UAS - 36D - MORS - Tugas Kelompok 2
UAS - 36D - MORS - Tugas Kelompok 2
Pembimbing :
Dr. Alih Germas, SKM, MARS
Disusun oleh :
Stevanie 226080196
Christ Hally Santoso 226080084
Santoso Cokro 226080177
2023
2
ABSTRAK
Pelayanan rumah sakit merupakan salah satu penentu kualitas dalam rumah
sakit. Rumah sakit dikatakan efisien jika ia mampu menggunakan seluruh sumber
daya yang ada untuk menghasilkan sesuatu tanpa menyisakan hal-hal yang tidak
diinginkan atau sia-sia. Peranan rumah sakit untuk mempercepat penyembuhan
dan pemulihan penderita sebagaimana yang diharapkan, belum terselenggara
secara optimal. Lean merupakan sebuah sistem manajemen yang sepenuhnya
berfokus pada efisiensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen
pelayananan gawat tdarurat yang ideal yang sesuai dengan prinsip lean hospital
dengan menggunakan metode-metode lean yang didukung dengan tools lean
lainnya. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan action research.
Informan dipilih secara non probability dengan teknik purposive sampling.
Kemudian data diolah dengan metode analisis lean. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rasio aktivitas value added dengan non value added adalah kurang dari
30% dimana bentuk waste yang ditemukan dipengaruhi oleh man, methode,
machine dan environmental..Usulan perbaikan melalui pendekatan lean
membuktikan adanya quality improvement di antaranya penurunan waktu tunggu
pasien, perawat tidak melaukan kesalahan dalam pemgambilan alat medis dan dan
dokter selalu tersedia di IGD. Disarankan kepada direksi dan manajemen rumah
sakit bersangkutan untuk komitmen dalam mengimplementasikan lean serta
membentuk tim khusus monitoring dan evaluasi program agar konsisten untuk
memperbaiki pelayanannnya
KataKunci: LeanThinking,LeanHospital,InstalasiGawatDarurat,
ManajemenRumah Sakit
3
Sebagai contoh lain, Blue Cross Blue Shield, salah satu pelayanan kesehatan
di Amerika Serikat telah mampu menghemat kurang lebih $3,7 juta pada tahun
2002 dan sekitar $2 juta pada tahun 2003 melalui prinsip-prinsip lean. Sebenarnya
banyak filosofi yang dapat diterapkan selain lean. Mulai dari yang paling
konvensional yaitu Batch-and-Queue (Emiliani, 2004), Uddevalla hingga sistem
standarisasi seperti SPO dan akreditasi (Stralser, 2004), sampai pada teori-teori
seperti Continuous Quality Improvement (Stralser, 2004), Total Quality
Management (Stralser, 2004), Balanced Scorecard (Friyanto, 2012), GE-Work Out
(White dan Griffith, 2010), Servant Leadership (White dan Griffith, 2010),
Transformational Leadership (White dan Griffith, 2010), Hospital Production
System (White dan Griffith, 2010) dan Six Sigma (Stralser, 2004).
Lean telah pula diadopsi dalam praktik pelayanan kesehatan (Graban, 2010).
Alasannya adalah karena pemikiran lean menjanjikan penggunaan sumber daya
seefisien mungkin dan sumber daya dalam bidang pelayaan kesehatan memang
sangat berharga dan perlu dioptimalkan agar memberikan pelayanan paling
maksimal baik dari segi jumlah masyarakat yang dilayani maupun kualitas
pelayanan yang diberikan (Grunden dan Hagood, 2013). Doss dan Orr (2007)
menyimpulkan kalau lean memberikan manfaat praktis bagi organisasi pelayanan
kesehatan dalam bentuk perubahan aliran nilai pelayanan, memberikan pelayanan
penuh kasih sayang pada pasien, memperbaiki sistem kerja dokter dan perawat
dan memberikan manfaat tampak berkelanjutan pada masyarakat.
Beragamnya jenis pasien yang ada di instalasi gawat darurat tentunya kondisi
pasien juga beragam, dimana sebagian pasien merupakan status Death On Arrive
(DOA), yaitu pasien yang masuk ke rumah sakit dalam keadaan meninggal.
Namun sebagian besar pasien yang ditangani di IGD merupakan pasien kritis yang
harus diselamatkan sesuai konsep respons time (waktu tanggap) paling lama 5
menit dan waktu definitif ≤ 2 jam (Kepmenkes No. 129 Tahun 2008). Beberapa
masalah yang biasa ditemui dalam proses pelayanan IGD di beberapa rumah sakit
tipe C diantaranya adalah: 1) sebelum pasien ditangani, pasien harus mengantri
giliran periksa (apabila pasien ramai) selama 10-20 menit disebabkan jumlah
tempat tidur di IGD hanya 2 bed dengan jumlah perawat hanya 2 orang; 2)
kemudian saat di IGD, pasien harus menunggu dokter jaga selama 20-30 menit
disebabkan dokter tidak disiplin (terlambat); 4) lalu dokter akan melakukan
pemeriksaan triase selama 10-15 menit sebelum kemudian dilakukan tindakan
kepada pasien; 5) tidak adanya SPO IGD yang jelas yang ditetapkan oleh baik
manajemen maupun direksi rumah sakit.
Tujuan lean thinking dalam pelayanan kesehatan adalah untuk fokus secara
berkesinambungan pada bagaimana kesesuaian layanan kesehatan dapat
disampaikan secara efisien, aman dan dengan kualitas tertinggi dengan
mengubah waste menjadi sesuatu yang bernilai dari perspektif pasien (Baril et al,
2015). RSU Sari Mutiara Lubuk Pakam dengan padat teknologi, padat karya dan
padat modal yang dapat memicu berbagai potensi permasalahan, dirasa perlu
untuk menerapkan lean hospital sebagai bentuk peningkatan pelayanan yang
berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Pada jurnal ini , penulis akan mencoba mengkaji mengenai contoh sistem,
efisiensi dan kinerja IGD sebagai pemecahan masalah serta menjadi solusi bagi
perbaikan sistem pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit secara umum
untuk mengurangi beban kerja dengan menurunkan kegiatan yang termasuk
waste dan tidak mendatangkan value.
II. KAJIAN TEORI
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu unit di rumah sakit
yang memberikan pelayanan kepada penderita gawat darurat dan merupakan
bagian dari rangkaian upaya penanggulangan penderita gawat darurat yang perlu
diorganisir. Instalasi Gawat Darurat harus dapat: 1) mencegah kematian dan cacat
penderita gawat darurat hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam
masyarakat sebagaimana mestinya, 2) merujuk penderita gawat darurat melalui
sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih memadai, 3) ikut
menanggulangi korban bencana pada masyarakat. Salah satu kegiatan di rumah
sakit yang berkaitan dengan fungsi pelayanan adalah menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat (Murrell, 2011).
Atas sifat khusus yang dimiliki, pelayanan gawat darurat tersebut umumnya
dilaksanakan dalam satuan organisasi khusus yang disebut Instalasi Gawat
Darurat, dan merupakan unit pelaksana teknis fungsional rumah sakit dibawah
direktur yang menunjang kegiatan pelayanan medis dan asuhan keperawatan
yang sifatnya segera untuk kasus-kasus yang gawat atau darurat. Peranan
Instalasi Gawat Darurat sangat penting di dalam pelayanan kesehatan karena
Instalasi ini memberikan pelayanan khusus kepada penderita gawat darurat
selama 24 jam setiap harinya (Graban, 2010). Keberhasilan penanggulangan
penderita gawat darurat di dalam mencegah kematian dan kecacatan ditentukan
oleh: 1) kecepatan menemukan penderita gawat darurat, 2) kecepatan meminta
pertolongan, 3) kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan di tempat
kejadian, di dalam perjalanan ke rumah sakit, pertolongan selanjutnya secara
mantap di rumah sakit. Agar penanggulangan penderita gawat darurat dapat
berhasil makan perlu sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD)
dengan tujuan tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan
terpadu bagi setiap anggota masyarakat yang berada dalam keadaan gawat
darurat melalui proses yang sudah ditetapkan oleh Kepmenkes No. 856 Tahun
2009, yakni:
2. Pelayanan pasien yang tak darurat tidak boleh mengganggu pelayanan pasien
gawat darurat
3. Instalasi gawat darurat harus membatasi diri dalam pelayanan gawat darurat saja
(primary emergency cure), perawatan selanjutnya diatur di bagian lain/ tempat lain
4. Instalasi gawat darurat menyelenggarakan pendidikan pelatihan penanggulangan
gawat darurat untuk perawat pegawai rumah sakit dan masyarakat sekitarnya
5. Penelitian yang berhubungan dengan fungsi gawat darurat dan kesehatan
masyarakat harus diselenggarakan
6. Harus ada dokter yang bertanggung jawab pada pelayanan
7. Harus ada seorang perawat senior dengan kualifikasi berijazah khusus yang
mengepalai perawatan gawat darurat
8. Semua staf/ pegawai harus menyadari dan mengetahui kebijakan dan tujuan dari
Instalasi
9. Identifikasi pasien pada saar masuk harus cermat
10. Semua pasien yang masuk harus melalui triase
11. Rumah sakit yang memberi pelayanan terbatas pada pasien gawat darurat harus
dapat mengatur untuk rujukan ke rumah sakit lain
12. Pasien dengan kegawatan yang mengancam nyawa
harus selalu diobservasi dan dipantau oleh
tenaga terampil dan mampu
13. Rekam medis harus disediakan untuk setiap kunjungan
14. Susunan ruangan dan arsitektur harus dapat menjamin efisiensi pelayanan
kegawatan.
15. Harus ada pelayanan radiologi yang diorganisasi dengan baik serta lokasinya
berdekatan dengan Instalasi gawat darurat
16. Alat dan instrumen harus berkualitas baik dan selalu tersedia untuk dipakai,
peralatan ini juga harus tersedia untuk anak.
2.1.3 Prosedur Instalasi Gawat Darurat
Kecacatan dalam sebuah pelayanan rumah sakit menjadi hal yang cukup
mengkhawatirkan meskipun telah ada berbagai kajian dan kebijakan yang
dilakukan. Rumah sakit sudah sering menerima kehilangan kepercayaan dengan
adanya pemberitaan yang buruk mengenai kegagalan dalam menangani pasien
maupun produk yang dihasilkan dari sebuah pelayanan rumah sakit. Dahulu,
ukuran kualitas ditentukan oleh seorang dokter dan perawat dengan mengacu
kepada keahlian mereka, namun saat ini kualitas pelayanan rumah sakit
ditentukan oleh manajemen dan kemampuan kerja sama tim baik medis dan
paramedis serta pengawasan terhadap pelaksanaan standar prosedur operasional
(SPO) yang telah ditetapkan.
2.2.3 Plan-Do-Check-Action
4. Menetapkan nilai tambah (value added) dalam proses pelayanan ditarik dari
persepsi pelanggan (customer/demand pull);
Konsep lean awalnya dikembangkan oleh Taichi Onho pada tahun 1950-an
dari Toyota. Selanjutnya, pendekatan ini disebut dengan Toyota Production
System yang menjadi awal pemikiran lean dan pada saat ini dikembangkan
berdasar prinsip “Just-In-Time”. Just In Time merupakan serangkaian prinsip, alat
dan teknik yang memungkinkan suatu perusahaan dapat memproduksi dan
mengirim produk mereka dalam jumlah kecil, dengan lead time yang singkat untuk
memenuhi keinginan pelanggan spesifik.
Just In Time menyediakan barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan
dalam jumlah yang tepat (Liker, 2008). Salah satu dari pedoman ini ialah tidak
adanya pemborosan-pemborosan dalam lini produksi, misalnya tidak boleh
adanya
cacat atau harus zero defect, tidak boleh ada barang di gudang atau zero
inventory dan berbagai bentuk waste lainnya.
Gasperz (2007) dalam bukunya yang berjudul Lean Six Sigma, menyatakan
bahwa terdapat lima prinsip dasar lean, yang dijelaskan sebagai berikut:
b. Non-value add, tahap yang tidak menghasilkan nilai namun tidak dapat dihindari
dengan teknologi dan sumber daya yang ada (muda tipe 1 atau type 1 waste)
c. Non-value add, tahap yang tidak menghasilkan nilai dan bisa dihindari (muda tipe
2 atau type 2 waste).
3. Melakukan one piece flow
Melalui aliran kontinyu, setiap ada masalah yang muncul, maka proses
akan dihentikan dan dicari solusi terhadap permasalahan tersebut. Sebagai
contoh, Toyota Manufacture dalam melakukan suatu proses produksi tidak
diperbolehkan adanya penumpukan barang setengah jadi di statsiun produksi
dalam jumlah berlebih. Apabila hal tersebut terjadi, maka proses akan terhenti dan
memaksa para pekerjanya untuk menyumbangkan ide, gagasan atau apapun
bentuknya untuk menemukan solusi tersebut sehingga kegiatan produksi dapat
berjalan kembali.
4. Menerapkan sistem tarik atau pull system
Sistem tarik sendiri memiliki konsep yang sejalan dengan market pull, yang
memiliki makna nilai tambah dalam proses pelayanan harus dilihat dari sudut
pandang dan kebutuhan konsumen. Segala sesuatu yang menurut pandangan
konsumen tidak memberi nilai tambah bagi kepuasan konsumen, maka sebaiknya
dieliminasi atau diminimalisasi.
Proses perbaikan bukanlah suatu momen yang hanya sekali saja dilakukan
sepanjang hidupnya sebuah perusahaan. Perbaikan berkelanjutan perlu dilakukan
berulang secara terus-menerus sehingga membentuk suatu siklus. Keadaan
terakhir dari siklus pertama menjadi inisial tindakan bagi proses siklus kedua.
Dengan begitu perbaikan akan berproses secara terus-menerus dan dapat
ditemukan cara-cara terbaik seiring dengan timbulnya suatu perusahaan.
2.4 Penerapan Konsep Lean Hospital
Hal paling sederhana dan paling elegan mengenai lean, yang berasal dari
budaya Toyota menurut Graban (2016) dalam buku Lean Hospital edisi ketiga,
terdiri dari dua bagian yakni:
Contoh pemborosan yang sering terjadi di rumah sakit adalah sebegai berikut:
d. Pergerakan yang tidak perlu, contohnya letak apotek dan kasir yang jauh
2. Respect of people
Berikut adaah lima prinsip lean yang dapat diadaptasi dalam sistem
pelayanan rumah sakit.
Value Nilai secara spesifik harus dilihat dari sudut pandang konsumen akhir
(pasien)
2 Value Stream Identifikasi semua tahapan proses yang
memberikan nilai tambah pada semua dan lintas
Tabel 2.1 (lanjutan)
Suatu kegiatan dapat dikatakan value added atau non-value added dilihat
dari berbagai perspektif, diantaranya produk, pasien, pegawai atau pemberi
pelayanan. Contoh kegiatan yang value added misalnya: dokter bedah melakukan
operasi kepada pasien, dilakukan pemeriksaan spesimen pasien di laboratorium
untuk mendukung diagnosa. Sedangkan kegiatan non-value added dalam dua
kegiatan tersebut adalah dokter bedah menunggu untuk keterlambatan prosedur
atau melakukan langkah- langkah yang tidak perlu, spesimen pasien menunggu
untuk dipindah sebagai satu batch.
2.4.2 Identifikasi Waste
Pemborosan atau waste, dalam bahasa Jepang disebut muda, yaitu segala
tindakan yang dilakukan tanpa menghasilkan nilai. Sebagai contoh dari bentuk
pemborosan adalah perbaikan yang dilakukan akibat adanya kesalahan, produksi
Terdapat dua kategori pemborosan yang dibedakan menjadi type one and
type two waste dan “seven plus one” waste, sebagai berikut:
Terdapat dua kategori pemborosan atau waste atau “muda” dalam bahasa
Jepang, yang utama, yaitu pemborosan yang disebut dengan type one waste dan
type two waste.
Type one waste merupakan aktivitas kerja yang tidak menciptakan nilai
tambah dalam proses transformasi input menjadi output yang pada saat ini belum
bisa dihilangkan karena berbagai alasan atau kita masih membutuhkan. Tipe
waste ini misalnya aktivitas inspeksi, penyortiran, dan pengawasan. Menurut lean,
contoh kegiatan-kegiatan tersebut tidak mendatangkan value added, namun pada
saat ini masih dibutuhkan untuk sebuah tujuan yang bersifat korektif. Dalam jangka
panjang waste tipe pertama ini harus dapat dihilangkan atau dikurangi.
b. Type Two Waste
Type two waste adalah aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan
dapat dihilangkan dengan segera mungkin. Kegiatan-kegiatan ini cenderung
menghasilkan produk cacat atau defect, pengerjaan berulang atau rework, atau
dapat pula kegiatan tersebut sering terjadi kesalahan atau error yang dapat
dihilangkan dengan segera. Suatu perusahaan dianggap lean apabila rasio waste
dengan total minimun telah mencapai 30%, jika belum mencapai 30% maka
perusahaan tersebut disebut sebagai unlean enterprise dan dimasukkan ke dalam
kategori perusahaan tradisional. Berikut konsep mengenai value added activity,
non value added activity (type one waste) dan waste (type two waste) pada
gambar 2.2.
Value
added
activity
Non value Waste (Type
added 2)
activity (Type
1)
Gambar 2.2 Konsep Rasio Antara Value Added Dengan Waste Pada Un-Lean
Enterprise
1 Overproduction/Produksi Berlebih:
Memproduksi lebih daripada kebutuhan Ketiadaan komunikasi, sistem balas
pelanggan internal dan eksternal atau jasa dan penghargaan yang tidak
memproduksi lebih cepat atau lebih awal tepat, hanya berfokus pada
daripada waktu kebutuhan pelanggan kesibukan kerja, bukan untuk
internal dan eksternal. memenuhi kebutuhan pelanggan
internal dan eksternal
3 Transportation/Transportasi yang
Berlebihan: Tata letak yang jelek (poor layout),
Memindahkan material atau orang dalam ketiadaan koordinasi dalam proses,
jarak yang sangat jauh dari satu proses ke poor housekeeping, organisasi
proses berikut yang dapat mengakibatkan tempat kerja yang jelek (poor
waktu penanganan material bertambah. workplace organization), lokasi
penyimpanan material yang banyak
dan saling berjauhan
Tabel 2.2 (lanjutan)
Waste Root Causes (Akar
Penyebab) (multiple and long distance
storage locations).
8 Defective Design:
Disain yang tidak memenuhi kebutuhan Kreativitas karyawan yang
pelanggan, menambah features yang tidak tidak dimanfaatkan,
perlu. over design.
34
Sumber: Lean Six Sigma for Manufacture and Service Industries, Gasperz, 2007
Gasperz (2007) mendeskripsikan waste yang lebih spesifik pada bisnis service
2. Transport of document seperti rekam medis pasien yang hilang atau belum
dikembalikan dari ruang rawat inap.
3. Doing unnecessary work (motion not requested) seperti menelepon saat
melakukan pekerjaan di ruang IGD.
4. Waiting for the next process stepyaitu kegiatan mengantri atau menunggu dokter.
5. Inventory yaitu kurangnya atau lebihnya stok obat di gudang farmasi.
Penjadwalan
yang
konsisten sesuai
dengan
kebutuhan
permintaan.
Sistem
komputerisasi
tidak terhubung.
42
Ada pula non value added activity yang menyebabkan kegiatan menjadi sangat
tidak produktif, misal waktu tunggu, produk cacat, pengulangan pekerjaan yang
tidak diperlukan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak hanya mengandalkan data
dari laporan, melainkan harus turun ke lapangan secara langsung untuk melihat
kondisi yang sebenarnya sebagai bentuk cara untuk memetakan pemborosan-
pemborosan yang ada.
oleh setiap tahapan aktivitas dalam proses produksi dapat diidentifikasi oleh VSM,
termasuk pula waktu tunggu diantara setiap proses.
Sumber: https://www.epa.gov/lean/lean-chemicals-toolkit-chapter-3
Bentuk flowchart ini menunjukkan hubungan antara proses bisnis dan fungsi
setiap Instalasi departemen yang bertanggung jawab terhadap proses tersebut
(Dickson, 2009).
Sumber: http://www.rff.com/cross-functional-template.htm
47
Lean memiliki makna lebih dari sekedar alat. Lean mengakar secara lebih
luas yaitu sebagai sebuah filosofi dan konsep yang dipakai untuk mengeliminasi
waste atau pemborosan. Akan tetapi, lean juga membutuhkan tools lain untuk
membantu dalam pengimplementasiannya. Metode atau alat yang dapat dipakai
menerapkan lean di rumah sakit ialah visual management, 5S ,kanban dan kaizen.
48
1. 5S
hanya 1 jam setiap harinya (Graban, 2016). Di Indonesia, istilah 5S ini dikenal
dengan sebutan 5R (ringkas, rapi, resik, rawat dan rajin). Lima S tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Seiri/Sort/Ringkas
b. Seiton/Store/Rapi
c. Seiso/Shine/Resik
d. Seiketsu/Standardize/Rawat
Setelah ringkas, rapi dan resik, maka diperlukan rawat agar ketiga proses
sebelumnya dapat terjaga dengan baik sehingga membuat standar kerja. Hal ini
dapat dilakukan dengan memberi tanda atau bentuk peraturan, sehingga apabila
segala sesuatu yang ada di lingkungan kerja terjadi masalah atau tidak sesuai
dengan standar kerja dapat langsung terlihat.
e. Shitsuke/Sustain/Rajin
Rajin dalam hal ini dapat berupa pula suatu pembiasan dan disiplin dalam
melakukan pekerjaan sesuai prosedur dan standar yang berlaku. Hal yang
membuat orang tidak disiplin ialah: tidak tahu, tidak mau atau lupa. Sehingga
dibutuhkan elemen penerapan disiplin: paham peraturan, paham hak perusahaan
dan taat pada peraturan. Tujuannya adalah agar pelaksanaan 5S tetap
berkelanjutan, sehingga perlu dibangun rencana masa depan agar sistem kerja
dapat terus dikembangkan.
Evaluasinya dapat berupa audit dan diskusi kelompok yang kelompok yang
dilakukan secara periodik.
2.5.2 Kanban
51
Melalui pembuatan label pada setiap barang yang sudah disiapkan untuk
didistribusikan sesuai dengan nomor distribusi dan alamat instalasi yang dituju
untuk pendistribusian obatnya maka akan mengurangi terjadinya kesalahan dalam
proses kerja.
d. Membuat sistem yang kuat, sehingga tidak mentolerir pelaksanan yang melakukan
kesalahan
2.5.4 Kaizen
6. Lanjutkan siklus
2.6 Hasil-hasil Penerapan Lean di Rumah Sakit
1. Penurunan turn around time hasil laboratorium klinis sebesar 60% pada
Alegent Health, Nebraska (Graban, 2011).
2. Penurunan dekontaminasi dan cycle time sterilisasi alat-alat sampai 70% pada
Kingston General Hospital, Ontario (Graban, 2011).
3. Penurunan angka kematian pasien berkaitan dengan infeksi saluran darah sampai
dengan 95% pada Allegheny Hospital, Pennsylvania (Graban, 2011).
4. Pengurangan waktu tunggu pasien untuk bedah orthopedic dari 14 minggu
menjadi 31 jam pada ThedaCare, Wisconsin (Graban, 2011).
5. Peningkatan surgical revenue sebesar USD 808.000 per tahun pada Ohio Health,
Ohio (Graban, 2011).
6. Pengurangan LOS sebesar 29% dan terhindari USD 1,25 juta dalam
pembangunan Instalasi gawat darurat baru pada Avera McKennan, South Dakota
(Graban, 2011).
7. The Mental Health Center of Denver, dengan hasil: kenaikan jumlah pasien baru
27%, berkurangnya jadwal perjanjian ulang pasien dari 12% menjadi 14%,
penambahan 187 pasien tanpa menambah pegawai baru serta mengurangi biaya
hingga $ 90.000-100.000 untuk pegawai dan fasilitas (Graban, 2011).
berbagai tools pengukuran, maka landasan teori yang menjadi acuan pada penelitian
ini tergambar seperti berikut.
Dengan menggunakan
parameter Quality, Cost,
Delivery, Safety/Service,
Morale
- Customer satisfaction
- Profits
- Cash
- Competitiveness
BAB 4 PEMBAHASAN
Tujuan dari lean adalah membuat sistem menjadi efektif dan efisien dengan
menghilangkan waste yang tidak menambah value kepuasan pelanggan.
Berdasarkan value stream map pelayanan gawat darurat di RSU Sari Mutiara
Lubuk Pakam, pasien mengeluhkan tidak tersedianya ruang tunggu yang memadai
dimana pasien harus berdiri sambil mengantri. Hal ini juga ditemukan oleh
Willoughby et al (2010) dimana hampir setengah pasien IGD mengeluhkan
pentingnya ruang tunggu yang nyaman di rumah sakit. Berdasarkan Permenkes
No. 24 tahun 2016, setiap rumah sakit harus memiliki ruang tunggu dengan
kapasitas yang memadai dan harus dipisahkan ruang tunggu untuk pasien dengan
penyakit menular.
Kemudian, kurang sesuainya kapasitas tempat kerja dengan beban dan
keergonomisan petugas. Hal ini dibuktikan dengan ventilasi yang tidak sesuai
dengan K3, ruang IGD yang terlalu sempit sehingga tidak dibedakan antara ruang
tindakan dengan ruang resusitasi/ observasi. Agustiningsih (2011) juga
menemukan permasalahan yang serupa di RS Karya Bhakti Depok yaitu
kurangnya kesadaran rumah sakit terhadap pentingnya K3 dalam mengelola
ruangan seperti tidak adanya ventilasi di ruangan manajemen dengan alasan
bahwa ruangan itu memiliki AC sehingga tidak terlalu mempengaruhi pegawai.
Di IGD, petugas tidak memberikan label triase (merah, kuning, hijau) untuk
membedakan tingkat kegawatan pasien. Hasil penelitian Asmono (2014) bahwa
faktor penyebab tidak diberikannya label triase pada pasien adalah karena
petugasnya
tergesa-gesa dan Prosedur Tetap IGD terkait pemberian label triase yang tidak
dijalankan.
Di layanan penunjang (laboratorium/radiologi), pasien diberikan tindakan
sesuai dengan surat pengantar yang dituliskan oleh dokter IGD. Setelah diperiksa,
pasien akan membawa hasilnya ke IGD dan dokter akan melakukan justifikasi.
Secara umum, untuk alur pelayanan gawat darurat yang tepat sesuai dengan
standar indikator mutu rumah sakit adalah kurang dari 5 menit. Respons time
adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pertolongan sejak
memasuki pintu IGD (Kepmenkes, 2009) dengan waktu ideal ≤ 5 menit.
Apabila manajemen dan SPO di rumah sakit tersebut tidak jelas, tentu
mustahil untuk mewujudkan visi dan tugas dari IGD itu sendiri.
Selanjutnya, tentang tata ruang bangunan standar IGD juga harus sesuai dengan
Pedoman Bangunan IGD yang ditetapkan oleh Kepmenkes No. 856 Tahun 2009.
Hakikatnya, sesuai dengan UU No. 44 tahun 2009 pasal 10 menyebutkan bahwa
ruang IGD memiliki pintu masuk tersendiri atau pintu masuk ke area IGD terletak
pada pintu masuk yang pertama kali ditemui oleh pengguna kendaraan untuk
memasuki area rumah sakitseperti yang terlihat di bawah ini.
Gambar 5.1 Contoh Lokasi Bangunan Ruang Rawat IGD sesuai UU No. 44
tahun 2009
Sumber: UU No. 44 Tahun 2009
Contoh yang biasanya terjadi adalah pada bagian pendaftaran, tidak ada
ruang tunggu yang memadai sehingga pasien harus berdiri sambil mengantri di
depan pintu IGD. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dickson (2009) pada 4
rumah sakit sekaligus, mengemukakan bahwa diantara 4 rumah sakit yang
ditelitinya, terdapat 2 rumah sakit dengan ruang tunggu pasien IGD yang tidak
memadai. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran dari pihak rumah sakit untuk
memfasilitasi pasien. Selain itu, tidak ada penunjuk arah yang menjadi acuan
pasien untuk menuju ke satu lokasi ke lokasi lain. Di loket pendaftaran, juga tidak
ada banner atau brosur yang memberikan informasi pelayanan atau dokter.
Rundolph (2010) menyatakan bahwa antrian pasien yang tidak normal
menyebabkan proses kerja menjadi sangat sibuk dan memunculkan
permasalahan. Antrian yang tidak efisien akan berdampak pada proses pelayanan
RS secara luas, kualitas dan keselamatan layanan serta pendapatan RS. Hasil
penelitian Sutriningsih (2015) menemukan bahwa waktu tunggu pasien untuk
mendapatkan tindakan medis di ruang IGD di 3 rumah sakit di Malang, hanya
sebagian yang sudah sesuai standar yaitu 77,5% sedangkan yang tidak sesuai
standar 22,5%. Efe (2016) mengemukakan
menunggu lama dalam pemberian tindakan gawat darurat. Hal ini disebabkan
kurangnya monitoring dari pihak manajemen IGD terhadap kebutuhan alat dan
bahan di ruang IGD. Hal serupa juga ditemukan oleh Qibtiyah (2015) di IGD RSUD
Kudus dimana belum terprogramnya SPO yang jelas sehingga belum ada
pengawasan dan pemeriksaan rutin apakah kegiatan IGD sesuai rencana dan
evaluasi kebutuhan IGD. IGD hanya memiliki 2 bed yang berfungsi dan jumlah
perawat yang hanya 2 orang di ruang IGD juga mempengaruhi kecepatan
pelayanan gawat darurat. Penelitian Litvak et al (2002) menyebutkan kurangnya
tempat tidur di IGD dan jumlah SDM yang kurang, meningkatkan beban layanan di
IGD. Kesalahan medis dapat terjadi karena kondisi unit yang sibuk dan beban
tenaga kesehatan yang meningkat. Kondisi tersebut juga terjadi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta (Setyaningsih, 2015) dimana sebanyak 57,14% harus
menunggu selama >3 jamuntuk ditangani di IGD.
Di bagian laboratorium/ radiologi (penunjang), pasien harus menyerahkan
surat pengantar untuk pemeriksaan penunjang maka akan segera dilakukan
tindakan, kemudian pasien membayar biaya pemeriksaan ke kasir dan kembali ke
ruangan laboratorium/ radiologi untuk mengambil hasil.Dalam praktiknya, prosedur
ini sesuai dengan Standar Pelayanan Instalasi Gawat Darurat yang telah
ditetapkan di Kepmenkes No. 856 tahun 2009.
Akan tetapi, dari proses tersebut, ditemukan ada pasien yang tidak
membayar tindakan sementara bahan reagen/film rontgen sudah terpakai. Hal ini
disebabkan disain rumah sakit yang memiliki ruang terbuka serta letak kasir yang
jauh dari laboratorium/radiologi sehingga memungkinkan bagi pasien untuk tidak
membayar tindakan laboratorium/radiologi. Idealnya, apabila letak kasir dengan
layanan penunjang berdampingan, akan mengurangi peluang kejadian dimana
pasien tidak membayar tindakan laboratorium/radiologi.
5.3 Action Planning dan Action Taking berdasarkan Prinsip Lean Hospital
4. Label Triase
Untuk ketiadaan label triase, maka perlu diperbaiki dengan konsep 5S dan
error proofing. Hal ini sesuai dengan penelitian Sumampouw (2015) dimana
dengan disain rak penyimpanan yang tepat dan pelabelan triase yang jelas,
mampu mengurangi terjadinya keterlambatan dan mencegah terjadinya kesalahan
oleh petugas Instalasi Gawat Darurat dalam pemberian tindakan kepada pasien
gawat darurat.
5. Menerapkan Budaya Kerja 5S dan Error Proofing
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
Sebagai saran yang dapat direkomendasikan oleh penulis dalam jurnal ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi direksi dan manajemen rumah sakit, usulan- usulan tersebut merupakan
solusi ideal namun dalam pelaksanaannya harus disertai dengan kemampuan
rumah sakit mengingat keterbatasan resources yang dimiliki serta komitmen agar
kualitas dapat terpelihara dan ditingkatkan sesuai dengan harapan. Selanjutnya,
sebaiknya membuat tim khusus monitoring dan evaluation program yang berlatar-
belakang pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat. Hakikatnya, suatu rumah
sakit wajib memiliki tenaga kesehatan masyarakat agar perbaikan melalui
pendekatan lean di rumah sakit dapat berjalan dengan baik secara
berkesinambungan.
2. Bagi institusi pendidikan, sebaiknya membuat pelatihan (seminar/workshop)
mengenai lean hospital yang melibatkan seluruh direksi dan manajemen rumah
sakit di kabupaten/kota atau provinsi agar informasi tentang pentingnya penerapan
metode lean ini dapat tersampaikan sehingga setiap rumah sakit dapat bersama-
sama memperbaiki kualitasnya.
3. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan dapat melanjutkan analisis dalam bentuk
penelitian yang lebih spesifik sehingga dapat menggali lebih banyak lagi kejadian
waste di instalasi lain seperti rawat inap, rawat jalan dan hubungan pelayanan
gawat darurat terhadap unittersebut sehingga semakin terlihat titik-titik
pemborosan pada setiap aspek pelayanan di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Abuhejleh, A., Gardiner, P., Ellahham, S., 2016, Exploring the Role of Lean Methodology
as A Tool for Performance Improvement in Healthcare Projects: An Ethnographic
Case Study in U.A.E., Dubai: Journal of Medical and Dental Science Research,
3(8): 15-24.
Agustiningsih, A., 2011, Tesis: Disain Perbaikan Proses Pelayanan Unit Rawat Jalan
Dengan Konsep Lean Hospital Di Rumah Sakit Karya Bhakti, Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Apriyani, D., 2008, Peningkatan Hasil Belajar Siswa (Buku Elektronik) diakses 28 April
2017; http://idb4-wikispaces.com/file/view/ss4006.pdf
Asmono, MD, 2014, Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak Tidak Menggunakan Tracer di
132Bagian Penyimpanan Berkas Rekam Medis Rumah Sakit Mata ”Dr. YAP”
Yogyakarta. (Jurnal Elektronik) diakses 8 November 2017;
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Penelit
ianDetail&act=view&typ=html&buku_id=61349
Australian Hospital Statistic, 2012, Australian Hospital Statistic 2011-2012 Emergency
Department Care, Australia: Australia Institute of Health and Welfare (Buku
Elektronik) diakses pada 28 Desember 2017 http://www.aihw.gov.au/WorkArea/
DownloadAsset.aspx?id=10737423039
.Boos, H., Frank, G., Andreas, K., 2010, Excercises with the universal R-matrix,
Washington: Journal of Physics A: Mathematical and Theoritical, 43(41) 45-
49.Boswick, John A., 1988, Perawatan Gawat Darurat, Jakarta: EGC.
Burstorm, et al, 2013, Waiting Management at the Emergency Department-A Grounded
Theory Study. (Jurnal Elektronik) diakses 03 Januari 2018;
http://www.biomedcentral.com/1472-6963/13/95
Chadha, RS, Kalra AJ, 2012, Lean and queuing integration for the transformation of
health care processess: A lean health care model, India: “Clinical Governance” An
International Journal, 17: p. 191-199.
Chan, HY, Lo SM, Lee LLY, et al, 2014, Lean techniques for the improvement of patients’
flow in emergency department, Hongkong, China: World J Emerg Med Vol. 5, 1:
p.24-28.
Crew, R.F., Hafez, S.M., 2010, Applying lean thinking in construction and performance
improvement, Egypt: Alexandria Engineering Journal, 52:679- 695.
Costa, E., Alves, AC, Braganca, S., 2014, Action-research methodology to improve
performance using lean production tools, Portugal: Techniques Technologies
Education Management Vol. 9, 2: p.253-264.
Dahlen, I., Westin, L., dan Adolfson, A., 2012. Experience of being a low priority patient
during waiting time at an emergency department (Jurnal Elektronik) diakses 3
Januari 2018.
Depkes RI, 2006, Standar Pelayanan Gawat Darurat di Rumah Sakit, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik.
Depkes RI, 2007. Pedoman Sarana dan Prasarana Bangunan IGD Rumah Sakit Tipe
C. Jakarta: Dirjen RI.
Dickson, EW, 2010, Use of Lean in the emergency department: a case series of 4
hospitals, Ann Emerg Med: p. 504-510
Doss, R. & Orr, C., 2007, White Paper : “Lean Leadership in Healthcare”,diakses 23
April 2017; http://www.aptimise.com/LeanLeadershipWhitePaper
Efe, DR, 2016, Improving service quality by understanding emergency department flow: a
white paper and position statement prepared for the American Academy of
Emergency Medicine, J Emerg Med: p. 70-79.
Emiliani, M.L., Stec, D.J., 2005. Leaders lost in transformation, New Britain (USA):
Leadership and Organization Development Journal, 26(5): 370-387.
Endsley, S., Maqill, M.K., Godfrey, M.M., 2006. Creating A Lean Practice, Oxford:
International Journal for Quality in Healthcare, 28(2): 150–165.
Farrell, G., 2007, Survey of ICT and Education in Africa. Washington, USA: The
International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank Press
(Buku Elektronik) diakses 5 Mei 2017; https://www.infodev.org/
Furwanti, E., 2014, Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien DiInstalasi Gawat Darurat
(IGD)RSUD Panembahan Senopati Bantul, UGM Yogyakarta: Tesis.
Gasperz, V., 2006. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan
Six Sigma Untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Gasperz, V., 2007. Lean Six Sigma for Manufacturing and Services Industries.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Graban, M., 2016, Lean Hospitals: Improving Quality, Patient Safety and Employee
Engagement, Northwestern, United States of America: Lean Enterprise Institute,
Inc.
Graban, M., 2011, Healthcare Kaizen, Northwestern, United States of America: Lean
Enterprise Institute, Inc.
Grunden, N., Hagood, C., 2012, Lean-led Hospital Design: Creating the Efficient Hospital
of the Future. Boston: Productivity Press.
Hobson, M. P., Efstathiou, G., Lasenby, A. N., 2007, General Relativity: An Introduction
for Physicists, Edinburgh: Cambridge University Press.
Houchens, N., Kim S. C., 2014, The Application of Lean in the Healthcare Sector: Theory
and Practical Examples, New York: Springer.
Indar M., Naiem, J., 2013, Profil Klinis dan Luaran Pasien Gawat Darurat Medis Dewasa
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Jimmerson, C., 2007. A3 Problem Solving for Healthcare: A Practical Method for
Eliminating Waste, New York, United States of America: Healthcare Performance
Press.
Kemenkes RI, 2009, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 856 tentang
Standar Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit, Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenkes RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 tentang
Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
King, DL, Ben-tovim DI, Bassham J, 2006, Redesigning emergency department patient
flows: application of Lean Thinking to healthcare, Emerg Med Australias 2006, 18:
391-397.Liker, J., 2004, The Toyota Way, New York: McGraw Hill Press.
Mahendra, B., Holden RJ, 2011, A human factors engineering paradigm for patient
safety: the SEIPS model. Qual Saf Health Care: p. 159-165.
McCulloch, W.S., Pitts, W.H., 2010, A Logical Calculus of the Ideas Immanent in Nervous
Activity, Massachusetts, USA: Bulletin of Mathematical Biophysics, 5:115-133.
Moraros, J., Lemstra, M., Nwankwo, C., 2016. Lean Intervention in healthcare: do they
actually work? A systematic literature review, Brasil: Lean Institute (Jurnal
Elektronik) diakses 1 Maret 2017; http://www.lean.org.br
Murrell, K. L., Offerman, S. R., Kauffman, R. N., 2011, Applying Lean: Implementation of
A Rapid Triage and Treatment System. West J Emerg Med.: 184-191.
Ng D, Vail G, Thomas S., et al, 2010, Applying the Lean Principles of the Toyota
production system to reduce wait times in the emergency department, CJEM: 50-
57.
Nindya, A, 2012, Usulan Perbaikan Lean Hospital pada Inventoris Gudang RS Islam
Jakarta, Universitas Indonesia: Skripsi.
Ohno, T., 1988, Toyota Production System: Beyond Large Scale Production, New York:
Productivity Press.
Qibtiyah, E. M., Sudiro, Wulan, L. R., 2015, Manajemen Mutu Pelayananan Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUD Kudus (Studi Kualitatif), Jakarta: Jurnal Manajemen
Kesehatan Indonesia.
Setyaningsih, 2016, Analisis Waktu Tunggu Pasien yang Dirujuk ke Rawat Inap Melalui
Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Moewardi, Yogyakarta.
Savitri, A., 2015, Pemanfaatan tracer di Penyimpanan Berkas Rekam Medis di UPT
Puskesmas Wonosari 1 (Tugas Akhir), Yogyakarta: Program Studi Rekam Medis
UGM.
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.
Stralser, S., 2004, MBA In A Day-What You Would Learn at Top-Tier Business Schools
(If You Only Had the Time), New Jersey, USA: John Wiley & Sons, Inc.
Taninecz, G., 2004, Lean Landscapers: Atlanta firm embraces lean in challenging
industry with multiple gembas., Atlanta, GA: Lean Enterprise Institute, Inc.
Timothy, B., Villavicecio, A., Waldron, B., 2010, A multilngual database of idioms, Lisbon,
Portugal: In Proceedings of the 4 th International Conference on Language
Resources and Evaluation (LREC), 1127-1130.
Wasetya, D, 2012, Alur Proses Pelayanan Unit Rawat Jalan dengan Mengaplikasikan
Lean Hospital di RS Marinir Cilandak Tahun 2012, Depok: UI.
West, P. And Sweeting, H., 2001, Research papers in Education “Being different:
correlates of the experence of teasing and bullying at age 11”, England: University
of Glasgow 16(3): 225-246