Anda di halaman 1dari 21

IX.

ANALISIS DESAIN

9.1 Beban
9.1.1 Beban yang bekerja pada bendungan urugan
- Berat sendiri tubuh bendungan
- Tekanan air
- Tekanan pori
- Beban gempa

9.1.2 Berat Sendiri


Analisis keamanan bendungan yang dilakukan untuk kondisi akhir konstruksi,
dihitung berdasarkan density material basah (wet density material). Pada
keadaan muka air maksimum dan muka air waduk rendah perhitungan dilakukan
berdasarkan density material basah dan density material jenuh untuk masing-
masing bagian atas dan bagian bawah garis freatis.

G=W xV

dimana : G = Berat tubuh bendungan


W = Berat basah / jenuh air
V = Volume tubuh bendungan

9.1.3 Tekanan air (Hidrostatis)


Tekanan hidrostatis diperhitungkan bekerja tegak lurus pada permukaan tubuh
bendungan.
p = w0 x h

dimana : p = tekanan hidrostatis


w0 = berat satuan air
h = kedalaman air

9.1.4 Tekanan Air Pori


Tekanan air pori diperhitungkan bekerja tegak lurus bidang gelincir. Pada analisis
stabilitas tubuh bendungan, tekanan pori setidak-tidaknya ditinjau pada kondisi
akhir konstruksi, muka air normal dan surut cepat.
9.1.5 Beban Gempa
Beban gempa diperhitungkan sebagai gaya yang bekerja horizontal, sebesaar
berat tubuh bendungannya dikalikan koefisien gempa

Gk = g x k

dimana : Gk = gaya gempa


g = berat tubuh bendungan
k = koefisien gempa
Beban gempa yang harus diperhitungkan dalam analisis stabilitas
bendungan adalah:
1). Gempa dasar operasi (Operating Basis Earthquake / OBE),
2). Gempa desain maksimum (Maximum Design Earthquake / MDE)
atau gempa Maximum Consider Earthquake / MCE bagi
bendungan yang memiliki risiko yang sangat tinggi (sebelumnya
disebut Maximum Credible Earthquake)
3). Gempa imbas waduk (Reservoir Induce Earthquake/ RIE), bagi
bendungan yang direncanakan memiliki tinggi ≥ 100 m atau
tampungan waduknya ≥ 500.000.000 m3 atau bagi bendungan
yang terletak di daerah dengan tingkat kegempaan sedang dan
tinggi, serta dekat dengan sesar akhir.

Bagi bendungan yang memilik tinggi lebih dari 15 m, penempatan gaya


gempa perlu memperhitungkan adanya efek cambuk/pecut dengan
menempatkan titik kerja gaya gempa pada berbagai ketinggian misal
pada 1/3, 2/3 dan 1 kali tinggi bendungan. Tinjauan stabilitas dilakukan
pada berbagai ketinggian bendungan tersebut.

Pengaruh goncangan gempa pada bendungan urugan, antara lain


adalah :

1). Dapat menyebabkan terjadinya kerusakan di dekat puncak


bendungan sejajar dengan as bendungan, dan retakan dapat
berkembang pada arah as sungai sebagai akibat dari penurunan
diferensial. Dalam keadaan terburuk, rembesan dapat berkembang
melalui retakan ini menjadi erosi buluh, yang sering terjadi
mengakibatkan keruntuhan bendungan.
2). Dapat menyebabkan penurunan puncak bendungan karena
tekanan fondasi atau urugan yang berakibat terjadinya penurunan
tinggi jagaan dan dalam keadaan terburuk dapat menyebabkan
limpasan lewat puncak bendungan.
3). Dapat terjadi likuifaksi pada fondasi tanah pasiran yang jenuh air
yang dapat mengakibatkan keruntuhan bendungan.
4). Gaya gempa dapat mengakibatkan terjadinya longsoran pada
permukaan lereng bendungan atau sebagian bendungan terangkat
(heave).
5). Gerakan sesar pada fondasi timbunan dapat menyebabkan
terjadinya geseran yang mengakibatkan keruntuhan bendungan.
6). Goncangan di dasar waduk dapat menyebabkan terjadinya
goyangan air yang apabila besar dengan volume yang besar pula
dapat menjadi gelombang yang dapat mengakibatkan limpasan
lewat puncak bendungan.
7). Longsoran pada tebing-tebing bukit di sekeliling waduk, apabila
cukup besar dapat mengakibatkan limpasan lewat puncak
bendungan.
8). Deformasi kerak bumi di sekeliling waduk yang terkait dengan
gerakan sesar dapat mengakibatkan terangkatnya dasar waduk
sehingga volume waduk berkurang dan kemungkinan
mengakibatkan terjadinya luapan air diatas bendungan.
9). Retak-retak akibat pengaruh getaran yang berbeda-beda
tingkatannya pada material pembentuk bendungan.

9.2 ANALISIS STATIK


Analisis statik stablitas bendungan dilakukan untuk mengetahui stabilitas
bendungan pada berbagai kondisi dan kombinasi beban, dengan cara statik.
Untuk mempermudah hitungan, pada analisis statik beban gempa diperhitungkan
sebagai beban pseudo statik.

Analisis stabilitas dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :


- Cara keseimbangan batas (limit equilibrium method), dengan bidang
gelincir berbentuk: lingkaran (circular slip surface / sliding circle) dan
bentuk baji (wedge)
- Cara elemen hingga (Finite Elemen Method)

Pada cara keseimbangan batas, perlu diperhatikan pola-pola keruntuhan yang


dapat terjadi, yaitu :
- Daya dukung (bearing capacity)
- Keruntuhan internal (internal stability)
- Keruntuhan fondasi (fondation stability)
- Keruntuhan keseluruhan (overall stability)

Untuk fondasi tanah lunak, ke empat pola keruntuhan tersebut dapat terjadi,
sedang untuk fondasi tanah keras atau batuan biasanya hanya terjadi
keruntuhan internal pada timbunan.

Penyebab terjadinya keruntuhan bendungan, antara lain:


- Penurunan muka air waduk yang sangat besar
- Muka air waduk tinggi yang berlangsung lama
- Berkembangnya rembesan abnormal pada tubuh bendungan atau
fondasi
- Berkurangnya kekuatan geser batuan lempung (shales)
- Datangnya musim hujan setelah musim panas yang panjang
(lempung sangat plastis)
- Likuifaksi pada fondasi atau tubuh bendungan
- Luapan air diatas tubuh bendungan, dll.

Gambar 9-1 : Contoh macam-macam pola keruntuhan timbunan


9.2.1. Kondisi pembebanan
Kondisi pembebanan yang harus ditinjau:

a. Kondisi akhir konstruksi


Tinjaun stabilitas dilakukan setelah selesainya timbunan pada kondisi
waduk belum belum diisi. Tekanan pori dapat berkembang di dalam tubuh
karena kompresi akibat beban pemadatan dan berat timbunan sendiri.
Besarnya tekanan pori tergantung pada:
- Kadar air saat pemadatan
- Kondisi beban dan tingkat pemadatan
- Kandungan butiran halus material
- Laju disipasi tekanan pori selama konstruksi

Analisis stabilitas dapat dilakukan dengan tegangan total (total stress )


atau tegangan efektif (effective stress).
Selama masa konstruksi, kadang-kadang perlu dilakukan tinjauan
stabilitas tergantung pada jadwal konstruksi dan hubungan antara
tekanan pori dengan waktu. Contoh bendungan urugan tanah yang
dibangun pada fondasi tanah lunak dimana sejalan dengan kemajuan
timbunan, tekanan pori di dalam fondasi akan berkembang tinggi sehingga
membahayakan stabilitas bendungan.

Tekanan pori selama konstruksi, di estimasi dengan cara berikut:


(1). Cara empiris, tanpa uji konsolidasi:
- Jenis material MH, CH, CL, ML : 60 ~ 80 % berat kolom timbunan
diatas permukaan bidang gelincir.
- Jenis tanah lempung lainnya : 50 %.
- Bendungan tanpa problem pelaksanaan konstruksi : 50 %.

(2). Hilf’s method, diturunkan dari uji konsolidasi:

U= (Pa.ΔV) / (Va+h.Vw-ΔV)
= (Pa.ΔH/H0) / [no{1-(1-h)S0/100}-ΔH/H0] tidak terjadi disipasi

Dimana:
Pa = tekanan atmosfir
V = perubahan volume (%) = ΔH/ H0
H0 = tebal contoh (sample) asli
ΔH = tebal contoh terkonsolidasi
Va = volume udara bebas dalam pori tanah setelah kompaksi (%)
= no(1-S0), dimana S0= kejenuhan setelah kompaksi (%)
no = porositas setelah kompaksi
h = konstanta Henry, volume udara terlarut dalam air
= 0.0198 pada suhu 200 C.
Vw = volume air dalam pori tanah setelah kompaksi (%)=n o.S0.

Bila disipasi diperhitungkan, tekanan pori harus dikoreksi menjadi:


Ud = C.U
U = tekanan pori bila tidak ada disipasi
Ud = tekanan pori bila ada disipasi
C = faktor koreksi = 1-A
A = 0,5 ~ 0,8 pada urugan batu dengan inti di tengah
= 0,3 ~ 0,5 pada urugan tanah homogen tanpa drainasi.

Bila tegangan kapiler diperhitungkan, tekanan pori menjadi:


Ut = U+Uc
Ut = tekanan pori total
Uc = tekanan kapiler
= 2 Ts/r
Ts = tegangan permukaan air =0,0764 g/cm
r = radius of effective meniscus =D50/2
D50 = ukuran butiran tanah dimana sebanyak 50%-nya berukuran
lebih kecil.

Bila urugan jenuh 100%:


ΔV = Va  U = Pa.Va/ h.Vw

b. Kondisi aliran langgeng (steady seepage)


Pada kondisi ini waduk berisi penuh dan tekanan air terjadi di semua zona
urugan dibawah garis freatis. Pada kondisi ini lereng hilir bendungan
menjadi kritis. Tekanan air di dalam tubuh bendungan ditentukan dengan
menggambar jaring aliran (flownet ) rembesan langgeng pada muka air
normal. Analisis stabilitas dilakukan dengan menggunakan tegangan
efektif.

c. Kondisi surut cepat


Tinjauan dilakukan:
- Pada kondisi surut cepat dari elevasi muka air normal turun ke
elevasi muka air minimum; tinjuan dilakukan pada lereng hulu dan
hilir dengan menggunakan tegangan efektif.
- Pada kondisi surut cepat dari elevasi muka air maksimum turun ke
elevasi muka air minimum, dengan beban gempa dianggap = ini
dianggap muka air waduk dalam kondisi

d. Kondisi darurat
Stabilitas bendungan juga harus dianalisis, jika terjadi hal-hal sbb:
- Pembuntuan pada sistim dranasi internal atau pembuntuan
sebagian.
- Penurunan muka air pada kondisi penggunaan air yang berlebihan,
contoh bendungan untuk PLTA beban puncak.
- Penurunan muka air karena pelepasan air saat kondisi darurat.

9.2.2 Faktor keamanan


Faktor keamanan hasil analisis stabilitas lereng, harus memenuhi persyaratan
minimal yang ditetapkan dalam SNI M-03-2002 , sebagaimana tabel 9-1 dibawah.

9.2.3 Kreteria stabilitas pada waktu gempa


Ada dua kreteria, yaitu:
- Kreteria tanpa kerusakan (no damage creterion)
- Kreteria kerusakan ringan (small damage creterion)

a. Kreteria tanpa kerusakan


Kreteria ini berlaku bagi beban gempa OBE, dimana saat terjadi gempa
tersebut bendungan harus tetap stabil tanpa terjadi kerusakan sedikitpun.
b. Kreteria kerusakan ringan
Kreteria ini berlaku bagi beban gempa MDE atau MCE, dimana saat
terjadi gempa tersebut bendungan hanya diizinkan mengalami pergerakan
terbatas dengan alihan atau amblesan maksimal sebesar ½ kali tinggi
jagaan pada kondisi muka air normal.

Tabel 9-1 Persyaratan faktor keamanan minimum untuk stabilitas bendungan


tipe urugan tanah (SNI M – 03 – 2002).
FK FK
Kuat
No Kondisi Tekanan Pori Tanpa dengan
Geser
1 Selesai pembangunan 1. Efektif Peningkatan tek. pori
tergantung : pada timbunan dan Gempa Gempa
pondasi dihitung
1. Jadwal pembangunan
menggunakan dat lab.
2. Hubungan antara dan pengawasan
tek. pori dan waktu instrumen 1.30 1.20
Idem hanya tanpa
Lereng U/S dan D/S 1.40 1.20
pengawasan
Hanya padainstrumen
timbunan

tanpa dat lab. dan


Dengan gempa tanpa kerusakan dengan/tanpa
digunakan 50% koef. Gempa 1.30 1.20
2. Total pengawasan
Tanpa instrumen
instrumen 1.30 1.20
2. desain
Rembesan tanpa tergantung : Dari analisis rembesan

1. Elevasi muka air normal 1. Efektif

2. Elevasi muka air sebelah. 1.50 1.20


FK FK
Kuat
No Kondisi Tekanan Pori Tanpa dengan
Geser
Gempa Gempa
Lereng U/S dan D/S. Dengan
gempa tanpa kerusakan
digunakan 100% koef. Gempa
desain.
3. Pengoperasian waduk 1. Efektif Surut cepat dan El. Muka
tergantung : air normal sampai El.
1.30 1.10
1. Elevasi muka air maksimum di Muka air minimum.
udik Lereng U/S dan D/S
2. Elevasi muka air minimum di Surut cepat dari El. MA
udik (dead storage) maksimum sampai El.
Lereng U/S harus dianalisis untuk MA minimum. Pengaruh 1.30 -
kondisi surut cepat. gempa diambil 0 % dari
koef. Gempa desain
4. Luar biasa tergantung : 1. Efektif Surut cepat dan El. MA
1. Pembuntuan pada sistem maksimum sampai EL.
drainase. Terendah bangunan
2. Surut cepat karena pengeluaran.
1.20 -
penggunaan air melebihi Pengaruh gempa
kebutuhan diabaikan.
3. Surut cepat keperluan gawat
darurat

9.2.4 Analisis stabilitas lereng metoda Swedish


Saat ini telah banyak metoda atau cara untuk analisis stabilitas lereng
bendungan berdasar keseimbangan batas (limit equilibrium method), seperti
metoda: Swedish, Bishop, Spencer, Janbu, Morgenstern dan Price . Perbedaan
diantara metoda-metoda tersebut umumnya terletak pada :
- bentuk bidang longsor/gelincir yaitu: lingkaran, baji atau non sirkular.
- serta sistim gaya yang bekerja.

Dilihat dari sistim gayanya, metoda tersebut dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu:
- Yang mengabaikan gaya horisontal : metoda Swedish
- Yang memperhitungkan gaya horisontal : metoda Bishop, Janbu

Di Indonesia, metode Swedish sudah jarang digunakan untuk analisis stabilitas


lereng bendungan. Namun untuk memahami metode-metode lain, akan lebih
mudah apabila diawali dengan mempelajari metode ini. Selanjutnya pada modul
ini hanya akan dibahas metoda Swedish saja sebagai pengantar untuk
mempelajari metode yang lain. Sebelum membahas lebih jauh metode ini, lebih
dulu perlu dipahami mengenai macam-macam bentuk keruntuhan lereng, yaitu:
- Kelongsoran rotasi (rotational slip srface), permukaan longsoran
berbentuk lingkaran
- Kelongsoran bukan lingkaran (non circular)
- Kelongsoran translasi
- Kelongsoran gabungan

Pada umumnya kelongsoran lingkaran terjadi pada tanah yang homogen, sedang
longsoran bukan lingkaran terjadi pada tanah yang tidak homogen. Kelongsoran
translasi dan kelongsoran gabungan (compound slip) terjadi pada lapisan tanah
yang kekuatan gesernya berbeda, dan lapisan yang berbeda tersebut relatif
dangkal dibawah permukaan lereng, lihat gambar 9-2 .

Metode Swedish adalah merupakan salah satu metoda keseimbangan batas


yang digunakan untuk bentuk kelongsoran rotasi. Pada metode keseimbangan
batas ini, kuat geser tanah diperlukan untuk menjaga kondisi keseimbangan
batas dibandingkan dengan gaya-gaya yang mendorong terjadinya longsoran.

Untuk analisis kuat geser total (total stress analysis), digunakan parameter c dan
Ø (diperoleh dari uji triaksial uu/unconsolidated undrain), faktor keamanan (FK)
terhadap kelongsoran dihitung dengan rumus berikut:

FK = ∑{cl + (N-Ne) tanØ}


∑ (T + Te)

Gambar 9-2 : Macam-macam bentuk kelongsoran lereng

Untuk analisis kuat geser efektif (effective stress analysis), digunakan parameter
c’ dan Ø’ (diperoleh dari uji triaksial cu atau cd), faktor keamanan (FK) terhadap
kelongsoran dihitung dengan rumus berikut:
Faktor keamanan (FK) terhadap kelongsoran dihitung dengan rumus berikut:

FK = ∑(C’l+(N-U-Ne) tanØ’
∑ (T + Te)
Dimana :
FK = faktor keamanan terhadap longsoran
l = panjang bidang irisan di atas bidang lonsoran = b/ cos α
b = lebar irisan(m)
h = tinggi irisan (m)
A = luas irisan = h. b (m)
C’ = kohesi efektif bahan timbunan (ton/m2)
Ø’ = sudut geser efektif
W = berat sendiri timbunan = .A (ton)
N = komponen normal dari berat sendiri timbunan = W cos α (ton)
U = tekanan pori yang bekerja pada permukaan bidang longsoran
Ne = komponen normal gaya gempa horisontal = k W sin α (ton)
T = komponen tangensial dari berat sendiri timbunan = W sin α (ton)
Te = komponen tangensi gaya gempa horisontal = k W cos α (ton)
K = koefisien gempa

Gambar 9-3 : Atas, gaya-gaya yang bekerja pada irisan pada kondisi waduk
kosong
Bawah, gaya-gaya yang bekerja pada irisan pada kondisi waduk
penuh
9.3 ANALISIS DINAMIK

Ada dua macam analisis dinamik yang dilakukan yaitu:


- Analisis likuifaksi
- Analisis deformasi

Analisis likuifaksi: dilakukan untuk mengetahui adanya potensi likuifaksi pada


tubuh bendungan atau endapan fondasi, termasuk besarnya peningkatan
tekanan pori bila tidak terjadi likuifaksi. Analisis dilakukan bila tanah fondasi atau
material tubuh bendungan berupa tanah pasiran. Jenis tanah pasiran yang jenuh
air dengan butirannya relatif seragam dan kepadatan relatif yang rendah,
cenderung mengalami likuifaksi pada saat terjadi goncangan gempa, sehingga
daya dukungnya menurun.

Analisis dinamis stabilitas bendungan dilakukan apabila berdasar hitungan


analisis statis, dengan beban gempa MDE atau MCE diperoleh faktor keamanan
< 1. Analisis dilakukan untuk memperkirakan besarnya deformasi atau alihan
tetap (permanent displacement) tubuh bendungan karena goncangan gempa
MDE atau MCE, termasuk memperkirakan akibat yang terjadi. Bendungan
dianggap aman, apabila memenuhi Kreteria sedikit kerusakan pada sub sub bab
9.2.4 b , dimanan akibat goncangan gempa tersebut, alihan tetap yang terjadi
kurang dari ½ tinggi jagaan.

Analisi dinamis tidak dibahas dalam modul ini, penjelasan lebih rinci dapat dilihat
pada “Pedoman Analisis Dinamik Bendungan Urugan, Ditjen SDA, 31 Januari
2008”.

9.4 Analisis deformasi


Ada dua macam analisis yang dilkukan yaitu:
- Analisis deformasi untuk memperkirakan besarnya penurunan yang
terjadi akibat konsolidasi yang biasa disebut analisis penurunan.
- Analisi deformasi untuk memperkirakan besarnya penurunan atau
alihan tetap akibat goncangan gempa sebagaimana pembahasan pada
sub bab 9.3. diatas.

Perkiraan penurunan dapat dihitung dengan menggunakan rumus empiris seperti


pembahasan pada sub sub bab 8.4.1 d atau menggunakan perhitungan berikut.
Penurunan timbunan tanah total (St), terjadi akibat: penurunan konsolidasi
primer (Sp) ditambah dengan penurunan sekunder (S s).

St = Sp + S s

Penurunan konsolidasi primer (Sp) berdasarkan Terzaghi, adalah :

Cc   1   1 
Sp = H log 
1  C0  
1

dimana :
H = Ketebalan lapisan yang ditinjau (m)
Cc = Indeks kompresi
Co = Angka pori awal
 1 = Tegangan efektif tanah awal (kPa)
 1 = Peningkatan tegangan efektif (kPa)

Setelah konsolidasi primer selesai, baru kemudian berangsur-angsur dalam


waktu yang cukup lama terjadi penurunan sekunder.

Teori konsolidasi Terzaghi, dikembangkan dengan asumsi


- tanah dalam kondisi homogen dan isotropis,
- tanah dalam kondisi jenuh sempurna (fully saturated),
- butiran tanah dan air tidak dapat terkompresikan,
- koefisien konsolidasi tetap selama proses konsolidasi.

Waktu konsolidasi (t), adalah sesuai dengan proses disipasi (berkurangnya)


tekanan air pori berlebihan (excessive pore pressure). Pada awalnya beban
yang bekerja diterima seluruhnya oleh air di dalam pori-pori massa tanah dan
secara bertahap (time dependent) ditransfer pada butiran tanah gambar 9-4.
Tekanan Merata Tekanan Merata

Lapisan Porus
H/2 Arah Aliran
Arah Lapisan
H Aliran Lempung
Arah Aliran
H/2

Lapisan Kedap Air Lapisan Porus

(b)
(a)

Gambar 9-4. Arah aliran disipasi tekanan air pori, (a) satu arah aliran,
(b) dua arah aliran
T
t = (a.H ) 2  
Cv

Keterangan :
t = waktu konsolidasi
a = konstanta aliran; aliran satu arah = 1; aliaran dua arah = 0,5
H = ketebalan lapisan yang ditinjau (m)
cv = koefisien konsolidasi arah vertikal (m2/detik)
t = faktor waktu, sesuai dengan tingkat konsolidasi (U) yang terjadi, sesuai
grafik hubungan Tv dan U, gambar 9-6.

Bagi fondasi tanah lunak yang dilengkapi dengan perforated vertical drain (PVD)
guna percepatan konsolidasi, arah pengaliran disipasi terjadi baik vertikal
maupun horisontal.

 t 
Ss = H. C log 
 td 

dimana:
C = Indeks kompresi sekunder
t = Lama waktu pembebanan
td = waktu dan siklus pembebanan

C dan Cc di peroleh dari pengujian di laboratorium, apabila menggunakan


drainasi vertikal (PVD). Untuk memperoleh nilai tersebut harus dilakukan
pengujian di laboratorium yang kondisinya sama dengan kondisi di lapangan.

Bagi fondasi tanah lunak, penurunan total = besar penurunan timbunan +


penurunan fondasi (primer + sekunder).

Besar penurunan total tersebut harus diantisipasi dengan menambah timbunan


ekstra diatas puncak bendungan. Dengan adanya penurunan yang besar, hal
tersebut harus diantisipasi saat pemasangan instrumen, antara lain memberi
kelonggaran (snaking) pada kabel (tubing) pisometer settlement, deformasi, pipa
inklinometer dengan sambungan (coupling) yang mampu menyesuaikan besar
penurunan yang terjadi.

Gambar 9-5, memperlihatkan tahapan proses konsolidasi primer dan kompresi


sekunder, untuk pengujian konsolidasi dapat dilihat pada SNI 03-2812-1992.
Kompresi awal Kurva teori

Konsolidasi primer
Pembacaan dial (mm

Kompresi
sekunder

Log waktu, t (menit)

Gambar 9-5. Tahapan proses konsolidasi primer dan kompresi sekunder

ct
T   2
d
Gambar 9-6 : Hubungan Tv dan tingkat konsolidasi U

9.5 Analisis rembesan.


Bentuk-bentuk kegagalan akibat pengaruh rembesan air, diantaranya adalah:
gradien keluaran yang berlebihan, tekanan air pori berlebihan, gradien internal
yang tinggi dari zona inti, debit rembesan berlebihan, retak desikasi, drainasi
tidak berfungsi baik atau kapasitasnya tidak mencukupi.

9.5.1 Gradien Keluaran Berlebihan


Jika gradien keluaran (Ie) yang terukur berlebihan, maka butiran tanah di bagian
kaki bendungan akan terapung dan terlepas dari ikatannya. Hal ini terutama
terjadi akibat berkurangnya gaya gravitasi yang tergantung dari jenis tanahnya,
sehingga menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut:

a. Didih pasir (sandboil)


Didih pasir biasanya terjadi di dalam tanah nonkohesif dengan prosentase
butiran kasar (kerikil) yang tinggi, yang butiran halusnya terlepas dan
diendapkan di permukaan. Tanah yang mengalami didih pasir, struktur butiran
kasarnya biasanya tetap stabil, sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan permeabilitas tanah.
b. Likuifaksi statis
Likuifaksi statis biasanya terjadi pada jenis tanah nonkohesif yang
mempunyai gradasi butiran lebih halus (pasir halus dan lanau). Massa tanah
di sebelah hilir dapat mengalami likuifaksi, jika air waduk meningkat karena
gradien hidrauliknya mencapai nilai yang kritis (Ic).
c. Erosi buluh (piping)
Erosi buluh dapat terjadi, baik di dalam massa fondasi, maupun di dalam
tubuh urugan yang kohesif. Proses erosi buluh dimulai dari suatu titik
diskontinuitas di sebelah hilir atau konsentrasi aliran air di sepanjang
timbunan tanah yang kurang padat, terutama pada bidang kontak antara
timbunan dengan struktur. Sebagai contoh : pemadatan yang kurang baik
pada bidang kontak antara bendungan dengan struktur arah memanjang dari
udik ke hilir, lubang bor yang terbuka, bekas galian, akar tanaman, dan liang
binatang. Butir-butir tanah yang terlepas dimulai dari sebelah hilir, sehingga
membentuk pipa-pipa kecil yang merambat secara perlahan-lahan ke udik
bendungan. Pada umumnya, lintasan pipa-pipa kecil tersebut mempunyai
bentuk seperti jaringan aliran (flownet). Untuk mencegah kejadian semacam
ini, harus dibuat suatu sistem pengontrol yang perlu diamati secara kontinyu
di lokasi-lokasi rembesan yang terkonsentrasi.

Faktor keamanan terhadap erosi buluh, biasanya dinyatakan sebagai nilai


banding antara gradien kritis (I c) dengan komponen vertikal dari gradien
keluaran. Gradien ini diperoleh dari perhitungan atau pembacaan langsung
pada instrumen pisometer di lapangan, dan dapat dihitung dengan
persamaan berikut .
Ic
FK  4
Ie

 ' G  1
Ic   s
w 1 e

dimana :
FK : faktor keamanan (tanpa dimensi);
Ic : gradien keluaran kritis (tanpa dimensi);
Ie : gradien keluaran dari hasil analisis rembesan atau pembacaan instrumen
pisometer (tanpa dimensi);
’ : berat isi efektif (terendam) (t/m3);
w : berat isi air (t/m3);
Gs : berat spesifik (tanpa dimensi);
e : angka pori (tanpa dimensi);

Nilai rata-rata Gs biasanya digunakan untuk berbagai perhitungan gradien


keluaran, karena variasi nilainya tidak berbeda jauh untuk jenis tanah yang
berbeda. Namun, nilai e di lapangan untuk berbagai jenis tanah, bervariasi
cukup besar. Oleh karena itu, penaksirannya (jika tidak ada data hasil
pengujian) harus dilakukan secara hati-hati berdasarkan pengalaman dan
pertimbangan teknis yang baik pula.
Jika tidak ada informasi mengenai nilai berat spesifik Gs atau angka pori e,
dapat digunakan Ic = 1 yang kurang lebih identik dengan kondisi pasir kuarsa
di lapangan. Nilai ini bukan nilai konservatif, sehingga harus digunakan
secara hati-hati, karena nilai Ic yang lebih rendah, yaitu sebesar 0,5, pernah
terukur pada beberapa penelitian untuk jenis tanah pasir halus dan lanau.
Faktor keamanan minimum untuk desain harus diambil minimal 4, untuk
mencegah terjadinya keruntuhan, karena pengaruh gradien keluaran yang
berlebihan. Faktor ini, terutama untuk mencegah hal-hal yang tidak
diperhitungkan dalam tahap desain. Misalnya, pengaruh heterogenitas tanah,
kemerosotan mutu tanah akibat aliran rembesan dan penyimpangan hasil
perkiraan. Dalam hal bendungan yang dilengkapi dengan filter pelindung,
angka keamanan paling tidak SF2 dengan menggunakan Rumus Justin,
seperti dibawah :
s g
V=
A w
dimana :
V = kecepatan kritis,
 s = berat isi jenuh material,
 w = berat isi air,
g = gravitasi,
A = Luas penampang yang dilalui air.

9.5.2 Tekanan Air Pori Berlebihan


Apabila di dalam fondasi dan tubuh bendungan terjadi tekanan air pori berlebihan
(exccessive pore water pressure), maka akan dapat terjadi berbagai jenis
kegagalan, antara lain ketidakstabilan, deformasi, dan tekanan angkat yang
berlebihan.
1) Ketidakstabilan lereng timbunan dan deformasi berlebihan
Tekanan air pori dan gaya perembesan air merupakan penyebab utama
ketidakstabilan pada bendungan tipe urugan. Petunjuk untuk analisis stabilitas
lereng bendungan urugan dapat dilihat pada Pedoman Perencanaan Bendungan
dan SNI. No.1731-1989-F.

2) Tekanan air pori di dalam fondasi


Tekanan air pori berlebihan di dalam fondasi bendungan dapat menyebabkan
terjadinya tekanan angkat yang tinggi pada bangunan fasilitasnya.
3) Tekanan air pori yang tinggi di hilir bendungan
Tekanan air pori yang tinggi di hilir fondasi bendungan dapat menimbulkan
tekanan angkat yang tinggi, sehingga terjadi pengangkatan atau peletusan
(upheavel atau blowup). Kondisi ini terjadi, jika terdapat lapisan fondasi lulus air
dibawah lapisan kedap air dalam kondisi aliran terkekang di bawah tubuh
bendungan. Kegagalan mulai terjadi, jika tekanan angkat di bawah lapisan kedap
air melebihi berat lapisan kedap air di atasnya, sehingga menyebabkan bobolnya
lapisan kedap tersebut dan terjadi peningkatan gradien keluaran. Erosi buluh
atau likuifaksi statis dapat terjadi pada lapisan di bawahnya. Kondisi semacam ini
dapat dideteksi secara dini dengan memasang pisometer di hilir bendungan.
Faktor keamanan terhadap pengaruh tekanan angkat yang tinggi, dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut.
n t Gs t
FK    2
 w h (1  e) h
dimana :
n : berat isi material lapisan penutup kedap air (t/m3);
t : tebal lapisan tanah penutup (m);
h : tinggi tekanan pisometrik (m).
e : angka pori ;
Gs : berat spesifik;
w : berat isi air (t/m3).

9.5.3 Gradien Internal yang Tinggi tanpa Filter


Jika zona inti bendungan tidak dilengkapi dengan filter dan mempunyai gradien
internal yang tinggi, maka akan terjadi perpindahan butiran halus dari suatu zona
ke zona lainnya di dalam bendungan tipe urugan, atau dari urugan ke dalam
rongga pori tanah fondasi. Sebagai contoh adalah sebagai berikut :

1) Selimut kedap air atau inti kedap air yang terletak di atas fondasi aluvial
berbutir kasar atau batuan yang mengandung banyak rekahan.
2) Inti kedap air yang dibuat miring dan tipis di atas zona drainase.

3) Melewati puncak dinding halang kedap air dengan penutup yang sempit.
Untuk mencegah kegagalan jenis ini, harus dipasang saringan (filter) sesuai
dengan standar yang berlaku.

9.5.4 Debit Rembesan Berlebihan


Meskipun debit rembesan yang keluar dari kaki bendungan cukup besar, tetapi
apabila tidak membawa material halus, hal tersebut tidak akan memicu terjadinya
keruntuhan structural. Namun, apabila hal tersebut dibiarkan, akan dapat
menimbulkan kehilangan air yang cukup besar, yang akan mengganggu
kebutuhan air.

9.5.5 Retak Desikasi


Retak desikasi terjadi akibat berkurangnya kadar air di dalam zona inti kedap air,
jauh di bawah kadar air pelaksanaan. Hal ini dapat terjadi, karena:
1). Penguapan yang terjadi di permukaan urugan.
2). Pematusan zona inti melalui sistem drainase bendungan
3). Pematusan zona inti melalui fondasi yang porus
Retak desikasi biasanya terjadi pada kondisi, dimana kadar air nilainya diantara
batas plastis dan batas susut, atau jika kadar air turun di bawah batas plastis,
sehingga kuat geser tanah juga menurun. Kekeringan yang terjadi pada
kedalaman yang signifikan memerlukan waktu yang lama dan biasanya terjadi
selama periode penurunan muka air waduk yang lama, sehingga kadar air
urugan di atas muka air waduk sangat berkurang. Hal ini, disamping
menimbulkan penurunan kadar air dalam inti yang menyebabkan retakan susut
dan bocoran yang serius, juga dapat menyebabkan terjadinya erosi, yang
akhirnya mengakibatkan kegagalan / keruntuhan, terutama pada bendungan
yang tinggi.
Jika zona inti bendungan tidak dilengkapi dengan filter dan mempunyai gradien
internal yang tinggi, maka akan terjadi perpindahan butiran halus dari zona
timbunan inti ke zona timbunan batu.

9.5.6 Pengendalian rembesan


Contoh berbagai macam cara pengendalian rembesan pada bendungan urugan
dapat dilihat pada gambar 7-3. Salah satu cara pengendalian rembesan yang
sering digunakan adalah dengan pemasangan sistem drainase cerobong atau
“chimney” dan drainase horisontal. Sistem drainase harus dilengkapi filter untuk
mencegah perpindahan material dari zona material berbutir lebih halus masuk
kezona material berbutir lebih kasar. Agar sistem drainasi berfungsi baik,
material drainase dan filter harus bersih, gradasinya memenuhi kreteria desain
filter, dan kapasitas drainase harus cukup untuk mengalirkan debit rembesan.

Kapasitas drainase dapat diperkirakan dengan rumus Cedergren 1972 sebagai


berikut:
a. Kapasitas drainasi horisontal (q1):

q1 = kh2/2 L

dimana :
k = permeabilitas dari material drain,
L = panjang drain,
h = tebal vertikal drainase horisontal
q = debit rembesan per meter lebar drain( diukur melintang sungai).

b. Kapasitas drainase vertikal (q2):


Kapasitas drainase vertikal harus diperiksa dengan rumus dibawah.
k 2 h2 w
q2 =
L2
Dimana :
k2 : permeabilitas vertikal drain pada tinggi h2 ,
L2 : panjang horisontal drain, seperti pada gambar 9-7
w : lebar drainase

(a) (b)
Drainase vertikal Drainase horisontal

pematusan rembesan

Urugan tanah
Permukaan air drainase vertikal

Muka freatik
Urugan batu
rembesan
drainse horisontal

Gambar 9-8,

Bendungan homogen dengan sistem drainase buntu (clogging

kapasitasnya tidak cukup

Gambar 9-7, Desain dimensi sistem drainase terkait dengan kebutuhan kapasitas

Prinsip Perencanaan Bendungan Urugan 21

Anda mungkin juga menyukai