Anda di halaman 1dari 52

SEJARAH BENTENG LASAIDEWA DESA GUMANANO KECAMATAN

MAWASANGKA KABUPATEN BUTON TENGAH ABAD XIV

HASIL PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Mengikuti Seminar Hasil Pada
Jurusan/Program Studi Ilmu Sejarah

OLEH:

FIKIANTI

N1C1 16 059

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2023
HALAMAN PERSETUJUAN

Telah selesai diperiksa dan disetujui oleh pembimbing I dan pembimbing

II untuk dipresentasikan di hadapan panitia ujian Seminar Hasil Penelitian pada

Jurusan/Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.

Judul Skripsi :Sejarah Benteng Lasaidewa Desa Gumanano

Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton

Tengah Abad XIV

Nama Mahasiswa : Fikianti

Stambuk : N1C1 16 059

Kendari, 2023

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Syahrun, S,Pd., M. Si Dr. Aslim.S.S.M.Hum


NIP.197808 18 200812 1 002 NIP. 19710428 200012 1 001

Mengetahui:

Ketua Jurusan/Program Studi Ilmu Sejarah

Dr. Aslim.S.S.M.Hum
NIP. 19710428 200012 1 001

ii
ABSTRAK

Fikianti (N1C116059) dengan judul penelitian “Sejarah Benteng


Lasaidewa Desa Gumanano Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton Tengah
Abad XIV” di bawah bimbingan Dr. Syahrun, S,Pd., M. Si selaku pembimbing I,
dan Dr. Aslim.S.S.M.Hum selaku pembimbing II.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1)Bagaimana latar
belakang pembangunan benteng Lasaidewa Abad XIV? dan (2) Bagaimana fungsi
benteng Lasaidewa XIV? Dan Tujuan penelitian ini adalah: (1)Untuk mengetahui
latar belakang pembangunan benteng Lasaidewa Abad XIV dan (2) Untuk
mengetahui fungsi benteng Lasaidewa XIV
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
sejarah menurut Kuntowijoyo yang dibagi atas lima tahap yaitu: (1) Pemilihan
topik, (2) Pengumpulan sumber, (3) Kritik sumber, (4) Interpretasi sumber, (5)
Penulisan sejarah (Historiografi)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Latar belakang pembangunan
benteng Lasaidewa Abad XIV adalah faktor keamanan dan faktor lingkungan
fisik. Faktor keamanan yang dimaksud adalah menjadi suatu tempat berlindung
atau sarana pertahanan dari ancaman bajak laut atau yang lebih dikenal dengan
tobelo serta untuk persiapan agresi dari luar daerah (Zahari, 1974:79), sedangkan
faktor lingkungan fisik terdiri dari topografi, ketinggian, jenis tanah, serta
hidrologi dimana Keletakan benteng yang secara umum berada dilokasi dengan
kategori daerah pesisir, meski keletakannya berada didaerah perbukitan namun
lokasi benteng tetap dapat memantau wilayah perairan. Keletakan benteng yang
berada didaerah pesisir berhadapan langsung dengan perairan yang berada
didaerah pesisir namun tersembunyi. Fungsi benteng Lasaidewa XIV adalah
sebagai permukiman masyarakat ,yang dapat memberikan keamanan gangguan
bajak laut dan dan sebagai potensinsi daerah yang dapat memberi kemudahan
bagi penghuni benteng jika terjadi bencana alam.
Kata kunci: Sejarah kabupaten Tengah dan Benteng Lasaidewa

iii
ABSTRACT

Fikianti (N1C116059) with the research title "The History of Fort


Lasaidewa, Gumanano Village, Mawasangka District, Middle Buton Regency,
XIV Century" under the guidance of Dr. Syahrun, S,Pd., M.Si as supervisor I, and
Dr. Aslim.S.S.M.Hum as supervisor II.
The problems studied in this study are: (1) What is the background for
the construction of the XIV Century Lasaidewa fort? and (2) What is the function
of the Lasaidewa XIV fort? And The purposes of this study were: (1) To find out
the background of the construction of the XIV Century Lasaidewa fort and (2) To
find out the function of the XIV Lasadewa fort
The method used in this study is the historical research method
according to Kuntowijoyo which is divided into five stages, namely: (1) Selection
of topics, (2) Collection of sources, (3) Criticism of sources, (4) Interpretation of
sources, (5) Writing history (Historiography)
The results showed that: The background for the construction of the XIV
Century Lasaidewa fort was security and physical environment factors. The safety
factor in question is to be a shelter or a means of defense from the threat of
pirates or better known as tobelo and to prepare for aggression from outside the
area (Zahari, 1974:79), while the physical environment factors consist of
topography, altitude, soil type, and hydrology where the location of the fort which
is generally in a location with the category of coastal areas, even though it is
located in a hilly area, the location of the fort can still monitor water areas. The
location of the fort which is in the coastal area is directly facing the waters in the
coastal area but it is hidden. The function of the Lasaidewa XIV fort is as a
community settlement, which can provide security from pirate disturbances and
and as a potential area that can provide convenience for the residents of the fort
in the event of a natural disaster.
Keywords: History of Tengah district and Fort Lasaidew.

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa. Karena atas rahmat, taufik, kekuatan, dan hidayah-Nya yang telah

dilimpahkan kepada penulis, sehingga Hasil Penelitina ini yang berjudul “Sejarah

Benteng Lasaidewa Desa Gumanano Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton

Tengah Abad XIV” dapat terselesaikan.Penulisan ini diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Program Studi Ilmu

Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo. Dalam penyusunan Hasil

ini tidak terlepas dari bantuan kedua orang tua yaitu ayahanda Alm.Lapiliha dan

Ibunda tercinta Waode Meda, yang senantiasa mendoakan, memberikan

dukungan moril maupun materil dan turut berpartisipasi dalam proses penelitian.

Sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini. Tak Lupa pula penulis

ucapkan rasa terima kasih dengan sepenuh hati kepada kedua pembimbing saya,

Dr. Syahrun, S,Pd., M. Si selaku pembimbing I, dan Dr. Aslim.S.S.M.Hum

selaku pembimbing II yang senatiasa menyempatkan waktu untuk memberikan

bimbingan, arahan dan motivasi kepada saya sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.Penulis juga turut mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,

yakni kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F., S.Si.,M.Si., M.Sc, selaku Rektor

Universitas Halu Oleo.

2. Bapak Dr. Akhmad Marhadi, S.Sos, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Halu Oleo.

v
3. Bapak Dr. Aslim, S.S., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo yang telah memberikan

bimbingan kepada penulis.

4. Ibu Faika Burhan. S.S.MA sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Halu Oleo.

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Sejarah yang telah memberikan bekal

pengetahuan dan nasihat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di

Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.

6. Staf Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.

7. Kepada keluarga besarku La Ode Baga,S.Pd, Laode Fida dan Golkar S.Pt,

Astrid Pradana Putri,Nurmala Putri dan Panji Saputra yang turut serta

memberikan dukungan dan motivasi selama menempuh pendidikan di

Universitas Halu Oleo khususnya pada Fakultas Ilmu Budaya.

8. Kepada Teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu Sejarah angkatan 2016

yang tidak sempat penulis sebutkan yang telah memberikan dukungan dan

inspirasi selama perkuliahan.

