P-2/TM *) Blok LWBP = 1.115 -
200 kVA
kVarh = 1.200 *)
35. P-3/TR - *) 1.352 1.352
Blok WBP = K X 483
Di atas
36. T/TM 30.950 *) Blok LWBP = 483
200 kVA
kVarh = 808 *)
Di atas
Blok WBP dan LWBP = Q x 707
37. C/TM 200 *)
kVarh = Q x 707 *)
KVA
38. L/ - - 1.650 *)

15
Reguler
Pra
Golong Biaya Biaya Pemakaian (Rp/kwh)
Batas Bayar
an Beban dan Biaya kVarh (Rp/kVarh)
No Daya (Rp/
Tarif (Rp/kVa/
kWh)
bulan)
TR,TM,
TT
*) Catatan sesuai Permen ESDM No. 28 Tahun 2016
Tarif tenaga listrik harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain memenuhi
kaidah fairness, dapat dijangkau oleh pelanggan, dan sederhana. Fairness diartikan dapat
memenuhi kepentingan baik penyedia maupun pelanggan, yaitu sesuai dengan biaya
penyediaan yang dikeluarkan oleh penyedia dan juga sesuai dengan layanan yang didapatkan
oleh pelangan. Tarif yang ditetapkan harus dalam jangkauan golongan pelanggan yang
dimaksud. Sederhana dalam hal ini diartikan sebagai sederhana dalam pengukurannya dan
sederhana untuk mudah dipahami oleh pelanggan. Tarif tenaga listrik hendaknya juga dapat
mengikuti perkembangan teknologi peralatan-peralatan tenaga listrik yang umum digunakan
pelanggan dan juga peralatan-peralatan pengukuran tenaga listrik. Dengan demikian, proses
konsumsi tenaga listrik pada pelanggan dan proses pencatatan pemakaiannya dapat
berlangsung dengan baik. Bila digambarkan secara umum, pra-syarat struktur tarif tenaga
listrik yang ideal untuk mendukung bisnis kelistrikan yang sehat ditunjukkan oleh diagram
pada gambar 1.4 berikut.

Tarif tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah dan sedang berlaku sebagai
pegangan PT. PLN (Persero) pada saat ini sangat komplek dan besar jumlahnya, yaitu terdiri
dari 38 golongan pelanggan. Tarif yang ada tersebut masih diskriminatif, belum mampu
merespons dinamika pelanggan, belum ada ruang untuk memberikan insentif bagi industri
yang produktif serta belum beradaptasi mendukung terhadap program umum Pemerintah
mendorong pertumbuhan ekonomi serta sustainability development

Oleh karena itu sudah waktunya guna mempu merepsons terhadap 8 aspek seperti
diutarakan pada gambar 1.4 berikut, reformasi tarif listrik Nasional sudah waktunya untuk
dilakukan.

16
Gambar 1.8. struktur Tarif Listrik yang idel dapat memenuhi 8 kriteria
Hal-hal tersebut menjadi dasar pemikiran perlunya penyederhanaan tarif tenaga listrik
yang ada saat ini. Penyederhanaan ditujukan untuk mengurangi kompleksitas jenis-jenis
golongan pelanggan dan sekaligus untuk mengakomodasi pola konsumsi tenaga listrik
pelanggan sesuai perkembangan teknologi saat ini.
1.4.2. Struktur Pelanggan
Struktur pelanggan PT PLN (Persero) dewasa ini masih didominasi oleh pelanggan
rumah tangga yang mencapai 91.99%, sektor bisnis dan industri baru mencapai 5.06% dan
sisanya adalah kelompok pelanggan sosial dan pemerintah. Dari total pelanggan yang
berjumlah 77 an juta pelanggan (tahun 2021). Dari pelanggan rumah tangga ternyata lebih
dari 30 juta pelanggan masih masuk golongan kelompok tidak mampu, yaitu berlangganan
hanya dengan daya 450VA dan 900 VA serta 1300 VA. Dari 77 jutaan pelanggan PT PLN
(persero) masih tersetruktur dengan struktur tarif yang masih diskriminatif, yaitu adanya
golong kelompok pelanggan mampu dan kelompok pelanggan tidak mampu. Strukurt
pelanggan PT PLN (Persero) berdasarkan data pelanggan tahun 2021, seperti ditunjukkan
pada gambar 1.5 berikut.

Gambar 1.1. Struktur Pelanggan PT PLN (Persero) tahun 2020 (1).

17
Kelompok pelanggan PT PLN (Persero) ditinjau dari aspek pembayaran energi listrik
yang diberlakukan dalam bentuk tarif energi listrik saat ini terbagi kedalam 38 kelompok
pelanggan. Berdasarkan dinamika usaha ketenagalistrikan, struktur tarif tersebut dinilai
sangat komplek dan belum memenuhi azas keadilan serta belum adaptif terhadap dinamika
perubahan pelanggan.

1.4.3. Subsidi dan Kompensasi


Selain kompleksitas permasalahan tarif energi listrik, Pemerintah telah memberikan
subsidi tidak langsung melalui proses bisnis di PLN untuk pelanggan tidak mampu tersebut.
Selain itu PT. PLN juga mendapatkan dana kompensasi dari pemerintah untuk
pembangunan infrastruktur kelistrikan di daerah-daerah yang tidak menguntungkan bagi
proses bisnis PT. Pemberian subsidi telah menyebabkan dilemna tersendiri bagi persoalan
keuangan negara. Selain jumlahnya yang cukup besar, juga subsidi yang diberikan telah
dipandang tidak seluruhnya mencapai sasaran sesuai dengan keperuntukannya. Kompensasi
juga telah membebani Pemerintah karena walaupun Biaya Pokok Penyediaan Tenaga listrik
mengalami kenaikan, tetapi tarif untuk kelompok pelanggan tertentu tidak diperbolehkan
naik. Dampaknya kekurangan biaya masih dinintakan oleh PT PLN (persero) kapada
Pemerintah.
Selain persolan subsidi, kelompok tarif dan kompensasi, persoalan revenue PT PLN
yang di patok hanya 7% dan keuntungan 7% tersebut pun secara riil hampir sulit untuk
dicapai, bahkan selalu dibawah angka tersebut menjadi sebuah persoalan tersendiri. Salah
satu penyebab tidak tercapainya keuntungan 7% tersebut adalah tidak dapat diterapkannya
tarif adjusment (TA) yang adpatable, terjadinya deviasi antara proyeksi pertumbuhan dan
realisasi. Dengan aset yang dimiliki lebih dari Rp. 1200 triliun dan pangsa pasar yang sangat
besar, PT. PLN memiliki potensi berkembang yang besar. Akan tetapi dengan tingkat
keuntungan saat ini, hal tersebut sulit untuk dilakukan. Jangankan untuk berkembang dengan
baik, tingkat keuntungan seperti saat ini belum dapat menggambarkan PT. PLN sebagai
perusahaan yang sehat. Upaya pengaturan revenue seharusnya dapat dilakukan bila ada
keinginan pemegang saham dan regulator membuat peraturan yang lebih transparan dan
akuntabel dengan berdasarakan kaidah kaidah yang berlaku di industri kelistrikan. Selain
berhadapan dengan berbagai persoalan regulasi dan tugas tugas sebagai PSO dan BUMN,

1.4.4. Sinkronisasi Perencanaan Kelistrikan

18
1.4.5. Diskriminasi terhadap pemanfaatan Sumber Daya Energi.
Di dalam rangka percepatan transisi energi, yaitu pengurangan penggunaan energi
fosil di sektor kelistrikan, percepatan pemenfaatan EBT dipandang masih tersendat. Berbagai
persolan percepatan EBT salah satunya adalah pemahaman bagaimana sumber ebt
terkonversi dan terintegrasi di dalam sistem kelistrikan. Prasarat system seharusnya dapat
dipenuhi oleh sumber EBT. Prasarat tersebut dideskripsikan seperti ditunjukkan oleh gambar
1.6 berikut.

Gambar 1.5. Prasarat penyediaan energi listrik

Untuk mencapai prasarat sep[erti dideskripsikan oleh pada gambar 1.5 diatas,
meletakkan sumber EBT harsunya tidak diskriminatif, tetapi kriteria harus memenuhi tiga
aspek, sehingga tidak berpotensi menaikkan BPP ataupun berdampak terhadap keuangan
pemerintah. Ilustrasi tersebut di gambarkan pada gambar 1.6 berikut.

19
Gambar 1.6. Meletakkan posisi sumber EBT, tidak boleh diskriminatif

Berbagai persoalan yang dihadapi di dalam mengelola kelistrikan Nasional, telah


berdampak terhadap upaya percepatan EBT, beban subsidi dan kompensasi Negara yang
terus meningkat, over capacity dan kewajiban TOP, serta keinginan Internasional menekan
Indonesia untuk segera mengistirahatkan PLTU PLTU dan menggantikannya dengan sumber
EBT, yang diyakini akan berdampak terhadap keamanan sistem kelistrikan serta potensi
berdampak terhadap pembiayaan. Tentu berbagai potret situasi tersebut perlu mendapat
solusi, terutama dari regulator (pemerintah) yang berdasarkan perundang undangan memiliki
peran sentral sebagai pemegang tunggal penguasa yang bertanggung jawab terhadap jaminan
penyediaan energi listrik (UU. 30/2009).

1.5 Potret Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional


Terdapat 3 jenis peran dalam sektor ketenagalistrikan yaitu pemerintah, regulator, dan
operator. Pada kondisi ideal, ketiga peran tersebut terpisah antara satu dengan yang lainnya
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Ketiga peran tersebut mempunyai tugasnya masing-
masing dan saling independent satu sama lain. Pemerintah sebagai pemilik sebagian aset
infrastruktur bertugas untuk menyusun kebijakan, regulasi, tarif listrik, kebijakan fiskal, dan
kebijakan lainnya. Kebijakan dan regulasi tersebut kemudian akan dijalankan oleh pihak
operator. Dalam menjalankan tugasnya serta mengimplementasikan kebijakan pemerintah,
pihak operator wajib menjalankan bisnis secara baik dan benar yang berdasarkan best
practice (good coorporate governance). Pelaksanaan regulasi tersebut kemudian akan
diawasi oleh regulator. Regulator wajib memastikan bahwa regulasi diterapkan dan

20
memberikan teguran/hukuman bagi operator yang melanggar. Namun, kondisi ideal tersebut
belum terpenuhi di sektor ketenagalistrikan Indonesia. Kondisi yang ada di Indonesia saat ini
adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 5. Tata Kelola Sektor Gambar 6. Tata Kelola Sektor


Ketenagalistrikan yang Ideal Ketenagalistrikan Indonesia
Pelaku bidang ketenagalistrikan di Indonesia terdiri dari beberapa pihak; pemerintah,
PLN dan pihak lainnya. Selama ini pengawas pelaksanaan hanya kementerian ESDM dan
merangkap sebagai pengawas/pengatur/regulator. Dengan kata lain, kondisi tersebut
menunjukkan bahwa fungsi kelembagaan tidak berjalan sebagaimana mestinya dan
berpotensi menimbulkan conflict of interest yang berpotensi memunculkan ambiguitas dalam
menjalankan fungsinya masing-masing dan berpengaruh terhadap kelancaran proses transisi
energi. Selain itu, tumpang tindihnya tugas dari ketiga peran penting tersebut juga
menimbulkan permasalahan dalam tata kelola tarif listrik di Indonesia. Oleh karena itu
diperlukan sebuah tata kelola yang dengan memisahkan antara pemerintah, regulator, dan
operator agar proses transisi energi dapat berjalan dengan smooth tanpa menimbulkan
polemik permasalahan yang tidak diinginkan.

1.6 Permasalahan Sektor Kelistrikan Nasional Menuju Transisi Energi

Sektor kelistrikan yang diyakini akan tumbuh terus sejalan dengan upaya pemerintah
untuk terus mendorong tumbuhnya perekonomian nasional yang berbasis produktivitas, maka
tatakelola sektor kelistrikan nasional harus menuju tatakelola yang sehat dan profesional.
Berbagai sektor (kementerian) yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung
terhadap sektor kelistrikan, harus memberikan ruang kepada PT PLN (Persero) untuk tumbuh
dan terkelola secara sehat dan profesional. Salah satu indikator untuk dapat sehat adalah
memiliki kinerja finansial yang baik, memiliki kemampuan berinvestasi dan menjaga mutu
serta kualitas yang merata di seluruh wilayah usahanya.
Kinerja finansial dapat diperoleh dari revenue penjualan yang harus terus
ditingkatkan, penerapan tarif yang adaptif serta keekonomian pengelolaan sistem, terutama

21
menekan struktur biaya pembangkitan dan operasional. Untuk penerapan tarif harus memberi
ruang agar margin keuntungan dapat di atas 10%, mengingat pertumbuhan sektor kelistrikan
yang akan terus meningkat. Upaya untuk bisa mendapatkan margin yang sesuai, penerapan
Tariff Adjustment (TA) hendaknya dapat diperlakukan adaptif. Persoalan lain yang mengikat
PT PLN (Persero) adalah persoalan subsidi, yang tidak hanya menyulitkan pengelolaan sektor
kelistrikan, tetapi telah menyebabkan beban keuangan bagi negara.
Struktur tarif saat ini yang berjumlah 38 golongan tarif, dipandang sudah tidak adaptif
dan responsif terhadap dinamika bisnis kelistrikan yang terus berkembang. Struktur tarif
tersebut belum mampu merespons secara cepat dinamika transisi energi, karakter pelanggan
yang dinamis, sangat rigid untuk membuka pasar baru (terutama penerapan kompor listrik
dan electric vehicle) serta belum memungkinkan peluang untuk memberikan discount dan
insentif bagi pelanggan produktif. Ilustrasi permasalahan tersebut digambarkan pada Gambar
7.

Gambar 7. Permasalahan Utama PT PLN (Persero) untuk Mendapatkan Revenue

Sebagai satu-satunya BUMN sektor kelistrikan nasional yang menguasai hampir


seluruh wilayah Indonesia, PT PLN (Persero) terus berusaha memenuhi kebutuhan listrik
yang terus meningkat, pemerataan listrik nasional dan terus berupaya meningkatkan mutu
pelayanan kepada para pelanggannya. Selain ketiga persoalan utama yang sedang dihadapi
tersebut, secara umum persoalan yang dihadapi oleh PT PLN (Persero) dapat diklasifikasikan
sebagai persoalan yang bersifat eksternal dan internal.
a. Eksternal:

22
1. Sangat terbatasnya kemampuan finansial PLN untuk investasi, karena berbagai
persoalan yang menghambat pengaturan revenue, margin keuntungan yang ditetapkan
terbatas 7%, dan penerapan Tariff Adjustment yang tidak adaptif. Bahkan sejak 2017,
kebijakan Tariff Adjustment ditunda implementasinya oleh pemerintah.
2. Realisasi pembayaran subsidi oleh pemerintah yang relatif mundur dari waktu
semestinya, yang menyebabkan beban finansial tersendiri bagi PT PLN (Persero).
3. Terus terjadi realisasi penjualan energi di bawah target penjualan yang direncanakan,
hal ini kemungkinan disebabkan karena target pertumbuhan ekonomi yang menjadi
dasar perencanaan tidak mencapai seperti yang direncanakan.
4. Pertumbuhan demand belum sesuai dengan estimasi ekonomi yang disusun di
RUPTL. Hal ini berdampak terhadap operasi pembangkit pembangkit baru yang
masuk dan berdampak terhadap kenaikan BPP.
5. Golongan pelanggan produktif jauh lebih kecil dibandingkan dengan pelanggan non-
produktif.
6. Penerapan tarif yang sangat rigid dan kompleks, ada 38 jenis golongan tarif. Dengan
struktur tarif tersebut PT PLN (Persero) tidak mampu merespons secara cepat
dinamika pelanggan dan potensi mempercepat terciptanya pasar-pasar baru.
7. Kewajiban PLN sebagai PSO, dengan kewajiban untuk melistriki daerah terluar yang
tidak/belum ekonomis.
8. Beban politik pemerintah terhadap PLN untuk mengakomodasi EBT yang telah
menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindarkan di dunia energi.
9. KPI dari kementerian yang berkepentingan sering tidak terkoordinasi dengan baik dan
menjadi beban PT PLN (Persero) secara korporasi.
10. Belum terbangun fair business practice di bidang ketenagalistrikan (IPP dan PLN)
11. Pengambil keputusan yang tidak selalu konsisten dengan ketentuan dan peraturan
yang telah ditetapkan
b. Internal:
1. Realisasi penjualan energi lebih kecil dari proyeksinya.
2. Sangat terbatasnya kemampuan finansial PLN untuk investasi.
3. Komposisi energy mix dan nilai EAF (Equivalent Availability Factor) pembangkit-
pembangkit PLN belum optimal.
4. Perlu meningkatkan EAF pembangkit-pembangkit PLN khususnya dari sisasisa
produk FTP1.
5. Keandalan, kecukupan, dan kualitas yang tidak merata di seluruh Indonesia.

23
6. Subsidi yang disalurkan belum tentu menggambarkan kondisi sesungguhnya
pelanggan.
Selain itu, bauran energi dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2020 menunjukkan
bahwa tidak ada perubahan yang signifikan. Bauran EBT dari tahun 2011 sampai dengan
2020 menunjukkan trend yang stagnan. Di sisi lain, bauran energi batubara menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan bauran energi batubara tersebut digunakan
untuk mengkompensasi penurunan bauran energi dari gas dan BBM. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa energi batubara sampai dengan saat ini masih menjadi energi yang
paling ekonomis dan masih menjadi tulang punggung dalam memasok kebutuhan energi
listrik.
Sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan JET, Pemerintah Indonesia berencana
untuk merealisasikan program NZE 2060. Salah satu agenda yang terdapat dalam NZE 2060
tersebut adalah coal phase out yang berpotensi dapat meningkatkan beban finansial dari
operator sektor ketenagalistrikan. Salah satu opsi untuk mengurangi beban finansial tersebut
adalah dengan cara menaikkan tarif listrik menuju ke tarif keekonomian. Namun, data historis
menunjukkan bahwa tidak mudah untuk menaikkan tarif walaupun sudah ada mekanisme
tariff adjustment. Salah satu penyebab operator sulit menaikkan tarif adalah karena tata kelola
sektor ketenagalistrikan yang masih tumpang tindih antara pemerintah, regulator, dan
operator.
Pada sisi lain, salah satu prinsip penting dari JET adalah menjamin bahwa proses
transisi energi berlangsung secara sehat dan tidak menyebabkan dampak yang berlebihan bagi
komunitas rentan.2 Namun, masih belum terdapat batasan-batasan konkrit mengenai just
transition. Sehingga perlu digali lebih dalam mengenai konsep Just transition dan bagaimana
akan diimplementasikannya dengan mempertimbangkan regulasi yang mendukung transisi
energi di Indonesia.
Berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi PT PLN (Persero) haruslah dicarikan
jalan keluar yang konstruktif, terutama bagaimana para pemangku kepentingan terhadap PT
PLN (Persero) yang melekat pada tiga kementerian utama untuk dapat bersinergi di dalam
mengeluarkan regulasi dan ketentuan ketentuan untuk mendorong dan mengarahkan PT PLN
(Persero) menjadi sehat secara organisasi dan finansial.

2 Institute for Essential Services Reform, “Ensuring a Just Energy Transition in Indonesia: Lessons Learned
from Country Case Studies”, October 2020, hlm. 14-15.

