Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

TAFSIR

“ Menjelaskan Konsep Al Quran Tentang Membina Keluarga


Sakinah “

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada Mata


Kuliah Tafsir

Dr. H. Muhammad Aji Nugroho, Lc, M.Pd.I.

Disusun Oleh:

Kelompok 3

1.Ahmad Hanafi Rozaq


2.Fahrian Nuzzul Fikri
3.Ibnu Mausul Arbain
4.Ikhsanul Khakim
5.Muhammad Darrun
6.Muhammad Syaifuddin Yusuf
7.Muhammad Wildan

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SALATIGA


PROGAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
2022/2023
\

1|Page
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga tugas kelompok ini dapat tersusun. Adapun judul yang di bahas
dalam makalah ini yaitu “ Menjelaskan Konsep Al Quran Tentang
Membina Keluarga Sakinah”. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari satu kelompok yang telah
berkontribusi dengan memberikan pikirannya.

Kami harap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi kita semua, karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam isi
makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
masukan teman teman semua,demi kesempurnaan makalah ini, Terima
kasih.

Salatiga, 16 September 2022

2|Page
Pen
yusun

DARTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................. ....................I

DAFTAR ISI.................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN..............................................................1

A. Latar Belakang Masalah.................................................................1


B. Rumusan Masalah..........................................................................1
C. Tujuan Masalah..............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN................................................................8

A. Pengertian Dalam Membina Keluarga Sakinah..............................8


B. Analisis Ayat Ayat Yang Menjelaskan Konsep Al Quran Tentang
Membina Keluarga Sakinah...................................................... 9-40

BAB III PENUTUP................................................................... ...40

A. Kesimpulan...................................................................................40
B. Saran..............................................................................................40

DARTAR PUSTAKA.........................................................................41

3|Page
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

keluarga sakinah merupakan dambaan setiap pasangan dalam


membina rumah tangga, kehidupan berkeluarga adalah suatu yang
bersifat fitrah. Sebagai miniature masyarakat, ia merupakan nuklesus
atau inti bagi proses perkembangan masyarakat masyarakat terdiri dari
unsur keluarga, keluarga berbentuk dari unsur individu. Maka bila
anggota keluarga terdiri dari individu yang shaleh, keluarga tersebut
dinyatakan sebagai keluarga sakinah. Dan jika masing-masing
keluarga berbuat demikian, maka akan terciptalah masyarakat yang
sehat, kuat serta mulia. Dalam melangsungkan aktifitas/profesinya
seorang mubaligh mutlak berhadapan dengan sosial bahkan ditentukan
oleh mutu kepribadian serta lingkungan dan masyarakat, dalam kajian
sosial bahwa lingkungan masyarakat itu bukanlah sesuatu yang pasif
melainkan lingkungan sesuatu yang hidup yang mempunyai sejuta
pandangan dan penilaian yang sangat berpengaruh dalam
melangsungkan kehidupan begitu dalam membentuk karekter dalam
kehidupan keluarga akhlak dan prilaku merupakan yang utama apalgi
menuju predikat sakinah itu tidaklah mudah. Membangun keluarga itu
terlihat mudah, namun memelihara dan membina keluarga sehingga
menjadi keluarga sakinah tidaklah mudah. untuk mencapai tujuan
pernikahan ini. Islam menempatkan berbgai patokan dan pola yang
harus dilalui, direncanakan dan dilaksanakan, mulai dari memelih
pasangan hidup, 2 penilaian terhadap calon suami atau istri, rukun dan
syarat nikah, mahar dan sebagainya Seseorang yang menepaki

4|Page
kehidupan bisanya diliputi keyakinan akan keindahan yang bakal
mereka reguk, harapan-harapan akan Suasana ketentraman dan kasih
sayang yang bakal tercipta. Namun adakalanya, kenyataan tak
selamanya bersahabat, bayangkan akan keindahan mungkin hanya
terasa pada awal-awal tahun kehidupan berkeluarga. Setelah itu,
munculah hari “racub” pahit bahkan mungkin tidak menyenangkan.
Untuk mencapai keluarga yang sakinah, maka hak suami istri dan
kewajiban masing-masing harus dilaksanakan dengan penuh keadilan,
keserasian, keselarasan, dan keseimbngan baik dalam fungsi
keagamaan maupun keduniaan. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam syrat ar-rum ayat 21
َ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ِإ َّن فِي َذلِك‬
َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن َخل‬
)21( َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬ ٍ ‫} آليَا‬
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجًا‬


َ َ‫} َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن خَ ل‬

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri. (Ar-Rum: 21)

Dia menciptakan bagi kalian kaum wanita dari jenis kalian sendiri
yang kelak mereka menjadi istri-istri kalian.

{‫}لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَ ْيهَا‬

supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (Ar-Rum:


21)

Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-
Nya:

5|Page
ٍ ‫}هُ َو الَّ ِذي خَ لَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
{‫س َوا ِح َد ٍة َو َج َع َل ِم ْنهَا زَ وْ َجهَا ِليَ ْس ُكنَ ِإلَ ْيهَا‬

Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia
menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. (Al-A'raf:
189)

Yang dimaksud adalah ibu Hawa. Allah menciptakannya dari Adam,


yaitu dari tulang rusuknya yang terpendek dari sebelah kirinya.

Seandainya Allah menjadikan semua Bani Adam terdiri dari laki-laki,


dan menjadikan pasangan mereka dari jenis lain yang bukan dari jenis
manusia, misalnya jin atau hewan, maka pastilah tidak akan terjadi
kerukunan dan kecenderungan di antara mereka dan tidak akan terjadi
pula perkawinan. Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah saling
bertentangan dan saling berpaling, seandainya mereka berpasangan
bukan dari makhluk sesama manusia.

Termasuk di antara rahmat Allah yang sempurna kepada anak-anak


Adam ialah Dia menjadikan pasangan (istri) mereka dari jenis mereka
sendiri, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara pasangan-
pasangan itu. Karena adakalanya seorang lelaki itu tetap memegang
wanita karena cinta kepadanya atau karena sayang kepadanya, karena
mempunyai anak darinya, atau sebaliknya kerena si wanita
memerlukan perlindungan dari si lelaki atau memerlukan nafkah
darinya, atau keduanya saling menyukai, dan alasan lainnya.

{ َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬


ٍ ‫}ِإ َّن فِي َذلِكَ آليَا‬

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-


tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Rum: 21)

6|Page
Bagi pasangan yang memahami ayat diatas pada hakekatnya adalah
keluarga yang mendapatkan karunia kebahagian dan kemulian dari
Allah SWT, yang senantiasa tumbuh dan berkembangan serta bisa
memberikan pengaruh kebaikan dan senantiasa mendatangkan
kemanfaatan bagi dirinya maupun oranglain. 3 Agama Islam telah
memberikan petunjuk lengkap & rinci terhadap persoalan pernikahan.
Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan ideal, melakukan
khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan
jalan keluar jika terjadi kemelut dlm rumah tangga, sampai dlm proses
nafaqah (memberi nafkah) & harta waris, semua diatur oleh Islam
secara rinci, detail & gambling menuju keluarga sakinah Mencapai
predikat sakinah mawadah warahmah bukanlah dengan jarak tempuh
waktu satu atau dua tahun melainkan ada beberapa proses yang harus
dilewati, penuh pengorbanan, pengabdian, dalam mencapai melawati
proses yang ditempuh yaitu ada penangkal diri, keimanan dan
ketaqwaan serta akhlaqul karimah dalam menghadapi kemelut rumah
tangga baik yang ada di dalam kehidupan berkeluarga maupun dalam
kehidupan bermasyrakat. Pasangan suami istri ini patut mendapatkan
predikat keluarga sakinah teladan antara lain karena kondisi
keluarganya yang taat beribadah dan selalu bermusyawarah dalam
setiap mengambil kebijakan, begitu juga dengan pemahaman ajaran
Agama, penghayatan dan pengamalan pacasila dan UUD 1945 cukup
baik sehingga kedaran pentingnya perwujudan keluarga dapat
terpenuhi, spiritual dan material yang layak dan seimbang, suasana
kasih sayang terhadap keluarga dan lingkungnya dengan selaras, serasi
dan mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai
ketaqwaan dan aklak mulia, yang didasari Karena Allah serta
pembinaan dan pendidikan terhadap anak-anak sangat baik

Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan


mendeskripsikan konsep Al Quran yang menjelaskan tentang

7|Page
membina keluarga sakinah dengan beberapa ayat ayat yang sudah
tertera di materi tafsir ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian membina keluarga sakinah
2. Bagaimana analisis cara membina keluarga sakinah menurut QS. Ar
Rum(30):21, An Nur(24):32, Al Baqarah(2):221, An Nisa’(4):3,
4,34,35

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian membina keluarga sakinah
2. Untuk mengetahui cara membina keluarga sakinah dari beberapa
surah Al Quran

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Membina Keluarga Sakinah


Membina adalah mendidik dan Pengertian Keluarga Sakinah
Keluarga dalam bahasa Arab adalah ahlun, disamping kata ahlun kata
yang bisa memiliki pengertian keluarga adalah ālidan āshir. Kata
ahlun berawal dari kata ahila yang berarti rasa senang, rasa suka, dan
ramah.
Menurut pendapat lain, kata ahlun berasal dari kata ahala yang berarti
menikah. Sedangkan menurut konsep islam, keluarga adalah satu
kesatuan hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui akad nikah
menurut ajaran islam, dengan adanya ikatan akad nikah pernikahan
tersebut dimaksudkan anak dan keturunan yang dihasilkan menjadi
sah secara hukum agama.Sakinah terambil dari kata sakana yang
berarti diam/bergejolak. Sakinah karena perkawinan adalah

8|Page
ketenangan yang dinamis dan aktif.Jadi, istilah keluarga sakinah
adalah dua kata yang saling melengkapi, kata sakinah sebagai kata
sifat, yaitu untuk menyifati ataumenerangkan kata keluarga. Keluarga
sakinah diartikan dengan keluarga yang tentram, tenang, bahagia, dan
sejahtera lahir batin serta
dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang.Dalam hal ini, Islam
menetapkan bahwa tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga
sakinah yang dilandasi dengan mawaddah, dan warrahmah.Tidak
mudah membangun keluarga yang sakinah. Ia merupakan bentangan
proses yang
sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya bukan hal yang
sederhana.Kasuskasus keluarga yang terjadi disekitar kita bisa diambil
pelajaran yang sangat penting bagi kita untuk menjadi cerminan dalam
membangun sebuah.apabila dalam membina rumah tangga yang
terjalin cinta antara suami dan istri, maka diperlukan adanya
penerapkan
system keseimbangan peranan, maksudnya disamping peranannya
sebagai suami dan peranannya sebagai istri juga menjalankan peranan
lain seperti tugas hidup sehari-hari. Maka dari itu, tujuan adanya
pernikahan
adalah untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya

B. Analisis Dalam Konsep Al Quran Yang Menjelaskan Tentang


Membina Keluarga Sakinah
1. QS. Ar Rum(30):21
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
{‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجًا‬
َ َ‫} َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن خَ ل‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri. (Ar-Rum: 21)
Dia menciptakan bagi kalian kaum wanita dari jenis kalian sendiri
yang kelak mereka menjadi istri-istri kalian.

9|Page
{‫}لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَ ْيهَا‬
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (Ar-Rum:
21)
Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-
Nya:
ٍ ‫}هُ َو الَّ ِذي خَ لَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
{‫س َوا ِح َد ٍة َو َج َع َل ِم ْنهَا زَ وْ َجهَا لِيَ ْس ُكنَ ِإلَ ْيهَا‬
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia
menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. (Al-A'raf:
189)
Yang dimaksud adalah ibu Hawa. Allah menciptakannya dari Adam,
yaitu dari tulang rusuknya yang terpendek dari sebelah kirinya.
Seandainya Allah menjadikan semua Bani Adam terdiri dari laki-laki,
dan menjadikan pasangan mereka dari jenis lain yang bukan dari jenis
manusia, misalnya jin atau hewan, maka pastilah tidak akan terjadi
kerukunan dan kecenderungan di antara mereka dan tidak akan terjadi
pula perkawinan. Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah saling
bertentangan dan saling berpaling, seandainya mereka berpasangan
bukan dari makhluk sesama manusia.
Termasuk di antara rahmat Allah yang sempurna kepada anak-anak
Adam ialah Dia menjadikan pasangan (istri) mereka dari jenis mereka
sendiri, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara pasangan-
pasangan itu. Karena adakalanya seorang lelaki itu tetap memegang
wanita karena cinta kepadanya atau karena sayang kepadanya, karena
mempunyai anak darinya, atau sebaliknya kerena si wanita
memerlukan perlindungan dari si lelaki atau memerlukan nafkah
darinya, atau keduanya saling menyukai, dan alasan lainnya.
{ َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬
ٍ ‫}ِإ َّن فِي َذلِكَ آليَا‬
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Rum: 21)
2. QS. An Nur(24):32

10 | P a g e
Ayat-ayat yang mulia lagi menjelaskan ini mengandung sejumlah
hukum yang muhkam dan perintah-perintah yang pasti.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
{‫} َوَأ ْن ِكحُوا األيَا َمى ِم ْن ُك ْم‬
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian. (An-
Nur: 32), sampai akhir ayat.
Hal ini merupakan perintah untuk kawin. Segolongan ulama
berpendapat bahwa setiap orang yang mampu kawin diwajibkan
melakukanya. Mereka berpegang kepada makna lahiriah hadis Nabi
Shallallahu'alaihi Wasallam yang berbunyi:

ِ ْ‫صنُ لِ ْلفَر‬
" ،‫ج‬ َ ْ‫ َوَأح‬،‫ص ِر‬
َ َ‫ فَِإنَّهُ َأغَضُّ لِ ْلب‬، ْ‫ َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوج‬،‫ب‬
ِ ‫يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬
‫" َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِالصَّوْ ِم فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu
menanggung biaya perkawinan, maka hendaklah ia kawin. Karena
sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan
lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu,
hendaknyalah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat
dijadikan peredam (berahi) baginya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam
kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Ibnu Mas'ud.
Di dalam kitab sunan telah disebutkan hadis berikut melalui berbagai
jalur, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:
َ :‫ فَِإنِّي ُمبَا ٍه بِ ُك ُم اُأْل َم َم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة" َوفِي ِر َوايَ ٍة‬،‫ تَنَا َسلُوا‬،‫ ت ََوالَدُوا‬،‫"تَ َزوَّجوا‬.
"‫"حتَّى بِال ِّس ْق ِط‬
Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang subur peranakannya,
niscaya kalian mempunyai keturunan; karena sesungguhnya aku
merasa bangga dengan (banyaknya) kalian terhadap umat-umat lain
kelak di hari kiamat. Menurut riwayat lain disebutkan, "Sekalipun
dengan bayi yang keguguran."
Al-Ayama adalah bentuk jamak dari ayyimun. Kata ini dapat
ditujukan kepada pria dan wanita yang tidak punya pasangan hidup,
baik ia pernah kawin ataupun belum. Demikianlah menurut pendapat

11 | P a g e
Al-Jauhari yang ia nukil dari ahli lugah (bahasa). Dikatakan rajulun
ayyimun dan imra-tun ayyimun, artinya pria yang tidak beristri dan
wanita yang tidak bersuami.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
{‫}ِإ ْن يَ ُكونُوا فُقَ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ِه‬
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. (An-Nur: 32), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
makna ayat ini mengandung anjuran kepada mereka untuk kawin.
Allah memerintahkan orang-orang yang merdeka dan budak-budak
untuk kawin, dan Dia menjanjikan kepada mereka untuk memberikan
kecukupan. Untuk itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Jika
mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya. (An-Nur: 32)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
ayahku, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khalid Al-
Azraq, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdul Wahid, dari
Sa’id ibnu Abdul Aziz yang mengatakan bahwa telah sampai suatu
berita kepadanya bahwa Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu Anhu
pernah mengatakan, "Bertakwalah kalian kepada Allah dalam
menjalankan apa yang Dia perintahkan kepada kalian dalam hal nikah,
niscaya Dia akan memenuhi bagi kalian apa yang telah Dia janjikan
kepada kalian, yaitu kecukupan." Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
berfirman: Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32)
Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan,
"Carilah kecukupan dalam nikah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah berfirman: 'Jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya' (An-Nur: 32)."
Ibnu Jarir telah meriwayatkannya, dan Al-Bagawi telah meriwayatkan
hal yang semisal melalui Umar.