Kendari,22 Juli 2023

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ii

ABSTRAK............................................................................................................iii

ABSTRACK.........................................................................................................iv

KATA PENGANTAR.........................................................................................v

DAFTAR ISI........................................................................................................vii

DAFTAR GAMBAR...........................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................5

C. Tujuan Penelitian.......................................................................................5

D. Manfaat Penelitian.....................................................................................6

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual................................................................................7

B. Kerangka Teoritis......................................................................................13

C. Tinjauan Historiografi...............................................................................14

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Dan Tempat Penelitian..................................................................17

B. Jenia Dan Pendekatan Penelitian...............................................................17

vii
C. Metode Penelitian......................................................................................18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.........................................................22

B. Sejarah Kabupaten Buton Tengah.............................................................24

C. Benteng Lasaidewa....................................................................................29

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................35

B. Saran..........................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Buton Tengah....................................................................22

Gambar 4.2 Peta Kecamatan Mawasangka.....................................................................24

Gamabar 4.3 Wawancara Kepala Desa di lokasi Penelitian...........................................30

Gambar 4.4 Wawancara dengan toko masyarakat..........................................................31

Gambar 4.5 Wawancara dengan toko adat desa Gumanano...........................................34

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia sebagai yang beranekaragam karena terdiri dari berbagai

macam etnis dengan latar belakang budaya, kepercayaan, adat istiadat yang

berbeda-beda.Hal ini tentunya juga manusia-manusia didalamnya juga memiliki

aktivitas dan kreativitas yang berbeda-beda dalam menciptakan kekhasan

indentitas dalam kehidupan bermasyarakat, yang tercangkup dalam sebuah

kebiasaan hidup sebagai pengikat atau dalam menciptakan budaya-budaya dalam

perjalanan hidupnya dari waktu kewaktu.Hal ini ditandai dengan berbagai bukti

dan hasil kreasi sebagai peninggalan yang corak dan ragamnya sangat ditentukan

atau diwarnai oleh situasi dan kondisi yang terjadi pada zamanya.

Peninggalan-peninggalan masa lampau sebagai hasil kreativitas

masyarakat Indonesia bukan saja dalam bentuk artefak seperti candi, keratin,

prasasti dan bangunan masa lampau lainnya tetapi ditandai juga oleh beragamnya

kretivitas akal budi masyarakat Nusantara dalam bentuk tradisi tertulis (naskah)

dan tradisi lisan (Taalami, 2008:1). Hal yang diuraikan diatas merupakan hasil

kebudaaan masyarakat Indonesia yang mampu menjadikan bangsa ini dikenal

sebagai bangsa yang berbudaya dan sebagai masyarakat yang memiliki peradaban

tinggi.

1
Budaya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia

sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat pengetahuan yang

secara efektif dapat memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi

serta untuk menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan (Suparlan, 1990:4).

Dalam pengertian ini budaya adalah suatu pedoman atau pegangan untuk

mengadaptasikan diri dalam menghadapi lingkungan alam, sosial dan budaya

agar tetap melangsungkan kehidupannya.

Indonesia banyak memiliki situs sejarah seperti peninggalan bangunan,

diantaranta adalah sebagai beriku: (1) Candi, meupakan bangunan kuno yang

dibuat dari batu, fungsi bangunan candi yaituuntuk memuliakan raja yang telah

meninggal dunia. Beberapa candi yang ada di Indonesia yaitu, Candi Borobudur

di Magelang Jawa tengah, Candi Padas di Tmpak Siring Bali’ Candi Kidal di

Malang Jawa Timur, Candi Sewu di Magelang Jawa Tengah, Candi Prambanan

di Klaten Jawa Tengah, Candi Tikus di Mojokerto Jawa Timur. (2) Benteng,

merupakan bangunan yang difungsikan guna mempertahanankan diri dari

serangan lawan. Benteng-benteng yang ada di Indonesia sebagian besar berasal

dari peninggalan Belanda, Portugis dan Spanyol pada masa penjajahan. Beberapa

benteng yang ada di Indonesia yaitu, antara lain: Benteng Inang Bale di Aceh,

benteng Bonjol di Bonjol Sumatra Barat, benteng Durstede di Saparua Maluku,

benteng Surason di Banten Jawa Barat, benteng Jegaraja di Bali.

Keberadaan beberapa peninggalan sejarah sebagai produk tidak lepas dari

peran situs sejarah sebagai induk atau tempat terkumpulnya peninggalan

tersebut.Dalam pengertiannya situs merupakan suatub bidang tanah atau tempat

2
lainnya yang diatas didalamnya terdapat benda-benda kepurbakalaan serta

peninggalan sejarah (Ayatrohaedi, 1978:163).

Benteng merupakan bagian dari perangka-perangkat pertahanan Negara

sebagai perwujudan pertahanan diri dari serangan dan ancaman musuh, sekalipun

mempunyai karakter yang sama. Sebagian benteng dibangun karena alasan hanya

sebagai tempat pemukiman, pemerintahan dan aktivitas manusia dan sebagian

yang lain dibangun karena desakan masa yang dialaminya, seperti adanya

ancaman dari luar sehingga masyarakat atau penguasa diwilayah tersebut

berusaha untuk melindungi atau mengamankan rakyat dari ancaman tersebut

sekaligus sebagai tameng untuk pertahanan dan menangkis serangan-serangan

musuh dari luar yang hendak menyerang merebut kekuasaan atau menjajah

wilayah tersebut.

Keberadaan situs benteng hamper semua daerah Nusantara memilikinya

dan tidak terkecuali Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara adalah salah satu

provinsi yang mempunyai banyak sekali peninggalan dan situs sejarah

diantaranya adalah benteng peninggalan dari zaman kerajaan, kesultanan dan

peninggalan Belanda dan Jepang.Zaman kolonialisme Belanda dan Jepang

tersebut telah meninggalkan beberapa bukti sejarah yang belum diketahui serta

belum banyak terekspos oleh khalayak.Salah satu peninggalan berupa benteng

Lasaidewa yang terdapat di Desa Gumanano Kecamatan Mawasangka.

Benteng Lasaidewa adalah sebuag benteng yang dibangun diatas bukit dan

berhadapan langsung dengan pantai mutiara. Benteng Lasaidewa secara

3
admistrasi berada di Desa Gumanano, Kecamatan Mawasangka, dan secara

geografis berada pada koorditat 5°23’22” LS dan 122°19’5”dengan ketinggian 84

meter diatas permukaan laut.

Lokasi benteng saat ini berada di dalam hutan yangb tidak jauh dari kantor

desa Gumanano. Akses menuju benteng dapat ditempuh dengan menungguanakan

roda dua kurang lebih 5 menit dari kantor desa Gumanano kemudian dilanjutkan

dengan berjalan kaki kurang lebih 10 menit.

Kondisi sekarang bangunan benteng Lasaidewa sama seperti bangunan

benteng-benteng lainnya di Kabupaten Buton Tengah yaitu bangunan benteng

pemukiman yang sengaja dibuat menggunakan bahan batuan yang diperoleh dari

daerah disekitaran benteng. Disebut benteng pemukiman karena Lasaideawa tdk

memiliki ciri-ciri benteng pertahanan seperti bastion, barak-barak ataupun tempat

penyipanan logistic.

Struktur bangunan benteng tersebut disususn menunggunakan susunsn

batu gamping dengan bentuk persegi panjang yang tiap sisinya memiliki ukuran

tinggi yang berbeda-beda yang menyesuaikan dengan kontur tanah. Ukuran tinggi

tersebut berfariasi mulai dari 80 cm hingga 1,5 m- 2 m. didalam benteng tersebut

terdapat makam/kobuhu atau sebaran moluska. Makam yang terdapat didalam

benteng terdiri dari susunan batu diding benteng, makam memiliki ukuran

panjang 1,28 m dan lebar 32 cm. sebaran moluska yang terdapat dibenteng

Lasaidewa merupakan sebaran moluska yang berbeda dengan sebaran moluska

yang terdapat dibenteng-benteng lain di Buton Tengah. Sebaran moluska yang

4
terdapat dibenteng Lasaidewa memiliki ukuran yang lebih besar dan juga beragam

jenisnya dibandikan dengan dibenteng lainnya di Kapupaten Buton Tengah (Balai

Arkeologi Makassar, 2009:220).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang pembangunan benteng Lasaidewa Abad XIV?

2. Bagaimana fungsi benteng Lasaidewa XIV?

C. Batasan Masalah

Dari beberapa pokok permasalahan diatas masih merupakan kajian

penelitian ini penulis menggunakan batasan temporal, spasial dan tematis.

1. Batasan temporal, dimana penulis difokuskan pada abad XIV mencari

informasih tentang awal mula pembuatan Benteng Lasaidewa. Alasan

menelusuri waktu berdirinya dikarenakan belum ada informasih yang pasti

tentang tahun pendirian.