24
BAB II
PROYEKSI DEMAND DAN KEBUTUHAN KAPASITAS SUMBER
DAYA ENERGI MENUJU NZE DENGAN MEMPERTIMBANGKAN
GREEN ECOSYSTEM

Proyeksi demand dan kebutuhan kapasitas sumber daya energi menuju NZE memiliki
peranan penting dalam sebuah perencanaan jangka panjang. Untuk mencapai net zero
emission, penurunan demand energi yang dihasilkan dari sumber daya berbasis bahan bakar
fosil menjadi salah satu prioritas. Proyeksi demand ini dapat didasarkan pada data historis
dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan energi seperti pertumbuhan populasi,
perkembangan industri, dan kebijakan energi yang ada. Proyeksi demand tersebut sebagai
cerminan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diharapkan dapat mendorong adanya
multiplier efek.

Dalam rangka mencapai NZE dengan mempertimbangkan green ecosystem,


diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Ini melibatkan kolaborasi antara
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan energi yang
berkelanjutan, mempromosikan penggunaan energi terbarukan, mendorong efisiensi energi,
dan memperkuat perlindungan terhadap ekosistem hijau. Selain itu, teknologi dan inovasi
juga memainkan peran penting dalam pengembangan solusi energi bersih yang dapat
mengurangi dampak terhadap lingkungan dan mencapai NZE.

2.1 Proyeksi Demand Energi menuju 2060


Indonesia berupaya agar target NZE pada tahun 2060 dapat tercapai salah satunya
melalui perencanaan yang tertuang pada RUPTL PLN Tahun 2021 – 2030. RUPTL ini
merupakan green RUPTL pertama di Indonesia seperti yang tertera pada Gambar xx yang
25
menunjukan tambahan pembangkit dengan porsi pengembangan pembangkit EBT 51,6%,
sedangkan porsi pengembangan pembangkit fosil 48,4%. Dengan demikian porsi pembangkit
EBT lebih besar jika dibandingkan dengan pembangkit fosil. Penambahan pembangkit fosil
hanya terdiri dari yang committed dan on going project saja. Gambar xx menunjukan
proyeksi pembangkitan energi di tahun 2030 sebesar 583 TWh dengan bauran EBT baru
mencapai 22%.

Gambar xx

Gambar xx menunjukan visi Indonesia tahun 2045 untuk menjadi negara maju di
mana rata – rata pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 – 2045 diproyeksi sebesar 6%. Pada
fase pemulihan setelah covid 19 pada tahun 2021 pertumbuhan PDB hanya sebesar 3,69%,
saat Indonesia masuk pada fase redesign tranformasi ekonomi sehingga pada tahun 2022 –
2025 Indonesia memasuki fase tranformasi ekonomi. Visi Indonesia pada tahun 2045 menjadi
negara high income country, pada tahun 2045 proyeksi gross national income (GNI) per
kapita akan mencapai USD 15.287. Untuk mencapai target NZE tahun 2060 dibutuhkan
pertumbuhan ekonomi berkisar antara 5,4% hingga 6,6% di fase transformasi ekonomi.

26
Gambar xx Visi Indonesia Tahun 2045 untuk Menjadi Negara Maju

2.2 Potensi Sumber Daya Energi Nasional

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang luas dan kaya akan keanekaragaman
alamnya, memiliki potensi sumber daya energi yang beragam dan melimpah. Terdapat
sejumlah besar sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan
energi baik domestik maupun global. Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya fosil
maupun sumber daya terbarukan. Berdasarkan Gambar xx, untuk sumber daya fosil, pada
tahun 2022 memiliki potensi sebesar 1,9 Ribu Million Stock Tank Barrels (MMSTB) minyak
bumi dengan data terbukti sebesar 2,27 Ribu MMSTB (Ditjen Migas Kementerian ESDM
Januari 2023). Untuk gas bumi, Indonesia memiliki potensi 18,49 Tons of Standard Coal
Equivalent (TSCF) pada tahun 2022 dan data terbukti 36,34 TSCF yang ditunjukkan pada
Gambar xx. Selain itu untuk cadangan batu bara, terdapat 99,2 Miliar Ton potensi terbukti
dan 35 Miliar Ton potensi cadangan (Ditjen Minerba Kementerian ESDM Februari 2023).

Minyak Bumi Gas Bumi


Ribu MMSTB

5.0 120.0
4.5
4.0 100.0
TSCF

3.5 80.0
3.0
2.5 60.0
2.0
1.5 40.0
1.0 20.0
0.5
0.0 0.0
2016 2017 2018 2019* 2020* 2021* 2022* 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
* * * *

27
Gambar a. Potensi Sumber Daya Energi Minyak Bumi Gambar b. Potensi Sumber Daya Energi Gas Bumi
Indonesia Indonesia

Tidak hanya fosil, sumber daya energi terbarukan yang dimiliki Indonesia juga
memiliki potensi yang besar. Berdasarkan Gambar xx, potensi energi terbarukan yang
dimiliki Indonesia berupa 3.295 GW surya, 155 GW angin, 95 GW air, 60 GW arus laut, 57
GW bioenergi dan 24 GW panas bumi. Potensi ini diperlukan untuk mendukung pelaksanaan
transisi energi. Sementara itu, untuk energi nuklir, Indonesia memiliki potensi bahan baku
sumber energi PLTN berupa uranium dan thorium. Terdapat potensi 8.000 Ton Uranium yang
teridentifikasi di Indonesia. Terdapat potensi 130.974 Ton Thorium dimana potensi terukur
sebesar 4.729 Ton Thorium berasal dari Bangka Belitung (Indonesia's Nuclear Energy
Outlook 2015).

Surya 3295

Angin 155

Air 95

Arus Laut 60

Bionenergi 57

Panas Bumi 24

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500


GW

Gambar xx. Potensi Sumber Daya Energi Terbarukan Indonesia (Data Kementerian ESDM
Mei 2023)
2.3 Skenario Bauran Energi Menuju NZE 2060

Adanya target net zero emissions (NZE) pada tahun 2060 menjadikan Indonesia
berupaya untuk berpartisipasi dalam target tersebut, di mana total demand pada tahun 2060
mencapai 1.942 TWh atau setara dengan konsumsi listrik sebesar 5.862 kWh/kapita. Pada
skenario NZE, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan skenario RUKN hal tersebut
dikarenakan pada skema RUKN mempertimbangkan :

1. Masukan Pemda terkait tambahan injeksi demand KI, KEK, dan smelter

28
2. Kenaikan demand PPU dan Captive (IUPTLS) untuk industri pemurnian mineral yang
mendukung transisi energi (produksi bahan baku BESS).

Dalam mewujudkan NZE terdapat skenario Zero Emission Decommissioning di mana


pada skenario ZE Decommissioning tersebut, pemanfaatan sumber daya EBT digunakan
secara agresif dan pembangkit fosil menuju zero emission. Penambahan PLTU dibatasi sesuai
dengan Perpres No. 112 Tahun 2022. Pembangkit fosil beroperasi sesuai umur ekonomis dan
dengan adanya skenario decommissioning perlu adanya investasi pada pembangkit EBT
pengganti. Selain itu pada seknario ZE Decommissioning, porsi energi nuklir pada bauran
energi, mulai masuk pada tahun 2039 sebesar 8 TWh dan porsinya terus meningkat hingga
tahun 2060 mencapai angka 41 TWh (16%) seperti tertera di Gambar XX. Untuk itu,
kapasitas terpasang PLTN pada tahun 2060 sebesar 53 GW (5,91%).

ĞĐŽŵŵŝƐƐŝŽŶŝŶŐ
800 Kapasitas (GW) 800

8
700 700

600 600

500 434 500

400 400

300 300

81
200 85
200

100 53 21100

- 57
78
-

2023 2025 2030 2035 2040 2045 2050 2055 2060

Produksi (TWh)
2.500

2.000

1.500

1.000

500

Kapasitas Tahun
Jenis Pembangkit/ 2060
Storage
(GW)

Coal -*

Gas -*

Diesel 78

29
Kapasitas Tahun
Jenis Pembangkit/ 2060
Storage
(GW)

Geothermal 21

Bioenergy 57

Hydro 85

Wind 81

Solar 434

Nuclear 53

Ocean 8

Waste Heat 1

Storage 78

TOTAL 740

Tabel xx menunjukan kebutuhan kapasitas pembangkit dan storage menuju NZE pada
tahun 2060 di mana kapasitas solar paling besar yaitu 434 GW, didukung dengan kapasitas
storage sebesar 78 GW.

2.4 Perencanaan Pengembangan Jaringan

Tagline “No Energy Transition Without Transmisition” dalam proses terjadinya


transisi energi maka juga diperlukan pengembangan dalam sisi transmisinya. Green
transmission atau super grid merupakan upaya dari sisi transmisi dalam mengimbangi
terjadinya transisi energi saat potensi EBT jauh lebih tinggi dibandingkan dengan demand
sehingga terjadi missmatch. Perencanaan green transmission di Indonesia tersebut terlihat
pada gambar xx

30
Perencanaan super grid tersebut tentunya membutuhkan biaya investasi yang besar
untuk menghubungkan sumber EBT antar pulau di wilayah Indonesia di mana total investasi
transmisi pada tahun 2060 dengan menggunakan skenario zero emission retrofitting sebesar
USD 114 miliar. Biaya investasi yang cukup besar dalam perencanaan pengembangan super
grid memerlukan dukungan pemerintah untuk membuka peluang investasi pada ranah
internasional sehingga net zero emission tersebut dapat tercapai.

2.5 Skema/mekanisme power wheeling

Salah satu kebijakan pemerintah yang diharapkan dapat mendorong penetrasi EBT
dan transisi energi adalah penggunaan super grid dan power wheeling. Dengan super grid
potensi EBT yang lokasinya jauh dari pusat beban dapat dimanfaatkan. Namun, untuk
mewujudkan adanya super grid membutuhkan biaya investasi yang besar dan berpotensi
meningkatkan biaya pembangkitan energi listrik. Oleh karena itu, rencana pembangunan
super grid memerlukan analisis tekno-ekonomi yang komprehensif, dimulai dari sumber dana
untuk pembiayaan sampai dengan aspek keekonomian, keandalan, dan lingkungan.
Pemanfaatan EBT secara lebih luas dapat dimaksimalkan dengan power wheeling.
Prinsip utama dalam melakukan power wheeling adalah non-discriminatory. Namun,
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, prinsip non-discriminatory tersebut akan
sulit diterapkan di Indonesia. Selain itu, power wheeling juga tidak dapat dilakukan antar

31
wilayah usaha karena jika dilakukan antar wilayah usaha maka akan terjadi power trading
yang menyalahi undang-undang. Salah satu opsi untuk mengatasi permasalahan tersebut
diperlukan adanya perubahan peraturan berkaitan dengan proses bisnis tenaga listrik yang
semula vertically regulated menjadi pasar bebas yang berpotensi melanggar pasal 33 UUD
1945. Sehingga pihak swasta yang akan melakukan power wheeling tidak mendapatkan
kepastian hukum dan kepastian ketersediaan kapasitas transmisi.
Power wheeling dapat dipandang dalam dua sudut pandang yaitu peluang untuk
mendapatkan keuntungan lebih dengan cara menyewakan saluran transmisi dan satu sisi,
power wheeling sebagai gangguan terhadap operasi sistem eksisting. Peluang mendapatkan
keuntungan lebih diperoleh dari tarif power wheeling yang dibayarkan oleh pelaku wheeling
kepada PLN. Tarif power wheeling tersebut perlu ditentukan dengan seksama dengan
mempertimbangkan semua faktor biaya yang berpotensi muncul akibat adanya power
wheeling dan cost recovery. Jika tarif power wheeling terlalu mahal maka calon pelaku
wheeling menjadi tidak berminat. Begitu pula jika tarif power wheeling terlalu murah maka
PLN akan merugi karena tarif power wheeling lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang
muncul akibat power wheeling. Peningkatan biaya yang dialami PLN tersebut berpotensi
meningkatkan BPP yang berdampak pada meningkatnya tarif listrik atau bertambahnya
subsidi dan kompensiasi yang menjadi beban finansial APBN. Dengan kata lain, penentuan
tarif power wheeling merupakan titik penting apakah power wheeling akan menjadi beban
finansial untuk PLN atau tidak. Di sisi lain, sistem dalam kondisi oversupply maka power
wheeling akan berpotensi mengganggu operasi sistem dan meningkatkan biaya pembangkitan
sistem.

BAB III
TRANSISI ENERGI MENUJU NZE (isi punya Pak Bambang)

4.1 Pendahuluan

Berdasarkan uraian mengenai proyeksi demand dan kebutuhan kapasitas sumber


energi sesuai Bab II, untuk menyukseskan transisi energi diperlukan pemahaman konsep akan
transisi energi itu sendiri. Kajian transisi energi yang telah dilakukan oleh Ditjen
Ketenagalistrikan, Ditjen EBTKE, ITB, IEA, dan PLN. Keseluruhan dari kajian tersebut

32
bermanfaat untuk memberikan beberapa alternatif trajectories ke masa depan kelistrikan
Indonesia menuju carbon neutrality (Net Zero Emission / NZE) pada tahun 2060. Namun,
dari keseluruhan kajian tersebut, masing-masing memberikan gambaran roadmap transisi
energi sektor ketenagalistrikan yang berbeda. Roadmap transisi energi yang berbeda tersebut
dapat disebabkan oleh:
 Pemahaman pembuat terhadap prakiraan masa depan, potensi energi terbarukan (ET)
yang dapat dikembangkan, technology dan commercial maturity dari beberapa
teknologi energi terbarukan yang saat ini masih terus berkembang,
 Penggunaan “approach & methodology” yang berbeda, 
 Penggunaan asumsi-asumsi pokok yang berbeda, seperti asumsi potensi energi
terbarukan, asumsi harga teknologi maupun harga energi primer di masa depan, asumsi
carbon pricing,
 Horizon waktu kajian yang sangat panjang (hingga tahun 2060).
Berkaitan dengan horizon waktu kajian, memprediksi kondisi masa depan yang terlalu
jauh menyebabkan timbul ketidakjelasan pandangan ke masa depan (no clarity, poor
visibility) dan tidak pasti (high uncertainty). Dalam hal transisi energi, pandangan dan
pemahaman mengenai transisi energi dengan horizon waktu yang sangat panjang hingga
tahun 2060 sangat mungkin akan terus berubah. Namun tujuan utama dari transisi energi
tetap tidak berubah, yaitu memperoleh balance antara affordability, security dan
sustainability atau lebih dikenal sebagai Trilema Energy. Selain itu, pandangan dan
pemahaman akan transisi energi juga dipengaruhi oleh komitmen dan leadership pejabat
pembuat kebijakan disamping perkembangan kondisi kemampuan negara, tantangan dan
agenda prioritas ke depan. Berdasarkan hal tersebut, akurasi dari roadmap transisi energi
yang akan dibuat untuk jangka pendek dan jangka panjang akan berbeda, dengan roadmap
jangka pendek selalu lebih akurat daripada roadmap jangka panjang.  
4.2 Roadmap Transisi Energi Jangka Pendek (10 tahun, s.d. 2032) 

Roadmap transisi energi sektor ketenagalistrikan jangka pendek - periode 10 Tahun,


disusun dengan program dan strategi yang cukup jelas. Pada roadmap ini uncertainties
diminimalisir sehingga dapat menjadi pedoman untuk penyusunan program dalam RUPTL –
PLN 2023-2032 mendatang dan siap untuk diimplementasikan. 
Program strategis jangka pendek 2023-2032, setidaknya terdapat 3 (tiga) target kunci
dan sasaran strategis yang perlu menjadi perhatian:
1. Target 23% EBT pada tahun 2025

33
Sesuai Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2016 tentang Kebijakan Energi Nasional,
ditetapkan bahwa kontribusi EBT dalam bauran energi nasional pada tahun 2025
mencapai 23%. Memperhatikan capaian bauran EBT sektor ketenagalistrikan saat ini
sekitar 13%, diperlukan langkah strategis, kebijakan dan regulasi yang tepat untuk
akselerasi program. Sehingga dalam sisa waktu yang sangat terbatas, meskipun tingkat
probabilitas pencapaiannya rendah, realisasi program setidaknya dapat mendekati target
yang ditetapkan.
2. Target ”Enhanced Nationally Determined Contribution – NDC” tahun 2030
Dalam rangka mencapai tujuan Kesepakatan Paris – 2030, Pemerintah telah
menyampaikan Enhanced NDC dengan target penurunan emisi karbon sektor energi yang
lebih tinggi pada tahun 2030 yakni penurunan emisi sebesar 32,89% atau menjadi 354 juta
ton CO2 (kemampuan sendiri) dan 43,20% atau 446 juta ton CO 2 (dengan bantuan
internasional).
3. Program Just Energy Transition Partnership (JETP)
Program JETP merupakan suatu pendekatan yang lebih inklusif yang memastikan
akses kepada energi bersih yang terjangkau dan percepatan pemanfaatan energi
terbarukan. JETP bukan merupakan perjanjian Internasional yang bersifat ”binding” dan
tidak menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum Internasional. Program ini
mencerminkan suatu komitmen negara dalam upaya percepatan transisi energi dalam
dekarbonisasi melalui kolaborasi dan kerjasama pendanaan global. JETP diharapkan akan
mendorong kerjasama pendanaan dan investasi dengan tiga fokus utama yaitu percepatan
EBT dengan target bauran kapasitas sebesar 34% dan emisi gas rumah kaca (GHG)
dibatasi 290 juta ton CO2 pada tahun 2030, pensiun dini PLTU batubara, dan
mewujudkan target NZE lebih cepat dari tahun 2060 menjadi 2050. Selain itu JETP
diharapkan dapat mengangkat isu pembangunan ”captive power” untuk industri dan
batubara yang tidak terdapat pembatasan total kapasitas PLTU batubara. Hal tersebut
bertentangan dengan Perpres 112/2022, terdapat amanat moratorium untuk pembangunan
PLTU Batubara baru yang terkoneksi ke grid nasional selain yang sudah terkontrak
ataupun dalam tahapan konstruksi

Selain melanjutkan berbagai program strategis dan proyek kelistrikan yang sudah
“committed & ongoing” dalam RUPTL - PLN 2021-2030, roadmap transisi jangka pendek
10 tahun kedepan juga mencakup beberapa program strategis seperti berikut:

34
Gambar  1 Program Strategis Transisi Energi Jangka Pendek

Program strategis transisi jangka pendek dapat dikelompokkan dalam 5 program utama
sebagai berikut:
1.  Percepatan energi terbarukan
a) Firm capacity – renewable energy (RE) (hydro power, geothermal, biomass) 
 Mengeksekusi semua proyek RE yang tercantum dalam RUPTL-PLN 2021-2030
yang resource-nya telah diketahui dengan jelas, baik proyek PLN maupun proyek
swasta/IPP, melalui procurement dengan packaging, pricing & bankable PPA
serta skema kerjasama yang menarik bagi investor.
 Melakukan resource assessment RE untuk mengidentifikasi & mengkonfirmasi
resource, dan akan diprogramkan/ diimplementasikan pada periode RUPTL
berikutnya.
 Peningkatan kapasitas eksekusi dalam implementasi proyek melalui peningkatan
kapasitas sumber daya manusia, industri dan jasa penunjang.
b) Intermittent / Variable RE (solar PV, wind power)
 Membuat Studi Kelayakan (FS) pengembangan VRE lebih banyak pada semua
grid utama, termasuk melakukan VRE grid integration study. Hal tersebut
bertujuan untuk memahami dampak intermittency & variability dari VRE
terhadap stabilitas grid berikut tindakan mitigasinya, seperti menyiapkan grid
flexibility dengan BESS dan hydro pumped storage.