12 | P a g e
Telah diriwayatkan dari Al-Lais, dari Muhammad ibnu Ajian, dari
Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:
ِ ‫ َو ْالغ‬،‫ والمكاتَب ي ُِري ُد اَأْلدَا َء‬، َ‫ النَّا ِك ُح ي ُِري ُد ْال َعفَاف‬:‫ق َعلَى هَّللا ِ عَوْ نهم‬
" ‫َازي فِي َسبِي ِل‬ ٌّ ‫ثَاَل ثَةٌ َح‬
ِ ‫"هَّللا‬
Ada tiga macam orang yang berhak memperoleh pertolongan dari
Allah, yaitu orang yang nikah karena menghendaki kesucian, budak
mukatab yang bertekad melunasinya, dan orang yang berperang di
jalan Allah.
Hadis riwayat imam Ahmad, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam
Ibnu Majah.
Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam pernah mengawinkan lelaki yang
tidak mempunyai apa-apa selain sehelai kain sarung yang
dikenakannya dan tidak mampu membayar maskawin cincin dari besi
sekalipun. Tetapi walaupun demikian, beliau Shalallahu'alaihi
Wasallam mengawinkannya dengan seorang wanita dan menjadikan
maskawinnya bahwa dia harus mengajari istrinya Al-Qur'an yang
telah dihafalnya. Kebiasaannya, berkat kemurahan dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan belas kasih-Nya, pada akhirnya Allah
memberinya rezeki yang dapat mencukupi kehidupan dia dan istrinya.
Adapun tentang apa yang dikemukakan oleh kebanyakan orang,
bahwa hal berikut merupakan sebuah hadis, yaitu:
"ُ ‫"تَ َز َّوجُوا فُقَ َرا َء يُ ْغنِ ُك ُم هَّللا‬
Kawinilah orang-orang yang fakir, niscaya Allah akan memberikan
kecukupan kepada kalian.
Maka hadis ini tidak ada pokok pegangannya, dan menurut hemat saya
sanadnya tidak kuat, juga tidak lemah; sampai sekarang saya masih
belum mengetahuinya. Apa yang ada di dalam Al-Qur'an merupakan
suatu kecukupan yang tidak memerlukannya; begitu pula hadis-hadis
di atas yang telah kami kemukakan, sudah cukup sebagai dalilnya.
3. QS. Al Baqarah(2):221

13 | P a g e
Melalui ayat ini Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin
menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah
berhala. Kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti
termasuk ke dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan
wasaniyah. Akan tetapi, dikecualikan dari hal tersebut wanita Ahli
Kitab oleh firman-Nya:
ِ ْ‫تاب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ِإذا آتَ ْيتُ ُموه َُّن ُأجُو َره َُّن ُمح‬
َ‫صنِينَ َغي َْر ُمسافِ ِحين‬ َ ‫نات ِمنَ الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِك‬
ُ ‫ص‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian, bila kalian
telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina. (Al-Maidah: 5)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Bahwa Allah
mengecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair,
Makhul, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas,
dan lain-lainnya.
Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh ayat ini
adalah orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan
bukan Ahli Kitab secara keseluruhan. Makna pendapat ini berdekatan
dengan pendapat yang pertama tadi.
Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
، ُّ‫َاري‬ ِ ‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َح ِمي ِد بْنُ بَ ْه َرام ْالفَز‬،‫ َح َّدثَنَا َأبِي‬،‫س ْال َع ْسقَاَل نِ ُّي‬
ٍ ‫َح َّدثَنِي ُعبَ ْي ُد بْنُ آ َد َم ْب ِن َأبِي ِإيَا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬
َ ِ ‫ نَهَى رسو ُل هَّللا‬:ُ‫س يَقُول‬ ٍ ‫ْت َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ َعبَّا‬ُ ‫ َس ِمع‬:‫َح َّدثَنَا َشهْر بْنُ َحوْ َشب قَا َل‬
‫ين َغي ِْر‬ ٍ ‫ت ِد‬ ِ ‫ت ْال ُمهَا ِج َرا‬
ِ ‫ َو َح َّر َم ُك َّل َذا‬،‫ت‬ ِ ‫ ِإاَّل َما َكانَ ِمنَ ْال ُمْؤ ِمنَا‬،‫َاف النِّ َسا ِء‬
ِ ‫َو َسلَّ َم ع َْن َأصْ ن‬
ْ }ُ‫ { َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاإلي َما ِن فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُه‬:َّ‫ قَا َل هَّللا ُ َع َّز َو َجل‬،‫اِإْل ْساَل ِم‬
‫ َوقَ ْد نَ َك َح‬. ]5 :‫[ال َماِئ َد ِة‬
ِ ‫ب ُع َم ُر بْنُ ْالخَ طَّا‬
َ ‫ب َغ‬
‫ضبًا‬ ِ ‫ فَغ‬،ً‫ َونَ َك َح ُح َذ ْيفَةُ بْنُ ْاليَ َما ِن نَصْ َرانِيَّة‬،ً‫طَ ْل َحةُ بْنُ ُعبَي̧د هَّللا ِ يَهُو ِديَّة‬
َ ‫َض‬
‫ لَِئ ْن‬:‫ال‬
َ َ‫ضبُ ! فَق‬َ ‫ َواَل تَ ْغ‬،̧ َ‫طلق يَا َأ ِمي َر ْال ُمْؤ ِمنِين‬ َ ‫ فَقَااَل نَحْ نُ ن‬.‫ َحتَّى هَ َّم َأ ْن يَ ْسطُ َو َعلَ ْي ِه َما‬،̧‫َش ِديدًا‬
‫صغ ََرة قَمأة‬ َ ‫ َولَ ِكنِّي َأ ْنت َِز ُعه َُّن ِم ْن ُك ْم‬،‫َح ّل طَاَل قُه َُّن لَقَ ْد َح َّل نِ َكا ُحه َُّن‬

14 | P a g e
yaitu telah menceritakan kepadaku Ubaid ibnu Adam ibnu Abu lyas
Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepadaku Abdul Hamid ibnu Bahram Al-Fazzari, telah
menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Abbas mengatakan hadis
berikut: Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam telah melarang
menikahi berbagai macam wanita kecuali wanita-wanita yang mukmin
dari kalangan Muhajirin dan mengharamkan pula mengawini wanita
beragama selain Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
Barang siapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalannya.
(Al-Maidah: 5) Talhah ibnu Abdullah pernah kawin dengan seorang
wanita Yahudi, dan Huzaifah ibnul Yaman pernah kawin dengan
seorang wanita Nasrani, maka Khalifah Umar ibnul Khattab marah
sekali mendengarnya hingga hampir-hampir dia menghajar keduanya.
Tetapi keduanya mengatakan, "Wahai Amirul Muminin, janganlah
engkau marah, kami akan menceraikannya." Khalifah Umar
menjawab, "Kalau boleh ditalak, berarti halal dinikahi. Tidak, aku
akan mencabut mereka dari kalian secara hina dina."
Hadis di atas berpredikat garib jiddan (aneh sekali), demikian pula
asar yang dari Umar ibnul Khattab Radhiyallahu Anhu
Abu Ja'far ibnu Jarir sesudah meriwayatkan perihal adanya
kesepakatan boleh menikahi wanita Ahli Kitab mengatakan bahwa
sesungguhnya Khalifah Umar hanyalah tidak menyukai perkawinan
seperti itu dengan maksud agar kaum muslim tidak enggan menikahi
wanita-wanita muslimah, atau karena alasan lainnya. Seperti yang
telah diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu
Bahram, dari Syaqiq yang menceritakan bahwa Huzaifah mengawini
seorang wanita Yahudi, lalu Umar Radhiyallahu Anhu berkirim surat
kepadanya yang isinya mengatakan, "Lepaskanlah dia." Lalu Huzaifah
membalas suratnya, "Apakah engkau menduga bahwa kawin dengan

15 | P a g e
dia haram hingga aku harus melepaskannya?" Umar mengatakan,
"Aku tidak menduganya haram dikawin, melainkan aku merasa
khawatir kalian enggan menikahi wanita-wanita mukmin karena
mereka (wanita-wanita Ahli Kitab)." Sanad asar ini sahih.
Al-Khalal meriwayatkan hal yang semisal dari Muhammad ibnu
Ismail, dari Waki', dari As-Silt.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu
Abdur Rahman Al-Masruq, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu
Sa'd, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Zaid ibnu Wahb yang
menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah
mengatakan: Lelaki muslim boleh mengawini wanita Nasrani, tetapi
lelaki Nasrani tidak boleh mengawini wanita muslimah.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asar ini lebih sahih sanadnya daripada
yang pertama tadi.
‫ َع ِن‬،‫َّار‬ٍ ‫ث ْب ِن َسو‬ َ ‫ ع َْن َأ ْش َع‬،‫يك‬ ٍ ‫ق ع َْن َش ِر‬ ُ ‫ق اَأْل ْز َر‬
ُ ‫ َأ ْخبَ َرنَا ِإ ْس َحا‬،‫َص ِر‬ ِ ‫َح َّدثَنَا تَ ِمي ُم بْنُ ْال ُم ْنت‬
‫ "نَتَ َز َّو ُج نِ َسا َء َأ ْه ِل‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬:‫ال‬ َ َ‫ ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ ق‬،‫ْال َح َس ِن‬
‫ب َواَل يَتَ َز َّوجُونَ نِ َسا َءنَا‬ ْ
ِ ‫"ال ِكتَا‬.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Tamim ibnul
Muntasir, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraqi, dari
Syarik, dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu
Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi
Wasallam pernah bersabda: Kami boleh mengawini wanita-wanita
Ahli Kitab, tetapi mereka tidak boleh mengawini wanita-wanita kami.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa hadis ini sekalipun dalam
sanadnya terdapat sesuatu, tetapi semua umat sepakat akan hal
tersebut. Demikianlah pendapat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Ja'far ibnu Barqan, dari Maimun ibnu Mihran, dari Ibnu
Umar, bahwa ia menghukumi makruh mengawini wanita Ahli Kitab

16 | P a g e
atas dasar takwil firman-Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-
wanita musyrik sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221)
Imam Bukhari mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Aku
belum pernah mengetahui perbuatan syirik yang lebih besar daripada
perkataan wanita Ahli Kitab, bahwa tuhannya adalah Isa."
Abu Bakar Al-Khalal Al-Hambali mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami
Ishaq ibnu Ibrahim. Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad
ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Ahmad, bahwa
keduanya pernah bertanya kepada Abu Abdullah Ahmad ibnu Hambal
mengenai makna firman-Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-
wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Bahwa
yang dimaksud dengan wanita-wanita musyrik ialah mereka yang
menyembah berhala.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
{‫} َوأل َمةٌ ُمْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ َأ ْع َجبَ ْت ُك ْم‬
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
Abdullah ibnu Rawwahah. Dia mempunyai seorang budak wanita
hitam, lalu di suatu hari ia marah kepadanya, kemudian menamparnya.
Setelah itu ia merasa menyesal, lalu ia datang kepada Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam dan menceritakan kepadanya peristiwa
yang telah dialaminya itu. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
bertanya kepadanya, "Bagaimanakah perilakunya?" Abdullah ibnu
Rawwahah menjawab, "Dia puasa, salat, melakukan wudu dengan
baik, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah
utusan Allah." Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda,
"Hai Abu Abdullah, kalau demikian dia adalah wanita yang beriman."
Abdullah ibnu Rawwahah lalu berkata, "Demi Tuhan yang telah
mengutusmu dengan hak, aku benar-benar akan memerdekakannya,

17 | P a g e
lalu akan aku nikahi." Abdullah ibnu Rawwahah melakukan apa yang
telah dikatakannya itu. Lalu ada sejumlah kaum muslim yang
mengejeknya dan mengatakan bahwa dia telah mengawini budak
perempuannya.
Mereka bermaksud akan menikahkan budak-budak wanita mereka
kepada orang-orang musyrik karena faktor ingin mengambil keturunan
dan kedudukannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik daripada
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
{‫ك َولَوْ َأ ْع َجبَ ُك ْم‬
ٍ ‫} َولَ َع ْب ٌد ُمْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬
Sesungguhnya budak lelaki yang mukmin lebih baik daripada orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)

ِ ‫ ع َْن َع ْب ِد هَّللا‬،‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بْنُ ِزيَا ٍد اِإْل ْف ِريقِ ُّي‬،‫ َح َّدثَنَا َج ْعفَ ُر بْنُ عَوْ ٍن‬:‫ال َع ْب ُد بْنُ ُح َم ْي ٍد‬
َ َ‫ق‬
‫ "اَل تَ ْن ِكحُوا النِّ َسا َء‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬َ ‫ َع ِن النَّبِ ِّي‬،‫ ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن َع ْمرو‬،َ‫ْب ِن يَ ِزيد‬
‫ط ِغيَه َُّن‬ْ ُ‫ َواَل تَ ْن ِكحُوه َُّن َعلَى َأ ْم َوالِ ِه َّن فَ َع َسى َأ ْم َوالُه َُّن َأ ْن ت‬،̧‫ فَ َع َسى ُح ْسنُه َُّن َأ ْن يُرْ ِديَه َُّن‬،‫لِ ُح ْسنِ ِه َّن‬
‫ض ُل‬ َ ‫ات ِدي ٍن َأ ْف‬
ُ ‫ فََأَل َمةٌ َسوْ دَا ُء خَرْ ماء َذ‬،‫" َوا ْن ِكحُوه َُّن َعلَى الدِّي ِن‬
Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ja'far ibnu Aim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Ziyad Al-Afriqi, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Umar,
dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam yang telah bersabda: Janganlah
kamu mengawini wanita karena kecantikannya, karena barangkali
kecantikannya akan menjerumuskan mereka. Dan janganlah kamu
nikahi wanita karena harta bendanya, karena barangkali harta
bendanya itu membuatnya kelewat batas. Tetapi nikahilah karena
agamanya, sesungguhnya budak wanita hitam lagi tidak cantik tetapi
beragama adalah lebih utama.
Akan tetapi, Al-Afriqi orangnya daif.
Disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu, dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam yang telah bersabda:

18 | P a g e
ْ َ‫ِّين ت َِرب‬
" َ‫ت يَدَاك‬ ْ َ‫ َولِ ِدينِهَا؛ ف‬،‫ َولِ َح َسبِهَا َولِ َج َمالِهَا‬،‫ ِل َمالِهَا‬:‫"تُ ْن َك ُح ْال َمرْ َأةُ َأِلرْ بَ ٍع‬
ِ ‫اظفَرْ بِ َذا‬
ِ ‫ت الد‬
Wanita itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya,
karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya;
maka pilihlah wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan
beruntung.
Disebutkan pula oleh Imam Muslim, dari Jabir Radhiyallahu Anhu,
hal yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkan pula melalui Ibnu Umar Radhiyallahu
Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:
َ ‫َاع ال ُّد ْنيَا ْال َمرْ َأةُ ال‬
«ُ‫صالِ ٍحة‬ ٌ ‫»ال ُّد ْنيَا َمتَا‬
ِ ‫ َوخَ ْي ُر َمت‬،‫ع‬
Dunia itu adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia ialah
(mempunyai) istri yang saleh

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


{‫} َوال تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِكينَ َحتَّى يُْؤ ِمنُوا‬
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221)
Artinya, janganlah kalian mengawinkan wanita yang beriman dengan
lelaki yang musyrik. Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya:
{‫}اَل ه َُّن ِح ٌّل لَهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِحلُّونَ لَه َُّن‬
Mereka (wanita-wanita yang beriman) tiada halal bagi orang-orang
kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (Al-
Mumtahanah: 10)
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
{‫ك َولَوْ َأ ْع َجبَ ُك ْم‬
ٍ ‫} َولَ َع ْب ٌد ُمْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
Dengan kata lain, seorang lelaki mukmin —sekalipun sebagai budak
yang berkulit hitam (Habsyi)— adalah lebih baik daripada orang
musyrik, sekalipun ia sebagai pemimpin lagi orang yang kaya.
َ ‫}ُأولَِئ‬
ِ َّ‫ك يَ ْد ُعونَ ِإلَى الن‬
{‫ار‬

19 | P a g e
Mereka mengajak ke neraka. (Al-Baqarah: 221)
Yakni bergaul dan berjodoh dengan mereka membangkitkan cinta
kepada keduniawian dan gemar mengumpulkannya serta
mementingkan duniawi di atas segalanya dan melupakan perkara
akhirat. Hal tersebut akibatnya akan sangat mengecewakan.
{‫َوهَّللا ُ يَ ْدعُو ِإلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِِإ ْذنِ ِه‬
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
(Al-Baqarah: 221)
Yang dimaksud dengan bi iznihi ialah dengan syariat-Nya dan
perintah serta larangan-Nya.

{ َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُون‬


ِ َّ‫} َويُبَيِّنُ آيَاتِ ِه لِلن‬
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Al-Baqarah:
221)
4. QS. An Nisa’(4):3, 4, 34, 35
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
{‫ت َأ ْي َمانُ ُك ْم‬
ْ ‫اح َدةً َأوْ َما َملَ َك‬
ِ ‫}فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأال تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 3)
Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila
beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang
dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
‫َولَ ْن تَ ْست َِطيعُوا َأ ْن تَ ْع ِدلُوا بَ ْينَ النِّسا ِء َولَوْ َح َرصْ تُ ْم‬
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (An-nisa
129)
Pendapat yang sahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama
sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang demikian itu adalah lebih

20 | P a g e
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat
zalim.
Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat aniaya berat
sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya Abu Talib
mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal:
‫ لَهُ َشا ِه ٌد ِم ْن نَ ْف ِس ِه َغ ْي ُر عَاِئ ِل‬... ً‫بِ ِمي َزا ِن قس ٍط اَل يَخيس ُش َع ْي َرة‬
Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya
seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang
tidak aniaya.
Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan
berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu
hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman
ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang
berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
‫يق َع ْب ِد‬ ِ ‫ ِم ْن طَ ِر‬،‫ص ِحي ِح ِه‬ َ ‫ َوَأبُو َحاتِ ِم ا ْب ِن ِحبَّان فِي‬،‫ َوابْنُ َمرْ دويه‬،‫َوقَ ْد َر َوى ابْنُ َأبِي َحاتِ ٍم‬
‫ ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن‬،‫ ع َْن ُع َم َر ب ِْن ُم َح َّم ِد ْب ِن زَ ْي ٍد‬،‫ب‬
ٍ ‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ُش َع ْي‬،‫الرَّحْ َم ِن ْب ِن ِإ ْب َرا ِهي َم ُد َحيْم‬
‫ك َأ ْدنَى‬ َ ‫ ع َْن عَاِئ َشةَ َع ِن النَّبِ ِّي‬،‫ ع َْن َأبِي ِه‬،َ‫ ع َْن ِه َش ِام ْب ِن عُرْ َوة‬،‫ُع َم َر‬
َ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم { َذل‬
‫ "ال تجوروا‬:‫"َأال تَعُولُوا} قال‬.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta Ibnu Hibban di dalam
kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu
Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari
Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti
Aisyah, dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam yang telah bersabda
sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian
berbuat aniaya!"
Ibnu Abu Hatim mengatakan.”Menurut ayahku hadis ini keliru. Yang
benar hadis ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai
kepada Nabi Saw

21 | P a g e
Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti
Aisyah, Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-
Nakha'i, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurasani. Qatadah, As-
Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan.”Tidak
berat sebelah."
Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh
Abu Talib, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Tetapi apa yang
diucapkan oleh Abu Talib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam
kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia
mengemukakannya secara baik dan memilihnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


{ً‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَة‬
َ ‫} َوآتُوا النِّ َسا َء‬
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang
dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri. dari Urwah, dari
Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.
Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa nihlah artinya
faridah (maskawin yang wajib), sedangkan Ibnu Juraij menambahkan
bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang disebutkan.
Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam perkataan orang Arab
artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah kamu
menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya.
Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam
menikahi seorang wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak
layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang
dibenarkan."

22 | P a g e
Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan bahwa seorang
lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai
suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang
hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela,
maka seseorang diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya
secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah
penyebutan maskawinnya mengembalikan sebagian dari maskawin itu
kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati
dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{‫}فَِإ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيًئا َم ِريًئا‬
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-
Nisa: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu
Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara
kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada
istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia
belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu
dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya,
sebagai obat yang diberkati."
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang
lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang
menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah
Subhanahu wa Ta'ala melarang mereka melakukan hal tersebut dan
turunlah firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-
Nisa: 4)
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

23 | P a g e
‫ ع َْن ُس ْفيَانَ ع َْن ُع َمي ٍْر‬،ٌ‫ َح َّدثَنَا َو ِكيع‬،‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ِإ ْس َما ِعي َل اَأْلحْ َم ِس ُّي‬:‫َوقَا َل ابْنُ َأبِي َحاتِ ٍم‬
‫ قَا َل َرسُو ُل‬:‫ ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن البَ ْيلَ َماني قَا َل‬،‫ك ب ِْن ْال ُم ِغي َر ِة الطَّاِئفِ ِّي‬ ِ ِ‫ ع َْن َع ْب ِد ْال َمل‬،‫ْالخ َْث َع ِم ِّي‬
ُ ‫ فَ َما ْال َعاَل ِئ‬،ِ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا‬:‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً} قَالُوا‬
‫ق‬ َ ‫ { َوآتُوا النِّ َسا َء‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫هَّللا‬
‫ضى َعلَ ْي ِه أ ْهلوهُم‬
َ ‫ " َما تَ َرا‬:‫"بَ ْينَهُ ْم؟ قَا َل‬
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khas’ami. dari Abdul Malik ibnu
Mugirah At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani
menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
Membacakan firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. (An-Nisa: 4) Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah,
berapakah tanda pertalian di antara mereka?" Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh
keluarga mereka."
‫ ع َْن َع ْب ِد‬،‫ير ِة‬ َ ‫ك ْب ِن ْال ُم ِغ‬ ِ ِ‫ ع َْن َع ْب ِد ْال َمل‬،‫يق َحجَّاج ْب ِن أرْ طاة‬
ِ ‫قَ ْد َر َوى ابْنُ َمرْ دُويه ِم ْن طَ ِر‬
:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل‬
َ ِ ‫ب َرسُو ُل هَّللا‬ ِ ‫الرَّحْ َم ِن ْب ِن البَيْل َماني ع َْن ُع َم َر ْب ِن ْالخَطَّا‬
َ َ‫ َخط‬:‫ب قَا َل‬
ُ ‫ َما ْال َعاَل ِئ‬،ِ ‫ُول هَّللا‬
‫ " َما‬:‫ق بَ ْينَهُ ْم؟ قَا َل‬ َ َ‫ فَقَا َم ِإلَ ْي ِه َر ُج ٌل فَق‬،‫"َأ ْن ِكحُوا اَأْليَا َمى" ثَاَل ثًا‬
َ ‫ يَا َرس‬:‫ال‬
َ ‫"تَ َرا‬.
‫ضى عليه أهلوهم‬
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj ibnu Artah, dari
Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman, dari
Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam berkhotbah kepada kami. Beliau
Shalallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian
wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada
seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah,
berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab, "Sejumlah yang disetujui oleh
keluarga mereka."
Ibnus Salman orangnya daif. kemudian dalam sanad hadis ini terdapat
inqita'.