2. Batasan spasial, yang menjadi lokasi penelitian ini adalah wilayah desa

Gumanano, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, dimana

wilayah ini adalah lokasi dari benteng Lasaidewa.

3. Batasan tematis, yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini

adalah, latar belakang pembungan benteng Lasaidewa dan fungsi benteng.

D. Tujuan Penelitian

5
Berdasarkan penjelasan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi

tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan latar belakang pembuatan benteng Lasaidewa di Desa

Gumanano di kecamatan Mawangka Kabupaten Buton Tengah Abad XIV.

2. Untuk menjelaskan fungsi benteng Lasaidewa di Desa Gumanano Kecamatan

Mawasangka Kabupaten Buton Tengah.

E. Manfaat Penelitian.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Sebagai bahan informasih kepada masyarakat luas, dan terkhusus kepada

masyarakat Buton Tengah untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan

tentang sejarah local daerah Sulawesi Tenggara.

b. Dapat dijadikan sebagai literature atau dokumen sejarah bagi para penulis dan

peneliti berikutnya yang relevan dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan pembanding bagi kalangan akademis, pembanca dan penulis

dalam rangka pembangunan ilmu pengetahuan kesejarahan baik dimasa

sekarang ataupun dimasa yang akan datang.

b. Sebagai bahan atau sumber informasih bagi masyarakat di desa Gumanano,

Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah.

6
BAB II

TINJAUAN PUSATAKA

A. Kerangka Konseptual

1. Konsep Benteng

Untuk memahami lebih jelas tentang benteng maka penulis

mengemukakan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menjelaskan

pengertian benteng bahwa bangunan yang dibuat untuk pertahanan dan

perlindungan dari serangan musuh (Kamisa,1997:509). Sehubungan dengan

penjelasan diatas dapat diakatakan bahwa sebuah benteng dibangun atas dasar

motivasi untuk melakukan upaya pertahanan untuk perlindungan sebuah wilayah

agar tetap bertahan (survise) demi stabilitas keamanan bersama.

Pengertian diatas juga memberikan gambaran dengan baik mengenai

pengertian dasar tentang benteng maupun fungsi dan peranannya. Jika dilihat dari

motif pembangunan sebuah bentenng maka dapat dikemukakan dua prinsip yaitu:

a. Pendirian benteng adalah untuk mempertahankan diri atas serangan dari luar

dalam hal ini adalah musuh.

b. Benteng didirikan untuk mempertahankan nafsu kekuasaan ditempat yang

dikuasai atau dijajah (Hanafiah,1989:23)

Pembangunan sebuah benteng juga terlepas dari potensi sumber daya

manusia dan kesadaran semangat bersama yang melahirkan karya-karya kreatif

yang ada pada masa itu, seperti yang dijelaskan (Robinson 2005:119) bahawa

7
proyek pembangunan benteng pertahanan mereka bukanlan kerja yang

tradisisonal melainkan terbangun dari tradisi history, dan keahlian mereka

bertambah sedikit demi sedikit sesuai sasaran pada kebutuhan saat itu.

Tamburaka (1984:8) juga memeberikan gambaran tentanng pembangunan

sebuah benteng bahwa keberadaan dan konsep suatu benteng dalam dimensi

sejarah merupakan prakondisi pembentukan kota dan perdagangan, tempat

pertemuan kemudian menyusul pembentukan pemerintah serta soal-soal mengenai

polis yang kemudian dikenal dengan istilah politik.

Menurut pendapat ini secara konsepsional mengandung pengertian bahwa

benteng dalam dimensi sejarah disamping merupakan pusat aktivitas masyarakat

dan pemerintah dalam menjelaskan setiap agenda atau tujuan yang akan

dijalankan secara bersama-sama juga yang paing terpenting adalah sebagai pusat

pertahanan dan keamanan. Dalam setiap pembanguanan tentunya tidak bisa

terlepas dari maksud dan tujuan bersama yakni sebuah kesimpulan bahwa apa

sebenarnya fungsi dari pembangunan benteng itu sendiri.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa benteng mempunyai fungsi ganda

yaitu selain sebagai pusat pemerintah keamanan, tempat pengintaian musuh juga

merupakan pusat pertahanan karena letaknya sangat strategis diantara jalur

transportasi dan komunikasi. Bagaimana yang dikemukakan oleh

(Kartodirjo,1992:20)bahwa kebanyakan kota terletak pada persilangan antara

darat dan sungai atau persilangan antara jalur darat dan laut. Penjelasan tersebut

gambaran bahwa dalam pembangunan benteng yang selalu diutamakan adalah

8
posisi strategis agar dapat berfungsi maksimal mengingat aktivitas masyarakat

saat ini adalah menggunakan jalan laut sehingga memungkinkan pembangunan

benteng harus dapat menjangkau wilayah pesisir pantai atau sungai.

Robinson (2005:121) juga menjelaskan sesuai asumsinya bahwa bahwa

pembangunan benteng selalu berada disekitar wilayah dekat pantai dan hanya

meninggalkan celah dimuara sungai.Penjelasan ini menguatkan keterangan diatas

bahwa pembangunan benteng selalu tidak terlepas dengan fungsi pertahanan.

Perkembangan benteng di Kesultanan Buton pada umumnya dinilai

sebagai tempat atau pusat pemerintah, perthanan pemukiman, tempat para raja

untuk bermusyawarah dengan rakyat dan sebagai pusat kesultanan.Penjelasan

diatas tampak memberikan gambaran sistematis mengenai pentingnya

mempertahankan integrasi sebuah wilayah yang dimasa lalu diwujudkan dengan

pembangunan benteng untuk dijadikan pertahanan tentu memilih fungsi untuk

tempat pertahanan, pemukiman dan sebagai pusat pemerintahan.

2. Konsep Pertahanan dan Keamanan

Istilah pertahanan dan keamanan adalah dua konsep yang saling berkaitan

(hubungan timbal balik) antara satu dengan yang lainnya. Artinya untuk

menciptakan suatu kondisi bangsa dan Negara yang aman hanya dapat dicapai

melalui upaya mempertahankan diri dari berbagai bentuk ancaman, hambatan,

tantangan dan gangguan baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar,

dimaksudkan untuk menciptakan kondisi bangsa dan Negara yang aman dan

tentram untuk mencapai yang diinginkan.

9
Secara etimologi pertahanan mengandung pengertian yaitu sebagai

perlindungan untuk mempertahankan diri yang dilakukan oleh suatu daerah atau

Negara terhadap ancaman dari bangsa lain (Salim,1991:521). Dalam Kamua

Bahasa Indonesia, kata pertahanan mengandung pengertian yaitu sebagai perihal

bertahan, kubu, benteng dan sebagainya yang dipakai untuk mempertahankan

membela diri atau menangkis serangan terhadap ancaman orang lain

(Poerwadarminta,1984:246)’

Pertahanan adalah bagian strategi yang mengacu kepada arah pencapaian

tujuan, karena itu kita harus memahami suatu konsep pertahanan. Pertahanan

adalah pikiran umum tentang siapa musuh, dimana akan terjadi perang, bila

manakah perang akan dilakukan dan tujuan-tujuan apa yang harus dicapai dalam

perang itu.

Kesultanan Buton menerapkan sistem pertahanan dengan sistem

Barata.Keempat Barata itu berkewajiban melindungi kerajaan dari serangan

musuh yang datang dari luar.Kulisusu dan Kaledupa berkewajiban menjaga

serangan musuh dari arah timur.Sementara itu, Tiworo dan Muna menjaga

keamanan kerajaan dari arah barat.Kedudukan keempat Barata itu juga merupakan

asal atau daerah taklukan yang memberikan keuntungan bagi Buton (Zuhdi,

2010:121).

Berdasarkan konsep pertahanan dan keamanan diatas, pada dasarnya

proses terbentuknya sistem pertahanan dan keamanan dari suatu daerah muncul

dari daerah itu sendiri yang menginginkan stabilitas yang aman, maka tampak

10
bahwa pertahanan secara fisik benteng dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan

hidup suatu daerah dan salah satu bukti upaya untuk pertahanan suatu daerah

untuk mencapai kondisi yang dinamis dan stabil dalam mewujudkan ketahanan

nasional yang tangguh dapat ditentukan oleh upaya manusia untuk melindungi

dirinya dari ancaman baik yang datangnya dari luar maupun dari dalam.

3. Konsep Matana Sorumba

Matana Sorumba (mata jarum) yaitu empat lascar pertahanan, yang lebih

empat tempat kampong yang berada ditapal atau batas wilayah utama Kesultanan

Buton. Mereka ini adalah masyarakat Buton yang terpilih dan ditempatkan

sebagai prajurit utama diluar istana Keraton Wolio yang ditugasi mengawal dan

menjaga tapal batas wilayah kedaulatan kesultanan Buton. Terutama terhadap

para pengacu keamanan yang ingin memasuki wilayah kesultanan. Keempat

kelompok/perkampungan yang diberi tugas sebagai “Matana Sorumba” yaitu

sebagai berikut:

1. Masyarakat/kampong Lapandewa, mengawasi keamanan dan menghalau

musuh yang datang dari arah utara Kesultanan

2. Masyarakat/kampong Watumotobe, yang ditugasi mengawasi keamanan dan

menghalau musuh yang datang dari arah Timur Kesultanan.

3. Masyarakat/kampong Wabula, ditugasi mengawasi keamanan dan menghalau

musuh yang datang dari arah Selatan Kesultanan.

4. Masyarakat/kampong Mawangka, bertugas mengawasi dan menghalau yang

bergerak dari arah Barat Kesultanan(Said, 1984:19).

11
4. Konsep Pemukiman

Pemukiman adalah suatu tempat bermukim manusia untuk menunjukan

suatu tujuan tertentu. Apabila dikaji dari segi makna, pemukiman berasal dari

terjemahan kata settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa kata pemukiman mengandung unsur

dimensi waktu dalam prosesnya.(Pertiwi,2014:10).

Pemukiman merupakan hal yang paling penting bagi kelangsungan hidup

umat manusia, sebab dengan adanya pemukiman ini maka manusia dapat bertahan

hidup dari berbagai tantangan alam maupun serangan hewan buas.Sejarah telah

mencatat bahwa perkembangan pemukiman masyarakat dimulai dari yang paling

sederhana yakni tinggal diceruk, gua dan lalu sesuai dengan perkembangan

intelektual manusia maka pemukiman sekarang lebih tertata dengan rapi.

(Rismaya,2014:10)

Pemukiman secara fisik tidak terbatas pada tempat tinggal saja, tetapi

merupakan suatu kesatuan sarana dan prasarana terstruktur hubungan ini saling

mempengaruhi dan dipengaruhi secara terus menerus dari waktu ke waktu,

sehingga terdapat petunjuk dan aturan tentang penataan lingkungan pemukiman

oleh karena itu kegiatan manusia pada lingkungan pemukiman mempunyai pola-

pola yang mengatur dan menjaga keseimbangan alam. Apabila dicermati,

pemukimn memiliki bentuk tersendiri dengan kekuatan non fisik yang tumbuh

pada masyarakat berupa sistem sosial budaya, pemerintah, tingkat pendidikan

serta teknologi, penerapan yang semuanya akan membawa perubahan ungkapan

12
fisik lingkungannya, salah satu faktor yang berpengaruh adalah sistem budaya.

(Rismaya,2014:11)

Menurut Jayadinata (1986), pola pemukiman merupakan lingkup

penyebaran daerah tempat tinggal menurut keadaan geografi tertentu, seperti

pemukiman sepanjang pantai, laut, aliran sungai dan jalan biasanya berbentuk

linear. Sedangkan menurut Yodohusodo (1991), terdapat tiga pola pemukiman

yaitu: (1) perumahan yang direncanakan dengan baikdan dibangundengan

teraturserta memiliki prasarana, utulitas dan fasilitas yang cukup baik. (2)

perumahan yang berkembang tanpa direncanakan terlebih dahulu polanya tidak

teratur, prasaran utulitas dan fasilitasnyan tidak memenuhi syarat kuantitas

maupun kualitas. (3) perumahan yang

B. Kerangka Teoritis

1. Teori Fungsionalisme Benteng

Menurut Qodratililah (2015:49), mengemukakan benteng adalah bangunan

tempat berlindung atau bertahan diri dari serangan musuh dan hanya rakyat

bersembunyi didalam bentenglah yang selamat. Pendapat ini juga diperkuat oleh

oendapat Eko Endarmoko (2007:75) bahwa benteng adalah suatu bangunan untuk

penahan, pertahanan, penangkis dan perlindungan dari serangan musuh.

Penelitian diatas juga dapat memberikan gambaran dengan baik mengenai

pengertian dasar tentang benteng maupun fungsi dan peranan. Jika dillihat dari

motif pembangunnya,maka terdapat dua prinsip yaitu:

13
1. Pendirian benteng adalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh

dari luar maupun dalam.

2. Benteng didirikan untuk mempertahankan nafsu kekuasaan ditempat yang

dikuasai atau dijajah (Hanafiah Djahanan, 1989:23)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,1990:135),

mengemukakan bahwa benteng adalah bangunan tempat berlindung atau

bertahanhan dari serangan musuh baik manusia maupun hewan. Bangunan itu

dapat berupa dinding (satu sisi, dua sisi, tiga sisi, empat sisi, ataupu lebih) dan

dapat pula berupa bangunan yang kompleks.

Dengan adanya beberapa definisi diatas, benteng merupakan suatu

bentung pertahanan yang sangat kokoh demi menjaga keamanan serta

kenyamanan dalam suatu wilayah kekuasaan.

C. Tinjauan Historiografi

Sejarah merupakan keseluruhan proses aktivitas masyarakat dimasa

lampau yang memiliki daya tarik tersendiri untuk dibicarakan dan ditampilkan

agar mmasyarakat sekarang secara umum dapat mengetahui bahwa pada kurun

waktu sekian dimasa lampau sudah mampu menyatakan potensi akal mereka

ketika muncul suatu hal yang dapat membahayakan stabilitas keamanan wilayah.

Keterangan diatas merupakan kerangka pikir yang didukung beberapa

bukti hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya,

14
mengenai beberapa peninggalan fisik bersejarah khususnya penelitian tetang

benteng.

Tarabeka (2017), penelitian dengan judul “Benteng Patua di Pulau Tomia

pada Abad XVI (Suatu Tinjauan Sejarah)”.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa

latar belakang dan fungsi pembangunan benteng Patua adalah sebuah bukti fisik

dari upaya membangun serta mengembangkan sistem pemerintah pertahanan

dalam mencapai kondisi yang dinamis dalam mewujudkan stabilitas keamanan

sebuah wilayah dari para bajak laut Tobelo (Sanggila) yang menggunakan perahu

layar untuk mewujudkan keinginan mereka.Benteng yang dibanguan dengan latar

belakang seperti ini biasanya terletak ditempat-tempat yang strategis, misalnya

dipinggir pantai atau dibukit-bukit yang ditunjukan agar lebih mudah mengintai

atau menghalau musuh dari jauh.Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh peneliti tentang Benteng Patua di Tomia menjelaskan bahwa

benteng yang dibangun di Tomia tersebut memeiliki peranan yang sangat

signifikan sebagai pertahanan dan perlindungan masyarakat pribumi dari serangan

yang datang dari luar.

Nurlin (1998), melakukan penelitin tentang “Eksistensi Benteng Talo-Talo

Pada Masa Kesultanan Buton” hasil penelitiannya memberikan penjelasan latar

belakang dan tujuan pembanguana Talo-Talo sangat berkaitan erat dengan strategi

pertahanan dan keamanan serta pemukiman, guna melindungi rakyat didaerah ini

dari serangan musuh yang berasal dari kerajaan/kesultanan Ternate yang terdiri

dari orang-orang Tobelo.