35
 Melakukan resource assessment dan sebaran lokasi geografis solar PV dan wind
power yang lebih detail untuk mengidentifikasi & mengkonfirmasi VRE
resources.
 Mempercepat dan menambah kapasitas VRE (solar PV dan wind power) skala
utility sebagai upaya menurunkan capex.
 Membuat kuota tahunan solar rooftop yang menjadi program RKAP dan KPI
PLN dengan persetujuan pemegang saham (Kementerian BUMN) dan
diperhitungkan dalam penetapan BPP dan subsidi.
 Berkaitan dengan Procurement VRE, perlu adanya standar PPA, pricing dan
method, termasuk proyek VRE multi-year dengan auction. 
 Pemerintah melalui Kementrian Perindustrian meninjau persyaratan TKDN dan
menyiapkan road map pengembangan industri nasional energi terbarukan.
 Pemerintah melalui Kementrian Keuangan mengatur financing dan incentive
untuk proyek VRE.
c) Biomass Co-firing
 Memastikan ketersediaan volume “feedstock” dan keberlanjutan pasokan
 Mendorong pemerintah membuat regulasi untuk menjamin stabilitas harga
“feedstock” dengan menciptakan skema pasar dan regulasi tarif yang
mengutamakan pasokan dalam negeri.
 Kerjasama dengan BUMN/BUMD dan swasta dalam penyediaan “dedicated land”
untuk pengembangan hutan tanaman energi.
2. Program Dekarbonisasi
a) Carbon pricing (cap & trade, tax)
 Mendorong pemerintah segera menerbitkan peraturan turunan dalam rangka
implementasi Perpres 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan aturan
turunan dari UU 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan,
khususnya terkait pajak karbon.
 Membuat kajian tentang harga karbon yang optimal dan proyeksi kedepan dengan
memperhatikan kecenderungan harga karbon global dan regional .
 Mempertimbangkan dalam optimisasi pengembangan kapasitas pembangkit
menerapkan carbon pricing pada harga karbon yang mendekati kecenderungan
harga karbon dunia, sehingga keputusan investasi PLN diuji melalui “carbon
testing”.

36
b) PLTGU LNG
 Pengembangan pembangkit gas (PLTGU LNG) yang mempunyai emisi setengah
dari PLTU batubara masih menjadi kandidat dalam proses planning dan dapat
menjadi pembangkit penting selama masa transisi energi,
c) Retirement PLTU batubara
 Kriteria PLTU yang akan pensiun dini dan/ atau pensiun normal didasarkan pada
umur ekonomis atau berakhirnya PPA. Sebagian besar PLTU batubara eksisting
berusia relatif muda, sehingga diperlukan kajian komprehensif dampak
kontraktual dan finansial.
 Penyiapan roadmap “pensiun dini” PLTU yang mempertimbangkan kajian
keseimbangan pasokan terhadap kebutuhan beban dan kebutuhan grid adequacy.
Kajian ini bertujuan memberikan gambaran tentang probabilitas upaya percepatan
pensiun dini PLTU batubara dengan mempertimbangkan kesiapan pembangkit
energi terbarukan pengganti dan termajukannya “peak emission”.
 Kajian dampak sosial, ekonomi dan finansial bagi masyarakat sekitar pembangkit
dan daerah produksi batubara.
 Dampak kenaikan BPP listrik dan kapasitas dukungan fiskal terkait tambahan
subsidi serta dukungan Pemerintah atau Kementerian Keuangan.
 Mekanisme dan skema implementasi, termasuk besaran kapasitas sebagai target
jangka pendek sampai dengan tahun 2030, skema pendanaan dan dukungan fiskal
yang diperlukan.
 Regulasi dan dukungan legal, termasuk perlakuan stranded assets. Implementasi
sangat terkait dengan dukungan aspek legal.
 Memperhatikan pertumbuhan beban listrik yang relatif tinggi (di atas 6%) dan
ketidakpastian jadual pembangkit energi terbarukan pengganti, decommissioning
aset PLTU tidak disarankan tapi dipertahankan sebagai “reserve capacity” dalam
rentang waktu tertentu sebagai bagian mitigasi risiko.
d) Pilot Project CCS/ CCUS
 Membuat FS dan pilot project CCS/ CCUS untuk sebuah PLTU batubara pada
skala yang tidak terlalu besar.
 Mendorong pemerintah untuk membuat regulasi mengenai CCS/ CCUS yang
berkaitan dengan CO2 capture, CO2 transportation, dan CO2 storage berikut
semua risiko dan liability-nya.
3. Pengembangan ekosistem hijau

37
a) Elektrifikasi transportasi (EV)
 Pengembangan ekosistem kendaraan listrik (EV).
 Mendorong kebijakan pemerintah untuk akselerasi EV dengan memperkenalkan
berbagai insentif. 
b) REBID (RE Based Industrial Development)
 Dipimpin oleh pemerintah, mengembangkan kawasan industri hijau yang
memanfaatkan potensi hydro power besar yang jauh dari pusat beban.
 Studi pendahuluan pengembangan green hydrogen.
c) Green business / solution
 RE-Certificate dan RE-Services.
4. Pengembangan Flexible & Smart Grid
a) Persiapan infrastruktur digitalisasi termasuk modernisasi control center, implementasi
smart grid.
b) Berkaitan dengan battery energy storage system ( BESS ), perlu pengembangan
model PPA yang mencakup tariff structure, tariff ancillary service.
c) Pada hydro pumped storage diperlukan FS dan detail desain untuk site yang sudah
teridentifikasi di RUPTL serta mengembangkan model PPA yang mencakup tariff
structure, tariff ancillary service (jika akan dikembangkan IPP).
d) Untuk grid code & distribution code, perlu adanya update untuk mengatur planning
code, security dan grid flexibility.
e) Pengembangan jaringan transmisi interkoneksi, penambahan jalur, kapasitas dan
debottlenecking.
5. Interkoneksi antar pulau dan antar negara
a) Membuat masterplan study untuk menjustifikasi interkoneksi antar pulau secara
komprehensif secara bersamaan dengan generation capacity expansion planning,
b) Generation capacity expansion planning dilakukan dengan prinsip least cost untuk
memastikan affordability & security dari grid dengan memperhitungkan carbon
pricing dengan referensi carbon pricing dunia. Selain itu perlu menerapkan
constraint tanpa PLTU baru dalam proses planning.
c) Review FS Interkoneksi Jawa – Sumatera dan rencana implementasinya.
d) Study pendahuluan rencana pengembangan ASEAN grid dan kebijakan ekspor –
impor energi terbarukan.

38
4.3 Roadmap TE Jangka Panjang (2032 - 2060)
Apabila program periode sebelumnya telah dilakukan (resource assessment,
masterplan study untuk interkoneksi, least cost capacity expansion planning, VRE grid
integration study dan feasibility study), maka dapat direncanakan pemanfaatan RE (hydro
power, geothermal) lebih banyak lagi. Selain itu, pada roadmap jangka panjang terdapat
beberapa strategi dan program yang dapat dipertimbangkan seperti pada gambar berikut ini.

Gambar  2 Program Strategis Transisi Energi Jangka Panjang

Terdapat 5 program strategis yang dapat dipertimbangkan untuk masuk dalam


roadmap transisi energi jangka panjang, yaitu:
1. Implementasi program dekarbonisasi
a) CCS
 Membuat kajian yang menilai readyness PLTU dan PLTGU milik PLN meliputi
ketersediaan lahan untuk memasang peralatan tambahan (retrofit) untuk CCS
sehingga menghasilkan list power plants yang CCS-ready,
 Mengevaluasi pilot project CCS yang dimulai pada dekade sebelumnya dan
mencari lesson learned dari hal itu.
 Bersama lembaga yang berwenang melakukan resource assessment dari CO2
storage di depleted oil & depleted gas fields serta deep saline aquifers.
 Membuat FS untuk implementasi CCS sebuah PLTU dengan kondisi CCS-ready
termasuk CO2 transportation dan CO2 storage-nya.
 Mendorong pemerintah untuk membuat regulasi mengenai CCS yang lebih rinci.
b) Retirement PLTU

39
Hanya dapat dilakukan setelah ada:
 Solusi untuk aspek legal.  
 Solusi untuk aspek teknis, meliputi analisis grid adequacy, replacement dari
PLTU yang menjalani retirement dan kepastian pada gangguan affordability dan
security.
 Solusi aspek financing, meliputi project financing dan dampak ada subsidi atau
kompensasi agar tidak mengganggu affordability.
 Solusi untuk stranded asset.
2. PLTN
a) Keputusan pembangunan PLN memerlukan perubahan Kebijakan Energi Nasional
(KEN) yang menempatkan nuklir sebagai pilihan terakhir.

b) Pemilihan teknologi dan keputusan pengembangannya akan sangat tergantung pada


hasil kajian kelayakan teknik, lingkungan dan finansial, seperti:
 PLTN besar konvensional.
 PLTN small and modular reactor (SMR).
c) Pilihan PLTN juga akan dipengaruhi hasil asesment potensi energi terbarukan yang
memiliki firm capacity seperti hydro dan geothermal serta perkembangan harga VRE-
base load.
3. PLTGU LNG
a) PLTU LNG sebagai pembangkit firm selama masa transisi untuk menjamin security
of supply, perlu diuji dengan “carbon testing” untuk memastikan mereka tidak
menjadi stranded asset saat terjadi kenaikan carbon pricing.
b) Bersama pemerintah mendorong pengembangan infrastruktur gas domestik menjadi
LNG.
4. Interkoneksi antar pulau dan antar negara
a) Pada interkoneksi antar pulau, perlu adanya keberlanjutan proses dari interkoneksi
yang sudah dikaji (Sumatera – Jawa) dan daerah lainnya.
b) Pada interkoneksi antar negara, perlu adanya keberlanjutan proses dari interkoneksi
seperti Kalbar – Serawak maupun dengan negara tetangga yang akan dilakukan secara
bertahap dengan pertimbangan memberikan cost – benefits ekonomi maupun
lingkungan
5. Inovasi dan Teknologi baru
a) Perlunya FS dan pilot project untuk green hydrogen.

40
b) Dibutuhkan kajian perkembangan teknologi BESS.
c) Diperlukan pilot project CCS/ CCUS.
4.4 Beberapa Catatan dan Permasalahan

Permasalahan utama dalam menyediakan pasokan listrik Nusantara adalah


mismatched antara lokasi potensi sumber daya energi terbarukan dengan pusat beban listrik.
Terhubungnya suatu pulau dengan pulau yang lain melalui interkoneksi akan mengurangi
gap permasalahan di atas, karena akan terjadi sharing sumber daya. Interkoneksi membantu
dalam proses menuju karbon netral, sehingga perlu segera dilakukan kajian untuk
penyusunan masterplan dan mengidentifikasi kebutuhan interkoneksi antar pulau dalam
menghadapi transisi energi. Selain itu perlu dilakukan assessment potensi energi terbarukan
yang akurat dan rencana implementasi yang lebih rasional karena dimungkinkan energi
terbarukan yang tersedia belum mencukupi kebutuhan NZE 2060.

Suatu Roadmap transisi energi Indonesia dibutuhkan sebagai acuan seluruh pemangku
kepentingan perlu disusun dan dituangkan dalam program jangka pendek dan jangka panjang
yang disepakati bersama dengan pengaturan regulasi yang jelas. Tanpa landasan regulasi,
akan berpotensi menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian dalam implementasi di
lapangan, yang berdampak pada :

1. Ketidaksinkronan kebijakan dan pelaksanaan program transisi energi di masing- masing


institusi terkait.
2. Ketidakberhasilan dalam memenuhi komitmen yang sudah dibuat pemerintah di berbagai
event dan kesepakatan Internasional yang berakibat pada sanksi terutama dalam
menghadirkan renewable energi certificate (REC) atau eco-labelling.
3. Peningkatan biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN akibat dekarbonisasi dengan
kewajiban penggunaan teknologi CCS/CCUS maupun early retirement PLTU batubara
yang masih produktif, serta investasi penunjang akselerasi pengembangan energi
terbarukan dan interkoneksi.
4. Mitigasi risiko peningkatan exposure jumlah pinjaman atau hutang kepada lembaga
Donor dalam rangka transisi energi.
4.5 Kesimpulan dan Saran

Beberapa kesimpulan dan saran dapat dikemukakan sebagai berikut:

41
1. Roadmap transisi energi sektor ketenagalistrikan Indonesia disusun sesuai dengan
peningkatan tingkat ambisi penurunan gas rumah kaca (GRK) yang selaras dengan
lintasan emisi biaya paling rendah dan jalur emisi GRK jangka panjang global 1,5oC.
2. Roadmap transisi energi disarankan untuk dibuat menjadi dua periode dengan akurasi dan
approach yang berbeda, yaitu:
 Roadmap transisi energi jangka pendek (s.d. 2032): permasalahan terlihat dengan
lebih jelas, dan uncertainties juga lebih rendah, sehingga program dan strateginya
executable atau penyiapan program lebih rinci dari tahap perencanaan (inisiasi
proyek, studi pra kelayakan, studi kelayakan, penyiapan basic design & project
implementation plan) sesuai standar ”best practice” untuk mencapai target penurunan
emisi sesuai enhanced – NDC 2030. Program tersebut kemudian diintegrasikan dalam
RUPTL - PLN 2023-2032.
 Roadmap transisi energi jangka panjang (> 2032 s.d. 2060): banyak uncertainties,
maka roadmap transisi energi dilakukan dengan mengembangkan skenario planning
dengan tujuan mencapai NZE-2060. Roadmap ini merupakan ‘rolling document’ yang
akan di-update di masa mendatang sejalan dengan munculnya evidence baru dan/atau
pemahaman baru mengenai suatu strategi atau teknologi.

3. Roadmap transisi energi perlu mempertimbangkan penggunaan potensi EBT yang


tersedia di Indonesia, terutama hidro, dan geothermal, disamping biomassa, surya dan
angin serta teknologi lain yang sudah mature dan proven untuk dapat mewujudkan
security sistem kelistrikan.
5. Pelaksanaan transisi dapat tidak berjalan sesuai yang digambarkan roadmap dikarenakan
Early retirement PLTU dilakukan pada saat resource assessment hidro dan geothermal
power belum dilakukan dengan prudent ataupun jika terjadi peningkatan carbon pricing.
6. Percepatan transisi energi yang khas Indonesia harus memperhatikan kondisi spesifik
Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sehingga perlu :
 Pembangunan Jaringan Super Grid Nusantara dan kedepan diperkuat dengan
interkoneksi ASEAN.
 Pemanfaatan teknologi co-firing dengan biomassa dan hidrogen atau ammonia bila
harganya sudah kompetitif pada PLTU Batubara eksisting serta implementasi CCUS.
 Program retirement PLTU dilakukan secara hati-hati dan disarankan dilakukan secara
normal sesuai economic life atau terms dari PPA dengan mempertimbangkan regulasi

42
dan kesiapan aspek legal, tersedia dukungan pendanaan lunak dan dukungan fiskal
Pemerintah.
 Semakin menurunnya kapasitas pembangkit pemikul beban dasar/base loader akibat
tidak direncanakannya PLTU batubara, maka diperlukan base loader lain seperti PLTGU
LNG.
 Mulai dibangunnya pembangkit energi terbarukan skala besar kedepannya serta
dilakukan transisi penyediaan terpusat menjadi lebih terdistribusi (distributed
generation).
 Peningkatan fleksibilitas sistem tenaga listrik menjadi prasyarat untuk mendorong
akselerasi penetrasi VRE, dengan bebrapa opsi untuk meningkatkan grid flexibility
berupa flexible power plant, demand response, transmission expansion (interconnection),
energy storage dan sector coupling (PV & hydrogen, heat pumps)
7. Pemanfaatan energi terbarukan, baik surya, angin, air hingga pemanfaatan teknologi
nuklir juga akan meningkatkan percepatan transisi energi. Hal ini, terutama dalam
penggunaan nuklir, densitas energi yang dimiliki nuklir sangat tinggi serta teknologi yang
semakin mature.

BAB IV
POTENSI ENERGI NUKLIR UNTUK PERCEPATAN TRANSISI
ENERGI

43
3.1 Pendahuluan
Berdasarkan skenario bauran energi menuju NZE 2060 seperti yang ditunjukkan pada
Bab II dan roadmap transisi energi jangka panjang seperti yang ditunjukkan pada Bab III,
PLTN telah menjadi salah satu opsi untuk melaksanakan transisi energi di Indonesia. PLTN
merupakan pembangkit yang telah banyak digunakan di dunia. Pada tahun 2021, PLTN
memproduksi listrik sekitar 10% dari produksi listrik dunia. China adalah negara yang paling
ekspansif program PLTN-nya, menyusul program PLTN Jepang dan Korea Selatan. Saat ini
China sudah mengoperasikan 55 unit PLTN atau sekitar 53 GWe, dan sedang melakukan
konstruksi 24 unit yang setara dengan 26 GWe. Sedangkan di India saat ini sudah
mengoperasikan 22 unit PLTN atau sekitar 7 GWe, dan sedang melakukan konstruksi 8 unit
yang setara dengan 6 GWe. Negara baru dikawasan Asia yang baru saja mengoperasikan
PLTN adalah, Iran 1 unit, UEA 4 unit dan Bangladesh 2 unit. Di kawasan Asia Tenggara
(ASEAN), sampai saat ini belum ada kegiatan pembangunan PLTN, masih dalam tahap
perencanaan dan pengusulan. Pada saatnya nanti ketika sudah ada grid ASEAN, maka negara
yang mampu memasok energi ke negara-negara ASEAN akan mendapatkan keuntungan
politik dan ekonomi regional, dan PLTN mempunyai kemampuan untuk memasok listrik di
kawasan ASEAN.
Dalam rangka menuju Indonesia Emas 2045 dimana Indonesia harus sudah keluar
dari “Midle Income Trap” (MIT) dengan GDP/Capita sekitar 15,000 USD, dan dalam rangka
memenuhi program NZE 2060, diperkirakan kebutuhan listrik nasional akan mencapai 580
GWe di tahun 2060. Untuk itu sektor energi Nuklir mampu membangun PLTN Komersial
pertama pada tahun 2032, dan akan mencapai sekitar 10 GWe hingga tahun 2040, serta bisa
mencapai sekitar 40-50 GWe hingga tahun 2060, dengan berbagai teknologi PLTN yang
sudah proven atau yang sedang dikembangkan (prototype) di dunia saat ini. Pangsa listrik
nuklir di Indonesia menjadi sekitar 7-8% pada tahun 2060. Angka tersebut sangat realistis
jika dibandingkan dengan pangsa listrik Nuklir rata-rata dunia yang sudah mencapai skitar
10% pada tahun 2020, di mana pada tahun yang sama China mencapai 5%, USA 20%,
Prancis 70%.

Untuk mempromosikan pengembangan dan penggunaan teknologi baru, seperti PLTN


di Indonesia, pemerintah telah menerapkan regulasi sandbox dengan status proyek strategis
nasional (PSN). Regulasi sandbox memberikan kerangka regulasi yang memungkinkan untuk
pengujian dan pengembangan teknologi baru dalam lingkungan yang terkendali. Status PSN
memberikan prioritas dan prosedur yang disederhanakan untuk proyek infrastruktur yang

44
dianggap penting secara nasional. Salah satu contoh penerapan regulasi sandbox dengan
status PSN adalah Proyek Light House yang dikembangkan oleh Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral. Proyek ini bertujuan untuk menguji dan mengembangkan teknologi
baru di sektor energi, termasuk SMR, teknologi fusi, dan sel bahan bakar hidrogen. Light
House Project memberikan platform bagi perusahaan swasta untuk bekerja sama dengan
lembaga pemerintah dan institusi akademik untuk mengembangkan dan menguji teknologi
baru dalam lingkungan yang terkendali.
Selain itu, energi nuklir mempunyai densitas energi yang sangat tinggi, kandungan
energi 1 gram bahan bakar Uranium kira-kira setara dengan 2500 kg Batubara. Densitas
energi yang tinggi sangat tepat digunakan untuk Indonesia yang penduduknya sudah
mencapai 275 juta jiwa tahun 2022, khususnya Pulau Jawa yang densitas penduduknya tinggi
mencapai skitar 1200 jiwa/km2. Densitas energi nuklir dinyatakan dengan luasan lahan per
kWh listrik yang dibangkitkan, dan PLTN tidak banyak membutuhkan lahan untuk
pembangunan dan pengoperasiannya. Selain itu PLTN bersifat “non-site specific”, artinya
tidak tergantung pada lokasi tertentu dan bisa dibangun di mana saja, selama masih
terjangkau oleh Grid Kelistrikan, dan bisa memenuhi kriteria/standar keselamatan dan
keamanan lokasi/tapak PLTN yang ditetapkan oleh BAPETEN sesuai regulasi Internasional.
Secara ekonomi, project cost PLTN relatif masih termasuk mahal dibandingkan
dengan jenis PLT lainnya. Meskipun demikian, mengingat biaya bahan bakar Nuklir yang
efisien, efektif dan murah, maka harga listrik Nuklir bervariasi antara 5-10 cent
USD/kWh, relatif kompetitif dibandingkan dengan harga listrik EBT yang lainnya. Oleh
karena itu, energi nuklir di Indonesia diharapkan dapat mendampingi EBET, khususnya
energi panas bumi dan hydro-besar, untuk bisa memperkuat struktur "base-load" kelistrikan
yang cukup, dan dalam rangka mencapai sistem kelistrikan nasional yang besar, stabil, handal
dan merata, untuk mendukung program Net Zero Emission 2060, sesuai dengan Kebijakan
Energi Nasional (KEN).

3.2 Trend Perkembangan Teknologi PLTN


Sejak pengoperasian PLTN yang pertama di USSR tahun 1954 sebagai PLTN
Generasi-1, teknologi PLTN terus berkembang ke Ke Generasi-2, Generasi-3, Generasi-3+
dan saat ini sudah dikembangkan teknologi PLTN Generasi-4, yang disebut SMR (Small
Medium/Modular Reactor), dimana unit yang pertama akan beroperasi komersial sebelum
2030, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. . Seperti diketahui, 3 kecelakaan Nuklir besar
yang pernah terjadi di Dunia, yaitu Three Miles Island USA 1979, Chernobyl Rusia 1986,

45
dan Fukushima Jepang 2011, semuanya masih menggunakan PLTN Generasi-2. Meskipun di
sebut sebagai kecelakaan Nuklir besar, tetapi korban meninggal karena terkena radiasi hingga
saat ini setelah lebih dari 40 tahun sejak kecelakaan, hanya berjumlah kurang dari 70 (tujuh
puluh) orang.

Gambar 8. Trend Perkembangan Teknologi PLTN

3.3 Teknologi PLTN yang Berpotensi digunakan di Indonesia


Teknologi PLTN komersial proven yang masih beroperasi saat ini dan prototypes
yang berpotensi ditawarkan ke Indonesia sangat bervariasi sesuai dengan jenis desain
teknologinya dan besaran dayanya, yaitu:
a. PWR (pressurized water reactor), berbahan bakar uranium (PWR-3 846-991 MWe,
PWR-4 1012-1310 MWe, EPR-1600, VVER-1000 917-950 MWe, VVER-1200 1085-
1300 MWe, KLT-40S 32 MWe, NuScale 77 MWe Prototype, SMART 100 MWe
Prototype).
b. APWR (advance pressurized water reactor), berbahan bakar uranium (AP-1000
1100-1250 MWe, APR-1400 1340-1418 MWe, Westinghouse.eVinci 5-10 MWe
Prototype).
c. BWR - Boiling Water Reactor, berbahan bakar Uranium (BWR-4 760 MWe, BWR-5
1056-1092 MWe, BWRX-300), Advance Boiling Water Reactor (ABWR 1315-1350
MWe).

46
d. PHWR (pressurized heavy water reactor), berbahan bakar uranium (PHWR-Candu
515-878 MWe, IPHWR 202-630 MWe).
e. HTGR (high temperature gas cooled reactor), berbahan bakar uranium (HTGR/HTR-
PM 200MWe).
f. MSR (molten salt reactor), berbahan bakar thorium (SMR-ThorCon 2x250 MWe
Teknologi PLTN yang diharapkan beroperasi di Indonesia secara komersial saat ini
adalah yang berteknologi proven dan/atau purwarupa/prototype dari PLTN Besar Generasi-3+
dengan daya >300~1700 MWe/unit dan PLTN SMR Generasi-4 dengan daya antara
5~300MWe/unit. Kedua jenis PLTN tersebut berbasis bahan bakar Uranium dan Thorium,
dengan keamanan dan keselamatan yang ketat berdasarkan regulasi dan perijinan dari
Bapeten, yang berstandar Internasional/IAEA. Teknologi PLTN proven bisa dilakukan
dengan cara membangun purwarupa/prototype PLTN di dalam negeri bekerjasama dengan
BRIN dan/atau Bapeten. Negara pemasok PLTN komersial yang sudah Proven adalah USA,
Rusia, Perancis, Jepang, Korea Selatan, China, dan India.
Untuk jangka panjang, ada 3 jenis teknologi pemanfaatan Energi Nuklir yaitu:
a. Teknologi PLTN berbasis Reaksi Fisi Nuklir dengan bahan bakar Nuklir Uranium,
Thorium, dan Plutonium. Hanya teknologi PLTN berbahan bakar Uranium dan Mix
Uranium-Plutonium yang sudah proven, sedangkan yang berbahan bakar Thorium
masih dalam tahap pembuatan Prototype, dan yang berbahan bakar Plutonium masih
dalam tahap pengembangan.
b. Teknologi PLTN berbasis Reaksi Fusi Nuklir dengan bahan bakar Nuklir Lithium dan
Hidrogen, masih dalam tahap pengembangan dan pembuatan prototype.
c. Teknologi berbasis Baterai Nuklir / RTG (Radioisotope Thermoelectric Generator)
dengan bahan bakar Plutonium.
4.3 Kesiapan Pembangunan Nuklir Indonesia
Dari sisi penyiapan SDM Nuklir, Indonesia sudah dikatakan siap sejak lama. Sejak
awal tahun 80an sudah dibuka Program S1 Teknik Nuklir di FT.UGM Yogyakarta, Program
S1 Instrumentasi Nuklir di FMIPA-UI Jakarta, dan Program Diploma Pendidikan Ahli Teknik
Nuklir (PATN) Yogyakarta, yang berubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik Nuklir (STTN),
dan saat ini berubah lagi menjadi Politeknik Nuklir. Selain itu ada beberapa program S2 dan
S3 Nuklir di ITB dan beberapa perguruan tinggi lainnya. SDM Indonesia juga sudah mampu
mengoperasikan 3 unit Reaktor Nuklir Penelitian di Bandung, Yogya, Serpong sejak tahun
1964 hingga saat ini tahun 2023 (59 th) tanpa terjadi insident dan accident yang fatal.

47
Untuk bisa mengoperasikan PLTN komersial pertama di Indonesia, Pemerintah harus
segera menerbitkan Perpres Percepatan Pembangunan PLTN dan/atau Perpres Pembentukan
NEPIO/KP2EN (Nuclear Energy Program Implementation Organization atau Komisi
Persiapan Pembangunan PLTN) di tahun 2023, seperti yang ditunjukkan pada . Hanya ada
waktu 9 tahun untuk persiapan dan pembangunan jika PLTN pertama sebesar 2
GWe diharapkan beroperasi tahun 2032 dan 10 GWe di tahun 2040.

Gambar 9. Roadmap Pengembangan PLTN

NEPIO/KP2EN mempunyai fungsi sebagai Fasilitator dan bukan sebagai Regulator.


Sudah ada Regulator (Lembaga Perijinan) yang cukup memadai untuk pembangunan PLTN
Komersial, yaitu Regulator Bisnis dilaksanakan oleh KESDM/PLN, Regulator Lingkungan
oleh KLHK/BAPEDAL, dan Regulator Keamanan/Keselamatan Nuklir dilakukan oleh
BAPETEN. Demikian juga sebaiknya konsultasi dengan DPR saat akan membangun PLTN
tidak perlu dilakukan lagi, mengingat ijin/konsultasi tentang pembangunan PLTN dengan
DPR sebenarnya sudah dilakukan saat Dewan Energi Nasional (DEN) secara legal bersama
DPR pada saat menerbitkan PP Kebijakan Energi Nasional (KEN). Yang masih diperlukan
untuk memperkuat dan mempercepat pembangunan PLTN adalah Pemerintah dan DPR perlu
menyelesaikan RUU EBET.
Untuk membangun 40~50 GWe PLTN diperlukan banyak lokasi/tapak PLTN, sekitar
10~20 lokasi/tapak. Ilustrasi kebutuhan lokasi tapak dan ukuran PLTN yang sesuai untuk
setiap sistem di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 10.

48
Gambar 10. Ilustrasi kebutuhan lokasi tapak dan ukuran PLTN

4.4 Kesimpulan dan Rekomendasi


a. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang besar, stabil, handal, bebas karbon dan
kompetitif secara ekonomi, sangat tepat digunakan dalam rangka memenuhi target
transisi energi Indonesia 2060, sebagai pensuplai beban dasar sistem kelistrikan.
Diharapkan PLTN pertama Indonesia paling lambat sudah bisa dioperasikan pada
tahun 2032, dan bisa mencapai 50 GWe pada tahun 2060.
b. Diharapkan Pemerintah sudah menerbitkan Perpres tentang Pembangunan PLTN
ditahun 2023, dan memberikan insentif untuk pengembang/operator dalam bentuk
dana bergulir penyiapan Infrastruktur di lokasi tapak PLTN.
c. Pemerintah membentuk beberapa lembaga yang bisa memperlancar program industri
energi nuklir di Indonesia, misalnya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN, dan
Lembaga penampung dan penjaminan dana kedaruratan nuklir, dana insentif bergulir
untuk penyiapan tapak dan lokasi PLTN, dan dana pengolahan-penyimpanan bahan
bakar Nuklir bekas serta limbah radioaktif.
d. Pemerintah juga diharapkan memulai program pengembangan industri bahan bakar
nuklir berbasis Uranium dan Thorium, termasuk proses pengayaan Uranium
untuk maksud damai.
e. Mengusulkan kepada Pemerintah untuk mengeksplorasi/melakukan kajian seluruh
potensi nasional bahan bakar nuklir Fisi, Fusi, dan Baterai Nuklir, yaitu mineral
Uranium, Thorium, Lithium, dan produk Hidrogen dan Plutonium hasil dari
pengoperasian PLTN. 
f. Pemerintah diharapkan dapat mengijinkan dan memfasilitasi
perluasan program penggunaan PLTN sebagai penggerak/propulsi kapal sipil, sebagai
penghasil hidrogen (cleaned hydrogen), dan produk kimia lainnya, serta proses

49
desalinasi air laut untuk air minum dan air industri. Selain itu Pemerintah juga
diharapkan memfasilitasi pengembangan program Siklus Bahan Bakar Nuklir, yang
berupa seluruh kegiatan yang mendukung Industri Energi Nuklir, dimulai dari
penambangan bahan galian Nuklir, pembuatan bahan bakar Nuklir, pengoperasian
pembangkit listrik Nuklir, reprocessing bahan bakar Nuklir bekas, pengolahan dan
penyimpanan limbah Nuklir.

BAB V
KESIAPAN INDUSTRI KELISTRIKAN DALAM MENDUKUNG
KETAHANAN NASIONAL
5.1 Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang akan sumber daya energi baik energi fossil maupun
energi baru terbarukan seperti atahari, angin, panas bumi, air, dan biomassa, yang dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan energi nasional yang terus meningkat sekaligus
mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dalam beberapa tahun terakhir,
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah signifikan untuk mendorong pengembangan
energi terbarukan dan meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energinya.
Termasuk menetapkan target ambisius untuk bauran energi baru terbarukan, menerapkan
kebijakan untuk mendorong investasi infrastruktur energi terbarukan, serta mempromosikan
penelitian dan pengembangan di sektor energi terbarukan.

Transisi energi ke energi bersih merupakan sebuah keniscayaan yang perlu dilakukan
untuk menjaga keberlangsungan generasi mendatang. Untuk itu, diperlukan perencanaan
yang matang, terukur, dan terkendali dalam rangka merealisasikan program-program
Pemerintah dengan tetap memperhatikan kemampuan negara sehingga tidak membebani
masyarakat. Berbagai tantangan dalam merealisasikan transisi energi tersebut perlu
diperhatikan, termasuk di dalamnya kondisi ekonomi global dan geopolitik. Transisi
energi mengarah pada paradigma baru dalam manajemen energi global, di mana dunia beralih
dari dependensi pada bahan bakar fosil menjadi adopsi energi terbarukan dan teknologi
energi bersih. Dalam konteks ini, kesiapan industri domestik menjadi suatu keharusan, bukan
sekedar pilihan. Sebuah penelitian oleh Sovacool et al. (2020) menegaskan bahwa kesiapan

50
industri adalah salah satu faktor kunci dalam transisi energi. Kesiapan ini mencakup berbagai
dimensi, termasuk pengetahuan teknis, kapabilitas produksi, dan pemahaman pasar.

Dimensi pertama yaitu pengetahuan teknis merujuk pada pemahaman dan keahlian
dalam teknologi EBT dan efisiensi energi. Sehingga sesuai dengan era digitilasasi saat ini
sektor industri harus mampu memahami dan mengoperasikan terknologi energi baru seperti
panel surya, turbin angin serta teknologi storage dan teknologi manajemen energi. Sehingga
perusahaan dapat mengurangi biaya dan emisi namun dapat membuat peluang bisnis baru
dalam pasar EBT.

Kapabilitas produksi adalah kemampuan untuk memanfaatkan peluang dalam transisi


energi. Industri perlu mampu memproduksi produk dan layanan yang berkaitan dengan energi
terbarukan dan efisensi energi. Dalam hal ini adaptasi dan inovasi dalam proses produksi
sangat penting

Dimensi terakhir adalah pemahaman pasar. Adanya transisi energi menciptakan pasar
baru dan permintaan baru. Industri perlu memahami tren pasar ini dan mampu
memanfaatkannya. Seperti pengetahuan tentang permintaan konsumen atau layanan yang
lebih ramah lingkungan, pemahamn tentang kebijakan pemerintah dan pemhamanan tentang
dinamika kompetitif dalam industry energi.

Pada akhirnya, transisi energi adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Kesiapan
industri dalam konteks ini tidak hanya akan memastikan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan industri, tetapi juga akan membantu mencapai tujuan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan yang bersifat jangka panjang.

Namun, untuk mencapai semua tujuan ini, perlu ada investasi yang cukup besar dalam
pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, penelitian dan pengembangan, infrastruktur, dan
teknologi. Pemerintah dapat berperan dalam menyediakan lingkungan yang kondusif untuk
pertumbuhan dan perkembangan industri domestik, termasuk melalui kebijakan insentif
pajak, dukungan finansial, dan regulasi industri.

5.2 Regulasi Terkait Penguatan Rantai Pasok Nasional

Regulasi terkait pemanfaatan sumber daya di Indonesia yang menjadi landasan utama tertulis
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 33 “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”

51
Dalam pemanfaatan sumber daya energi untuk kebutuhan sehari-hari baik dari sektor rumah
tangga, kemudian sektor industri khususnya industri kelistrikan regulasi yang mengatur sebagai
berikut
1. Undang Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi
2. Undang Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
3. Peraturan Menteri Perindustrian No 54/M-IND/PER/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan
Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN)
5. Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)
6. Peraturan Menteri Perindustrian No 05/M-IND/PER/2/2017 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 54/M-IND/PER/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk
Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan
Adanya proses menuju transisi energi di Indonesia menyebabkan pemerintah sebagai
regulator juga berperan dalam menciptakan sebuah regulasi yang mengatur dan memperlancar proses
transisi energi regulasi yang mengatur hal-hal berkaitan dengan transisi energi saat ini sebagai berikut
1. Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan Peraturan Menteri
ESDM Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru
dan Energi Terbarukan serta Konservasi Energi
2. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi
Terbarukan untuk Tenaga Listrik
3. Instruksi Presiden No. 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk
Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka
Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia Pada Pelaksanaan Pengadaan
Barang / Jasa Pemerintah
4. Dan regulasi lainnya terkait perubahan iklim, TKDN dan pengembangan Industri Nasional.
5.3 Prospek dan Tantangan Pengembangan Dalam Negeri Dalam Era Transisi Energi
5.3.1 Prospek Pengembangan Industri EBT Lokal

Dalam mendukung Target NZE pada tahun 2060 dan Transisi Energi dari energi fosil
ke EBT, dibutuhkan proses transisi energi yang masif dan berkelanjutan. Dari sisi
ketersediaan energi bersih untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, Indonesia termasuk
negara paling kaya sumber energi terbarukan yang memiliki potensi energi total mencapai
3.686 GW (KESDM, 2023).
Apabila dilihat dari potensi EBT yang dimiliki Indonesia, saat ini masih terdapat
ruang untuk melakukan optimalisasi pemanfaatan EBT untuk kebutuhan dalam negeri. Dari
kebutuhan pembangkit PLN tahun 2022 sebesar 69 GW, baru 8,5 GW atau 12,31%

52
pembangkit yang berasal dari EBT. Potensi EBT yang dimiliki Indonesia sendiri pada
dasarnya dapat mencapai 3.686 GW yang pemanfaatannya baru sebesar 0,23% di PLN
seperti dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Potensi (KESDM, 2023) dan Realisasi (PLN, 2022) Pemanfaatan Sumber
EBT Indonesia

Dengan porsi pembangkit EBT yang sangat besar yaitu 20,9 GW dalam RUPTL 2021-
2030 yang mencakup : Hydro (10,4 GW), Geothermal (3,4 GW), Bio (0,6 GW), Solar/Wind
(5,3 GW) dan EBT Peaker (1,3 GW) (RUPTL, 2021), serta komposisi porsi EBT dari
pengembangan swasta sebesar 11,8 GW atau 56,3%. Hal ini bukan hanya menunjukan
keberpihakan terhadap Green Energy melainkan juga memberikan momentum bagi industri
untuk tumbuh baik manufaktur, pengolahan, data center dan konsumen lainnya.

Dengan porsi pembangkit EBT yang sangat besar yaitu 20,9 GW dalam RUPTL 2021-
2030 yang mencakup : Hydro (10,4 GW), Geothermal (3,4 GW), Bio (0,6 GW), Solar/Wind
(5,3 GW) dan EBT Peaker (1,3 GW) (RUPTL, 2021), serta komposisi porsi EBT dari
pengembangan swasta sebesar 11,8 GW atau 56,3%. Hal ini bukan hanya menunjukan
keberpihakan terhadap Green Energy melainkan juga memberikan momentum bagi industri
untuk tumbuh baik manufaktur, pengolahan, data center dan konsumen lainnya.Sejalan
dengan transisi energi yang tengah dijalankan Pemerintah, perlu ditinjau tidak hanya kesiapan
dari sisi hulu maupun hilir, namun bagaimana kesiapan nasional secara terintegrasi sehingga
transisi energi juga akan dipenuhi oleh kehadiran industri dalam negeri.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap transisi energi perlu diperhatikan sehingga


dapat dimitigasi lebih dini risikonya pada saat implementasi :

53
1. Kondisi global dunia dan komitemen dukungan pendanaan
2. Kesiapan infrasturktur, keandalan dan inovasi teknologi
3. Kesiapan industri

5.3.1.1 Pengembangan Industri Bahan Bakar EBT

Mayoritas sumber energi EBT berasal dari alam dan dapat langsung dimanfaatkan
seperti energi angin, air dan surya namun beberapa sumber energi EBT memerlukan proses
dan industri pengolahannya sebelum dapat dimanfaatkan. Sumber/bahan bakar EBT tersebut
antara lain adalah bioenergy, green hidrogen, green ammonia, dan nuklir (Energi Baru)

1. Bahan bakar bioenergy


Dibagi menjadi 3 jenis yaitu, biofuel, biomassa dan biogas. Untuk dapat
menghasilkan bahan bakar bio energy tersebut diperlukan penguatan terutama di
industri pertanian, kehutanan, dan perkebunan.
a. Biofuel / bahan bakar nabati (BBN)
Bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau dihasilkan dari bahan-
bahan organik lain. BBN sendiri dapat dibagi lagi menjadi 3 yaitu Bahan Bakar
Nabati terdiri dari Biodiesel, Bioetanol dan Minyak Nabati Murni. Pemerintah
Indonesia saat ini sedang menjalankan program Biodiesel B30 atau campuran
antara HSD/minyak solar dengan biodiesel dengan perbandingan 70:30. Biodiesel
sendiri adalah bahan bakar nabati untuk mesin/motor diesel berupa ester metil
asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau
lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi. Untuk saat ini, di
Indonesia bahan baku biodiesel berasal dari Minyak Sawit (CPO), namun dapat
juga menggunakan bahan baku seperti tanaman jarak, jarak pagar, kemiri sunan,
kemiri cina, nyamplung dan lain-lain. (EBTKE, ESDM, 2019). Pengembangan
industri perkebunan penghasil biodiesel seperti, perkebunan sawit, dan
pengembangan industri pengolahan biodiesel mempunyai prospek yang baik
sejalan dengan pengembangan EBT di Indonesia, mengingat biodiesel dapat
digunakan pada pembangkit PLTD / PLTG dan juga kendaraan bermotor lainnya.
b. Biomassa
omassa yang dapat digunakan sebagai cofiring atau substitusi bahan bakar fosil
dapat berasal dari limbah perkebunan/pertanian/hutan, sampah kota dan juga dari
Hutan Tanaman Energi (HTE) dari tanaman Gamal/Kaliandra. Pengolahan bahan

54
baku tersebut memerlukan industri dan proses tersendiri yang dapat memberikan
nilai tambah dari bahan baku yang awalnya hanyalah berupa limbah.
c. Biogas
menjadi salah satu target pengembangan EBT berbasis bioenergi yang ditetapkan
dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Biogas sendiri dapat berasal dari
kohe (kotoran hewan), limbah, dan limbah makanan yang nantinya semua masuk
pada proses anaerobic digester atau ruang kedap udara. Dari sisi pemanfaatan,
Biogas bisa dikonversi langsung sebagai listrik ataupun sebagai bahan bakar.
Pemanfaatan limbah yang bernilai minim untuk menghasilkan energi listrik bersih
yang premium tentunya menjadi prospek tersendiri pada industri pengolahan
biogas.
2. Green hydrogen dan green ammonia
Saat ini hidrogen telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar penggerak kendaraan
hidrogen fuel cell. hidrogen juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik.
Saat ini PLN sedang melakukan uji coba pemanfaatan hidrogen dan ammonia
(senyawa hidrogen yang lebih stabil) sebagai bahan bakar cofiring pada pembangkit
PLTD / PLTG / PLTU. Dengan potensi pemanfaatan hidrogen terutama green
hidrogen untuk menggantikan bahan bakar fosil tentunya berpotensi menumbuhkan
industri penghasil green hidrogen di Indonesia terutama dengan memanfaatkan
konsep REBID (Renewable Energy Development Based on Industrial Development).
3. Nuklir
Nuklir di Indonesia masuk dalam kategori energi baru dimana dengan berkembangnya
teknologi dan safety dari pembangkit nuklir, saat ini dunia mulai melirik kembali
pembangkit nuklir seperti teknologi SMR (Small Modular Reactor) sebagai
pembangkit alternatif pengganti pembangkit fosil yang dapat beroperasi secara base
load dan konstan sepanjang tahun. Meskipun masih terdapat banyak tantangan dalam
industri penambangan dan pengayaan bahan bakar nuklir, namun penggunaan bahan
bakar nuklir untuk menggantikan pembangkit fosil yang mempunyai emisi tinggi
perlu dijadikan sebagai alternatif dan masih mempunyai prospek di Indonesia.

5.3.1.2 Pengembangan Industri Energi EBT

Mengingat komponen pada pembangkit energi surya PV, angin, arus dan gelombang
laut yang berbeda dengan komponen pembangkit fosil, maka akan dibutuhkan pengembangan

55
industri dan teknologi baru untuk dapat memenuhi kebutuhan komponen pada pembangkit
tersebut.

Gambar IEA securing clean energy technology supply chain

Apabila dibagi berdasarkan kategorisasinya, maka beberapa industri pendukung


pengembangan pembangkit EBT dapat dibagi menjadi lima jenis industri dasar yaitu:

1. Industri Pertambangan / Resource extraction


2. Industri Pengolahan mineral / bahan baku
3. Industri Manufaktur Komponen
4. Industri Manufaktur Assembly
5. Industri di Bidang Plant Engineering & Konstruksi

Dengan melihat potensi pengembangan industri tersebut diatas maka pengembangan


EBT dapat menciptakan multiplier efek terutama pada pertumbuhan industri Nasional karena
pada setiap pengembangan EBT. Apabila Indonesia tidak menguasai industri pengembangan

56
EBT dari hulu ke hilir, maka pengembangan EBT beresiko akan bergantung pada
produk impor yang akan menghambat ketahanan dan kemandirian energi Nasional.

5.3.1.3 Pengembangan Industri Terkait Energi EBT

Pengembangan industri EBT tentunya tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung
pengembangan industri komponen terkait lainnya. Listrik yang sudah diproduksi oleh
pembangkit EBT perlu disalurkan ke Jaringan listrik sehingga dapat dimanfaatkan oleh
konsumen. Untuk itu, agar dapat menyalurkan energi bersih yang dihasilkan diperlukan
industri pendukung terutama di bidang kelistrikan antara lain:

1. Industri Manufaktur Generator


2. Industri Manufaktur Peralatan Transmisi dan Penyaluran
3. Industri Manufaktur Peralatan Gardu Induk
4. Industri Manufaktur Battery Energy Storage
5. Industri Logistic & Supply Chain

Dari masing-masing komponen kelistrikan tersebut tentunya membutuhkan rantai pasok


industri sendiri dari hulu ke hilir sehingga dapat dipastikan bahwa pengembangan EBT dapat
menyerap banyak tenaga kerja dan memajukan perekonomian Nasional.

5.4 Kesiapan Industri Nasional Dalam Mengisi Pasar EBT

Melihat prospek pengembangan industri nasional untuk mendukung pengembangan


EBT maka perlu dipastikan kesiapan industri tanah air saat ini, untuk itu perlunya Pemerintah
melakukan pemetaan kembali terkait :

a. Assessment secara menyeluruh pada industri-industri yang ada di Indonesia terkait


kesiapan, kapasitas dan kompetensi yang ada serta membuat target yang diharapkan
untuk mendukung pengembangan EBT,
b.
c. Membuat peta jalan untuk mencapai target tersebut.

Seperti contoh dalam industri PV dalam Dalam Permen 54/2012 pada dasarnya
Pemerintah telah membuat target TKDN untuk modul PV tersendiri yaitu sebesar 60%.
Namun hingga saat ini kemampuan industri di Indonesia masih berada di kisaran 40 - 47,5%.
Upaya peningkatan diatas angka tersebut akan sulit apabila tidak tersedia industri solar cell,
solar wafer, dan industri hulu pengolahan.

57
5.5 Tantangan Pengembangan Industri Dalam Negeri

Terkait dengan peran industry dalam negeri, Pemerintah telah menerbitkan Instruksi
Presiden No 2 tahun 2022 dan Peraturan Menteri Perindustrian No. 54 tahun 2012 yang perlu
diapresiasi, mengingat Pemerintah sangat mendukung penggunaan produk dalam negeri
terutama pada pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Namun perlu disinergikan
kembali antara kesiapan industry dan daya saing untuk dapat berkompetisi dengan produk
import.
Terkait dengan peran industri dalam negeri dalam mengisi transisi energi, maka beberapa
tantangan dan mitigasi yang perlu menjadi perhatian adalah :
1. Perlunya kesiapan industry dalam negeri untuk mengambil pasar pembangkit EBT
yang ada, sebagai contoh untuk mengisi RUPTL 2021-2030 sebesar 20,9 GW atau
khususnya untuk PLTS 4,7 GW bagaimana industry dalam negeri akan berperan?
Untuk industri PV modul, Indonesia dapat mengembangkan industry sisi hulu
komponen PV berbasis industry kimia seperti wafer silicon untuk solar cell, tempered
glass.
2. Produk dalam negeri masih kalah bersaing dengan harga produk impor. Seperti untuk
modul surya, masih lebih tinggi 20-25% di atas harga produk impor. Perlunya
kebijakan atas insentif fiskal antara lain Tax holiday dan non-fiskal untuk percepatan
pembangunannya.
3. Penggunaan TKDN secara konsisten perlu dipersyaratkan dan dimonitor dalam
implementasinya, sehingga akan menstimulasi pengembangan pabrik komponen
dalam negeri, termasuk memberlakukan pembatasan ekspor bahan baku, Sebagai
contoh silika untuk pengamanan pasokan dalam negeri.
4. Kepastian penyerapan pasar lokal dan perluasan akses pasar. Di satu sisi masih
diperlukan pengendalian dari sisi hulu untuk penambahan pembangkit yang sangat
bergantung terhadap demand yang ada. Kapabilitas dan kesiapan rantai pasok dalam
mendukung sustainabilitas produk dalam negeri.
5.6 Strategi Mendorong Industri Domestik

Berikut adalah beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk menyiapkan industri domestik
dalam melakukan transisi energi di Indonesia:

1. Peningkatan Penelitian dan Pengembangan (R&D): Investasi dalam penelitian dan


pengembangan teknologi energi baru dan efisien sangat penting.

58
2. Pendidikan dan Pelatihan: Untuk mendukung transisi energi, perlu ada upaya untuk
mendidik dan melatih tenaga kerja bisa melalui program pendidikan formal maupun
pelatihan dan sertifikasi.
3. Kebijakan Pemerintah yang Mendukung: Pemerintah harus menerapkan kebijakan
yang mendukung transisi energi, termasuk insentif pajak atau subsidi untuk energi
terbarukan, peraturan yang mendorong efisiensi energi, dan standard emisi yang jelas
4. Pembangunan Infrastruktur: Infrastruktur yang diperlukan untuk energi terbarukan
dan efisiensi energi harus dibangun.
5. Kemitraan dan Kolaborasi: Kolaborasi antara pemerintah, industri, lembaga
penelitian, dan masyarakat sangat penting untuk memastikan transisi energi yang
sukses.
6. Pengembangan Pasar: Dalam hal ini, perlu ada upaya untuk mengembangkan pasar
untuk energi terbarukan dan produk dan layanan efisiensi energi.
7. Regulasi dan Standar: Untuk mendorong adopsi energi terbarukan dan efisiensi energi,
peraturan dan standar yang mengatur produksi, penjualan, dan penggunaan energi harus diatur
dan diterapkan secara konsisten

BAB VI
TATA KELOLA TARIF UNTUK MENUJU INDUSTRI KELISTRIKAN
YANG SEHAT
Tata kelola tarif yang baik adalah kunci dalam menuju industri kelistrikan yang sehat
dan mendukung transisi energi menuju net zero emission. Tata kelola tarif mencakup
kebijakan, peraturan, dan mekanisme yang mengatur penetapan tarif dan pengelolaan
pendapatan dalam sektor kelistrikan. Dengan menerapkan tata kelola tarif yang baik, sektor
kelistrikan dapat bergerak menuju industri yang sehat dan mendukung transisi energi menuju
net zero emission. Melalui penetapan tarif yang adil, mekanisme stimulus, penghargaan
terhadap energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, inovasi, dan keterlibatan pemangku
kepentingan, dapat tercipta lingkungan yang kondusif bagi pengembangan energi bersih dan
berkelanjutan.

6.1 Tata Kelola Tarif Eksisting

Idealnya, struktur tarif harus mencerminkan sebab-sebab adanya biaya. Dalam praktiknya,
tarif akan menyimpang dari struktur ideal ini karena berbagai alasan termasuk masalah penerimaan

59
pelanggan, kesederhanaan dan kemanfaatan yang diperoleh dari struktur tarif yang lebih kompleks.
Berikut ini adalah beberapa biaya dalam struktur tarif :
1. Biaya kapasitas digunakan untuk mengembalikan biaya pembangkitan dan
penyaluran. Biaya ini berdasarkan permintaan (kW) pada saat beban puncak, karena
pada saat itulah yang menyebabkan dilakukannya investasi pembangkit.
2. Biaya energi digunakan untuk mengembalikan biaya variabel dari penambahan
jumlah energi yang diberikan ke pelanggan setiap interval waktu.
3. Biaya tetap digunakan untuk mengembalikan biaya yang berkaitan dengan aktifitas
pelanggan, seperti: pencatatan meter, penagihan, dan penghimpunan dana yang
semuanya itu tidak berubah sesuai dengan jumlah energi yang dikonsumsi pelanggan.
4. Biaya daya reaktif digunakan sebagai insentif bagi pelanggan untuk memperbaiki
faktor dayanya sehingga menurunkan biaya untuk melistriki mereka.
Berdasarkan BPP yang telah dihitung, cost recovery dilakukan melalui penjualan
energi dengan tarif yang ditetapkan berdasarkan peraturan berlaku. Terdapat 38 golongan tarif
yang ada, mekanisme implementasikan memperhatikan berbagai aspek, misalnya: level
tegangan, daya beli dan subsidi, peruntukan (industry, bisnis, rumah tangga, layanan khusus,
social).
Penentuan tarif di atas berbasis pada pengembalian biaya yang timbul (accounting
based), biaya ini harus dikembalikan melalui pendapatan (model revenue requirenment),
ditambah dengan margin yang telah ditentukan, digunakan untuk menentukan tarif. Konsep
tarif yang lebih dapat memperhitungkan faktor-faktor ketidakpastian khususnya demand di
periode mendatang adalah konsep Long Run Marginal Cost (LRMC). Menghadapi dan
mengarungi masa transisi energi, dimana demand tumbuh dan bauran energi berubah,
sebaiknya konsep LMRC diterapkan.
6.2 Permasalahan Yang Berpotensi Muncul Akibat dari Sistem Tarif Eksisting

Permasalahan yang berpotensi muncul akibat dari sistem tarif eksisting dimulai dari biaya
dasar industri listrik yaitu biaya pokok penyediaan. Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik
merupakan biaya yang dibutuhkan dalam penyediaan tenaga listrik. Peraturan mengenai hal ini diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.02/2019 yang berisikan tentang Tata Cara
Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik, yaitu
penyediaan tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) untuk melaksanakan kegiatan operasi mulai dari
pembangkitan, penyaluran (transmisi), sampai dengan pendistribusian tenaga listrik ke pelanggan
dibagi dengan total kWh jual. Komponen BPP pada peraturan menteri tersebut tertuang pada
Lampiran meliputi:

60
1. Pembelian tenaga listrik termasuk sewa pembangkit.
2. Biaya bahan bakar
3. Biaya pemeliharaan
4. Biaya kepegawaian
5. Biaya administrasi
6. Penyusutan atas aktiva tetap operasional.
7. Beban bunga dan keuangan yang digunakan untuk penyediaan tenaga listrik
8. Beban penyesuaian tahun lalu atas komponen BPP.
Saat ini Indonesia Dengan produksi 277,77 TWh, tarif rerata sebesar 1.550,45
rp/kWh. Struktur biaya pokok penyediaan tenaga listrik tahun 2023, ditentukan berbasis
sejumlah asumsi: nilai tukar dolar 14.800 rp/dolar, harga batubara 70 USD/ton, inflasi 3,3%,
ICP 90 USD/barrel. Dengan bauran energi 66,88% batubara, 17,09% gas, BBM 2,89%, panas
bumi 5,26%, air 6,93%, biomass 0,73%, surya 0,07% dan alternatif 0,16%, nampak bahwa
pembiayaan untuk bahan bakar didominasi oleh batubara, yang berpotensi menyumbang
emisi tinggi. Mengacu pada perjalanan bauran energi selama transisi energi, porsi biaya
bahan bakar fosil semakin kecil, nilai BPP akan banyak ditentukan oleh biaya bahan bakar
non konvensional, yaitu energi primer yang terbarukan.
Dalam struktur biaya pokok penyediaan energi listrik yang digunakan untuk
penentuan tarif listrik, terdapat komponen biaya tetap dan komponen biaya variabel.
Komponen biaya tetap adalah jenis-jenis biaya yang tidak terpengaruh oleh besarnya nilai
penjualan energi listrik. Sementara itu, komponen biaya variabel adalah komponen biaya
yang dipengaruhi oleh besarnya energi terjual. Besarnya biaya tetap dan biaya variabel,
dipengaruhi oleh faktor internal yang dapat dikendalikan oleh perusahaan (controllable
factor), dan faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan (uncontrollable
factor). Terhadap perubahan faktor yang diluar kendali perusahaan tersebut, ada mekanisme
Tariff Adjustment (TA). Mekanisme TA untuk mengantisipasi fluktuasi besarnya
uncontrollable factor tersebut juga berlaku di banyak negara yang lain.

Di Indonesia, penerapan TA diatur dengan Permen ESDM No 3 Tahun 2020,


memasukkan 4 faktor eksternal yang menajemen PLN tidak memiliki kemampuan
mengendalikan (uncontrollable factors), yaitu

1. Ideal Customer Profile (ICP)


2. Harga batubara
3. Inflasi

61
4. Nikai tukar rupiah terhadap USD

Dari 4 uncontrollable factors yang tak dapat dikendalikan oleh PLN, LN dapat
melakukan penyesuaian tarif listrik untuk memastikan bahwa pendapatan PLN yang diterima
dari penjualan energi listrik ke pelanggan dapat memenuhi kebutuhan revenue requirement
(BPP + margin 7%), hal ini perlu untuk menjamin keberlangsungan perusahaan. Agar
jaminan profit 7% dapat dicapai, maka managemen PLN diharapkan mampu melakukan
langkah-langkah yang ketat untuk memastikan semua controllable factor tersebut sepenuhnya
dapat dikendalikan sesuai perencanaan.

Berbasis Permen ESDM terkait TA yang sudah mengalami beberapa kali perubahan,
yaitu Permen ESDM No 28/2016, Permen ESDM No 18/2017, Permen ESDM No 41/2017,
Permen ESDM No 19/2019, dan terakhir Permen ESDM No 3/2020, PLN dapat melakukan
penyesuaan tarif listrik melalui mekanisme TA. Namun dalam kenyataannya, dalam 3 tahun
terakhir, peraturan tersebut belum terimplementasikan sehingga defisit revenue requirement
yang diakibatkan oleh fluktuasi keempat variable tersebut terhadap asumsi yang sudah
ditetapkan untuk menghitung BPP berdasarkan asumsi dalam APBN, ditanggung oleh negara
dalam bentuk subsidi.

Demand sektor kelistrikan yang dikelola PT PLN sepanjang 2020 mengalami


penurunan yang drastis. Berdasarkan realisasi selama semester I di tahun 2020 dibandingkan
semester yang sama tahun 2019, demand mengalami kenaikan hanya sebesar 1,129 TWh atau
0,95% persen menjadi 119,651 TWh, dari nilai pada semester I tahun 2019, yaitu sebesar
118,522 TWh. Hingga akhir tahun 2020, demand diproyeksikan akan mengalami penurunan
sebesar 25,4 TWh atau 9,7% dari target yang direncanakan pada awal tahun, yaitu sebesar
262,3 TWh. Sebagai dampak terhadap penurunan demand yang drastis tersebut, BPP energi
listrik per kWh akan mengalami kenaikan terutama karena komponen A dan B, sementara itu
tarif listrik tidak dapat disesuaikan karena deviasi demand ini diasumsikan termasuk
controllable factor. Tetapi kenyataannya demand yang turun sangat drastis tersebut adalah
situasi yang tidak dapat dikontrol oleh siapapun dan tidak pernah terpikirkan oleh siapapun.

Kenaikan BPP karena naiknya komponen A dan B tersebut belum bisa diatasi dengan
model TA yang ada saat ini, karena tarif yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tidak
memungkinkan adanya penyesuaian tarif akibat penurunan demand, meskipun penurunan
demand yang besar tersebut sebenarnya diluar kemampuan prediksi dan kendali perusahaan.
Dalam melakukan demand forecast, salah satu faktor penting adalah asumsi pertumbuhan

62
ekonomi (uncontrollable factor). Dengan demikian, sebenarnya demand forecast
mengandung semi uncontrollable factor. Bila kondisi ini dibiarkan dan dianggap sebagai
kesalahan manajemen PLN maka potensi kerugian tesebut akan sangat membahayakan
keberlangsungan PLN untuk menjaga kelistrikan nasional, dan juga iklim investasi dan
jaminan pasokan listrik ke konsumen.

Gambar 5 Proses Audit dan Identifikasi Penyebab Selisih BPP dan Tindak Lanjutnya

Salah satu hal yang juga perlu mendapat perhatian yaitu terkait semakin tingginya penetrasi
pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Pembangkit EBT ini memiliki karakter produksi yang
memiliki sifat uncentainty sehingga berpotensi menggeser komposisi realisasi bauran energi.
Pergeseran ini akan berdampak pada BPP realisasi. Perubahan BPP karena sifat alami EBT ini
memiliki unsur yang bersifat uncontrollable. Oleh karena itu, hal ini berpotensi juga untuk masuk
sebagai komponen tariff adjustment. Berbasis Peraturan Menteri ESDM yang telah mengalami
perkembangan selama keberjalanannya, yaitu dari Permen ESDM No. 9 Tahun 2014, Permen ESDM
No. 31 Tahun 2014, Permen ESDM No. 9 Tahun 2015, Permen ESDM No. 28 Tahun 2016, Permen
ESDM No. 18 Tahun 2017, Permen ESDM No. 41 Tahun 2017, Permen ESDM No. 19 Tahun 2019,
hingga Permen ESDM 3/2020, Tariff adjustment yang diberlakukan PLN dapat diklasifikasikan
menjadi 13 golongan tarif. Harga ini selalu diperbarui setiap tiga bulan sekali, bergantung pada kurs,
ICP, inflasi, dan/atau harga patokan batu bara.

Selama era transisi energi sampai dengan NZE tahun 2060 nanti, dengan prediksi demand
seperti tertera di …, bauran energi seperti tertera di …, BPP seperti di … , ditambah dengan factor-
faktor yang sulit diprediksi karena sarat dengan unsur uncertainty, dimungkinkan TA akan memiliki
karakteristik yang berbeda dengan formula saat ini. Implementasinyapun dapat sangat berbeda. Bila
factor-factor uncontrollable berkurang, maka komponen adjustment dapat turun, gangguan cash flow
operator dapat minimal, dan pelanggan merasa mendapat kepastian nilai tarifnya.

Penerapan tariff adjustment akan berdampak pada cash flow PLN, dimana tariff
adjustment dipengaruhi oleh perubahan ICP, nilai tukar, inflasi, dan/atau harga patokan
batubara. Ketika tariff adjustment diberlakukan, maka cash in dari pelanggan nonsubsidi

63
sebagai pendapatan PLN akan berjalan lancar. Namun adanya penundaan tariff adjustment
sejak 2017 menyebabkan terjadinya piutang kompensasi selama tahun 2017-2020. Biasanya
pembayaran kompensasi baru dapat diterima oleh PLN setelah melewati tahun anggaran yang
bersangkutan, atau bahkan dua tahun setelah tahun anggaran tersebut. Sehingga hal ini
membebani biaya operasional PLN.

Dalam lima tahun terakhir, nilai kompensasi yang diberikan akibat tidak
diberlakukannya tariff adjustment sebagai berikut.

Tabel 3 Kompensasi Listrik pada Beban APBN periode 2018-2022

Tahun 2018 2019 2020*) 2021**) 2022***)

Beban APBN Rp23.173 T Rp22.253 T Rp17.904 T Rp24.594 T Rp64.4 T

Total kompensasi tahun 2022 sebesar Rp 64,4 Triliun, teralokasi sebagai berikut:

Sisipi table alokasi kompensasi

Penerima kompensasi tertinggi adalah …. Dengan pemberian kompensasi total 64,4 T


tersebut, perlu diketahui manfaat yang diperoleh. Dengan tidak dibelalukannya TA dan
penerapan tarif yang konstan semenjak tahun 2017, komponen kenaikan tarif dan TA ini
ditanggung npemerintah melalui kompensasi. Di sis lain, kompensasi yang diberikan pada
pelanggan akan menyebabkan tarif yang dikenakan pelanggan turun, biaya produksi di
perusahaan/industry turun, daya saing meningkat, kegiatan ekspor-impor meningkat. Di sisi
lain, kompensasi juga akan menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat. Untuk mengetahui
manfaat bagi pemerintah/negara akibat pemberian kompensasi, salah satu ukurannya adalah
peningkatan GDP. Kajian terkait telah menunjukkan bahwa kompensasi bagi pelanggan
listrik sebesar 64,4T pada tahun 2022, akan menyumbang GDP sebesar Rp 201,31T.

64
Gambar 6 Hasil Cost Benefit Analysis

Gambar 6 menunjukkan bahwa dana kompensasi listrrik sebesar Rp64,49 triliun


berpotensi meningkatkan GDP sebesar Rp201,31 triliun. Di sisi lain, apabila dana sebesar
Rp64,49 triliun dialihkan ke sektor infrastruktur jalan maka berpotensi meningkatkan GDP
sebesar Rp328,89 triliun. Alternatif peralihan dana kompensasi listrik menjadi cash transfer
bagi individu miskin dapat mengurangi individu miskin sebesar 21,29 juta individu selama
program berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa kompensasi listrik terhadap industri, bisnis,
dan rumah tangga dapat dikurangi sehingga dapat dialihkan ke sektor lainnya dan
menciptakan manfaat yang lebih besar.

Pengurangan kompensasi pada pelanggan (perusahaan) akan menaikkan tarif listrik


pada pelanggan tersebut dan juga menaikkan biaya listrik. Kenaikan biaya listrik akan
menyebabkan biaya per satuan produk juga naik dan akan mengurangi daya saing. Pemberian
kompensasi pada perusahaan menyebabkan inefficiency pada perusahaan tersebut. Bila
pengurangan kompensasi dilakukan, perusahaan seharusnya melakukan efisiensi agar supaya
biaya per satuan produk tetap dapat bersaing.

Pengurangan kompensasi yang akan mengurangi beban APBN dengan menaikkan


tarif listrik (tarif yang berlaku mulai 2017 sampai dengan saat ini bagi pelanggan
I4/Tegangan Tinggi (TT) sebesar Rp…. dilakukan dengan mempertimbangkan tarif listrik
yang berlaku di negara-negara ASEAN agar daya saing produk Indonesia tetap terjaga.
Kajian kenaikan tarif hingga mencapai tarif negara Vietnam (Rp….) akan mengurangi
kompensasi sebesar … Triliun (...%), diharapkan perusahaan masih sehat, karena produknya
masih dapat bersaing di tingkat ASEAN.

65
6.3 Tata Kelola Tarif Yang Baik

Berdasarkan rencana pertumbuhan ekonomi nasional menuju tahun 2050, sektor


kelistrikan nasional memiliki prospek dan peran yang sangat strategis. Pada tahun 2050
konsumsi listrik nasional per kapita ditargetkan dapat mencapai 7.000 kWh/kapita. Dengan
target tersebut, sektor kelistrikan yang dikelola PLN akan berperan sangat strategis, mulai
dari sektor hulu, transformasi kelistrikan, distribusi, penguatan industri pendukung kelistrikan
dan supply chain.

Salah satu faktor yang diperlukan untuk mendukung tata kelola kelistrikan nasional
yang sehat yaitu perlunya peninjauan kembali tata cara penyaluran dan pemberian subsidi
energi listrik agar benar-benar dapat mencapai sasaran sesuai dengan perundang-undangan
dan peraturan yang mendukungnya. Apabila tata cara penyaluran subsidi energi listrik ini
dapat direformasi dengan tepat, didukung oleh penerapan tariff adjustment yang adaptable
dan penyederhanaan tarif listrik, pemerintah akan memperoleh penghematan yang sangat
signifikan. Selain itu, PT. PLN (Persero) dapat berkreasi meningkatkan new market share
yang potensial dan penghematan tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
infrastruktur kelistrikan daerah-daerah yang masih tertinggal atau dimanfaatkan untuk
sharing subsidi bagi pengembangan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (sesuai
program pemerintah). Pemanfaatan penghematan subsidi juga dapat dilakukan untuk cross
subsidi energi dari gas ke listrik. Hal ini akan memberikan dukungan penghematan fiskal
pemerintah yaitu potensi menghemat devisa impor LPG. Potensi ini dapat dijalankan apabila
penyederhanaan tarif dari 38 ke 22 golongan telah diimplementasikan.

Mekanisme penyaluran subsidi harus benar-benar dimanfaatkan untuk pembiayaan


energi listrik dan meningkatkan daya saing masyarakat. Penyalurannya berbasis sistem bisnis
yang telah dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan disinergikan dengan teknologi sistem
perbankan yang ada (salah satunya e-wallet). Di dalam mekanisme reformasi subsidi
diperlukan peninjauan/perubahan aspek regulasi yang terkait subsidi, yaitu: (a.) Peraturan
Menteri ESDM Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Mekanisme Pemberian Subsidi Tarif Tenaga
Listrik Untuk Rumah Tangga khususnya Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5
ayat (2), dan Pasal 6 ayat (1); (b.) Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang
Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero); (c.)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 174/PMK.02/2019 Tahun 2019

66
Tentang Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, Pembayaran, Dan Pertanggungjawaban
Subsidi Listrik.

Era transisi energi menuju net zero emission, penuh dengan ketidakpastian terkait
dengan bisnis ketenagalistrikan, tidak hanya harga jual listrik, tetapi dinamika kehidupan
social ekonomi masyarakat. Kebutuhan masyarakat khususnya energi listrik sudah
berkembang, penyediaan tenaga listrik penuh dengan ketidakpastian, kemampuan bayar
masyarakat juga berkembang. Melihat perkembangan demand seperti table …. dan BPP naik
secara kontinu seperti table …, kebijakan subsidi tentunya akan selalu mengikuti
perkembangan yang terjadi. Bila memang kebutuhan energi listrik per kapita naik tetapi
diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang sepadan, sehingga pendapatan per kapita juga
naik, memungkinkan kemampuan bayar pelanggan meningkat, dan akhirnya subsidi dapat
dikurangi atau dihapus.

6.4 Strategi/Pertimbangan Dalam Menyongsong Era Transisi Energi Dan Upaya/Kontribusi


Percepatannya

Upaya strategi dalam menyongsong era transisi energi dan kontribusi percepatannya harus
memperhatikan beberapa hal sebagi berikut

1. Industry kelistrikan yang sehat secara finansial


Kesehatan finansial operator harus diupayakan di tengah ketidakpastian bauran energi
yang melibatkan energi primer nuklir, ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia
yang akan mempengaruhi pendapatan per kapita penduduk Indonesia (affordability
listrik), naiknya konsumsi energi per kapita, dan masalah lain yang terkait dengan
operasi system, tatakelola kelistrikan, industry ketenagalistrikan.
2. BPP
Proses transisi energi yang melibatkan berbagai sumber energi primer dan teknologi
memungkinkan timbulnya komponen pembiayaan baru pada struktur BPP. Selama
transisi energi, pemilihan sumber energi primer dan teknologi harus berpihak pada
kesederhanaan struktur pembiayaan dan pembiayaan minimal (least cost).
3. Penarifan
Dengan BPP yang telah memperhitungkan bauran energi selama transisi energi,
margin sebaiknya ditingkatkan sampai minimal sepuluh persen agar operator dapat
mengembangkan diri. BPP dan Margin (Revenue Requirement) tersebut dipakai
sebagai dasar penetapan tarif tenaga listrik. Struktur/penggolongan tarif

67
dimungkinkan berubah selama transisi energi, perubahan diarahkan pada struktur tarif
yang sederhana dan adil dalam penerapannya.
4. Tariff Adjusment
Faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan (uncontrollable factors) akan selalu
terjadi selama transisi energi, hal ini berpotensi timbulnya Non Allowable Costs
(NAC). Tariff Adjustment yang menampung Allowable Cost untuk di-pass through ke
pelanggan harus diterapkan selama transisi energi untuk menjaga kesehatan finansial
operator, dan pada gilirannya operator memiliki kemampuan berinvestasi. Proses
transisi energi yang melibatkan berbagai sumber energi primer dan teknologi
memungkinkan timbulnya uncontrollable factor baru. Dibutuhkan pihak ketiga
sebagai penengah antara operator dan regulator
5. Subsidi
Prediksi BPP dari tahun ke tahun seperti tertera di Tabel …belum tentu selaras dengan
prediksi kemampuan bayar pelanggan atau Pendapatan per kapita. Kebijakan subsidi
harus berpihak pada penerima subsidi yang memiliki kemampuan bayar lebih rendah
dari tarif yang berlaku. Bila subsidi tetap harus diberikan selama transisi energi,
penyaluran subsidi harus mempertimbangkan basic needs dan stimulan agar supaya
masyarakat dapat melakukan kegiatan perekonomian. Selain itu, subsidi harus adil
dan tepat sasaran.
6. Kompensasi
Prediksi BPP dari tahun ke tahun seperti tertera di Tabel … belum tentu selaras
dengan kemampuan bayar biaya listrik (struktur biaya produksi) perusahaan.
Kompensasi tersebut harus berhenti agar perusahaan efisien (sampai berakhirnya
transisi energi). Bila kompensasi tetap harus diberikan selama penyaluran
kompensasi harus mempertimbangkan daya saing industri di tingkat global (minimal
ASEAN).

68
BAB VII
KESIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA
7.1 Pendahuluan
Seiring dengan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menjalankan komitmen net
zero emission (NZE) pada tahun 2060, maka semua pihak mulai bergerak sesuai roadmap
sektor energi yang telah disampaikan pada pertemuan tingkat menteri G20 di Bali, September
2022. Dalam roadmap tersebut tercantum salah satu strategi pencapaian NZE 2060 melalui
transisi energi, khususnya energi listrik, yang mengarah pada semakin besar proporsi sumber
energi baru dan terbarukan (EBT). Disisi lain, sumber energi berbasis fossil fuel tidak akan
dibangun lagi mulai 2030 dan bahkan PLTU akan dikurangi secara bertahap sesuai dengan
life cycle pembangkit.
Sektor energi menggerakkan ekonomi dan sosial masyarakat yang besar. Dengan GDP
Rp 62 juta per kapita pada tahun 2021, hampir 41% adalah dari kegiatan dibidang industri,
minyak dan gas yang berkorelasi erat dengan sektor energi. Dengan adanya transisi energi
tentunya akan memberi dampak signifikan terhadap ekonomi dan sosial masyarakat.
Saat ini kegiatan di sektor energi masih didominasi oleh teknologi konvensional
utamanya disisi pembangkitan. Dengan mulai bergeraknya transisi energi yang mengarah
pada EBT maka teknologi yang diterapkan akan semakin masif dan kompleks. Lebih jauh
lagi, masukknya pembangkit EBT yang mempunyai karaktristik intermiten mengharuskan
sistem kelistrikan yang harus mengedepankan keandalan, efisiensi, ketahanan, dan
keberlanjutan.
Dalam rangka mendukung proses transisi energi maka diperlukan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dibidang energi yang akan didominasi oleh teknologi EBT dan
pendukungnya. Oleh kerena itu perlu disiapkan sumber daya manusia yang memadai pada
semua lapisan mulai dari pengguna, penyedia, pengembang, dan regulator. Pada bagian ini
akan disampaikan pemikiran-pemikiran terkait penyiapan sumber daya manusia pada sektor
energi utamanya bidang ketenagalistrikan.
7.2 Teknologi Pendukung Transisi Energi
Pergeseran teknologi mengikuti kebutuhan pembangkitan energi yang lebih bersih dan
berkelanjutan. Sesuai dengan roadmap NZE Indonesia pada bidang energi, kebutuhan energi
listrik mencapai 400 TWh pada 2030 dan 1400 TWh pada 2060. Untuk memenuhi kebutuhan
energi tersebut diproyeksikan lebih 80% akan disuplai oleh pembangkitan yang lebih rendah
emisi dengan kapasitas lebih dari 700 GW, termasuk sistem penyimpan energi dalam bentuk
baterei dan hidrogen.

69
Teknologi pembangkitan dan penyimpanan energi listrik serta proyeksi kapasitas yang
akan diterapkan pada transisi energi dapat dilihat pada Tabel 1. Diantaranya merupakan
teknologi yang belum pernah diterapkan di Indonesia dlam skala komersial, misalnya PLTN,
PLTU dengan CCUS, penyimpan baterei dan hidrogen.

Tabel 1. Proporssi pembangkit tenaga listrik sesuai Roadmap NZE Indonesia.

Related
No. Generation/Storage 2030 2040 2050 2060
Technology
1 Coal 45 34.4 8.8 0
2 Natural Gas 24 16.8 7.2 1.6
3 Oil 9.6 4.2 2.7 2.4
4 Hydro 13.6 39.2 54.4 68.8
5 Bioenergy 2.8 9.6 20.8 25.6
6 Geothermal 8.8 15.2 19.2 19.2
7 Wind 3.6 38.4 88 128
8 Solar PV 22.4 126.4 300 352
9 Fossil Fuel + CCUS 0 1.6 5.6 9.6
10 Nuclear 0 1.9 6.4 7.2
11 Hydrogen 0 1.6 13.6 11.2
12 Battery 0 36.0 72.0 88.0

7.3 Kondisi Saat Ini dan Kebutuhan SDM Bidang Energi


Pada tahun 2019, tercatat hanya 1,3 juta tenaga kerja di Indonesia yang bekerja pada bidang
energi yang mencakup produksi, pembangkitan, dan end-user. Dari jumlah tenaga kerja
tersebut, 10% merupakan tenaga dengan keterampilan tinggi dan 70% dengan keterampilan
menengah. Selebihnya adalah tenaga kerja dengan keterampilan rendah. Dengan
diterapkannya teknologi baru terkait EBT dan teknologi pendukungnya, maka proporsi
tenaga dengan keterampilan tinggi harus dinaikkan.

Dilansir dari Bappenas 08/2022, kebutuhan tenaga kerja yang terkait langsung dengan EBT
pada tahun 2030 mencapai 1,8 juta orang. Disisi lain, lembaga pendidikan yang
menghasilkan tenaga berkompetensi EBT sangat terbatas. Data yang diperoleh dari beberapa
website sekolah menunjukkan jumlah SMA/SMK yang mempunyai kompetensi bidang EBT
70
sangat sedikit. Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, perguruan tinggi yang menawarkan
program studi (prodi) dengan nama unik dibidang EBT juga masih sangat terbatas. Sesuai
dengan yang tercatat di pangkalan data perguruan tinggi, saat ini jumlah mahasiswa yang
menempuh studi pada prodi dengan nama unik EBT mempunyai tidak lebih dari 800
mahasiswa. Angka ini sangatlah kecil dibandingkan dengan jumlah keseluruhan mahasiswa
di Indonesia, yakni 6,3 juta mahasiswa. Namun demikian terdapat fakta yang memberikan
tren positif dimana prodi menawarkan materi terkait EBT dan ketenagalistrikan terkait
dengan transisi energi pada beberapa mata kuliah, meskipun prodi tersebut bukan unik pada
EBT.

Tenaga kerja yang berkompeten tidak terlepas dari peran lembaga sertifikasi profesi dan
kopetensi. Saat ini terdapat 31 Lembaga Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik
Ketenagalistrikan bidang Pembangkit, Transmisi, Distribusi, Pemanfaatan. Selain itu terdapat
6 Lembaga Sertifikasi Profesi dibidang Konversi Energi bidang audit & manajemen energi.
Tentunya kompetensi yang disertifikasi masih terbatas pada penerapan teknologi
konvensional ketenagalistrikan.

Dibelahan dunia lain juga terjadi hal yang sama terkait sumber daya manusia yang dikaitkan
dengan isu transisi energi. Dilansir dari berita CBS News, beberapa lembaga pendidikan telah
mewajibkan materi tentang kendaraan listrik pada pelajarannya. Hal ini juga didorong oleh
proyeksi yang dikeluarkan oleh IRENA dimana akan dibutuhkan lebih dari 38 juta tenaga
kerja berketerapilan bidang EBT pada tahun 2030.

7.4 Strategi Penyiapan Sumber Daya Manusia


Pada bagian sebelumnya telah dibahas bagaimana transisi energi memerlukan penerapan
teknologi baru yang lebih kompleks dan bervariasi jenisnya. Kesiapan sumber daya
merupakan bagian yang penting agar proses transisi energi dapat mencapai target-target yang
telah dijabarkan dalam roadmap NZE. Lebih penting daripada hal tersebut, sumber daya
manusia yang baik akan membuat Indonesia bukan hanya sebagai pemakai teknologi, tetapi
mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghasilkan dan mengembangkan produk, dan pada
akhirnya menuju kemandirian teknologi.
Beberapa hal terkait strategi penyiapan sumber daya manusia dalam kerangka transisi energi
dapat dijabarkan sebagai berikut:
 Jenis teknologi yang akan diterapkan pada sistem ketenagalistrikan masa depan
menjadi dasar bagi Lembaga Pendidikan dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi dalam

71
reformulasi kompetensi yang lebih spesifik dan penyusunan kurikulum. Keterlibatan
Asosiasi Profesi & Pendidikan, organisasi kemasyarakatan bidang energi dapat
membantu pengembangan kurikulum Lembaga Pendidikan & Lembaga Sertifikasi.
 Kapasitas Lembaga Pendidikan dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi sebagai
pencetak tenaga kerja selaras dengan proyeksi kebutuhan pada tiap tahapan transisi
energi. Dua cara dapat dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan lulusan yang
mempuyai kompetensi spesifik yakni (1) dengan mendirikan sekolah/prodi baru
dengan kompetens unik EBT dan (2) menambah porsi materi terkait EBT pada
sekolah prodi yang menawarkan bidang keterampilan/keahlian ketenagalistrikan.
 Pembangkit tenaga listrik berbasis EBT sangat spesifik secara lokasi yang ditentukan
oleh potensi sesuai kondisi geografisnya. Oleh karena itu pengembangan Lembaga
Pendidikan dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi juga disesuaikan dengan sebaran
potensi sumber energi setempat. Tujuan yang ingin dicapai adalah pemakaian fasilitas
ketenagalistrikan sebagai living laboratory bagi siswa/pelajar/mahasiswa selama
proses pendidikannya. Hal ini juga memberikan efisiensi lembaga pendidikan dalam
hal investasi pada fasilitas belajar terutama laboratorium dan penunjangnya.
 Kerjasama antara Lembaga Pendidikan/Sertifikasi dan DUDI untuk mempercepat
tercapainya kompetensi sumber daya manusia. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa
industri justru menjadi tempat penerapan teknologi-teknologi terbaru. DUDI harus
memberikan kesempatan pada lembaga pendidikan untuk menggunakan fasilitasnya
untuk program magang dan sejenisnya.
 Pendirian pusat penelitian, unggulan dan inovasi di perguruan tinggi sebagai fasilitas
penelitian ilmu pengetahuan, pengembangan dan inovasi teknologi dibidang EBT dan
ketenagalistrikan dijadikan program utama di perguruan tinggi. Tentunya hal ini juga
harus didukung oleh pemerintah dalam hal penyediaan hibah penelitian. Semakin
banyak fasilitas dan pendanan yang besar, jumlah peneliti juga akan semakin banyak.

72
BAB VIII
DUKUNGAN REGULASI MENUJU TRANSISI ENERGI

Transisi energi bukanlah proses yang mudah. Peralihan dari energi berbasis fosil ke
energi terbarukan melibatkan perubahan sistematis dalam infrastruktur energi, praktik
industri, kesiapan sumber daya manusia, kebijakan pemerintah dan regulasi. Regulasi yang
tepat sangat penting memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa transisi energi berjalan
dengan baik.

8.2 Regulasi Eksisting

Dalam hal mendukung aksi ketahanan iklim, salah satunya dengan mengurangi emisi
gas karbon, komitmen Indonesia telah ditunjukkan bahkan sebelum bergabung ke dalam
deklarasi bersama Indonesia Just Energy Transition Plan (JETP). Usaha bauran Energi Baru
dan Terbarukan (EBT) ke dalam energi primer telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (Selanjutnya disebut PP KEN),
yang mengatur hal-hal sebagai berikut:

1. Pada tahun 2025 peran EBT paling sedikit 23%, dan pada tahun 2050 paling sedikit 31%.
2. Pada tahun 2025 minyak bumi kurang dari 25% dan pada tahun 2050 menjadi kurang dari
20%
3. Pada tahun 2025 batu bara minimal 30% dan pada tahun 200 minimal 25%; dan
4. Pada tahun 2025 gas bumi minimal 22%, dan tahun 2050 minimal 24%.

EBT telah ditargetkan minimal sebesar 23% dari keseluruhan energi primer pada
tahun 2025 dan minimal 31% pada tahun 2050. Penjabaran dari target tersebut diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN),
dengan rencana pemodelan pasokan energi primer dari EBT sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Pemodelan Pasokan Energi Primer - EBT Tahun 2015 - 2050

73
(Sumber: ….)

Berdasarkan Tabel xx, listrik menjadi kebutuhan terbesar dari alokasi sumber EBT.
Listrik memiliki alokasi sebesar 69,2 MTOE pada tahun 2025 dengan target energi yang
dihasilkan dari sumber EBT sebesar 92,2 MTOE. Hingga pada tahun 2050, listrik mengalami
peningkatan alokasi menjadi 236,3 MTOE dari dari target energi dari sumber EBT sebesar
315,7 MTOE.3

Melihat bahwa listrik menjadi kebutuhan utama dari energi (terutama yang bersumber
dari EBT), maka kebijakan yang dapat memastikan pasokan listrik dari sumber EBT agar
terjamin dan sesuai dengan target menjadi sangat penting. Hal inilah yang mendasari bauran
EBT sebagai sumber energi pembangkit listrik telah diatur dalam Rencana Usaha Pembangkit
Tenaga Listrik (RUPTL) PLN, yang terakhir kali diatur adalah RUPTL 2021-2030 melalui
Keputusan Menteri ESDM Nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tentang Pengesahan Rencana
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2021 sampai
dengan Tahun 2030. RUPTL 2021-2030 telah mengatur bahwa Pembangkit Listrik bersumber
dari EBT ditargetkan sebesar 20.923 MW dari total 40.575 MW atau sekitar 51,6%.

Kemudian pada tahun 2022, sebagai upaya untuk mempercepat proses transisi energi
serta melaksanakan komitmen Indonesia pada Indonesia Just Energy Transition Plan (JETP)
pada forum G20, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun
2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik,
yang mengatur hal-hal sebagai berikut:

3 RUEN, 61

74
1. Pengakhiran masa operasional PLTU dengan persyaratan tertentu, yang masih
memerlukan Roadmap Percepatan pengakhiran masa operasional PLTU.
2. Bahwa pembelian tenaga listrik yang dilakukan oleh PT PLN harus mengutamakan
pemanfaatan sumber energi terbarukan, yang terdiri dari: PLTP, PLTA, PLTS
Fotovoltaik; PLTB, PLTBm, PLTBg, PLT Energi Laut, dan PLT BBN.
3. Penetapan Harga Pembelian Tenaga Listrik berupa Harga Patokan Tertinggi yang
telah diatur dalam Lampiran I Perpres 112/2022 Pasal 5 ayat (1) atau harga
kesepakatan, yang keduanya dengan atau tanpa memperhitungkan faktor lokasi (F).
4. Harga batas atas yang telah ditetapkan dalam Lampiran I Perpres a quo menjadi
patokan batas atas dalam negosiasi harga tanpa adanya eskalasi dan dapat langsung
berlaku sebagai persetujuan harga dari Menteri. Namun dalam kasus pembelian
tenaga listrik dari PLTP, negosiasi dengan batas atas berdasarkan harga patokan
tertinggi berlaku sebagai harga dasar dan berlaku ketentuan eskalasi selama jangka
waktu PJBL atau PJBU. Sedangkan untuk harga berdasarkan harga kesepakatan wajib
mendapatkan persetujuan harga dari Menteri. Pembelian tenaga listrik berdasarkan
harga patokan tertinggi maupun harga negosiasi hanya dapat dilakukan terhadap
pembangkit listrik tertentu yang telah diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Perpres
112/2022 untuk pembangkit tenaga listrik yang disediakan oleh Badan Usaha, dan
dalam pasal 12 ayat (1) dan (2) Perpres 112/2022 untuk pembangkit tenaga listrik
yang disediakan oleh Pemerintah atau Pemda.
5. Harga fasilitas jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak
paling tinggi 30% dari harga pembelian tenaga listrik, dan apabila pada hal tertentu
lebih dari 30% wajib mendapatkan persetujuan Menteri sesuai Perpres 112/2022 Pasal
8 ayat (1) dan (3)
6. Pembelian tenaga listrik dari Badan Usaha dapat melalui penunjukkan langsung
ataupun pemilihan langsung, dengan persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 14 –
Pasal 19 Perpres 112/2022. Sedangkan untuk pembelian tenaga listrik dari Pemerintah
atau Pemda dilakukan dengan penugasan dari Menteri kepada PT PLN.
7. Dukungan insentif fiskal dan nonfiskal kepada Badan Usaha yang mengembangkan
pembangkit tenaga listrik bersumber energi terbarukan sesuai Pasal 22 Perpres
112/2022.
8. Pemberian Kompensasi kepada PT PLN apabila terjadi peningkatan biaya pokok
pembangkit tenaga listrik PT PLN sesuai Pasal 24 Perpres 112/2022.

75
Atas upaya untuk melaksanakan transisi energi yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia tersebut, Indonesia perlu mengadopsi just transition dalam kebijakan transisi
energi.

8.3 Permasalahan saat ini

Saat ini, kebijakan transisi energi di Indonesia masih belum melindungi dampak
langsung dari transisi energi. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Presiden No. 112 tahun
2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik
(Perpres 112/2022). Pada Ayat 1 Pasal 3 Perpres 112/2022, dijelaskan bahwa transisi energi
sektor ketenagalistrikan akan dilakukan dengan percepatan pengakhiran masa operasional
PLTU dengan dokumen perencanaan sektoral. Namun pada pasal-pasal lainnya, masih belum
dijelaskan bagaimana pemerintah akan mengatasi dampak langsung dari pengakhiran masa
operasional PLTU yang ada. Maka dari itu, just transition perlu diadopsi oleh pemerintah
dalam strategi transisi energi tersebut.

Selain itu, hingga kini masih belum terdapat konsensus mengenai konsep Just
transition. Masih terdapat perbedaan konsep yang dianut oleh beberapa organisasi-organisasi
internasional, seperti dicontohkan pada tabel berikut:

Tabel 1. Perbandingan Definisi Just Transition

Institusi Konsep Just transition Cakupan

Stanley Mengatasi tiga tantangan yaitu pengangguran, degradasi pengangguran,


Foundation lingkungan, dan ketidaksetaraan. degradasi
lingkungan, dan
ketidaksetaraan.

ILO Menghijaukan ekonomi dengan cara yang seadil dan Ketenagakerjaan


seinklusif mungkin bagi semua orang yang
berkepentingan, menciptakan peluang kerja yang layak
dan tidak meninggalkan siapa pun.

European Memastikan bahwa manfaat dari transisi ekonomi hijau Pemerataan dan
Bank for dibagikan secara luas, sementara juga mendukung bantuan atas
Reconstruction mereka yang akan dirugikan secara ekonomi – baik itu kerugian
and negara, wilayah, industri, komunitas, pekerja atau
Development konsumen.

Afrika Selatan Transisi yang adil bertujuan untuk mencapai kehidupan Pemberdayaan

76
Institusi Konsep Just transition Cakupan

yang berkualitas bagi semua orang Afrika Selatan, dalam masyarakat dan
konteks meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi ketahanan
dengan dampak buruk iklim, mendorong ketahanan ekonomi
iklim, dan mencapai emisi gas rumah kaca net-zero pada
tahun 2050, sejalan dengan yang terbaik yang tersedia
sains.
Transisi yang adil berkontribusi pada tujuan pekerjaan
yang layak untuk semua, inklusi sosial, dan
pemberantasan kemiskinan.
Transisi yang adil menempatkan orang di pusat
pengambilan keputusan, terutama mereka yang paling
terkena dampak, orang miskin, wanita, penyandang
disabilitas, dan kaum muda—memberdayakan dan
memperlengkapi mereka untuk peluang baru di masa
depan.
Transisi yang adil membangun ketahanan ekonomi dan
masyarakat melalui sistem energi terbarukan yang
terjangkau, terdesentralisasi, dan dimiliki secara
beragam; konservasi sumber daya alam; pemerataan
akses sumber daya air; lingkungan yang tidak berbahaya
bagi kesehatan dan kesejahteraan seseorang; dan
pemanfaatan lahan yang berkelanjutan, adil, dan inklusif
untuk semua, terutama bagi yang paling rentan.

(Sumber: diolah penulis)

Dari beberapa contoh di atas, dapat ditemukan bahwa cakupan konsep Just transition
masih berbeda-beda. Apabila diteliti lebih lanjut, dapat ditemukan bahwa cakupan-cakupan
tersebut memiliki kesamaan makna, dimana Just transition melindungi dampak langsung dari
energi transisi. Contohnya definisi dari ILO mencakup pada ketenagakerjaan, dimana ILO
melihat bahwa peluang kerja yang layak harus tetap dijaga dengan cara yang inklusif.
Peluang kerja dapat dikatakan sebagai dampak langsung dari transisi energi dimana apabila
industri berbasis karbon akan ditinggalkan, lapangan pekerjaan pada industri tersebut tentu
akan hilang. Maka dari itu, dapat dipahami bahwa Just transition merupakan upaya untuk
melindungi dampak langsung dari transisi energi.

8.4 Regulasi yang dibutuhkan

Berdasarkan penjelasan dalam Subbab xx dan xx, dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa faktor untuk menentukan transisi energi bersifat adil. Yakni dengan memastikan

77
bahwa komunitas yang terdampak secara langsung dapat terlindungi sembari mencapai
lingkungan bersih dengan cara transisi energi. Analisa rekomendasi untuk Indonesia agar
tercapai just transition dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 5. Analisa Rekomendasi untuk Indonesia untuk Mencapai Just Transition

No Prinsip Just Transition Rekomendasi Untuk Indonesia

1 Menjaga lapangan kerja Perlu adanya perlindungan hukum terhadap pengusahaan


dari industri yang PLTU (termasuk, pengusaha, pekerja, dan stakeholder lain)
terancam hilang ketika dalam usaha pengakhiran PLTU. Dalam Perpres 112/2022,
adanya transisi energi pengakhiran PLTU tertentu telah dimandatkan sebagai
tindak lanjut dari JETP Joint Statement yang menyatakan
bahwa Indonesia perlu menghentikan pipa dari PLTU yang
ada (termasuk yang ada di dalam RUPTL), serta menunda
pengembangan PLTU yang baru, belum diatur mengenai
bagaimana proses pengakhiran PLTU secara mendetail
termasuk menjamin bahwa stakeholder yang terlibat dalam
pengusahaan PLTU yang sudah ada tidak mengalami
kerugian, mengingat bahwa PLTU menjadi pembangkit
tenaga listrik yang paling besar di Indonesia.

2 Menjaga aksesibilitas Selain pengusaha dan pekerja, konsumen merupakan salah


terhadap konsumen satu komunitas yang terdampak dengan adanya transisi
akan listrik energi. Dalam RUEN dijelaskan bahwa harga dari energi
yang bersumber dari EBT belum kompetitif karena karena
adanya subsidi untuk BBM dan listrik dan teknologi
pengembangan EBT yang mahal.

Atas hal tersebut perlu adanya mekanisme untuk menjamin


harga energi yang bersumber dari EBT, terutama listrik,
masih dapat dijangkau oleh konsumen. Termasuk pula
dengan pengadaan subsidi bagi masyarakat tidak mampu.

3 Mengedepankan Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia perlu mengajak seluruh

78
No Prinsip Just Transition Rekomendasi Untuk Indonesia

konsensus sosial pihak dalam perencanaan pengembangan EBT, termasuk


Badan Usaha yang mengusahakan tenaga listrik, masyarakat,
serta kelompok masyarakat yang peduli akan isu lingkungan
dan ketahanan iklim.

4 Mencapai tujuan net Mengingat bahwa selain memastikan komunitas yang


zero emission dan terdampak terlindungi, Pemerintah Indonesia juga perlu
transisi dari batubara memastikan bahwa tujuan utama adanya transisi energi
menjadi EBT dapat tercapai, termasuk merencanakan road map transisi
energi, menyelaraskan peraturan perundang-undangan atas
adanya mandat transisi energi serta melakukan pengawasan
terhadap praktik transisi energi.

(Sumber: diolah penulis)

Untuk dapat mengimplementasikan rekomendasi yang telah dirumuskan sebelumnya,


diperlukan legal framework sebagai pedoman pelaksanaan serta untuk menjamin
perlindungan hukum bagi beberapa stakeholder yang ada. Maka dari itu legal framework
yang akan dirumuskan dalam sub-bab ini akan berdasarkan pada rekomendasi yang telah
dirumuskan sebelumnya, sebagai berikut:

8.4.1 Menjamin Perlindungan Hukum bagi Pengusaha Penyedia Tenaga Listrik dan Pekerja
JETP Joint Statement memandatkan salah satunya untuk penghentian operasi PLTU
serta penundaan pengembangan PLTU yang baru. Hal tersebut kemudian diatur dalam
Perpres 112/2022 sebagai berikut:

79
Pasal 3

(1) Dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri menyusun peta jalan
percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen
perencanaan sektoral.
(2) Penyusunan peta jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
badan usaha milik negara.
(3) Peta jalan percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU;
b. strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU; dan
c. keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
(4) Pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk:
a. PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum
berlakunya
b. Peraturan Presiden ini; atau
c. PLTU yang memenuhi persyaratan:
1. Terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai
tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang
memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau
pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35%
(tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak PLTU
beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun
2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/ atau bauran Energi
Terbarukan; dan
3. Beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.
(5) Dalam upaya meningkatkan proporsi Energi Terbarukan dalam bauran energi listrik, PT
PLN (Persero) melakukan percepatan pengakhiran waktu:
a. operasi PLTU milik sendiri; dan/ atau
b. kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL, dengan mempertimbangkan
kondisi penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik.
(6) Dalam hal pelaksanaan percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) memerlukan penggantian energi listrik, dapat digantikan dengan
80
Atas ketentuan pengakhiran PLTU tertentu sebagaimana diatur diatas, diperlukan beberapa
legal framework untuk menjamin jalannya transisi energi yang berkeadilan serta melindungi
pihak yang terdampak. Legal framework yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Roadmap oleh Menteri ESDM sebagaimana dimandatkan pada Pasal 3


ayat (1) Perpres a quo, yang sedikitnya memuat: a) pengurangan emisi gas rumah
kaca PLTU; b) strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU; dan c)
keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya. Selain hal tersebut, Roadmap yang
disusun untuk menjadi pedoman pengakhiran PLTU perlu mengatur tata cara
pengakhiran PLTU yang tidak merugikan bagi pengusaha PLTU. Berdasarkan
keterangan dari Menteri ESDM, menghentikan PLTU tidak akan merugikan
pengusaha karena dilakukan dengan cara membeli PLTU tersebut kemudian
dioperasikan dengan waktu yang lebih cepat.4 Saat ini Roadmap tersebut tengah
dalam masa penggarapan.
2. Menteri ESDM perlu mengeluarkan pengaturan mengenai prosedur penetapan PLTU
yang akan diadakan penghentian untuk menindaklanjuti Pasal 3 ayat (8) diatas bahwa
penghentian PLTU memerlukan penetapan Menteri ESDM setelah adanya persetujuan
dari menteri dalam bidang keuangan negara dan menteri dalam bidang badan usaha
milik negara.
3. Merespon ketentuan Pasal 3 ayat (9) diatas bahwa akan diberikan dukungan fiskal
dalam hal percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU, maka perlu diatur lebih lanjut
mengenai prosedur pemberian dukungan fiskal tersebut. Perlu diatur mengenai:
a. Kepada siapa dukungan fiskal tersebut diberikan, apakah badan usaha atau PT
PLN.
b. Bagaimana prosedur penetapan dukungan fiskal tersebut, termasuk prosedur
permohonan dukungan fiskal hingga produk hukum penetapan dukungan fiskal
terhadap pemohon.
c. Siapa yang berhak menetapkan dukungan fiskal yang akan diberikan kepada
pemohon.
Sebagai benchmark, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16A Perpres 191/2014 jo.
Perpres 69/2021 yang mengamanatkan penugasan penetapan harga jual eceran JBT

4 https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/menteri-esdm-pensiunkan-pltu-tak-akan-rugikan-
pemilik-pembangkit-

81
dan JBKP, maka dibentuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.02/2021
tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban, Dana
Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dan Tarif Tenaga Listrik. Permenkeu a quo
mengatur mengenai:

a. Perhitungan dana kompensasi;


b. Penganggaran dana kompensasi dalam APBN
c. Tata cara pencairan dana kompensasi oleh Badan Usaha
d. Pertanggungjawaban dana kompensasi

Dukungan fiskal yang akan diberikan perlu diatur secara spesifik dalam suatu
peraturan menteri keuangan dengan memuat hal-hal seperti diatas demi menjamin
perlindungan hukum. Permenkeu a quo juga dapat menjadi benchmark dalam
mengatur kompensasi yang akan diberikan kepada PT PLN sesuai dengan Pasal 24
Perpres 112/2022, yang berbunyi:

“Dalam hal pembelian Tenaga Listrik dari pembangkit Tenaga Listrik yang
memanfaatkan sumber Energi Terbarukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) oleh PT PLN (Persero) menyebabkan peningkatan biaya pokok pembangkit
Tenaga Listrik PT PLN (Persero), PT PLN (Persero) harus diberikan kompensasi
atas semua biaya yang telah dikeluarkan dan pembayaran dilaksanakan sesuai
kemampuan keuangan negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

1. Menyelaraskan RUPTL dengan memasukkan PLTU yang akan dihentikan


berdasarkan penetapan Menteri. Mengingat bahwa pada RUPTL tahun 2021-2030,
masih ada rencana pengembangan PLTU baru kecuali untuk PLTU yang sudah
financial closing atau konstruksi, yakni terdapat 6 GW yang belum financial closing,
sedangkan untuk penghentian PLTU baru akan dimulai pada tahun 2030.5
8.4.2 Menjaga Aksesibilitas Konsumen terhadap Listrik
Tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN sebenarnya telah diatur pada Permen
ESDM Nomor 28 tahun 2016, yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Permen
ESDM Nomor 3 Tahun 2020, tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT
Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dalam Permen ESDM a quo ditetapkan tarif tenaga

5 RUPTL 2021-2030, hlm. II-16.

82
listrik berdasarkan konsumen pengguna serta golongannya, yang telah ada pada Lampiran I
Permen ESDm 28/2016. Selain itu terdapat posibilitas adanya tariff adjustment dengan rumus
yang telah diatur pada Lampiran IX Permen ESDM a quo, yang dapat dilaksanakan setiap 3
bulan sekali apabila terjadi perubahan, baik peningkatan maupun penurunan beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi biaya pokok penyediaan tenaga listrik, yaitu: nilai tukar mata uang
Dollar Amerika terhadap Rupiah, ICP, inflasi, dan/atau harga patokan batubara. Penyesuaian
tarif listrik ini kemudian akan dilaksanakan oleh Direksi PT PLN dengan persetujuan
Menteri.

Perpres 112/2022 belum mengatur mengenai penetapan tarif tenaga listrik untuk yang
bersumber dari EBT. Mengingat bahwa terdapat posibilitas harga EBT yang kurang
kompetitif dibandingkan dengan sumber energi lain, maka perlu ada mekanisme khusus
untuk menetapkan tarif listrik yang bersumber dari EBT. Sebagai benchmark, Perpres
104/2017 yang mengatur mengenai konversi minyak tanah menjadi LPG 3 Kg, mengatur
bahwa Menteri ESDM menetapkan harga patokan dan harga jual eceran LPG Tabung 3 Kg
untuk memastikan bahwa harga tersebut masih affordable bagi rumah tangga dan usaha
mikro.

Selain itu dapat juga ditetapkan subsidi terhadap konsumen yang dirasa tidak mampu.
Sebenarnya mandat mengenai subsidi tarif tenaga listrik kepada rumah tangga pada tegangan
rendah telah diamanatkan pada Pasal 4 Permen ESDM 28/2016. Namun mengingat bahwa
dengan adanya transisi energi ke EBT, maka perlu diatur mengenai subsidi untuk tarif listrik
yang bersumber dari EBT.

8.4.3 Mencapai tujuan net zero emission dan transisi dari batubara menjadi EBT
JETP Joint Statement mengamanatkan penghentian operasi PLTU dan penundaan
pengembangan PLTU secara total, termasuk PLTU yang ada dalam RUPTL 2021-2030.
Perpres 112/2022 pun juga mengamanatkan penghentian dan penundaan pengembangan
PLTU baru dengan ketentuan tertentu. Atas hal tersebut, mengingat bahwa PP 79/2014
tentang KEN mengamanatkan bahwa ketentuan bauran energi primer adalah sebagai berikut:
1. Pada tahun 2025 peran EBT paling sedikit 23%, dan pada tahun 2050 paling
sedikit 31%.
2. Pada tahun 2025 minyak bumi kurang dari 25% dan pada tahun 2050 menjadi kurang
dari 20%.
3. Pada tahun 2025 batu bara minimal 30% dan pada tahun 2050 minimal 25%; dan

83
4. Pada tahun 2025 gas bumi minimal 22%, dan tahun 2050 minimal 24%.

Pada ketentuan tersebut peran batubara masih ditetapkan sebesar minimal 30% pada
tahun 2025 dan minimal 25% pada tahun 2050. Selain itu, RUKN 2019-2038 juga masih
mendukung adanya batubara menjadi sumber pembangkit tenaga listrik, yakni sebesar 47%
pada tahun 2025. Dengan adanya komitmen baru bahwa PLTU akan dihentikan, maka harus
ada penyelarasan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada untuk memastikan bahwa
komitmen tersebut tidak bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih JETP
mengamanatkan EBT minimal 34% dari keseluruhan energi pada tahun 2030, maka perlu
diperhatikan apakah ketentuan tersebut akan berdampak pada aturan yang lain, misalnya
minimal batubara dalam bauran energi. Terutama dalam RUPTL 2021-2030 yang telah
menetapkan rencana pengembangan beberapa PLTU, perlu ada penyesuaian merespon dari
ketentuan dari Perpres 112/2022 ini. Untuk hal tersebut, kebutuhan penyesuaian peraturan
perundang-undangan terhadap target JETP secara spesifik adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Kebutuhan penyesuaian peraturan perundang-undangan terhadap target JETP

Target JETP Peraturan Eksisting

Capping power sector emissions by 2030 at an absolute Permen ESDM 16/2022:


value of no more than 290 MT CO2 (down from a 2030 penerapan PTBAE
baseline value of 357 MT CO2)

Accelerating the deployment of renewable energy so that PP 79/2014: Pada tahun 2025
renewable energy comprises at least 34% of all power peran EBT paling sedikit 23%,
generation by 2030. dan pada tahun 2050 paling
sedikit 31%. Perlu ada
penyeseuaian.

Accelerating the early retirement of coal-fired power JETP Investment and Policy Plan
plants as prioritized and identified by the Indonesian belum dibentuk.
Government in the JETP Investment and Policy Plan.

Accelerating the widespread deployment of energy Perpres 112/2022: pengaturan


efficiency and electrification tools, technologies, and percepatan penggunaan EBT
reforms. untuk tenaga listrik

Investing in local technological capacity and knowledge in Belum ada pengaturan.


collaboration with IPG.

Delivering a just energy transition by developing a robust Perpres 112/2022: penyusunan

84
Target JETP Peraturan Eksisting

plan, in consultation with relevant stakeholders. peta jalan sektoral pengakhiran


masa operasional PLTU

Restricting the development of captive coal fired power Perpres 112/2022: ketentuan
plants in accordance with the Perpres 112/ 2022 and pengakhiran masa operasional
collaborating to find and implement potential zero- PLTU
emission and renewable solutions for power generation
facilities outside Jawa-Bali.

Freezing the existing pipeline of planned on-grid coal-fired Perpres 112/2022: ketentuan
power plants included in the current Rencana Usaha pengakhiran masa operasional
Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) for 2021 – 2030, and PLTU
reaffirming a full moratorium on any new on-grid coal
power generation capacity in accordance with Presidential
Decree on Renewable Energy (Perpres 112/ 2022).

Aligning local content requirements with the roadmap for Peraturan Menteri PerIndustrian
domestic renewable manufacturing capability. 54/M-IND/PER/03/2012: TKDN
infrastruktur ketenagalistrikan

Mobilizing sufficient capital to achieve the targets through Belum ada pengaturan.
a combination of instruments.

Mobilizing $20 billion over the next three to five years Belum ada pengaturan.
through the partnership, of which $10 billion will be
mobilized by the IPG members.

(Sumber: diolah penulis)

8.5 Kesimpulan dan Rekomendasi


Dengan adanya Transisi energi yang berkeadilan (just transition), pelaksanaan transisi
energi tidak hanya mendatangkan inovasi industri untuk menciptakan pekerjaan ramah
lingkungan yang berkualitas namun juga mempertimbangkan dampak dari proses transisi
terhadap semua komunitas dan kelompok masyarakat baik secara langsung atau tidak
langsung. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses transisi energi dari energi berbasis karbon
menuju energi hijau seringkali akan menyebabkan dampak negatif bagi beberapa komunitas
rentan. Sehingga, just transition diperlukan untuk menjamin bahwa proses transisi energi
berlangsung secara sehat dan tidak menyebabkan dampak yang berlebihan bagi komunitas
rentan. Berdasarkan tujuan tersebut, maka untuk mendukung transisi energi yang sehat,
terdapat beberapa hal yang harus dilakukan terutama oleh Pemerintah Indonesia yang berupa:

85
a. Mematangkan dan melaksanakan konsep dari JETP bagi seluruh pihak terkait.
b. Menjaga lapangan kerja dari industri yang terancam hilang ketika adanya transisi energi
dengan perlunya perlindungan hukum terhadap pengusahaan PLTU (termasuk,
pengusaha, pekerja, dan stakeholder lain) dalam usaha pengakhiran PLTU.
c. Menjaga aksesibilitas terhadap konsumen akan listrik dengan mekanisme untuk
menjamin harga energi yang bersumber dari EBT, terutama listrik, masih dapat dijangkau
oleh konsumen yang merupakan bagian dari komunitas yang terdampak dengan adanya
transisi energi.
d. Mengedepankan konsensus sosial di mana salah satu upayanya berupa Pemerintah
Indonesia perlu mengajak seluruh pihak dalam perencanaan transisi energi untuk ikut
memperhatikan akan isu lingkungan dan ketahanan iklim.
e. Mencapai tujuan net zero emission dengan kesiapan transisi dari batubara menjadi EBT
memastikan bahwa tujuan utama adanya transisi energi dapat tercapai melalui kesiapan
regulasi dan roadmap.
f. Regulasi yang akan direncanakan harus memiliki kesesuaian dengan target JETP, baik
dari peraturan yang sudah eksisting maupun peraturan yang belum ada.

BAB IX
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

86
1. Pentingnya industri ketenagalistrikan yang sehat menuju NZE
2. Menyimpulkan tentang demand dan supply
3. Menyimpulkan tentang roadmap transisi energi
4. Menyimpulkan tentang kesiapan nuklir untuk mendukung transisi energi
5. Menyimpulkan tentang kesiapan industri ketenagalistrikan dalam mendukung transisi energi
6. Menyimpulkan tentang tata kelola tarif untuk menuju industrik ketenagalistrikan yang sehat
7. Kesiapan sumber daya manusia
8. Kesiapan regulasi

Berikut adalah daftar usulan kesimpulan yang muncul dipertemuan Bandung.

1. Tatakelola industri kelistrikan nasional belum menggambarkan bagaimana industri


kelistrikan nasional yang sehat sehingga untuk menghadapi dinamika global maupun
lokal diperlukan langkah-langkah penguatan dan perbaikan.
2. RUPTL yang menjadi pegangan untuk pembangunan infrastrutkut kelistrikan
nasional, pelaksanaannya belum terintegrasi dengan RUKN.
Perlunya sinkronisasi /integrasi antara perencanaan teknis yang diwujudkan dalam
RUPTL dengan perencanaan RUKN yang merupakan visi presiden
3. Transisi energi yang merupakan dinamika global yang besar memerlukan landasan
hukum yang kokoh untuk dilaksanakan (landasan hukum belum ada)
Implementasi transisi energi memerlukan dukungan peraturan perundangan yang kuat
dan konsisten yang terintegrasi dengan peraturan perundangan terkait
4. Sampai saat ini, percepatan transisi energi belum menggambarkan upaya untuk
mendorong percepatan industri EBT yang kuat. Momen transisi energi harus
mendorong yterciptanya undustri EBT dalam negeri yang kuat. TKDN belum bisa
memenuhi sehingga berpotensi memundurkan time frame transisi energi
5. Mengenai power wheeling. Diperlukan lagi harmonisasi regulasi agar power wheeling
dapat dijalankan. Untuk pemanfaatan power wheeling, berdasarkan pasal xxx perlu
dijabarkan . Penerapan power wheeling mengacu UU XX harus dijelaskan oleh
regulator tentang makna usaha penyediaan ketenaga listrikan yang sehat. Berdasarkan
ketentuan dan eksosistem bisnis kelistrikan saat ini, rencana penerapan power
wheeling saat ini masih perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

87
6. Transisi energi memerlukan akselerasi EBT yang ditopang digitalisasi, Digitalisasi ini
membuka kerawanan baru pada ketahanan energi karena …….(SDM??)
7. Kesimpulan dan rekomendasi nuklir
8. Kesimpulan dan rekomendasi Tatakelola
9. Kesimpulan dan rekomendasi PLN harus sehat untuk mengakomodir percepatan
transisi energi
10. Kesimpulan dan rekomendasi masalah proyeksi demand.
11. Kesimpulan dan rekomendasi tentang komposisi energi primer (masalah retirement
energi primer)
12. Kesimpulan dan rekomendasi terkait tarif
13. Kesimpulan dan rekomendasi SDM. Bahwa transisi energi yang begitu spektakuler
belum tergambarkan kesiapan jurusan untuk menyediakan SDM.
14. Kesimpulan dan rekomendasi terkait ekonomi makro
15. Kesimpulan dan rekomendasi terkait mekanisme pendanaan transisi energi
16. Bahwa percepatan transisi energi Indonesia menjadi pasar bagi negara lain.
Rekomendasi: Agar transisi energi indonesia tidak menjadi pasar bagi negara lain,
perlu penguatan penguatan

88

Anda mungkin juga menyukai