Anda di halaman 1dari 77

1

ANALISIS LEAN HOSPITAL


UNIT PELAYANAN IGD
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Manajemen
Operasional Rumah Sakit

Pembimbing :
Dr. Alih Germas, SKM, MARS

Disusun oleh :

Stevanie 226080196
Christ Hally Santoso 226080084
Santoso Cokro 226080177

Program Studi Magister Administrasi Rumah Sakit


Universitas Respati Indonesia
Kelas 36 D

2023
2

ABSTRAK

Pelayanan rumah sakit merupakan salah satu penentu kualitas dalam rumah
sakit. Rumah sakit dikatakan efisien jika ia mampu menggunakan seluruh sumber
daya yang ada untuk menghasilkan sesuatu tanpa menyisakan hal-hal yang tidak
diinginkan atau sia-sia. Peranan rumah sakit untuk mempercepat penyembuhan
dan pemulihan penderita sebagaimana yang diharapkan, belum terselenggara
secara optimal. Lean merupakan sebuah sistem manajemen yang sepenuhnya
berfokus pada efisiensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen
pelayananan gawat tdarurat yang ideal yang sesuai dengan prinsip lean hospital
dengan menggunakan metode-metode lean yang didukung dengan tools lean
lainnya. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan action research.
Informan dipilih secara non probability dengan teknik purposive sampling.
Kemudian data diolah dengan metode analisis lean. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rasio aktivitas value added dengan non value added adalah kurang dari
30% dimana bentuk waste yang ditemukan dipengaruhi oleh man, methode,
machine dan environmental..Usulan perbaikan melalui pendekatan lean
membuktikan adanya quality improvement di antaranya penurunan waktu tunggu
pasien, perawat tidak melaukan kesalahan dalam pemgambilan alat medis dan dan
dokter selalu tersedia di IGD. Disarankan kepada direksi dan manajemen rumah
sakit bersangkutan untuk komitmen dalam mengimplementasikan lean serta
membentuk tim khusus monitoring dan evaluasi program agar konsisten untuk
memperbaiki pelayanannnya

KataKunci: LeanThinking,LeanHospital,InstalasiGawatDarurat,
ManajemenRumah Sakit
3

1.1 Latar Belakang

Pelayanan rumah sakit merupakan salah satu penentu kualitas dalam


rumah sakit. Rumah sakit dikatakan efisien jika ia mampu menggunakan seluruh
sumber daya yang ada untuk menghasilkan sesuatu tanpa menyisakan hal-hal
yang tidak diinginkan atau sia-sia (Moraros, 2016). Melalui sistem pendekatan
dalam peningkatan quality, safety dan efficiency, Endsley et al (2006) dalam
Creating A Lean menyatakan minimalisasi waste, yang biasa disebut dengan
pemborosan, dalam pelayanan kesehatan bergantung pada output dan flow. Poin-
poin dalam output ialah proses yang salah, over production, delay dan luasnya
rentang variasi permintaan, sedangkan yang termasuk dalam flow ialah waktu
tunggu, duplikasi dalam proses, pekerjaan yang diulang, work interuption dan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan standar.
Lean merupakan sebuah sistem manajemen yang sepenuhnya berfokus
pada efisiensi. Lean adalah sebuah filsafat pertumbuhan jangka panjang lewat
upaya peningkatan nilai pelanggan, masyarakat, dan ekonomi dengan tujuan
mengurangi biaya, mempercepat waktu pemberian intervensi, dan meningkatkan
mutu lewat penghapusan waste secara total (Boos dan Frank, 2000). Lean
diwacanakan pertama kali pada indusri otomotif oleh sistem manajemen Toyota
pada tahun 1890-an (Emiliani, 2006). Semenjak itu, lean menarik minat berbagai
bidang industri di dunia dan diterapkan banyak aspek selain manufaktur seperti
pada manajemen SDM (Edwards, 2004).
Moraros (2016) menyatakan rasio antara value added (nilai tambah)
terhadap waste (pemborosan) pada perusahaan-perusahaan Jepang rata-rata
mencapai 50%, Toyota Motor sekitar 57%, perusahaan-perusahaan terbaik di
Kanada dan Amerika Serikat sekitar 30%, sedangkan perusahaan terbaik
Indonesia masih 10%. Suatu perusahaan dianggap lean apabila rasio nilai tambah
terhadap waste minimum telah mencapai 30% (Graban, 2016). Jika suatu
perusahaan memiliki rasio antara nilai tambah dengan waste belum mencapai
30%, maka perusahaan tersebut disebut sebagai un-lean enterprise dan
dimasukkan ke dalam kategori perusahaan tradisional. Lean yang diterapkan di
4

keseluruhan perusahaan disebut lean enterprise, lean pada manufaktur disebut


lean manufacturing, sedangkan yang diterapkan di rumah sakit disebut dengan
lean hospital.
Penerapan konsep lean di pelayanan kesehatan telah dilakukan oleh
Virginia Mason Medical Center di Seattle Washington yang sudah
mengimplementasikan lean semenjak tahun 2002. Implementasi lean dengan cara
mengurangi pemborosan, Virginia Mason Medical Center berhasil menurunkan
tingkat inventori hingga 53% dalam kurun waktu dua tahun. Graban (2010)
melakukan survei terhadap lima puluh rumah sakit di Amerika mengenai
penerapan lean. Dari 50 rumah sakit di Amerika yang telah mengimplementasikan
program lean hospital, menyatakan alasan mereka memerlukan lean adalah
sebagai berikut: 56% karena biaya kualitas karena rework, 50% kepuasan
pelanggan, 50% kurang tenaga kerja, 44% tekanan biaya, 42% kepuasan
karyawan, 38% biaya tenaga kerja, 38% keselamatan pasien, 30% kebutuhan
untuk tumbuh dan 20% karena waktu tunggu di departemen emergency.

Sebagai contoh lain, Blue Cross Blue Shield, salah satu pelayanan kesehatan
di Amerika Serikat telah mampu menghemat kurang lebih $3,7 juta pada tahun
2002 dan sekitar $2 juta pada tahun 2003 melalui prinsip-prinsip lean. Sebenarnya
banyak filosofi yang dapat diterapkan selain lean. Mulai dari yang paling
konvensional yaitu Batch-and-Queue (Emiliani, 2004), Uddevalla hingga sistem
standarisasi seperti SPO dan akreditasi (Stralser, 2004), sampai pada teori-teori
seperti Continuous Quality Improvement (Stralser, 2004), Total Quality
Management (Stralser, 2004), Balanced Scorecard (Friyanto, 2012), GE-Work Out
(White dan Griffith, 2010), Servant Leadership (White dan Griffith, 2010),
Transformational Leadership (White dan Griffith, 2010), Hospital Production
System (White dan Griffith, 2010) dan Six Sigma (Stralser, 2004).

Berdasarkan sejumlah besar pendekatan formal di atas, tidak ada satu


pendekatan yang lebih unggul dari pendekatan lainnya dalam semua konteks,
karena masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri (White
dan Griffith, 2010). Sistem Batch-and-Queue membawa pada waktu mulai yang
panjang, mutu rendah, biaya tinggi, produktivitas rendah, ketidakpuasan
pelanggan dan konflik antar stakeholder (Emiliani, 2004). Sementara itu, metode
5

Uddevalla walau mendorong tim dan individu, namun membatasi belajar


organisasi dan perbaikan sistem secara keseluruhan (Stralser, 2004). Sistem
standarisasi tidak peka terhadap konteks, sementara sistem Continuous Quality
Improvement sangat menuntut infrastruktur SDM yang tangguh baik secara
individual dan organisasional, secara kognitif, emosi, fisik dan spiritual (Emiliani,
2004).

Dalam konteks pelayanan kesehatan, manajemen merupakan masalah yang


penting untuk memberikan pelayanan pasien yang bermutu tinggi (West, 2001).
Dalam konteks ini, Farrell (2007) memandang bahwa lean merupakan pendekatan
formal terbaik. Sementara itu, Young dan McClean (2009) memberikan bukti, nilai
dan metrik penerapan lean dalam pelayanan kesehatan dan menyatakan kalau
tidak ada alasan jika lean tidak menjadi elemen penting dalam pelayanan
kesehatan.

Lean telah pula diadopsi dalam praktik pelayanan kesehatan (Graban, 2010).
Alasannya adalah karena pemikiran lean menjanjikan penggunaan sumber daya
seefisien mungkin dan sumber daya dalam bidang pelayaan kesehatan memang
sangat berharga dan perlu dioptimalkan agar memberikan pelayanan paling
maksimal baik dari segi jumlah masyarakat yang dilayani maupun kualitas
pelayanan yang diberikan (Grunden dan Hagood, 2013). Doss dan Orr (2007)
menyimpulkan kalau lean memberikan manfaat praktis bagi organisasi pelayanan
kesehatan dalam bentuk perubahan aliran nilai pelayanan, memberikan pelayanan
penuh kasih sayang pada pasien, memperbaiki sistem kerja dokter dan perawat
dan memberikan manfaat tampak berkelanjutan pada masyarakat.

Sejumlah bukti empiris telah dikemukakan terkait manfaat lean di rumah


sakit. Studi Viet et al (2010) menemukan bahwa lean menurunkan rawat jalan
berulang sebesar 23% dan meningkatkan akses pasien sebesar 42% pada The
Catarac Clinic – The Rotterdam Eye Hospital. Sementara itu, hari perawatan di St.
Joseph’s Hospital meningkat dari 1,836 hari menjadi 2,017 hari rawat (Timothy,
2010). Begitu pula, studi McCulloch et al (2010) menemukan kalau jumlah pasien
yang dirujuk menurun 7% dari 27% menjadi 20% dan jumlah pasien meningkat
dari 969 menjadi 1.114 pasien di sebuah rumah sakit universitas di Inggris. Bukti
6

empiris terkait hubungan lean hospital dengan penghematan waktu pelayanan


diberikan oleh studi Taninecz (2004) yang melaporkan waktu respon dan waktu
layanan emergency (gawat darurat) mengalami pengurangan di Hotel-Dieu Grace
Hospital Windsor – Ontario, Kanada. Crew (2010) melaporkan tiga percobaan lean
terhadap waktu respon dan waktu layanan gawat darurat di Children’s Emergency
Department:

(1) selama 4 jam hasilnya dari 120 menit menjadi 30 menit;


(2) selama 8 jam hasilnya dari 103 menit menjadi 54 menit; dan
(3) selama 10 jam hasilnya dari 94 menit menjadi 49 menit. Studi Melanson et al
(2009) di Brigham and Women’s Hospital – Boston, MA menemukan bahwa
setelah implementasi lean, lama waktu tunggu pemeriksaan laboratorium dari 21
menit s.d. 13 menit menjadi 11 menit s.d. 5 menit.

Dari segi produktivitas SDM, Hintzen (2009) melaporkan peningkatan pada


produktivitas dan respek perawat dalam melayani pasien di University of
Minnesota Medical Center (UMMC). Hobson (2007) melaporkan bahwa budaya
kerja pegawai di Salisbury District General Hospital menjadi lebih baik dan tidak
mengalami stress dari beban kerja. Gambaran di atas menunjukkan pengaruh
positif implementasi lean pada efisiensi rumah sakit. Walau demikian, bagaimana
lean dapat memberikan manfaat pada pelayanan rumah sakit di Indonesia masih
belum sepenuhnya dipahami. Di Indonesia, metode lean masih dipakai sebatas
pada industri manufaktur, sedangkan pada pelayanan kesehatan masih sangat
sedikit. Padahal, pada prinsipnya, metode lean dapat dipakai di semua jenis
organisasi. Rumah sakit yang telah berhasil menerapkan konsep lean healthcare
di Indonesia adalah Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Kemang Medical Care.
Sejak diimplementasikannya lean pada tahun 2013, ada banyak perubahan positif
yang dirasakan di rumah sakit tersebut baik oleh masyarakat maupun pihak rumah
sakit, diantaranya adalah: pegawai melaksanakan pekerjaan sesuai uraian tugas
dan selesai tepat waktu (produktivitas 100%), angka kecacatan di rekam medik
turun 75%, berkas kembali on-time dari poliklinik meningkat 37% (kejadian berkas
sementara sudah tidak terjadi lagi), indeks kepuasan meningkat 11% dari 76%
menjadi 87%, ruang tunggu dan kamar kecil menjadi lebih bersih (Iswanto, 2014).
7

Rumah sakit berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan bagi


masyarakat luas yang diharapkan dapat mewujudkan kesehatan masyarakat.
Akan tetapi, di dalam menjalankan fungsinya tersebut tidak sedikit permasalahan
yang dihadapi. Peranan rumah sakit untuk mempercepat penyembuhan dan
pemulihan penderita pada pasien sebagaimana yang diharapkan, masih belum
terselenggara secara optimal, seperti yang terjadi di ruang Instalasi Gawat Darurat
(IGD).
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan pelayanan di depan yang harus
dilayani dengan cepat dan profesional. Pelayanan IGD merupakan salah satu
pelayanan utama di rumah sakit dalam meningkatkan pemasukan bagi unit-unit
lainnya, yaitu unit penunjang klinik, rawat inap dan laboratorium. Adapun tugas
IGD adalah menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan
serta pelayanan pembedahan darurat bagi pasien yang datang dengan gawat
darurat medis.Sebagai unit pelayanan yang menanggulangi penderita gawat
darurat, komponen pelayanan di IGD harus memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam penanggulangan penderita gawat darurat dan dikelola sedemikian rupa
sehingga terjalin kerjasama yang harmonis dengan unit-unit lain dalam rumah
sakit. Instalasi gawat darurat kerap kali mengalami masalah seperti padatnya
kunjungan pasien yang tidak setara dengan jumlah tenaga medis yang bekerja,
delays, cost containment dan patient safety.

Beragamnya jenis pasien yang ada di instalasi gawat darurat tentunya kondisi
pasien juga beragam, dimana sebagian pasien merupakan status Death On Arrive
(DOA), yaitu pasien yang masuk ke rumah sakit dalam keadaan meninggal.
Namun sebagian besar pasien yang ditangani di IGD merupakan pasien kritis yang
harus diselamatkan sesuai konsep respons time (waktu tanggap) paling lama 5
menit dan waktu definitif ≤ 2 jam (Kepmenkes No. 129 Tahun 2008). Beberapa
masalah yang biasa ditemui dalam proses pelayanan IGD di beberapa rumah sakit
tipe C diantaranya adalah: 1) sebelum pasien ditangani, pasien harus mengantri
giliran periksa (apabila pasien ramai) selama 10-20 menit disebabkan jumlah
tempat tidur di IGD hanya 2 bed dengan jumlah perawat hanya 2 orang; 2)
kemudian saat di IGD, pasien harus menunggu dokter jaga selama 20-30 menit
disebabkan dokter tidak disiplin (terlambat); 4) lalu dokter akan melakukan
pemeriksaan triase selama 10-15 menit sebelum kemudian dilakukan tindakan
kepada pasien; 5) tidak adanya SPO IGD yang jelas yang ditetapkan oleh baik
manajemen maupun direksi rumah sakit.

Tujuan lean thinking dalam pelayanan kesehatan adalah untuk fokus secara
berkesinambungan pada bagaimana kesesuaian layanan kesehatan dapat
disampaikan secara efisien, aman dan dengan kualitas tertinggi dengan
mengubah waste menjadi sesuatu yang bernilai dari perspektif pasien (Baril et al,
2015). RSU Sari Mutiara Lubuk Pakam dengan padat teknologi, padat karya dan
padat modal yang dapat memicu berbagai potensi permasalahan, dirasa perlu
untuk menerapkan lean hospital sebagai bentuk peningkatan pelayanan yang
berorientasi pada kepuasan pelanggan.

Pada jurnal ini , penulis akan mencoba mengkaji mengenai contoh sistem,
efisiensi dan kinerja IGD sebagai pemecahan masalah serta menjadi solusi bagi
perbaikan sistem pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit secara umum
untuk mengurangi beban kerja dengan menurunkan kegiatan yang termasuk
waste dan tidak mendatangkan value.
II. KAJIAN TEORI

2.1 Instalasi Gawat Darurat

2.1.1 Definisi dan Fungsi

Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu unit di rumah sakit
yang memberikan pelayanan kepada penderita gawat darurat dan merupakan
bagian dari rangkaian upaya penanggulangan penderita gawat darurat yang perlu
diorganisir. Instalasi Gawat Darurat harus dapat: 1) mencegah kematian dan cacat
penderita gawat darurat hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam
masyarakat sebagaimana mestinya, 2) merujuk penderita gawat darurat melalui
sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih memadai, 3) ikut
menanggulangi korban bencana pada masyarakat. Salah satu kegiatan di rumah
sakit yang berkaitan dengan fungsi pelayanan adalah menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat (Murrell, 2011).

Atas sifat khusus yang dimiliki, pelayanan gawat darurat tersebut umumnya
dilaksanakan dalam satuan organisasi khusus yang disebut Instalasi Gawat
Darurat, dan merupakan unit pelaksana teknis fungsional rumah sakit dibawah
direktur yang menunjang kegiatan pelayanan medis dan asuhan keperawatan
yang sifatnya segera untuk kasus-kasus yang gawat atau darurat. Peranan
Instalasi Gawat Darurat sangat penting di dalam pelayanan kesehatan karena
Instalasi ini memberikan pelayanan khusus kepada penderita gawat darurat
selama 24 jam setiap harinya (Graban, 2010). Keberhasilan penanggulangan
penderita gawat darurat di dalam mencegah kematian dan kecacatan ditentukan
oleh: 1) kecepatan menemukan penderita gawat darurat, 2) kecepatan meminta
pertolongan, 3) kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan di tempat
kejadian, di dalam perjalanan ke rumah sakit, pertolongan selanjutnya secara
mantap di rumah sakit. Agar penanggulangan penderita gawat darurat dapat
berhasil makan perlu sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD)
dengan tujuan tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan
terpadu bagi setiap anggota masyarakat yang berada dalam keadaan gawat
darurat melalui proses yang sudah ditetapkan oleh Kepmenkes No. 856 Tahun
2009, yakni:

1) Pra rumah sakit, yaitu masyarakat awam dan puskesmas,

2) Intra rumah sakit, yaitu Instalasi Gawat Darurat

Upaya pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya


mencakup suatu rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa
sehingga mampu mencegah kematian dan cacat yang mungkin terjadi. Cakupan
pelayanan kesehatan yang perlu dikembangkan meliputi: 1) penanggulangan
penderita di tempat kejadian, 2) transportasi penderita gawat darurat dari tempat
kejadian ke sasaran kesehatan yang lebih memadai, 3) upaya penyediaan sarana
komunikasi untuk menunjang kegiatan pelayanan penderita gawat darurat, 4)
upaya rujukan ilmu pengetahuan, pasien dan tenaga ahli, 5) upaya
penanggulangan penderita gawat darurat di tempat rujukan (Instalasi Gawat
Darurat dan Intensive Care Unit), 6) upaya pembiayaan penderita gawat darurat
(Graban, 2011).

2.1.2 Standar Pelayanan IGD

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 856/Menkes/SK/IX/2009,


maka standar Instalasi Gawat Darurat yang harus dipenuhi oleh suatu rumah sakit
adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan harus diselenggarakan dalam 24 jam

2. Pelayanan pasien yang tak darurat tidak boleh mengganggu pelayanan pasien
gawat darurat
3. Instalasi gawat darurat harus membatasi diri dalam pelayanan gawat darurat saja
(primary emergency cure), perawatan selanjutnya diatur di bagian lain/ tempat lain
4. Instalasi gawat darurat menyelenggarakan pendidikan pelatihan penanggulangan
gawat darurat untuk perawat pegawai rumah sakit dan masyarakat sekitarnya
5. Penelitian yang berhubungan dengan fungsi gawat darurat dan kesehatan
masyarakat harus diselenggarakan
6. Harus ada dokter yang bertanggung jawab pada pelayanan

7. Harus ada seorang perawat senior dengan kualifikasi berijazah khusus yang
mengepalai perawatan gawat darurat
8. Semua staf/ pegawai harus menyadari dan mengetahui kebijakan dan tujuan dari
Instalasi
9. Identifikasi pasien pada saar masuk harus cermat
10. Semua pasien yang masuk harus melalui triase

11. Rumah sakit yang memberi pelayanan terbatas pada pasien gawat darurat harus
dapat mengatur untuk rujukan ke rumah sakit lain
12. Pasien dengan kegawatan yang mengancam nyawa
harus selalu diobservasi dan dipantau oleh
tenaga terampil dan mampu
13. Rekam medis harus disediakan untuk setiap kunjungan

14. Susunan ruangan dan arsitektur harus dapat menjamin efisiensi pelayanan
kegawatan.
15. Harus ada pelayanan radiologi yang diorganisasi dengan baik serta lokasinya
berdekatan dengan Instalasi gawat darurat
16. Alat dan instrumen harus berkualitas baik dan selalu tersedia untuk dipakai,
peralatan ini juga harus tersedia untuk anak.
2.1.3 Prosedur Instalasi Gawat Darurat

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 856/Menkes/SK/IX/2009,


adapun prosedur Instalasi Gawat Darurat yang harus dipatuhi di suatu rumah sakit
antara lain:

1. Pasien masuk ruang gawat darurat


2. Pengantar mendaftar ke bagian administrasi (front liner)
3. Instalasi Gawat Darurat (IGD) menerima status pasien dari rekam medis dan map
plastik merah
4. Paramedis dan dokter triase memeriksa kondisi pasien

5. Paramedis dan dokter melakukan tindakan yang diperlukan sesuai SPM


emergensi, dokter menjelaskan tindakan yang akan dilakukan dan disetujui oleh
pasien/keluarga (informed consent)
6. Bila pasien menolak pemeriksaan atau tindakan (medis, penunjang, rawat inap),
pasien/keluarga menandatangani surat penolakan
7. Pasien tanpa pengantar dan dalam kondisi tidak sadar, dokter atau paramedis
berhak melakukan tindakan penyelamatan bila terdapat kondisi yang mengancam
jiwa pasien
8. Bila diperlukan pemeriksaan penunjang, dokter membuat pengantar ke Instalasi
terkait dan mengkonfirmasi lewat telepon, pengambilan sampel laboratorium
dilakukan di ruang gawat darurat, untuk pemeriksaan rontgen, paramedis
mengantarkan pasien ke Instalasi radiologi
9. Dokter menjelaskan tindakan yang akan dilakukan dan disetujui oleh
pasien/keluarga (informed consent).
2.2 Kualitas

2.2.1 Konsep Dasar Manajemen Kualitas

Kecacatan dalam sebuah pelayanan rumah sakit menjadi hal yang cukup
mengkhawatirkan meskipun telah ada berbagai kajian dan kebijakan yang
dilakukan. Rumah sakit sudah sering menerima kehilangan kepercayaan dengan
adanya pemberitaan yang buruk mengenai kegagalan dalam menangani pasien
maupun produk yang dihasilkan dari sebuah pelayanan rumah sakit. Dahulu,
ukuran kualitas ditentukan oleh seorang dokter dan perawat dengan mengacu
kepada keahlian mereka, namun saat ini kualitas pelayanan rumah sakit
ditentukan oleh manajemen dan kemampuan kerja sama tim baik medis dan
paramedis serta pengawasan terhadap pelaksanaan standar prosedur operasional
(SPO) yang telah ditetapkan.

Keinginan mendapatkan keuntungan dari keadaan di atas, membuat pihak


rumah sakit berusaha untuk memberikan performa terbaiknya. Persaingan ini tentu
berorientasi terhadap pelanggan (internal maupun eksternal), banyaknya tuntutan
dan membutuhkan orang-orang yang berpengalaman (Albino, 2012). Melalui
keadaan ini, banyak rumah sakit menemukan kondisi dimana tidak dapat lagi
bersaing atau memenuhi tuntutan tersebut. Oleh sebab itu, rumah sakit perlu
menjaga dan memperbaiki kualitas serta produktivitas untuk bertahan dalam
lingkungan persaingan tersebut (Tan, 2013).

2.2.2 Pengertian Kualitas

Berkenaan dengan mutu, ditemukan banyak definisi tentang kualitas. Kualitas


dapat diartikan sebagai kesesuaian dengan standar atau persyaratan yang telah
ditetapkan untuk dicapai. Dengan demikian mutu adalah suatu produk atau jasa
sesuai dengan keinginan atau harapan pelanggan. Juran (1992) mendefinisikan
mutu sebagai suatu keunggulan suatu produk yang memenuhi kebutuhan
konsumen dan bebas dari cacat (deficiencies). Keunggulan suatu produk memiliki
peranan penting dalam memenuhi kepuasan pelanggan meliputi kesesuaian
terhadap persyaratan yang disetujui dari pelanggan, dan suatu produk atau jasa
yang bebas dari kekurangan. Dalam kamus besar Oxford English Dictionary
sendiri, kualitas dapat diartikan “alami”, “berkarakter”, “baik” dan “sifat”, sedangkan
dalam Building Research Establishment (BRE), kualitas dapat diartikan sebagai
semua perlengkapan yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan, termasuk
bagaimana caranya agar setiap individu dapat terlibat, seimbang dan terintegrasi
dalam sebuah proyek dan lingkungan sekitar.

Dari pengertian-pengertian di atas, Pyzdex (2014) mendefinisikan kualitas


sebagai proses perbaikan yang dilakukan secara terus-menerus agar tercapai
pemenuhan kebutuhan terhadap standar mutu yang diinginkan. Dengan
mencermati tiga tahapan yang terkait yakni variation (process), customer focus
(requirements), dan continuous improvement (controls) diharapkan dapat
melakukan proses perbaikan yang berkesinambungan.

2.2.3 Plan-Do-Check-Action

Pada proses quality improvement dilakukan inovasi yang terus-menerus


sampai memenuhi kepuasan pelanggan dimulai dari tahapan input, proses dan
output. Pada tahapan proses sendiri terus dilakukan sebuah tindakan yang
berkelanjutan: plan, do, check, action.Plan dilakukan untuk merencanakan sebuah
perencanaan- perencanaan yang menunjang proses inovasi; do sebagai bentuk
dari perwujudan produk; maka dilakukan check untuk membantu proses
pengukuran, analisa dan peningkatan; sedangkan action dilakukan sebagai bentuk
realisasi dari tanggung jawab manajemen puncak. Melalui metode PDCA (plan-do-
check-action) inilah yang sering dikenal dengan istilah continual improvement.
2.3 Lean

2.3.1 Definisi Lean

Lean diartikan sebagai kurus (ramping). Lean didefinisikan sebagai


seperangkap peralatan (tools set), sistem manajemen dan metodologi yang dapat
mengubah rumah sakit dalam mengatur dan mengelola sehingga mengurangi
kesalahan, mengurangi waktu tunggu, menghilangkan semua hambatan dan
mendukung kegiatan dokter dan karyawan yang bertujuan meningkatkan kualitas
pelayanan dan perawatan pasien (Graban, 2016).

Menurut Gasperz (2010) definisi lean adalah suatu pendekatan sistemik


dan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste)
atau aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value adding activities)
melalui peningkatan terus-menerus secara radikal (radikal continuous activities)
dengan cara mengalirkan produk (material, work-in-process, output) dan informasi
menggunakan sistem tarik (pull system) dari pelanggan internal dan eksternal
untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka fokus lean adalah pada


peningkatan terus-menerus customervalue melalui identifikasi dan eliminasi
aktivitas- aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah yang merupakan
pemborosan (waste). Dalam buku Lean Hospital edisi ke-3 karya Graban (2016)
terdapat lima prinsip dalam pola pikir lean, yaitu:
1. Menetapkan nilai dari sudut pandang pelanggan akhir (dalam hal ini adalah
pasien)

2. Mengidentifikasi semua langkah dalam value stream, mengeliminasi setiap


langkah yang tidak memberikan nilai;

3. Membuat langkah value-added yang terjadi secara terintegrasi sehingga aliran


pekerjaan lancar;

4. Menetapkan nilai tambah (value added) dalam proses pelayanan ditarik dari
persepsi pelanggan (customer/demand pull);

5. Mendapatkan kesempurnaan melalui perbaikan terus-menerus.

2.3.2 Sejarah Lean

Konsep lean awalnya dikembangkan oleh Taichi Onho pada tahun 1950-an
dari Toyota. Selanjutnya, pendekatan ini disebut dengan Toyota Production
System yang menjadi awal pemikiran lean dan pada saat ini dikembangkan
berdasar prinsip “Just-In-Time”. Just In Time merupakan serangkaian prinsip, alat
dan teknik yang memungkinkan suatu perusahaan dapat memproduksi dan
mengirim produk mereka dalam jumlah kecil, dengan lead time yang singkat untuk
memenuhi keinginan pelanggan spesifik.

Just In Time menyediakan barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan
dalam jumlah yang tepat (Liker, 2008). Salah satu dari pedoman ini ialah tidak
adanya pemborosan-pemborosan dalam lini produksi, misalnya tidak boleh
adanya
cacat atau harus zero defect, tidak boleh ada barang di gudang atau zero
inventory dan berbagai bentuk waste lainnya.

Gambar 2.1 Pilar Toyota Way

Sumber: Graban (2016) dalam buku Lean Hospitals Third Edition

Toyota, perusahaan manufaktur terhebat di dunia, menggunakan


pendekatan yang mereka sebut dengan Toyota Production System (TPS) atau
Toyota Way yang di dalamnya merupakan bentuk peningkatan berkesinambungan
atau continuous improvement yang bertujuan untuk mengeliminasi pemborosan-
pemborosan yang mendatangkan kerugian atau tidak mendatangkan value sama
sekali, sehingga tercipta organisasi yang lean. Keberhasilan Toyota juga
didasarkan pada kemampuan strategiknya dalam menumbuhkembangkan
kepemimpinan, tim dan budaya yang dipergunakan untuk mencetuskan strategi,
untuk membangun hubungan dengan pemasok dan untuk mempertahankan
bentuk organisasi yang selalu belajar atau
learning organization. Terdapat 14 prinsip yang dikelompokkan dalam empat
bagian (4P) yang membangun Toyota Way, yaitu:

1. Filosofi jangka panjang (Long-Term Thinking)

Prinsip 1. keputusan manajemen didasarkan pada filosofi jangka panjang


walaupun mengorbankan sesuatu untuk jangka pendek.

2. Lean Process (Eliminate Waste)

Prinsip 2. Ciptakan proses yang mengalir untuk mengungkapkan masalah.


Prinsip 3. Gunakan sistem tarik untuk menghindari produksi yang berlebih.
Prinsip 4. Heijunka, meratakan beban kerja.
Prinsip 5. Jidoka, hentikan jika terjadi masalah kualitas.

Prinsip 6. Lakukan standardisasi pekerjaan untuk peningkatan berkelanjutan. Prinsip


7. Gunakan alat kendali visual sehingga tidak ada masalah yang tersembunyi.
Prinsip 8. Gunakan hanya teknologi yang handal dan benar-benar teruji.

3. Kembangkan dan tantang orang-orang serta mitra anda melalui hubungan


jangka panjang. (People and Partners: Respect, Challenge and Grow Them)
Prinsip 9. Kembangkan pemimpin yang menjiwai dan menjalankan filosofi
Prinsip 10. Hormati, kembangkan, dan tantang orang-orang dan tim anda
Prinsip 11. Hormati jaringan mitra dan para pemasok dengan memberi
tantangan dan membantu mereka melakukan peningkatan.
4. Pemecahan masalah dan perbaikan terus-menerus
menggerakkan organisasi pembelajaran
Prinsip 12. Pembelajaran organisasi secara terus-menerus melalui Kaizen
Prinsip 13. Lihat dengan mata kepala sendiri agar lebih memahami situasi
dengan benar (Genchi Genbutsu).
Prinsip 14. Buatlah keputusan secara perlahan melalui konsensus, dengan hati-
hati mempertimbangkan semua kemungkinan dan implementasikan dengan cepat.

Prisnip-prinsip di atas telah diaplikasikan di berbagai industri manufaktur


yang telah berhasil mencapai contiunuous improvement (peningkatan kualitas
secara terus-menerus) dalam jangka panjang. Hal ini juga dapat diterapkan di
rumah sakit untuk mengidentifikasi masalah dalam upaya membangun coninuous
improvement di lingkungannya (Iswanto, 2014).

2.3.3 Prinsip Lean

Gasperz (2007) dalam bukunya yang berjudul Lean Six Sigma, menyatakan
bahwa terdapat lima prinsip dasar lean, yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Mendefinisikan nilai bagi konsumen

Value merupakan produk yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen pada


kualitas, harga dan waktu yang tepat. Nilai atau value hanya dapat ditentukan oleh
ultimate customer. Hal ini mempunyai maksud bahwa konsumen adalah pihak
yang
paling mengetahui nilai dari suatu produk, sehingga cara yang paling tepat untuk
menentukan value pada suatu produk ialah mengukurnya dari persepsi konsumen.
Dalam mempersepsikan nilai suatu produk, produsen dan konsumen memiliki
pandangan yang berbeda. Dari kaca mata produsen, nilai dari suatu produk atau
jasa ialah efisiensi bahan baku, waktu, tenaga, cost dan lain sebagainya. Akan
tetapi, dilihat dari kaca mata konsumen nilai suatu produk atau jasa ialah apabila
memiliki fungsi baginya, kecepatan dalam pengantaran, keindahan, ketahanan,
kualitas dan lain sebagainya.

Perbedaan persepsi tersebut yang menyebabkan adanya gap. Cara terbaik


ialah melihat value produk dari kacamata konsumen yang kemudian disesuaikan
dengan sudut pandang produsen berupa kemampuan ketersediaan sumber daya,
sehingga diharapkan tercipta produk atau jasa yang tepat dengan kebutuhan
konsumen namun tetap memperhatikan value bagi produsen dalam penyediaan
barang dan jasa tersebut.

2. Menetapkan value stream dan menghilangkan pemborosan

Gasperz(2011) mendefinisikan value stream sebagai semua kegiatan mulai


dari disain, permintaan dan menyediakan suatu produk mulai dari konsep sampai
dengan produk selesai, dari mulai permintaan sampai diterima oleh
konsumen.Selama proses value stream ini ada tiga jenis aktivitas yang
teridentifikasi, yaitu:
a. Value-Add, kegiatan-kegiatan atau proses yang menghasilkan nilai

b. Non-value add, tahap yang tidak menghasilkan nilai namun tidak dapat dihindari
dengan teknologi dan sumber daya yang ada (muda tipe 1 atau type 1 waste)
c. Non-value add, tahap yang tidak menghasilkan nilai dan bisa dihindari (muda tipe
2 atau type 2 waste).
3. Melakukan one piece flow

Flow/ aliran dalam prinsip lean dimaksud adalah kegiatan-kegiatan


sepanjang value stream yang dimulai proses disain sampai produksi diterima
konsumen tanpa ada hambatan, kesalahan dan pengulangan. Dengan
menggunakan value stream, akan terlihat pemborosan yang terdapat di berbagai
tahap produksi barang dan jasa. Proses yang mengalir disini sebagai inti dari
organisasi lean, yaitu mempersingkat waktu yang diperlukan mulai dari awal
produksi hingga menjadi suatu produk, memunculkan kualitas terbaik, biaya
rendah dan waktu pengiriman singkat dan tepat waktu.

Dalam lean, memunculkan permasalahan ke permukaan ialah hal yang


sangat penting. Masalah yang muncul di permukaan akan terlihat dengan jelas
dan segera dicari solusinya. Strategi yang diambil untuk memunculkan
permasalahan ke permukaan ialah dengan mengorganisasikan material, proses
dan sumber daya yang mengalir secara kontinyu.

Melalui aliran kontinyu, setiap ada masalah yang muncul, maka proses
akan dihentikan dan dicari solusi terhadap permasalahan tersebut. Sebagai
contoh, Toyota Manufacture dalam melakukan suatu proses produksi tidak
diperbolehkan adanya penumpukan barang setengah jadi di statsiun produksi
dalam jumlah berlebih. Apabila hal tersebut terjadi, maka proses akan terhenti dan
memaksa para pekerjanya untuk menyumbangkan ide, gagasan atau apapun
bentuknya untuk menemukan solusi tersebut sehingga kegiatan produksi dapat
berjalan kembali.
4. Menerapkan sistem tarik atau pull system

Terdapat dua pendekatan yang dipakau dalam sistem produksi untuk


melakukan perencanaan dan penjadwalan produksi. Pertama ialah product push
yang berarti perusahaan memproduksi sesuai dengan kemampuan atau kapasitas
produksi yang ada. Kedua ialah market pull, yang berarti suatu produk dibuat
berdasarkan jumlah dan jenis pesanan yang dibutuhkan oleh konsumen.

Sistem tarik sendiri memiliki konsep yang sejalan dengan market pull, yang
memiliki makna nilai tambah dalam proses pelayanan harus dilihat dari sudut
pandang dan kebutuhan konsumen. Segala sesuatu yang menurut pandangan
konsumen tidak memberi nilai tambah bagi kepuasan konsumen, maka sebaiknya
dieliminasi atau diminimalisasi.

5. Perbaikan Berkelanjutan (Continuous Improvement)

Proses perbaikan bukanlah suatu momen yang hanya sekali saja dilakukan
sepanjang hidupnya sebuah perusahaan. Perbaikan berkelanjutan perlu dilakukan
berulang secara terus-menerus sehingga membentuk suatu siklus. Keadaan
terakhir dari siklus pertama menjadi inisial tindakan bagi proses siklus kedua.
Dengan begitu perbaikan akan berproses secara terus-menerus dan dapat
ditemukan cara-cara terbaik seiring dengan timbulnya suatu perusahaan.
2.4 Penerapan Konsep Lean Hospital

Hal paling sederhana dan paling elegan mengenai lean, yang berasal dari
budaya Toyota menurut Graban (2016) dalam buku Lean Hospital edisi ketiga,
terdiri dari dua bagian yakni:

1. Total elimination of waste

Pemborosan, muda atau waste merupakan segala aktivitas yang tidak


membantu proses penyembuhan terhadap pasien. Semua pemborosan harus
dihilangkan atau diminimalisasi agar dapat menekan biaya rumah sakit,
meningkatkan kepuasan pasien serta meningkatkan keselamatan pasien dan
pegawai.

Contoh pemborosan yang sering terjadi di rumah sakit adalah sebegai berikut:

a. Waktu tunggu pasien untuk diperiksa dokter

b. Waktu tunggu pasien untuk tahap berikutnya

c. Adanya kesalahan yang membahayakan pasien

d. Pergerakan yang tidak perlu, contohnya letak apotek dan kasir yang jauh
2. Respect of people

Respect yang dimaksud dalam lean adalah memotivasi pegawai agar


melaksanakan pekerjaan menjadi lebih baik dan konstruktif. Respect of people
bermakna luas, bagaimana pimpinan berkomitmen dan mempercayai pegawainya
untuk ikut serta dalam membantu menyelesaikan masalah dan mengurangi
pemborosan, memotivasi pegawai agar lebih peduli terhadap pasien dan
lingkungan rumah sakit tanpa mereka merasa jenuh dan terpaksa, membangun
kerja sama antara pegawai pelaksana dan manajemen, sehingga tidak ada
anggapan bahwa manajemen mengatur sistem, menyelesaikan masalah,
membuat keputusan sedangkan pegawai pelaksana hanya melaksanakan
instruksi saja.

Jadi ketika konsep lean digunakan dalam industri kesehatan, elimination of


waste dan respect of people adalah respect kepada pasien, karyawan, dokter,
komunitas dan stakeholder rumah sakit serta lingkungannyam sehingga segala
tindakan yang diambil harus dapat diterima oleh semua yang terlibat.

Berikut adaah lima prinsip lean yang dapat diadaptasi dalam sistem
pelayanan rumah sakit.

Tabel 2.1 Prinsip-prinsip Lean di Rumah Sakit

No Prinsip Lean Hospital

Value Nilai secara spesifik harus dilihat dari sudut pandang konsumen akhir
(pasien)
2 Value Stream Identifikasi semua tahapan proses yang
memberikan nilai tambah pada semua dan lintas
Tabel 2.1 (lanjutan)

departemen, hilangkan tahapan-tahapan yang tidak memberikan nilai


3 Flow Menjaga proses berjalan lancar
dengan faktor-faktor
agar menghilangkan penyebab
keterlambatan, misalnya munculnya
masalah
kualitas layanan atau pengalokasian sumber daya
4 Pull Hindari mendorong suatu pekerjaan berdasarkan
ketersediaan sumber daya yang ada, biarkan suatu
proses jasa terjadi karena adanya kebutuhan atau
suatu permintaan dari pasien (sehingga efisien dan
sesuai dengan kebutuhan pasien)
5 Perfection
Kejar kesempurnaan pelayanan melalui perbaikan
berkelanjutan
Sumber: Graban (2011)

2.4.1 Penentuan Nilai (value)

Suatu kegiatan dapat dikatakan value added atau non-value added dilihat
dari berbagai perspektif, diantaranya produk, pasien, pegawai atau pemberi
pelayanan. Contoh kegiatan yang value added misalnya: dokter bedah melakukan
operasi kepada pasien, dilakukan pemeriksaan spesimen pasien di laboratorium
untuk mendukung diagnosa. Sedangkan kegiatan non-value added dalam dua
kegiatan tersebut adalah dokter bedah menunggu untuk keterlambatan prosedur
atau melakukan langkah- langkah yang tidak perlu, spesimen pasien menunggu
untuk dipindah sebagai satu batch.
2.4.2 Identifikasi Waste

Pemborosan atau waste, dalam bahasa Jepang disebut muda, yaitu segala
tindakan yang dilakukan tanpa menghasilkan nilai. Sebagai contoh dari bentuk
pemborosan adalah perbaikan yang dilakukan akibat adanya kesalahan, produksi

barang yang tidak diinginkan konsumen, penumpukan inventori di gudang, tahap


proses yang tidak terlalu dibutuhkan seperti menerima telepon saat bekerja,
pemindahan orang atau bahan yang tidak perlu dari satu tempat ke tempat lain,
menunggu akibat penghantaran yang tidak tepat waktu, menunggu akibat
terlambatnya tindakan dari dokter atau tim medis di rumah sakit dan seluruh
barang atau jasa yang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen.

Terdapat dua kategori pemborosan yang dibedakan menjadi type one and
type two waste dan “seven plus one” waste, sebagai berikut:

1. Type One and Type Two Waste

Terdapat dua kategori pemborosan atau waste atau “muda” dalam bahasa
Jepang, yang utama, yaitu pemborosan yang disebut dengan type one waste dan
type two waste.

a. Type One Waste

Type one waste merupakan aktivitas kerja yang tidak menciptakan nilai
tambah dalam proses transformasi input menjadi output yang pada saat ini belum
bisa dihilangkan karena berbagai alasan atau kita masih membutuhkan. Tipe
waste ini misalnya aktivitas inspeksi, penyortiran, dan pengawasan. Menurut lean,
contoh kegiatan-kegiatan tersebut tidak mendatangkan value added, namun pada
saat ini masih dibutuhkan untuk sebuah tujuan yang bersifat korektif. Dalam jangka
panjang waste tipe pertama ini harus dapat dihilangkan atau dikurangi.
b. Type Two Waste

Type two waste adalah aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan
dapat dihilangkan dengan segera mungkin. Kegiatan-kegiatan ini cenderung
menghasilkan produk cacat atau defect, pengerjaan berulang atau rework, atau
dapat pula kegiatan tersebut sering terjadi kesalahan atau error yang dapat
dihilangkan dengan segera. Suatu perusahaan dianggap lean apabila rasio waste
dengan total minimun telah mencapai 30%, jika belum mencapai 30% maka
perusahaan tersebut disebut sebagai unlean enterprise dan dimasukkan ke dalam
kategori perusahaan tradisional. Berikut konsep mengenai value added activity,
non value added activity (type one waste) dan waste (type two waste) pada
gambar 2.2.

Value
added
activity
Non value Waste (Type
added 2)
activity (Type
1)

Gambar 2.2 Konsep Rasio Antara Value Added Dengan Waste Pada Un-Lean
Enterprise

Sumber: Lean Six Sigma, Vencent Gasperz, 2007

Dari gambar tersebut di atas, terlihat bahwa unlean enterprise memiliki


value to waste ratio masih berada di bawah 30%. Oleh karena itu, lean bertujuan
meningkatkan secara terus menerus customer value melalui peningkatan terus-
menerus rasio the value to waste, yang merupakan rasio antara nilai tambah (real
value to customer) terhadap waste (type one waste ditambah dengan type two
waste).

2. “Seven plus One” Type of Waste

Taiichi Ohio, seorang eksekutif Toyota merupakan orang pertama yang


mencetuskan tujuh macam pemborosan. Kemudian Linker (2004) menambahkan
satu jenis pemborosan pada tujuh macam pemborosan tersebut. Pemborosan
tersebut kemudian dikenal dengan “Seven plus One”, berikut berbagai macam
waste yang dimaksud terurai dalam Tabel 2.2:

Tabel 2.2“Seven plus One” Type of Waste

Type Waste Root Causes (Akar Penyebab)

1 Overproduction/Produksi Berlebih:
Memproduksi lebih daripada kebutuhan Ketiadaan komunikasi, sistem balas
pelanggan internal dan eksternal atau jasa dan penghargaan yang tidak
memproduksi lebih cepat atau lebih awal tepat, hanya berfokus pada
daripada waktu kebutuhan pelanggan kesibukan kerja, bukan untuk
internal dan eksternal. memenuhi kebutuhan pelanggan
internal dan eksternal

2 Delays (Waiting Time): Keterlambatan mesin, peralatan, bahan baku, supplies,


yang tampak melalui orang-orang yang pemeliharaan/perawatan (maintenance),
sedang menunggu dll; atau mesin-mesin yang sedang
menunggu perawatan, orang-orang, bahan
baku dan peralatan, dll. Inkonsistensi metode kerja, waktu
penggantian produk yang panjang
(long changeover times), dll.

3 Transportation/Transportasi yang
Berlebihan: Tata letak yang jelek (poor layout),
Memindahkan material atau orang dalam ketiadaan koordinasi dalam proses,
jarak yang sangat jauh dari satu proses ke poor housekeeping, organisasi
proses berikut yang dapat mengakibatkan tempat kerja yang jelek (poor
waktu penanganan material bertambah. workplace organization), lokasi
penyimpanan material yang banyak
dan saling berjauhan
Tabel 2.2 (lanjutan)
Waste Root Causes (Akar
Penyebab) (multiple and long distance
storage locations).

4 Processes/Proses Keliru atau Berlebihan:


Mencakup proses-proses tambahan atau Ketidaktepatan penggunaan
aktivitas kerja yang tidak perlu atau tidak peralatan, pemeliharaan peralatan
efisien. yang jelek (poor tooling
maintenaces),
gagal
mengombinasikan operasi-operasi
kerja, proses kerja dibuat serial
padahal proses- proses itu tidak
saling tergantung satu sama lain
yang seyogyanya dapat dibuat
paralel.

5 Inventories/Persediaan Berlebih: Pada


dasarnya inventories menyembunyikan Peralatan yang tidak andal (unreliable
masalah dan menimbulkan aktivitas equipment), aliran kerja yang tidak
penanganan tambahan yang seimbang (unbalanced flow), pemasok
seharusnya tidak diperlukan. yang tidak kapabel (incapable
Inventories juga suppliers), peramalan kebutuhan yang
mengakibatkan extra paperwork, extra tidak akurat (inaccurate forecasting),
space dan extra cost. ukuran batch yang besar (large bath
size), long changeover times.

6 Motions/Gerakan yang tidak perlu: yang tidak menambah nilai kepada


Setiap pergerakan dari orang atau mesin barang dan jasa yang akan diserahkan
kepada pelanggan, tetapi hanya menambah
biaya dan waktu saja. Organisasi tempat kerja yang jelek
(poor workplace organization), tata
letak yang jelek (poor layout),
metode kerja yang tidak konsisten
(incosistent work methods), poor
machine design

7 Defective Product/Produk cacat:


Scrap, rework, customer returns, customer Incapable processes, insufficient
dissatisfaction training,
ketiadaan prosedur-prosedur operasi
standar.

8 Defective Design:
Disain yang tidak memenuhi kebutuhan Kreativitas karyawan yang
pelanggan, menambah features yang tidak tidak dimanfaatkan,
perlu. over design.
34

Sumber: Lean Six Sigma for Manufacture and Service Industries, Gasperz, 2007

Gasperz (2007) mendeskripsikan waste yang lebih spesifik pada bisnis service

diantaranya ialah sebagai berikut

1. Confusionakibat ketidakjelasan regulasi atau SPO yang berdampak pada

errors atau kesalahan pada dokumen.

2. Transport of document seperti rekam medis pasien yang hilang atau belum
dikembalikan dari ruang rawat inap.
3. Doing unnecessary work (motion not requested) seperti menelepon saat
melakukan pekerjaan di ruang IGD.
4. Waiting for the next process stepyaitu kegiatan mengantri atau menunggu dokter.
5. Inventory yaitu kurangnya atau lebihnya stok obat di gudang farmasi.

6. Defects (cacat) seperti perawat yang melakukan pekerjaan berulang seperti


mengukur tekanan darah akibat tidak fokus atau salah baca tensimeter.
7. Overproduction seperti kesalahan saat mengisi status pasien di dokumen rekam
medis.
8. Underutilized employees yaitu adanya pegawai yang bekerja tidak sesuai dengan
latar belakang pendidikannya.

Universitas Respati Indonesia


35

Tabel 2.3 Pemborosan dalam Pelayanan Kesehatan

Waste Definisi Contoh Penyebab Perbaikan


Confusi Orang Beberapa Kurangnya Seluruh aktivitas
on aktivitas standarisasi
melakukan atau pekerjaan dalam spesifikasi dalam proses
suatu kerja
pekerjaan dilakukan denganaktivitas dalam harus diperjelas
tanpa proses
kepercayaan cara yang kerja. dan spesifik.
diri berbeda
untuk oleh orang yang
mengerjakanny berbeda.
a
dengan cara Tidak menggunakan
yang
terbaik. Ketidakjelasan bahasa yang lebih
pengiriman RM. mudah untuk
dimengerti. Tanda-tanda
yang
Ketidakjelasan jelas harus
rute dapat

Universitas Respati Indonesia


36

Tabel 2.3 (lanjutan)


Waste Definisi Contoh Penyebab Perbaikan
proses Pegawai hanya memicu
administrasi
medis. mengandalkan keseragaman
ingatan
atau memori dalam aktivitas kerja.
Ketidakjelasan melakukan tugas.
sistem
tarif dalam
pembayaran.

Motion Pergerakan Mencari-cari Ketidak- Sistem TI harus


konsistensian
orang atau informasi. informasi (termasuk cocok sesuai
aktivitas kerja cara komunikasi) kebutuhan yang
yang tidak Mencari-cari diminta.
bahan
bersifat value dan orang. Stok material yang
added. tidak cocok dengan Sistem
komunikasi
Materials dan kebutuhan yang reliable.
tools permintaan.
terletak jauh dari
tempat proses Ketersediaan
kerja aliran
berlangsung. Schedule yang material harus
dibuat
masih berupa cocok dengan

Universitas Respati Indonesia


37

“workaround” atau kebutuhan saat


ini.
rework”

Penjadwalan
yang
konsisten sesuai
dengan
kebutuhan
permintaan.

Waiting Waktu tunggu Menunggu pekerjaRendahnya Penjadwalan


pemahaman yang
terjadi apabila yang sedang mengenai kapan bersifat “right
rapat, now
pelaksana, melakukan dibutuhkan waktu scheduling”
yang
informasi, pembedahan, tepat untuk
melakukan
peralatan atau prosedur lain atau suatu pekerjaan
bahan-bahan membuat laporan. tersebut.
belum Fewer meetings:
tersedia.
Pasien menunggu Kalkulasi waktu pekerjaan
yang
janji dokter, tidak pas untuk terselesaikan
pada
kunjungan MD, pengiriman barang. fokus group
dan yang
prosedur lain. kecil
Delay yang
bercampur-

Universitas Respati Indonesia


38

campur dan Matching


menumpuk.
capabilities
antara
Sistem penjadwalan permintaan
dengan
yang tidak responsif layanan atau
terhadap pekerjaan supply.
yang diminta.

Processi Aktivitas- Klarifikasi Layout area kerja Layout area


ng aktivitas pemesanan. tidak kerja didisain
yang mempromosikan ulang
aliran
tidak value kerja yang dengan alur
kerja
added dari Informasi yang berkelanjutan. yang kontinyu.
perspektif berlebihan.
pasien
maupun Aliran kerja yang Sistem

Universitas Respati Indonesia


39

Tabel 2.3 (lanjutan)

Waste Definisi Contoh Penyebab Perbaikan


customer lain. RM yang hilang. kompleks pada pendistribusian
pengiriman alat dan yang
Regulatory bahan medis dari konsisten
untuk material
dan
paperwork. farmasi. informasi.

Form yang Form pada


kompleks dan dokumen
rangkap-rangkap. hanya
memuat hal-
hal esensial
Inventor Banyaknya Stok berlebih yang
Permintaan akan
y pada diperlukan
suatu
saja.
Supply harus
tepat
material yang kebutuhan medis. barang tidak sesuai
berlebih dipahami dengan kebutuhan,
daripada Stok berlebih benar. tidak lebih
yang pada tidak
dibutuhkan kurang.
untuk gudang.
melakukan Supply yang
suatu melewati
pekerjaan.
yanggal jatuh Menjaga

Universitas Respati Indonesia


40

tempo tidak kestabilan


dihapuskan. inventory
sesuai
kebutuhan.
Preferensi personal
terduplikasi/tidak
terpenuhi. Memahami
preferensi
individu

Defects Pekerjaan yang Medication error. Kurangnya Definisi yang


mengandung pemahaman jelas dan
kesalahan atau Rework atau mengenai apa yang memahami
dinamakan “Bebas sepenuhnya
ketidak- pekerjaan Cacat” tentang apa itu
lengkapan berulang. “Bebas Cacat”.
dalam Kurangnya
menyelesaikan Hasil kerja yang spesifikasi
suatu bermacam- pada proses kerja. Masing-masing
pekerjaan. macam atau memahami
bervariasi. dengan jelas
apa yang
Charges atau disebut dengan
billing Bebas Cacat
yang tidak sesuai. dengan
sebenar-
Malpraktik benarnya mulai
dalam dari sekarang.
pembedahan.

Universitas Respati Indonesia


41

Tabel 2.3 (lanjutan)

Waste Definisi Contoh Penyebab Perbaikan


jelas dalam
hasil.

Over- Pekerjaan Duplicate charting Misinterpretasi Pembuatan


Productio yang peraturan. regulasi
n berlebihan dengan
Beberapa form interpretasi yang
mengandung Rendahnya jelas.
informasi yang komunikasi/
sama koordinasi
antar departemen
atau
Kopian laporan bagian.
yang
terkirim secara
otomatis
Ketidakjelasan Sistem (baik
spesifikasi elektronik
mengenai maupun
siapa yang cetak) yang
membutuhkan dan disampaikan ke
apa
yang dibutuhkan. pasien tidak
berlebihan.

Sistem
komputerisasi
tidak terhubung.
42

Sumber: A3 Problem Solving for Healthcare: A Practical Method for Eliminating


Waste, oleh Cindy Jimmerson, 2007.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,pemborosan-pemborosan tersebut


dapat dihilangkan secara langsung dengan segera (type two waste), ada pula
yang belum dapat dihilangkan pada saat itu juga (type one waste). Kegiatan yang
dianggap waste dan masih diperlukan atau non value added activity, seperti
misalnya inspeksi berulang oleh apoteker atau asistennya terhadap pemberian
obat kepada pasien, kegiatan ini memang masih diperlukan untuk mencegah
terjadinya suatu kesalahan. Akan tetapi, dalam pemikiran lean hal tersebut
merupakan tantangan untuk menemukan cara untuk mencegah error. Sebaiknya
rumah sakit tidak menghilangkan tahapan inspeksi hingga error proofing
diterapkan. Jika sistem penerapan error proofing tersebut tidak efektif 100%, maka
tahapan inspeksi tetap harus dilakukan untuk melindungi pasien.

Ada pula non value added activity yang menyebabkan kegiatan menjadi sangat
tidak produktif, misal waktu tunggu, produk cacat, pengulangan pekerjaan yang
tidak diperlukan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak hanya mengandalkan data
dari laporan, melainkan harus turun ke lapangan secara langsung untuk melihat
kondisi yang sebenarnya sebagai bentuk cara untuk memetakan pemborosan-
pemborosan yang ada.

2.4.3 Value Stream Mapping

Value stream mapping merupakan diagram terstruktur atau suatu metode


yang dipakai dalam melakukan pemetaan berkaitan dengan aliran produk dan
aliran informasi mulai dari pemasok, produsen dan konsumen dalam suatu gambar
utuh meliputi semua proses suatu sistem (Farrell, 2007). Awalnya VSM ini dipakai
oleh Toyota pada tahun 1980-an sebagai suatu alat yang disebut dengan Material
and Information Flow Mapping.VSM mampu memvisualisasikan aliran produk dan
mengidentifikasi waste. Selain itu, VSM membantu dalam kegiatan
memprioritaskan masalah yang akan diselesaikan. Lama waktu yang dibutuhkan
43

oleh setiap tahapan aktivitas dalam proses produksi dapat diidentifikasi oleh VSM,
termasuk pula waktu tunggu diantara setiap proses.

Tujuan dari pemetaan ialah untuk mendapatkan suatu gambaran utuh


mengenai waktu dan setiap tahap kegiatan dalam proses, sehingga dapat terlihat
jelas dan dapat diketahui kegiatan yang merupakan value adding dan kegiatan
yang non value adding. Pada gambar di bawah ini adalah contoh value stream
mapping pada perusahaan industri dan pelayanan kesehatan di rumah sakit
sebelum dan sesudah menggunakan konsep lean.

Gambar 2.3 Contoh Value Stream Mapping pada Manufacture Industry

Sumber: https://www.epa.gov/lean/lean-chemicals-toolkit-chapter-3

VSM mengidentifikasi berapa lama waktu yang dibutuhkan pasien dari


mulai datang sampai dengan selesai terutama jumlah waktu tunggu diantara
setiap proses, sehingga dapat mengetahui gambaran utuh (Big Picture mapping)
waktu proses dan kegiatan yang value added dan non value added di rumah sakit.
44

VSM yang berperan dalam konteks lean secara keseluruhan adalah:

1. Tentukan nilai dari pandangan pelanggan

2. Memetakan keadaan Value Stream Mapping saat ini


3. Menerapkan alat-alat lean untuk mengidentifikasi waste dalam aliran nilai saat ini
4. Memetakan proses Value Stream Mapping masa depan
5. Mengembangkan rencana transisi
6. Melaksanakan rencana tersebut
7. Validasi proses baru
8. Continuous Improvement

Gambar 2.4 Contoh Value Stream Mapping pada Pelayanan Kesehatan

Sumber: Murrel (2011) dalam Applying Lean: Implementation of A Rapid Triage


and Treatment System
45

2.4.4 Diagram Alir Proses (Flowchart)


Diagram aliran berfungsi untuk memudahkan kita dalam melakukan
perbaikan-perbaikan terutama terkait dengan tata letak dan arus aliran yang
berguna untuk mencegah kemacetan dan dipakai untuk menemukan susunan tata
ruang baru yang paling efisien atau ekonomis jika ditinjau dari segi jarak dan
waktu. Flowchart merupakan suatu diagram menurut skala dari susunan lantai dan
gedung yang menunjukkan lokasi dari semua aktivitas yang terjadi dalam Peta
Aliran Proses (Spaghetti Diagrams). Aktivitas yang dimaksud dalam Peta Aliran
Proses tersebut ialah pergerakan suatu material atau orang dari suatu temoat ke
tempat berikutnya yang dinyatakan oleh garis aliran, dibantu dengan anak panah
kecil yang menunjukkan arah suatu aliran proses dalam diagram tersebut.

Gambar 2.5 Diagram Spaghetti


Sumber: Mortland Planning and Design, Chicora, PAUsed with permission dalam
buku Lean Hospitals edisi ketiga oleh Graban (2016)
46

2.4.5 Cross Functional Flowchart

Flowchart merupakan penggambaran secara grafik dari proses yang ada


atau proses yang baru saja diusulkan dengan menggunakan simbol-simbol
sederhana,garis-garis dan kata-kata untuk menampilkan kegiatan dari urutan
dalam proses tersebut. Flowchart standar atau flowchart biasa yang sering kita
temui tidak meiliki kemampuan untuk menunjukkan siapa yang bertanggung
jawab atau suatu tahapan proses, juga tidak mampu menunjukkan keterkaitan
pihak-pihak pelaku proses tersebut. Sebuah flowchart khusus dibutuhkan untuk
menggambarkan perjalanan proses dan siapa-siapa saja yang bertanggung
jawab dalam proses tersebut.

Bentuk flowchart ini menunjukkan hubungan antara proses bisnis dan fungsi
setiap Instalasi departemen yang bertanggung jawab terhadap proses tersebut
(Dickson, 2009).

Gambar 2.6 Contoh Cross Functional Flowchart

Sumber: http://www.rff.com/cross-functional-template.htm
47

Cross functional flowchart merupakan suatu tool idea untuk menunjukkan


secara jelas aliran proses dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi delay,
langkah yang berulang (rework), stasiun inspeksi yang berlebihan dan tahapan
yang

berpotensi menimbulkan kegagalan sistem. Cross functional flowchart dapat dibuat


secara vertikal maupun horizontal tergantung fokus penjabaran proses yang akan
ditampilkan.

2.4.6 Value Added Assessment (VAA)

VAA atau Value Added Assessment merupakan suatu bentuk analisis


terhadap setiap aktivitas dalam proses bisnis yang dipergunakan untuk
menentukan kontribusinya dalam memenuhi pelanggan terakhir atau ultimate
customer. Objek utama dari VAA ialah mengenai bagaimana mengoptimalkan
aktivitas-aktivitas yang bersifat value added dan atau non value addedbut
necessary, serta mengurangi atau menghilangkan segala aktivitas yang bersifat
non value added atau waste. Outcome yang diharapkan dari analisis VAA ini
adalah meningkatnya rasio antara value added activity terhadap waste, atau
dengan kata lain meningkatnya proporsi aktivitas yang menambah value dan
menurunnya proporsi segala aktivitas yang mengandung pemborosan.

2.5 Metode Lean

Lean memiliki makna lebih dari sekedar alat. Lean mengakar secara lebih
luas yaitu sebagai sebuah filosofi dan konsep yang dipakai untuk mengeliminasi
waste atau pemborosan. Akan tetapi, lean juga membutuhkan tools lain untuk
membantu dalam pengimplementasiannya. Metode atau alat yang dapat dipakai
menerapkan lean di rumah sakit ialah visual management, 5S ,kanban dan kaizen.
48

2.5.1 Visual Management

Bentuk lain dari visual management ialah standardisasi kerja, yaitu


merupakan seperangkat alat yang dapat membantu memperlihatkan masalah,
peringatan, peraturan dan lainnya dalam waktu yang cepat. Tujuannya ialah
membuat waste, masalah dan kondisi abnormal menjadi terlihat oleh manajer
maupun pegawai sehingga segera dicari solusinya. Tujuan visual management
ialah untuk mengurangi defisit informasi di tempat kerja. Kelangkaan informasi
akan menyebabkan orang banyak bertanya sehingga menimbulkan banyak
pertanyaan yang berulang. Bentuk dari visual management dapat berupa segala
sesuatu yang terdokumentasikan sehingga siapapun dapat mengakses informasi
tanpa harus mendapat penjelasan dari suatu pihak, misalnya seperti kartu, form,
atau papan pengumuman. Di rumah sakit, bentuk visual management dapat
berupa petunjuk arah, daftar dokter, daftar fasilitas dan lain sebagainya.

1. 5S

5S merupakan konsep dasar yang dikembangkan pada manufaktur di


Jepang, terutama Toyota, telah berhasil menjadikan sebuah sistem kerja menjadi
lean. Lima S merupakan kumpulan metode untuk membuat tempat kerja menjadi
teratur sehingga semua barang dapat ditemukan dengan mudah dan masalah
yang muncul dapat segera diatasi. John Touissant, CEO ofThedaCare Health
System (Wisconsin) memperkirakan perbaikan dengan 5S telah mengurangi
jumlah pemborosan waktu rata-rata seorang perawat yang memiliki shift kerja 8
jam, dari 3,5 jam sehari menjadi
49

hanya 1 jam setiap harinya (Graban, 2016). Di Indonesia, istilah 5S ini dikenal
dengan sebutan 5R (ringkas, rapi, resik, rawat dan rajin). Lima S tersebut adalah
sebagai berikut:

a. Seiri/Sort/Ringkas

Pemilahan barang dalam hal pengelompokan barang ke dalam kelompok


yang diperlukan dan yang tidak diperlukan.

b. Seiton/Store/Rapi

Dipakai dengan tujuan agar barang-barang yang diperlukan tersedia dalam


jumlah yang cukup, tertata rapi, mudah ditemukan, mudah dikembalikan serta
menjaga agar tidak rusak. Mengatur penempatan barang-barang sesuai dengan
frekuensi penggunaan.

Penyimpanan Barang Berdasarkan Frekuensi Penggunaan

Frekuensi Penggunaan Pedoman Penyimpanan

Per jam (hourly) Terjangkau tangan

Setiap shift (every shift) Cukup dengan berjalan sedikit


Harian (daily) Berjalan agak jauh

Bulanan (monthly) Ruang penyimpanan departemen

Tahunan (anually) Ruang penyimpanan rumah sakit


50

Sumber: Graban (2016)

Semakin sering suatu alat atau barang digunakan, maka penempatannya di


tempat yang paling mudah untuk dijangkau. Hal ini untuk mengurangi pemborosan

waktu, sehingga tenggang waktu yang diperlukan untuk pengambilan menjadi


lebih cepat.

c. Seiso/Shine/Resik

Merupakan kegiatan untuk menjaga kebersihan tempat kerja pada setiap


harinya, dapat pula berupa menghilangkan kotoran dan debu yang menempel
pada barang-barang. Akan tetapi, tidak sebatas hal tersebut, dapat pula berarti
pemeriksaan dan inspeksi.

d. Seiketsu/Standardize/Rawat

Setelah ringkas, rapi dan resik, maka diperlukan rawat agar ketiga proses
sebelumnya dapat terjaga dengan baik sehingga membuat standar kerja. Hal ini
dapat dilakukan dengan memberi tanda atau bentuk peraturan, sehingga apabila
segala sesuatu yang ada di lingkungan kerja terjadi masalah atau tidak sesuai
dengan standar kerja dapat langsung terlihat.

e. Shitsuke/Sustain/Rajin

Rajin dalam hal ini dapat berupa pula suatu pembiasan dan disiplin dalam
melakukan pekerjaan sesuai prosedur dan standar yang berlaku. Hal yang
membuat orang tidak disiplin ialah: tidak tahu, tidak mau atau lupa. Sehingga
dibutuhkan elemen penerapan disiplin: paham peraturan, paham hak perusahaan
dan taat pada peraturan. Tujuannya adalah agar pelaksanaan 5S tetap
berkelanjutan, sehingga perlu dibangun rencana masa depan agar sistem kerja
dapat terus dikembangkan.

Evaluasinya dapat berupa audit dan diskusi kelompok yang kelompok yang
dilakukan secara periodik.

2.5.2 Kanban
51

Kanban merupakan metode yang dibangun berdasar konsep standardisasi


kerja, 5S dan visual management yang memberikan rumah sakit metode yang
efektif dan sederhana untuk mengelola persediaan/ inventory (Aiken,
2002).Kanban merupakan istilah dalam bahasa Jepang yang memiliki arti kartu
atau tanda dan biasanya dalam bentuk tanda fisik yang menunjukkan kapan
waktunya untuk memesan barang, dari siapa dan berapa banyaknya. Akan tetapi
untuk saat ini, mempunyai perluasan makna yang dapat pula berupa tanda
elektronik melalui sistem komputer.

2.5.3 Error Proofing

Error proofing bukan merupakan suatu teknologi khusus, namun lebih


berupa sebuah mindset atau pendekatan yang membutuhkan kreativitas dari
disain peralatan, disain proses atau yang mengelola proses. Error proofing dapat
pula didefinisikan sebagai suatu perangkat metode yang dipakai dalam mencegah
cacat yang bekerja secara otomatis dan murah. Metode ini memeriksa hasil setiap
proses dan setiap waktu untuk menentukan apakah kualitas dapat diterima
ataukah terdapat cacat yang tidak dapat diterima.

Tipe error proofing adalah sebagai berikut:

a. Membuatnya agar tidak mungkin untuk membuat kesalahan

Idealnya error proofing efektif 100% mencegah kesalahan. Misalnya di


rumah sakit, beberapa regulator dan jalur gas memiliki pin dan indeksi yang
mencegah pengguna menyambungkan ke jalur yang salah.

b. Membuatnya lebih sulit untuk membuat kesalahan

Sebagai contoh, untuk membantu memastikan perawat mengambil obat


yang benar dan sesuai dengan kebutuhan pasiennya melalui upaya dibuatnya
kabinet penyimpanan otomatis.

c. Membuat agar kesalahan yang terjadi menjadi jelas


52

Melalui pembuatan label pada setiap barang yang sudah disiapkan untuk
didistribusikan sesuai dengan nomor distribusi dan alamat instalasi yang dituju
untuk pendistribusian obatnya maka akan mengurangi terjadinya kesalahan dalam
proses kerja.

d. Membuat sistem yang kuat, sehingga tidak mentolerir pelaksanan yang melakukan
kesalahan

Misalnya segala keputusan dalam kegiatan dipercayakan oleh karyawan


untuk meningkatkan tanggung jawab dan kreativitas berpikirnya. Akan tetapi,
karyawan tidak akan bisa mengakses segala hal yang menimbulkan risiko potensi
masalah karena sudah dibatasi oleh sistem yang menjadi dinding agar segala
keputusan tetap berjalan pada koridor yang diizinkan oleh rumah sakit.

2.5.4 Kaizen

Kaizen berarti Continuous Improvement, yaitu perbaikan terus-menerus.


Konsep kaizen diasumsikan bahwa hidup kita (kerja, sosialisasi, berumah-tangga)
seharusnya berusaha untuk terus-menerus mengalami perbaikan. Perubahan
dalam kaizen tidak dramatis, tetapi sedikit demi sedikit dan bertahap serta
membutuhkan waktu untuk berubah. Kaizen merupakan payung bagi semua
manajemen mutu yang berorientasi kepada pelanggan. Langkah-langkah dalam
kaizen adalah:

1. Menentukan dan mendefinisikan tujuan

2. Tentukan keadaan proses saat ini

3. Menentukan syarat proses

4. Periksa efektivitas perbaikan


53

5. Dokumentasikan dan standarisasi proses perbaikan

6. Lanjutkan siklus
2.6 Hasil-hasil Penerapan Lean di Rumah Sakit

Beberapa contoh keberhasilan lean yang terbukti dalam meningkatkan


efektivitas dan efisiensi kinerja rumah sakit, diantaranya sebagai berikut:

1. Penurunan turn around time hasil laboratorium klinis sebesar 60% pada
Alegent Health, Nebraska (Graban, 2011).
2. Penurunan dekontaminasi dan cycle time sterilisasi alat-alat sampai 70% pada
Kingston General Hospital, Ontario (Graban, 2011).

3. Penurunan angka kematian pasien berkaitan dengan infeksi saluran darah sampai
dengan 95% pada Allegheny Hospital, Pennsylvania (Graban, 2011).
4. Pengurangan waktu tunggu pasien untuk bedah orthopedic dari 14 minggu
menjadi 31 jam pada ThedaCare, Wisconsin (Graban, 2011).
5. Peningkatan surgical revenue sebesar USD 808.000 per tahun pada Ohio Health,
Ohio (Graban, 2011).
6. Pengurangan LOS sebesar 29% dan terhindari USD 1,25 juta dalam
pembangunan Instalasi gawat darurat baru pada Avera McKennan, South Dakota
(Graban, 2011).
7. The Mental Health Center of Denver, dengan hasil: kenaikan jumlah pasien baru
27%, berkurangnya jadwal perjanjian ulang pasien dari 12% menjadi 14%,
penambahan 187 pasien tanpa menambah pegawai baru serta mengurangi biaya
hingga $ 90.000-100.000 untuk pegawai dan fasilitas (Graban, 2011).

2.7 Landasan Teori

Berangkat sebuah konsep yang telah dipaparkan di atas yang menyatakan


bahwa lean merupakan metode paling kuat di dunia (Graban, 2016) sebab tidak
ada satu pendekatan yang lebih unggul dari pendekatan lean.
54

Dalam rangka mencapai keberhasilan suatu organisasi untuk meningkatkan


kualitas melalui customer satisfaction, profit, cash dan competitiveness, dengan
55

berbagai tools pengukuran, maka landasan teori yang menjadi acuan pada penelitian
ini tergambar seperti berikut.

Penerapan lean pada


aspek:
Speed
Quality
Flexibility
Efficiency

Dengan menggunakan
parameter Quality, Cost,
Delivery, Safety/Service,
Morale

Keberhasilan penerapan lean dapat


meningkatkan:

- Customer satisfaction
- Profits
- Cash
- Competitiveness

Gambar 2.7Landasan Teori Mengenai Konsep Penerapan Lean dalam


Meningkatkan Ketercapaian Tujuan Suatu Organisasi

Universitas Respati Indonesia


56

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Permasalahan di Instalasi Gawat Darurat

5.2.1 Value Stream Map IGD

Tujuan dari lean adalah membuat sistem menjadi efektif dan efisien dengan
menghilangkan waste yang tidak menambah value kepuasan pelanggan.
Berdasarkan value stream map pelayanan gawat darurat di RSU Sari Mutiara
Lubuk Pakam, pasien mengeluhkan tidak tersedianya ruang tunggu yang memadai
dimana pasien harus berdiri sambil mengantri. Hal ini juga ditemukan oleh
Willoughby et al (2010) dimana hampir setengah pasien IGD mengeluhkan
pentingnya ruang tunggu yang nyaman di rumah sakit. Berdasarkan Permenkes
No. 24 tahun 2016, setiap rumah sakit harus memiliki ruang tunggu dengan
kapasitas yang memadai dan harus dipisahkan ruang tunggu untuk pasien dengan
penyakit menular.
Kemudian, kurang sesuainya kapasitas tempat kerja dengan beban dan
keergonomisan petugas. Hal ini dibuktikan dengan ventilasi yang tidak sesuai
dengan K3, ruang IGD yang terlalu sempit sehingga tidak dibedakan antara ruang
tindakan dengan ruang resusitasi/ observasi. Agustiningsih (2011) juga
menemukan permasalahan yang serupa di RS Karya Bhakti Depok yaitu
kurangnya kesadaran rumah sakit terhadap pentingnya K3 dalam mengelola
ruangan seperti tidak adanya ventilasi di ruangan manajemen dengan alasan
bahwa ruangan itu memiliki AC sehingga tidak terlalu mempengaruhi pegawai.
Di IGD, petugas tidak memberikan label triase (merah, kuning, hijau) untuk
membedakan tingkat kegawatan pasien. Hasil penelitian Asmono (2014) bahwa
faktor penyebab tidak diberikannya label triase pada pasien adalah karena
petugasnya

Universitas Respati Indonesia


57

tergesa-gesa dan Prosedur Tetap IGD terkait pemberian label triase yang tidak
dijalankan.
Di layanan penunjang (laboratorium/radiologi), pasien diberikan tindakan
sesuai dengan surat pengantar yang dituliskan oleh dokter IGD. Setelah diperiksa,
pasien akan membawa hasilnya ke IGD dan dokter akan melakukan justifikasi.
Secara umum, untuk alur pelayanan gawat darurat yang tepat sesuai dengan
standar indikator mutu rumah sakit adalah kurang dari 5 menit. Respons time
adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pertolongan sejak
memasuki pintu IGD (Kepmenkes, 2009) dengan waktu ideal ≤ 5 menit.
Apabila manajemen dan SPO di rumah sakit tersebut tidak jelas, tentu

Universitas Respati Indonesia


58

mustahil untuk mewujudkan visi dan tugas dari IGD itu sendiri.

Selanjutnya, tentang tata ruang bangunan standar IGD juga harus sesuai dengan
Pedoman Bangunan IGD yang ditetapkan oleh Kepmenkes No. 856 Tahun 2009.
Hakikatnya, sesuai dengan UU No. 44 tahun 2009 pasal 10 menyebutkan bahwa
ruang IGD memiliki pintu masuk tersendiri atau pintu masuk ke area IGD terletak
pada pintu masuk yang pertama kali ditemui oleh pengguna kendaraan untuk
memasuki area rumah sakitseperti yang terlihat di bawah ini.

Gambar 5.1 Contoh Lokasi Bangunan Ruang Rawat IGD sesuai UU No. 44
tahun 2009
Sumber: UU No. 44 Tahun 2009

Universitas Respati Indonesia


59

Berdasarkan peraturan, letak loket pendaftaran dengan ruang UGD/IGD haruslah


berdekatan. Iswanto (2014) menyatakan apabila jarak lokasi IGD jauh dengan
loket pendaftaran, sebaiknya rumah sakit membuat loket pendaftaran khusus
untuk pasien IGD. Modifikasi ini dilakukan di RSIA Kemang Medical Care,
sehingga berhasil meningkatkan indeks kepuasan pasien dari 76% menjadi 87%.

5.2.2 Waste yang terjadi selama proses pelayanan gawat darurat

Contoh yang biasanya terjadi adalah pada bagian pendaftaran, tidak ada
ruang tunggu yang memadai sehingga pasien harus berdiri sambil mengantri di
depan pintu IGD. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dickson (2009) pada 4
rumah sakit sekaligus, mengemukakan bahwa diantara 4 rumah sakit yang
ditelitinya, terdapat 2 rumah sakit dengan ruang tunggu pasien IGD yang tidak
memadai. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran dari pihak rumah sakit untuk
memfasilitasi pasien. Selain itu, tidak ada penunjuk arah yang menjadi acuan
pasien untuk menuju ke satu lokasi ke lokasi lain. Di loket pendaftaran, juga tidak
ada banner atau brosur yang memberikan informasi pelayanan atau dokter.
Rundolph (2010) menyatakan bahwa antrian pasien yang tidak normal
menyebabkan proses kerja menjadi sangat sibuk dan memunculkan
permasalahan. Antrian yang tidak efisien akan berdampak pada proses pelayanan
RS secara luas, kualitas dan keselamatan layanan serta pendapatan RS. Hasil
penelitian Sutriningsih (2015) menemukan bahwa waktu tunggu pasien untuk
mendapatkan tindakan medis di ruang IGD di 3 rumah sakit di Malang, hanya
sebagian yang sudah sesuai standar yaitu 77,5% sedangkan yang tidak sesuai
standar 22,5%. Efe (2016) mengemukakan

Universitas Respati Indonesia


60
bahwa rumah sakit dengan minim informasi akan menghasilkan waste lebih
banyak pada setiap aspek pelayanan di rumah sakit.
Petugas juga tidak senantiasa memberikan label triase pada pasien
maupun tempat tidurnya. Hal ini juga ditemukan pada penelitian Savitri (2015) di
RS Mata “Dr Yap” Yogyakarta dimana petugas IGD tidak memberikan label triase
adalah karena petugas terburu-buru. Berbeda dengan penelitian Mahendra (2011),
sebelum petugas memberikan label triase, rumah sakit mengalami banyak kendala
antara lain dokter kesulitan untuk memberikan justifikasi. Namun setelah
pemberian label triase dan pengelompokan map rekam medis berdasarkan tingkat
kegawatannya, masalah tersebut dapat diatasi.
Selain itu, pada departemen rekam medis, masih terjadi keterlambatan
dalam mengantarkan map rekam medis ke ruang IGD. Menurut Dahlen (2000),
latar belakang perlunya dibuat rekam medis adalah untuk mendokumentasikan
semua kejadian yang berkaitan dengan kesehatan pasien serta menyediakan
media komunikasi diantara tenaga kesehatan bagi kepentingan perawatan
penyakitnya sekarang maupun yang akan datang.
Dalam penelitiannya, Dahlen (2000) menemukan bahwa petugas rekam
medis dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidangnya, mengisi
berkas dengan lengkap yaitu sebesar 63,6%. Indar dan Naiem (2013) meneliti
bahwa petugas rekam medis yang mempunyai pengetahuan kurang, lebih banyak
mengisi berkas rekam medis dengan tidak lengkap yaitu 93,8%.
Contoh waste lainnya di ruang IGD adalah adanya dokter yang terlambat
sehingga di dalam ruangan IGD hanya tersedia 2 orang perawat yang bertugas.
Akibatnya pasien sering menunggu lama untuk memperoleh penanganan.
Hakikatnya, setiap rumah sakit harus memiliki SPO (Kepmenkes No. 856
Tahun 2009). Sebuah studi di rumah sakit Swedia (Burstorm, 2013) menunjukkan
38% dari pasien di Instalasi Gawat Darurat menghabiskan waktu menunggu lebih
dari
4 jam untuk mendapatkan pemeriksaan dari perawat atau dokter. Berdasarkan
penelitian Dahlen et al (2012), dari hasil wawancara naratif diperoleh 14 pasien
yang telah menunggu lebih dari 3 jam di IGD untuk mendapat perawatan medis,
tidak diberikan perhatian oleh perawat. Menurut penelitian Furwanti (2014), hasil
menunjukkan bahwa pasien yang menunggu terlalu lama untuk diberikan tindakan
di IGD akan mengalami kecemasan berat sekali (9,3%), kecemasan berat
Universitas Respati Indonesia
61
(41,2%), kecemasan sedang (29,4%) dan sisanya mengalami kecemasan ringan
(20,1%).
Selain itu, di IGD juga sering kehabisan kapas atau perban, sehingga
perawat harus mengambil dari ruangan poliklinik yang mengakibatkan pasien
harus

menunggu lama dalam pemberian tindakan gawat darurat. Hal ini disebabkan
kurangnya monitoring dari pihak manajemen IGD terhadap kebutuhan alat dan
bahan di ruang IGD. Hal serupa juga ditemukan oleh Qibtiyah (2015) di IGD RSUD
Kudus dimana belum terprogramnya SPO yang jelas sehingga belum ada
pengawasan dan pemeriksaan rutin apakah kegiatan IGD sesuai rencana dan
evaluasi kebutuhan IGD. IGD hanya memiliki 2 bed yang berfungsi dan jumlah
perawat yang hanya 2 orang di ruang IGD juga mempengaruhi kecepatan
pelayanan gawat darurat. Penelitian Litvak et al (2002) menyebutkan kurangnya
tempat tidur di IGD dan jumlah SDM yang kurang, meningkatkan beban layanan di
IGD. Kesalahan medis dapat terjadi karena kondisi unit yang sibuk dan beban
tenaga kesehatan yang meningkat. Kondisi tersebut juga terjadi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta (Setyaningsih, 2015) dimana sebanyak 57,14% harus
menunggu selama >3 jamuntuk ditangani di IGD.
Di bagian laboratorium/ radiologi (penunjang), pasien harus menyerahkan
surat pengantar untuk pemeriksaan penunjang maka akan segera dilakukan
tindakan, kemudian pasien membayar biaya pemeriksaan ke kasir dan kembali ke
ruangan laboratorium/ radiologi untuk mengambil hasil.Dalam praktiknya, prosedur
ini sesuai dengan Standar Pelayanan Instalasi Gawat Darurat yang telah
ditetapkan di Kepmenkes No. 856 tahun 2009.
Akan tetapi, dari proses tersebut, ditemukan ada pasien yang tidak
membayar tindakan sementara bahan reagen/film rontgen sudah terpakai. Hal ini
disebabkan disain rumah sakit yang memiliki ruang terbuka serta letak kasir yang
jauh dari laboratorium/radiologi sehingga memungkinkan bagi pasien untuk tidak
membayar tindakan laboratorium/radiologi. Idealnya, apabila letak kasir dengan
layanan penunjang berdampingan, akan mengurangi peluang kejadian dimana
pasien tidak membayar tindakan laboratorium/radiologi.

5.2.3 Value Assessment Pasien

Universitas Respati Indonesia


62
Penyumbang waste terbesar pada proses pelayanan gawat adalah di
proses tindakan triase, dimana waktu rata-rata pasien dalam menunggu
diberikannya tindakan triase adalah 4200 detik (70 menit). Hal ini disebabkan
pasien harus sabar menunggu gilirannya akibat keterbatasan jumlah bed dan
perawat di IGD. Nilai ini berada di bawah 30%, dimana suatu rumah sakit akan
dikatakan lean apabila rasio antara value added terhadap non value added (waste)
minimum telah mencapai 30% (Graban, 2016). Di rumah sakit tipe C di Indonesia
seperti RSIA Kemang Medical Care, setelah menerapkan lean pada tahun 2013,
diperoleh produktivitas 100% (zero waste) dan indeks kepuasan pasien meningkat
dari 76% menjadi 87% (Iswanto, 2014).

5.3 Action Planning dan Action Taking berdasarkan Prinsip Lean Hospital

Berdasarkan analisis akar permasalahan yang menjadi contoh faktor


pemborosan (waste) pada sistem alur proses pelayanan gawat darurat, penulis
kami dapat mengusulkan beberapa penyelesaian guna menghilangkan non value
added yang ada. Kami sadari bersama bahwa untuk mengubah dan
merencanakan suatu ide harus melalui proses yang panjang, namun kami
mencoba merumuskan suatu disain perbaikan untuk memajukan pelayanan
kegawatdaruratan di rumah sakit.
1. Peningkatan Kompetensi Tenaga Medis dan Non Medis

Belum adanya standar kerja membuat petugas mempelajari pekerjaan


sebagaimana orang sebelumnya atau atasan mengajarkannya kepadanya.
Bersama petugas seniornya, dalam waktu yang sedemikian rupa mereka harus
berimprovisasi sendiri, hasilnya setiap orang melakukan pekerjaan dengan
caranya sendiri. Untuk mengatasi hal ini diperlukan standarisasi kerja serta
pelatihan yang menjadi fondasi untuk mendapatkan hasil yang diinginkan,
sehingga pekerjaan pada hari ini dapat teridentifikasi, dengan cara:

a. Konsep takt-time, yaitu seberapa sering seharusnya produk kerja dihasilkan


(seperti: satu pasien per menit)
b. Rangkaian pekerjaan standar, yaitu tahapan mana yang harus diikuti dan
urutannya seperti apa
c. Work in process standar, yaitu seberapa banyak persediaan dimungkinkan
Universitas Respati Indonesia
63
diantara tahapan proses.

Langkah-langkah tersebut telah diimplementasikan di 9 (sembilan) rumah sakit di


Italia (Bucci, 2016) dan terbukti melalui lean, seluruh rumah sakit mengalami
peningkatan pelayanan IGD termasuk peningkatan jumlah kunjungan pasien,
berkurangnya jumlah pasien yang pulang tanpa bertemu dokter, dan peningkatan
kepuasan pasien.
Penggunaan sistem informasi manajemen juga telah mempermudah
pekerjaan petugas rumah sakit, mengurangi waste dan sebagai error proofing
untuk mengurangi kesalahan yang terjadi. Melalui e-kanban dapat mengefisienkan
inventori dan beban kerja. Penggunaan e-kanban telah dilakukan pula di RS Islam
Cempaka Putih Jakarta (Nindya, 2012) dan hasilnya mampu membantu
mengurangi inventory yang tidak perlu, menciptakan kondisi lingkungan kerja yang
lebih aman, memperpendek leadtime handling barang (berkas rekam medis, alat
medis, obat di apotek) dan bisa menjaga delivery tepat waku.
2. Meninjau Kembali Waktu Praktik Dokter

Usulan peneliti melalui pendekatan lean hospital adalah mengatur waktu


kerja dokter, terutama dokter-dokter spesialis yang memerlukan tindakan dalam
kegiatannya antara konsultasi pasien dengan tindakan medis sehingga pasien
tidak menunggu terlalu lama selama dokter melakukan tindakan terhadap pasien
sebelumnya. Hal ini telah dilaksanakan di RS Kanada Utara (Montgomery, 2014)
dengan hasil dokter lebih disiplin dalam kehadiran dan waktu tunggu pasien di
ruang IGD berkurang dari 124-230 menit menjadi 0-14 menit.
Kemudian, dibedakannya antara ruang konsultasi dengan ruang tindakan
dan ruang observasi dengan ruang operasi, sehingga dokter yang melakukan
konsultasi/observasi dengan dokter yang melakukan tindakan tetap dapat
melayani pasien. Hal ini mengacu kepada UU No. 44 tahun 2009, dengan
pemisahan antara ruang konsultasi dengan ruang tindakan dan ruang observasi
dengan ruang operasi, maka rumah sakit sedang melindungi privasi pasien dan
pasien merasa lebih nyaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Ng et al (2010)
bahwa peningkatan aliran pasien terjadi melalui modifikasi ruangan tanpa adanya
penambahan sumber daya di IGD.
Universitas Respati Indonesia
64
Setelah itu, komite medis meninjau kembali perjanjian kerja sama dokter
dan pihak rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Adellia
(2015) melalui penelitiannya menggunakan pendekatan lean healthcare di RS
Islam Unisma Malang menyimpulkan bahwa perjanjian kerja sama dokter dan
pihak rumah sakit yang konsisten akan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit
tersebut.
3. Mengoptimalkan Kegiatan Manajerial

Dalam lean, nilai-nilai yang dapat diadopsi untuk meningkatkan kualitas


pelayanan gawat darurat yaitu rasa saling menghargai dan perbaikan terus
menerus karena terkait erat dengan kepemimpinan dan manajerial suatu rumah
sakit (Gasperz, 2007). Ada 5 (lima) hal pendukung agar kegiatan manajerial lebih
optimal antara lain:

a. Tantangan, menciptakan visi jangka panjang dengan berani dan kreatif.

b. Kaizen, memperbaiki pelayanan rumah sakit secara terus menerus (continuous


improvement) dan selalu mendorong inovasi dan evolusi.
c. Genchi Genbutsu, pergi dan melihat; mendatangi sumber untuk menemukan fakta-
fakta yang berguna untuk membuat keputusan, membangun konsensus dan
mencapai sasaran.
d. Menghargai, bertanggung-jawab untuk melakukan yang terbaik guna membangun
rasa saling percaya.
e. Kerja sama tim, memaksimalkan pertumbuhan personal dan profesional serta
kinerja individual maupun tim.
Langkah selanjutnya adalah membuka jalur komunikasi secara formal
(atasan-bawahan), memelihara aktivitas sumber daya manusia agar komunikasi
tetap terbuka dan efektif serta membuka aktivitas informal yang berguna untuk
memfasilitasi dan memperbaiki komunikasi.
Melalui jalur komunikasi, pihak rumah sakit akan lebih mudah dalam
mengatasi masalah yang sudah ada maupun yang akan timbul (Wasetya, 2012).
Selain itu, dengan melakukan pertemuan/rapat merupakan kesempatan untuk
membagi informasi vital RS dengan anggota tim dan mempertahankan motivasi
dalam bekerja.

Universitas Respati Indonesia


65

4. Label Triase

Untuk ketiadaan label triase, maka perlu diperbaiki dengan konsep 5S dan
error proofing. Hal ini sesuai dengan penelitian Sumampouw (2015) dimana

dengan disain rak penyimpanan yang tepat dan pelabelan triase yang jelas,
mampu mengurangi terjadinya keterlambatan dan mencegah terjadinya kesalahan
oleh petugas Instalasi Gawat Darurat dalam pemberian tindakan kepada pasien
gawat darurat.
5. Menerapkan Budaya Kerja 5S dan Error Proofing

Keputusan Rumah sakit untuk menerapkan budaya kerja 5S dapat


menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, aman, rapi, bersih dan kondusif bagi
pegawai secara keseluruhan. Seiring meningkatnya motivasi dan moral pegawai,
maka respon pegawai terhadap pasien pun meningkat. Hal ini didukung oleh
penelitian Chan (2014) yaitu bahwa rumah sakit yang menerapkan budaya kerja
5S dapat mengurangi kesalahan dan kecelakaan kerja. Setelah diterapkannya
lean di IGD, total waktu yang diperlukan dalam proses pelayanan IGD berkurang
dari 54,76 menit menjadi 24,45 menit (Chan, 2014). Demikian juga dengan
penelitian Holden (2011) dimana dengan pengorganisasian di IGD dengan 5S dan
error proofing, telah berhasil meningkatkan kepuasan pasien dan mengurangi
adanya rework oleh petugas medis.
6. Modifikasi dan Relokasi Ruang IGD

Letak ruang IGD dimodifikasi mengacu kepada Pedoman Teknis Bangunan


Rumah Sakit Ruang Gawat Darurat (Kemenkes, 2012). Penulis mengusulkan
untuk menambah manajemen visual mulai dari pintu masuk hingga pasien selesai
mendapatkan obat, juga demi kenyamanan pasien dan memudahkan petugas
dalam melaksanakan pekerjaannya. Kemudian, menambahkan petunjuk arah
fasilitas

Universitas Respati Indonesia


umum seperti toilet, ruang menyusui, mushola, sebaiknya dilakukan. Usulan ini
telah diaplikasikan oleh Wasetya (2012) dimana dengan menambah manajemen
visual mulai dari pintu masuk hingga pasien selesai mendapatkan obat,
meningkatkan kepuasan pasien hingga 15%.

5.4 Peningkatan Kualitas (Action Evaluation)

Kualitas adalah dampak (output) yang diperoleh setelah pendekatan lean


hospital diterapkan dalam pelayanan kegawatdaruratan. Adanya peningkatan
kualitas telah terbukti dengan berkurangnya waktu tunggu pendaftaran 6 kali lipat
dari 3600 detik menjadi 600 detik. Tindakan triase sebagai penyumbang waste
terbesar juga telah berhasil dilaksanakan dengan efisien melalui pendekatan lean.
Beberapa penelitian terdahulu yang telah menerapkan lean hospital berhasil
mencapai peningkatan kualitas pada rumah sakit yang ditelitinya, seperti penelitian
sejenis dengan metode action research oleh Costa (2014) bahwa penerapan lean
melalui metode 5S, Visual Management, SMED, Value Stream Map, dan SPO
berhasil meningkatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit dengan modifikasi
ruang IGD, pengaturan rak penyimpanan, serta kemampuan manajerial yang baik.
King et al (2006) juga melakukan penelitian action research yaitu di IGD pada
rumah sakit pendidikan di Australia menyatakan bahwa intervensi lean dengan
disain Value Stream Mapping pada aliran pasien berhasil mengurangi waktu
tunggu pasien, meningkatkan kepuasan pasien dan kecelakaan kerja yang
merugikan pasien.

Dickson (2008) juga melakukan penelitian action research di IGD rumah


sakit pendidikan di Amerika, yaitu melalui pendekatan lean pada rumah sakit
tersebut, telah meningkatkan jumlah kunjungan pasien dan mengurangi waktu
tunggu pasien. Hal ini juga didukung oleh Chadha et al (2012) melalui penelitian
action research di IGD pada 3 rumah sakit di India, diperoleh bahwa implementasi
lean telah berhasl meningkatkan angka kunjungan pasien dan menurunkan waktu
tunggu pasien dalam pelayanan gawat darurat. Migita et al (2011) menyatakan
bahwa melalui pendekatan lean pada 9 rumah sakit di Amerika selama 3 bulan
yaitu dengan memperbaiki standar kerja, menambah jumlah tempat tidur, dan
menambah jumlah dokter spesialis telah menurunkan angka kecelakaan kerja dan
kecacatan pada pasien. Murrel et al (2011) melakukan penelitian action research
di ruang gawat darurat pada salah satu rumah sakit di Amerika dengan rata-rata
kunjungan pasien IGD sebanyak 67.000 per tahun. Melalui pendekatan lean
dengan metode Value Stream Mapping, pemberian label triase yang tepat
sasaran, dan pelatihan secara berkala pada perawat, telah berhasil menurunkan
waktu tunggu pasien, angka kejadian pasien pulang tanpa diperiksa dokter
menurun hingga zero waste, dan jumlah kunjungan pasien meningkat.
Kejadian serupa juga ditemukan oleh Ng et al (2010) dengan membagi
tingkat kegawatan pasien ke dalam 3 kategori melalui pelabelan triase dan
menambah penunjuk arah di rumah sakit, berhasil meningkatkan angka kepuasan
pasien dan waktu tunggu pasien berkurang serta angka kejadian pasien pulang
tanpa diperiksa dokter hampir menurun (18%). Demikian pula dengan penelitian
oleh Mazzocato et al (2012), melalui identifikasi masalah dengan Value Stream
Mapping, relokasi ruang IGD, penambahan tenaga medis di ruang IGD, dan
perbaikan manajerial rumah sakit diperoleh hasil bahwa dalam waktu 1 jam, dokter
mampu menangani 4 pasien secara berurutan karena dokter bekerja sesuai
dengan beban kerjanya, berkurangnya waktu tunggu pasien, meningkatnya
kepuasan pasien. Banyaknya penelitian implementasi lean hospital, dan
keberhasilan RSU Sari Mutiara untuk diakreditasi pertama kalinya sejak tahun
1996, membuktikan bahwa pendekatan lean hospital merupakan pendekatan
terbaik.
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah


sebagai berikut:
1. Diperlukan identifikasi Value Stream Mapkegiatan dan aktivitas selama proses
kerja pelayanan gawat darurat yang ada di rumah sakit khususnya unit IGD agar
dapat diperoleh rasio aktivitas yang bernilai tambah (value added activities)
dengan aktivitas yang tidak bernilai tambah (non value added activities). Biasanya
rendahnya angka value added activities disebabkan adanya pemborosan (waste)
di alur proses pelayanan gawat darurat. Pemborosan-pemborosan yang terjadi
merupakan bentuk masalah, yaitu sebagai berikut:
- Man : petugas tidak melakukan tugasnya sesuai dengan Standar
Prosedur Operasional yang berlaku, kegiatan manajerial yang kurang optimal dan
belum terwujudnya budaya kerja yang aman dan tertib.
- Methode : belum ada standar kerja (SPO), struktur organisasi belum
bisa mengantisipasi perkembangan zaman.

- Machine :lemari penyimpanan tidak memadai, ruangan IGD yang


tidak memenuhi standar K3, sistem komputer yang kurang optimal.
- Environmental : tata letak ruang IGD dengan layanan penunjang yang kurang
strategis, serta pasien yang tidak disiplin mengantri.
2. Bentuk perbaikan diperoleh dari hasil analisis akar penyebab masalah.

Action taking melaluiprinsip-prinsiplean hospitalyang telah diterapkan yaitu


peningkatan kompetensi tenaga medis dan non medis melalui pelatihan, meninjau
kembali waktu praktik dokter, mengoptimalkan kegiatan manajerial, pemberian
label triase, menerapkan budaya kerja 5S dan error proofing, serta modifikasi dan
relokasi ruang IGD.
3. Peningkatan kualitas yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain terjadinya
penurunan waktu tunggu pasien khususnya untuk tindakan triase dari 4200 detik
menjadi 1200 detik, perawat tidak lagi melakukan kesalahan dalam pengambilan
alat medis karena rak penyimpanan di IGD sudah dirapikan, meningkatnya
kepuasan pasien karena dokter selalu tersedia di IGD serta perawat yang
beroperasi di IGD sudah lebih ahli.

6.2 Saran

Sebagai saran yang dapat direkomendasikan oleh penulis dalam jurnal ini
adalah sebagai berikut:

1. Bagi direksi dan manajemen rumah sakit, usulan- usulan tersebut merupakan
solusi ideal namun dalam pelaksanaannya harus disertai dengan kemampuan
rumah sakit mengingat keterbatasan resources yang dimiliki serta komitmen agar
kualitas dapat terpelihara dan ditingkatkan sesuai dengan harapan. Selanjutnya,
sebaiknya membuat tim khusus monitoring dan evaluation program yang berlatar-
belakang pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat. Hakikatnya, suatu rumah
sakit wajib memiliki tenaga kesehatan masyarakat agar perbaikan melalui
pendekatan lean di rumah sakit dapat berjalan dengan baik secara
berkesinambungan.
2. Bagi institusi pendidikan, sebaiknya membuat pelatihan (seminar/workshop)
mengenai lean hospital yang melibatkan seluruh direksi dan manajemen rumah
sakit di kabupaten/kota atau provinsi agar informasi tentang pentingnya penerapan
metode lean ini dapat tersampaikan sehingga setiap rumah sakit dapat bersama-
sama memperbaiki kualitasnya.
3. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan dapat melanjutkan analisis dalam bentuk
penelitian yang lebih spesifik sehingga dapat menggali lebih banyak lagi kejadian
waste di instalasi lain seperti rawat inap, rawat jalan dan hubungan pelayanan
gawat darurat terhadap unittersebut sehingga semakin terlihat titik-titik
pemborosan pada setiap aspek pelayanan di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Abuhejleh, A., Gardiner, P., Ellahham, S., 2016, Exploring the Role of Lean Methodology
as A Tool for Performance Improvement in Healthcare Projects: An Ethnographic
Case Study in U.A.E., Dubai: Journal of Medical and Dental Science Research,
3(8): 15-24.
Agustiningsih, A., 2011, Tesis: Disain Perbaikan Proses Pelayanan Unit Rawat Jalan
Dengan Konsep Lean Hospital Di Rumah Sakit Karya Bhakti, Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Apriyani, D., 2008, Peningkatan Hasil Belajar Siswa (Buku Elektronik) diakses 28 April
2017; http://idb4-wikispaces.com/file/view/ss4006.pdf

Asmono, MD, 2014, Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak Tidak Menggunakan Tracer di
132Bagian Penyimpanan Berkas Rekam Medis Rumah Sakit Mata ”Dr. YAP”
Yogyakarta. (Jurnal Elektronik) diakses 8 November 2017;
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Penelit
ianDetail&act=view&typ=html&buku_id=61349
Australian Hospital Statistic, 2012, Australian Hospital Statistic 2011-2012 Emergency
Department Care, Australia: Australia Institute of Health and Welfare (Buku
Elektronik) diakses pada 28 Desember 2017 http://www.aihw.gov.au/WorkArea/
DownloadAsset.aspx?id=10737423039
.Boos, H., Frank, G., Andreas, K., 2010, Excercises with the universal R-matrix,
Washington: Journal of Physics A: Mathematical and Theoritical, 43(41) 45-
49.Boswick, John A., 1988, Perawatan Gawat Darurat, Jakarta: EGC.
Burstorm, et al, 2013, Waiting Management at the Emergency Department-A Grounded
Theory Study. (Jurnal Elektronik) diakses 03 Januari 2018;
http://www.biomedcentral.com/1472-6963/13/95

Chadha, RS, Kalra AJ, 2012, Lean and queuing integration for the transformation of
health care processess: A lean health care model, India: “Clinical Governance” An
International Journal, 17: p. 191-199.
Chan, HY, Lo SM, Lee LLY, et al, 2014, Lean techniques for the improvement of patients’
flow in emergency department, Hongkong, China: World J Emerg Med Vol. 5, 1:
p.24-28.
Crew, R.F., Hafez, S.M., 2010, Applying lean thinking in construction and performance
improvement, Egypt: Alexandria Engineering Journal, 52:679- 695.

Costa, E., Alves, AC, Braganca, S., 2014, Action-research methodology to improve
performance using lean production tools, Portugal: Techniques Technologies
Education Management Vol. 9, 2: p.253-264.

Dahlen, I., Westin, L., dan Adolfson, A., 2012. Experience of being a low priority patient
during waiting time at an emergency department (Jurnal Elektronik) diakses 3
Januari 2018.

Depkes RI, 2006, Standar Pelayanan Gawat Darurat di Rumah Sakit, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik.

Depkes RI, 2007. Pedoman Sarana dan Prasarana Bangunan IGD Rumah Sakit Tipe
C. Jakarta: Dirjen RI.

Dickson, EW, 2008, The sustainable improvement of patient flow in an emergency


treatment centre using lean, International Journal Six Sigma Competitive
Advantage, p.289-304.

Dickson, EW, 2010, Use of Lean in the emergency department: a case series of 4
hospitals, Ann Emerg Med: p. 504-510

Doss, R. & Orr, C., 2007, White Paper : “Lean Leadership in Healthcare”,diakses 23
April 2017; http://www.aptimise.com/LeanLeadershipWhitePaper

Dukovska-Papovska, I., et al, 2004, Strategic port development: identifying business


opportunities for the Port of Aaborg, Denmark: Trafikdage på Aalborg Universitet,
16(03): 93-96.
Edwards, J.D., 2015. The Birth of Lean, Tokyo: Lean Enterprise Institute, Inc. (Buku
Elektronik) diakses 7 Maret 2017; https://www.lean.org/

Efe, DR, 2016, Improving service quality by understanding emergency department flow: a
white paper and position statement prepared for the American Academy of
Emergency Medicine, J Emerg Med: p. 70-79.

Emiliani, M.L., Stec, D.J., 2005. Leaders lost in transformation, New Britain (USA):
Leadership and Organization Development Journal, 26(5): 370-387.

Endsley, S., Maqill, M.K., Godfrey, M.M., 2006. Creating A Lean Practice, Oxford:
International Journal for Quality in Healthcare, 28(2): 150–165.

Fadhilah, 2013, Faktor-Faktor YangBerhubungan Dengan WaktuTanggap Pada


Pelayanan KasusKecelakaan Lalu Lintas DiInstalasi Gawat Darurat RumahSakit
Umum Pusat Dr. M. Djamil. Universitas Andalas: Skripsi.

Farrell, G., 2007, Survey of ICT and Education in Africa. Washington, USA: The
International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank Press
(Buku Elektronik) diakses 5 Mei 2017; https://www.infodev.org/

Furwanti, E., 2014, Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien DiInstalasi Gawat Darurat
(IGD)RSUD Panembahan Senopati Bantul, UGM Yogyakarta: Tesis.

Gasperz, V., 2006. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan
Six Sigma Untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Gasperz, V., 2007. Lean Six Sigma for Manufacturing and Services Industries.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gasperz, V, 2011. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard Dengan


Malcolm Baldridge dan Lean Six Sigma Supply Chain Management Contoh
Implementasi pada Organisasi Bisnis dan Pemerintah, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Graban, M., 2016, Lean Hospitals: Improving Quality, Patient Safety and Employee
Engagement, Northwestern, United States of America: Lean Enterprise Institute,
Inc.

Graban, M., 2011, Healthcare Kaizen, Northwestern, United States of America: Lean
Enterprise Institute, Inc.

Grunden, N., Hagood, C., 2012, Lean-led Hospital Design: Creating the Efficient Hospital
of the Future. Boston: Productivity Press.

Hobson, M. P., Efstathiou, G., Lasenby, A. N., 2007, General Relativity: An Introduction
for Physicists, Edinburgh: Cambridge University Press.

Houchens, N., Kim S. C., 2014, The Application of Lean in the Healthcare Sector: Theory
and Practical Examples, New York: Springer.

Indar M., Naiem, J., 2013, Profil Klinis dan Luaran Pasien Gawat Darurat Medis Dewasa
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Iswanto, H., 2014, Application of Lean Manufacturing techniques in the emergency


department, J Emerg Med: p. 177-182.

Jimmerson, C., 2007. A3 Problem Solving for Healthcare: A Practical Method for
Eliminating Waste, New York, United States of America: Healthcare Performance
Press.

Kemenkes RI, 2009, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 856 tentang
Standar Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit, Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Kemenkes RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 tentang
Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

King, DL, Ben-tovim DI, Bassham J, 2006, Redesigning emergency department patient
flows: application of Lean Thinking to healthcare, Emerg Med Australias 2006, 18:
391-397.Liker, J., 2004, The Toyota Way, New York: McGraw Hill Press.

Mahendra, B., Holden RJ, 2011, A human factors engineering paradigm for patient
safety: the SEIPS model. Qual Saf Health Care: p. 159-165.

McCulloch, W.S., Pitts, W.H., 2010, A Logical Calculus of the Ideas Immanent in Nervous
Activity, Massachusetts, USA: Bulletin of Mathematical Biophysics, 5:115-133.

Migita, R, Del-beccaro, M, Cotter D, 2011, Emergency department overcrowding:


developing emergency department capacity through process improvement, USA:
Clin Pediatr Emerg Med, 12: p.141-150.

Moraros, J., Lemstra, M., Nwankwo, C., 2016. Lean Intervention in healthcare: do they
actually work? A systematic literature review, Brasil: Lean Institute (Jurnal
Elektronik) diakses 1 Maret 2017; http://www.lean.org.br

Murrell, K. L., Offerman, S. R., Kauffman, R. N., 2011, Applying Lean: Implementation of
A Rapid Triage and Treatment System. West J Emerg Med.: 184-191.

Ng D, Vail G, Thomas S., et al, 2010, Applying the Lean Principles of the Toyota
production system to reduce wait times in the emergency department, CJEM: 50-
57.

Nindya, A, 2012, Usulan Perbaikan Lean Hospital pada Inventoris Gudang RS Islam
Jakarta, Universitas Indonesia: Skripsi.

Notoatmodjo, S., 2013, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.

Ohno, T., 1988, Toyota Production System: Beyond Large Scale Production, New York:
Productivity Press.

Qibtiyah, E. M., Sudiro, Wulan, L. R., 2015, Manajemen Mutu Pelayananan Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUD Kudus (Studi Kualitatif), Jakarta: Jurnal Manajemen
Kesehatan Indonesia.

Rundolph, RJ, Cognitive performance-altering effects of electronic medical records: an


application of the human factors paradigm for patient safety, In press. Doi:
10.1007/s10111-10010-10141-10118.

Setyaningsih, 2016, Analisis Waktu Tunggu Pasien yang Dirujuk ke Rawat Inap Melalui
Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Moewardi, Yogyakarta.

Savitri, A., 2015, Pemanfaatan tracer di Penyimpanan Berkas Rekam Medis di UPT
Puskesmas Wonosari 1 (Tugas Akhir), Yogyakarta: Program Studi Rekam Medis
UGM.

Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.

Sutriningsih, Y., 2015. Hubungan WaitingTime Dengan Kepuasan PasienPrioritas 3 Di


Instalasi GawatDarurat RS Waluya SawahanMalang. (Jurnal Elektronik) diakses
28 Desember
2017;
jurnal.unitri.ac.id/index.php/care/article/download/301/302

Stralser, S., 2004, MBA In A Day-What You Would Learn at Top-Tier Business Schools
(If You Only Had the Time), New Jersey, USA: John Wiley & Sons, Inc.

Taninecz, G., 2004, Lean Landscapers: Atlanta firm embraces lean in challenging
industry with multiple gembas., Atlanta, GA: Lean Enterprise Institute, Inc.

Timothy, B., Villavicecio, A., Waldron, B., 2010, A multilngual database of idioms, Lisbon,
Portugal: In Proceedings of the 4 th International Conference on Language
Resources and Evaluation (LREC), 1127-1130.
Wasetya, D, 2012, Alur Proses Pelayanan Unit Rawat Jalan dengan Mengaplikasikan
Lean Hospital di RS Marinir Cilandak Tahun 2012, Depok: UI.

West, P. And Sweeting, H., 2001, Research papers in Education “Being different:
correlates of the experence of teasing and bullying at age 11”, England: University
of Glasgow 16(3): 225-246

Willoughby, K, 2010, Frequency, determinants and impact of overcrowding in an


emergency departments in Canada: a national survey. Healthc Q: 32-40.

Anda mungkin juga menyukai