15
Zainuddin (3003), melakukan penelitin tentang “Fungsi Benteng Lipu di

Pulau Kadatua Pada Masa Kesultanan Buton” hasil penelitian ini memberikan

penjelasan bahwa subtansi pembangunan sebuah benteng adalah merupakan

strategi dalam mempertahankan diri dari serangan musuh yang lebih menonjol

yaitu adanya tingkat pengetahua, keterampilan dan kemampuan berfikir pada saat

itu yang teraktualisasi dalam bentuk konstruksi benteng yang tersusun rapi, rapat

dan kokoh tanpa menggunakan semen atau bahan perekat lainnya seperti

sekarang.

Dalam penelitian ini terletak sudut pandang yang berbeda dengan

penelitian yang lain, dimana dalampenelitian ini menjeaskan tentang bagaima

latar belakang pembuatan dan fungsi dari benteng tersebut. Sehingga peneliti

sangat tertarik untuk mengkaji “Sejarah Benteng Lasaidewa di Desa Gumanano

Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton Tengah Abad ke-XIV”.

16
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

Tempat penelituian ini dilakukan di Benteng Lasaidewa Kecamatan

Mawangka Kabupaten Buton Tengah Povinsi Sulawesi tenggara pada bulan Juni

2023 sampai selesai.

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis peneltian adalah penelitian sejarah yang bersifat deskritif kualitatif

yakni penulis memberikan gambaran yang jelas tentang Sejarah Benteng

Lasaidewa di Desa Gumanano Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton

Tengah.Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan

strukturis.Lerissa (1996:12) menyatakan bahwa terdapat tiga domain dalam

penelitian sejarah yaitu domain peristiwa, domain struktur dan domain strukturis.

Dalam penelitian ini, menggunakan domain strukturis yang mempelajari dua

domain yaitu domain peristiwa dan domain struktur sebagai satu kesatuan yang

saling melengkapi .artinya peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur

sosial, sedangkan struktur mengandung hambatan atu dorongan bagi tindakan

perubahan dalam masyrakat.

17
C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode sejarah.

Kuntowijoyo (2013:69) yang terdiri dari lima tahapan yaitu: (1) pemilihan

topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verivikasi, (4)interpretasi, (5)historiografi.

Berdasarkan yang dikemukakan Kunowijoyo, maka penelitian ini melalui

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemilihan Topik

Dalam pemilihan topik, penulis memilih topik yang ada kaitannya dengan

sejarah. Adapun dua topik yang dipilih dalam pertimbangan dua hal yaitu:

a. Kedekatan Intelektual

Kedekatan intelektual yakni dalam penyususan tulisan ini, penulis

berpedoman pada metodologi dan kaidah-kaidah ilmiah penulis sejarah

sehinggasesuai dengan tuntutan prosedur keilmuan dalam penulisan sejarah, yang

dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya sebagaimana diperoleh penulis

selama belajar di jurusan ilmu sejarah.

b. Kedekatan Emosional

Penelitian ini memiliki kedekatan emosional dengan melihat bahwa judul

ini belum ada yang mengkaji secara ilmiah, sumber-sumber yang diperlukan

mudah didapatkan baik berupa dokumen tertulis (naskah-naskah), artefak (foto-

foto) dan sumber lisan dari informan.

18
2. Heuristik Sumber

a. Bahan saumber

1. Sumber tertulis, yaitu yang diperoleh dari berbagai literatur dalam berbagai

bentuk seperti buku-buku, laporan hasil penelitian dan serta sumber tertulis

lainnya yang sesuai dengan kajian penelitian ini.

2. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan

beberapa informan diantarannya tokoh masyarakat, tokoh adat dan pemerintah

setempat yang mengetahui tentang masalah yang diteliti.

3. Sumber artefak, yaitu data yang diperoleh dari hasil pengamatan mengenai

benteng Lasaidewa secara fisik.

b. Studi Penelitian

1. Studi dokumen yaitu studi teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji

data atau sumber-sumber tertulis yang relevan dengan judul penelitian ini. Hal

ini bisa dperoleh dari buku-buku, skripsi serta tulisan-tulisan yang

berhubungan dengan penelitian ini.

2. Studi kepustakaan yakni teknik pengumpulan berbagai sumber melalui

penelaah sebagai literatur seperti buku-buku sejarah, dan laporan hasil

penelitian yang dapat mendukung penelitian.

3. Studi artefak, yaitu teknik pengumpulan data visual yang dilakukan dengan

pengamatan secara langsung.

4. Studi lisan, yakni teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh seorang

pewawancara kepada masyrakat yang memiliki informasih. Melalui studi lisan

19
dalam penelitian ini maka peneliti melakukan wawancara kepada masyarakat

yang mempunyai pemahaman dan pengetahuan tentang yang akan diteliti.

3. Verifikasi

Pada tahap ini, penulis melakukan verifikasi terhadap sumber yang telah

terkumpul, khususnya data yang masih diragukan otentitas dan

kredibilitasnya.Untuk mengetahui otentitas (keaslian) dan kredibilitas

(kebenaran) data yang telah terkumpul tersebut maka peneliti melakukan

analisis kritik sejarah, baik kritik eksternal maupun kritik internal.

a. Kritik eksternal, yaitu kritik yang dilakukan untuk mengetahui otentitas

sumber yang didapatkan. Dalam hal ini dilakukan analisis terhadap sumber

data dengan cara meneliti sifat-sssifat luarnya sehingga diperoleh data yang

lebih akurat. Sjamsuddin(1998:105)mengemukakan bahwa kritik eksternal

adalah suatu penelitian atas asal usul dari sumber suatu pemeriksaan atas

catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang

mungkin dan untuk diketahui apakah pada suatu waktu sejakasal mulanya

sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak.

b. Krtik internal, yaitu yang dilakukan untuk mengetahui kredibiitas isi sumber

data yang didapat. Sehubungan dengan hal tersebut maka Lerissa

(2006:14)menyatakan bahwa untuk menguji apakah sumber itu dapat

dilakukan melalui empat aspek yaitu: (1) kemampuan menyatakan kebenaran,

(2) kemauan menyatakan kebenaran, (3) keakuratan pelaporan, (4)adanya

dukungan secara bebas dari oranng lain yang juga menyaksikan peristiwa

secara langsung mengenai isi laporan yang disampaikan.

20
4. Interpretasi Sumber

Setelah melakukan kritik sumber atau data, maka data tersebut

diinterpretasikan atau ditafsirkan dengan mengacu pada konsep yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti. Pada bagian yang diinterpretasi otentitas atau

kredibilitas sumber data yang telah ditetapkan melalui kritik selanjutnya

dihubungkan antara data yang satu dengan yang lainnya sehingga didapatkan

fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya secara ilmiah yang didapatkan

dengan cara berikut:

a. Analisis artinya menguraikan data dalam rangka untuk mendapatkan fakta-

fakta sejarah.

b. Sintesis yaitu menyatukan data-data yang dianggap saling behubungan dan

relevan dengan penelitian yang sedang tertulis.

5. Historiografi

Historiografi merupakan bagian akhir dari seluruh rangkaian dari peneliti

sejarah.Pada bagian ini penulis melakukan penyusunan yang relefan dan mudah

dengan kemampuan berfikir.Kemampuan berfikir sangat diperlukan pada saat

peneliti melakukan kegiatan analisis dan sistem terhadap informan sejarah yang

ada, serta telah lolos dari kritik shingga menjadi karya tulis ilmiah yang dapat

dipertanggung jawabkan.

21
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara geografis Kabupaten Buton Tengah terletak di Jazirah Tengah

Pulau Muna memanjang dari utara ke Selatan antara 0,50 06’-050 36’LS dan

membentang dari barat ke timur antara 1210 52’ -1220 42’BT. Kabupaten Buton

Tengah terdiri atas tujuh kecamatan yang terbagi atas dua karakteristik yaitu

enam kecamatan daratan yaitu Kecamatan Lakudo, Kecamatan Sangia Wambulu,

Kecamatan Gu, Kecamatan Mawasangka Timur, Kecamatan Mawasangka

Tengah, dan Kecamatan Mawasangka, dan satu kecamatan kepulauan yaitu

Kecamatan Talaga Raya.

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Buton Tengah

22
Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Buton Tengah adalah sebagai berikut:

 Timur : Selat Buton dan Kota Baubau

 Utara : Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana

 Barat : Teluk Bone

 Selatan : Laut Flores

Bentang alam, wilayah Kabupaten Buton Tengah terbagi ke dalam dua bagian

yakni daratan dan lautan dengan wilayah daratnya berada di Pulau Muna bagian

selatan dan Pulau Kabaena bagian selatan dengan luas keseluruhan ±958,31 km2.

Sedangkan luas bagian lautnya sementara dalam perhitungan resmi karena

berkenaan dengan batas perairan daerah di sekitarnya. Namun secara kasar, luas

wilayah laut dari Kabupaten Buton Tengah diperkirakan mencapai ±1.377,76 km.

Salah satu kecamatan yang ada di kabpaten buton tengah adalah

kecamatan Mawasangka,Sehingga salah satu desa yaitu desa Gumanano

kecamatan Mawasangka menjadi objek penelitian yang dilakukan. Desa

Gumanano merupakan salah satu wilayah desa administrative pada kecamatan

Mawasangka Kabupaten Buton Tengah,Sulawesi Tenggara denngan kode pos

73762. Pekerjaan utama Gumanano tiap harinya sebagai nelayan dan pembuat

sarung Buton. Berikut gambar peta Kecamatan Mawasangka:

23
Gambar 4.2 peta Kecamatan Mawasangka

B. Sejarah Kabupaten Buton Tengah

Sejarah Kabupaten Buton Tengah merupakan hasil pemekaran dari

Kabupaten Buton yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 2014, pemekaran daerah tersebut didasarkan atas

sulitnya aksesbilitas untuk mencapai daerah tersebut dan rentan kontrol yang

terlalu jauh dari wilayah Buton Tengah dengan pusat ibukota kabupaten Buton

yang berada di Pasar Wajo Daerah Buton Tengah juga merupakan bekas

wilayah Kerajaan dan Kesultanan Buton yang telah eksis sejak zaman dulu

(Buton Tengah Dalam Angka, 2018). Daerah Buton Tengah merupakan bekas

wilayah Kerajaan dan Kesultanan Buton yang telah eksis sejak tahun 1538.

Keberadaan Buton Tengah juga tertuang pada Undang-Undang Murtabat

Tujuh (sekitar tahun 1610), yakni undang-undang Kesultanan Buton pada masa

Sultan Buton ke-4, La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin). Disebutkan bahwa

24
Kesultanan Buton terdiri atas 72 kadie yang diduduki oleh 30 menteri dan 40

bobato. Sedangkan sisanya menandakan kaum yang memegang pemerintahan di

pusat. Dari 70 bagian tersebut dibagi lagi menjadi dua bagian besar yakni Pale

Matanayo dan Pale Sukanayo. Lakina Lakudo, mengepalai wilayah Kadolo,

Lawa, Tangana-lipu, Tongkuno, Gu, Wongko Lakudo, dan Wanepa-nepa

(Distrik Gu). Lakina Bombonawulu menduduki wilayah Bombonawulu-Kota,

Rahia, Wakea-kea, Uncume, Wongko-Bombonawulu (Distrik Gu). Kedua

lakina tersebut merupakan kadie di wilayah Pale Matanayo.

Di wilayah Pale Sukanayo, Menteri Peropa mengepalai beberapa wilayah

salah satunya Ballo di Distrik Kabaena (termasuk wilayah Talaga saat ini),

Menteri Gundu-Gundu mengepalai Kooe dan Kantolobea (Distrik

Mawasangka), Menteri Melai mengepalai Boneoge (Distrik Gu), Menteri Lanto

di Lalibo (Distrik Mawasangka), Menteri Wajo di Wajo (Distrik Gu), Menteri

Tanailandu di Wasindoii (Distrik Mawasangka). Selanjutnya Lakina Boneoge di

Boneoge, Madongka, Tanga, dan Matanayo (Distrik Gu), Lakina Baruta di

Baruta (Distrik Gu), Lakina Mone di Lambale dan Wakuru (Distrik Gu), Lakina

Lolibu di Lipumalangan II dan Tongkuno (Distrik Gu), dan Lakina Inulu di

Lamena, Lagili, dan Wakengku (Distrik Mawasangka).

Dalam undang-undang kesultanan juga disebutkan Tamburu

Limaanguana. Tamburu Limaanguana yaitu pasukan kehormatan sultan yang

terdiri atas lima kelompok yang masing-masing kelompok memiliki nama

sendiri-sendiri, salah satunya Mawasangka. Pada masa pemerintahan Raja

Buton ke-6 dan juga Sultan Buton ke-1 bernama Murhum, rakyat Gu dan

25
Mawasangka diriwayatkan patuh dan setia kepadanya. Ikatan emosional Gu dan

Mawasangaka terhadap Buton semakin kuat setelah Murhum berhasil membela

negeri mereka. Ketika kembali ke Buton, Murhum turut membawa “syara-

pancana” dan kemudian Gu dan Mawasangka diberinya nama “Paincana”

selaku tanda kemenangan Murhum. Nama ini kemudian lekat untuk

menggambarkan kedua etnis di Buton Tengah tersebut dengan sebutan pancana

atau pancano. Keberadaan Buton Tengah juga tertuang pada undang-undang

kerajaan atau Martabat Tujuh (Zahari, 1974 : ) Martabat Tujuh adalah undang-

undang Kesultanan Buton yang terbentuk dimasa pemerintahan Sultan Buton ke

4, La Elangi atau lebih dikenal dengan nama Sultan Dayanu Ikhsanuddin.

Dalam penyusunannya Sultan Dayanu Ikhsanuddin mendapat bantuan dan

nasihat didalam bidang agama dari Syarif Muhamad seorang berkebangsaan

Arab. Setelah menjadi ketetapan diadakanlah suatu pertemuan bersama-sama

dengan seluruh lapisan masyarakat yang bertempat di Daoaba depan mesjid

keraton. Dalam pertemuan tersebut Sapati Lasiangga atas nama syarat kerajaan

mengumumkan berlakunya Martabat Tujuh sebagai undang-undang resmi

kesultanan Buton, dijelaskan pula bahwa barang siapa yang merubah undang-

undang tersebut maka dia akan dilaknat Tuhan. Kejadian tersebut berlangsung

pada tahun 1610 atau sekitar abad 16 (Zahari, 1974). Dalam pemerintahan

Sultan Dayanu Ikhsanuddin juga disebutkan pembagian daerah pemerintahan.

Kerajaan atau Kesultanan Buton terdiri atas 72 bagian yang disebut kadie yang

lazimnya disebut “Pitu Puluh Rua Kadiena”. dari 72 bagian itu terbagi atas 2

bagian yaitu 30 bagian diduduki oleh menteri dalam hal ini walaka dan 40

26
bagian diduduki oleh dan 40 bobato dalam hal ini kaum bangsawan, 2 lainnya

secara simbolis menandakan 2 bagian kaum yang memegang pemerintahan di

pusat yaitu kaum bangsawan dan walaka. Dari 70 bagian yang diduduki oleh

bangsawan dan walaka dibagi lagi menjadi dua bagian besar yang masing-

masing disebut Pale Matanayo dan Pale Sukanayo, setiap daerah tersebut

diawasi dan dikepalai oleh menteri besar menurut Palenya. Lakina Lakudo,

mengepalai wilayah Kadolo, Lawa, Tangana-lipu, Tongkuno, Gu, Wongko

Lakudo, dan Wanepa-nepa (Distrik Gu). Lakina Bombonawulu menduduki

wilayah Bombonawulu-kota, Rahia, Wakea-kea, Uncume, Wongko-

bombonawulu (Distrik Gu). Kedua lakina tersebut merupakan kadie di wilayah

Pale Matanayo (Zahari, 1974 : ). Di wilayah Pale Sukanayo, Menteri Peropa

mengepalai beberapa wilayah salah satunya Ballo di Distrik Kabaena (saat ini

termasuk dalam wilayah administrasi kecamatan Talaga Raya), Menteri Gundu-

Gundu mengepalai Kooe dan Kantolobea (Distrik Mawasangka), Menteri Melai

mengepalai Boneoge (Distrik Gu), Menteri Lanto di Lalibo (Distrik

Mawasangka), Menteri Wajo di Wajo (Distrik Gu), Menteri Tanailandu di

Wasindoii (Distrik Mawasangka). Selanjutnya Lakina Boneoge di Boneoge,

Madongka, Tanga, dan Matanayo (Distrik Gu), Lakina Baruta di Baruta (Distrik

Gu), Lakina Mone di Lambale dan Wakuru (Distrik Gu), Lakina Lolibu di

Lipumalangan II dan Tongkuno (Distrik Gu), dan Lakina Inulu di Lamena,

Lagili, dan Wakengku (Distrik Mawasangka) (Zahari, 1974). Dalam undang-

undang kesultanan juga disebutkan Tamburu Limaanguana. Tamburu

Limaanguana yaitu pasukan pengawal kehormatan sultan yang terdiri atas lima

27
kelompok yang masing-masing kelompok memiliki nama sendiri-sendiri, yaitu

Peropa, Baluwu, Gundu-gundu, Barangkatopa dan Mawasangka. Daerah-daerah

Kabupaten Buton tengah lebih lanjut dijelaskan sebagai Matana Sorumba yaitu

rakyat dari empat daerah yaitu Watumotobe, Mawasangka, Wabula dan

Lapandewa. Rakyat dari daerah tersebut dipandang lebih tinggi derajat

kebangsawanannya dari pada yang lainnya, hal tersebut dikarenakan rakyat

daerah tersebut diberi tugas tertentu yang dapat diuraikan sebagai berikut :

 Watumotobe menjaga serangan musuh kerajaan yang datangnya dari

bagian timur ;

 Mawasangka menjaga serangan musuh kerajaan yang datangnya dari

bagian barat ;

 Wabula menjaga serangan musuh kerajaan yang datangnya dari bagian

selatan ;

 Lapandewa menjaga serangan musuh kerajaan yang datangnya dari

bagian utara.

 Matana Sorumba juga dapat bertindak sebagai mata-mata kerajaan.

Matana Sorumba juga tidak menerima perintah dari petugas lain kecuali

perintah yang diberikan oleh menteri besar, perintah tersebut merupakan

perintah khusus mengenai perintah untuk berperang. Dengan tugas-tugas

tersebut maka Matana Sorumba didalam undang-undang dianggap

setingkat lebih tinggi dari papara yanglainnya (Zahari, 1974:45-85).

28
C. Benteng Lasaidewa

Benteng Lasaidewa adalah sebuah benteng yang dibangun diatas bukit dan

berhadapan langsung dengan pantai mutiara. Benteng lasaidewa secara

administrasi berada di Kelurahan Gumanano, Kecamatan Mawasangka, dan

secara geografis berada pada koorditat 5°23’22” LS dan 122°19’5” BT dengan

ketinggian 84 meter diatas permukaan laut. Lokasi benteng saat ini berada

didalam hutan yang tidak jauh dari kantor Kelurahan Gumanano. Akses menuju

benteng dapat ditempuh dengan menggunakan roda dua ±3 menit dari kantor

kelurahan gumanano kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki ±10 menit.

Pada benteng Lasaidewa terdapat sebuah lawa yang terletak disisi benteng

sebelah utara. Namun saat ini, lawa tersebut tidak lagi digunakan sebagai pintu

masuk dikarenakan akses menuju lawa dipenuhi rerumputan liar yang lebat.

Lawa yang saat ini digunakan adalah lawa buatan yang berada disisi benteng

sebelah timur, lawa buatan tersebut merupakan bagian dinding benteng yang telah

mengalami kerusakan sehingga dapat digunakan untuk memasuki benteng. Lawa

buatan tersebut dipilih sebagai pintu masuk dikarenakan akses menuju lawa

tersebut lebih mudah dilalui walaupun terdapat tumbuhan liar namun tidak selebat

disisi benteng sebelah utara selain itu juga terdapat jalan setapak. Bangunan

benteng Lasaidewa sama seperti bangunan benteng-benteng lainnya di Kabupaten

Buton Tengah yaitu bangunan benteng pemukiman yang sengaja dibuat

menggunakan bahan batuan yang diperoleh dari daerah disekitaran benteng.

Disebut benteng pemukiman karena benteng Lasaidewa tidak memiliki ciri-ciri

29
benteng pertahanan seperti bastion, barak-barak ataupun tempat penyimpanan

logistik (Balai Arkeologi Makassar,2009:22).

Berdasarkan hasil Penelitian,Halidun sebagai kepala desa Gumanano mengatakan

bahwa :

“Struktur bangunan benteng tersebut disusun menggunakan susunan batu

gamping dengan bentuk persegi panjang yang tiap sisinya memiliki ukuran tinggi

yang berbeda-beda yang menyesuaikan dengan kontur tanah. Ukuran tinggi

tersebut bervariasi mulai dari 80 cm hingga 1,5 meter dan tebal 1 meter – 2

meter”.

Gamabar 4.3 Wawancara Kepala Desa di lokasi Penelitian

30
Didalam benteng tersebut terdapat makam/Kobuhu dan sebaran moluska. Makam

yang terdapat didalam benteng terdiri dari susunan batu yang sama dengan

susunan batu dinding benteng, makam tersebut memiliki ukuran panjang 1,28 m

dan lebar 32 cm.. Hamiru sebagai toko masyarakat disana saat di wawancarai

menyatakan bahwa :

“Benar adanya kuburan di benteng Lasaidewa karena terdapat bekas bekas

makanan dan ditinggali bahkan terdapat pohon asam, Kalau ditanyakan

peninggalanya yaitu kuburan dan mata air”.

Gambar 4.4 Wawancara dengan toko masyarakat

Sebaran moluska yang terdapat di benteng Lasidewa merupakan sebaran

molusca yang berbeda dengan sebaran molusca yang terdapat di benteng-benteng

lain di Buton Tengah. Sebaran molusca yang terdapat di benteng Lasaidewa

31
memiliki ukuran yang lebih besar dan juga beragam jenisnya dibandingkan

dengan di benteng lainnya di Kabupaten Buton Tengah.

Pendirian benteng tidak terlepas dari suatu faktor. Faktor-faktor tersebut

ialah faktor keamanan dan faktor lingkungan fisik. Faktor keamanan yang

dimaksud adalah menjadi suatu tempat berlindung atau sarana pertahanan dari

ancaman bajak laut atau yang lebih dikenal dengan tobelo serta untuk persiapan

agresi dari luar daerah (Zahari, 1974:79), sedangkan faktor lingkungan fisik terdiri

dari topografi, ketinggian, jenis tanah, serta hidrologi. Dipilihnya kawasan Buton

Tengah sebagai tempat dibangunnya beberapa benteng dimasa Kesultanan Buton

perlu ditinjau dari berbagai faktor. Ada beberapa faktor yang dapat

dipertimbangkan, antara lain Keletakan benteng yang secara umum berada

dilokasi dengan kategori daerah pesisir, meski keletakannya berada didaerah

perbukitan namun lokasi benteng tetap dapat memantau wilayah perairan.

Keletakan benteng yang berada didaerah pesisir berhadapan langsung dengan

perairan yang berada didaerah pesisir namun tersembunyi. Hal ini kemungkinan

terjadi disebabkan oleh topografi Kabupaten Buton Tengah yang merupakan

pulau dengan daerah pesisir yang cukup luas.

Selain pertimbangan keletakan, pertimbangan lain yang berkaitan dengan

faktor lingkungan fisik seperti topografi, ketinggian, jenis tanah, dan hidrologi.

Berdasarkan topografi dan ketinggian sebaran sebaran benteng dibangun pada

kemiringan lereng 2-15% dan ketinggian absolut 50-200 mdpl. Topografi dan

ketinggian tersebut merupakan unsur morfologi dataran rendah hingga curam.

Kondisi tersebut merupakan keadaan yang dinilai paling aman dibandingkan

32
dengan jenis topografi yang lainnya karena pada ketinggian 50-200 mdpl

merupakan ketinggian yang memiliki unsur morfologi dataran rendah hingga

perbukitan rendah dan ditopografi 2-15% dengan jenis lahan diatas kemungkinan

dapat memberi kemudahan pembangunan benteng selain itu juga dapat memberi

kemudahan bagi penghuni benteng jika terjadi bencana alam seperti longsor yang

relatif bergerak dengan kecepatan rendah, namun pada kemiringan lereng tersebut

rawan terhadap erosi. Jenis tanah aluvium dan batu gamping adalah dua jenis

tanah yang terdapat pada topografi dan ketinggian yang aman selain itu, benteng

yang dibangun pada jenis tanah aluvium dapat menguntungkan bagi masyarakat

yang bermukim di benteng karena mengandung unsur hara yang banyak. Selain

itu jenis tanah aluvium memiliki kandungan air yang cukup banyak menjadikan

tanah ini memiliki cadangan air yang sangat diperlukan oleh tanaman terutama

pada musim kemarau. Benteng yang didirikan di jenis tanah batu gamping dapat

dipahami, karena sebagian besar daerah penelitian berada pada jenis tanah

tersebut selain itu pula jenis tanah tersebut merupakan jenis tanah yang dapat

menguntungkan bagi masyarakat penghuni benteng karena tanah tersebut

mengandung kalsium yang dapat diserap tanaman dalam bentuk ion kalsium (Ca+

+), berfungsi sebagai pembentuk dinding sel tanaman dan mendorong

pembentukan buah dan biji yang sempurna. Kemudian dilihat dari faktor hidrologi

benteng dibangun pada tiga kategori jarak gua (sumber daya air) yaitu berada

pada kategori dekat dengan gua. Hasil penelitian yang dilakukan saat wawancara

dengan toko ada di desa Gumanano, Mujamil mengatakan :

33
“Gua-gua yang ada dapat diasumsikan bahwa posisi tersebut menjamin

kehidupan masyarakat penghuni benteng dari gua. Dari benteng yang ada di

Kabupaten Buton Tengah terdiri dari benteng Bombonawulu, benteng

Wawolao,benteng Watulea,benteng Liwu Lakudo, benteng Boneoge dan benteng

Lasaidewa terlihat persamaan dan perbedaan. Persamaan yang terlihat adalah

dengan dibangunnya dengan ketinggian yang sama sedangkan perbedaan

terlihat yang dibangun pada jenis tanah dan jarak benteng dengan sumber daya

air” Posisi tersebut menjamin kehidupan masyarakat penghuni benteng dari sumber daya

air.

Gambar 4.5 Wawancara dengan toko adat desa Gumanano

34
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian:

1. Latar belakang pembangunan benteng Lasaidewa Abad XIV adalah faktor

keamanan dan faktor lingkungan fisik. Faktor keamanan yang dimaksud

adalah menjadi suatu tempat berlindung atau sarana pertahanan dari

ancaman bajak laut atau yang lebih dikenal dengan tobelo serta untuk

persiapan agresi dari luar daerah (Zahari, 1974:79), sedangkan faktor

lingkungan fisik terdiri dari topografi, ketinggian, jenis tanah, serta hidrologi

dimana Keletakan benteng yang secara umum berada dilokasi dengan

kategori daerah pesisir, meski keletakannya berada didaerah perbukitan

namun lokasi benteng tetap dapat memantau wilayah perairan. Keletakan

benteng yang berada didaerah pesisir berhadapan langsung dengan perairan

yang berada didaerah pesisir namun tersembunyi.

2. Fungsi benteng Lasaidewa XIV adalah sebagai permukiman

masyarakat ,yang dapat memberikan keamanan gangguan bajak laut dan

dan sebagai potensinsi daerah yang dapat memberi kemudahan bagi

penghuni benteng jika terjadi bencana alam.

35
5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut,maka penulis memberikan saran sebagai

berikut :

1. Pemerintah

Kepada pihak Pemerintah, untuk menjadikan sebagai tempat wisata

peningggalan sejarah dan memperbaiki akses jalan sehingga dapat dtempuh

dari luar daerah Kecamatan ataupun Kota dan tentunya dapat meningkatkan

perekonomian daerah.

2. Masyarakat

Kepada masyarakat khususnya masyarakat di desa Gumanano Kecamatan

Mawasangka agar terus memperhatikan t dan menjaga peniggalan peninggalan

sejarah atau warisan budaya sehingga tidak punah seiring dengan

perkembangan Zaman.

3. Akademi

Bagi para akademisi atau peneliti selanjutnya terhadap Sejarah Benteng

Lasaidewa di Kecamatan Mawasangka Desa Gumanano sangat perlu

dilanjutkan dalam upaya pelestarian budaya di dalam masyarakat sehingga

nantinya bisa digunakan sebagai acuan dan pembelajaran.

36
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ayatrohaedi,1982. Peranan Benda Purba Kala dalam Historiografi Tradisional


(Indonesia Journal of Cultural Studies) Jilid X No 03. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Hanafiah, Djuhan.1989. Pertahanan Keamanan. Jakarta: Intermasa.
Kamisa.1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta LP3ES.
Kasjono, Herusubaris. Penyehatan Pemukiman. Yogyakarta: Gosye Publishing.
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah.Yogyakarta.Tiara Wacana.
Lerissa, R. Z.1996. Historiografi Umum Rencana Perkuliahan (Program
Megister Ilmu Sejarah, UI). Jakarta:UI Press.
Lerissa, R. Z. et al 2006. Pedoman Sejarah Lokal. Jakarta: Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata.
Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdikbud.
Robinson, Kathryn & Mukhlis Paeni.2005 Tapak-tapak Waktu. Makassar:
Ininnawa.
Salim, Peter. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta.
Sjamsuddin, Helius.1996. Metodologi Sejarah. Jakarta.
Sjamsuddin, Haelus.1998. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Suparlan, Parsudi.1990. Model Transformasi Masyarakat Terasing Kedalam
Sistem Nasional Indonesia (Sebuah Alternatif). Jakarta:Bumi.
Tjandra Sasmita, Uka.1985. Kota Pemukiman Masa Pertumbuhan Kerajaan-
Kerajaan Pengaruh Islam di Indonesia. Jakarta PIA III.
B. SKRIPSI

Nurlian 1998. Eksistensi Benteng Talo-talo Pada Masa Kesultanan Buton (1597-
1931). Kendari :Skripsi FKIP Unhalu.

37
Rismaya, Ima. 2014. Pemukiman Masyarakat Falumpaledi Kecamatan Tomia
Kabupaten Wakatobi 1996-2013. Skripsi Kendari :Jurusan Pendidikan FKIP
UHO.
Wd. Ade Trie Yunizar, 2019. Sebaran Benteng Di Kabupaten Buton Tengah
Provinsi Sulawesi Tenggara. (56-58). Kendari: Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Halu Oleo.

Zainuddin.2003. Fungsi Benteng Lipu di Pulau Kadatua Pada Masa Kesultanan


Buton (ABAD XVI-XIX). Kendari: Skripsi FKIP UHO.
C. JURNAL

Sangia.Sebaran Benteng Di Kabupaten Buton Tengah Provinsi Sulawesi


Tenggara. Jurnal Penelitian Arkeologi Vol.2, No.1 (Juni 2018):56-72).

38
LAMPIRAN

39
1. Identitas Responden

1. Nama Responden : ………………………..

2. Jenis Kelamin : ………………………….

3. Umur :………………………....

Jawablah Pertanyaan di Bawah Ini :

1. Apa yang mendasari sehingga ada benteng Lasaidewa?

2. Apa Fungsinya benteng Lasadewa pada masyarakat dulu?

3. Apa-apa yang terdapat di dalam benteng Lasaidewa?

40
II.Dokumentasi Penelitian

Gambar Permohonan izin Penelitian Dengan Kepala Desa

Gambar Wawancara dengan salah satu Warga Desa Gumanano

41
Gambar wawancara dengan toko adat desa Gumanano.

42
Gambar mengunjungi lokasi Benteng Lasaidewa dengan Kepala Desa

43

Anda mungkin juga menyukai