Anda di halaman 1dari 95

UAS HUKUM KESEHATAN

Dosen Pembimbing: Bpk. R. Fresley Hutapea, SH, MH, MARS

PERMASALAHAN KASUS A
Dalam Sebuah RS tipe C, RS A terdapat kasus dugaan malpraktek dimana RS tersebut
tergabung dalam suatu holding company berbentuk Perseroan Terbatas dengan beberapa RS
lainnya yang sejenis Kasus ini mencuat ke publik sehingga RS A berusaha kerja menjelaskan
kepada masyrakat supaya tidak terdapat persepsi negative dan hal ini bisa mempengaruhi RS
lain dalam grup tersebut. Beberapa bulan kemudian timbul juga masalah dugaan malpraktek
di RS B yang masing sama dengan grup holding tersebut. Setelah ditelusuri secara cermat
banyak masalah yang dihadapi beberapa RS dalam Grup dimaksud antara lain
1. Tidak jelasnya penerapan Good Governance di RS baik Good Corporate Governance
maupun Good Clinical Governance. Tata Kelola RS baik menyangkut Good Corporate
Governance maupun Good Clinical Governance tidak jelas aturannya sehingga
pelaksanaan Credential dan Clininical Appointment bagi setiap dokter.
2. Masalah keuangan dan SDM ditangani langsung Direktur PT {Holding Company}
sehingga masing masing RS sulit melaksanakan penataan organisasi termasuk
perhitungan kebutuhan ketenagaan dan Analisis Beban Kerja {ABK}. Stuktur
Organisasi RS tdk jelas dan belum adanya Dewas dan tidak jelas tupoksi masing-
masing, sehingga dipandang perlu ada penataan organisasi sesuai ketentuan yang
berlaku.
3. Dalam penerapan KRIS atau Kelas Standar di RS sulit dilakukan karena terkendala di
keberadaan SPA {Sarana, Prasana dan Alat} sesuai aturan Permenkes termasuk juga
pelaksanaan RME yang masih berbeda beda di masing masing RS dalam satu grup ini.
4. Kunjungan pasien menurun sehingga mempengaruhi pendapat RS sehingga kesulitan
untuk membayar gaji dan jasa tepat waktu Hal itu diperburuk karena Klaim tagihan
ke BPJS banyak yang belum dibayar dan masih banyak klaim ke BPJS yg belum
diverifikasi karena ketidak lengkapan Rekam Medis dan kinerja Group CaseMix
sangat rendah.
PERTANYAAN KASUS A
1. Pimpinan PT [Holding Company} meminta bantuan saudara untuk menyelesaikan
beberapa kasus dimaksud sebagai mahasiswa MARS dengan imbalan yang sesuai
a. Langkah-langkah apa yang Saudara lakukan. Jelaskan
Langkah pertama adalah mengidentifikasi masalah yang ada. Hal ini dilakukan
dengan mengumpulkan data dan informasi. Setelah masalah teridentifikasi,
Langkah selanjutnya adalah menganalisis masalah tersebut. Analisis masalah
bertujuan untuk memahami penyebab masalah dan dampaknya. Analisis masalah
dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, seperti diagram sebab-
akibat, analisis SWOT, atau analisis Pareto. Setelah penyebab masalah diketahui,
langkah selanjutnya adalah mengembangkan solusi. Solusi yang dikembangkan
harus dapat mengatasi penyebab masalah dan mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam mengembangkan solusi, perlu dipertimbangkan berbagai faktor, seperti
biaya, waktu, dan sumber daya yang tersedia. Setelah solusi dikembangkan,
langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya. Implementasi solusi harus
dilakukan secara sistematis dan terencana. Hal ini untuk memastikan bahwa solusi
tersebut dapat berjalan dengan efektif. Langkah terakhir adalah mengevaluasi
solusi yang telah diimplementasikan. Evaluasi Solusi bertujuan untuk mengetahui
apakah solusi tersebut berhasil mengatasi masalah dan mencapai tujuan yang
diinginkan. Evaluasi solusi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode,
seperti survei, wawancara, atau analisis data.

b. Tentukan prioritas masalah apa yang harus diselesaikan terlebih dahulu dengan
analisis yang dapat dipertangggung jawabkan
 Kasus dugaan malpraktek.
Mengatasi kasus dugaan malpraktek sangat penting karena mempengaruhi
citra dan integritas rumah sakit. Penanganan kasus malpraktek dapat
membantu meningkatkan standar profesionalisme dalam mengutamakan
keselamatan pasien sehinga memulihkan kepercayaan masyarakat.
 Penerapan Good Corporate Governance dan Good Clinical Governance
Penerapan Good Corporate Governance dan Good Clinical Governance di
rumah sakit adalah untuk memastikan manajemen yang efektif dan
penyelenggaraan layanan kesehatan yang berkualitas. menjamin bahwa
pelayanan kesehatan yang diberikan aman dan berkualitas.
 Struktur organisasi, SDM, dan keuangan
Dengan adanya struktur organisasi, tugas dan tanggung jawab yang jelas,
aturan dan kebijakan yang harus dipatuhi, rumah sakit dapat menjalankan
manajemen yang efektif. Masalah keuangan dan SDM tidak boleh langsung
ditangani Direktur PT.
 Kelengkapan sarana prasarana dan alat serta pelaksanaan RME
Hal ini memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan,
efisiensi operasional, dan pengelolaan informasi kesehatan. Mengintegrasikan
kelengkapan sarana dan prasarana dengan implementasi RME dapat
menciptakan sistem pelayanan kesehatan yang holistik, efisien, dan aman
bagi pasien
 Dengan adanya penerapan Good Corporate Governance dan Good Clinical
Governance, kelengkapan sarana prasarana alat, dan pelaksanaan RME,
diharapkan jumlah kunjungan pasien meningkat karena percaya terhadap
pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit.

c. Tentukan target penyelesaiannya dan berapa lama pelaksanaan kegiatannya?


 Untuk kasus dugaan malpraktek, diselesaikan dalam waktu 1 bulan
 Untuk penerapan Good Corporate Governance dan Good Clinical Governance,
diselesaikan dalam waktu 3-6 bulan
 Struktur organisasi, SDM, dan keuangan, diselesaikan dalam waktu 3-6 bulan.
 Kelengkapan sarana prasarana dan alat serta pelaksanaan RME, diselesaikan
dalam waktu 6 bulan - 1 tahun.

2. Bagaimana Saudara melakukan pembenahan di bidang masing masing meliputi


a. Penataan Good Governance {Tatakelola RS} di RS tersebut
 Menyusun struktur organisasi yang jelas. Melakukan pemisahan fungsi antara
pemilik (Direktur PT) dan pihak manajemen RS. Membentuk dewan pengawas
yang independen. Hal ini penting sehingga setiap orang memiliki peran dan
tanggung jawab dalam melakukan tugas masing-masing.
 Menyusun Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga yang jelas dan
transparan.
 Menyusun dan menetapkan peraturan dan kebijakan yang akan diberlakukan
di rumah sakit (Hospital By Laws, Medical Staff By Laws, Nursing By Laws,
Pedoman, Panduan, dan SPO).
 Monitoring dan evaluasi terhadap penerapan Good Corporate Governance dan
Good Clinical Governance perlu dilakukan secara berkala.

b. Penataan di bidang organisasi SDM dan ABK


 Menyusun struktur organisasi yang jelas sehingga setiap orang memiliki peran
dan tanggung jawab dalam melakukan tugas masing-masing.
 Melakukan analisa beban kerja untuk menilai kebutuhan tenaga yang
diperlukan untuk menjalankan operasional rumah sakit.
 Melakukan rekrutmen tenaga kerja yang memiliki kemampuan sesuai dengan
kualifikasi dan kebutuhan rumah sakit. Melakukan pengelolaan SDM dengan
efisien.

c. Penataan Kelas Standar dan RME


 Meningkatkan kelengkapan sarana dan prasarana. Sarana prasarana yang
lengkap, termasuk fasilitas medis dan non-medis, membantu menciptakan
lingkungan yang mendukung pelayanan kesehatan berkualitas tinggi.
 Melakukan penerapan RME sehingga memudahkan akses terhadap informasi
medis pasien, mendapatkan analisis dan pencatatan data medis yang akurat,
menjaga kerahasiaan informasi medis, dan meningkatkan efisiensi administrasi.

d. Penataan di bid Keuangan dan klaim BPJS


 Audit terhadap kinerja bidang keuangan. Melakukan monitoring dan evaluasi
agar sistem dalam bidang keuangan transparan dan akuntabel.
 Memastikan kelengkapan Rekam Medis untuk klaim BPJS. Melakukan sosialisasi
kepada semua DPJP untuk melengkapi Rekam medis.

3. Konsepkan HBL (Corporate Bylaws dan MBSL), untuk Rumah Sakit tersebut secara
lengkap sesuai kebutuhan dalam pembenahan RS dengan tahapan penyusunannya dan
pelaksanaannya termasuk Kebijakan,Pedoman dan SOP yg harus dibuat mengatasi
semua masalah di RS.
PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (HOSPITAL BYLAWS)
RUMAH SAKIT AB

MUKADIMAH

A. LATAR BELAKANG
Rumah sakit, merupakan institusi dengan tingkat kompleksitas yang tinggi. Hal ini
dikarenakan kondisi sumber daya manusia yang multi disiplin dan terikat kepada berbagai
standar baik standar profesi maupun standar pelayanan, padat tehnologi dan biaya yang
tinggi. Kondisi ini membutuhkan pengelolaan yang baik dari aspek organisasi/manajemen
maupun dari aspek sumber daya manusia sebagai pelaku utama dalam penyelenggaraan
pelayanan rumah sakit.
Untuk dapat mewujudkan mutu layanan rumah sakit sebagaimana diharapkan oleh
semua pihak maka perlu dibuat suatu aturan dasar tata kelola dalam bentuk ”Peraturan
Internal Rumah Sakit atau Hospital Bylaws”, yang didalamnya berisi Peraturan Internal
Korporasi (Corporate Bylaws) dan Peraturan Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws).
Peraturan Internal Korporasi menjadi peta jalan (roadmap) bagi operasionalisasi
rumah sakit agar tercipta pola tatakelola yang baik sebagai sebuah institusi dan Peraturan
Internal Staf Medis menjadi kerangka kerja (framework) agar tercipta pola tatakelola klinik
yang baik, memastikan hanya staf medis yang kompeten dan berperilaku profesional yang
boleh melakukan pelayanan medis di rumah sakit dan seluruh staf medis pemberi
pelayanan dirumah sakit dapat melaksanakan fungsi profesionalnya dengan senantiasa
berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien (patient safety).
Dengan adanya Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws), diharapkan
penyelenggaraan rumah sakit dapat berjalan efektif, efisien, berkualitas, akuntabel dan
dapat dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum:
Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws) bertujuan untuk mengatur
batas kewenangan, hak, kewajiban dan tanggung jawab Pemilik melalui
perwakilannya yaitu Dewan Pengawas, Direksi selaku pengelola, Komite Medik
dan Staf Medis Fungsional sebagai pemberi pelayanan dirumah sakit.
2. Tujuan Khusus:
a) Adanya kepastian aturan dalam penyelenggaraan rumah sakit.
b) Tercapainya kerja sama yang harmonis antara Pemilik, Direksi dan Komite
Medik.
c) Tercapainya sinergi antara manajemen dengan profesi medis.
d) Terciptanya profesionalisme dan tanggung jawab Staf Medis Fungsional
terhadap mutu pelayanan medis.

C. MANFAAT
Adapun manfaat dari Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws), adalah:
1. Sebagai acuan Pemilik dalam melakukan pengawasan.
2. Sebagai acuan Direksi dalam mengelola dan menyusun kebijakan teknis
operasional.
3. Sebagai pedoman aspek hukum dalam pengaturan staf medis fungsional.
4. Sebagai sarana menjamin efektivitas, efisiensi dan mutu.
5. Sebagai sarana dalam perlindungan hukum.
6. Sebagai acuan penyelesaian konflik.
7. Sebagai persyaratan akreditasi rumah sakit dan persyaratan suatu Badan Layanan
Umum.
BUKU KESATU
PERATURAN INTERNAL KORPORASI
(CORPORATE BYLAWS)

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws) ini, yang dimaksud dengan:
1. Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) adalah aturan dasar
penyelenggaraan Rumah Sakit AB terdiri dari peraturan internal korporasi dan
peraturan internal staf medis.
2. Peraturan Internal Korporasi (Corporate ByLaws) adalah aturan yang mengatur agar
tata kelola korporasi (corporate governance) terselenggara dengan baik melalui
pengaturan hubungan antara pemilik atau yang mewakili pemilik, direksi dan komite
medik di RS AB.
3. Peraturan Internal Staf Medis (Medical Staff ByLaws) adalah aturan tata kelola klinis
(clinical governance) untuk menjaga profesionalisme staf medis fungsional di RS AB
4. Rumah Sakit adalah Badan Layanan Umum (BLU) Rumah Sakit AB.
5. Dewan Pengawas adalah organ yang ditugaskan oleh pemilik untuk melakukan
pengawasan terhadap pengelolaan dan pengurusan RS AB.
6. Direksi adalah pejabat pengelola RS AB.
7. Direktur Utama adalah jabatan struktural tertinggi di RS AB yang bertanggung jawab
atas pengelolaan RS AB.
8. Komite Medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis
(clinical governance) agar staf medis fungsional di rumah sakit terjaga
profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis,
dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis.
9. Sub Komite adalah kelompok kerja dari komite medik.
10. Staf Medis Fungsional (SMF) adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi
spesialis yang mempunyai penugasan klinis di RS AB.
11. Kelompok Staf Medis Fungsional (KSMF) adalah kumpulan staf medis fungsional
dengan keahlian sama atau serupa.
12. Kewenangan Klinis (Clinical Privilege) adalah hak khusus seorang staf medis
fungsional untuk melakukan pelayanan medis tertentu di RS AB untuk suatu periode
tertentu yang dilaksanakan berdasarkan penugasan klinis (clinical appointment).
13. Penugasan Klinis (Clinical Appointment) adalah penugasan Direktur Utama kepada
seorang staf medis fungsional untuk melakukan pelayanan medis di RS AB
berdasarkan daftar kewenangan klinis (clinical privilege) yang telah ditetapkan
baginya.
14. Kredensial adalah proses evaluasi terhadap staf medis fungsional untuk menentukan
kelayakan diberikan kewenangan klinis (clinical privilege).
15. Rekredensial adalah proses reevaluasi terhadap staf medis fungsional yang telah
memiliki kewenangan klinis (clinical privilege) untuk menentukan kelayakan
pemberian kewenangan klinis tersebut.
16. Audit medis adalah upaya evaluasi profesional terhadap mutu pelayanan medis di
rumah sakit.
17. Kompetensi adalah kemampuan profesional yang meliputi penguasaan ilmu
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (knowledge, skill dan attitude) dalam
melaksanakan tugas profesionalnya.

BAB II
IDENTITAS

Bagian Kesatu
Kedudukan Rumah Sakit

Pasal 2
(1) Rumah Sakit AB yang disingkat RS AB adalah Unit Pelaksana Teknis Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan
Layanan Umum, berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan
Republik Indonesia melalui pembinaan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
(2) Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit AB ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023 pada tanggal 20 Januari 2024
(3) Rumah Sakit AB ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2020 sebagai Rumah Sakit Khusus dengan klasifikasi Kelas C
(4) Tempat kedudukan Rumah Sakit AB di Jalan Meruya Kav. 1 Kelurahan Meruya Utara
Kecamatan Kembangan Wilayah Jakarta Barat Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
(5) Pemilik Rumah Sakit AB Jakarta adalah PT. Maju Bersama.

Bagian Kedua
Visi, Misi, Falsafah dan Tujuan Rumah Sakit

Pasal 3
V i s i: Menjadi Rumah Sakit yang bermutu, inovatif, profesional, dan termuka di Indonesia

Pasal 4
M i s i:
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang lengkap, terpadu, unggul dan mutakhir
bagi masyarakat berbasis ilmu perngetahuan dan teknologi.
2. Menyelenggarakan dan mengembangan pendidikan dan pelatihan di bidang kedokteran
untuk kalangan internal dan institusi lain.
3. Menyelenggarakan dan mengembangkan pelayanan rumah sakit yang berorientasi pada
mutu dan keselamatan pasien.
4. Menyelenggarakan dan mengembangkan inovasi dan penelitian di bidang kedokteran.

Pasal 5
Dalam menyelenggarakan kegiatannya RS AB memiliki falsafah sebagai organisasi yang
melaksanakan fungsi sosial, profesional dan etis dengan pengelolaan yang ekonomis sejalan
dengan praktek bisnis yang sehat.
Pasal 6
Tujuan Rumah Sakit:
1. Terwujudnya pelayanan kesehatan yang lengkap, terpadu, unggul dan mutakhir bagi
masyarakat berbasis ilmu perngetahuan dan teknologi.
2. Terselenggaranya pendidikan, pelatihan dan penelitian yang terintegrasi dengan aktifitas
pelayanan.
3. Terselenggaranya pelayanan rumah sakit yang berorientasi pada mutu dan keselamatan
pasien.

Bagian Ketiga
Nilai, Motto dan Logo Rumah Sakit

Pasal 7
Nilai dasar pelayanan RS AB adalah: “Unggul dan Profesional”.

Pasal 8
Motto pelayanan RS AB adalah: ”Mengutamakan Keselamatan Pasien”.

Pasal 9
(1) Logo RS AB :

BAB III
DEWAN PENGAWAS
Bagian Kesatu
Kedudukan dan Keanggotaan Dewan Pengawas

Pasal 10
(1) Dewan Pengawas ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(2) Dewan Pengawas merupakan unit non struktural yang bersifat independent dan
bertanggung jawab langsung kepada pemilik rumah sakit.

Pasal 11
(1) Jumlah anggota Dewan Pengawas adalah 5 (lima) orang terdiri dari 1 (satu) orang
ketua dan 4 (empat) orang anggota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengawas terdiri dari unsur-unsur:
a. pejabat Kementerian Kesehatan;
b. pejabat Kementerian Keuangan;
c. tenaga ahli atau tokoh masyarakat yang sesuai dengan kegiatan
RS AB
(3) Persyaratan Dewan Pengawas adalah orang-perseorangan yang:
a. berkewarganegaraan Indonesia;
b. memiliki dedikasi, memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan rumah
sakit dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya;
c. mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau
tidak pernah menjadi anggota pengelola, komisaris atau dewan pengawas yang
dinyatakan bersalah sehingga menyebabkan suatu rumah sakit dinyatakan pailit,
atau orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang
merugikan negara.

Pasal 12
(1) Masa bakti Dewan Pengawas selama 5 (lima) tahun.
(2) Anggota Dewan Pengawas dapat diberhentikan sebelum habis masa baktinya, apabila:
a. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik; atau
b. tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan; atau
c. terlibat dalam tindakan yang merugikan RS AB; atau
d. dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana, kejahatan
dan/atau kesalahan yang berkaitan dengan tugasnya melaksanakan pengawasan
RS AB ; atau
e. berhalangan tetap.

Bagian Kedua
Tugas dan Kewajiban Dewan Pengawas

Pasal 13
(1) Dewan Pengawas mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap
pengurusan/pengelolaan rumah sakit yang dilakukan oleh Direksi yang meliputi
pelaksanaan rencana strategis, rencana bisnis dan anggaran, dan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dewan Pengawas mempunyai kewajiban:
a. memberikan pendapat dan saran kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan
mengenai rencana strategis dan rencana bisnis dan anggaran yang diusulkan oleh
Direksi;
b. melaporkan kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan apabila terjadi gejala
menurunnya kinerja rumah sakit;
c. mengikuti perkembangan kegiatan rumah sakit, memberikan pendapat dan saran
mengenai setiap masalah yang dianggap penting bagi pengurusan/ pengelolaan
rumah sakit;
d. memberikan nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan pengurusan/ pengelolaan
rumah sakit; dan
e. memberikan masukan, saran atau tanggapan atas laporan keuangan dan laporan
kinerja rumah sakit kepada Direksi.
(3) Dewan Pengawas melaporkan pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam
satu semester dan sewaktu-sewaktu apabila diperlukan.
(4) Dalam tugasnya Dewan Pengawas tidak boleh mencampuri dan atau bertindak
langsung secara operasional.
(5) Semua biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas Dewan Pengawas
dibebankan kepada anggaran rumah sakit.

Pasal 14
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Dewan Pengawas mempunyai wewenang:
1. meminta penjelasan dari Direksi dan/atau pejabat lainnya dengan sepengetahuan
Direktur Utama mengenai segala persoalan yang menyangkut pengurusan/ pengelolaan
rumah sakit;
2. meminta Direksi dan/atau pejabat lainnya dengan sepengetahuan Direktur Utama untuk
menghadiri rapat Dewan Pengawas; dan
3. melihat buku-buku, surat-surat serta dokumen-dokumen lainnya, memeriksa kas
sepengetahuan Direktur Utama untuk keperluan verifikasi dan memeriksa kekayaan
rumah sakit.

Pasal 15
(1) Untuk mendukung kelancaran tugas Dewan Pengawas, diangkat seorang Sekretaris
Dewan Pengawas dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
(2) Sekretaris Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
bertindak sebagai Dewan Pengawas.
(3) Sekretaris Dewan Pengawas mempunyai tugas :
a. bertanggung jawab terhadap pengelolaan kesekretariatan Dewan Pengawas;
b. mengatur dan menyiapkan rapat Dewan Pengawas;
c. membuat notulen rapat;
d. menyebarkan risalah rapat;
e. menyiapkan bahan laporan kegiatan Dewan Pengawas; dan
f. menyebarkan risalah dan informasi-informasi lainnya kepada Dewan Pengawas dan
Direksi.
(4)Masa jabatan Sekretaris Dewan Pengawas dapat mengikuti masa jabatan Dewan
Pengawas.

Bagian Ketiga
Rapat Dewan Pengawas

Pasal 16
(1) Rapat Dewan Pengawas adalah rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Pengawas untuk
membahas hal-hal yang berhubungan dengan rumah sakit sesuai tugas dan
kewajibannya.
(2) Rapat Dewan Pengawas terdiri dari rapat rutin, rapat tahunan dan rapat khusus.
(3) Peserta rapat Dewan Pengawas selain anggota Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan
Pengawas dan Direksi, dapat juga dihadiri oleh pihak lain yang ditentukan oleh
Dewan Pengawas apabila diperlukan.
(4) Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas harus diupayakan melalui musyawarah
dan mufakat.
(5) Dalam hal tidak tercapai mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak.
(6) Setiap rapat Dewan Pengawas dibuat risalah rapat.
(7) Pengaturan rapat Dewan Pengawas ditetapkan oleh Ketua Dewan Pengawas.

Pasal 17
(1) Rapat rutin Dewan Pengawas dilaksanakan paling sedikit 10 (sepuluh kali) dalam
setahun.
(2) Rapat rutin Dewan Pengawas merupakan rapat koordinasi untuk mendiskusikan,
mencari klarifikasi atau alternatif solusi berbagai masalah di rumah sakit.

Pasal 18
(1) Rapat tahunan Dewan Pengawas dilaksanakan sekali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Rapat tahunan Dewan Pengawas bertujuan untuk memberikan arah kebijakan tahunan
operasional rumah sakit mencakup pengelolaan pelayanan medik, sumber daya
manusia, sarana dan prasarana serta pengelolaan keuangan.

Pasal 19
(1) Rapat khusus Dewan Pengawas dilaksanakan di luar jadwal rapat rutin maupun rapat
tahunan, untuk mengambil keputusan, menetapkan kebijakan terhadap hal-hal yang
dianggap khusus.
(2) Dewan Pengawas mengundang untuk rapat khusus dalam hal:
a. ada permasalahan penting yang harus segera diputuskan; atau
b. ada permintaan yang ditandatangani oleh paling sedikit 3 (tiga) orang Anggota
Dewan Pengawas.
(3) Direktur Utama dapat meminta penyelenggaraan rapat khusus Dewan Pengawas,
dengan persetujuan Ketua Dewan Pengawas atau persetujuan yang ditandatangani
oleh paling sedikit 3 (tiga) orang Anggota Dewan Pengawas.
(4) Undangan rapat khusus harus mencantumkan tujuan pertemuan secara spesifik.

BAB IV
DIREKSI

Bagian Kesatu
Kedudukan Direksi

Pasal 20
(1) Pengelolaan, pengurusan dan pelaksanaan kegiatan rumah sakit secara keseluruhan
dilakukan oleh Direksi.
(2) Direksi bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan RI melalui Direktur Jenderal Bina
Upaya Kesehatan.
(3) Tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Direksi ditentukan oleh Menteri
Kesehatan RI dan diperinci dalam suatu uraian tugas secara tertulis dalam Organisasi
dan Tata Laksana Rumah Sakit.
(4) Penilaian kinerja Direksi dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Bagian Kedua
Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi

Pasal 21
Direksi diangkat dan diberhentikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Pasal 22
(1) Direksi berjumlah 5 (Lima) orang, terdiri dari 1 (satu) Direktur Utama dan 4 (empat)
Direktur.
(2) Susunan Direksi RS AB adalah:
a. Direktur Utama.
b. Direktur Medik dan Keperawatan.
c. Direktur Sumber Daya Manusia dan Pendidikan.
d. Direktur Keuangan.
e. Direktur Umum dan Operasional.
(2) Yang dapat diangkat menjadi Direksi adalah orang-perorangan:
a. Pegawai Negeri Swasta;
b. memenuhi kriteria keahlian, integritas, kepemimpinan dan pengalaman di bidang
perumahsakitan;
c. berkelakuan baik serta memiliki dedikasi untuk mengembangkan kinerja guna
kemajuan rumah sakit;
d. mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau
menjadi anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu rumah sakit dinyatakan pailit;
e. tidak terlibat dan atau sedang dalam proses penyidikan tindak pidana;
f. berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 23
(1) Apabila salah satu atau beberapa Anggota Direksi berhalangan tetap menjalankan
pekerjaannya atau apabila jabatan itu terluang dan penggantinya belum memangku
jabatan, maka kekosongan jabatan tersebut dipangku oleh Anggota Direksi Iainnya
yang ditunjuk sementara oleh Direktur Utama dan dilaporkan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
(2) Apabila semua Anggota Direksi berhalangan tetap melakukan
pekerjaannya atau jabatan Direksi terluang seluruhnya dan belum
diangkat, maka sementara pengelolaan rumah sakit dijalankan oleh
pejabat yang ditunjuk sementara oleh Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.

Bagian Ketiga
Tugas Pokok, Fungsi, Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi

Pasal 24
(1) Direksi mempunyai tugas pokok memimpin dan mengelola pengurusan dan
pelaksanaan kegiatan rumah sakit sesuai dengan visi, misi dan tujuan rumah sakit.
(2) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direksi
menyelenggarakan fungsi merumuskan kebijakan operasional, perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan di
bidang pelayanan medik dan keperawatan, sumber daya manusia dan pendidikan,
Keuangan, serta umum dan operasional.
(3) Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya Direksi mempunyai wewenang dan
tanggung jawab:
a. menyusun dan menetapkan kebijakan operasional rumah sakit meliputi bidang
pelayanan medik dan keperawatan, sumber daya manusia dan pendidikan,
Keuangan, serta umum dan operasional.
b. melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam mengelola rumah sakit
sebagaimana yang telah digariskan oleh pemilik/Menteri Kesehatan;
c. menyusun rencana strategis dan rencana bisnis anggaran rumah sakit;
d. menyusun dan menetapkan organisasi dan tata laksana setiap satuan kerja
dilingkungan rumah sakit lengkap dengan susunan jabatan, rincian tugas dan tata
hubungan kerja;
e. mewakili rumah sakit, baik di dalam maupun di luar pengadilan;
f. mengadakan,mengangkat, menempatkan, menugaskan, memberhentikan atau
mengusulkan pemberhentian pegawai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
g. membuat hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pegawai sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h. mengelola seluruh kekayaan rumah sakit, berupa sarana prasarana dan peralatan
serta sumber daya lainnya;
i. mengawasi pembukuan serta administrasi rumah sakit sesuai dengan peraturan
dan kelaziman yang berlaku bagi rumah sakit;
j. melaksanakan audit kinerja dan membuat laporan berkala dan tahunan tentang
kinerja rumah sakit; dan
k. Anggota Direksi berwenang bertindak atas nama Direksi untuk masing-masing
bidang yang menjadi tugas dan wewenangnya.
(4) Dalam menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf e, Direksi dapat melaksanakan sendiri atau menyerahkan kekuasaan
kepada:
a. seorang atau beberapa orang Anggota Direksi; atau
b. seorang atau beberapa orang pejabat rumah sakit, baik secara sendiri
maupun bersama-sama; atau
c. orang atau badan lain, yang khusus ditunjuk untuk hal tersebut.
(5) Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya Direksi membuat pedoman,
SOP dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Pasal 25
(1) Direktur Utama berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan RI
melalui Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
(2) Direktur Utama mempunyai tugas pokok memimpin pengelolaan, pengurusan dan
pelaksanaan kegiatan rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Utama
mempunyai fungsi menetapkan kebijakan dalam seluruh aspek penyelenggaraan
rumah sakit.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Utama
dibantu oleh Direktur-Direktur.
(5) Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya Direktur Utama mempunyai wewenang
dan tanggung jawab:
a. menetapkan susunan organisasi dan tata laksana setiap satuan kerja di RS AB
setelah susunan jabatan dan rincian tugas ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI;
b. menetapkan visi, misi, rencana strategis, rencana bisnis dan anggaran;
c. menetapkan kebijakan pelayanan medik dan keperawatan, sumber daya manusia
dan pendidikan, Keuangan serta umum dan operasional rumah sakit sebagai
pedoman pelaksanaan tugas;
d. menetapkan pengadaan, pengangkatan, penempatan, penugasan, pemberhentian
atau usulan pemberhentian pegawai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pegawai sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. menetapkan dan mencabut kewenangan klinis (clinical privilege), penugasan klinis
(clinical appointment) bagi setiap SMF;
g. membentuk dan menetapkan tim/panitia tehnis untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu;
h. bertindak untuk dan atas nama RS AB dalam melakukan perbuatan hukum;
i. mengkoordinir pelaksanaan audit kinerja dan bertanggung jawab atas pengesahan
laporan keuangan dan laporan akuntabilitas kinerja rumah sakit sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
j. bertanggung jawab atas pengelolaan rumah sakit, memimpin dan
mengkoordinasikan serta mengendalikan pengurusan dan pelaksanaan kegiatan
rumah sakit sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;
k. bertanggung jawab atas pengelolaan seluruh kekayaan rumah sakit, berupa sarana
prasarana dan peralatan serta sumber daya lainnya.

Pasal 26
(1) Direktur Medik dan Keperawatan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Direktur Utama.
(2) Direktur Medik dan Keperawatan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan
pelayanan medis dan pelayanan keperawatan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Direktur Medik dan Keperawatan menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan rencana sistem pelayanan medis, keperawatan, penunjang dan rekam
medik;
b. koordinasi pelaksanaan pelayanan medis, keperawatan, utilisasi peralatan medis
dan keperawatan, penunjang dan rekam medik;
c. pengendalian, pengawasan dan evaluasi mutu pelayanan medis, keperawatan,
penunjang dan rekam medik secara berkesinambungan.

Pasal 27
(1) Direktur Sumber Daya Manusia dan Pendidikan berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktur Utama.
(2) Direktur Sumber Daya Manusia dan Pendidikan mempunyai tugas melakukan
pengelolaan sumber daya manusia, pelayanan pendidikan dan pelatihan serta
penelitian dan pengembangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dalam ayat (2), Direktur Sumber Daya
Manusia dan Pendidikan menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan kebutuhan dan penyediaan tenaga kesehatan dan tenaga non
kesehatan rumah sakit;
b. penyusunan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia, pendidikan dan
pelatihan serta penelitian dan pengembangan;
c. pelaksanaan kegiatan pengembangan sumber daya manusia, pendidikan dan
pelatihan serta penelitian dan pengembangan;
d. pengendalian dan evaluasi kegiatan penyediaan dan pengembangan sumber daya
manusia, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan.

Pasal 28
(1) Direktur Keuangan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama.
(2) Direktur Keuangan mempunyai tugas melakukan pengelolaan keuangan rumah sakit
yang meliputi penyusunan dan evaluasi anggaran, perbendaharaan dan mobilisasi
dana serta akuntansi dan verifikasi.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur Keuangan
menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan rencana kegiatan perbendaharaan dan mobilisasi dana, penyusunan
dan evaluasi anggaran serta akuntansi dan verifikasi;
b. koordinasi pelaksanaan kegiatan perbendaharaan dan mobilisasi dana,
penyusunan dan evaluasi anggaran serta akuntansi dan verifikasi;
c. pengendalian, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan perbendaharaan
dan mobilisasi dana, penyusunan dan evaluasi anggaran serta akuntansi dan
verifikasi.

Pasal 29
(1) Direktur Umum dan operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Direktur Utama.
(2) Direktur Umum dan operasional mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan layanan
umum, perencanaan dan pemasaran.
(3) Dalam melaksanakan tugas sesuai dengan ayat (1) Direktur Umum dan Operasional
menyelengarakan fungsi:
a. penyusunan rencana kegiatan ketatausahaan rumah sakit, rumah tangga,
perlengkapan, perencanaan dan evaluasi serta pemasaran rumah sakit.
b. pelaksanaan kegiatan ketatausahaan rumah sakit, rumah tangga, perlengkapan,
perencanaan dan evaluasi serta pemasaran rumah sakit.
c. pengendalian dan evaluasi kegiatan ketatausahaan rumah sakit, rumah tangga,
perlengkapan, perencanaan dan evaluasi serta pemasaran rumah sakit.
Bagian Keempat
Rapat Direksi

Pasal 30
(1) Rapat direksi adalah rapat yang diselenggarakan oleh Direksi untuk membahas
hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan, pengurusan dan pelaksanaan kegiatan
rumah sakit sesuai tugas dan kewajiban Direksi.
(2) Rapat direksi terdiri dari rapat rutin, rapat tahunan dan rapat khusus.
(3) Peserta rapat direksi adalah Anggota Direksi, apabila diperlukan dapat juga dihadiri
oleh Dewan Pengawas.
(4) Pengambilan keputusan rapat direksi harus diupayakan melalui musyawarah dan
mufakat.
(5) Dalam hal tidak tercapai mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak.
(6) Setiap rapat direksi dibuat risalah rapat.
(7) Pengaturan rapat direksi ditetapkan oleh Direktur Utama.

Pasal 31
(1) Rapat rutin direksi dilaksanakan 1 (satu) minggu sekali.
(2) Rapat rutin direksi membahas hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan rumah sakit
sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajiban masing-masing Anggota Direksi.

Pasal 32
(1) Rapat tahunan direksi dilaksanakan sekali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Rapat tahunan direksi bertujuan untuk menetapkan kebijakan tahunan operasional
rumah sakit mencakup pengelolaan pelayanan medik, sumber daya manusia, sarana
dan prasarana serta pengelolaan keuangan.
Pasal 33
(1) Rapat khusus direksi dilaksanakan di luar jadwal rapat rutin maupun rapat tahunan,
untuk mengambil keputusan, menetapkan kebijakan terhadap hal-hal yang dianggap
khusus.
(2) Dalam rapat khusus direksi hanya membahas masalah yang berkaitan dengan situasi
dan kondisi tertentu yang memerlukan kebijakan khusus direksi.
(3) Apabila dipandang perlu Direksi dapat mengundang Dewan Pengawas untuk hadir
dalam rapat khusus direksi.
(4) Undangan rapat khusus direksi harus mencantumkan tujuan pertemuan secara
spesifik.

BAB V
KOMITE DAN SATUAN

Bagian Kesatu
Pembentukan Komite dan Satuan

Pasal 34
(1) Komite dan Satuan adalah organisasi non struktural yang terdiri dari tenaga ahli atau
profesi.
(2) Pembentukan Komite dan Satuan bertujuan untuk memberikan pertimbangan
strategis kepada Direktur Utama dalam rangka peningkatan dan pengembangan
pelayanan rumah sakit.
(3) Pembentukan, perubahan dan penambahan Komite dan Satuan ditetapkan oleh
Direktur Utama setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Bina Upaya
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
(4) Komite dan Satuan di RS AB adalah:
a. Komite Medik;
b. Komite Hukum;
c. Komite Mutu;
d. Satuan Pemeriksaan Intern.
Bagian Kedua
Pengangkatan dan Pemberhentian Komite dan Satuan

Pasal 35
(1) Komite dan Satuan diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama.
(2) Masa jabatan Komite dan Satuan adalah selama tiga 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komite dan Satuan bertanggung jawab
kepada Direktur Utama dengan berkoordinasi kepada direktorat terkait.
(4) Komite dan Satuan dapat diberhentikan pada masa jabatannya apabila:
a. tidak menunjukan kinerja yang baik; atau
b. tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; atau
c. terlibat dalam tindakan yang merugikan rumah sakit; atau
d. dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana yang
berkaitan dengan kegiatan rumah sakit; atau
e. adanya kebijakan dari Direktur Utama.

Bagian Ketiga
Komite Medik

Pasal 36
(1) Komite Medik beranggotakan para profesional medis.
(2) Komite Medik mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Direktur Utama
dalam hal menyusun standar pelayanan medis, pengawasan dan pengendalian mutu
pelayanan medis, kewenangan klinis staf medis fungsional, program pelayanan,
pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Medik diatur dalam Peraturan Internal Staf
Medis (Medical Staff Bylaws).
Bagian Keempat
Komite Hukum

Pasal 37
(1) Komite Hukum beranggotakan para sarjana hukum.
(2) Komite Hukum mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Direksi dalam hal
menyusun, merumuskan medikolegal yang terkait dengan hospital bylaws dan medical
staff bylaws serta konsultasi dan bantuan hukum bagi seluruh pegawai, sosialisasi
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan rumah sakit.
(3) Tata Kerja dan mekanisme Komite Hukum ditetapkan oleh Direktur Utama.

Bagian Kelima
Komite Mutu

Pasal 38
(1) Komite Mutu mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Direktur Utama
dalam hal pengendalian mutu, pengendalian infeksi rumah sakit, kesehatan dan
keselamatan kerja serta keselamatan pasien rumah sakit.
(2) Tata Kerja dan mekanisme Komite Mutu ditetapkan oleh Direktur Utama.

Bagian Keenam
Satuan Pemeriksaan Intern (SPI)

Pasal 39
(1) Satuan Pemeriksaan Intern (SPI) mempunyai tugas membantu Direksi dalam bidang
pengawasan pengelolaan sumber daya dan melaksanakan pemeriksaan intern di
rumah sakit.
(2) Tata Kerja dan mekanisme Satuan Pemeriksaan Intern (SPI) ditetapkan oleh Direktur
Utama.
BAB VI
TATA KELOLA RUMAH SAKIT

Pasal 40
(1) Kebijakan, pedoman dan standar prosedur operasional ditetapkan oleh Direktur
Utama.
(2) Masing-masing direktorat wajib mengusulkan kebijakan dan pedoman yang terkait
dengan bidang tugasnya untuk ditetapkan oleh Direktur Utama.
(3) Masing-masing unit kerja wajib membuat standar prosedur operasional dan peraturan
pelaksanaan lainnya dengan matrik keterkaitan yang jelas antar pelayanan utama dan
pendukung pelayanan lainnya untuk ditetapkan oleh Ditrektur Utama.
(4) Kebijakan, pedoman dan standar prosedur operasional tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) ini .
(5) Untuk menangani pengelolaan kegiatan tertentu, Direktur Utama dapat membentuk
panitia atau kelompok kerja.
(6) Dalam pelaksanaan tugas, wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi baik dilingkungannya maupun dengan instansi lain sesuai bidang tugas
masing-masing.
(7) Setiap pimpinan unit kerja wajib melakukan bimbingan, pembinaan dan pengawasan
terhadap kendali mutu, kendali biaya, disiplin pegawai dan motivasi kerja bawahan
dan apabila terjadi penyimpangan wajib mengambil langkah-langkah sesuai ketentuan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BUKU KEDUA
PERATURAN INTERNAL STAF MEDIS
(MEDICAL STAFF BYLAWS)

BAB VII
PENGORGANISASIAN STAF MEDIS FUNGSIONAL

Bagian Kesatu
Kelompok Staf Medis Fungsional (KSMF)

Pasal 41
(1) Pengorganisasian staf medis fungsional di RS AB disebut Kelompok Staf Medis
Fungsional (KSMF).
(2) KSMF dibentuk dan ditetapkan oleh Direktur Utama.
(3) KSMF berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Medik dan
Keperawatan.
(4) KSMF merupakan kelompok yang mengkoordinasikan pelayanan profesi medik.

Pasal 42
Tujuan pengorganisasian staf medis fungsional adalah agar staf medis fungsional di rumah
sakit dapat fokus terhadap kebutuhan pasien, sehingga menghasilkan pelayanan medis yang
berkualitas, efisien dan bertanggung jawab.

Pasal 43
(1) Pengelompokan staf medis fungsional kedalam KSMF adalah berdasarkan keahlian
atau spesialisasinya.
(2) KSMF RS AB terdiri dari:
a. KSMF Anak
b. KSMF Obstetri dan Ginekologi
c. KSMF Bedah
d. KSMF Spesialis Lain
e. KSMF Umum
f. KSMF Gigi dan Mulut
(3) KSMF Anak merupakan kelompok dokter spesialis anak.
(4) KSMF Obstetri dan Ginekologi merupakan kelompok dokter spesialis obstetri dan
ginekologi.
(5) KSMF Bedah merupakan kelompok dokter spesialis bedah, dokter spesialis anestesi,
dokter spesialis mata dan dokter spesialis THT.
(6) KSMF Spesialis Lain merupakan kelompok dokter spesialis kulit dan kelamin, dokter
spesialis penyakit dalam, dokter spesialis radiologi, dokter spesialis patologi klinik,
dokter spesialis patologi anatomi, dokter spesialis mikrobiologi klinik, dokter spesialis
rehabilitasi medik, dokter spesialis genetika klinik, dokter spesialis gizi klinik dan
dokter spesialis yang belum termasuk dalam KSMF Anak, KSMF Obstetri dan
Gynaecologi, dan KSMF Bedah.
(7) KSMF Umum merupakan kelompok dokter umum.
(8) KSMF Gigi dan Mulut merupakan kelompok dokter gigi dan dokter gigi spesialis.
(9) Perubahan nama, penambahan dan pengurangan KSMF ditetapkan oleh Direktur
Utama.

Bagian Kedua
Keanggotaan KSMF

Pasal 44
(1) Seluruh staf medis fungsional baik bekerja purna waktu atau paruh waktu wajib
menjadi Anggota KSMF kecuali Dokter Konsultan dan Dokter Pengganti dari luar RS
AB.. serta Dokter Residen.
(2) Setiap KSMF beranggotakan minimal 2 (dua) orang staf medis fungsional, dalam hal
staf medis fungsional dengan keahlian yang sama kurang dari 2 (dua) orang atau belum
ditetapkan sebagai KSMF tertentu, maka staf medis fungsional yang besangkutan
masuk dalam KSMF Spesialis Lain.
(3) Pengangkatan staf medis fungsional kedalam KSMF ditetapkan oleh Direktur Utama
dalam penugasan klinis.
Pasal 45
(1) Setiap KSMF dipimpin oleh seorang ketua yang ditetapkan oleh Direktur Utama.
(2) Dalam menentukan Ketua KSMF, Direktur Utama dapat meminta pendapat dari
Anggota Direksi dan Komite Medik.
(3) Penetapan sebagai Ketua KSMF dengan surat keputusan Direktur Utama untuk masa
bakti selama 3 (tiga) tahun.
(4) Apabila Ketua KSMF diangkat menjadi Ketua Komite Medik maka wajib mengundurkan
diri dari jabatan Ketua KSMF dan Direktur Utama menetapkan Ketua KSMF yang baru
sebagai penggantinya.
(5) Tata cara pengangkatan Ketua KSMF ditetapkan oleh Direktur Utama.

Bagian Ketiga
Tugas dan Wewenang Ketua KSMF

Pasal 46
(1) Ketua KSMF mempunyai tugas:
a. Mengusulkan uraian tugas dan tata kerja Anggota KSMF untuk ditetapkan oleh
Direktur Medik dan Keperawatan;
b. Mengkoordinasikan semua kegiatan Anggota KSMF dalam hal:
1) pengusulan prosedur pelayanan yang berhubungan dengan administrasi
pelayanan medis yang meliputi pengaturan tugas pelayanan, tugas jaga,
visite/ronde, pertemuan klinis, presentasi kasus, prosedur konsultasi dan
prosedur lainnya untuk ditetapkan Direktur Medik dan Keperawatan;
2) menyusun pedoman pelayanan medis dan standar prosedur kerja yang
berhubungan dengan bidang keilmuan/keprofesian, di bawah koordinasi Komite
Medik untuk ditetapkan Direktur Utama;
3) melakukan perbaikan pedoman pelayanan medis dan dokumen terkait yang
perlu disempurnakan agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang;
4) membuat usulan program peningkatan keilmuan dan ketrampilan semua
Anggota KSMF serta program peningkatan dan pengembangan pelayanan
kepada Direktur Medik dan Keperawatan.
c. Membantu Direktur Medik dan Keperawatan dalam membina Anggota KSMF,
dalam hal:
1) pemantauan penampilan kinerja praktik klinis, pemantauan indikator mutu
klinis, hasil evaluasi kinerja praktik klinis, pelaksanaan program pengembangan
pelayanan dan pengembangan Anggota KSMF berdasarkan data yang
komprehensif;
2) pemberian laporan atas kegiatan sebagaimana tercantum pada butir 1)
disampaikan kepada Direktur Medik dan Keperawatan setelah melalui
pembahasan bersama Anggota KSMF.
(2) Ketua KSMF berwenang:
a. memberikan masukan kepada Direktur Medik dan Keperawatan serta Ketua Komite
Medik dalam hal yang terkait dengan perkembangan ilmu dan tehnologi
kedokteran serta temuan terapi baru yang berhubungan dengan praktik
kedokteran;
b. mengkoordinasikan anggota KSMF agar pelayanan medis berjalan secara optimal
dan sesuai ketentuan yang berlaku;
c. memberikan masukan kepada Direktur Medik dan Keperawatan melalui Ketua
Komite Medik mengenai penerimaan calon staf medis fungsional baru.
(3) Untuk mendukung kelancaran tugas Ketua KSMF, dapat ditunjuk Anggota KSMF sebagai
sekretaris dan koordinator dibidang pelayanan, pendidikan dan penelitian dengan
keputusan Direktur Utama.

Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota KSMF

Pasal 47
(1) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota KSMF ditetapkan dengan keputusan
Direktur Utama dengan mempertimbangkan rekomendasi Komite Medik.
(2) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Anggota KSMF ditetapkan oleh Direktur
Utama.
Pasal 48
(1) Pemberhentian staf medis fungsional sebagai Anggota KSMF berupa pemberhentian
sementara atau pemberhentian menetap .
(2) Pemberhentian menetap apabila:
a. kondisi fisik dan atau mental SMF yang bersangkutan tidak mampu lagi secara
menetap melakukan tindakan medis, berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
yang dilakukan oleh Tim Kesehatan yang berwenang; atau
b. melakukan pelanggaran hukum yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau
c. melakukan pelanggaran disiplin dan etika yang telah diputuskan oleh MKEK/MKDKI
dengan sanksi tidak dapat menjalankan profesi secara tetap/selamanya; atau
d. berakhir masa perjanjian kerja dan tidak diperpanjang; atau
e. tidak disetujui untuk diangkat kembali sebagai anggota KSMF.
(3) Pemberhentian sementara apabila:
a. kondisi fisik staf medis fungsional yang bersangkutan tidak mampu melakukan
tindakan medis lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun; atau
b. melakukan pelanggaran disiplin dan etika yang telah diputuskan oleh MKEK/MKDKI
dengan sanksi tidak dapat menjalankan profesi sementara; atau
c. berulang-ulang melakukan pelanggaran disiplin profesi kedokteran atau peraturan
lain yang terkait; atau
d. dicabut kewenangan klinisnya; atau
e. ijin praktek di RS AB sudah tidak berlaku sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang ada; atau
f. tidak memenuhi standar kompetensi sesuai dengan profesinya; atau
g. staf medis purna waktu yang memasuki usia pensiun, yang dalam proses
pengangkatan kembali sebagai Anggota KSMF; atau
h. berakhir masa perjanjian kerja dan belum diperpanjang; atau
i. cuti diluar tanggungan negara sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pasal 49
(1) Pengangkatan kembali staf medis fungsional sebagai Anggota KSMF diberlakukan bagi
staf medis fungsional yang selesai menjalani pemberhentian sementara.
(2) Staf medis fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan:
a. surat permohonan dari yang bersangkutan atau rekomendasi tertulis dari Ketua
KSMF terkait;
b. foto copi Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia;
c. foto copi Surat Ijin Praktek;
d. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP;
e. surat pernyataan sanggup mematuhi dan melaksanakan etika profesi;
f. surat pernyataan sanggup mematuhi segala peraturan yang berlaku di lingkungan
RSAB
(3) Bila diperlukan dapat diminta kajian dan rekomendasi dari Komite Medik untuk
pengangkatan kembali anggota KSMF;
(4) Direktur Utama dalam waktu 30 hari kerja harus mengeluarkan keputusan persetujuan
atau penolakan.
BAB VIII
STAF MEDIS FUNGSIONAL (SMF)

Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban SMF

Pasal 50
(1) Staf medis fungsional dalam menjalankan tugas profesi/praktik kedokteran di
RS AB bertanggung jawab profesi dan hukum secara mandiri.
(2) Staf medis fungsional secara administratif manajerial bertanggung jawab kepada
Direktur Medik dan Keperawatan dan secara teknis profesi bertanggung jawab kepada
Komite Medik.
(3) Hak dan kewajiban staf medis fungsional sebagai pegawai dan sebagai tenaga profesi
di RS AB sesuai ketentuan yang berlaku.

Bagian Kedua
Tugas SMF

Pasal 51
(1) Tugas staf medis fungsional :
a. melaksanakan kegiatan profesi yang meliputi prosedur diagnosis, pengobatan,
pencegahan dan pemulihan penyakit yang diderita pasien;
b. meningkatkan kemampuan profesinya, melalui program pendidikan / pelatihan
berkelanjutan;
c.menjaga agar kualitas pelayanan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan
medis serta standar etika dan disiplin kedokteran yang sudah ditetapkan;
d. menyusun, mengumpulkan, menganalisis dan membuat laporan pemantauan
indikator mutu klinis.

(2) Fungsi staf medis fungsional secara perorangan adalah sebagai pelaksana pelayanan
medis, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan di bidang medis.
Bagian Ketiga
Pembinaan dan Pengawasan SMF

Pasal 52
(1) Pembinaan dan pengawasan merupakan tindakan korektif terhadap staf medis
fungsional yang dilakukan oleh Direktur Utama berdasarkan rekomendasi Direktur
Medik dan Keperawatan atau Komite Medik.
(2) Pembinaan dan pengawasan terhadap staf medis fungsional meliputi pembinaan dan
pengawasan kewenangan klinis, kendali mutu, disiplin profesi, etika profesi, kendali
biaya, disiplin pegawai dan motivasi kerja.
(3) Pembinaan dan pengawasan kewenangan klinis, mutu profesi, disiplin profesi, etika
profesi dilakukan oleh Komite Medik.
(4) Pembinaan dan pengawasan mutu pelayanan, kendali biaya, disiplin pegawai dan
motivasi kerja dilakukan oleh Direktur Medik dan Keperawatan.

Pasal 53
(1) Pembinaan dan pengawasan terkait kewenangan klinis dilakukan dengan investigasi.
(2) Rekomendasi hasil investigasi sebagaimana ayat (1), berupa:
a. penjatuhan teguran tertulis atau/dan pembatasan kewenangan klinis selama-
lamanya 3 bulan untuk pelanggaran ringan;
b. pembatasan kewenangan klinis selama-lamanya 6 bulan untuk pelanggaran
sedang;
c. pembatasan kewenangan klinis selama-lamanya 1 (satu) tahun untuk pelanggaran
berat.

(3) Pembinaan dan pengawasan terkait mutu profesi, disiplin profesi, etika profesi
dilakukan dengan audit medis, yang diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh staf medis;
b. meningkatkan etika dan disiplin pelayanan oleh staf medis;
c. melindungi masyarakat atau pasien atas tindakan yang dilakukan oleh staf medis.
(4) Tata cara pembinaan, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap staf
medis fungsional ditetapkan oleh Direktur Utama.
Bagian Keempat
Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)

Pasal 54
(1) Dokter Penanggung Jawab Pelayanan adalah staf medis fungsional yang bertanggung
jawab atas pengelolaan asuhan medis seorang pasien di rumah sakit.
(2) Seluruh staf medis fungsional dapat menjadi DPJP sesuai tempat tugasnya

Pasal 55
(1) DPJP terdiri dari DPJP pada pelayanan gawat darurat, DPJP pada pelayanan rawat jalan
dan DPJP pada pelayanan rawat inap.
(2) DPJP pada pelayanan gawat darurat adalah staf medis fungsional yang bertugas pada
Instalasi Gawat Darurat dan berdasarkan ketentuan yang diberlakukan.
(3) DPJP pada pelayanan rawat jalan adalah staf medis fungsional yang bertugas pada
pelayanan rawat jalan dan berdasarkan ketentuan yang diberlakukan.
(4) DPJP pada pelayanan rawat inap adalah staf medis fungsional yang bertugas pada
pelayanan rawat inap dan berdasarkan ketentuan yang diberlakukan.
(5) DPJP pada pelayanan rawat inap sudah harus ditentukan sebelum pasien masuk rawat
inap.
(6) Dalam hal kondisi pasien memerlukan penanganan lebih lanjut di luar kompetensi
DPJP, pengaturannya dilakukan oleh Direktur Medik dan Keperawatan.
(7) Ketentuan DPJP ditetapkan oleh Direktur Utama.

Pasal 56
(1) Dokter Penanggung Jawab Pelayanan mempunyai tugas:
a. melakukan pemeriksaan riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, diagnose
penyakit, pemeriksaan penunjang, pemberian terapi, evaluasi keberhasilan terapi
dan mendokumentasikannya ke dalam rekam medik;
b. memberikan informasi dan masukan tentang perkembangan kondisi pasien
kepada pasien, keluarga pasien dan tim pelayanan;
c. memberikan edukasi kepada pasien;
d. bila diperlukan DPJP melakukan presentasi kasus medis yang ditanganinya di
hadapan Komite Medik;
e. membantu dan memberikan bimbingan kepada mahasiswa kedokteran dalam
pendidikan klinis di rumah sakit.
(2) DPJP wajib membuat rencana asuhan pelayanan medik dengan memperhatikan
kendali biaya dan kendali mutu.

Bagian Kelima
Mitra Bestari

Pasal 57
(1) Mitra Bestari (peer group) adalah sekelompok staf medis dengan reputasi dan
kompetensi profesi yang baik untuk menelaah segala hal yang terkait dengan profesi
medis termasuk evaluasi kewenangan klinis.
(2) Mitra Bestari tidak terbatas dari staf medis yang ada di rumah sakit, tetapi dapat juga
berasal dari rumah sakit lain, perhimpunan dokter spesialis/dokter gigi spesialis,
kolegium dokter/dokter gigi, kolegium dokter spesialis/dokter gigi spesialis, dan / atau
institusi pendidikan kedokteran/kedokteran gigi.
(3) Mitra Bestari dapat ditunjuk sebagai Panitia Adhoc untuk membantu Komite Medik
melakukan kredensial, penjagaan mutu profesi, maupun penegakkan disiplin dan etika
profesi di rumah sakit.
(4) Penetapan Mitra Bestari sebagai Panitia Adhoc sebagaimana ayat (3) ditetapkan
dengan keputusan Direktur Utama atas usulan Ketua Komite Medik.

BAB IX
KEWENANGAN KLINIS (CLINICAL PRIVILEGE)

Pasal 58
(1) Kewenangan Klinis (clinical privilege) seorang staf medis fungsional ditetapkan dengan
keputusan Direktur Utama setelah memperhatikan rekomendasi dari Komite Medik.
(2) Penetapan kewenangan klinis (clinical privilege) oleh Direktur Utama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui penerbitan penugasan klinis (clinical appointment).
(3) Kewenangan klinis setiap staf medis fungsional dapat saling berbeda walaupun
memiliki spesialisasi yang sama.
(4) Tanpa kewenangan klinis (clinical privilege) seorang staf medis fungsional tidak dapat
menjadi anggota KSMF.
(5) Kewenangan klinis (clinical privilege) diberikan kepada staf medis fungsional
berdasarkan pertimbangan antara lain:
a. clinical appraisal (tinjauan atau telaah hasil proses kredensial) berupa surat
rekomendasi;
b. standar profesi dari organisasi profesi;
c. standar pendidikan;
d. standar kompetensi dari kolegium.

Pasal 59
(1) Rincian kewenangan klinis dan syarat-syarat kompetensi setiap jenis pelayanan medis
yang disebut buku putih (white paper) ditetapkan oleh Komite Medik dengan
berpedoman pada norma keprofesian yang ditetapkan oleh kolegium setiap
spesialisasi.
(2) Dalam hal dijumpai kesulitan menentukan kewenangan klinis dan atau apabila suatu
pelayanan medis dapat dilakukan oleh staf medis fungsional dari jenis spesialisasi yang
berbeda maka untuk pelayanan medis tertentu Komite Medik dapat meminta
informasi atau pendapat dari Mitra Bestari.

Pasal 60
Kewenangan klinis (clinical privilege) seorang staf medis fungsional dievaluasi secara berkala
melalui proses rekredensial untuk ditentukan apakah kewenangan tersebut dapat
dipertahankan, diperluas, dipersempit atau dicabut oleh Direktur utama.

Pasal 61
(1) Dalam hal menghendaki agar kewenangan klinisnya diperluas maka staf medis
fungsional yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Direktur Utama
dengan menyebutkan alasan serta melampirkan bukti berupa sertifikat pelatihan yang
diakui oleh organisasi profesi dan atau pendidikan yang dapat mendukung
permohonannya.
(2) Sesuai dengan permohonan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) maka Direktur
Utama akan meminta Komite Medik untuk melakukan rekredensial.
(3) Direktur Utama berwenang mengabulkan atau menolak permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan rekomendasi Komite Medik.
(4) Setiap permohonan perluasan kewenangan klinis yang dikabulkan dituangkan pada
penugasan klinis dalam bentuk Surat Keputusan Direktur Utama dan disampaikan
kepada pemohon serta ditembuskan kepada Komite Medik.
(5) Apabila permohonan perluasan kewenangan klinis ditolak dituangkan dalam Surat
Pemberitahuan Penolakan yang ditanda tangani oleh Direktur Utama dan disampaikan
kepada pemohon serta ditembuskan kepada Komite Medik.

BAB X
PENUGASAN KLINIS (CLINICAL APPOINTMENT)

Pasal 62
(1) Penugasan klinis (clinical appointment) diterbitkan kepada seorang staf medis fungsional
setelah melalui proses kredensial atau rekredensial dan rekomendasi Komite Medik.
(2) Penugasan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kewenangan klinis yang
diberikan kepada seorang staf medis fungsional dan tempat yang bersangkutan untuk
dapat melaksanakan tugas.
(3) Penugasan klinis (clinical appointment) ditetapkan dengan keputusan Direktur Utama.
(4) Penugasan klinis berlaku selama 3 (tiga) tahun.

Pasal 63
(1) Penugasan klinis seorang staf medis hanya dapat ditetapkan bila:
a. mempunyai Surat Ijin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) yang
diterbitkan oleh Konsil Kedokteran/Kedokteran Gigi Indonesia;
b. memenuhi syarat sebagai staf medis berdasarkan peraturan perundang-undangan
kesehatan yang berlaku dan ketentuan lain sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Internal Rumah Sakit ini;
c. memenuhi syarat-syarat umum praktik klinis yang berlaku di rumah sakit;
d. memenuhi syarat untuk menangani pasien dalam batas-batas sebagaimana
ditetapkan oleh Direktur Utama setelah mempertimbangkan daya dukung fasilitas
rumah sakit;
e. bersedia memenuhi segala permintaan rumah sakit yang dianggap wajar
sehubungan dengan pelayanan dan tindakan medis dengan mengacu pada
panduan praktik klinik (PPK), clinical pathway dan prosedur operasional/
manajerial/ administrasi yang berlaku di rumah sakit; dan
f. bersedia mematuhi etika kedokteran yang berlaku di Indonesia, baik yang berkaitan
dengan kewajiban terhadap masyarakat, kewajiban terhadap pasien, teman
sejawat dan diri sendiri.
(2) Penugasan klinis dapat berakhir sebelum jangka waktu berakhirnya dalam hal:
a. ijin praktik yang bersangkutan sudah tidak berlaku sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau
b. kondisi fisik atau mental staf medis yang bersangkutan tidak mampu lagi
melakukan pelayanan medis secara menetap; atau
c. staf medis fungsional tidak memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang ditetapkan
dalam kewenangan klinis (clinical privilege) yang dicantumkan dalam penugasan
klinis; atau
d. staf medis fungsional telah melakukan tindakan yang tidak profesional atau
perilaku menyimpang lainnya; atau
e. staf medis fungsional diberhentikan oleh Direktur Utama karena melakukan
pelanggaran disiplin kepegawaian sesuai peraturan yang berlaku; atau
f. staf medis fungsional diberhentikan oleh Direktur Utama karena yang
bersangkutan mengakhiri kontrak dengan rumah sakit setelah mengajukan
pemberitahuan satu bulan sebelumnya.
BAB XI
KOMITE MEDIK

Bagian Kesatu
Kedudukan Komite Medik

Pasal 64
(1) Komite Medik merupakan organisasi non struktural yang dibentuk oleh Direktur Utama.
(2) Komite Medik berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama.
(3) Kebijakan, prosedur dan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan tugas, fungsi
dan wewenang Komite Medik ditetapkan oleh Direktur Utama.

Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan Komite Medik

Pasal 65
(1) Susunan organisasi Komite Medik sebagai berikut:
a. Ketua Komite Medik
b. Sekretaris Komite Medik
c. Anggota Komite Medik yang terdiri dari:
1. Sub Komite Kredensial;
2. Sub Komite Mutu Profesi Medis;
3. Sub Komite Etika dan Disiplin Profesi.
(2) Personalia Komite Medik RS AB berjumlah 9 (sembilan) orang.

Pasal 66
(1) Seseorang yang dapat diangkat menjadi anggota/personalia Komite Medik ialah staf
medis fungsional purna waktu dan sudah bekerja di RS AB minimal 5 (lima) tahun.
(2) Keanggotaan Komite Medik ditetapkan oleh Direktur Utama dengan
mempertimbangkan :
a. sikap profesional;
b. reputasi;
c. perilaku; dan
d. memperhatikan usulan dari KSMF.
(3) Ketua Komite Medik ditunjuk oleh Direktur Utama.
(4) Sekretaris Komite Medik, Anggota Komite Medik, Ketua Sub Komite, Anggota Sub
Komite, dan Sekretaris Sub Komite ditetapkan oleh Direktur Utama berdasarkan
usulan Ketua komite Medik.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota/personalia Komite Medik ditetapkan
dengan keputusan Direktur Utama.

Pasal 67
(1) Persyaratan Ketua Komite Medik:
a. mempunyai kredibilitas yang tinggi dalam profesinya;
b. menguasai segi ilmu pofesinya dalam jangkauan, ruang lingkup, sasaran dan
dampak yang luas;
c. peka terhadap perkembangan perumahsakitan;
d. bersifat terbuka, bijaksana dan jujur;
e. mempunyai kepribadian yang dapat diterima dan disegani di lingkungan profesinya;
dan
f. mempunyai integritas keilmuan dan etika profesi yang tinggi.
(2) Dalam menentukan Ketua Komite Medik, Direktur Utama dapat meminta pendapat
dari Dewan Pengawas.

Bagian Ketiga
Tugas, Fungsi dan Wewenang Komite Medik

Pasal 68
(1) Komite Medik mempunyai tugas meningkatkan profesionalisme staf medis fungsional
yang bekerja di rumah sakit dengan cara:
a. melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan
medis di rumah sakit;
b. memelihara mutu profesi staf medis fungsional; dan
c. menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis fungsional.
(2) Pedoman pelaksanaan tugas Komite Medik ditetapkan oleh Direktur Utama.

Pasal 69
(1) Dalam melaksanakan tugas kredensial, Komite Medik memiliki fungsi sebagai berikut:
a. penyusunan daftar kewenangan klinis dan persyaratan setiap jenis pelayanan
medis;
b. penyelenggaraan pemeriksaan dan pengkajian kompetensi, kesehatan fisik dan
mental, perilaku, dan etika profesi;
c. pengevaluasian data pendidikan profesional kedokteran/kedokteran gigi
berkelanjutan;
d. penilaian dan pemberian rekomendasi pemutusan kewenangan klinis yang adekuat.
(2) Dalam melaksanakan tugas memelihara mutu profesi staf medis fungsional, Komite
Medik memiliki fungsi sebagai berikut:
a. berperan menjaga mutu profesi medis dengan memastikan kualitas asuhan medis
yang diberikan oleh staf medis fungsional melalui upaya pemberdayaan, evaluasi
kinerja profesi yang berkesinambungan (on-going professional practice evaluation),
maupun evaluasi kinerja profesi yang terfokus (focused professional practice
evaluation);
b. pendidikan dan pengembangan profesi berkelanjutan dengan memberikan
rekomendasi pendidikan, pertemuan ilmiah internal dan kegiatan eksternal; dan
c. pendampingan (proctoring) terhadap staf medis fungsional.
(3) Dalam melaksanakan tugas menjaga disiplin, etika dan perilaku profesi staf medis
fungsional, Komite Medik memiliki fungsi sebagai berikut:
a. pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran;
b. pemeriksaan staf medis fungsional yang diduga melakukan pelanggaran disiplin;
c. rekomendasi pendisiplinan perilaku staf medis fungsional; dan
d. pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis.

Pasal 70
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komite Medik berwenang:
1. memberikan rekomendasi rincian kewenangan klinis (delineation of clinical privilege);
2. memberikan rekomendasi surat penugasan klinis (clinical appointment);
3. memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis (clinical privilege) tertentu;
4. memberikan rekomendasi perubahan/modifikasi rincian kewenangan klinis (delineation
of clinical privilege);
5. memberikan rekomendasi tindak lanjut audit medis;
6. memberikan rekomendasi pendidikan kedokteran berkelanjutan;
7. memberikan rekomendasi pendampingan (proctoring); dan
8. memberikan rekomendasi pemberian tindakan disiplin.

Pasal 71
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Komite Medik dapat dibantu oleh panitia adhoc
dari mitra bestari yang ditetapkan oleh Direktur Utama.

Bagian Keempat
Rapat Komite Medik

Pasal 72
(1) Rapat komite medik adalah rapat yang diselenggarakan oleh Komite Medik untuk
membahas hal-hal yang berhubungan dengan keprofesian staf medis fungsional sesuai
tugas dan kewajibannya.
(2) Rapat komite medik terdiri dari rapat rutin, rapat dengan Direktur Medik dan
Keperawatan, dan rapat khusus.
(3) Peserta rapat komite medik selain Anggota Komite Medik, apabila diperlukan dapat
juga dihadiri oleh pihak lain yang terkait dengan agenda rapat, baik internal maupun
eksternal RS AB yang ditentukan oleh Komite Medik.
(4) Setiap rapat komite medik dibuat risalah rapat.
(5) Mekanisme pelaksanaan rapat komite medik diatur dalam pedoman rapat komite
medik.
Pasal 73
(1) Rapat rutin komite medik:
a. rapat rutin diselenggarakan terjadual paling sedikit dua kali dalam satu bulan
dengan interval yang tetap pada waktu dan tempat yang ditetapkan oleh Komite
Medik;
b. rapat rutin merupakan rapat koordinasi untuk mendiskusikan, melakukan
klarifikasi, mencari alternatif solusi berbagai masalah pelayanan medis dan
membuat usulan tentang kebijakan pelayanan medis;
c. risalah rapat rutin dan risalah rapat khusus yang lalu disampaikan pada setiap
penyelenggaraan rapat rutin.
(2) Rapat komite medik dengan Direktur Medik dan Keperawatan:
a. rapat dengan Direktur Medik dan Keperawatan diselenggarakan terjadual paling
sedikit satu kali dalam satu bulan dengan interval yang tetap pada waktu dan
tempat yang ditetapkan oleh Komite Medik dan Direktur Medik dan Keperawatan;
b. rapat bertujuan untuk menginternalisasikan kebijakan dan peraturan-peraturan
yang berhubungan dengan profesi dan pelayanan medis, mendiskusikan berbagai
masalah pelayanan medis, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan
serta menampung usulan tentang kebijakan pelayanan medis;
c. risalah rapat dengan Direktur Medik dan Keperawatan yang lalu disampaikan pada
setiap penyelenggaraan rapat dengan Direktur Medik dan Keperawatan.
(3) Rapat khusus komite medik:
a. rapat khusus diselenggarakan atas permintaan yang ditandatangani oleh paling
sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite Medik;
b. rapat khusus bertujuan untuk membahas masalah mendesak / penting yang segera
memerlukan penetapan/ keputusan Direktur Utama;
c. undangan rapat khusus disampaikan oleh Sekretaris Komite Medik kepada peserta
rapat melalui telepon sebelum rapat diselenggarakan, dengan memberitahukan
agenda rapat.
(4) Pimpinan rapat komite medik:
a. setiap rapat komite medik dipimpin oleh Ketua Komite Medik, apabila Ketua
berhalangan hadir dalam suatu rapat, bila kuorum telah tercapai, maka Anggota
Komite Medik yang hadir dapat memilih pimpinan rapat;
b. pimpinan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (4.a) berkewajiban melaporkan
hasil keputusan rapat kepada Ketua Komite Medik.
(5) Kuorum:
a. Dalam hal untuk pengambilan keputusan, rapat komite medik hanya dapat
dilaksanakan bila kuorum tercapai;
b. kuorum dianggap tercapai bila 50%+1 dari anggota komite medik hadir;
c. dalam hal kuorum tidak tercapai dalam waktu satu jam dari waktu yang telah
ditentukan, maka rapat ditangguhkan untuk dilaksanakan pada tempat, hari dan
jam yang disepakati paling lambat dalam waktu 2x24 jam;
d. dalam hal kuorum tidak juga tercapai dalam waktu satu jam dari waktu rapat yang
telah ditentukan sebagaimana ayat (5.c), maka rapat dapat dilaksanakan dan segala
keputusan yang terdapat dalam risalah rapat disahkan dalam rapat komite medik
berikutnya.
(6) Pengambilan putusan rapat:
a. pengambilan putusan rapat komite medik berdasarkan pendekatan berbasis bukti
(evidence-based);
b. dalam hal tidak tercapai mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak;
c. apabila belum mendapat kesepakatan maka pimpinan rapat menyampaikan hasil
rapat kepada Direktur Utama untuk diputuskan;
d. keputusan rapat Komite Medik merupakan sebuah rekomendasi yang diberikan
kepada Direktur Utama.

BAB XII
SUBKOMITE KREDENSIAL

Bagian Kesatu
Pengorganisasian SubKomite Kredensial
Pasal 74
(1) Subkomite kredensial berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua Komite
Medik.
(2) Anggota/personalia subkomite kredensial terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang staf medis fungsional yang memiliki penugasan klinis (clinical appointment) dan
berasal dari disiplin ilmu yang berbeda.
(3) Pengorganisasian subkomite kredensial terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota.

Bagian Kedua
Tugas dan wewenang SubKomite Kredensial

Pasal 75
Tugas dan wewenang subkomite kredensial adalah:
1. menyusun dan mengkompilasi daftar kewenangan klinis dan persyaratan setiap jenis
pelayanan medis berdasarkan norma keprofesian yang berlaku dan masukan dari KSMF
dan atau Mitra Bestari;
2. melakukan kredensial dan rekredensial untuk mendapatkan dan memastikan bahwa
staf medis fungsional yang akan melakukan pelayanan medis dirumah sakit kredible,
profesional dan akuntabel;
3. mengevaluasi data pendidikan profesional kedokteran/kedokteran gigi berkelanjutan
(P2KB/ P3KGB) staf medis fungsional;
4. mewawancarai pemohon kewenangan klinis;
5. melaporkan hasil penilaian kredensial dan menyampaikan rekomendasi kewenangan
klinis dan penugasan klinis kepada Ketua Komite Medik.

Bagian Ketiga
Kredensial dan Rekredensial

Pasal 76
(1) Instrumen kredensial dan rekredensial antara lain adalah daftar rincian kewenangan
klinis setiap spesialisasi, buku putih (white paper) untuk setiap pelayanan medis dan
daftar mitra bestari.
(2) Proses kredensial dan rekredensial meliputi pemeriksaan dan pengkajian elemen:
a. Kompetensi:
1) berbagai area kompetensi sesuai standar kompetensi yang disahkan oleh
lembaga pemerintah yang berwenang;
2) kognitif;
3) afektif;
4) psikomotor.
b. Kompetensi fisik;
c. Kompetensi mental/perilaku;
d. Perilaku etis (ethical standing).
(3) Proses kredensial dilaksanakan dengan semangat keterbukaan, adil, obyektif, sesuai
dengan prosedur dan terdokumentasi.
(4) Dalam melakukan pengkajian dapat membentuk panel atau panitia adhoc atau
melibatkan Mitra Bestari.
(5) Hasil kredensial berupa rekomendasi Komite Medik kepada Direktur Utama tentang
lingkup kewenangan klinis seorang staf medis fungsional.

Pasal 77
(1) Rekredensial terhadap staf medis fungsional dilakukan dalam hal:
a. penugasan klinis (clinical appointment) yang dimiliki oleh staf medis fungsional telah
habis masa berlakunya;
b. staf medis fungsional yang bersangkutan diduga melakukan kelalaian terkait tugas
dan kewenangannya;
c. staf medis fungsional yang bersangkutan diduga terganggu kesehatannya, baik fisik
maupun mental.
(2) Rekomendasi hasil rekredensial berupa:
a. kewenangan klinis yang bersangkutan dilanjutkan;
b. kewenangan klinis yang bersangkutan ditambah;
c. kewenangan klinis yang bersangkutan dikurangi;
d. kewenangan klinis yang bersangkutan dibekukan untuk waktu tertentu;
e. kewenangan klinis yang bersangkutan diubah/dimodifikasi;
f. kewenangan klinis yang bersangkutan diakhiri.
BAB XIII
SUBKOMITE MUTU PROFESI

Bagian Kesatu
Penggorganisasian SubKomite Mutu Profesi

Pasal 78
(1) Subkomite mutu profesi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua
Komite Medik.
(2) Anggota/personalia subkomite mutu profesi terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang staf medis fungsional yang memiliki penugasan klinis (clinical appointment) dan
berasal dari disiplin ilmu yang berbeda.
(3) Pengorganisasian subkomite mutu profesi terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota.

Bagian Kedua
Tugas Dan Wewenang SubKomite Mutu Profesi

Pasal 79
Tugas dan wewenang subkomite mutu profesi adalah:
1. melakukan audit medis;
2. merekomendasikan pendidikan berkelanjutan bagi staf medis fungsional;
3. mengadakan pertemuan ilmiah internal Program Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan/Program Pendidikan Kedokteran Gigi Berkelanjutan (P2KB/ P2KGB) bagi
staf medis fungsional;
4. mengadakan kegiatan eksternal Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan/
Program Pendidikan Kedokteran Gigi Berkelanjutan (P2KB/ P2KGB) bagi staf medis
fungsional;
5. memfasilitasi proses pendampingan (proctoring) bagi staf medis fungsional yang
membutuhkan;
6. memberikan usulan untuk melengkapi kebutuhan perbekalan kesehatan yang
dibutuhkan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis.
Bagian Ketiga
Audit Medis

Pasal 80
(1) Audit medis dilakukan secara sistemik yang melibatkan mitra bestari (peer group) yang
terdiri dari kegiatan peer-review, surveillance dan assessment terhadap pelayanan
medis di rumah sakit.
(2) Pelaksanaan audit medis menggunakan rekam medis yang dibuat oleh staf medis
fungsional.
(3) Hasil dari Audit medis sebagaimana pada ayat (1) berfungsi:
a. sebagai sarana untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi masing-masing
staf medis fungsional;
b. sebagai dasar untuk pemberian kewenangan klinis (clinical privilege) sesuai
kompetensi yang dimiliki;
c. sebagai dasar bagi Komite Medik dalam merekomendasikan pencabutan atau
penangguhan kewenangan klinis (clinical privilege);
d. sebagai dasar bagi Komite Medik dalam merekomendasikan perubahan/modifikasi
rincian kewenangan klinis seorang staf medis fungsional.

Bagian Keempat
Pendidikan Berkelanjutan

Pasal 81
(1) Memberikan rekomendasi atau persetujuan pendidikan berkelanjutan baik yang
merupakan program rumah sakit maupun atas permintaan staf medis fungsional
sebagai asupan kepada Direksi;
(2) Pendidikan berkelanjutan dilakukan dengan:
a. menentukan pertemuan-pertemuan ilmiah yang harus dilaksanakan oleh masing-
masing KSMF;
b. mengadakan pertemuan berupa pembahasan kasus yang meliputi kasus kematian
(death case), kasus sulit, maupun kasus langka;
c. menentukan kegiatan-kegiatan ilmiah yang dapat diikuti oleh masing-masing staf
medis fungsional setiap tahun dan tidak mengurangi hari cuti tahunannya;
d. bersama-sama dengan KSMF menentukan kegiatan-kegiatan ilmiah yang melibatkan
staf medis fungsional sebagai narasumber dan peserta aktif;
e. bersama dengan Bagian Pendidikan & Penelitian memfasilitasi kegiatan ilmiah dan
mengusahakan satuan angka kredit dari ikatan profesi.
(3) Setiap pertemuan ilmiah yang dilakukan harus disertai notulensi, kesimpulan dan daftar
hadir peserta yang akan dijadikan pertimbangan dalam penilaian disiplin profesi.

Bagian Kelima
Pendampingan (proctoring)

Pasal 82
(1) Pelaksanaan pendampingan (proctoring) dilakukan dalam upaya pembinaan profesi bagi
staf medis fungsional yang dijatuhi sanksi disiplin atau pengurangan kewenangan klinis
(clinical privilege).
(2) Staf medis fungsional yang akan memberikan pendampingan (proctoring) ditetapkan
dengan keputusan Direktur Utama.
(3) Semua sumber daya yang dibutuhkan untuk proses pendampingan (proctoring)
difasilitasi dan dikoordinasikan bersama direktur terkait.
(4) Hasil pendampingan (proctoring) berupa rekomendasi Komite Medik kepada Direktur
Utama tentang lingkup kewenangan klinis dan penugasan klinis seorang staf medis
fungsional.
BAB XIV
SUBKOMITE ETIKA DAN DISIPLIN PROFESI

Bagian Kesatu
Pengorganisasian SubKomite Etika dan Disiplin Profesi

Pasal 83
(1) Subkomite etika dan disiplin profesi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Ketua Komite Medik.
(2) Anggota/personalia subkomite etika dan disiplin profesi terdiri atas sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang staf medis fungsional yang memiliki penugasan klinis (clinical
appointment) dan berasal dari disiplin ilmu yang berbeda.
(3) Pengorganisasian subkomite etika dan disiplin profesi terdiri dari ketua, sekretaris, dan
anggota.

Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang SubKomite Etika dan Disiplin Profesi

Pasal 84
Tugas dan wewenang subkomite etika dan disiplin profesi adalah:
1. melakukan pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran;
2. melakukan upaya pendisiplinan perilaku profesional staf medis fungsional;
3. memberikan nasehat dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis pada asuhan
medis pasien.

Bagian Ketiga
Pendisiplinan Profesi

Pasal 85
(1) Tolok ukur yang menjadi dasar dalam upaya pendisiplinan perilaku profesional staf
medis fungsional, antara lain:
a. pedoman pelayanan kedokteran di rumah sakit;
b. prosedur kerja pelayanan di rumah sakit;
c. daftar kewenangan klinis di rumah sakit;
d. pedoman syarat-syarat kualifikasi untuk melakukan pelayanan medis (white paper) di
rumah sakit;
e. kode etik kedokteran Indonesia;
f. pedoman perilaku profesional kedokteran (buku penyelenggaraan praktik kedokteran
yang baik);
g. pedoman pelanggaran disiplin kedokteran yang berlaku di Indonesia;
h. pedoman pelayanan medik/klinik;
i. standar prosedur operasional asuhan medis.
(2) Rekomendasi pemberian tindakan pendisiplinan profesi pada staf medis fungsional
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. limitasi ( reduksi) kewenangan klinis ( clinical privilege);
c. bekerja di bawah supervisi dalam waktu tertentu oleh orang yang mempunyai
kewenangan untuk pelayanan medis tersebut;
d. pencabutan kewenangan klinis (clinical privilege) sementara atau selamanya.
(3) Mekanisme pemeriksaan pada upaya pendisiplinan perilaku profesional ditetapkan
oleh Komite Medik.

Pasal 86
(1) Penegakan disiplin profesi dilakukan oleh sebuah panel yang dibentuk oleh ketua
subkomite etika dan disiplin profesi.
(2) Panel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri 3 (tiga) orang staf medis atau lebih
dalam jumlah ganjil dengan susunan sebagai berikut:
a. 1(satu) orang dari subkomite etik dan disiplin profesi yang memiliki disiplin ilmu yang
berbeda dari yang diperiksa;
b. 2(dua) orang atau lebih staf medis dari disiplin ilmu yang sama dengan yang diperiksa
dapat berasal dari dalam rumah sakit atau dari luar rumah sakit, baik atas
permintaan Komite Medik dengan persetujuan Direktur Utama atau atas permintaan
Direktur Utama rumah sakit terlapor.
(3) Panel tersebut dapat juga melibatkan mitra bestari yang berasal dari luar rumah sakit.
(4) Pengikutsertaan mitra bestari yang berasal dari luar rumah sakit mengikuti ketentuan
yang ditetapkan oleh rumah sakit berdasarkan rekomendasi Komite Medik.

Bagian Keempat
Pembinaan Profesi

Pasal 87
(1) Pembinaan profesionalisme staf medik fungsional dapat diselenggarakan dalam bentuk
ceramah, diskusi, symposium atau lokakarya.
(2) Staf medis fungsional dapat meminta pertimbangan pengambilan keputusan etis pada
suatu kasus pengobatan di rumah sakit kepada Komite Medik melalui Ketua KSMF.
(3) Subkomite etika dan disiplin profesi mengadakan pertemuan pembahasan kasus dengan
mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang kompeten untuk memberikan pertimbangan
pengambilan keputusan etis.

BAB XV
TATA KELOLA KLINIS (CLINICAL GOVERNANCE)

Pasal 88
(1) Kebijakan teknis operasional pelayanan medis ditetapkan oleh Direktur Utama.
(2) Masing-masing KSMF wajib membuat pedoman pelayanan medis/klinis, standar
prosedur operasional dan peraturan pelaksanaan lainnya.
(3) Kebijakan teknis operasional pelayanan medis tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) ini.
(4) Semua pelayanan medis dilakukan oleh setiap staf medis fungsional di RS AB
berdasarkan penugasan klinis dari Direktur Utama.
(5) Dalam keadaan bencana alam, kegawatdaruratan akibat bencana massal, kerusuhan
yang menimbulkan banyak korban maka semua staf medis fungsional dapat diberikan
penugasan klinis untuk melakukan tindakan penyelamatan di luar kewenangan klinis
yang dimiliki, sepanjang yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk melakukannya.
(6) Dalam melaksanakan tugas, wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi baik di lingkungannya maupun dengan KSMF lain atau instansi lain yang
terkait.
(7) Untuk menangani pelayanan medis tertentu, Direktur Utama dapat membentuk panitia
atau kelompok kerja.
(8) Setiap Ketua KSMF wajib membantu Direktur Medik dan Keperawatan serta Komite
Medik melakukan bimbingan, pembinaan dan pengawasan terhadap anggotanya.
(9) untuk melengkapi kebutuhan perbekalan kesehatan yang dibutuhkan dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis, Komite Medik
memberikan usulan setelah melalui penilaian tehnis peralatan kesehatan berdasarkan
Health Technical Asssesment (HTA).

BAB XVI
KETENTUAN REVIEW DAN PERUBAHAN

Pasal 89
(1) Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) secara berkala sekurang-kurangnya
setiap 3 tahun dievaluasi, ditinjau kembali, disesuaikan dengan perkembangan profesi
medis dan kondisi rumah sakit.
(2) Perubahan dapat dilakukan dengan menambah pasal baru (Addendum) dan/atau
mengubah pasal yang telah ada (Amandemen) yang merupakan satu kesatuan tidak
terpisahkan dari Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) ini.
(3) Mekanisme review dan perubahan ditetapkan oleh Direktur utama.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 90
(1) Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(2) Kebijakan teknis operasional, standar prosedur operasional dan peraturan pelaksanaan
lainnya harus disesuaikan dengan Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) ini.
(3) Dengan ditetapkannya Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) ini, maka
Keputusan Dewan Pengawas Perusahaan Jawatan RS AB Nomor :
61/DEWAS/SK/XII/2004 tanggal 20 Januari 2024 tentang Statuta RS AB dan Hospital
Bylaws RSAB tahun 2020 dinyatakan tidak berlaku.
(4) Semua peraturan rumah sakit yang dilaksanakan sebelum berlakunya Peraturan
Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) ini.

JAKARTA, 20 JANUARI 2024


PEMILIK RUMAH SAKIT AB

VAN KURNIAWAN

4. Berkaitan dengan permasalahan kasus dugaan malpraktek di RS tersebut


a. Coba saudara jelaskan masalah masalah apa saja yang mungkin terjadi di sebuah
RS dilihat dari aspek Manajerial di RS
 Kurangnya tata kelola klinis yang baik dan kebijakan yang jelas. Rumah sakit
tidak memiliki kebijakan dan standar yang sesuai.
 Kegagalan dalam menerapkan manajemen risiko klinis yang efektif.
 Pelatihan yang tidak memadai bagi staf medis dan non-medis dapat
meningkatkan risiko kesalahan dan malpraktek.
 Kurangnya komunikasi dan kolaborasi yang baik di antara anggota tim
Kesehatan.
 Kegagalan dalam melaksanakan audit dan peer review terhadap praktik klinis
 Kesalahan dalam manajemen data pasien atau kurangnya penggunaan
teknologi informasi yang memadai.
 Kurangnya fokus pada keamanan dan keselamatan pasien.
 Kurangnya pengelolaan sumber daya yang efisien.
 Kurangnya transparansi dan keterlibatan pasien dalam pengambilan rofessio
tentang perawatan mereka
 Sistem pengaduan dan umpan balik yang buruk.
 Penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, tindakan yang tidak
profesional, dan sikap diskriminasi.

b. Siapa saja yang bertanggungjawab atas masalah dugaan malpraktek di RS. Jelaskan
pendapat saudara, bila dikaitkan dengan beberapa Teori Pertangggungjawaban,
 Menurut teori Vicarious Liability, Rumah sakit sebagai entitas bisnis harus
bertanggung jawab secara organisasi dan bukan semata-mata meletakkan
tanggung jawab pada individu staf yang bertugas di rumah sakit yang
merupakan representasi yang mewakili rumah sakit.
 Menurut teori Respondeat Superior, tanggung jawab seorang atasan yang tidak
tertumpu pada satu orang atasan saja namun lebih melibatkan seluruh atasan
superior yang berada di atas seorang bawahan. Pada prinsipnya RS tidak
bertanggung jawab selaku institusi dengan alasan RS adalah institusi sosial, RS
tidak dapat bertanggung jawab atas para profesional yang membuat keputusan
sendiri, dan RS tidak memiliki kapasitas hubungan atasan bawahan dengan para
tenaga medis.
 Menurut teori Ostensible Agency, seseorang yang bekerja sebagai pihak ketiga
adalah seseorang yang dianggap sebagai kepanjangan tangan dari suatu
pemberi kerja atau organisasi maka majikan atau atasan memiliki kewajiban
untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan oleh pekerjanya.
 Menurut teori Identifikasi, semua tindakan legal maupun ilegal yang dilakukan
oleh high level manager atau direktur diidentifikasikan sebagai tindakan
korporasi sehingga pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi.
 Menurut teori Korporasi, Rumah sakit sebagai suatu korporasi atau perusahaan
harus bertanggung jawab terhadap dokter yang bekerja di rumah sakit. Rumah
sakit berkedudukan sebagai majikan yang bertanggung jawab terhadap
karyawannya.

c. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban baik RS, dokter dan para pihak terkait
lainnya?
Pertanggungjawaban Tenaga Kesehatan
 Hubungan dokter/nakes dan pasien tidak semata-mata hubungan kebutuhan
pelayanan kesehatan tapi merupakan suatu hubungan hukum
 Hubungan hukum harus diikuti konsekwensi tanggung jawab hukum atas
Tindakan yang dilakukan
 Pertanggungjawaban Dokter/Nakes tidak sekedar pertanggungjawaban moral
dan profesional ethic tapi juga meliputi pertanggungjawaban hukum (perdata,
pidana dan administrasi)

Tanggung jawab hukum di Rumah Sakit meliputi tanggung jawab terhadap Pasien,
SDM dan Publik. Sesuai dengan Pasal 27 UU Kesehatan (UU no. 36/2009) ayat 1
Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Pasal 50 huruf a UU Praktik
Kedokteran Dokter atau Dokter Gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar prosedur operasional.

Tanggung Jawab hukum RS


 Rumah sakit adalah suatu institusi/korporasi yang bertanggung jawab
(responsible, accountable dan reliable) atas tugas dan fungsinya sebagai
pembeli layanan rumah sakit.
 Rumah sakit selaku institusi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
seluruh pelayanan rumah sakit dilakukan oleh sumber daya manusia dengan
kualifikasi yang sesuai, kompeten dan berwenang melakukan tiap tindakan yang
dilakukan.
 Rumah sakit juga harus memastikan bahwa sumber daya manusia di RS
melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan
rumah sakit, standar pelayanan profesi masing-masing dan standar prosedur
operasional yang berlaku di rumah sakit.

5. Pada prinsipnya bahwa setiap petugas SDM RS baik sebagai Nakes, pegawai dan Direksi
RS wajib bertanggungjawab atas segala sesuatu yang dilakukannya
a. Bagaimana pemahaman saudara tentang pengertian Tanggung jawab hukum baik
dari aspek perdata, pidana dan administrasi.
 Tanggung jawab hukum adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja sebagai perwujudan
kesadaran dan kewajibannya dan juga merupakan akibat atas konsekuensi
kebebasan seseorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau
moral dalam melakukan suatu perbuatan. Tanggung jawab hukum aspek pidana
meliputi Liability dan Resposibility. Tanggung jawab hukum aspek perdata
meliputi Tertiinonal tort liability, Negligence tort lilability, dan Stirck liability.
 Liability pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan
yang dilakukan oleh subjek hukum. Hal ini merupakan suatu konsep yang
terkait dengan kewajiban hukum seseorang yang bertanggung jawab secara
hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam
kasus perbuatannya bertentangan dengan hukum.
 Responsibility berarti pertanggungjawaban atas suatu kewajiban, dan termasuk
putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban
bertanggung jawab atas peraturan yang dilaksanakan. Responsibility
pertanggungjawaban politik yang dipertanggung jawabkan secara umum
(publik).
 Tertiinonal tort liability adalah tanggung jawab akibat perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh tergugat harus sudah melakukan
perbuatan yang merugikan penggugat.
 Negligence tort lilability adalah tanggung jawab akibat perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan karena kelalaian, didasarkan pada konsep kesalahan
(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah
bercampur baur (interminglend).
 Stirck liability adalah tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar
hukum tanpa mempersoalkan kesalahan, didasarkan pada perbuatannya baik
secara sengaja maupun tidak sengaja.

Rumah Sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. (Ps 46 UU No 44 Th 2009 tentang Rumah
Sakit).
Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-
barang yang berada di bawah pengawasannya (pasal 1367 KUH Perdata).

Jelaskan pula Teori tentang tanggungjawab hukum yang sdr ketahui


 Teori Vicarious Liability
Doktrin Vicarious Liability di Belanda sesuai prinsip Hukum Romawi (qui facit
per alium facit per se) yang berarti seseorang yang berbuat melalui orang lain
dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatannya secara pribadi. Vicarious
Liability pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di USA menunjukkan
adanya pola perubahan mengarah pada pertanggungjawaban perusahaan
dimana fokus suatu gugatan adalah pada organisasinya dan bukan pada
individunya. Rumah sakit sebagai entitas bisnis harus bertanggung jawab secara
organisasi dan bukan semata-mata meletakkan tanggung jawab pada individu
staf yang bertugas di rumah sakit yang merupakan representasi yang mewakili
rumah sakit. Doktrin Vicarious Liability berkembang dalam dua variasi yaitu
Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Ostensible/Apparent Agency.
 Teori Respondeat Superior
Doktrin Respondeat Superior tanggung jawab seorang majikan yang tidak
tertumpu pada satu orang majikan saja namun lebih melibatkan seluruh atasan
superior yang berada di atas seorang bawahan. bagaimana tanggung jawab
majikan terhadap bawahanya. Doktrin Respondeat Superior perluasan dari
Doktrin Vicarious Liability. (sama-sama menggunakan konsep status majikan
dan bawahan dengan bentuk suatu kontrak kerja) namun tidak dapat
diterapkan kepada bawahan yang bersifat outsourcing atau pegawai lepasan
atau kontrak, karena tidak memiliki hubungan secara langsung atau hubungan
tetap antara majikan dan bawahan. Sehingga seorang atasan tidak memiliki
tanggung jawab hukum terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahanya
ketika menjalankan tugas atau pekerjaannya.
 Teori Otensible Agency
Teori Otensible Agency (Doktrin Apparent Authority) bahwa seseorang yang
bekerja sebagai pihak ketiga melalui outsourcing atau kontrak berjangka,
dianggap sebagai “ostensible agent” yaitu seseorang yang dianggap sebagai
kepanjangan tangan dari suatu pemberi kerja atau organisasi maka majikan
atau atasan memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap apa yang
dikerjakan oleh pekerjanya. Teori ostensible agency menyatakan bahwa tenaga
kesehatan yang bekerja di rumah sakit dilihat oleh pihak lain sebagai “orangnya
rumah sakit” Teori Ostensible Agency tidak hanya memperluas ruang lingkup
area pertanggungjawaban, tetapi juga memberikan konsep baru mengenai
definisi dari atasan dan bawahan.
 Teori Identifikasi
Doktrin ini bertumpu pada asumsi bahwa semua tindakan legal maupun ilegal
yang dilakukan oleh high level manager atau direktur diidentifikasikan sebagai
tindakan korporasi. Doktrin ini pembenaran atas pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi,misalnya sebuah perusahaan
dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang
sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai
perusahaan sendiri sehingga perbuatan atau kesalahan dari “pejabat senior”
(senior officer) diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan dari korporasi.
Dalam era modern teori korporasi ini sulit dilaksakan karena adanya pemisahan
jabatan dan tanggungjawab, mencegah adanya pelaku tunggal dengan
kekuasaan yang luas sehingga akan sulit untuk menentukan perbuatan mana
yang dilakukan oleh seorang top manajer yang dapat diidentifikasikan sebagai
perbuatan korporasi, karena banyaknya pengurus lain yang terlibat dalam
pengambilan suatu keputusan. Doctrin identifikasi memiliki suatu
pertanggungjawaban pidana dengan dasar suatu perbuatan yang dilakukan
oleh individu yang diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi. maka individu
tersebut harus bertindak sebagai directing mind.
 Teori Korporasi
Setiap korporasi bertanggung jawab atas kesalahan setiap orang atau akibat
dari barangnya yang berada dalam pengawasannya. Rumah sakit sebagai suatu
korporasi atau perusahaan harus bertanggung jawab terhadap dokter yang
bekerja di rumah sakit. Rumah sakit berkedudukan sebagai majikan yang
bertanggung jawab terhadap karyawannya. Saat ini RS dianggap bertanggung
jawab oleh karena: “Teori corporate menyatakan bahwa setiap korporasi
bertanggung jawab atas kesalahan setiap orang atau akibat dari barangnya
yang berada dalam pengawasannya”
 Teori Strict Liability
Teori Strict liability adalah pertanggungjawaban mutlak dimana unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh penggugat sebagai dasar pembayaran
ganti rugi. Doktrin Strict liabillity merupakan doktrin pertanggungjawaban
pidana korporasi yang diadopsi dari doktrin dalam hukum perdata. Doktrin ini
sering diterapkan pada perbuatan melawan hukum (the law of torts) dalam
hukum perdata. Doktrin strict liability menyimpangi asas utama dalam hukum
pidana yakni asas kesalahan atau azas mens rea yang memandang dalam
pertanggungjawaban pidana cukup dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana
telah melakukan perbuatan atau actus reus yang merupakan perbuatan yang
memang dilarang.
 Teori reliance
Teori reliance menyatakan bahwa pasien umumnya merely kepada rumah sakit
untuk memperoleh pelayanan medis baginya, bukan kepada dokternya (teori
ini sebagian tidak tepat di Indonesia).
 Teori non delegeable duty
Teori non delegeable duty mengatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan
medis adalah kewajiban rumah sakit yang tidak dapat di delegasikan, sehingga
rumah sakit bertanggung jawab atas pelayanan medis tersebut.

b. Jelaskan tanggung jawab hukum RS berkaitan dengan Pasien Petugas dan SDM RS
dan masyarakat umum (publik)
RS sebagai pelayanan kesehatan bertanggung jawab
1. Tanggung jawab yang berhubungan dengan duty of care (kewajiban
memberikan pelayanan yang baik dan wajar.
2. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan (keberadaan, kesiapan, uji
kalibrasi, dan tenaga yang mampu menggunakan).
3. Tanggung jawab terhadap personalia mengandung pengertian bahwa rumah
sakit harus bertanggung jawab terhadap kualitas dari personalia yang bekerja di
rumah sakit.

Tanggung jawab hukum Rumah Sakit terhadap pasien adalah kewajiban RS untuk
mengganti kerugian yang diderita oleh pasien akibat kesalahan atau kelalaian
dalam memberikan pelayanan kesehatan. Tanggung jawab hukum ini dapat timbul
berdasarkan teori kesalahan atau teori risiko. Tanggung jawab hukum Rumah Sakit
terhadap pasien yaitu :
1. Standar Profesi
2. Standar Pelayanan
3. Standar Operatif Prosedur
4. Clinical Pathway
5. Clinical Privilege
6. Patient Safety
7. Panduan Rekam Medis
8. Panduan Informed Consent
9. Panduan Rahasia Medis

Tanggung jawab hukum RS terhadap SDM adalah kewajiban RS untuk melindungi


petugas dan SDM RS dari tuntutan hukum yang mungkin timbul akibat kesalahan
atau kelalaian dalam melaksanakan tugasnya. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
terhadap SDM yaitu :
1. Perizinan Tenaga Kesehatan (Dokter, Perawat, Tenaga Kesehatan lain)
2. HBL, MSBL, NSBL dengan turunannya : Kebijakan, Pedoman dan SPO/SOP
kredential
3. Penugasan Klinik (Clinical Appointment)
4. Jaminan Perlindungan Hukum
5. Asuransi Tenaga Kesehatan/SDM lain
6. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
7. Pembelaan dan Pendampingan (Masalah Hukum)
8. Jasa Medis, Remunerasi, Fee for Service

Tanggung jawab hukum RS terhadap publik adalah kewajiban RS untuk menjaga


keamanan dan keselamatan masyarakat dari bahaya yang mungkin timbul akibat
kegiatan RS. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Publik yaitu
1. Hak Publik (Pelayanan Publik (UU 21/2009), Keterbukaan Informasi (UU
14/2008), Ombusdman)
2. Perlindungan Konsumen
3. Lingkungan Hidup (Limbah, dll)
4. Perizinan
a. Izin Saryankes (RS, Balai, dll)
b. Izin Prasarana (Boiler, Lift, Listrik, dll)
c. Izin Alkes (Radiologi, Radioaktif, dll)
5. Korupsi dan Kolusi, Nepotisme
6. Penyalahgunaan wewenang
7. Fraud (perbuatan curang)
c. Jelaskan pelaksanaan Tanggung jawab Hukum Manajemen {Publik Liability} dan
Tanggung jawab Hukum Profesioanal {Profesioanal Liability} dalam hal apa saja di
RS
 Pertanggungjawaban Manajemen (Public Liability) meliputi sarana prasarana
dan alat administrasi, keuangan, kekayaan RS, pelayanan umum dan pelayanan
publik menjadi tanggung jawab : Pimpinan RS/Manajemen RS dan dapat di
tuntutan Hukum : Perdata dan Hukum Adminisitasi/TUN
 Pertanggung Jawab Profesional (Profesional Liability) meliputi pelayanan
kesehatan, pelaksanaan profesi dokter atau nakes dengan pasien menjadi
tanggung jawab hukum para professional dan dapat dituntut secara pidana,
perdata dan Hukum Administrasi/TUN

6. Dalam setiap RS harus ada Peraturan Internal di Rumah sakit (Hospital Bylaws) yang
mengatur Tata Kelola Korporasi dan Tata Kelola Klinis di RS.
a. Bagaimana penerapan Good Corporate Governance dalam managemen modern RS
di Indonesia Jelaskan
Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata
kelola klinis yang baik (ps 36 UU 44/2009).
Good Corporate Governance / Tata kelola RS yang baik adalah penerapan fungsi-
fungsi manajemen RS yang berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,
independensi dan responsibilitas, kesetaraan dan kewajaran.
Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang
meliputi kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, resiko klinis berbasis bukti,
peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan,
pengembangan profesional dan akreditasi RS.

Good Corporate Governance


 Efektifitas yang bersumber dari Budaya Perusahaan, Etika, Nilai, Sistem, Proses
Bisnis, Kebijakan dan Struktur Perusahaan yang bertujuan untuk mendukung
dan mendorong perusahaan mengelola sumber daya dan risiko secara lebih
efektif dan efiesien, pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham
dan stake holder lainnya
 Seperangkat prinsip, kebijakan dan sistem manajemen perusahaan yang
diterapkan bagi terwujudnya operasional perusahaan yang efisien , efektif dan
profitable, yang dalam penerapannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
peduli terhadap lingkungan, serta dilandasi dengan nilai sosial budaya yang
tinggi
 Seperangkat peraturan ataupun sistem yang mengarahkan kepada
pengendalian perusahaan bagi penciptaan pertambahan nilai bagi pihak
pemegang kepentingan (Pemerintah, pemegang saham, pimpinan perusahaan
dan karyawan dan bagi perusahaan sendiri).

Prinsip good medical governance bersumber dari Etika Kedokteran:


 Do good (berbuat baik)
 Do no harm (tidak membahayakan atau merugikan)
 Veracity/honesty (sopan santun)
 Autonomy (otonomi)
 Confidentiality (kerahasiaan)
 Justice (keadilan)

Implementasi good covernance dalam pelayanan kesehatan


 The right for respect (hak dihormati)
 The right for information (hak memperoleh informasi)
 The right to be heard (hak utk didengar)
 The right to choose (hak utk memilih)
 The right for safety (hak utk memperoleh keselamatan-Patien Safety)

Prinsip Good Governance berdasarkan Peraturan Menteri BUMN No


Per-01/MBU/2011:
 Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi
material dan relevan mengenai perusahaan;
 Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban Organ sehingga pengelolaan perusahaan akan secara
efektif;
 Kemandirian (independency), yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola
secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari
pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
 Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
 Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-
hak Pemangku Kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian
dan peraturan perundang-undangan.”

b. Bagaimana pengaturan RS sebagai badan usaha dikaitkan dengan fungsi sosial RS.
Berikan pendapat saudara
 Rumah sakit memberikan jaminan bahwa rumah sakit akan memberikan akses
dan ketersediaan pelayanan kesehatan yang baik bagi seluruh lapisan
masyarakat, termasuk kelompok masyarakat yang kurang mampu.
 Pengaturan juga mencakup aspek tarif dan biaya pelayanan kesehatan. Rumah
sakit perlu memastikan bahwa tarif yang dikenakan tetap terjangkau agar dapat
diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
 Rumah sakit dapat diharapkan untuk menyediakan pelayanan sosial dan
edukasi kepada Masyarakat, termasuk program-program pencegahan penyakit,
penyuluhan kesehatan masyarakat, dan edukasi kesehatan.
 Rumah sakit memiliki kebijakan dan praktik yang memadai untuk mengelola
risiko dan memastikan keselamatan pasien selama perawatan medis.
 Rumah sakit menyediakan kerangka kerja untuk transparansi dan akuntabilitas
dalam operasional rumah sakit. Keterlibatan dalam Tanggung Jawab Sosial:
 Rumah sakit terlibat dalam kegiatan amal, program kesejahteraan masyarakat,
atau proyek-proyek yang mendukung pembangunan lokal.
c. Mengapa diperlukan adanya tata kelola Klinis RS.? Bagaimana pengaturannya KSM
dalam sebuah Tatakelola klinis RS Jelaskan pendapat saudara
Manfaat tata kelola klinis RS yaitu :
 Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan memastikan penerapan
praktik-praktik klinis terbaik dan standar perawatan yang tinggi.
 Mengidentifikasi dan mengelola risiko klinis untuk mencegah kejadian yang
tidak diharapkan (meningkatkan keamanan pasien)
 Membantu rumah sakit mengelola sumber daya dengan lebih efisien,
mencakup pengoptimalan penggunaan tenaga kerja, peralatan medis, dan
fasilitas.
 Meningkatan koordinasi dan kolaborasi antar tim pesehatan.
 Membantu rumah sakit mematuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh
lembaga-lembaga pengatur dan organisasi kesehatan.
 Mendorong penggunaan teknologi informasi dalam manajemen data pasien,
pelacakan hasil perawatan, dan pengambilan keputusan klinis. Hal ini dapat
meningkatkan akurasi dan efisiensi dalam pelayanan kesehatan.
 Meningkatkan kepuasan pasien dan memastikan bahwa perawatan yang
diberikan sesuai dengan preferensi dan nilai-nilai pasien.

Pengaturan KSM dalam Tata Kelola Klinis yaitu :


 KSM bertanggung jawab untuk merancang, mereview, dan memperbarui
kebijakan dan prosedur medis di rumah sakit. Ini mencakup pedoman klinis,
protokol perawatan, dan standar pelayanan yang harus diikuti oleh seluruh
tenaga kesehatan di rumah sakit.
 KSM terlibat dalam upaya akreditasi dan standarisasi, baik yang dikeluarkan
oleh badan akreditasi kesehatan maupun lembaga standar medis.
 KSM secara berkala mengevaluasi kinerja klinis rumah sakit. Ini mencakup
review hasil perawatan, tingkat kepatuhan terhadap protokol medis, dan upaya
perbaikan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
 KSM berperan dalam manajemen risiko klinis dengan mengidentifikasi potensi
risiko dalam penyediaan pelayanan kesehatan. KSM mengembangkan strategi
untuk mencegah atau mengelola risiko tersebut agar dapat meminimalkan
dampak negatifnya terhadap pasien dan rumah sakit.
 KSM terlibat dalam penilaian dan pengintegrasian teknologi medis baru. KSM
memastikan bahwa penggunaan teknologi medis di rumah sakit sesuai dengan
standar medis dan dapat meningkatkan kualitas perawatan pasien.
 KSM menyusun program pendidikan dan pelatihan untuk tenaga kesehatan di
rumah sakit. Ini termasuk pembekalan mereka dengan informasi terbaru
mengenai perkembangan ilmu kedokteran, tata laksana penyakit, dan teknologi
medis terkini.
 KSM dapat memastikan adanya keterlibatan pasien dalam pengambilan
keputusan mengenai perawatan mereka. KSM dapat mengembangkan strategi
untuk mendukung komunikasi terbuka antara pasien dan tim kesehatan serta
memastikan bahwa preferensi dan nilai-nilai pasien diperhatikan.
 KSM dapat melaksanakan audit dan peer review terhadap praktik klinis dan
kejadian insiden. Hal ini membantu meningkatkan akuntabilitas dan
memberikan umpan balik konstruktif kepada profesional kesehatan.
 KSM dapat bekerjasama dengan pihak eksternal seperti lembaga akreditasi dan
badan standar kesehatan untuk memastikan bahwa rumah sakit selalu
mematuhi regulasi dan standar yang berlaku.

ANALISIS KASUS B
Di sebuah Rumah Sakit kelas C yang akan melakukan akreditasi mengalami beberapa
permasalahan di bidang masalah limbah, masalah ketenagakerjaan juga masalah
penanganan pasien di UGD yang memerlukan suatu penyelesaian dan pemecahan masalah.
a. Kasus limbah di RS dilaporkan LSM kepada aparat pemerintah dimana limbah itu
diduga membahayakan masyarakat sekitas maka harus segera diatasi. Pada saat
assessor mengetahui hal ini membuat RS terancam gagal akreditasi.
b. Pada saat yang sama Dinas Tenaga Kerja mempersoalkan RS yang belum mempunyai
Peraturan Perusahaan yang disahkan Disnaker serta mempersoalkan gaji pegawai RS
yang di bawah UMP dan hal ini harus segera ditangani pihak Direksi RS.
c. Kemudian ada Somasi dari Pengacara kepada Pimpinan RS dari pihak pasien dengan
tuntutan bahwa terdapat kelalaian pihak RS dalam penanganan pasien karena tidak
segera rujuk ke RS kls C. Data dari bid Pelayanan menyatakan pada saat yang
bersamaan diterima 2 orang pasien mengalami sesak napas yang diduga penyakit
tumor ganas kemudian menyusul pasien lain ibu hamil karena mengalami pendarahan
hebat sehingga dokter sedangkan pasien yang sesak nafas kurang mendapat perhatian
dari petugas RS, hanya diperiksa oleh perawat dan dibawa ke ruangan rawat dan
setelah itu pasien A minta dirujuk ke RS lain.

PERTANYAAN KASUS B
1. Apabila Saudara sebagai mahasiswa MARS diminta bantuan oleh pimpinan RS dimaksud
menyelesaikan masalah ini :
a. Langkah-langkah apa saja yang saudara lakukan terhadapat beberapa kasus
tersebut Coba sdr Uraikan secara jelas
Masalah limbah
 Melakukan pertemuan dengan LSM dan aparat pemerintah untuk membahas
masalah limbah. Dalam pertemuan tersebut, pihak RS menjelaskan langkah-
langkah yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah limbah, serta rencana-
rencana yang akan dilakukan untuk mencegah terjadinya masalah serupa di
masa mendatang.
 Membentuk tim untuk menangani masalah limbah. Tim ini terdiri dari
perwakilan dari berbagai bagian di RS, seperti bagian instalasi pengolahan air
limbah (IPAL), bagian keselamatan dan kesehatan kerja (K3), bagian
hukum, dan bagian humas. Tim ini akan bertanggung jawab untuk
menyelesaikan masalah limbah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
 Melakukan perbaikan sistem pengelolaan limbah. Perbaikan ini dapat berupa
peningkatan kapasitas IPAL, penambahan peralatan pengelolaan limbah, dan
peningkatan kesadaran karyawan tentang pentingnya pengelolaan limbah.
 Melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk memastikan bahwa
pengelolaan limbah rumah sakit berjalan dengan baik.

Masalah Ketenagakerjaan
 Menyusun peraturan perusahaan (PP) yang disahkan oleh Dinas Tenaga
Kerja. PP ini harus memenuhi ketentuan yang berlaku, termasuk terkait dengan
gaji karyawan yang harus di atas upah minimum provinsi (UMP).
 Melakukan evaluasi terhadap gaji karyawan. Evaluasi ini bertujuan untuk
memastikan bahwa gaji karyawan telah memenuhi ketentuan yang berlaku.
 Melakukan sosialisasi PP kepada karyawan. Sosialisasi ini bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman karyawan tentang hak dan kewajiban mereka
sebagai karyawan.

Masalah penanganan pasien di UGD


 Melakukan pertemuan dengan pengacara pasien untuk mediasi. Dalam
pertemuan tersebut, pihak RS dapat menjelaskan kronologi kejadian dan
tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh RS dalam menangani pasien.
 Melakukan evaluasi terhadap SOP triase dan penanganan pasien di
UGD. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa SOP tersebut telah
sesuai dengan standar yang berlaku.
 Melakukan pelatihan kepada petugas UGD tentang penanganan pasien gawat
darurat. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi petugas UGD
dalam menangani pasien.

b. Tentukan prioritas masalah harus ditangangi terlebih dahulu dan bagaimana


penanganannya
Prioritas masalah yang harus ditangani terlebih dahulu adalah masalah limbah. Hal
ini dikarenakan masalah limbah memiliki dampak yang paling besar dan langsung,
yaitu membahayakan masyarakat sekitar. Jika masalah limbah tidak segera diatasi,
maka akan berdampak buruk terhadap akreditasi rumah sakit, bahkan bisa
menyebabkan rumah sakit ditutup.
Penanganan Masalah Limbah
 Membuat tim khusus untuk menangani masalah limbah. Tim ini terdiri dari
perwakilan dari kesehatan lingkungan (kesling) dan keselamatan dan kesehatan
kerja (K3), unit Sarana Prasarana, pihak manajemen, dan pihak hukum.
 Melakukan investigasi untuk mengetahui penyebab masalah limbah. Investigasi
ini meliputi pemeriksaan fisik terhadap limbah, pemeriksaan dokumen, dan
wawancara dengan staf rumah sakit.
 Mengembangkan rencana tindakan untuk mengatasi masalah limbah. Rencana
tindakan harus mencakup langkah-langkah untuk mengatasi penyebab masalah
limbah dan mencegah terjadinya masalah limbah di masa depan.
 Melakukan implementasi rencana tindakan. Implementasi rencana tindakan
harus dilakukan secara terkoordinasi dan melibatkan semua pihak yang terkait.

Penanganan Masalah Ketenagakerjaan


 Membuat peraturan perusahaan yang disahkan oleh Dinas Tenaga
Kerja. Peraturan perusahaan ini harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, serta memperhatikan hak-hak pekerja, termasuk gaji
yang sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP).
 Melakukan penyesuaian gaji pekerja agar sesuai dengan UMP. Penyesuaian gaji
ini dapat dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kemampuan
keuangan rumah sakit.
Penanganan masalah penanganan pasien dapat dilakukan dengan langkah-langkah
berikut :
 Melakukan evaluasi terhadap prosedur penanganan pasien di UGD. Evaluasi ini
meliputi pemeriksaan dokumen, wawancara dengan staf, dan observasi
terhadap proses penanganan pasien.
 Melakukan sosialisasi prosedur penanganan pasien yang baru kepada seluruh
staf UGD. Sosialisasi ini harus dilakukan secara berkala agar semua staf
memahami prosedur yang berlaku.
 Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan prosedur penanganan pasien di
UGD. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh tim khusus yang dibentuk oleh
rumah sakit.
c. Bagaimana pertanggung jawaban sebagai Pimpinan RS terhadap kasus pasien yang
sesak nafas tsb. Bagaimana bentuk pertanggungjawabanya. Uraikan dan jelaskan
 Melakukan investigasi untuk mengetahui penyebab kelalaian dalam
penanganan pasien. Investigasi ini bertujuan untuk mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi dan siapa saja yang bertanggung jawab atas kelalaian
tersebut.
 Melakukan tindakan korektif untuk mencegah terjadinya kelalaian serupa di
masa mendatang. Tindakan korektif ini dapat berupa peningkatan mutu
pelayanan, pelatihan bagi petugas, atau perbaikan sistem dan prosedur.
 Memberikan kompensasi kepada pasien yang dirugikan. Kompensasi ini dapat
berupa ganti rugi materiil, non-materiil, atau kedua-duanya.
 Secara spesifik, saya akan melakukan langkah-langkah berikut untuk
menyelesaikan masalah ini :
 Membentuk tim investigasi yang terdiri dari unsur internal dan eksternal
RS. Tim investigasi ini akan mengumpulkan data dan informasi dari berbagai
sumber, termasuk pasien, keluarga pasien, petugas RS, dan saksi lainnya.
 Melakukan evaluasi terhadap sistem dan prosedur penanganan pasien di
UGD. Evaluasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan kelalaian dalam penanganan pasien.
 Melakukan pelatihan bagi petugas UGD tentang penanganan pasien sesak
nafas. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi petugas dalam
menangani pasien dengan kondisi tersebut.
 Berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya untuk menyampaikan
permohonan maaf dan menjelaskan langkah-langkah yang akan diambil oleh
RS.

d. Upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam penyelesaian kasus kasus dimaksud
Upaya Penyelesaian Masalah Limbah Rumah Sakit
Masalah limbah rumah sakit yang dilaporkan LSM kepada aparat pemerintah
merupakan masalah yang serius dan perlu segera diatasi. Hal ini dikarenakan
limbah rumah sakit dapat membahayakan masyarakat sekitar, dan dapat
menyebabkan RS terancam gagal akreditasi. Upaya penyelesaian masalah limbah
rumah sakit dapat dilakukan sebagai berikut :
 Membentuk tim khusus untuk menangani masalah limbah rumah sakit. Tim ini
terdiri dari perwakilan dari berbagai bidang, seperti bidang
medis, keperawatan, teknisi, dan manajemen.
 Melakukan audit terhadap sistem pengelolaan limbah rumah sakit. Audit ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi dan permasalahan yang ada dalam sistem
pengelolaan limbah rumah sakit.
 Melakukan perbaikan terhadap sistem pengelolaan limbah rumah
sakit. Perbaikan ini dapat berupa penyusunan SOP pengelolaan limbah rumah
sakit, pengadaan peralatan pengelolaan limbah rumah sakit, dan pelatihan bagi
petugas pengelolaan limbah rumah sakit.

Upaya Penyelesaian Masalah Ketenagakerjaan


Masalah ketenagakerjaan yang dihadapi oleh RS tersebut adalah belum adanya
Peraturan Perusahaan (PP) yang disahkan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan
gaji pegawai yang dibawa UMP. Masalah ini perlu segera ditangani oleh pihak
direksi RS agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar. Upaya penyelesaian
masalah ketenagakerjaan dapat dilakukan sebagai berikut:
 Menyusun PP RS yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. PP RS ini harus disahkan oleh Disnaker.
 Meningkatkan gaji pegawai RS sesuai dengan UMP. Kenaikan gaji ini dapat
dilakukan secara bertahap.

Upaya Penyelesaian Masalah Penanganan Pasien di UGD


Masalah penanganan pasien di UGD yang dihadapi oleh RS tersebut adalah adanya
somasi dari pengacara pasien yang merasa dirugikan karena tidak segera dirujuk ke
RS kelas C. Masalah ini perlu segera diselesaikan agar tidak menimbulkan citra
buruk bagi RS. Upaya penyelesaian masalah penanganan pasien di UGD dapat
dilakukan sebagai berikut :
 Melakukan evaluasi terhadap sistem pelayanan di UGD. Evaluasi ini bertujuan
untuk mengetahui penyebab terjadinya masalah penanganan pasien di UGD.
 Melakukan perbaikan terhadap sistem pelayanan di UGD. Perbaikan ini dapat
berupa penyusunan SOP pelayanan di UGD, pelatihan bagi petugas UGD, dan
penambahan sarana dan prasarana di UGD.

2. Pada prinsipnya timbulnya sengketa medis adalah karena adanya gap atau kesenjangan
antara apa yang diharapkan dengan apa yang menjadi kenyataan
a. Uraikan beberapa masalah yang mengakibatkan timbulnya kasus medis di RS.
Jelaskan pendapat sdr
Kasus medis di RS dapat timbul karena adanya kesenjangan antara harapan pasien
dan keluarga dengan kenyataan yang terjadi. Harapan pasien adalah mendapatkan
pelayanan kesehatan yang terbaik dan penyakitnya sembuh. Namun, kenyataannya,
tidak semua kasus medis dapat disembuhkan, dan terkadang bahkan dapat
menimbulkan komplikasi atau bahkan kematian.
Berikut ini adalah beberapa masalah yang dapat mengakibatkan timbulnya kasus
medis di RS :
 Kesalahan/perbedaan penafsiran pasien dgn dokter/RS
 Ketidakpuasan hasil pengobatan (tidak sesuai harapan)
 Hubungan pasien dgn Dokter/RS tidak baik
 Ketersinggungan atas pelayanan/ucapan petugas RS
 Kecurigaan dan kurang percaya pasien terhadap dokter/RS
 Tindakan yang tidak patut, curang atau tidak jujur (kinerja)
 Diduga ada kelalaian, tidak taat pada aturan (kinerja)
 Kurang transparan, timbul kesengajaan atau ketidakadilan
 Ada kerugian di pihak pasien (Cacat, cedera, meninggal)
 Dorongan kesadaran hukum dan arus reformasi
 Ada pembanding negara lain (mudahnya dapat informasi)
 Motivasi ganti rugi dan provokasi pihak tertentu
 Perubahan paternalistik menuju based customer Oriented
 Timbul komplain, somasi dan tuntutan hukum
b. Menurut saudara mengapa timbul klaim atau komplain pasien atau keluarga
terhadap pelayanan kesehatan. Jelaskan hal hal apa saja yg menimbulkan kasus
sengketa atau menimbulkan complain atas pelayanan di RS. Uraikan
Menurut saya, terjadinya klaim atau komplain dari pasien atau keluarga terhadap
pelayanan kesehatan timbul karena adanya kesenjangan antara harapan pasien dan
keluarga dengan kenyataan yang terjadi. Harapan pasien dan keluarga tentu saja
adalah mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik, yang dapat menyembuhkan
penyakitnya atau meringankan penderitaannya. Namun, kenyataannya, tidak semua
kasus medis dapat disembuhkan, dan terkadang bahkan dapat menimbulkan
komplikasi atau bahkan kematian. Terkadang adanya ketidakpahaman atau kurang
pemahaman atas apa yang disampaikan oleh pihak tenaga medis. Namun bisa juga
disebabkan oleh karena kurang informatifnya pihak tenaga medis dalam
menyampaikan sehingga memberikan pihak pasien atau keluarga salah persepsi
dalam menerima informasi yang diberikan.
Mengenai masalah sengketa, ada hal-hal yang dapat menyebabkannya. Hal-hal
tersebut yaitu :
 Kelalaian tenaga medis
Kelalaian tenaga medis merupakan penyebab utama terjadinya kasus medis.
Kelalaian dapat berupa kesalahan diagnosis, kesalahan pemberian obat,
kesalahan tindakan operasi, dan lain-lain. Kelalaian tenaga medis dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
 Kurangnya kompetensi tenaga medis
 Kelelahan atau stress
 Kesalahan komunikasi
 Kurangnya sarana dan prasarana.
 Komplikasi penyakit
Beberapa penyakit memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, sehingga sulit
untuk disembuhkan. Bahkan, dengan teknologi medis yang canggih sekalipun,
masih ada kemungkinan terjadinya komplikasi atau kematian.
 Kesalahan pasien
Kesalahan pasien juga dapat menjadi penyebab terjadinya kasus medis.
Misalnya, pasien yang tidak mengikuti instruksi dokter, atau pasien yang tidak
jujur tentang kondisi kesehatannya.
 Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya kasus medis. Misalnya,
infeksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit, atau kecelakaan yang terjadi di
sekitar rumah sakit.

c. Bagaimana pendapat saudara tentang penanganan dan penyelesaian sengketa yang


paling baik di RS. Jelaskan
Penanganan dan penyelesaian sengketa yang paling baik di RS adalah penanganan
dan penyelesaian yang cermat, cepat, adil, dan memuaskan kedua belah pihak.
Penanganan dan penyelesaian sengketa yang cepat dapat membantu pasien dan
keluarga untuk mendapatkan keadilan dan kompensasi yang mereka butuhkan.
Penanganan dan penyelesaian sengketa yang adil dapat menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di RS. Penanganan dan penyelesaian
sengketa yang memuaskan kedua belah pihak dapat mencegah terjadinya konflik
berkepanjangan yang dapat merugikan semua pihak (mediasi).
Rumah sakit perlu membentuk suatu komite khusus untuk mengatasi sengketa
medis, komite itu dapat berupa Komite Etik dan Hukum. Tugas dari Komite Etik dan
Hukum adalah
 Menyusun Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct)
 Menyusun Etika Pelayanan
 Membina penerapan Etika Pelayanan,EtikaPenyelengaraan dan hukum
perumah sakitan
 Mengawasi pelaksanaan Penerapan Etika pelayanan dan Etika Penyelangaraan
 Memeberikan analisis dan pertimbangan Etik dan hukum pada pemabahasan
internal kasus pengaduan hukum
 Mendukung bagian hukum dalam melakukan pilihan penyelesaian sengketa
(ADR) dan atau advokasi hukum kasus pengaduan hukum.
 Menyelesaikan kasus pelanggaran Etik pelayanan yang tidak dapat diselesaikan
komite profesi terkait atau kasus etika antar profesi di RS.
 Memberikan pertimbangan kepeda kepala atau Direktur RS mengenai
kebijakan ,peraturan ,pedoman dan atau standar yang memiliki dampak Etik
dan atau Hukum.
 Memberikan pertimbangan atau rekomendasi terkait pemebrian bantuan
hukum dan rehabilitasi sumberdaya manusia Rumah Sakit.

3. Penanganan dan penyelesaian kasus sengketa medis sangat penting dilakukan secara
cermat, cepat dan tepat
a. Bagaimana pendapat saudara adanya perbedaan logika pasien dengan logika medis
terhadap suatu kasus sengketa medis tersebut Jelaskan
Sengketa medik terjadi karena adanya gap atau kesenjangan antara yang diharapkan
(expected) dengan yang menjadi kenyataan (fact). Sengketa medis terjadi disebabkan
oleh rasa tidak puas (ada kerugian), adanya komplain lisan atau tertulis, somasi pihak
pasien, adanya konflik (pasien tidak dilayani dengan baik, kurangnya empati dalam
pelayanan) dan atau tuntutan (etik, disiplin, perdata, pidana, TUN).
Logika umum/pasien :
1. Berobat untuk mencari kesembuhan bukan malpraktik
2. Bila terjadi masalah, kelalaian pasti pada dokter
3. Sakit membawa penderitaan dan pembiayaan
4. Datang ke dokter pasti sembuh
Logika Medis :
1. Ilmu kedokteran merupakan seni dan tidak pasti
2. Penyimpangan terhadap standar dan prosedur sangat mungkin terjadi
3. Hasil akhir tidak bisa ditentukan
4. Dihadapkan pada situasi yang tidak dapat diprediksi

Perbedaan logika pasien dan dokter ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dan
konflik. Pasien yang merasa dirugikan oleh hasil pengobatan yang diterimanya dapat
menuntut dokter secara hukum. Dokter yang merasa tidak bersalah dapat membela
diri dengan menunjukkan bahwa tindakannya sudah sesuai dengan standar
pelayanan medis yang berlaku. Untuk mengatasi perbedaan logika pasien dan
dokter, diperlukan pemahaman yang lebih baik antara kedua pihak. Pasien perlu
memahami bahwa pengobatan tidak selalu dapat memberikan hasil yang sempurna.
Dokter perlu menjelaskan kepada pasien tentang risiko medis yang mungkin terjadi
dalam setiap tindakan pengobatan.

b. Dalam terjadinya kasus sengketa medis kepada Nakes di RS. Jelaskan Langkah apa
saja yang dilakukan Direksi RS. Jelaskan
1. Proses peradilan (ajudikasi)
Litigasi (proses peradilan)
 Somasi dari pasien/keluarga/LSM atas dugaan malpraktek (tejadi kelalaian;
perbuatan melawan hukum)
 Meneliti kebenaran somasi (periksa rekam medis; informasi yang diberikan
dokter dan perawat; informasi tentang penanganan pasien)
 Menjawab somasi (sesuai informasi medik dalam rekam medis; keterangan
dokter, perawat; upaya membuktikan kebenaran)
 Melakukan mediasi (upaya dan saling pengertian; buktikan kebenaran
informasi medis)
 Hasil mediasi (terjadi perdamaian; jika tidak terjadi perdamaian, muncul
tuntutan gugatan ke kepolisian (pidana) atau ke pengadilan negeri (perdata)
 Timbul surat pengaduan ke polisi (terjadi tindakan melawan huku, kelalaian)
 Proses pemeriksaan di kepolisian (panggilan polisi ke dokter/pihak terkait;
antisipasi panggilan dengan persiapan bukti, penuhi panggilan dengan
didampingi kuasa hukum (sering diminta RM tetapi diberikan resume medis),
jelaskan dan buktikan kebenaran informasi medis (dalam rekam medis,
keterangan dokter dan perawat).
 Tindak lanjut polisi (pemeriksaan saksi lain; second opinion; SP3 atau
lanjutkan penanganan kasus ke kejaksaan).
 Kejaksaan (pemeriksaan tersangka dan saksi; mencari bukti; dapat terjadi
penahanan (di LP tahanan kota); tersangka tetap didampingi penasehat
hukum; bila cukup bukti ke Pengadilan Negeri.
 Proses di pengadilan

2. Proses konsensus/non ajudikasi


Non Litigasi (Alternatif Penyelesaian Sengketa / Alternative Dispute Resolution)
 Negosiasi
Metode penyelesaian sengketa yang paling dasar, sederhana, murah dan
tidak formal. Negosiasi adalah proses untuk mencapai kesepakan dengan
memperkecil perbedaan serta mengembangkan persamaan guna mencapai
tujuan bersama yg saling menguntungkan.
Tahapan negosiasi:
1. Persiapan dengan pengumpulan bahan, informasi, penguasaan materi,
tujuan dan teknis bernegoisasi tempat dan waktu
2. Mengemukakan maksud dan tujuan, mengajukan keinginan, dan
penawaran dari para pihak
3. Mengikuti, memimpin debat, diskusi dalam proses negoisasi. Negoisator
harus pintar, jeli dan lihai menangkap maksud dan arah pembicaraan para
pihak.
4. Proses tawar menawar menuju suatu kesepakatan, perlu waktu istirahat
menuju kesepakatan dan ini sangat menentukan.
5. Penutup. Bila negoisasi berhasil ditindak lanjut dan bila gagal upayakan
untuk dapat bertemu kembali dengan bentuk yg lain
 Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak
dengan dibantu oleh mediator (PERMA No.2 tahun 2003 pasal 1 ayat 6).
Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang
berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa (PERMA No.2 tahun 2003 pasal 1 ayat 5).
 Konsiliasi
Konsiliasi diartikan sebagai langkah awal perdamaian sebelum sidang
peradilan (litigasi) dilaksanakan artinya konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan
untuk mencegah dilaksanakan proses litigasi, melainkan juga dapat dilakukan
oleh para pihak dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung baik
di dalam maupun di luar pengadilan kecuali untuk hal-hal sengketa yang telah
diperoleh suatu putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
tentunya tidak dapat dilakukan konsiliasi
 Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara pihak
tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak
konsultan. Pihak Konsultan memberikan pendapat kepada kliennya untuk
memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pihak Konsultan menawarkan
berbagai alternatif penyelesaian masalah dan langkah-langkah yang harus
ditempuh para pihak.
 Penilaian/pendapat ahli
Penilaian atau pendapat ahli dapat dilakukan dalam penyelesaian masalah
yang dikuasai para ahli dimaksud. Pendapat ahli tidak harus dari lembaga
arbitrase. Para pihak dapat menunjuk ahli dari luar lembaga arbitrase untuk
memeriksa bahan-bahan yang diserahkan para pihak dan selanjutnya
memberikan pendapatnya sehubungan dengan permasalahan yang diajukan
kepadanya. Pendapat ahli cocok digunakan bila sengketa mengenai masalah
penilaian fakta atau peristiwa, masalah teknis atau ilmiah.
 Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa

c. Bagaimana pandangan saudara tentang pelaksanaan asuransi dalam pelayanan


kesehatan dari segi pertanggungjawaban hukum. Siapa yang harus bertanggung
jawab. Uraikan pendapat saudara.
Penanggung jawab pelaksanaan asuransi dalam pelayanan kesehatan dari segi
pertanggungjawaban hukum dapat melibatkan berbagai pihak tergantung pada
konteks dan peraturan yang berlaku.
1. Perusahaan Asuransi Kesehatan
Perusahaan asuransi memiliki tanggung jawab untuk mematuhi peraturan yang
berlaku dan memastikan bahwa produk asuransi yang mereka tawarkan sesuai
dengan standar hukum.
Mereka juga bertanggung jawab untuk memproses klaim secara adil,
transparan, dan sesuai dengan ketentuan polis yang telah disepakati.
2. Pemegang Polis (Peserta Asuransi)
Pemegang polis memiliki tanggung jawab untuk membaca dan memahami
syarat dan ketentuan dalam polis asuransi kesehatan mereka.
Mereka juga harus memberikan informasi yang akurat saat mengajukan klaim
dan berpartisipasi aktif dalam proses klaim.
3. Penyedia Layanan Kesehatan
Fasilitas kesehatan dan profesional kesehatan memiliki tanggung jawab untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar medis dan etika
yang berlaku.
Mereka juga harus menyediakan informasi yang cukup mengenai biaya
pengobatan dan prosedur medis kepada pasien serta berkolaborasi dengan
pihak asuransi saat diperlukan.
4. Otoritas Pengawas dan Regulator
Otoritas pemerintah yang bertanggung jawab mengawasi sektor asuransi,
seperti badan pengawas asuransi atau otoritas kesehatan, memiliki peran
dalam memastikan bahwa perusahaan asuransi dan penyedia layanan
kesehatan mematuhi peraturan dan standar yang berlaku.
5. Pengadilan dan Sistem Hukum
Pihak yang merasa dirugikan atau merasa bahwa ada pelanggaran hukum
dalam pelaksanaan asuransi kesehatan dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan atau badan arbitrase yang berwenang.

d. Salah cara penyelesaian kasus dengan cara ADR (Alternative Dispute Resolusion)
atau penyelesaian di luar pengadilan misalnya melalui Mediasi, Konsiliasi, Negoisasi
dan Arbitrasi. Uraikan langkah langkah dengan cara Mediasi.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung no 1 tahun 2016, tahap-tahap mediasi
yakni :
1. Pramediasi
Tahap pramediasi merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum mediasi
dilaksanakan. Prosedur secara rinci sebagai berikut:
 Para pihak memilih mediator bersertifikat.
 Penetapan jadwal pertemuan untuk pelaksanaan mediasi.
Apabila perkara sudah sampai pada proses peradilan dan para pihak tidak
dapat menentukan mediator, maka majelis hakim akan menetapkan mediator
dari para hakim.

2. Proses mediasi
Tahap awal mediasi:
 Memperkenalkan diri antara mediator dan para pihak yang bersengketa.
 Menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi
 Menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak
mengambil keputusan
 Membuat aturan tata tertib pelaksanaan mediasi bersama para pihak
 Menjelaskan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan dengan salah
satu pihak tanpa dihadiri pihak lainnya (kaukus), untuk mengatasi
kebuntuan
Tahap pembahasan mediasi:
Tugas terperinci mediator dalam pembahasan mediasi adalah:
 Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan
permasalahan dan usulan perdamaian
 Menginventarisasi permasalahan dan menyusun agenda pembahasan
berdasarkan skala prioritas
 Memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk menelusuri permasalahan
dan menggali kepentingan masing-masing pihak, kemudian bekerja sama
dalam mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik untuk mencapai
kesepakatan.
Dalam proses pembahasan mediasi, pernyataan dan pengakuan para pihak
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses sidang pengadilan
perkara. Demikian pula, mediator tidak dapat menjadi saksi dalam persidangan
perkara yang bersangkutan.

3. Akhir Mediasi

 Pada akhir mediasi, alternatif hasil berupa mediasi berhasil, tidak berhasil,
dan tidak dapat dilaksanakan. Mediasi dikatakan tidak dapat dilaksanakan
jika salah satu pihak telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan sesuai jadwal yang telah disepakati.
 Mediasi yang berhasil akan menghasilkan kesepakatan perdamaian untuk
dilaksanakan oleh para pihak. Mediator membantu dalam membuat dan
merumuskan Kesepakatan Perdamaian secara tertulis, yang akan
ditandatangani para pihak dan mediator.
 Kesepakatan perdamaian tidak boleh memuat ketentuan yang
bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan;
merugikan pihak ketiga; dan tidak dapat dilaksanakan. Kesepakatan
tersebut merupakan keputusan bersama para pihak yang bersengketa, di
mana mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban atas isi
kesepakatan.

4. Pasca mediasi

 Tahap pasca mediasi adalah tindak lanjut yang dilakukan setelah proses
mediasi berakhir. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dapat
mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim pengadilan untuk
dikuatkan dalam bentuk Akta Perdamaian yang bersifat final dan mengikat
serta dapat dilakukan eksekusi.
 Apabila para pihak tidak menghendaki Akta Perdamaian, maka harus
memuat klausul pencabutan gugatan atau menyatakan perkara telah
selesai.
 Apabila tidak tercapai kesepakatan atau tercapai kesepakatan sebagian,
maka proses hukum berlanjut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang
berlaku dalam pelaksanaan proses peradilan.
4. Penanganan atas pelanggaran Etik dan Hukum di RS sangat penting dan merupakan
masalah yang paling pelik dan paling berat penangannya
a. Bagaimana pengaturan Etika dan Hukum di RS?
Rumah Sakit harus membuat :
1. Tata Kelola Etik dan Hukum.
Tata Kelola Etik dan Hukum adalah serangkaian proses yang terkait dengan
tindakan yang bersifat mengatur, membina, mengendalikan, dan mengawasi
perilaku pemberi pelayanan dan pengelola Rumah Sakit agar sesuai dengan
nilai-nilai etika dan hukum Rumah Sakit.
2. Panduan Etik dan Perilaku
Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct) adalah serangkaian petunjuk yang
berisikan etika perilaku umum, etika pelayanan, dan etika penyelenggaraan
rumah sakit sebagai suatu standar perilaku sumber daya manusia dan
pengelola dalam menjalankan pelayanan kesehatan dan penyelenggaraan
Rumah Sakit untuk mewujudkan perilaku dan budaya kerja yang sesuai dengan
visi dan misi Rumah Sakit.
3. Etika Pelayanan RS
Etika Pelayanan adalah sistem nilai atau kaidah perilaku dalam pelayanan klinis
di Rumah Sakit. Etika Penyelenggaraan adalah sistem nilai atau kaidah perilaku
institusi dalam penyelenggaraan Rumah Sakit.
4. Panduan Etika Pelayanan
Pedoman Etika Pelayanan adalah serangkaian petunjuk yang berisikan Etika
Pelayanan.

Tugas Komite Etik dan Hukum RS:


1. Menyusun Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct)
2. Menyusun pedoman Etika Pelayanan
3. Membina penerapan Etika Pelayanan, Etika Penyelenggaraan, dan hukum
perumahsakitan
4. Mengawasi pelaksanaan penerapan Etika Pelayanan dan Etika Penyelenggaraan
5. Memberikan analisis dan pertimbangan etik dan hukum pada pembahasan
internal kasus pengaduan hukum
6. Mendukung bagian hukum dalam melakukan pilihan penyelesaian sengketa
(alternative dispute resolution) dan atau advokasi hukum kasus pengaduan
hukum;
7. Menyelesaikan kasus pelanggaran etika pelayanan yang tidak dapat
diselesaikan oleh komite etika profesi terkait atau kasus etika antar profesi di
Rumah Sakit.
8. Memberikan pertimbangan kepada Kepala atau Direktur Rumah Sakit mengenai
kebijakan, peraturan, pedoman, dan standar yang memiliki dampak etik dan
atau hukum
9. Memberikan pertimbangan dan atau rekomendasi terkait pemberian bantuan
hukum dan rehabilitasi bagi sumber daya manusia rumah sakit.

Peran Komite Etik dan Hukum menerapkan etika, disiplin, dan hukum:
1. Pengelolaan data dan informasi terkait etika Rumah Sakit
2. Pengkajian etika dan hukum perumahsakitan, termasuk masalah
profesionalisme, interkolaborasi, pendidikan, dan penelitian serta nilai-nilai
bioetika dan humaniora
3. Sosialisasi dan promosi Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct) dan
pedoman etika pelayanan
4. Pencegahan penyimpangan Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct) dan
pedoman Etika Pelayanan
5. Monitoring dan evaluasi terhadap penerapan Panduan Etik dan Perilaku (Code
of Conduct) dan pedoman Etika Pelayanan
6. Pembimbingan dan konsultasi dalam penerapan Panduan Etik dan Perilaku
(Code of Conduct) dan pedoman Etika Pelayanan
7. Penelusuran dan penindaklanjutan kasus terkait Etika Pelayanan dan Etika
Penyelenggaraan sesuai dengan peraturan internal Rumah Sakit
8. Penindaklanjutan terhadap keputusan etik profesi yang tidak dapat diselesaikan
oleh komite profesi yang bersangkutan atau kasus etika antar profesi.

Sejauh mana manfaatnya bagi Direksi dalam pelaksanaan Etika dan Hukum di RS.
Uraikan alasan dan pertimbangan saudara.
Manfaat Etik dalam Pelayanan Kesehatan
1. Menegakkan dan meningkatkan kesadaran Etik bagi seluruh pegawai dalam
upaya mencegah meminimilasi terjadinya masalah di Rumah Sakit.
2. Mencegah terjadinya konflik internal dan eksternal di lingkungan Rumah Sakit.
3. Melindungi seluruh karyawan Rumah Sakit terhadap permasalahan yang
berpotensi menjadi masalah etik, hukum.
4. Menciptakan kerja yang harmonis sesuai budaya Etik, Hukum di Rumah Sakit.

Tujuan Etik dalam Pelayanan Kesehatan


1. Terlaksananya pembinaan etika secara baik, benar dengan tepat bagi seluruh
stakeholder di Rumah Sakit.
2. Terciptanya dan terpeliharanya budaya integritas berwujud Etik yang benar dan
bermanfaat serta perilaku yang baik di tempat kerja di lingkungan Rumah Sakit.
3. Terwujudnya kordinasi kerja yang menciptakan lingkungan yang positif bagi
semua pegawai Rumah Sakit dengan budaya yang mengoptimalkan pelayanan,
perawatan, kepuasan dan keselamatan pasien.
4. Terwujudnya persepsi semua stakeholder tentang standar perilaku demi
menciptakan lingkungan kerja yang baik, aman dan tertib dalam pelayanan
kesehatan.

b. Bagaimana tanggapan saudara peranan Etik dan Hukum dalam praktek pelayanan
kesehatan yang diduga adanya Euthanasia pasif di rumah sakit?
Aspek Etik, Moral, dan Hukum Euthanasia
1. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang mempunyai Hak Azasi dalam kehidupannya
sehingga hak hidup berada di tangan Tuhan Maha Pencipta
2. Penentuan hidup dan mati tidak di tangan manusia namun sisi lainnya hak
pasien untuk menentukan nasib sendiri.
3. Nilai insani manusia dan fitrah manusia utk tetap berjuang mempertahankan
hidupnya dan menghadapi tantangan dan penderitaan.
4. Aspek kehidupan manusia tidak bisa dinilai secara individual karena baik hidup
dan mati berkaitan dengan orang lain sebagai mahluk hidup dan mahluk sosial.
5. Pilihan Euthanasia harus dipertimbangkan dari aspek Etik, Moral, Hukum dan
aspek agama, budaya, sosial, dan aspek Kesehatan.
Etika
a. Prinsip Otonomi: Menghormati hak otonomi pasien adalah prinsip etika
utama. Keputusan medis seharusnya melibatkan pasien atau keluarganya,
dan pasien memiliki hak untuk memberikan persetujuan atau menolak
perawatan.
b. Prinsip Keadilan: Aspek keadilan perlu diperhatikan untuk memastikan
bahwa keputusan medis diambil dengan adil dan setiap pasien diperlakukan
secara sama.
c. Prinsip Non-Maleficence dan Beneficence: Pemberian perawatan medis
atau penanganan medis yang mengikuti prinsip tidak merugikan (non-
maleficence) dan memberikan manfaat (beneficence) kepada pasien.
d. Diskusi dan Konseling: Etika memerlukan komunikasi yang jelas dan jujur
dengan pasien atau keluarganya untuk memahami keinginan mereka,
memberikan informasi yang dibutuhkan, dan memberikan dukungan moral.
Hukum
a. Persetujuan Pasien atau Wali: Banyak yurisdiksi mensyaratkan persetujuan
pasien atau wali hukum sebelum melakukan tindakan medis, termasuk
keputusan untuk menghentikan atau tidak memulai perawatan.
b. Panduan Hukum: Beberapa negara memiliki panduan hukum yang
mengatur praktik euthanasia pasif. Panduan ini dapat menentukan kriteria
klinis atau etika yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil
keputusan.
c. Penghentian Perawatan: Hukum dapat memberikan panduan tentang kapan
dan bagaimana perawatan dapat dihentikan. Hal ini dapat melibatkan
prosedur khusus dan persetujuan tertentu.
d. Kewajiban Pelaporan: Beberapa yurisdiksi mengharuskan rumah sakit atau
profesional kesehatan melaporkan keputusan atau tindakan yang
melibatkan penghentian perawatan ke lembaga atau otoritas yang
berwenang.
Praktik euthanasia pasif dapat bervariasi tergantung pada yurisdiksi hukum dan
norma etika. Profesional kesehatan harus tetap mematuhi peraturan dan norma
etika yang berlaku dalam lingkungan mereka. Jika terjadi ketidaksetujuan atau
konflik, perlu dilibatkan ahli etika medis atau perwakilan hukum untuk memastikan
bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan norma etika dan hukum yang
berlaku.
Bagaimana pelaksanaan hal itu di Indonesia.

Di Indonesia, euthanasia masih tergolong ilegal atau tidak boleh dilakukan.


Larangan mengenai euthanasia di Indonesia secara tidak langsung disebutkan
dalam Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang larangan melakukan
euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP yang bunyinya: “Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Dokter seharusnya menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,
sekalipun keluarga pasien menghendaki. Secara hukum, norma sosial, agama dan
etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.

c. Uraikan penerapan Etika Penyelenggaraan dan Etika Pelayanan di RS yang saudara


ketahui? Uraian dan jelaskan pendapat saudara
 Etika administratif terkait dengan kepemimpinan dan manajemen di rumah
sakit yang mencakup penentukan obyektif/goal, penentukan arah dan memberi
pedoman pada organisasi serta kegiatan kepemimpinan dan manajemen ini
paling sensitif secara etis, tidak melanggar asas-asas etika beneficence,
nonmaleficence, menghormati manusia dan berlaku adil. Etika administratif
tentang privasi, konfidensial tentang pasien, seperti rahasia pribadi, kelainan
atau penyakit yang diderita, keadaan keuangan, dan terjaminnya pasien dari
gangguan dan kewajiban etis rumah sakit untuk menjaga dan melindungi
privasi dan kerahasiaan pasiennya.
 Etika dalam pelayanan kesehatan yang terkait isu sosial, hukum, agama, politik,
pemerintahan, ekonomi, kependudukan, lingkungan hidup, identifikasi dan
pemecahan masalah etika biomedis penanganan masalah etika medis
‘tradisional’. Etika medis dalam pelayanan medis terjadinya malpraktek,
kewajiban dan tanggung jawab institusional rumah sakit. Etika biomedis terkait
dengan kegiatan rekayasa genetik, teknologi reproduksi, eksperimen medis,
donasi dan transplantasi organ, penggantian kelamin, euthanasia, isu-isu pada
akhir hidup, kloning terapeutik dan kloning repraduktif.
 Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI), yang memuat rangkuman nilai-nilai
dan norma-norma perumahsakitan guna dijadikan pedoman bagi semua pihak
yang terlibat dan berkepentingan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan
perumahsakitan di Indonesia.
 Penerapan etika penyelenggaraan di Rumah Sakit:
1. Transparansi dan Akuntabilitas: Memastikan transparansi dalam
pengelolaan rumah sakit, termasuk keuangan, kebijakan, dan prosedur.
Menerapkan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan
kebijakan.
2. Kepemimpinan yang Etis: Memiliki pemimpin dan manajemen yang
mengedepankan nilai-nilai etika dalam mengelola rumah sakit.
Menyelenggarakan pelatihan etika bagi para pemimpin dan staf.
3. Hak Pasien dan Privasi: Menjamin hak-hak pasien, termasuk hak untuk
mendapatkan informasi yang jelas, hak privasi, dan hak untuk membuat
keputusan tentang perawatan medis mereka.
4. Keberlanjutan dan Keberlanjutan Sosial: Menjalankan rumah sakit secara
berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Terlibat
dalam kegiatan amal dan tanggung jawab sosial di masyarakat.
5. Keberagaman dan Inklusi: Memastikan bahwa layanan kesehatan
disesuaikan dengan keberagaman pasien dan memperlakukan semua
pasien dengan adil dan tanpa diskriminasi.
 Penerapan etika pelayanan di Rumah Sakit:
1. Kualitas Pelayanan: Memberikan pelayanan kesehatan dengan standar
kualitas tinggi, melibatkan staf yang terlatih dan kompeten. Melibatkan
pasien dalam perencanaan dan evaluasi pelayanan kesehatan.
2. Komunikasi yang Efektif: Memastikan komunikasi yang jelas dan efektif
antara staf medis, pasien, dan keluarganya. Mendukung pertukaran
informasi yang akurat dan mudah dimengerti.
3. Empati dan Kemanusiaan: Mendorong sikap empati dan perhatian terhadap
pasien dan keluarganya. Memperlakukan pasien dengan kemanusiaan dan
menghormati nilai-nilai budaya mereka.
4. Penghormatan Terhadap Keputusan Pasien: Menghormati hak pasien untuk
membuat keputusan sendiri tentang perawatan medis mereka.
Memberikan informasi yang diperlukan untuk mendukung keputusan
pasien.
5. Keselamatan Pasien: Menjamin keamanan pasien melalui penerapan
prosedur keamanan dan kualitas yang ketat. Mengelola risiko dan insiden
keamanan pasien dengan cepat dan efektif.

d. Bagaimana tanggapan saudara peranan Etik dan Hukum dalam praktek pelayanan
kesehatan Transplantasi Organ di rumah sakit ?
1. Pertimbanganya: Pertimbangan medis dan non medis yakni agama,
kepercayaan, hukum, etik, dll. Dasar Hukum (PP 18 tahun 1981 tentang Bedah
mayat klinis, bedah mayat anatomis, dan transplantasi alat dan jaringan tubuh
manusia).
2. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang bekerja rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, tidak
boleh dilakukan dokter yang merawat atau mengobati donor yang
bersangkutan.
3. Transplantasi penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tidak
sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.

Pelaksanaan Transplantasi :
1. Persetujuan tertulis dibuat di atas bermaterai dengan 2 orang saksi.
2. Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan
transplantasi atau Bank Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,
harus persetujuan tertulis keluarga yang terdekat.
3. Sebelum persetujuan diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang
bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya dan
dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan
yang dapat terjadi.
4. Dokter dimaksud harus yakin benar, bahwa donor yang bersangkutan telah
menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan.
5. Donor atau keluarga yang meninggal dunia tidak berhak atas sesuatu
kompensasi material apapun sebagai imbalan transpalantasi
6. Dilarang memperjual-belikan alat dan atau jaringan tubuh manusia.
7. Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam
semua bentuk ke dan dari luar negeri
8. Donor hidup : Kulit, ginjal, darah, sumsum tulang.
9. Donor mati/jenazah : Jantung, hati, ginjal, kornea mata, paru paru, pankreas.
Aspek Hukum : PP 18 th 1981 (lihat pasal 1 sd pasal 17)

Bagaimana pelaksanaan hal itu di Indonesia.


Transplantasi organ di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Pelaksanaan transplantasi organ diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 Tentang Transplantasi Organ dan Jaringan
Tubuh. Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2021 pasal 9 menyatakan bahwa
Transplantasi Organ dilaksanakan melalui tahapan kegiatan: Pendaftaran;
Pemeriksaan kecocokan antara resipien dan pendonor; dan Operasi transplantasi
organ dan penatalaksanaan pasca operasi transplantasi organ.
Untuk dapat melakukan transplantasi dan guna melindungi pendonor dan
penerima donor ada hal yang perlu diperhatikan. Hal ini tertuang dalam
persyaratan administratif yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
kesalahpahaman dan kesalahan di masa yang akan datang. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 tahun 2021 pasal 11 dinyatakan bahwa Persyaratan
administratif calon Pendonor, diantaranya adalah:
1. Berbadan sehat dibuktikan dengan surat keterangan sehat;
2. Berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
3. Membuat pernyataan tertulis tentang kesediaan menyumbangkan organ
tubuhnya secara sukarela tanpa meminta imbalan;
4. Mendapat persetujuan keluarga terdekat;
5. Memahami indikasi, kontraindikasi, risiko, prosedur transplantasi organ,
panduan hidup pasca operasi transplantasi organ, dan pernyataan
persetujuannya; dan
6. Membuat pernyataan tidak melakukan penjualan organ maupun melakukan
perjanjian dengan resipien yang bermakna jual beli atau pemberian imbalan.

Jelaskan kriteria kepatuhan dalam penelitian biomedis


Kriteria kepatuhan dalam penelitian biomedis
1. Bahwa penelitian ini akan memberi harapan dan pandangan baru dan tidak
dapat ditempuh dengan cara lain. Validitasnya ditentukan obyek penelitiannya
yaitu manusia.
2. Bahwa hasil penelitian harus lebih berharga dibanding dengan resikonya.
3. Kepentingan responden selalu harus diprioritaskan dibanding dengan kemajuan
ilmu pengetahuan. Privasi responden harus dijunjungi tinggi.
4. Penelitian harus memenuhi prinsip dan ketentuan ilmiah yang didasarkan pada
hasil laboratorium, jurnal ilmiah, hasil percobaan biologi terhadap hewan,
pengetahuan yang memadai dari kepustaaan ilmiah.
5. Bentuk dan cara pelaksanaan penelitian harus jelas dan tertulis dan harus
dinilai oleh panitia khusus yg memiliki kompetensi.
6. Penelitian harus dilakukan oleh peneliti yang memiliki kualitas yang baik dan
pekerjaannya diawasi oleh ahli ahli medis yang kompeten.
7. Penelitian yang menggunakan manusia sebagai obyeknya, berlaku standar
profesi tertinggi bukan oleh dokter yang hanya memilik kompetensi rata rata.
8. Peneliti bertanggung jawab sepenuhnya secara pribadi baik hukum dan
etikanya.
9. Integritas psikis dan fisik dari percobaan harus dijaga dan dilindungi.
10. Penderitaan rohaniah dan fisik responden harus dibatasi maksimal.
11. Harus dilakukan usaha pencegahan kerugian, invaliditas, dan kematian
responden.
12. Tiap penelitian harus diakhiri dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai