Anda di halaman 1dari 40

PRINSIP MU’ASYAROH BIL MA’RUF SEBAGAI

PILAR KELUARGA SAKINAH PERSPEKTIF

MAQOSHID AL-SYARI’AH

RISALAH AKHIR SARJANA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana


Agama (S.Ag) pada Ma’had Aly kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon

Oleh
MIFTAHUS SURUR
NIM: 41.42.066

Takhasus Fiqh Dan Ushul Fiqh


(Konsentrasi al-Ahwal al-Syakhsiyyah)

MA’HAD ALY KEBON JAMBU


BABAKAN CIWARINGIN CIREBON
2022
DAFTAR ISI

Contents
DAFTAR ISI......................................................................................................................1
BAB I.................................................................................................................................2
A. LATAR BELAKANG MASALAH......................................................................2
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................8
C. TUJUAN................................................................................................................8
D. MANFAAT............................................................................................................8
E. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................9
F. KERANGKA TEORI...........................................................................................11
G. METODE PENELITIAN.....................................................................................14
H. SISTEMATIKA PENULISAN............................................................................16
BAB II.............................................................................................................................18
A. PRINSIP MU’ASYAROH BIL MA’RUF............................................................18
B. PILAR KELUARGA SAKINAH.........................................................................24
C. PERSPEKTIF MAQOSHID AL-SYARI’AH......................................................33
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................39

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Mewujudkan keluarga sakinah menjadi suatu keinginan, impian, dan


harapan di dalam diri setiap pasangan suami istri. Memiliki keluarga yang
harmonis saling menjaga satu salama lain tanpa harus mengalami perselisihan
yang membuat keharmonisan dalam keluarga menjadi terganggu adalah salah
satu tujuan dari terbentuknya keluarga sakinah. Dalam prosesnya,
mewujudkan keluarga sakinah memerlukan banyak hal yang harus dilakukan
agar keluarga sakinah dapat terbentuk dalam suatu ikatan pernikahan.

Banyak cara yang telah dipaparkan oleh mubalig, para ustadz untuk
membentuk keluarga sakinah. Tetapi, lagi-lagi dalam praktiknya kehidupan
berkeluarga akan selalu ditemui fase-fase kebahagiaan, kesabaran, perjuangan,
pengorbanan, kesetiaan dan kekompakan itu diuji, dan yang berhasil melewati
ujian itulah yang akan bertahan.

Ironisnya, di zaman sekarang keluarga yang seharusnya menjadi


tonggak bagi kemajuan peradaban bangsa, justru berperan sebaliknya, banyak
terjadi krisis keluarga. Krisis keluarga yaitu “kehidupan keluarga dalam
keadaan kacau, tidak teratur, orang tua kehilangan wibawa, dan anak-anak
melawan orang tua”.1 Yang dampaknya membuat keluarga yang harusnya
menjadi tempat pulang dan perlindungan bagi anggotanya tidak lagi menjadi
tempat aman dan nyaman untuk pulang. Dan yang terjadi keharmonisan dalam
keluarga menjadi terganggu, tidak adanya kerja sama dan kekompakan antar
anggota keluarga sebab keluarga tidak lagi menjadi tempat paling nyaman
untuk berbagi.

Membangun kerjasama dalam pernikahan tidak semudah yang


dibayangkan. Hubungan timbal balik antara suami-istri yang tidak sesuai,
kurangnya komunikasi yang mengakibatkan kesalahfahaman, dan kondisi
1
Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga, Suatu Upaya Membantu Anggota
Keluarga Memecaahkan Masalah Komunikasi di dalam Sistem Keluarga,, (Bandung:
Alfabeta, 2009.) Hlm.13

2
ekonomi keluarga juga menjadi masalah serius atas terhambatnya pencapaian
keluarga sakinah. Selain itu konflik eksternal yang ada dalam lingkungan
sosial juga memberikan pengaruh yang besar dalam membangun keluarga
sakinah.2

Belum lagi jika konflik keluarga sudah tidak dapat diselesaikan dengan
cara baik-baik, konflik itu dapat mendatangkan dampak negatif bagi keluarga,
seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap
anak. Dalam laporannya BPS mencatat jumlah perceraian di Indonesia pada
2021 mencapai 447.743 kasus perceraian, dengan rincian 110.400 cerai talak
dan 337.343 cerai gugat, angka ini lebih tinggi dari dua tahun sebelumnya.3

Keluarga menjadi sekolah pertama bagi setiap individu untuk belajar,


melihat, dan meniru bagaimana masing-masing anggota keluarga yang ada
didalamnya saling menguatkan, menopang, mendukung dan bekerja sama. 4
Bukan relasi otoriter, memaksa, dan penuh kekerasan. Belajar bagaimana
keluarga dapat menjadi rumah yang aman, nyaman, dan menentramkan bagi
seluruh anggota keluarga.5

Merujuk pada QS.ar-rum (30):21

ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫اجا لِّتَ ْس ُكُن ْٓو ا الَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َّم َو َّد ًة َّو َرمْح َةًۗا َّن يِف ْ ٰذل‬
‫ك‬ ً ‫َوم ْن اٰ ٰيتهٖٓ اَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم ِّم ْن اَْن ُفس ُك ْم اَْز َو‬
‫ت لَِّق ْوٍم َّيَت َف َّك ُر ْو َن‬
ٍ ٰ‫اَل ٰي‬

“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan


pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa
tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

2
Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2017, Labirin
Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta, Maret 2017, Hlm.1
3
Ahmad Naufal Dzulfaroh, 10 Daerah dengan Angka Perceraian Tertinggi
di Indonesia (kompas.com)Kompas.com. diakses pada tanggal 01 Agustus 2022 pukul
23.57.
4
Fakihuddin Abdul Qodir, Qiro’ah Mubadalah…, Hlm. 330
5
Fakihuddin Abdul Qodir, Qiro’ah Mubadalah…, hlm,330

3
Pada surah Ar-Rum (30): 21 dijelaskan bahwa tujuan dari pernikahan
adalah ketenangan (sakinah) yang dirasakan oleh suami maupun istri, dengan
pondasi rasa dan sikap cinta (mawaddah) dan kaih (rahmah). Ketenangan ini
tentu saja dalam berbagai aspek, terutama spiritual, psikologi, ekonomi, serta
hubungan personal maupun sosial. Ketenangan ini mensyaratkan mawaddah
dan rahmah. Mawaddah adalah rasa dan sikap cinta seseorang kepada
pasangan, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, dan ia merasa bahagia
bersama pasangannya. Sementara rahmah adalah rasa dan sikap cinta
seseorang kepada pasangan yang membuatnya bergerak menjadikan
pasangannya bahagia. Dengan demikian, baik suami maupun istri, keduanya
dituntut untuk aktif saling membahagiakan pasangannya dengan dorongan
rahmah, sekaligus mendapatkan kebahagiaan dari pasangannya dengan modal
mawaddah.6

Didalam sebuah keluarga, pasti anggotanya mengharapkan sebuah


keluarga yang mawaddah (saling cinta) dan rahmah (saling kasih) sehingga
dari kedua pondasi dasar tersebut yang telah terpenuhi diharapkan dapat
melahirkan sakinah (ketenangan lahir bathin) didalam keluarga. Setelahnya
muncullah sebuah istilah “Baiti jannati” rumahku surgaku. Untuk mencapai
istilah tersebut tentu tidaklah mudah, diperlukan usaha yang ditunjang dan
dibarengi dengan menerapkan kaidah-kaidah mu’asyaroh bil ma’ruf,
komunikasi yang baik, tolong menolong, dan saling ridho diantara anggota
keluarga.

Prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf merupakan satu dari lima pilar keluarga
sakinah yang dirangkum di dalam Al-Qur’an. Prinsip ini merupakan inti dari
lima prinsip yang mengikutinya yaitu, perjanjian yang kokoh (mistaqon
ghalidzan), berpasangan (zawaj), saling memberi kenyamanan (taradhin),
saling memperlakukan dengan baik (mu’asyaroh bil ma’ruf), dan saling
berembuk bersama (musyawaroh). Di antara lima pilar yang paling kentara
sebagai etika puncak dari pernikahan dan menjadi ruh utama bagi pilar-pilar

6
Fakihuddin Abdul Qodir, Qiro’ah mubadalah…, hlm,337.

4
yang lain dan semua ajaran serta aturan terkait dengan relasi suami dan istri
adalah yang ketiga, yaitu mu’asyaroh bil ma’ruf.7

Dalam membangun keluarga sakinah, al-Qur’an mengajarkan agar


suami dan istri saling memperlakukan dengan baik (mu’asyaroh bil ma’ruf).
Allah memerintahkan suami membina hubungan dan pergaulan yang baik
kepada istri mereka dan juga sebaliknya, karena hal itu lebih dapat menengkan
hati, mendamaikan jiwa, dan lebih menenangkan hidup. Membina hubungan
baik merupakan kewajiban suami dan istri. Suami berkewajiban mempunyai
hubungan yang baik dengan istri, demikian pula istri berkewajiban untuk
berhubungan baik kepada suami. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-
qur’an surah An-Nisa’ (4) ayat 19:

ِ ِ ِ ‫ضلُ ْو ُه َّن لِتَ ْذ َهُب ْوا بَِب ْع‬ ِ ِ َّ ٓ


َ ‫ض َمٓا اَٰتْيتُ ُم ْو ُه َّن آاَّل اَ ْن يَّْأتنْي‬ ِ
َ ‫ٰياَيُّ َها الذيْ َن اٰ َمُن ْوا اَل حَي ُّل لَ ُك ْم اَ ْن تَرثُوا الن‬
ُ ‫ِّساۤءَ َك ْر ًها ۗ َواَل َت ْع‬

‫ف ۚ فَاِ ْن َك ِر ْهتُ ُم ْو ُه َّن َف َع ٰ ٓسى اَ ْن تَكَْر ُه ْوا َشْيـًٔا وَّجَيْ َع َل ال ٰلّهُ فِْي ِه َخْيًرا َكثِْيًرا‬
ِ ‫اشروه َّن بِالْمعرو‬
ِ ٍ ٍ ِ ِ
ْ ُ ْ َ ُ ْ ُ ‫ب َفاح َشة ُّمَبِّينَة ۚ َو َع‬

Artinya: “wahai orang-orang yangberiman, tidak halal bagi kalian


mewarisi Wanita (menjadikannya seperti barang warisan) dengan
pemaksaan, janganlah kalian menghalang-halangi mereka (para
wanita yang menjadi istri kalian untuk menikah dengan orang lain
sementara kalian sudah tidak mencintainya) karena hendak
mengambil Kembali Sebagian mahar yang telah kalian berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji (zina
atau nusyuz) yang nyata, dan pergauliah mereka secara baik.
Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu. Sementara Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’ ayat 19).

Pada ayat ini dijelaskan mengenai kewajiban suami untuk


memperlakukan istrinya dengan baik, dengan cara menghormatinya, bergaul
dengan baik (mu’asyaroh bil ma’ruf), memperlakukannya dengan wajar,
mendahulukan kepentingan yang memang layak didahulukan untuk

7
Faqihuddin Abdul Kodir, Qiroah Mubadalah tafsir progresif untuk keadilan
gender dalam islam.IRCiSoD. Yogyakarta,2019.

5
melunakkan hatinya. Hal itu juga berlaku kepada istri, yang juga harus berlaku
baik kepada suaminya. Prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf yang disampaikan
dengan lafad wa’asyiruhunna bil ma’ruf pada ayat tersebut diperuntukkan
untuk suami dan istri. Artinya, bukan hanya satu pihak yang berbuat baik dan
yang lain mendapat kebaikan. Tetapi harus ada relasi kerja sama didalamnya,
yaitu suami dan sitri saling mnghormati, menghargai dan saling
memperlakukan dengan baik satu sama lain.

Prinsip Mu’asyaroh bil ma’ruf menjadi dasar dalam bersikap untuk


saling memperlakukan satu sama lain secara baik. Sikap ini merupakan etika
yang paling fundamental dalam relasi suami-istri, ia juga menjadi salah satu
pilar yang bisa menjaga dan menghidupkan segala kebaikan yang menjadi
tujuan bersama sehingga dapat terus dinikmati dan dirasakan oleh kedua belah
pihak.8 Mu’asyaroh bil ma’ruf juga menegaskan mengenai perspektif, prinsip,
dan nilai kesalingan antara suami dan istri. Bahwa kebaikan harus dihadirkan
diantara kedua belah pihak. Bukan hanya di salah satu pihak saja.9

Maqoshid asy-syari’ah diartikan sebagai tujuan-tujuan ajaran Islam


atau dapat juga dipahami sebagai tujuan-tujuan pembuatan syari’ah (Allah)
dalam menggariskan ajaran Islam.10 Prinsip dasar maqoshid asy-syari’ah
adalah hikmah dan kemaslahatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan terhadap keadilan yang merata, kasih sayang, kebijaksanaan
dan kepedulian antar sesama. Dimana kesengsaraan berubah menjadi
kebijaksanaan, Kekerasan menjadi kasih sayang, kedzaliman menjadi keadilan
dan permusuhan menjadi perdamaian.

Kriteria maslahah, terdiri dari dua bagian. Pertama, Maslahah yang


bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan membuatnya
tunduk pada hawa nafsu. Kedua, maslahah yang bersifat universal.

8
Fakihuddin Abdul Qodir, Qiro’ah Mubadalah…, hlm,350.
9
Fakihuddin Abdul Qodir, Qiro’ah Mubadalah…,Hlm.350
10
Moh Nasuka, Urgensi Maqoshid Syariah dalam Membangun Keluarga
Sakinah. (ISTIDLAL: Jurnal Studi Hukum Islam Vol.3 No.2 Juli-Desember.ISSN:2356-
0150. Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU). (Jepara,ISTI’DAL 2016) Hlm.117.

6
Selanjutnya, maslahah dapat diklarifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu
daruriyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat.11

Dalam islam, membangun keluarga sakinah merupakan maslahah


daruriyyat. Maslahah durariyyah adalah sesuatu yang harus ada/dilaksanakan
untuk mewujudkan kemaslahatan yang terkait dengan dimensi duniawi dan
ukhrawi.12 Dalam pandangan Imam Asyathibi Allah menurunkan
syariat/aturan hukum bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan manusia
baik di dunia maupun diakhirat. Imam Asyathibi juga mengkategorikan
Maqoshid syari’ah menjadi lima kemaslahatan. (1) hifdzud din, menjaga
agama (2) hifdzun nafs, menjaga jiwa (3) hifdzul ‘aql (4) hifdzun nasl,
menjaga keturunannya (5) hifdzul mal, menjaga hartanya.13

Keluarga yang sakinah menjadi idaman bagi semua keluarga. Namun


mewujudkannya bukanlah perkara yang mudah, karena masih kurang
banyaknya pemahaman-pemahaman dikalangan masyarakat tentang keluarga
sakinah, sehingga terkadang timbul masalah yang menggangu bahtera rumah
tangga yang pada akhirnya menghambat terbentuknya keluarga sakinah seperti
yang diharapkan. Gagalnya komunikasi antar suami-istri juga menjadi salah
satu penyebab keretakan didalam rumah tangga. Sehingga timbullah konflik
keluarga yang berkepanjangan dan berdampak pada ketidakharmonisan
bahkan dapat memicu perceraian.

Oleh karena itu, setiap keluarga wajib untuk menjaga dan melestarikan
hubungan baik (Mu’asyaroh bil ma’ruf) dalam keluarga dengan saling
menjaga ketentraman dan kebersamaan agar dapat mencapai keluarga yang
sakinah dengan tetap memperhatikan kemaslahatan didalamnya. Hal ini juga
lah yang mendorong penulis untuk meneliti mengenai:

“PRINSIP MU’ASYAROH BIL MA’RUF SEBAGAI PILAR


KELUARGA SAKINAH PERSPEKTIF MAQOSHID ASY-SYARI’AH”

11
Moh Nasuka, Urgensi Maqoshid Syari’ah dalam Membangun Keluarga
Sakinah…, Hlm.115
12
Moh Nasuka, Urgensi Maqoshid Syari’ah dalam Membangun Keluarga
Sakinah…, Hlm. 116
13
Moh Nasuka, Urgensi Maqoshid Syari’ah dalam Membangun Keluarga
Sakinah…, Hlm.116

7
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasaarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka dapat


ditarik rumusan masalah yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep mu’asyaroh bil ma’ruf sebagai pilar keluarga


sakinah perspektif maqoshid asy-syari’ah?
2. Bagaimana indikator/gambaran prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf dalam
membangun keluarga sakinah pada surah an-Nisa’ (4): 19 perspektif
maqoshid asy-syari’ah?

C. TUJUAN

1. Mengetahui dan dapat menjelaskan konsep mu’asyaroh bil ma’ruf


sebagai pilar keluarga Sakinah dengan menggunakan perspektif
maqoshid asy-syari’ah
2. Mengetahui dan menjelaskan indikator/gambaran mengenai prinsip
mu’asyaroh bil ma’ruf dalam pembentukan keluarga sakinah pada
surah an-Nisa’ (4): 19 menggunakan perspektif maqoshid asy-syariah.

D. MANFAAT

1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
khasanah keilmuan bagi tumbuh kembangnya hukum Islam khususnya
yang berkaitan dengan mu’asyaroh bil ma’ruf, pembentukan keluarga
sakinah yang maslahah.
b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan
pemahaman kepada masyarakat luas mengenai prinsip mu’asyaroh bil
ma’ruf dalam membentuk keluarga yang sakinah, dan dapat
dipraktikkan dalam kehidupan keluarga, sehingga tercipta keluarga
yang sakinah dan bahagia. Dan diharapkan juga dapat mengurangi
kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di
Indonesia.

8
E. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam melakukan penelitiannya, penulis melakukan kajian pemikiran


dan penelitian-penelitian terdahulu yang banyak membahas mengenai prinsip
mu’asyaroh bil ma’ruf yang berkaitan erat dengan tujuan keluarga sakinah.
Untuk membedakan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis, berikut adalah beberapa penelitian dan artikel yang
juga mengkaji tentang mu’asyaroh bil ma’ruf diantaranya:

a. Lisnawati dalam skripsinya yang berjudul Relevansi Prinsip


Mu’asyaroh bil Ma’ruf dengan Pasal-Pasal Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Membahas bahwa
prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf menurut QS. An-Nisa’ ayat 19
merupakan prinsip pergaulan hidup dalam rumah tangga dengan
pergaulan yang patut dan baik menurut syariat Islam. Dan relevansi
prinsip mu’assyaroh bil ma’ruf pada Undang-undang penghapusan
KDRT yang berlaku di Indonesia yakni terfokus pada pasal-pasal
undang-undang No.23 Tahun 2004.14
b. Abdul Kholik dalam jurnalnya yang berjudul Konsep Keluarga sakinah
dalam Perspektif Quraish Shihab. Dalam jurnalnya, menurut Quraish
Shihab, keluarga sakinah tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat
bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, sakinah bersumber dari
dalam kalbu, lalu terpancar keluar membentuk aktifitas.15 Sakinah
bukan sekedar apa yang terlihat pada ketenangan lahir yang tercermin
pada kecerahan raut muka, akan tetapi sakinah yang sesungguhnya
harus terlihat pada kecerahan raut muka yang disertai dengan
kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang disebabkan oleh

14
Lisnawati, Relevansi Prinsip Mu’asyaroh bil Ma’ruf dengan Pasal-Pasal
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Skripsi, Fakultas
Ahwal Asyakhsiyah, AIN Palangkaraya, 2017.
15
Abdul Kholik, Konsep Keluarga Sakinah Perspektif Quraish Shihab, Jurnal,
INKLUSIF Vol 2 No. 4, Desember 2017.

9
ketenangan batin dan menyatunya pemahaman serta pandangan yang
jelas dengan tekat yang bulat.16
c. Imroni dalam skripsinya Konsep keluarga sakinah dalam Al-Qur’an
(Kajian Tafsir Tematik). Dalam penelitiannya Imroni menjelaskan
keluarga yang sakinah mempengaruhi tingkat ketenangan dan
kenyamanan dalam rumah tangga. Keluarga sakinah menjadi pilihan
utama dalam rumah tangga, didalamnya memiliki beberapa kriteria-
kriteria yang harus dipenuhi yaitu: beriman. Tanggung jawab. Saling
memaafkan, dan mu’asyaroh bil ma’ruf.
Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep atau faktor terwujudnya
keluarga sakinah diantara suami istri harus saling memahami hak-
haknya dan bersabar jika ada goncangan didalam rumah tangga, dan
saling menerima kekurangan pasangan.17
d. Yulianti Ratnasari dalam skirpsinya Konsep Keluarga Sakinah
Menurut Al-Gazali. Konsep keluarga Sakinah menurut Al-gazali
adalah yang dilandasi spiritualitas dengan niat ibadah yang bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kesejahteraan
dan kebahagiaan lahir maupun batin. Keluarga sakinah dapat dibangun
dari pernikahan yang dilandasi oleh ketaqwaan, kesabaran serta rasa
syukur yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pernikahan
dapat menuaikan manfaat duniawi dan manfaat ukhrowi. Karena itu
pernikahan seorang muslim dilakukan sesuai etika yang diatur oleh
islam.18
e. Ayu Purnamasari dalam skripsinya Analisis Pemikiran Husein
Muhammad dan Siti Musdah Mulia Tentang Konsep Mu’asyaroh bil
Ma’ruf dalam membangun keluarga sakinah. Dalam skripsinya
dijelaskan bahwa mu’asyaroh bil ma’ruf adalah bentuk kata kesalingan
sehingga perilaku berbuat baik haru bersifat timbal balik. Keluarga
sakinah hanya bisa dicapai jika memakai mu’asyaroh bil ma’ruf
16
M.Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, Jakarta: Lentera Hati,2006, 137.
17
Imroni, Konsep Keluarga Sakinah dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik),
Jurusan Ilmu Qur’an dan Tafsir, UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi 2018.
18
Yulianti Ratnasari, Konsep Keluarga Sakinah Menurut Al-Ghazali, Jurusan
Tasawuf dan Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo,
Semarang 2018.

10
dengan tepat. Menurut Husein Muhammad dan Siti Musdah Mulia
yang disepakati mengenai konsep mu’asyaroh bil ma’ruf dalam
membangun keluarga sakinah yaitu, relasi seksual dan relasi
kemanusiaan. Adapun perbedaan pemikiran Husein Muhammad dan
Siti Musdah Mulia terletak padaa metode istinbath yang digunakan.
Husein Muhammad dalam merumuskan kesimpulan hukum
Mu’asyaroh bil ma’ruf adalah menggunakan penafsiran ulama,
mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan, dan keadilan. Sedangkan
metode istinbath yang digunakan Siti Musdah Mulia dalam
merumuskan kesimpulan hukum mu’asyaroh bil ma’ruf yaitu
menggunakan literasi feminis, tafsir tematik dan maqoshid syari’ah.19

Beberapa penelitian di atas memiliki persamaan dan perbedaan dalam


penelitian ini. Persamaan dalam penelitian ini adalah fokus penelitian yaitu
pembahasan tentang keluarga sakinah dan mu’asyaroh bil ma’ruf. Perbedaan
dalam penelitian ini adalah sudut pandang yang digunakan oleh peneliti.
Sedangkan, fokus peneliti adalah untuk menjelaskan pentingnya prinsip
mu’asyaroh bil ma’ruf dalam upaya pembentukan keluarga yang sakinah
dengan perspektif maqoshidus syari’ah.

F. KERANGKA TEORI

Teori yang digunakan peneliti di dalam penelitian ini ialah teori hukum
normatif. Teori hukum normatif adalah teori penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, yang
disebut juga dengan penelitian kepustakaan (library research), yakni dengan
meneliti atau menelaah suatu buku, literatur, sumber tulisan yang berkaitan
dengan masalah yang sedang diteliti. Penelitian ini menggunakan teori-teori
hukum yang sifatnya deskirptif. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa
dalam menggali atau meneliti sebuah hukum diperlukan beberapa teori, yaitu:

19
Ayu Purnamasari, Analisis Pemikiran Husein Muhammad dan Siti Musdah
Mulia Tentang Konsep Mu’asyaroh bil Ma’ruf dalam membangun Keluarga Sakinah,
jurusan Hukum keluarga Islam, Fakultas Syari’ah, UIN Raden Intan, Lampung 2021.

11
1. Prinsip Mu’asyaroh bil Ma’ruf

Menurut KH. Husein Muhammad dalam bukunya Fiqh Perempuan,


mu’asyaroh bil ma’ruf dengan segala persoalannya, dapat dipahami
sebagai suatu pergaulan atau pertemanan, persaahabatan, kekeluargaan,
dan kekerabatan yang dibangun secara bersama-sama, dengan cara yang
baik, sesuai dengan tradisi dan situasi masyarakat masing-masing, akan
tetapi hal itu tidak bertentangan dengan norma-norma agama, akal sehat,
maupun fitrah manusia.20

Al-Raghib al-isfahani mengatakan bahwa ma’ruf adalah setiap hal


atau perbuatan yang oleh akal dan agama dipandang sebagai sesuatu yang
baik. Mu’asyaroh bil ma’ruf dalam perkawinan mengakibatkan adanya
hubungan hak dan kewajiban antara suami dan istri, hak dan kewajiaban
itu harus dilandasi dengan beberapa prinsip, yaitu kesamaan,
keseimbangan, dan keadilan antara keduanya. Secara garis besar, hak dan
kewajiban dalam perkawinan meliputi dua hal, yaitu hak dan kewajiban
dalam bidang ekonomi (meliputi mahar/maskawin dan nafkah) dan hak
dan kewajiban dalam hal non-ekonomi (meliputi aspek-aspek relasi
seksual dan relasi kemanusiaan).21

Mu’asyaroh bil ma’ruf memiliki tujuan agar rumah tangga terjalin


dengan baik dan harmonis, terjaganya hak dan kewajiban suami kepada
istri dan begitu sebaliknya. Hak dan kewajiban itu menuntut keduanya
untuk saling bekerja sama dengan pembagian kerja yang adil antara suami
dan istri. Saling melengkapi kekurangan dan membantu tanpa menuntut
satu sama lain. Sehingga terciptalah harmoni didalam keluarga yang
sakinah dan bahagia.

Mu’asyaroh bil ma’ruf merupakan etika yang bersifat integratif


antara suami dan istri, dan merupakan sesuatu yang harus dipraktikkan
keduanya secara konsisten sehingga prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf dapat
menjadi pilar keluarga sakinah dengan utuh.
20
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender, Yogyakarta: IRCiSoD, Oktober 2019 Hlm.225.
21
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,,, Hlm.226.

12
2. Teori Maqoshidus syari’ah

Maqoshidus syari’ah berkaitan dengan penetapan tujuan-tujuan


syariah sebagai kriteria yang harus diperhatikan dalam penetapan hukum
Islam. Menurut Imam As-Syathibi tujuan itu diketahui melalui beberapa
dalil yang dihimpun dan diteliti secara induktif. 22 Menurut Imam As-
Syathibi ada lima tujuan yang harus diketahui oleh seorang mujtahid
dalam menentukan suatu hukum, yaitu menjaga agama (hifdzuud-din),
menjaga jiwa (hifdzuun-nafs), menjaga akal (hifdzuul-‘aql), menjaga
keturunan (hifdzuun-nasl), menjaga harta (hifdzyk-mal).

Teori maqoshid as-syari’ah yang dikemukakan oleh imam Abu


Ishak as-Syathibi, membahas tentang tujuan atau cita-cita dari hukum
Islam, yang dibedakan dalam tiga peringkat secara hirarkis yaitu
durariyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Dimana tujuan hukum Islam yang
bersifat dhoruri kemudian dibagi menjadi lima hal, yang masyhur disebut
dengan dzaruriyyah al-khams, yaitu hifdz ‘aql, hifdz ad-din, hifdz an-nafs,
hifdz mal, dan hifdz nasl yang berfungsi untuk menjaga tegaknya
kemaslahatan agama dan dunia. Kemudian tujuan yang bersifat hajjiyah
mencakup keperluan yang lapang dan menghilangkan kesulitan,
sedangkan tujuan tahsiniyyah mencakup pada kebaikan dan keindahan
yang sesuai dengan adat dan kebiasaan.23

Menurut Abdul Wahab Khalaf, mengerti dan memahami


maqoshidus syari’ah dapat dijadikan alat bantu dalam memahami al-
Qur’an dan sunnah, menyelesaikan dalil yang saling bertentangan, dan
menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya
tidak tercantum didalam Al-qur’an dan sunnah.

22
Lisnawati, Relefansi Prinsip Mu’asyaroh bil Ma’ruf dengan Pasal Undang-
Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.,hlm.49
23
Lisnawati, relefansi Prinsip Mu’asyaroh Bil Ma’ruf dengan Pasal Undang-
undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga……. Hal 48

13
Teori maqoshidus syari’ah tidak dapat dipisahkan dari pembahasan
maslahah. hal ini karena sebenarnya dari segi substansi, wujud maqoshid
syari’ah adalah kemaslahatan.24

Menurut Imam Asyathibi maslahat daruriyyat adalah sesuatu yang


harus ada dan dilaksanakan untuk mewujudkan keluarga sakinah.
Maslahah durariyyat adalah kemaslahatan mendasar yang menyangkut
dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima pokok utama, yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.25 Durariyyat diwujudkan dalam
dua pengertian, pada satu sisi harus diwujudkan dan diperjuangkan,
sementara di sisi lain, adalah segala hal yang dapat menghalangi
pemenuhan kebutuhan tersebut harus disingkirkan.

G. METODE PENELITIAN

1. Jenis penelitian
a. Penelitian Kualitatif
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode
penelitian kualitatif digunakan untuk menjelaskan fenomena
dengan sedetail-detailnya dengan cara pengumpulan data yang
sedalam-dalamnya, untuk menunjukkan pentingnya kedalaman
suatu detail data yang diteliti.
b. Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan atau
library research, yaitu melakukan kajian secara teoritis dan
referensi yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Sumber
data dan informasi dalam penelitian ini, menggunakan cara
membaca jurnal ilmiah, artikel, buku-buku, kitab-kitab maupun
media publikasi lainnya melalui perpustakaan dan media sosial.
Sehigga didapatkan data-data yang relavan dengan kajian yang
diteliti.
2. Metode Pengumpulan Data
24
Moh Nasuka,Urgensi Maqoshid Syari’ah dalam Membangun Keluarga
Sakinah, ISTI’DAL, Jurnal studi hukum islam.vol.3. 2016. Hal. 118
25
Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam Dalam Fiqh dan Ushul Fiqih.
Citapustaka Media Mandiri. Bandung,2013.

14
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi
dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan berbagai data primer yang
diperoleh dari sumber-sumber yang berbicara secara langsung mengenai
permasalahan yang diteliti dan juga data-data sekunder yaitu data-data
yang secara tidak langsung membicarakan permasalahannya namun
relevan untuk dikutip. Data-data yang digunakan oleh penulis baik data
primer maupun sekunder merupakan data yang berbentuk seperti karya
tulis, buku, kitab-kitab dan sumber-sumber yang relevan dengan penelitian
penulis.

3. Sumber Data
Sumber data merupakan subjek dimana data dapat diperoleh.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data, diantaranya:
a. Sumber data primer, yaitu literatur yang membahas secara
mendalam tentang Prinsip Mu’asyaroh bil Ma’ruf. Mencari
sumber-sumber yang relevan mengenai mu’ayaroh bil ma’ruf,
Keluarga Sakinah, dan Maqoshidu Syari’ah.
b. Sumber data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari membaca
berbagai buku, kitab, dokumen maupun jurnal ilmiah kemudian
menginterview kembali. Mengambil poin-poin yang penting dan
relevan untuk menggali sumber ataupun bahan lain yang erat
kaitannya dengan topik yang diteliti terkait Prinsip Mu’asyaroh bil
Ma’ruf sebagai Pilar Keluarga Sakinah Perspektif Maqoshidu
Syari’ah.

Dalam hal ini, data yang diperoleh adalah melalui hasil membaca
buku-buku, kitab-kitab, artikel, jurnal, dan media sosial yang berkaitan
dengan topik penelitian ini. Buku yang peneliti gunakan untuk
mendapatkan data ini diantaranya: Qiro’ah Mubadalah karya Faqihuddin
Abdul Kodir yang banyak membahas tentang Mu’asyaroh bil Ma’ruf dan
keluarga sakinah, Fiqih Perempuan Karya KH. Husein Muhammad yang
banyak membahas tentang fikih perempuan modern. Dan lain sebagainya.

4. Metode Analisis Data

15
Metode yang digunakan dalam menganalisis data, agar data yang
diperoleh memadai dan valid adalah menggunakan metode analisis data
kualitatif. Analisis data yang digunakan adalah dengan mengorganisasikan
data, menjabarkannya, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola,
memilih mana yang penting dan akan dipelajari kemudian membuat
kesimpulan yang mudah dipahami oleh orang lain.

Metode analisis digunakan untuk menganalisis prinsip mu’asyaroh


bil ma’ruf sebagai pilar keluarga Sakinah perspektif maqoshidus syariah.
Pada penelitian ini peneliti akan membahas terkait prinsip mu’asyaroh bil
ma’ruf sebagai cerminan dalam berprilaku baik pada hubungan suami dan
istri. Agar tercipta keluarga yang harmonis dan sakinah. Dan bagaimana
perspektifnya dalam hukum syariah (maqoshidus syariah).

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini disusun dalam beberapa bagian, antara bab satu dan bab
lainnya akan saling berkaitan. Penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:

Bab pertama membahas tentang pendahuluan yang didalmnya berisi


tentang latara belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kemudian terdapat penelitian terdahulu, kerangka teori, metode
penelitian dan yang terakhir dalam bab ini adalah sistematika penulisan.

Bab dua membahas tentang subjek penelitian berupa pengertian


singkat mengenai materi-materi yang terkait dengan prisip mu’asyaroh bil
ma’ruf , pilar keluarga Sakinah, teori yang digunakan dan hipotesis sebagai
kesimpulan awal dari penelitian yang dilakukan.

Bab ke-tiga menjelaskan tentang metodologi penelitian. Didalamnya


memuat tentang temuan-temuan terkait pembahasan, ruang lingkup
pembahasaan, metode pengumpulan data dan perspektif yang digunakan oleh
penulis.

Bab keempat membahas tentang analisis atas data-data dan pandangan


penulis atas penelitian yang diteliti. Didalamnya penulis menguraikan
pembahasan mengenai prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf sebagai pilar keluarga

16
Sakinah menggunakan perspektif maqoshid asyari’ah. Sehingga ditemukan
data-data yang akurat mengenai pembahasan, berupa data-data kepustakaan,
dan lain-lain. Yang selanjutnya dapat menyimpulkan tawaran-tawaran analisis
atau pemikiran baru yang telah disajikan.

Bab kelima berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan pembahasan


dan saran-saran yang relevan dengan hasil penelitian.

BAB II

PRINSIP MU’ASYAROH BIL MA’RUF SEBAGAI PILAR


KELUARGA SAKINAH

17
A. PRINSIP MU’ASYAROH BIL MA’RUF

1. Definisi Mu’asyaroh bil Ma’ruf

Mu’asyaroh bil ma’ruf adalah prinsip yang diajarkan Al-qur’an


untuk bergaul dengan cara yang baik. Menurut kyai Husein Muhammad
(2019: 222) Mu’asyaroh bil ma’ruf berasal dari kata ‘usyroh, yang secara
literal berarti: keluarga, kerabat, teman dekat. Kata mu’asyaroh dalam
bahasa arab dibentuk berdasarkan sihgah musyarokah baina al-itsnayn,
yang berarti kebersamaan di antara kedua belah pihak.

Dengan demikian mu’asyaroh merupakan suatu kebertemanan,


kekerabatan dan kekeluargaan yang terjalin sehingga memiliki makna
yang berwujud sebagai kebersamaan dan keakraban.

Sedangkan al-ma’ruf merupakan kata yang berakar dari ‘urf, yang


secara harfiah berarti adat, kebiasaan atau budaya yang sudah dikenal
secara baik oleh suatu masyarakat dan sudah melekat di dalam kehidupan
sehari-hari.26 KH. Husein Muhammad mengatakan, Al-Raghib al-Ishfihani
mengatakan ma’ruf adalah setiap hal atau perbuatan yang oleh akal dan
agama dipandang sebagai sesuatu yang baik.

Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar mendefinisikan ma’ruf


sebagai segala hal yang sudah dikenal di kalangan masyarakat, yang
dipandang baik menurut akal fikiran maupun naluri-naluri yang sehat.27

Dengan demikian, maka mu’asyaroh bil ma’ruf dapat dipahami


sebagai suatu pergaulan atau pertemanan, persahabatan, kekeluargaan,
kekerabatan yang dibangun secara bersama-sama dengan cara-cara yang
baik, yang sesuai dengan tradisi dan situasi masyarakat dan tidak
bertentangan dengan norma-norma agama, akal sehat, maupun fitrahnya
sebagai manusia.28

26
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (IRCiSoD Yogyakarta, 2019).
Hlm. 223
27
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz IV, hlm.27.
28
Memaknai mu’asyaroh bil ma’ruf dalam membina rumah tangga, Mu'asyarah
bi al-Ma'ruf dalam Membina Rumah Tangga (mubadalah.id) di akses pada 24 Agustus
2022.

18
2. Mu’asyaroh dalam Keluarga

Perkawinan sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi,


mengakibatkan adanya hubungan hak dan kewajiban antara pihak yang
terlibat di dalamnya, yang dalam hal ini ialah suami dan istri. Dalam
penjelasan fiqh-fiqh klasik, sesungguhnya hak dan kewajiban pasangan
suami-istri hanya bertumpu pada tiga hal: relasi yang baik (mu’asyaroh bil
ma’ruf), nafkah harta, dan layanan seks.29 Relasi yang baik ini ditunjukan
pada kedua belah pihak, suami haruslah berbuat baik kepada istri, dan istri
juga haruslah melakukan hal yang sama. Dan relasi yang baik ini juga
menjadi landasan bagi kedua hal berikutnya.

Hak dan kewajiban antara suami dan istri haruslah dilandasi oleh
beberapa prinsip, antara lain kesamaan, keseimbangan dan keadilan
diantara suami dan istri.30 Dan haruslah mendatangkan kebaikan tidak
perlu ada dominatif antara salah satu kepada yang lain. Dengan alasan
status sosial yang dimiliki, sumber daya yang dibawa, atau jenis kelamin.
Al-Qur’an menyebutkan prinsip ini didalam surah al-Baqarah ayat 228:

ِ ۖ ‫َوهَلُ َّن ِمثْ ُل الَّ ِذ ْي َعلَْي ِه َّن بِالْ َم ْع ُر ْو‬


‫ف‬

“…Dan, para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan


kewajibannya, menurut cara-cara yang ma’ruf..” (QS. Al-Baqarah
[2]: 228

Menurut Wahbah az-Zuhili, ayat tersebut menunjukan bahwa


perempuan memiliki ha katas laki-lakinya, sebagaimana laki-laki memiliki
ha katas perempuan. Dasar dari pembagian hak dan kewajiban ini ialah
‘urf (tradisi) dan al-fithrah (fitrah), bahwa setiap hak akan selalu
berdampingan dengan kewajiban begitu juga sebaliknya.31

29
Faqihuddin Abdul Kodir, Qiro’ah Mubadalah, Tafsir Progresif untuk
Keadilan Gender dalam Islam. Yogyakarta, 2019 IRCiSoD. Hlm. 370
30
Faqihuddin Abdul Kodir, Qiro’ah Mubadalah, Tafsir Progresif untuk
Keadilan Gender dalam Islam. Yogyakarta, 2019 IRCiSoD. Hlm.370
31
Wahbah az-Zuhaili, terjemah Fiqh Islam wa Adilatuhu, Juz 9, Hlm. 294

19
Secara garis besar, KH. Husein Muhammad mengatakan hak dan
kewajiban suami dan istri meliputi dua hal. Yaitu, hak dan kewajiban
dalam bidang ekonomi serta hak dan kewajiban dalam bidang ekonomi
yang berkaitan dengan mahar (maskawin) dan soal nafkah. Serta hak dan
kewajiban non-ekonomi yang meliputi aspek-aspek relasi seksual dan
relasi kemanusiaan. Kedua hal ini haruslah dilandaskan dengan prinsip
mu’asyaroh bil ma’ruf. Mu’asyaroh bil ma’ruf antara suami dan istri
memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh keduanya, yaitu:

a. Hak dan kewajiban dalam bidang ekonomi


1. Mahar atau Maskawin
Mahar adalah sebutan bagi harta yang diberikan kepada
perempuan karena terjadinya akad perkawinan, mahar ditetapkan
sebagai kewajiban kepada istrinya sebagai tanda keseriusannya
untuk menikahi dan mencintai perempuannya, sebagai tanda
penghormatan terhadap kemanusiaan dan sebagai lambang
ketulusan hati untuk menggaulinya dengan cara yang ma’ruf.32

‫حِن‬
ً‫ص ُد ٰقتِ ِه َّن ْلَة‬ َ ‫َواٰتُوا الن‬
َ َ‫ِّساۤء‬

“.. Berikanlah maskawin kepada perempuan (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan..” (QS.
An-Nisa’[4]: 4)

2. Nafkah (nafaqah)
Tanggung jawab utama seorang suami ialah memberi
nafkah kepada istri, hal itu merupakan hak bagi seorang istri.
Apabila diberikan kepada istri dengan lapang dada dan tanpa
sedikitpun unsur kikir, nafkah dapat menjadi kontribusi utama
yang dapat mendatangkan keseimbangan dan kebahagiaan didalam
rumah tangga.

Secara harfiah, nafkah adalah pengeluaran, atau sesuatu


ayng dikeluarkan oleh seseorang untuk orang-orang yang menjadi
32
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan…., Hlm.228

20
tanggung jawabnya, dan harus diberikan untuk keperluan-
keperluan yang baik.33 Didalam al-Qur’an kewajiban nafkah
dibebankan kepada laki-laki (suami):

ِ Yۗ ‫َو َعلَى الْ َم ْولُْو ِد لَهٗ ِر ْز ُق ُه َّن َوكِ ْس َوتُ ُه َّن بِالْ َم ْع ُر ْو‬
‫ف‬

“…Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian


mereka dengan cara yang patut…” al-Baqarah [2]: 233.34

Nafkah harta diwajibkan kepada suami terhadap istri,


sekalipun dalam kondisi tertentu istri juga diminta untuk saling
berkontribusi. Pada ayat di atas ditegaskan bahwa istri memiliki
hak lebih untuk dinafkahi oleh suami karena amanah reproduksi
yang diemban perempuan dan tidak memiliki oleh laki-laki.

Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa,


ketiga jenis nafkah (sandang,pangan, dan papan) wajib diberikan
oleh suami sesuai dengan kondisi keduanya. Apabila kondisi dan
kebiasaan mereka berbeda, maka harus diambil tengah-tengah.
Bagi mazhab Syafi’i, ukuran nafkah pangan dan sandang diberikan
berdasarkan kemampuan suami, tetapi untuk nafkah papann
(rumah/tempat tinggal), harus disesuaikan dengan kebiasaan istri.35

b. Hak dan kewajiban dalam hal non-ekonomi


1. Relasi Seksual
Relasi seksual yang dijalankan oleh suami dan istri juga
harus berlandaskan prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf, diantara
keduanya harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi
dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling
memperlihatkan kebencian, dan tidak saling mengabaikan hak
kewajiban masing-masing.36

33
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,,,. Hlm. 229.
34
Qur’an Kemenag, Cet.2019.
35
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,,. Hlm. 232
36
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,,,. Hlm.233

21
Pandangan mazhab-mazhab fikih berbeda-beda mengenai
relasi seksual. Mazhab Maliki misalnya, berpendapat suami wajib
menggauli istrinya selama tidak ada halangan atau udzur. Ini
berbeda dengan pandangan mazhab Syari’i yang mengatakan
kewajiban suami untuk menyetubuhi istrinya pada dasarnya
hanyalah sekali saja untuk selama mereka masih menjadi suami
istri. Kewajiban ini hanyalah untuk menjaga moral istrinya, hal ini
didasari oleh prinsip bahwa melakukan hubungan seks adalah hak
bagi suami.37

2. Relasi Kemanusiaan
Kaitannya dengan relasi kemanusiaan, suami dan istri
haruslah saling menerapkan prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf, harus
saling menghargai dan menghormati. Saling berlaku sopan, saling
menyenangkan, tidak saling menyakiti atau memperlihatkan
kebencian, dan tidak saling mengungkit jasa baiknya selama
menjadi pasangan suami dan istri.

Nabi Saw. Bersabda:

‫ أخرجه الرتمذي‬.‫خْيُر ُك ْم خري كم الهله‬.


َ

“sebaik-baik kamu ialah yang paling baik kepada istrimu.”


(HR.Tirmidzi).38

Hal yang paling penting dan mendasar dari semua aspek


mu’asyaroh bil ma’ruf adalah bahwa diantara suami dan istri harus
memiliki pandangan yang sama tentang kesetaraan manusia. Tidak
mensubordinasi satu sama lain. Al-Qur’an telah menyatakan secara
tegas tentang hal ini:

‫َّاس اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن ذَ َك ٍر َّواُْنثٰى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشعُ ْوبًا َّو َقبَاۤ ِٕى َل لَِت َع َار ُف ْوا ۚ اِ َّن اَ ْكَر َم ُك ْم ِعْن َد ال ٰلّ ِه‬ ٓ
ُ ‫ٰياَيُّ َها الن‬

37
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,,,. Hlm. 233
38
Muhammad bin ‘Isa at-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Juz V, hlm, 709, no:
3895

22
‫اَْتقٰى ُك ْم ۗاِ َّن ال ٰلّهَ َعلِْي ٌم َخبِْيٌر‬

“ Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu


dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat [49]:
13).

3. Mu’asyaroh bil ma’ruf dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menegaskan tentang keharusan mempergauli pasangan


dengan cara yang ma’ruf. Kata mu’asyaroh bil ma’ruf disebutkan di dalam
al-Qur’an dalam surah an-nisa’ayat 19. Surah An-Nisa’ [4] ayat 19:

ِ ِ ِ ‫ضلُ ْو ُه َّن لِتَ ْذ َهُب ْوا بَِب ْع‬ ِ ِ َّ ٓ


َ ‫ض َمٓا اَٰتْيتُ ُم ْو ُه َّن آاَّل اَ ْن يَّْأتنْي‬ ِ
َ ‫ٰياَيُّ َها الذيْ َن اٰ َمُن ْوا اَل حَي ُّل لَ ُك ْم اَ ْن تَرثُوا الن‬
ُ ‫ِّساۤءَ َك ْر ًها ۗ َواَل َت ْع‬

‫ف ۚ فَاِ ْن َك ِر ْهتُ ُم ْو ُه َّن َف َع ٰ ٓسى اَ ْن تَكَْر ُه ْوا َشْيـًٔا وَّجَيْ َع َل ال ٰلّهُ فِْي ِه َخْيًرا َكثِْيًرا‬
ِ ‫اشروه َّن بِالْمعرو‬
ِ ٍ ٍ ِ ِ
ْ ُ ْ َ ُ ْ ُ ‫ب َفاح َشة ُّمَبِّينَة ۚ َو َع‬

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu


mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila
mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka
dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka,
(bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.”
(QS.an-Nisa’[4]: 19).

Ayat ini ditunjukan kepada laki-laki dan menggunakan struktur


bahasa laki-laki (mudzakkar). Sebab, secara sosial, laki-laki relavan
dengan kewenangan yang dimilikinya, dapat leluasa melakukan
pemaksaan kepada perempuan, mewarisi tubuh mereka, menghalangi, dan
mengambil harta mereka.39 Ayat ini mengajak laki-laki untuk
39
Faqihuddin Abdul Kodir, Qiro’ah Mubadalah,,,.hlm. 350

23
meninggalkan kebiasaan buruk yang lumrah terjadi pada masa Jahiliyah,
dan seringkali juga terjadi di masa sekarang. Secara langsung menuntun
mereka untuk membiasakan berperilaku baik terhadap perempuan. Dalam
perspektif mubadalah, KH. Faqihuddin Abdul Kodir mengatakan substansi
ini juga berlaku bagi perempuan untuk tidak melakukan pemaksaan
terhadap laki-laki, menghalangi, dan merampas harta. Serta para
perempuan (istri) dituntut untuk berperilaku baik kepada laki-laki
(suami).40

Dalam Tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab berpendapat mengenai


firman Allah swt: “Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf”, ada
ulama’ yang memahaminya dalam arti perintah untuk berbuat baik kepada
istri yang dicintai maupun tidak. Kata ma’ruf dipahami dengan mencakup
tidak menggangu, tidak memaksa, dan juga lebih dari itu, yakni berbuat
ihsan dan bersikap baik kepadanya. Imam Asy-Sya’rawi memiliki
padangan lain, ia menunjukan bahwa perintah di atas tertuju kepada suami
yang tidak mencintai istrinya. Beliau juga membedakan antara mawaddah
yang harusnya menghiasi hubungan suami istri dan ma’ruf yang
diperintahkan di sini. Menurutnya mawaddah adalah berbuat baik
kepadanya, merasa senang bersama serta bergembira dengan
kehadirannya, sedang ma’ruf tidak demikian. Al-mawaddah merupakan
hubungan yang pastilah disertai dengan cinta, sedang ma’ruf tidak
mengaharuskan adanya cinta.41

B. PILAR KELUARGA SAKINAH

1. Definisi keluarga

Keluarga berasal dari bahasa sansekerta “kalawarga” yang berarti


“kelompok kerabat”. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari
sejumlah individu yang saling memiliki hubungan antar individu, terdapat
sebuah ikatan, dan kewajiban serta tanggung jawab antar individu lain.
Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dari suatu masyarakat, keluarga
40
Faqihuddin Abdul Kodir, Qiro’ah Mubadalah,,,.Hlm.351.
41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misabah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an, cet 1, Ciputat: Lentera Hati, 2000, hlm, 461.

24
juga dapat diartikan sebagai ikatan antara dua orang atau lebih yang
didasarkan pada perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan
hidup spiritual dan material yang baik, dan memiliki hubungan yang
seimbang antara anggota keluarga maupun masyarakat.42

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, keluarga diartikan dengan


ibu bapak beserta anak-anaknya. Keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang
berada didalamnya yang dibangun atas dasar perkawinan yang sah.

Menurut psikologi, keluarga diartikan sebagai dua orang yang


berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta,
menjalankan tugas dan fungsi saling terkait karena adanya ikatan batin
atau hubungan perkawinan.43

Dengan demikian keluarga merupakan pengelompokan sosial


beberapa individu yang memiliki ikatan, hubungan antar individu dan
mempunyai tanggung jawab terhadap sesama anggota keluarga. Dalam
pembentukan keluarga, yang harus ditempuh oleh setiap individu adalah
melalui perkawinan atau pernikahan antara laki-laki dan perempuan
dengan melakukan akad yang sah secara agama dan negara.

2. Pengertian Sakinah

Kata sakinah berasal dari bahasa Arab “Sakana, yaskunu,


sakinatan” yang berarti rasa tentram, aman, damai, tenang, merdeka,
hening, dan tinggal.44

Menurut M.Quraish Shihab, kata Sakinah terambil dari bahasa


Arab, yaitu yang terdiri dari huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung
makna ketenangan atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan. Hal itu

42
Rohmatus Sholihah dan Muhammad al-Faruq, Konsep Keluarga Sakinah
Menurut Muhammad Quraish Shihab, SALIMIYA: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam,
IAI Faqih Asyi’ari, Kediri, 2020, hal. 851
43
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang, UIN
Malang, 2008, H. 38
44
Yulianti Ratnasari, Konsep Keluarga Menurut al-Ghazali, UIN Walisongo,
Semarang, 2018, H,49

25
berarti dalam setiap rumah tangga ada saat dimana terjadi gejolak, namun
hal itu dapat tertanggulangi dengan adanya sakinah.45

Seperti yang ditulis dalam buku ensiklopedia Islam kata sakinah


disebutkan sebanyak enam kali dalam al-Qur’an.46 Pengungkapan kata
Sakinah dalam al-Qur’an itu jelas memiliki arti ketentraman, ketenangan
kedamaian, rahmat, dan tuma’ninah yang semua itu berasal dari Allah
SWT. Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat
248, at-Taubah ayat 26 dan 40, dan surah al Fath ayat 4, 18 dan 26.

- Surah al-Baqarah ayat 248:

‫ت فِْي ِه َس ِكْينَةٌ ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َوبَِقيَّةٌ مِّمَّا َتَر َك اٰ ُل ُم ْو ٰسى‬ ِ ِ ِ


ُ ‫َوقَ َال هَلُ ْم نَبُِّي ُه ْم ا َّن اٰيَةَ ُم ْلكهٖٓ اَ ْن يَّْأتيَ ُك ُم التَّابُ ْو‬

ࣖ َ ‫ك اَل ٰيَةً لَّ ُك ْم اِ ْن ُكْنتُ ْم ُّمْؤ ِمنِنْي‬ ِ ِ ۤ


َ ‫َواٰ ُل ٰه ُر ْو َن حَتْ ِملُهُ الْ َم ٰل ِٕى َكةُ ۗ ا َّن يِف ْ ٰذل‬

Artinya:“Nabi mereka berkata kepada mereka,


“Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya Tabut kepadamu
yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari
apa yang ditinggalkan oleh keluarga Musa dan keluarga Harun yang
dibawa oleh para malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagimu jika kamu
orang-orang mukmin.” (Q.S. al-Baqarah:248:2).

- Surah at-Taubah ayat 26 dan 40:

‫ب الَّ ِذيْ َن َك َف ُر ْو ۗا‬ ِِ ِ ِ ٰ


َ ‫مُثَّ اَْنَز َل اللّهُ َسكْينَتَ ٗه َع ٰلى َر ُس ْولهٖ َو َعلَى الْ ُمْؤ مننْي َ َواَْنَز َل ُجُن ْو ًدا مَّلْ َتَر ْو َها َو َع َّذ‬

‫ك َجَزاۤءُ الْ ٰك ِف ِريْ َن‬ ِ


َ ‫َو ٰذل‬

Artinya: “Kemudian, Allah menurunkan ketenangan (dari)-


Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin, serta
menurunkan bala tentara yang kamu tidak melihatnya, juga

45
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, Jakarta, Lentera Hati, 2006, Hal.
136
46
Dewan Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet. 1, Jilid 1, 1993,
hal. 201

26
menyiksa orang-orang yang kafir. Itulah balasan terhadap orang-
orang kafir.” (Q.S at-Taubah:26).

ِ ‫اِاَّل َتْنصروه َف َق ْد نَصره ال ٰلّه اِ ْذ اَخرجه الَّ ِذين َك َفروا ثَايِن ا ْثَن ِ اِ ْذ مُه ا ىِف الْغَا ِر اِ ْذ ي ُقو ُل لِص‬
‫احبِ ٖه‬ َ َْ َ ‫َ َ ُ ُ ْ َ َ ُ ْ َ ُ ْ َ نْي‬ ُ ْ ُُ

‫اَل حَتَْز ْن اِ َّن ال ٰلّهَ َم َعنَ ۚا فَاَْنَز َل ال ٰلّهُ َس ِكْينَتَ ٗه َعلَْي ِه َواَيَّ َدهٗ جِب ُُن ْو ٍد مَّلْ َتَر ْو َها َو َج َع َل َكلِ َمةَ الَّ ِذيْ َن َك َف ُروا‬

‫ى َو َكلِ َمةُ ال ٰلّ ِه ِه َي الْعُْليَ ۗا َوال ٰلّهُ َع ِز ْيٌز َح ِكْي ٌم‬Yۗ ‫الس ْف ٰل‬
ُّ

Artinya: “Jika kamu tidak menolongnya (Nabi


Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika
orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia
salah satu dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua,
ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau
bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka, Allah
menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad),
memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu
lihat, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan
yang paling rendah. (Sebaliknya,) firman Allah itulah yang paling
tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S at-
Taubah:40).

- Surah al-Fath ayat 4, 18, dan 26:

ِ َّ ‫ب الْم ِمنِ لِيزداد ْٓوا اِمْيَانًا َّمع اِمْيَاهِنِم ۗولِٰلّ ِه جُنود‬ ِ َّ ‫ي اَْنز َل‬ ِ
ِ ۗ ‫الس ٰم ٰوت َوااْل َْر‬
‫ض‬ ُْ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ ‫السكْينَةَ يِف ْ ُقلُ ْو ِ ُ ْؤ نْي‬ َ ْٓ ‫ُه َو الَّذ‬

‫َو َكا َن ال ٰلّهُ َعلِْي ًما َح ِكْي ًم ۙا‬

Artinya: “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke


dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas
keimanan mereka (yang telah ada). Milik Allahlah bala tentara
langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana.” (Q.S al-Fath:4).

ِ
َّ ‫َّجَر ِة َف َعلِ َم َما يِف ْ ُقلُ ْوهِبِ ْم فَاَْنَز َل‬
‫الس ِكْينَةَ َعلَْي ِه ْم‬ َ ‫ت الش‬
ٰ
َ َ‫لََق ْد َر ِض َي اللّهُ َع ِن الْ ُمْؤ ِمنِنْي َ ا ْذ يُبَايِعُ ْون‬
َ ْ‫ك حَت‬

27
‫َواَثَ َاب ُه ْم َفْت ًحا قَ ِر ْيبً ۙا‬

Artinya: “Sungguh, Allah benar-benar telah meridai


orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Nabi
Muhammad) di bawah sebuah pohon. Dia mengetahui apa yang
ada dalam hati mereka, lalu Dia menganugerahkan ketenangan
kepada mereka dan memberi balasan berupa kemenangan yang
dekat. (Q.S al-fath:18).

ِ ‫اِ ْذ جعل الَّ ِذين َك َفروا يِف ُقلُوهِبِم احْل ِميَّةَ مَحِ يَّةَ اجْل‬
‫اهلِيَّ ِة فَاَْنَز َل ال ٰلّهُ َس ِكْينَتَهٗ َع ٰلى َر ُس ْولِهٖ َو َعلَى‬َ َ ُ ْ ْ ُْ َْ َ ََ

ࣖ ‫الت ْق ٰوى َو َكانُ ْٓوا اَ َح َّق هِبَا َواَ ْهلَ َها َوۗ َكا َن ال ٰلّهُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِْي ًما‬
َّ َ‫الْ ُمْؤ ِمنِنْي َ َواَلَْز َم ُه ْم َكلِ َمة‬

Artinya: “(Kami akan mengazab) orang-orang yang kufur


ketika mereka menanamkan kesombongan dalam hati mereka,
(yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan
kepada Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. (Allah) menetapkan
pula untuk mereka kalimat takwa. Mereka lebih berhak atas
kalimat itu dan patut memilikinya. Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Q.S al-Fath: 26).

Dalam bahasa arab, kata sakinah mengandung arti tenang,


terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh
pembelaan. Pengeertian ini pula yang dipakai didalam ayat-ayat al-qur’an
dan hadits untuk memaknai kata sakinah sebagai kondisi yang ideal dalam
kehidupan manusia, ini juga berlaku dalam kehidupan keluarga. Oleh
karenanya sakinah tidak serta-merta terjadi begitu saja secara tiba-tiba,
tetapi diperlukan pilar-pilar yang kokoh sebagai topangannya dan juga
harus dibarengi dengan perjuangan dan pengorbanan terlebih dahulu agar
terwujudlah keluarga sakinah dan bahagia.

3. Pilar-Pilar Keluarga Sakinah

Keluarga sakinah sering juga disebut sebagai keluarga bahagia.


dimana suami dan istri sama-sama bertanggung jawab atas segala sesuatu

28
dalam kehidupan bersama. Kebahagiaan tidak menjadi milik diri pribadi
tetapi milik semua anggota keluarga, kesulitan bagi salah satunya juga
adalah kesulitan bagi yang lain. Karenanya sakinah harus diusahakan
dengan bersama-sama antara suami dan istri.

Kebaikan hidup di dunia dan di akhirat harus menjadi visi bersama


yang dicapai oleh suami dan istri, diperlukan pilar-pilar yang menyangga
agar tercapai dan terwujud bersama-sama oleh kedua belah pihak, suami
dan istri. Pilar penyangga tersebut merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an, ada
lima pilar penyangga rumah tangga.

- Perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan)


Perjanjian berarti kesepakatan kedua belah pihak dan
berkomitmen bersama. Dalam kehidupan rumah tangga, suami dan
istri mereka berdualah yang berjanji, bersepakat dan berkomitmen
untuk hidup bersama dan berumah tangga untuk mewujudkan
ketentaman (Sakinah) dan memadu cinta kasih (mawadah wa rahmah).
Ikatan ini harus diingat, dijaga, dan dipelihara bersama-sama dalam
kehidupan berkeluarga. Karena itu, al-Qur’an menyebutnya sebagai
“ikatan yang kokoh” sebagai pengingat bagi keduanya untuk selalu
mengokohkan bersama-sama sepanjang kehidupan pernikahan. 47 Hal
ini terdapat didalam QS. An-Nisa’ (4): 21:

ٍ ‫ض ُك ْم اِىٰل َب ْع‬
‫ض َّواَ َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِّمْيثَاقًا َغلِْيظًا‬ ُ ‫ف تَْأ ُخ ُذ ْونَهٗ َوقَ ْد اَفْضٰى َب ْع‬
َ ‫َو َكْي‬

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali),


padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai suami
istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian
yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” QS. An-Nisa’ (4): 21.
- Berpasangan (zawaj)

Al-Qur’an menggunakan istilah zawaj yang memiliki arti


pasangan. Artinya, istri adalah (zawaj) bagi suami dan suami adalah
(zawaj) bagi istri. suami dan istri masing-masing adalah separuh bagi
47
Faqihuddin Abdul Kodir, Qiro’ah Mubadalah,…. Hal. 344

29
yang lain, keduanya menjadi lengkap jika menyatu dan saling berkerja
sama. Pilar penyangga berpasangan juga digambarkan didalam al-
Qur’an bahwa suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakain bagi
suaminya. Digambarkan sebagai pakaian bertujuan untuk
mengingatkan bahwa dalam relasi suami istri berpasangan adalah
untuk saling menghangatkan, memelihara, mengghiasi,
menyempurnakan, dan memuliakan satu sama lainnya.48 Prinsip
berpasangan digambarkan di dalam al-Qur’an pada QS. Al-baqarah
(2): 187:

ٰ ِ ِ ِ ِ ِ ُ َ‫الرف‬ ِّ َ‫اُ ِح َّل لَ ُك ْم لَْيلَة‬


َّ ‫الصيَ ِام‬
ٌ َ‫اس لَّ ُك ْم َواَْنتُ ْم لب‬
ُ‫اس هَّلُ َّن ۗ َعل َم اللّه‬ ٌ َ‫ث اىٰل ن َساۤ ِٕى ُك ْم ۗ ُه َّن لب‬
ٰ ‫اشروه َّن وابتغُوا ما َكت‬
ِ
َ َ َ ْ َْ َ ُ ْ ُ َ‫اب َعلَْي ُك ْم َو َع َفا َعْن ُك ْم ۚ فَالْـٰٔ َن ب‬
ُ‫ب اللّه‬ َ َ‫اَنَّ ُك ْم ُكْنتُ ْم خَت ْتَانُ ْو َن اَْن ُف َس ُك ْم َفت‬

ِّ ‫ض ِم َن اخْلَْي ِط ااْل َ ْس َو ِد ِم َن الْ َف ْج ۖ ِر مُثَّ اَمِت ُّوا‬


‫الصيَ َام‬ ُ ‫لَ ُك ْم ۗ َو ُكلُ ْوا َوا ْشَربُ ْوا َحىّٰت َيتََبنَّي َ لَ ُك ُم اخْلَْي‬
ُ َ‫ط ااْل َْبي‬
ِ ۗ ٰ ِِ ِ
َ ‫ك ُح ُد ْو ُد اللّ ِه فَاَل َت ْقَربُ ْو َها َك ٰذل‬
ُ ‫ك يَُبنِّي‬ َ ‫ٰك ُف ْو ۙنَ ىِف الْ َم ٰسجد ۗ تِْل‬
ِ ‫اشروه َّن واَْنتُم ع‬
ِ
ْ َ ُ ْ ُ َ‫اىَل الَّْي ۚ ِل َواَل ُتب‬
ِ ‫ال ٰلّهُ اٰ ٰيتِهٖ لِلن‬
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم َيَّت ُق ْو َن‬

Artinya: “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur


dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat
menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan
memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah
apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah
hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai
(datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu
(dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas
(ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
agar mereka bertakwa.” QS. Al-Baqarah (2): 187.

- Memperlakukan satu sama lain secara baik (mu’asyaroh bil ma’ruf)


48
Faqihuddin Abudul Kodir, Qiro’ah Mubadalah,… hal. 348

30
Etika ini menjadi yang paling sentral dalam relasi suami dan
istri. merupakan salah satu pilar yang dapat menjaga dan
menghidupkan segala kebaikan untuk menjadi tujuan bersama
sehingga bisa terus dirasakan dan dinikmati oleh kedua belah pihak.
Pilar ini menegaskan mengenai perspektif, prinsip, dan nilai kesalingan
antar suami dan istri untuk selalu menghadirkan kebaikan yang dapat
terus dirasakan oleh kedua belah pihak. Dengan kata lain pilar ini
merupakan yang paling utama dan membersamai pilar yang lainnya.
Al-Qur’an menyebutkan pilar ini pada surah an-Nisa’ (4): 19:

‫ف ۚ فَاِ ْن َك ِر ْهتُ ُم ْو ُه َّن َف َع ٰ ٓسى اَ ْن تَكَْر ُه ْوا َشْيـًٔا َّوجَيْ َع َل ال ٰلّهُ فِْي ِه َخْيًرا َكثِْيًرا‬
ِ ‫اشروه َّن بِالْمعرو‬
ِ
ْ ُ ْ َ ُ ْ ُ ‫َو َع‬

Artinya: “Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu


tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang
banyak di dalamnya.” QS. An-Nisa’ (4): 19.
- Saling bertukar pendapat (musyawarah)

Dalam hubungan suami istri, bersikap otoriter dan memaksakan


merupakan sikap yang sangat tidak terpuji. Segala sesuatu, terutama
yang terkait dengan pasangan dan keluarga, tidak boleh menggunakan
putusan sepihak tanpa melibatkan dan meminta pandangan dari
pasangan.49 Meminta pendapat, menanyakan pandangan kepada
pasangan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan lebih baik dan
lebih menjaga perasaan satu sama lain. Hal itu juga dapat menghindari
perpecahan yang sewaktu-waktu dapat memicu pertengkaran antar
suami istri.

Berembuk dan berbagi pendapat adalah salah satu pilar keluaga


yang ditegasakan dalam al-Qur’an dalam QS. Al-Baqarah (2): 233:

َ ‫ر فَاَل ُجن‬Yٍ ‫اض ِّم ْنهُ َما َوتَ َشا ُو‬


ِ ْ‫َاح َعلَ ْي ِه َما ۗ َواِ ْن اَ َر ْدتُّ ْم اَ ْن تَ ْستَر‬
‫ضع ُْٓوا‬ ٍ ‫صااًل ع َْن تَ َر‬
َ ِ‫فَاِ ْن اَ َرادَا ف‬

‫ف َواتَّقُوا هّٰللا َ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن هّٰللا َ بِ َما‬


ِ ۗ ْ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َسلَّ ْمتُ ْم َّمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعرُو‬
َ ‫م فَاَل ُجن‬Yْ ‫اَوْ اَل َد ُك‬

49
Faqihuddin Abdul Kodir, Qiro’ah Mubadalah,…. Hal. 354

31
ِ َ‫تَ ْع َملُوْ نَ ب‬
‫ص ْي ٌر‬

Artinya: “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua


tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya,
tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan
anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu
memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” QS. Al-Baqarah (2): 233.

- Saling memberi kenyamanan (tardhin min huma)

Pilar selanjutnya adalah saling merasa nyaman dan memberi


kenyamanan kepada pasangan. Kerelaan adalah penerimaan paling
puncak dan penyamanan paripurna ketika seseorang di dalam hatinya
merasa rela tidak ada sedikit pun ganjalan atau penolakan. Dalam
kehidupan suami istri pilar ini harus selalu menjadi penyangga segala
aspek, prilaku, dan Tindakan agar kehidupan tidak hanya kokoh tetapi
melahirkan juga cinta kasih dan kebahagiaan. Pilar ini diambil dari al-
Qur’an QS. al-Baqarah (2): 233:

‫اح َعلَْي ِه َما ۗ َواِ ْن اََر ْدمُّتْ اَ ْن تَ ْسَت ْر ِضعُ ْٓوا اَْواَل َد ُك ْم‬
َ َ‫اض ِّمْن ُه َما َوتَ َش ُاو ٍر فَاَل ُجن‬
ٍ ‫صااًل َع ْن َتَر‬ ِ ِ
َ ‫فَا ْن اََر َادا ف‬

ِ ۗ ‫اح َعلَْي ُك ْم اِذَا َسلَّ ْمتُ ْم َّمٓا اَٰتْيتُ ْم بِالْ َم ْع ُر ْو‬


‫ف‬ َ َ‫فَاَل ُجن‬

Artinya: “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua


tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya,
tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan
anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu
memberikan pembayaran dengan cara yang patut.” QS. al-Baqarah (2):
233.

C. PERSPEKTIF MAQOSHID AL-SYARI’AH

1. Definisi Maqoshid al-syari’ah

32
Maqoshid al-syari’ah merupakan istilah yang terdiri dari dua suku
kata‫( مقاصد‬maqoshid) dan‫ريعة‬YYY‫( الش‬asy-syari’ah). Maqoshid adalah
bentuk jamak dari kata maqshud, qashd, maqshid, atau qushud yang
berarti tujuan, dengan kata kerja (qoshada, yaqshidu) yang memiliki
makna menuju satu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui
batas.50dan kata asy-syari’ah yang secara etimologi bermakna jalan
menuju mata air, jalan menuju mata air ini dapat dikatakan sebagai jalan
kearah sumber pokok kehidupan. Yang secara terminologi fikih, berarti
hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya
melalui al-Qur’an maupun sunah Nabi Muhammad Saw berupa perkataan,
perbuatan, atau ketetapan Nabi yang mutawattir.51

Kemudian, maqashid al-syari’ah dapat diartikan sebagai nilai dan


makna yang bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak
dicapai oleh perumusnya dalam mensyari’atkan hukum. Tujuan hukum ini
merupakan salah satu faktor penting dalam menetapkan hukum Islam yang
ditetapkan melalui ijtihad.52

Secara terminologis, makna maqoshid al-syariah berkembang dari


makna yang paling sederhana sampai makna yang rinci. Di kalangan
ulama klasik sebelum al-Syathibi, definisi maqoshid masih belum konkret,
definisi yang digunakan oleh ulama-ulama sebelum al-Syathibi cenderung
menggunakan makna bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan
maknanya. Al-Bannani memaknai dengan hikmah hukum, al-samarqandi
menyamakannya dengan makna-makna hukum, kemudian al-Gazhali, al-
Amidi, ibn al-Hajib mendefinisikan dengan menggapai manfaat dan
menolak mafsadat.53

Maqashid al-syari’ah di kalangan ulama ushul fiqh disebut juga


dengan asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik suatu

50
Panji Adam, Hukum Islam Konsep,Filosofi, dan Metodologi, Sinar Grafika,
Jakarta 2019, hal. 102
51
Panji Adam, Hukum Islam: Konsep, Filosofi dan Metodologi,… hal. 103
52
Dr. H. Zamakhsyari, Lc, MA, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqh dan
Ushul Fiqh, Citapustak Media Perintis, Bandung 2013, Hal.1
53
Panji Adam, Hukum Islam: Konsep, Filosofi dan Metodologi… hal. 103

33
hukum yang ditetapkan oleh syara’ berupa kemaslahatan bagi umat
manusia, baik di duni amaupun di akhirat.

Dalam kajian maqashid-al-syari’ah ada beberapa tema yang


memiliki keterkaitan erat dengan definisi yang disebutkan, antara lain
hikmah, ‘illat, tujuan atau niat dan kemaslahatan.

Beberapa ulama mengemukakan pengertian maqoshid al-syari’ah


dengan redaksi yang berbeda-beda antara lain:

a. Imam al-Ghazali

‫فرعاية المقاصد عبارة حاوية لالببقاء ودفع القواطع والتحصيل على سبيل‬

‫االبتداء‬.54

Penjagaan terhadap maksud dan tujuan syariat adalah upaya


mendasar untuk bertahan hidup, menahan faktor-faktor kerusakan dan
mendorong terjadinya kesejahteraan.

b. Imam as-Syathibi
‫ يرجع‬Y‫ واالخر‬,‫ أحدهما يرجع إلى قصد الشارع‬:‫ التي ينظر فيه قسمان‬Y‫والمقاصد‬
‫إلى قصد المكلف‬.55
Al-maqashid terbagi menjadi dua, yang pertama berkaitan dengan
maksud Tuhan selaku pembuat hukum, dan kedua, berkaitan dengan
maksud mukallaf (subjek hukum).

Dari beberapa definisi tersebut dijelaskan bahwa maqoshid al-


syari’ah adalah maksud Allah SWT selaku pembuat syari’ah untuk
memberikan kemaslahatan kepada manusia, yaitu dengan terpenuhinya
kebutuhan daruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah agar manusia dapat hidup
dalam kebaikan dan dapat menjadi hamba Allah SWT yang baik.56

2. Sejarah Perkembangan Maqoshid al-Syari’ah

54
Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil, Mathba’ah al-Irshad, Baghdad,1971,
hal. 159
55
Ibrahim Ibn Musa Ibn Muhammad al-akhami al-Gaharnathi al-Syathibi, al-
Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam, Dar Ibn ‘Affan, 1997, Juz II, Hal. 7.
56
Panji Adam, Hukum Islam: Konsep, Filosofi dan Metodologi…, Hal.106

34
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam teori maqoshid al-syari’ah
sudah banyak menjadi pembahasan para ulama selama berabad-abad.
Pembahasan tentang kajian literatur maqashid al-syari’ah pada masa awal,
tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perkembangan metode-metode
ijtihad dalam disiplin ilmu ushul fiqh. Kajian tentang maqashid pada masa
awal tidak begitu jelas disebutkan dan hanya ada beberapa sub bab kecil
yang disebutkan dalam beberapa literatur kitab klasik. Hal ini disebabkan
konsentrasi kajian hukum Islam pada masa itu terbatas hanya pada teori-
teori dalam ushul fiqh sebagai metodologi istinbat hukum dari nash dan
juga qawa’id fiqh sebagai pondasi dasar bangunan fikih. Yang keduanya
memiliki kencenderungan pada teks bukan pada makna di balik teks
sedangkan kajian tentang maqashid sendiri lebih mengarah pada makna
dibalik teks/ filsafat yang dianggap tidak bersentuhan langsung dengan
proses istinbat hukum.57

Ar-Rasyuni menyimpulkan sepanjang masa perkembangan ushul


fiqh, maqashid al-syari’ah mengalami perkembangan besar melalui tiga
tokoh sentral, yaitu Imam Haramain Abu al-Ma’ali Abdullah al-juwaini
(w. 478 H), Abu ishaq al-Syathibi (w. 790 H), dan Muhammad al-Thahir
Ibn ‘Asyur (w. 1379 H/1973 M).58 Penyebutan ketiga tokoh ini tidak serta
merta menghilangkan peran para tokoh-tokoh lainnya yang juga memiliki
andil besar dalam mengawali dan mempertegas konsep maqashid pada
masa-masa awal. Seperti Imam Turmudzi al-Hakim, Abu Bakar al-Qaffal
al-Shasi, al-amiri, dan al-Ghazali. Namun, ketiga tokoh di atas menjadi
tumpuan dan tonggak di mana maqashid al-syari’ah mengalami
pergeseran makna yang cukup signifikan.

Menurut Ahmad Raisuni seperti yang dikutip oleh Panji Adam,


istilah maqoshid al-syariah pertama kali digunakan oleh al-Turmidzi al-
Hakim (w. 320 H), seorang ulama yang hidup di awal abad ke-4. Benih-
benih awal maqashid dapat ditemukan dalam bukunya, yaitu: al-Salah wa
Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruhu, al-‘Ilah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal

57
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, (Yogyakarta: LKIS, 2012). Hal. 185
58
Ahmad Rasyuni, al-Bahts fi maqashid al-Syari’ah, hal. 4-5

35
al-‘Ubudiyah dan juga bukunya al-Furuq. Bahkan oleh Raisuni, Imam at-
Turmudzi disebut sebagai tokoh yang banyak memberikan kontribusi
dalam pembahasan ‘illah hukum-hukum syariat dan rahasia dibaliknya.59

Setelahnya, muncul Abu Mansur al-Maturudi (w. 333) dengan


karyanya Ma’had al-Syara’, kemudian Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.
365) dengan bukunya Ushul Fiqh dan Mahasin al-Syariah, Abu Bakar al-
Abhari (w. 375) karyanya berjudul Mas’alah al-Jawab wa al-dalail wa
al’illah, kemudian al-Baqillany (w. 403) dengan karyanya al-Taqrib wa
al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad.60

Kemudian Imam al-Juwaini (w. 478) atau yang dikenal dengan


Imam Haramain dengan karyanya al-Burhan, al-Talkhis dan al-Waaqah.
Beliau adalah orang yang pertama kali melakukan kasifikasi atau membagi
kemaslahatan menjadi tiga tingkatan hierarkis mengenai dasar-dasar
maqashid yakni daruriyyah, hajiyyah dan tahisniyyah.61

Kajian al-Juwaini tentang maqashid ai-syari’ah kemudian


dikembangkan oleh muridnya Abu Hamid al-Ghazali/ Imam al-Ghazali
(w. 505H). Muncul pula al-Razy (w. 606 H), al-Amidy (w. 631 H), Ibn
Hajib (w. 646 h), Izzudin Abd Salam (w. 660) dalam karyanya Qawa’id al
Ahkam fi Mashalih al-Anam, Baidowi (w. 685), al-Asnawi (w. 772), Ibn
Subki (w. 771), al-Qurafi, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-jauziyah dan
tokoh ushul fikih Najmuddin al-thufi (w. 710) dalam Risalah fi Ri’ayah
al-Maslahah.62

Kemunculan al-Syathibi menjadi pembuka lembaran baru bagi


kajian maqashid al-syari’ah yang kemudian beliau dikukuhkan oleh
sejarah sebagai pendiri ilmu maqashid atau bapak maqashid al-syari’ah.
Hingga kini, pembahasan mengenai maqashid selalu dikaitkan dengan

59
Panji Adam, Hukum Islam: Teori, Filosofi, dan Metodologi…, Hal. 108
60
Panji Adam, Hukum Islam: Teori, Filosofi, dan metodologi…, Hal. 108
61
Muhammad Choirun Nizar, Literatur Kajian Maqashid Syari’ah, Universitas
Islam Sultan Agung, Ulul Albab, Agustus 2016, hal. 57
62
Agustiano Mingka, Maqashid Syariah dalam ekonomi dan Keuangan Syariah,
Iqtishad Publishing, Ciputat, 2013, Hal. 4

36
nama al-Syatibi, dan mulailah kemudian maqashid dibahas secara terpisah
dan menjadi disiplin ilmu secara independen.63

Usaha al-Syathibi kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Thahir


Ibn Asyur dalam kitabnya maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah. Dalam
konteks ini, ilmu maqashid telah mengalami metamorfosis sempurna dan
menjadi disiplin ilmu yang independen yang sebelumnya merupakan salah
satu bagian dari kajian ushul fikih.64

Di era kontemporer, hadir para cendekia muslim yang mendalami


maqoshid al-syari’ah. Diantaranya adalah yang dilakukan oleh Yusuf al-
Qardhawi, kajian maqashid yang dikembangkan oleh al-Qardhawi tidak
hanya tertumpu pada masalah ‘illat konsep maqashid, maslahat dan
mafsadat. Al-Qardhawi memberikan nuansa baru dengan pembahasan
mengenai etika lingkungan yang dituangkan dalam karyanya Ri’ayat al-
Bi’at fi Syai’ah al-Isam. Baginya melestarikan lingkungan merupakan
bagian dari ajaran Islam memelihara lingkungan sama dengan
melaksanakan ajaran Islam sedangkan melakukan hal sebaliknya
merupakan bentuk penistaan terhadap ajaran agama dan tidak
terealisasikannya kulliyat al-khamsah.65

3. Fungsi Maqoshid al-Syari’ah


Menurut agustianto Mingka yang dikutip oleh Panji Adam, maqashid
al-syar’'ah memiliki tiga fungsi sebagai berikut:66
1. Sebagai dasar tasyi’
Semua syariah yang ditetapkan Allah SWT dan Rasulnya adalah
bertujuan untuk mewujudkan maslahah pada hamba-Nya serta
menolak mudarat. Baik itu diketahui secara langsung ataupun
tidak. maka semua perintah dan larangan yang ada di dalam al-
Qur’an dan hadits dasarnya adalah maqashid al-syariah, seperti

63
Panji Adam, Hukum Islam: Teori, Filosofi dan Metodologi,…, hal. 109
64
Moh. Mufidi, Maqashid Ekonomi Syariah: Tinjauan dan Aplikasi, Empatdua Media, Malang,
2018, Hal.5
65
Moh. Mufidi, Maqashid Ekonomi Syariah: Tinjauan dan Aplikasi,…., Hal.6
66
Panji Adam, Hukum Islam: Konsep, filosofi dan Metodologi,…,Hal.111

37
pada larangan riba, larangan mengkonsumsi miras dan
memperdagangkannya.
2. Sebagai alat bantu penafsiran dalil-dalil
Maslahah dapat membantu menafsirkan dan mengambil
kesimpulan tentang hikmah yang terkandung di dalam al-qur’an
dan hadits, seperti ketika memahami hadits tentang larangan ta’sir,
di masa Nabi Saw ta’sir dilarang, tapi ketika telah terjadi
perubahan prilaku ekonomi masyarakat di masa Umar Ibn Khattab
memperbolehkan bahkan melakukan ta’sir.
3. Sebagai dalil dan sumber hukum
Maslahah dapat menjadi dalil syari’ ketika tidak ada nash yang bisa
menjadi sumber rujukan hukum, seperti keputusan ijtihad dan
fatwa harus menyertakan maqashid al-syariah sebagai dasarnya.
Para ulama memperbolehkan untuk memilih system net revenue
sharing dalam bagi hasil, mengharuskan nasabah bank
menggunakan asuransi jiwa, semuanya harus dengan didasarkan
kepada maqashid al-syariah.67

DAFTAR PUSTAKA

Dzulfaroh, Ahmad Naufal. (2022). 10 Daerah dengan Angka Perceraian Terdiri di


Indonesia. Kompas.com, diakses pada 01 Agustus 2022 Pukul 23.57.
Imroni. (2018). Konsep Keluarga Sakinah dalam Al-Qur'an (Kajian Tematik).
Jambi: Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sulthan Thaha Saifudin.
Kholik, Abdul. (2017). Konsep Keluarga Sakinah Perspektif Quraish shihab.
INKLUSIF Vol 2 No. 4, 111.
Kodir, Faqihuddin Abdul. (2019). Qiro'ah Mubadalah, Tafsir Progresif untuk
Keadilan Gender dalam Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.
67
Panji Adam, Hukum Islam: Konsep. Filosofi dan Metodologi,… Hal.112

38
Lisnawati. (2017). Relevansi Prinsip Mu'asyaroh bil ma'ruf dengan Pasal-Pasal
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Palangkaraya: Fakultas Ahwal Asyakhisiyah IAIN Palangkaraya.
Muhammad, KH. Husein. (2019). Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender. Yogyakarta: IRCiSoD.
Nasuka, Moh. (2016). Urgensi Maqoshid Syariah dalam Membangun Keluarga
Sakinah. ISTIDLAL, 117.
Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan (2017). Labirin
Kekerasan Terhadap Perempuan. Komnas Perempuan, Jakarta.
Purnamasari, A. (2021). Analisis pemikiran Husein MUhammad dan Siti Musdah
Mulia Tentang Konsep Mu'asyaroh bil Ma'ruf dalam Membangun
Keluarga Sakinah. Lampung: Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas
Syari'ah, UIN Raden Intan.
Ratnasari, Yulianti. (2018). Konsep Keluarga Sakinah Menurut Al-Ghazali.
Semarang: Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin dan
Humaniora, UIN Walisongo.
Shihab, M. Quraish. (2006). Menabur Pesan Ilahi. Jakarta: Lentera Hati.
Syafnidawaty. (2022, Juli 27). Penelitian Kualitatif. Retrieved from Universitas
Raharja: Diakses pada Pukul 00:18
Willis, S. Sofyan. (2009). Konseling Keluarga, Suatu Upaya Membantu Anggota
Keluarga Memecahkan Masalah Komunikasi di dalam Sistem Keluarga.
Bandung: Alfabeta.
Zamakhsyari. (2013). Teori-Teori Hukum Islam dalam Fikih dan Ushul Fiqh.
Bandung: Citapustaka Media Mandiri.

39

Anda mungkin juga menyukai