24 | P a g e
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
‫الرِّجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّسا ِء‬
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34)
Dengan kata lain, lelaki itu adalah pengurus wanita, yakni
pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya
jika menyimpang.
َ ‫}بِ َما فَض ََّل هَّللا ُ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَى بَع‬
{‫ْض‬
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita). (An-Nisa: 34)
Yakni karena kaum laki-laki lebih afdal daripada kaum wanita,
seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah maka
nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian
pula seorang raja. Karena ada sabda Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam
yang mengatakan:

«ً‫»لَ ْن يُ ْفلِ َح قَوْ ٌم َولَّوْ ا َأ ْم َرهُ ُم ا ْم َرَأة‬


Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh
seorang wanita.
Hadis riwayat Imam Bukhari melalui Abdur Rahman ibnu Abu
Bakrah, dari ayahnya. Demikian pula dikatakan terhadap kedudukan
peradilan dan lain-lainnya.
‫َوبِما َأ ْنفَقُوا ِم ْن َأ ْموالِ ِه ْم‬
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. (An-Nisa: 34)
Berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya lainnya yang
diwajibkan oleh Allah atas kaum laki-laki terhadap kaum wanita,
melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya.
Diri lelaki lebih utama daripada wanita, laki-laki mempunyai
keutamaan di atas wanita, juga laki-lakilah yang memberikan
keutamaan kepada wanita. Maka sangat sesuailah bila dikatakan

25 | P a g e
bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan di
dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
ٌ‫َولِل ِّرجا ِل َعلَ ْي ِه َّن د ََر َجة‬
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita. (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas mereka; seorang istri
diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan
oleh Allah yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya.
Taat kepada suami ialah dengan berbuat baik kepada keluarga suami
dan menjaga harta suami. Hal yang sama dikatakan oleh Muqatil, As-
Saddi, dan Ad-Dahhak.
Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang istri datang
kepada Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam mengadukan perihal
suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Balaslah!" Maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Akhirnya si istri kembali
kepada suaminya tanpa ada qisas (pembalasan).
Ibnu Juraij dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui berbagai
jalur dari Al-Hasan Al-Basri. Hal yang sama di-mursal-kan hadis ini
oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi. Semuanya itu diketengahkan
oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Murdawaih menyandarkan hadis ini ke jalur yang lain. Untuk itu
ia mengatakan:
ِ َ‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ ْاله‬،‫َح َّدثَنَا َأحْ َم ُد بْنُ َعلِ ٍّي النَّ َساِئ ُّي‬
‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ُم َح َّم ٍد‬،‫اش ِم ُّي‬
،‫ ع َْن َجدِّي‬،‫ َح َّدثَنِي َأبِي‬،‫ َح َّدثَنَا ُمو َسى بْنُ ِإ ْس َما ِعي َل ب ِْن ُمو َسى ْب ِن َج ْعفَ ِر ْب ِن ُم َح َّم ٍد‬،‫ث‬ ُ ‫اَأْل ْش َع‬
ْ َ‫ فَقَال‬،ُ‫ار بِا ْم َرَأ ٍة لَه‬
:‫ت‬ ِ ‫ص‬َ ‫ي َر ُج ٌل ِمنَ اَأْل ْن‬
َّ ِ‫ َأتَى النَّب‬:‫ ع َْن علي قال‬،‫ ع َْن َأبِي ِه‬،‫ع َْن َج ْعفَ ِر ْب ِن ُم َح َّم ٍد‬
‫ال َرسُو ُل‬ َ َ‫ فَق‬،‫ض َربَهَا فََأثَّ َر فِي َوجْ ِههَا‬ َ ُ‫ َوِإنَّه‬، ُّ‫اري‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ ِإ َّن َزوْ َجهَا فُاَل نُ بْنُ فُاَل ٍن اَأْل ْن‬،ِ ‫يَا َرسُو َل هَّللا‬
‫ {ال ِّر َجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء [بِ َما فَض ََّل‬:ُ ‫ فََأ ْن َز َل هَّللا‬."‫ك لَه‬ َ ‫ "لي‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ْس َذل‬ َ ِ ‫هَّللا‬

26 | P a g e
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬
َ ِ ‫ فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬.‫ب‬ ِ ‫ قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء فِي اَأْل َد‬: ْ‫ْض]} َأي‬ َ ‫هَّللا ُ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَى بَع‬
‫وأرا َد هَّللا ُ َغ ْي َره‬
َ ‫ت أ ْمرًا‬ ُ ‫ "َأ َر ْد‬:‫" َو َسلَّ َم‬

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali An-Nasai, telah


menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hibatullah Al-Hasyimi,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad Al-
Asy'as, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail ibnu Musa
ibnu Ja'far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ayahku telah
menceritakan kepada kami, dari kakekku, dari Ja'far ibnu Muhammad,
dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa datang kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam seorang lelaki dari kalangan
Ansar dengan seorang wanita mahramnya. Lalu si lelaki itu berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya suami wanita ini (yaitu Fulan bin
Fulan Al-Ansari) telah menampar wajahnya hingga membekas
padanya." Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "ia tidak
boleh melakukan hal itu." Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala
menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni dalam hal mendidik. Maka
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: Aku menghendaki
suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki yang lain.
Hadis ini di-mursal-kan pula oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi;
semuanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-
Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34) Yaitu mas kawin yang
diberikan oleh laki-laki kepadanya. Tidakkah Anda melihat
seandainya si suami menuduh istrinya berzina, maka si suami
melakukan mula'anah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had).

27 | P a g e
Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai
hukuman dera.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengatakan, "As-Salihat,"
artinya wanita-wanita yang saleh.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengatakan, "Qanitat
menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yang
dimaksud ialah istri-istri yang taat kepada suaminya.
ِ ‫ات لِ ْل َغ ْي‬
{‫ب‬ ٌ َ‫}حافِظ‬
َ
lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. (An-Nisa: 34)
Menurut As-Saddi dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah
wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda
suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


ُ ‫بِما َحفِظَ هَّللا‬
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An-Nisa: 34)
Orang yang terpelihara ialah orang yang dipelihara oleh Allah.
‫ َح َّدثَنَا َس ِعي ُد بْنُ َأبِي َس ِعي ٍد‬،‫ َح َّدثَنَا َأبُو َم ْع َشر‬،‫ح‬
ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ َح َّدثَنَا َأبُو‬،‫ َح َّدثَنِي ْال ُمثَنَّى‬:‫ير‬
ٍ ‫قَا َل ابْنُ َج ِر‬
‫ "خَي ُر النسا ِء امرأةٌ ِإ َذا‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ َ‫ ق‬:‫ ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ قَا َل‬،‫ْالمقبري‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
‫ ثُ َّم‬:‫ قَا َل‬."َ‫ك فِي نَ ْف ِسها ومالِك‬
َ ‫ك َوِإ َذا ِغبْتَ َع ْنهَا َحفِظ ْت‬ َ ‫ك وَِإ َذا أ َمرْ تَها أطاعت‬ َ ‫نَظَرْ تَ ِإلَ ْيهَا َس َّر ْت‬
‫آخ ِرهَا‬ َ ِ ‫قَ َرَأ َرسُو ُل هَّللا‬.
ِ ‫ {ال ِّر َجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء} ِإلَى‬:َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم هَ ِذ ِه اآْل يَة‬
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna,
telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan
kepada kami Abu Ma'syar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu
Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Sebaik-baik
wanita ialah seorang istri yang apabila kamu melihat kepadanya,
membuatmu gembira; dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia
menaatimu; dan apabila kamu pergi meninggalkan dia, maka ia
memelihara kehormatan dirinya dan hartamu. Abu Hurairah

28 | P a g e
Radhiyallahu Anhu melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam membacakan firman-Nya:
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34),
hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu Habib, dari Abu
Daud At-Tayalisi, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Zi-
b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang
semisal.
َ‫ َأ َّن ا ْبن‬:‫ ع َْن عُبيد هَّللا ِ ب ِْن َأبِي َج ْعفَ َر‬،̧‫ َح َّدثَنَا ابْنُ لَ ِهيعة‬،َ‫ َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ ِإ ْس َحاق‬:ُ‫ال اِإْل َما ُم َأحْ َمد‬
َ َ‫ق‬
‫صلَّت‬ َ ‫ "ِإ َذا‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬:‫ال‬ ٍ ْ‫ َأ َّن َع ْب َد الرَّحْ َم ِن ْبنَ عَو‬:ُ‫ار ٍظ َأ ْخبَ َره‬
َ َ‫ف ق‬ ِ َ‫ق‬
‫ اد ُخلِي ْال َجنَّةَ ِم ْن‬:‫يل لَهَا‬ ْ ‫ت فَرْ َجها؛ َوَأطَاع‬
َ ِ‫َت زَ وْ َجهَا ق‬ ْ َ‫ت َش ْه َرهَا َو َحفِظ‬ َ ‫ َو‬،‫ْال َمرْ َأةُ َخمسها‬
ْ ‫صا َم‬
ِ ‫ب ْال َجنَّ ِة ِشْئ‬
‫ت‬ ِ ‫ي َأ ْب َوا‬
ِّ ‫"أ‬.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya
ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari
Abdullah ibnu Abu Ja'far; Ibnu Qariz pernah menceritakan kepada-
nya bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan bahwa
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam telah bersabda: Seorang
wanita itu apabila mengerjakan salat lima waktunya, puasa bulan
(Ramadan)nya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada
suaminya, maka dikatakan kepadanya, "Masuklah kamu ke dalam
surga dari pintu mana pun yang kamu sukai."
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid (menyendiri) oleh Imam
Ahmad melalui jalur Abdullah ibnu Qariz, dari Abdur Rahman ibnu
Auf.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
‫َوالاَّل تِي تَخافُونَ نُ ُشوزَ ه َُّن‬
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya. (An-Nisa: 34)
Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang
terhadap suaminya.
An-Nusyuz artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz ialah wanita yang
bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah

29 | P a g e
suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila timbul
tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati
dan menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya.
Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat
kepada suaminya dan haram berbuat durhaka terhadap suami, karena
suami mempunyai keutamaan dan memikul tanggung jawab terhadap
dirinya. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sehubungan dengan
hal ini telah bersabda:
"‫ ِم ْن ِعظَم َحقِّه َعلَ ْيهَا‬،‫ألمرت ْال َمرْ َأةَ َأ ْن تَ ْس ُج َد لِ َزوْ ِجهَا‬
ُ ‫ت آ ِمرًا َأ َحدًا َأ ْن يَسْجد َأِل َح ٍد‬
ُ ‫"لَوْ ُك ْن‬
Seandainya aku diberi wewenang untuk memerintah seseorang agar
bersujud terhadap orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita
untuk bersujud kepada suaminya, karena hak suami yang besar
terhadap dirinya.

Imam Bukhari meriwayatkan melalui Abu Hurairah Radhiyallahu


Anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam pernah bersabda:
"‫ لَ َعنَ ْتهَا ْال َماَل ِئ َكةُ َحتَّى تُصْ بِح‬،‫ت َعلَ ْي ِه‬
ْ َ‫"ِإ َذا َدعَا ال َّر ُج ُل ام َرأتَهُ ِإلَى فِ َرا ِشه فأب‬
Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu si
istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.
Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:
"‫ لَ ْعنَ ْتهَا ْال َماَل ِئ َكةُ َحتَّى تُصبِح‬،‫ت ْال َمرْ َأةُ هَاجرة فِراش زَ وْ ِجها‬
ِ َ‫"ِإ َذا بَات‬
Apabila seorang istri tidur semalam dalam keadaan memisahkan diri
dari tempat tidur dengan suaminya, maka para malaikat melaknatnya
sampai pagi hari.
Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{‫} َوالالتِي تَخَ افُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن‬
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah
mereka. (An-Nisa: 34)
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
‫َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َمضا ِج ِع‬

30 | P a g e
dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka. (An-Nisa: 34)
Menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang
dimaksud ialah hendaklah si suami tidak menyetubuhinya, tidak pula
tidur bersamanya; jika terpaksa tidur bersama. maka si suami
memalingkan punggungnya dari dia.
Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya seorang. Tetapi
ulama yang lainnya, antara lain As-Saddi, Ad-Dahhak, Ikrimah, juga
Ibnu Abbas menurut riwayat yang lain mengatakan bahwa selain itu si
suami jangan berbicara dengannya, jangan pula mengobrol
dengannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, hendaknya
si suami menasihatinya sampai si istri kembali taat. Tetapi jika si istri
tetap membangkang, hendaklah si suami berpisah dengannya dalam
tempat tidur, jangan pula berbicara dengannya, tanpa menyerahkan
masalah nikah kepadanya; yang demikian itu terasa berat bagi pihak
istri.
Mujahid, Asy-Sya'bi, Ibrahim, Muhammad ibnu Ka’b, Miqsam, dan
Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru ialah
hendaknya si suami tidak menidurinya.
َ‫ ع َْن َأبِي َح َّرة‬،‫ ع َْن َعلِ ِّي ْب ِن زَ ْي ٍد‬،‫ َح َّدثَنَا َح َّما ٌد‬،‫ َح َّدثَنَا ُمو َسى بْنُ ِإ ْس َما ِعي َل‬:َ‫قَا َل َأبُو دَا ُود‬
‫ "فَِإن ِخ ْفتُ ْم نُ ُشو َزه َُّن فَا ْه ُجرُوه َُّن فِي‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬ َّ ِ‫ ع َْن َع ِّم ِه َأ َّن النَّب‬،‫ال َّرقَا ِش ِّي‬
َ ‫ي‬
َ ‫ يَ ْعنِي النِّ َك‬:‫ال َح َّما ٌد‬
‫اح‬ َ َ‫ضا ِج ِع" ق‬ َ ‫ْال َم‬
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu
Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari
Ali ibnu Zaid. dari Abu Murrah Ar-Raqqasyi, dari pamannya, bahwa
Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Jika kalian merasa
khawatir mereka akan nusyuz (membangkang), maka pisahkanlah diri
kalian dari tempat tidur mereka. Hammad mengatakan bahwa yang
dimaksud ialah jangan menyetubuhinya.
Di dalam kitab sunan dan kitab musnad disebutkan dari Mu'awiyah
ibnu Haidah Al-Qusyairi, bahwa ia pernah bertanya:

31 | P a g e
َ ‫ "َأ ْن تُطعمها ِإ َذا‬:‫ق ا ْم َرَأ ِة َأ َح ِدنَا؟ قَا َل‬
‫ َواَل‬، َ‫ َوتَ ْك ُس َوهَا ِإ َذا ا ْكتَ َسيْت‬، َ‫ط ِع ْمت‬ ُّ ‫ َما َح‬،ِ ‫يَا َرسُو َل هَّللا‬
ِ ‫ َواَل تَ ْهجُر ِإاَّل فِي البَ ْي‬،‫"تَضْ ِرب ال َوجْ هَ َواَل تُقَبِّح‬
‫ت‬
"Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri di antara kami atas diri
suaminya?" Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab: Hendaknya
kamu memberi dia makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian
jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah dan
jangan memburuk-burukkan, janganlah kamu mengasingkannya
kecuali dalam lingkungan rumah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
‫َواضْ ِربُوه َُّن‬
dan pukullah mereka. (An-Nisa: 34)
Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri
dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya
dengan pukulan yang tidak melukai.

Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari
Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam, bahwa Nabi Shallallahu'alaihi
Wasallam pernah bersabda dalam haji wada'-nya:
‫ فَِإ ْن‬،ُ‫ُوطْئنَ فُرُشكم َأ َحدًا تَ ْك َرهُونَه‬
ِ ‫ َولَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن َأاَّل ي‬،‫ان‬
ٌ ‫ فَِإنَّه َُّن ِع ْن َد ُك ْم َع َو‬،‫واتَّقُوا هللاَ فِي النِّسا ِء‬
ِ ‫هن و ِكسْوتهن بِ ْال َم ْعر‬
‫ُوف‬ َّ ُ‫رزق‬
ْ ‫ َولَه َُّن‬،‫ضرْ با َغ ْي َر ُمبَ ِّرح‬ َ ‫"فَ َع ْلن فَاضْ ِربُوه َُّن‬
Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya
mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak
atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang
yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka
melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak
melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan
pakaiannya dengan cara yang makruf.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang
bukan hanya seorang, yaitu dengan pukulan yang tidak melukakan.
Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak
membekas.

32 | P a g e
Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak
sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas
barang sedikit pun.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas; jika si istri
nusyuz, hendaklah si suami memisahkan diri dari tempat tidurnya.
Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka masalahnya sudah
selesai. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah
mengizinkan kepadamu untuk memukulnya dengan pukulan yang
tidak melukakan, dan janganlah kamu mematahkan suatu tulang pun
dari tubuhnya, hingga ia kembali taat kepadamu. Tetapi jika cara
tersebut tidak bermanfaat, maka Allah telah menghalalkan bagimu
menerima tebusan (khulu') darinya.
Sufyan ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abdullah
ibnu Abdullah ibnu Umar, dari Iyas ibnu Abdullah ibnu Abu Ziab
yang menceritakan bahwa Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam pernah
bersabda:
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬
" ‫ ذِئ َرت النِّ َسا ُء‬:‫ال‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ فَ َجا َء ُع َم ُر ِإلَى َرس‬."ِ‫اَل تَضْ ِربوا إما َء هللا‬
َ ِ ‫ فََأطَافَ بِآ ِل َرسُو ِل هَّللا‬،‫ضرْ بِ ِه َّن‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نِ َسا ٌء َكثِي ٌر‬ َ ‫ص فِي‬ َ ‫ فَ َر َّخ‬.‫َعلَى َأ ْز َوا ِج ِه َّن‬
َ ِ ‫ فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬،‫يَ ْش ُكونَ َأ ْز َوا َجه َُّن‬
‫ "لَقَ ْد أطافَ بِآ ِل ُم َح َّم ٍد نِ َسا ٌء َكثِي ٌر‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ار ُك ْم‬ ‫ لَي َ ُأ‬،‫اجه َُّن‬
َ ‫"يَ ْش ُكونَ َأ ْز َو‬
ِ َ‫ْس ولَِئكَ بِ ِخي‬
Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah! Maka
datanglah Umar Radhiyallahu Anhu kepada Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam dan mengatakan, "'Banyak istri yang
membangkang terhadap suaminya," Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam memperbolehkan memukul mereka (sebagai pelajaran).
Akhirnya banyak istri datang kepada keluarga Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam mengadukan perihal suami mereka. Lalu
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya
banyak istri yang berkerumun di rumah keluarga Muhammad
mengadukan perihal suami mereka; mereka (yang berbuat demikian
terhadap istrinya) bukanlah orang-orang yang baik dari kalian.

33 | P a g e
Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.
‫ ع َْن دَا ُو َد‬،َ‫ َح َّدثَنَا َأبُو َع َوانَة‬-‫ي‬
َّ ‫يَ ْعنِي َأبَا دَا ُو َد الطَّيَالِ ِس‬- ‫ َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ دَا ُو َد‬:ُ‫قَا َل اِإْل َما ُم َأحْ َمد‬
ُ‫َاو َل ا ْم َرَأتَه‬ ُ ‫ قَا َل ض ْف‬،‫س‬
َ ‫ فَتَن‬،‫ت ُع َم َر‬ ٍ ‫ث ْب ِن قَ ْي‬ِ ‫ ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ال ُمسْلي َع ِن اَأْل ْش َع‬،ِّ‫األوْ ِدي‬
‫ اَل‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ْ َ‫ احْ ف‬،‫ث‬
َ ِ ‫ظ َعنِّي ثَاَل ثًا َحفظتهن ع َْن َرسُو ِل هَّللا‬ ُ ‫ يَا َأ ْش َع‬:‫ َوقَا َل‬،‫ض َربَهَا‬
َ َ‫ف‬
َ‫ َونَ ِس َي الثَّالِثَة‬... ‫ َواَل تَنَم ِإاَّل َعلَى ِو ْتر‬،ُ‫ب ام َرَأتَه‬ َ ‫تَسأ ِل ال َّرج َُل فِي َم‬
َ ‫ض َر‬
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman
ibnu Daud (yakni Abu Daud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada
kami Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi, dari Abdur Rahman As-
Sulami, dari Al-Asy’as ibnu Qais yang menceritakan, "Aku pernah
bertamu di rumah Umar Radhiyallahu Anhu Lalu Umar memegang
istrinya dan menamparnya, setelah itu ia berkata, 'Hai Asy'as,
hafalkanlah dariku tiga perkara berikut yang aku hafalkan dari
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam yaitu: Janganlah kamu
menanyai seorang suami karena telah memukul istrinya, dan janganlah
kamu tidur melainkan setelah mengerjakan witir'." Al-Asy'as lupa
perkara yang ketiganya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Nasai,
Imam Ibnu Majah, dari hadis Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Abu
Uwwanah, dari Daud Al-Audi dengan lafaz yang sama.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
‫فَِإ ْن َأطَ ْعنَ ُك ْم فَال تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َّن َسبِياًل‬
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya. (An-Nisa: 34)
Artinya, apabiia seorang istri taat kepada suaminya dalam semua apa
yang dikehendaki suaminya pada diri si istri sebatas yang dihalalkan
oleh Allah, maka tidak ada jalan bagi si suami untuk
menyusahkannya, dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh
pula mengasingkannya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


ً‫ِإ َّن هَّللا َ كانَ َعلِيًّا َكبِيرا‬

34 | P a g e
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (An-Nisa: 34)
Mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki jika mereka berlaku
aniaya terhadap istri-istrinya tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah
Mahatinggi lagi Mahabesar yang akan menolong para istri; Dialah
yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat
aniaya terhadap istrinya.
Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz dan
membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan
ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk
itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
{‫ق بَ ْينِ ِه َما فَا ْب َعثُوا َح َك ًما ِم ْن َأ ْهلِ ِه َو َح َك ًما ِم ْن َأ ْهلِهَا‬
َ ‫} َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم ِشقَا‬
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara
sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai
pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan
mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan
aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan
bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang
dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari
kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan
perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian
keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut
pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami
istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh
sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{‫ق هَّللا ُ بَ ْينَهُ َما‬
ِ ِّ‫}ِإ ْن ي ُِريدَا ِإصْ الحًا ي َُوف‬
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)

35 | P a g e
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah
memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh
dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal
dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan
penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang
berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah
pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya,
dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap
memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan.
maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap
di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk
mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau
mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga
sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika
kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan
kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan
rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya meninggal
dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan
pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim
dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar,
dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan, "Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam."
Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah
Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika
kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu
dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali.
Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka
kamu berdua boleh memisahkan keduanya."

36 | P a g e
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil
ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah.
Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku
bersedia menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui
istrinya, istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan
Syaibah ibnu Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu
di neraka jika kamu memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah
binti Atabah merapikan bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman
dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka Khalifah
Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk
melerai keduanya.
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar akan
memisahkan keduanya." Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia
mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari
kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah
datang kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu
rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah
kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar,
dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang
menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan
seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari
keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali
mengangkat salah seorang dari suatu rombongan sebagai hakam, dan
dari rombongan yang lain seorang hakam lagi. Kemudian ia berkata
kepada kedua hakam itu, "Tahukah kalian, apakah yang harus kalian
kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua
meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka
kamu harus menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela
dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki

37 | P a g e
berkata, "Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu
dusta, demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum
kamu rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah."'
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari
Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang
semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu
Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam diperbolehkan
menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i
mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara
pasangan yang bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali
talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara langsung."
Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam mempunyai
hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan,
tetapi tidak untuk memisahkannya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam.
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu
Saur, dan Imam Daud.
Dalil mereka ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
mengatakan: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-
Nisa: 35) Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan masalah
memisahkan suami istri yang bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak
yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat
dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun
memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang
memperselisihkannya.

38 | P a g e
Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakam ini,
apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua
berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang
bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai
wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai
jawabannya ada dua pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena
berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya
bagi hakam menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai
keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah
ayat.
Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafii —juga menurut
pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya—
cenderung kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada
perkataan Khalifah Ali Radhiyallahu Anhu kepada seorang suami
yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali
Radhiyallahu Anhu berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu mengakui
seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan,
"Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak
diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama
sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda,
maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat
bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut
penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan
tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat keduanya dapat
dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian

39 | P a g e
diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat
dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun
tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa ayat yang sudah di kaji di atas , dapat kita
simpulkan bahwa konsep Al quran yang menjelaskan tentang
membina keluarga sakinah adalah kaum laki laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita. Dengan kata lain, lelaki adalah pengurus wanita,
yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan mendidiknya
jika menyimpang, maka kita semua sebagai pemimpin harus bisa
membina keluarga kita dengan sakinah atau membina dengan baik dan
benar dengan kasih sayang kita, karena tanggung jawab seorang
pemimoin itu besar dan nanti pada akhirnya pertanggung jawaban itu
akan di tanyakan oleh Allah di akhirat nantinya.

B. Saran

40 | P a g e
Penulis menyadari bahwa kurangnya kemampuan dari selesainya
makalah ini, karena keterbatasan waktu dan wawasan penulis, oleh
karena itu penulis disini mengharapkan saran dari kalian semua
supaya kita bisa tahu mana yang salah pada isi makalah ini agar isi
makalah ini menjadi makalah yang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Muhammad


Nasib Ar Rifa’i

41 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai