Anda di halaman 1dari 16

MATERI

PERTEMUAN
05

Sub Materi

01. Glasgow Coma Scale (GCS)

02. Tekanan Intrakranial dan Prinsip Interval

03. Pembidaian dan Komplikasinya

04. Triase dalam setting IGD

Tutor

Ns. Deky Ardiyasri, S. Kep


Keperawatan Gawat Darurat

Hal. 1
01 Glasgow Coma Scale (GCS)

GLASGOW COMA SCALE (GCS)


Penilaian GCS atau Glasgow Coma Scale adalah penilaian fungsi neurologik
yang memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat
digunakan untuk pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status
neurologik pasien.
Tujuan Pemeriksaan
Penilaian GCS dilakukan untuk melakukan pengkajian neurologik yang lebih
dalam dengan mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka
mata.
Penilaian
Cara melakukan penilaian GCS adalah dengan mengevaluasi respon motorik
pasien, verbal dan respon membuka mata, lalu masing-masing respon
diberikan sebuah angka sebagai berikut:

1. Refleks Membuka Mata (E)


4 : Spontan
3 : Perintah Verbal (meminta pasien membuka mata)
2 : Rangsangan Nyeri (tekan pada syaraf supraorbita atau kuku jari)
1 : Tidak ada respons (dengan rangsangan nyeri pasien tidak membuka
mata)

2. Refleks Verbal (V)


5 : Orientasi baik dan bicara jelas (tidak ada disorientasi, dapat
menjawab dengan kalimat yang baik dan mengetahui dimana ia
berada, termasuk hari, waktu dan bulan)
4 : Kacau /confused (dapat berbicara dalam kalimat namun ada
disorientasi waktu dan tempat)
3 : Kata-kata yang tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun
tidak berupa kalimat dan tidak tepat)
2 : Mengerang (suara yang tidak berarti, tidak mengucapkan kata, hanya

Hal. 2
suara mengerang)
1 : Tidak ada respons atau jawaban

3. Refleks Motorik (M)


6 : Mengikuti Perintah (misalnya, pasien disuruh untuk angkat tangan)
5 : Mengetahui letak rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, bila oleh
rasa nyeri pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu
untuk maksud menapis rangsangan tersebut berati ia dapat
mengetahui lokasi nyeri)
4 : Reaksi menghindar terhadap nyeri (bergerak tanpa arah tidak tahu
lokasi nyeri)
3 : Fleksi abnorma (dekortikasi)
berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan dengan objek keras
seperti ballpoint, pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku memfleksi,
terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan tangan
mungkin ada atau tidak)
2 : Ekstensi abnormal (deserbasi)
dengan rangsangan nyeri tersebut di atas terjadi ekstensi pada siku,
ini selalu disertai fleksi spastik pada pergelangan tangan
1 : Tidak ada respons
sebelum memutuskan bahwa hasil pemeriksaan motorik tidak
ada reaksi, harus diyakinkan bahwa rangsangan nyeri yang
diberikan cukup adekuat

Hal. 3
Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.

Penderita yang sadar (compos mentis) pasti GCSnya 15 (E4-V5-M6), sedang


penderita koma dalam, GCSnya 3 (E1-V1-M1).
Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan
M normal, penulisannya EX-V5-M6.
Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal, penulisannya E4-VX-M6. Bila
tetraparese sedang E dan V normal, penulisannya E4-V5-MX.

GCS tidak bisa dipakai untuk menilai tingkat kesadaran pada anak berumur
kurang dari 5 tahun.

Penilaian tingkat kesadaran dengan menggunakan metode GCS adalah


penilaian tingkat kesadaran secara kuantitatif.
Sedangkan penilaian tingkat kesadaran secara kualitatif yaitu Kompos Mentis,
Apatis, Somnolen, Stupor, Koma (Posner, JB dalam Aprilia, M, 2015)
1. Kompos Mentis
Keadaan seseorang sadar penuh dan dapat menjawab pertanyaan tentang diri
dan lingkungannya.
2. Apatis
Keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan
orang lain di lingkungannya.
3. Somnolen
Keadaan seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih
dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban
secara verbal, namun mudah tertidur kembali.
4. Stupor/Sopor
Kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan
reaksi bila dibangunkan, kecuali dengan rangsangan nyeri.
5. Koma
Kesadaran hilang, tidak menunjukkan reaksi walaupun dengan semua
rangsangan (verbal, taktil, nyeri) dari luar.

