Anda di halaman 1dari 6

Studi Fenomenologi:

Ekssistensi fenomena Quarter-life Crisis pada Mahasiswa


Aqidah dan Filsafat Islam

UIN Walisongo Semarang

Pendahuluan
Memiliki masa depan cemerlang serta meniti karier sesuai dengan passion
merupakan sebuah keniscayaan tiap individu yang tengah mengenyam pendidikan di
perguruan tinggi. Terlebih dengan kemajuan teknologi serta arus informasi yang dapat
dikatakan hampir tak terbatas dan juga dapat diakses dengan mudah hanya dalam
hitungan detik menjadikan arus globalisasi kian tak terbendung. Perubahan perspektif,
nilai hidup serta aspek lainnya menjadi diseragamkan dengan alih-alih standarisasi
kemampuan tiap-tiap individu. Tak heran jika mengenyam pendidikan pada suatu
perguruan tinggi menjadi sebuah penilaian tersendiri atas kelayakan seorang individu di
mata masyarakat. Berdasarkan jurnal penelitiannya terkait pendidikan tinggi menjadi
sebuah paradigma baru, Taufiq (2018) memaparkan bahwa memiliki kesempatan untuk
melanjutkan pembelajaran di perguruan tinggi merupakan sebuah previlige tersendiri,
sebab tidak banyak orang dapat menikmati experience sebagai pembelajar di bangku
perkuliahan. Walaupun studi pada perguruan tinggi tidak menjadi faktor utama sebagai
penentu masa depan bagi para akademisinya, tanpa terkecuali mahasiswa-mahasiwa
pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang terkhusus prodi
Aqidah dan Filsafat Islam. Mahasiwa yang notabene masih tergolong adolescensce
(remaja) menuju young adulthood (dewasa), nyatanya memiliki tantangan tersendiri
untuk mampu struggling demi melepaskan diri dari krisis identitas pada saat akhir masa
remaja (18 tahun) serta menyelamatkan diri dari alienasi oleh beragam faktor yang
terjadi didalam kehidupannya ketika tengah berada pada usia 18-35 tahun atau semasa
pendewasaan diri (Erikson, 1968). Ketika seorang individu semasa transisi remaja
menuju dewasa tidak mampu melewati problematika didalam kehidupannya dengan
sebagaimana mestinya, baik dari segi akademik, perencaan terhadap masa depan,
relationship, hingga tugas serta tanggung jawab sebagai individu yang telah
bertransformasi menjadi dewasa. Seorang individu tersebut tengah berada pada fase
kritis dimana mereka memberikan beragam respon atas perubahan didalam dirinya yang
terjadi begitu cepat, baik perubahan fisiologis maupun psikis. Dengan banyaknya
pilihan-pilihan dalam melangsungkan kehidupannya, beragam kemungkinan yang
belum tentu hasilnya, serta rasa ketidakpercayaan terhadap dirinya, hingga rasa tidak
berdaya (self helpness) memperparah masa krisisnya. Respon-respon terkait menyikapi
masa transisi inilah disebut dengan quarterlife crisis (Robbins dan Wilner, 2001; Olsen
Madsen, 2007, dalam Black, 2010).

Fenomena quarterlife crisis ini lebih sering ditemukan pada sarjana maupun
calon sarjana yang tengah menyelesaikan pendidikannya. Black Allison (2010) didalam
penelitiannya menyebutkan bahwa beberapa pengalaman respondennya,
mengidentifikasi adanya stressing yang biasa terjadi pada mahasiswa dalam beragam
bentuk emosionalnya sepertihalnya gelisah, frustasi, cemas, bimbang dan respon-respon
ketidakstabilan lainnya pada area psikisnya. Nash dan Murray (2010) menambahkan
bahwa pada kenyataannya tidak sedikit pula seorang individu ketika memasuki fase-fase
quarterlife crisis atau usia 20an ini hampir tidak mengalami goncangan psikis yang
berarti, hingga berimplikasi pada negatifitas didalam diri dan kehidupannya. Malahan
mereka yang termasuk dalam kelompok ini menganggap fase peralihan remaja menuju
dewasa seperti ini seharusnya disikapi dengan perasaan antusias. Sehingga bagi
kelompok ini beranggapan bahwa dalam masa transisi ini adalah fase krusial atau
dengan kata lain penentu masa depan yang kongruen dengan konsep serta pandangan
hidup yang mereka miliki.

Beragam respon yang terjadi dimasa quarterlife crisis tentunya membuat banyak
individu yang tengah berada pada fase dewasa, termasuk mahasiswa turut
mengalaminya. Namun apa sebenarnya makna dibalik fenomena quarterlife crisis bagi
mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam yang dimungkinkan tidak sedikit dari mereka juga
merasakan fase krisis ini dalam etape kehidupannya. Mengingat edukasi maupun
pengetahuan terkait fenomena psikososial seperti quarterlife crisis ini tidak begitu
masif. Merujuk pada fenomena diatas, maka penulis mencoba untuk mengkaji tentang
“Eksistensi Fenomena Quarterlife Crisis dikalangan Mahasiwa Prodi Aqidah dan
Filsafat Islam UIN Walisongo Semarang.

Tinjauan Pustaka

Emerging Adulthood

Istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Arnett (2001) untuk menjelaskan
dinamika psikis manusia dari etape-etape kehidupannya, dimana ketika seorang individu
berada di rentang usia 18 hingga 29 tahun, mereka tengah berada pada masa peralihan
adolescence atau disebut juga masa remaja menuju masa dewasa awal (young
adulthood). Pada fase Emerging adulthood, akan muncul beragam respon perasaan
seorang individu yang menuju masa kedewasaan ditandai dengan membuat berbagai
perencanaan terkait masa depan, sehingga memiliki antusiasme tinggi pada tugas-tugas
sebagai seorang individu dewasa. Miller (2011) menambahkan bahwa untuk dapat
dikatakan sebagai pribadi dewasa, hendaknya seorang individu mempersiapkan dirinya
untuk mengemban tugas-tugas selayaknya individu dewasa. Dikatakan kompatibel
apabila seorang individu memiliki kematangan emosional sepertihalnya pribadi dewasa,
memiliki kemandirian serta bertanggungjawab penuh atas diri sendiri yang
terimplementasikan dalam berbagai macam aspek kehidupannya seperti, karir, kualitas
akademik, bahkan hingga hubungan interpersonal yang lebih intens. Tahap emerging
adulthood ini dapat diartikan pula sebagai masa kebebasan atau kemandirian seorang
individu untuk melakukan berbagai macam eksperimental dari kemungkinan-
kemungkinan yang dihasilkan dari perspektifnya terhadap realitas eksistensinya sebagai
bagian dari interaksi sosial. Matud et al (2020) mengungkapkan ketika masa transisi ini
berlangsung, seorang individu mengalami gejolak psikis yang disebabkan oleh
perubahan bentuk sosialnya baik dari segi lifestyle, perspektif terhadap sebuah
relationship, pendidikan hingga area finansial. Ketidakberdayaan seorang individu ini,
erat dipengaruhi oleh perspektifnya terhadap dunia yang terus berkembang seiring
berjalannya waktu. Sehingga tak pelak satu persatu permasalahan timbul disebabkan
oleh penerimaan rasa serta penalaran logika yang salah ketika dihadapkan dengan
peristiwa atau kejadian didalam kehidupannya.
Quarterlife Crisis

Sebuah gagasan yang pertama kali dicetuskan oleh Robbin dan Wilner pada
tahun 2001 yang dilatarbelakangi oleh teori tahapan perkembangan kehidupan Erik
Erikson, yang berfokus pada masa transisi remaja menuju masa dewasa yang
mengalami berbagai krisis dengan ditandai perubahan emosi serta tingkah laku yang
bervariasi. Melalui penelitiannya terhadap individu yang tergolong pada usia 20-an atau
Robbins dan Wilner menyebut dengan “twenty somethings” yakni sekelompok individu
yang tengah menanggalkan kenyamanan hidupnya semasa kuliah dan mulai memasuki
real-life. Black (2010) mengamini bahwa penelitian terkait remaja yang mengalami
transisi menuju dewasa sesuai dengan teori dasar psikologi perkembangan Erikson
masih jarang ditemui, sedangkan pada masa inilah sebuah momentum krusial penentu
pijakan bagi setiap individu sedang berlangsung. Nash dan Murray (2010)
menambahkan bawah masa quarterlife crisis atau usia 20-an tidak selalu harus dilalui
dengan sebuah krisis, melainkan menjadi sebuah momentum yang menyenangkan bagi
seorang individu. Sebab pada fase ini seorang individu dapat melakukan berbagi
kemungkinan-kemungkinan sebagai upaya penggalian makna hidup yang mendalam
serta kongruen dengan konsepsinya terkait hidup dan segala aspek kehidupan. Namun
sayangnya bagi sebagian individu fase ini menjadi problematika tersendiri, pasalnya
mayoritas respon yang muncul berupa kepanikan, meaningless, hingga self helpness.
Dapat diartikan bahwa quarterlife crisis merupakan sebuah respon yang terjadi pada
masa transisi individu yang tergolong adolescensce (remaja) menuju young adulthood
(dewasa) yakni pada rentang 18-29 tahun. Munculnya respon ini ditandai dengan
individu yang tengah menyelesaikan masa perkuliahannya, dengan karakteristik respon
seperti ketidakstabilan pada area psikologisnya baik berupa frustasi, kepanikan serta
kekhawatiran terhadap diri serta kehidupannya, bahkan hingga mengarah pada alienasi
diri yang berimbas pada depresi bahkan gangguan psikis lainnya (Black, 2010).

Tinjauan Fenomenologi
Fenomenologi merupakan salah satu tradisi pendekatan yang dimana seorang
peneliti berusaha untuk menggambarkan fenomena yang terjadi pada suatu komunitas
sesuai dengan perspektif mereka sendiri. Menurut Creswell adalah : “Whereas a
biography reports the life of a single individual, a phenomenological study describes
the meaning of the live experiences for several individuals about a concept or the
phenomenon” (Cresswell, 1998 dalam Kuswarno, 2005). Dapat diartikan bahwa. Studi
fenomenologi berusaha untuk menjelaskan makna dari sebuah pengalaman hidup bagi
beberapa individu terkait tentang konsep atau sebuah fenomena, termasuk perspektif
terhadap makna dan realitas dirinya. Melalui pendekatakan fenomenologis, seorang
peneliti mencoba untuk menggali pemahaman bagaiamana konstruksi dari sebuah
makna serta konsep-konsep fundamental dalam kerangka intersubjektivitas dapat
terbentuk. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari fenomenologi yakni
mempelajari bagaimana fenomena dialami dengan kesadaran atas pikiran dan tindakan
sehingga fenomena tersebut memiliki nilai tersendiri serta dapat diterima secara estetis.
Dalam pendekatan fenomenologis, subjektivisme bukan hanya menilik pada gejala atau
fenomena yang tampak saja, melainkan menggali lebih jauh makna-makna dibalik
intersubjektivitas yang terbentuk dari setiap fenomena (Kuswarno, 2009).

Alfred Schutz, seorang penerus Husserl serta Weberian yang menjadi


fenomenolog sekaligus sosiolog yang memberikan pengaruh dan juga perhatian lebih
pada gejala-gejala sosial yang berkaitan dengan psiko sosial, oleh karena itulah kajian
fenomenologi memberikan sumbangsih yang cukup berpengaruh pada ilmu sosial.
Didalam teori fenomenologi Alfred Schutz (1899-1959), mengungkapkan bahwa setiap
orang secara aktif memberikan makna dari apa yang mereka lihat yang diinterpretasikan
melalui pengalaman hidupnya. Interpretasi disini dapat diartikan sebagai tindakan aktif
dalam memaknai suatu gejala, kondisi, situasi, pengalaman ataupun berbagai macam hal
yang dapat diamati secara langsung. Bagi Schutz, tugas utama fenomenologi ialah
mengkonstruksi realitas manusia “sebenarnya” kedalam bentuk yang mereka alami
sendiri. Sehingga menjadikan sebuah realitas dunia bersifat intersubjektif. Dalam
pandangan Schutz karena manusia merupakan makhluk sosial sehingga kesadaran
dalam

Anda mungkin juga menyukai