Hal. 4
HUBUNGAN GCS DENGAN BERAT RINGANNYA CEDERA KEPALA
a. Cedera kepala ringan/minor
- GCS 13 – 15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30
menit
- Tidak ada fraktur tengkorak
- Tidak ada kontusio serebral, hematom
b. Cedera kepala sedang
- GCS 9 – 12
- Kehilangan kesadaran dan anmnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Diikuti kontusio serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
c. Cedera kepala berat
- GCS 3 – 8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
- Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma
intrakranial

Hal. 5
Tekanan Intrakranial dan
02 Prinsipp Intervensi

TEKANAN INTRAKARNIAL

PEMANTAUAN PENINGKATAN TEKANAN INTRA KRANIAL (TIK)

Hal. 6
Hal. 7
PRINSIP INTERVENSI PENINGKATAN TIK

Hal. 8
Hal. 9
03 Pembidaian dan Komplikasinya

PEMBIDAIAN (SPLINTING)
Pembidaian adalah mengimobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera dan
melindungi dari cedera yang lebih lanjut, mengurangi nyeri dan perdarahan
serta digunakan untuk memulai proses penyembuhan. Pemakaian pembidaian
pada pasien rawat jalan termasuk di dalamnya fraktur, dislokasi dan sprain otot.
Stabilisasi dari ekstremitas yang patah tulang dengan pembidaian membantu
kesejajaran tulang dan mengurangi ketidaknyamanan (Fitch, 2008).
Pembidaian adalah cara untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh
yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat.
Tujuan Pembidaian
a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau
sendi yang mengalami dislokasi.
b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak
sekitar tulang yang patah (mengurangi/mencegah cedera pada
pembuluh darah, jaringan saraf perifer dan pada jaringan patah tulang
tersebut)
c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.
d. Untuk mencegah terjadinya syok.
e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan
Tipe-Tipe Bidai/Splint
a. Hard splint (bidai kaku)
Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku
sederhana bisa dibuat dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dari
plastik, aluminium, fiberglass dan gips back slab. Gips back slab ini dibentuk
dan diberi nama sesuai peruntukannya untuk area trauma yang dipasang
bidai.
Gips back slab merupakan alat pembidaian yang lebih baik dan lebih tepat
digunakan pada ekstremitas atas dan bawah serta digunakan untuk
imobilisasi sementara pada persendian.
b. Soft splint (bidai lunak)
Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh penolong

Hal. 10
dengan menggunakan alat pembidaian sederhana seperti bantal atau
selimut.
c. Air slint atau vacuum splint
Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara. Bidai
udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko terjadi compartment
syndrome dan iritasi pada kulit.
d. Traction splint (bidai dengan traksi)
Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan
traksi pada bidai. Bidai dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk trauma
pada daerah femur dan sepertiga bagian tengah ekstremitas bawah.
Prinsip Dasar Pembidaian
a. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian
b. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera sampai
kita benar- benar melakukan pembidaian
c. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali ke
tempat semula
d. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang
bidai
e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur
terbuka sebelum memasang bidai
f. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang yang
patah
g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi pada
tulang proksimal dan distal dari sendi tersebut
h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada
bagian tulang yang menonjol di bawah kulit
i. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap nadi,
gerakan dan rasa/sensasi pada bagian distal dari tempat yang fraktur
atau cedera
Berikan dukungan dan tenangkan penderita.
Komplikasi
Komplikasi pembidaian biasanya timbul bila kita tidak melakukan pembidaian
secara benar, di antaranya :
a. Bila bidai terlalu longgar bisa menimbulkan kerusakan pada saraf perifer,
pembuluh darah, atau jaringan sekitarnya akibat pergerakan ujung-ujung

Hal. 11
fragmen patah tulang.
b. Menghambat aliran darah bila terlalu ketat bisa menyebabkan iskemia
jaringan
c. Kerusakan kulit
Penekanan pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada
kulit sehingga sebelum dilakukan pembidaian kulit harus benar-benar
dalam keadaan bersih. Pasir dan kotoran dapat menjadi titik tekanan
pada kulit.
d. Compartment syndrome
Compartment syndrome merupakan komplikasi serius dari pembidaian.
Peningkatan nyeri, pembengkakan, perubahan warna dan peningkatan
temperatur merupakan gejala penting yang harus diperhatikan.
e. Infeksi
Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya
bakteri dan infeksi jamur.
f. Kerusakan saraf
Trauma dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat menimbulkan
penekanan
sirkulasi dan kerusakan saraf. Bisa menekan jaringan saraf, pembuluh
darah atau jaringan di bawah bidai bisa memperparah cedera yang
sudah ada, bila bidai dipasang terlalu ketat.

Contoh :
Teknik pemasangan bidai pada pasien Fraktur Tibia Fibula dengan melewati
dua sendi (pergelangan kaki; sendi distal dan lutut; sendi proksimal)

Hal. 12
04 Triase dalam setting IGD

TRIAGE DALAM SETINGAN IGD


DEFINISI
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu
cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan
serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau
menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan
menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen dkk, 2008).

Triage adalah memilah kondisi pasien berdasarkan pada tingkat


kegawatdaruratannya yang diprioritaskan berdasarkan ada tidaknya
gangguan pada A (Airway), B (Breathing), C (Circulation), Disability (D),
environtment (E) (Permenkes RI No. 47 tahun 2018).

Sistem triage adalah struktur dasar dimana semua pasien yang datang
dikategorikan ke dalam kelompok tertentu dengan menggunakan standar skala
penilaian urgensi atau struktur

Urgensi : Urgensi ditentukan berdasarkan kondisi klinis pasien dan digunakan


untuk menentukan kecepatan intervensi yang diperlukan untuk mencapai hasil
yang optimal.

Tingkat urgensi adalah tingkat keparahan atau kompleksitas suatu penyakit


atau cedera. Sebagai contoh, pasien mungkin akan diprioritaskan ke peringkat
urgensi yang lebih rendah karena mereka dinilai cukup aman bagi mereka untuk
menunggu memperoleh pemeriksaan emergensi, walaupun mereka mungkin
memerlukan rawat inap di rumah sakit untuk kondisi mereka atau mempunyai
kondisi morbiditas yang signifikan dan resiko kematian

Tujuan Triage
1. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa.
2. Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat
kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan.

Hal. 13
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
a. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada
pasien
b. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan
pengobatan lanjutan
c. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Prinsip Triage
1. “Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek mungkin),
2. The Right Patient, to The Right Place at The Right Time
3. Melakukan yang terbaik untuk jumlah terbanyak”

Permenkes RI No. 47 tahun 2018 menjelaskan Dalam prinsip triase diberlakukan


sistem prioritas, prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus
didahulukan mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman
jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan :

1. Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit.


2. Dapat mati dalam hitungan jam.
3. Trauma ringan.
4. Sudah meninggal.

Prioritas Triage

Proses mengkategorikan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratannya


dan penyebab ancaman hidup apakah masuk ke kategori merah, kuning, hijau
atau hitam.

Penilaian ini dilakukan berdasarkan A (Airway), B (Breathing), C (Circulation),


Disability (D), environtment (E)

1. Warna MERAH merupakan prioritas pertama (area resusitasi). Mengancam


jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan segera, yang
mempunyai kesempatan hidup yang besar jika ditolong segera.
2. Warna KUNING. Merupakan prioritas kedua (area tindakan). Potensial
mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam
jangka waktu singkat. memerlukan tindakan definitif dan tidak ada
ancaman jiwa segera

Hal. 14
3. Warna HIJAU. Merupakan prioritas ketiga (area observasi). Pasien cidera
minimal,dapat berjalan dan mencari pertolongan sendiri, penanganan
seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan
bersifat terakhir
4. Warna HITAM. Merupakan Prioritas nol. Pasien meninggal atau cidera fatal,
Kemungkinan untuk hidup sangat kecil dan tidak mungkin diresusitasi.
Prosedur Triage
1. Pasien datang diterima oleh tenaga kesehatan di IGD Rumah Sakit
2. Penilaian dilakukan secara singkat dan cepat (selintas) untuk menentukan
kategori kegawatdaruratan pasien oleh tenaga kesehatan dengan cara:
a. Menilai tanda vital dan kondisi umum pasien
b. Menilai kebutuhan medis
c. Menilai kemungkinan bertahan hidup
d. Menilai bantuan yang memungkinkan
e. Memprioritaskan penanganan definitif
3. Bila jumlah penderita / korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase
dapat dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD Rumah Sakit).
4. Pasien dibedakan berdasarkan tingkat kegawatdaruratannya dengan
memberikan kode warna yaitu merah, kuning, hijau atau hitam.
5. Pasien kategori merah dapat langsung diberikan tindakan diruang
resusitasi, tetapi jika diperlukan tindakan medis lebih lanjut dapat
dipindahkan ke ruang operasi atau di rujuk ke rumah sakit lain
6. Pasien kategori kuning yang memerlukan tindakan medis lebih lanjut dapat
dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah pasien
dengan kategori merah selesai ditangani
7. Pasien dengan kategori hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan atau bila
sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka pasien diperbolehkan
untuk dipulangkan
8. Pasien kategori hitam yang meninggal dapat langsung dipindahkan ke
kamar jenazah

Metode Triage

1. Metode START

Pelaksanaan triage dilakukan dengan memberikan tanda sesuai dengan


warna prioritas.Bisanya digunakan saat rumah sakit melayani korban

Hal. 15
dalam jumlah banyak (misalnya bencana alam). Tanda triage dapat
bervariasi mulai dari suatu kartu khusus sampai hanya suatu ikatan dengan
bahan yang warnanya sesuai dengan prioritasnya

Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori :

Prioritas 1 – Merah
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang kritis
keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan,
perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status
mental
Prioritas 2 – Kuning
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderita yang
mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran napas atau
kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat berjalan,
cedera punggung.
Prioritas 3 – Hijau
Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal juga sebagai
‘Walking Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan sendiri.
Prioritas 0 – Hitam
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang
mematikan.

1. Metode Australian Triage Scale (ATS), Canadian Triage and Acuity Scale
(CTAS), Manchester Triage Scale (MTS), Emergency Severity Index (ESI)

Keempat metode diatas membagi kedalam lima level seperti table berikut
in i:

Hal. 16

Anda mungkin juga menyukai