Anda di halaman 1dari 9

FishtecH ± Jurnal Teknologi Hasil Perikanan

ISSN: 2302-6936 (Print), (Online, http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/fishtech)


Vol. 5, No.1: 85-93, Mei 2016

Pemanfaatan Air Cucian Surimi Belut Sawah ( Monopterus albus)


dalam Pembuatan Edible Film
The Utilization of Eel (Monopterus albus) Surimi Waste Water in Production Edible Film
Dewi Shinta, Agus Supriadi*), Shanti Dwita Lestari
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya, Indralaya, Ogan Ilir 30662 Sumatera Selatan
Telp./Fax. (0711) 580934
*)
Penulis untuk korespondensi: aguz06@yahoo.co.id

ABSTRACT
The purpose of this research was to obtain edible film that meet physical and chemical characterictics
of Japan Internasional Standard (JIS). This research was conducted from June 2015 to December 2015. This
research used the randomized bloc design with one factor, the addition of eel surimi waste water (0 m L, 12 mL,
15 mL dan 18 mL). The observed parameters included chemical (water activity) and physical (thickness, percent
of elongation, vapor transmission rate) characterictics. The results showed that there were no significant effects
on thickness water activity, vapor transmission rate and percent of elongation. Furthermore, the edible film met
Japan Industrial standard (JIS) based on thickness 0.139 to 0.214 mm, vapor transmission rate 3 .514 to
7.133 g/m 2/jam and the percent of elongation 106.22% to 174.55%.
Keywords: Edible film, eel, surimi waste water

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memperoleh edible film yang memenuhi Japan Internasional Standard (JIS).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 sampai Desember 2015. Metode penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok non Faktorial (RAK) dengan satu faktor penambahan air
cucian surimi belut sawah (Monopterus albus) (0 mL, 12 mL, 15 mL, dan 18 mL). Parameter yang diamati
meliputi analisa ketebalan, persen pemanjangan, aktivitas air dan laju transmisi uap air. Hasil penelitian
menunjukkan penambahan air cucian surimi belut sawah (Monoprerus albus) tidak berpengaruh nyata
terhadap analisa ketebalan, aktivitas air, persen pemanjangan dan laju transmisi uap air. Edible film yang
dihasilkan sudah cukup memenuhi Japan Internasional Standard (JIS) yaitu ketebalan 0,139 hingga
0,214 mm, laju transmisi uap air 3,514 hingga 7,133 g/m 2/jam dan persen pemanjangan 106,22%
hingga 174,55%.
Kata kunci: Air cucian surimi, belut sawah, edible film

PENDAHULUAN bahan-bahan alami seperti polisakarida,


protein dan lipid, dengan penambahan
Pengemasan merupakan salah satu cara
plastisizer dan surfaktan. Penyusun edible film
untuk melindungi atau mengawetkan produk
terdiri atas tiga kelompok, yaitu hidrokoloid,
pangan maupun non-pangan. Pengemas yang
lipida, dan komposit (Wahyu 2009).
banyak digunakan sekarang ini sebagian besar
Kekompakan edible film dapat
dapat menimbulkan pencemaran lingkungan,
ditingkatkan dengan cara menambahkan
khususnya apabila dibuat dari bahan yag tidak
protein. Protein yang digunakan sebagai
dapat didaur ulang atau sulit mengalami
bahan baku edible film pada awalnya terdiri
biodegradasi, seperti plastik. (Hawa et al.
dari kasein, gelatin dan zein jagung. Beberapa
2013) Salah satu alternatif bahan pengemas
sumber protein lainnya yang pada dasarnya
yang ramah lingkungan adalah edible film.
dapat membentuk film tapi belum
Edible film didefinisikan sebagai lapisan
dikembangkan secara luas adalah protein
tipis yang melapisi suatu bahan makanan yang
yang berasal dari ikan, salah satunya yaitu
berasal dari bahan yang dapat dikonsumsi
protein dari air cucian surimi belut sawah
dan berfungsi untuk mengemas produk
(Monopterus albus).
pangan. Edible film dapat diproduksi dari
86 Shinta et al.: Pemanfaatan air cucian surimi belut sawah

Surimi merupakan salah satu produk Dari penelitian sebelumnya


tradisional yang berasal dari Jepang. Pada penggunaan protein hewani khususnya yang
tahap pencucian, digunakan air dalam jumlah bersumber dari ikan masih sangat terbatas.
yang besar sehingga air limbah yang Hal ini bukan berarti bahwa protein ikan
dihasilkan pun cukup besar. Padahal dalam tidak bisa digunakan sebagai bahan baku edible
air limbah surimi tersebut terkandung protein film. Menurut Limpan et al. (2010), edible film
larut air yang masih bisa dimanfaatkan. yang dihasilkan dari protein ikan bersifat
Selama ini pemanfaatan air limbah surimi rapuh yang disebabkan oleh ikatan kovalen
masih sebatas proses recovery protein untuk khususnya ikatan sulfida, inilah yang
pembuatan pakan ternak dan pupuk (Iwata menyebabkan jenis protein ini jarang
et al. 2000 dalam Trilaksani 2007). digunakan. Diduga penggunaan plastisizer
Polisakarida seperti pati sering mampu mengurangi sifat rapuh atau kaku film
digunakan dalam industri makanan. Pati telah yang terbuat dari protein ikan, hal ini
digunakan untuk memproduksi kemasan yang didukung oleh penelitian Cuq et al. (1996)
bersifat biodegradable untuk menggantikan yaitu dengan penambahan plastisizer yang
polimer plastik secara keseluruhan ataupun bersifat hidrofilik, berat molekul rendah dan
sebagian karena ekonomis, dapat tidak bersifat volatile dapat mengurangi sifat
diperbaharui dan memiliki sifat mekanik yang rapuh atau kaku film.
baik (Suminto 2006). Pati paling umum Penelitian ini bertujuan untuk
digunakan sebagai campuran dalam edible film memperoleh edible film yang memiliki
karena bersifat hidrofilik dan mampu menjadi karakteristik fisik dan kimia terutama laju
penghalang oksigen. Penelitian mengenai transmisi uap air dan persen pemanjangan
edible film telah banyak dilakukan memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh
menggunakan berbagai jenis pati, yaitu pati Japan Industrial Standard (JIS) 1975.
tapioka, sagu dan jagung. Jenis pati lain yang Sedangkan manfaat dari penelitian ini untuk
dapat dikembangkan menjadi bahan baku memberikan informasi mengenai karakteristik
edible film adalah pati ganyong. Saat ini, edible film komposit dengan menggunakan
pemanfaatan pati ganyong masih sebatas air cucian surimi belut sawah (Monopterus
untuk pangan olahan lokal pada saat tertentu albus).
seperti cendol. Menurut Santoso et al. (2011),
pati ganyong memiliki kandungan amilosa BAHAN DAN METODE
dan amilopektin berturut-turut sebesar 22,4%
Waktu dan Tempat
dan 77,6% yang sangat berpengaruh terhadap
Penelitian ini dilaksanakan di
kekuatan matrik edible film.
Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan
Minyak kelapa sawit merupakan hasil
Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya,
olahan dari Crude Palm Oil (CPO).
Laboratorium Operasi Jurusan Teknik Kimia
Penggunaan minyak kelapa sawit dalam
Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya,
formulasi film dapat membentuk struktur
Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian
edible film yang lebih padat, asam lemak tak
Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya dan
jenuh rantai panjang dalam minyak kelapa
Laboratorium Dasar Bersama Universitas
sawit memiliki sifat hidrofobilitas yang dapat
Sriwijaya pada bulan Juni 2015 sampai
meregulasi komposisi asam lemak dalam
dengan bulan Maret 2016.
struktur edible film sehingga mobilitasnya
meningkat dan hal ini menyebabkan
Bahan dan Alat
penurunan laju transmisi uap air (Manab
Bahan-bahan yang digunakan dalam
2008). Oleh karena itu akan dilakukan
penelitian ini adalah air cucian surimi belut
penelitian tentang pemanfaatan air cucian
sawah, pati ganyong, minyak kelapa sawit
surimi belut sawah dalam pembuatan edible
merk bimoli, aquadest, NaOH jenuh, gliserol,
film yang memenuhi Japanese Industrial
CaCl2, SO 4 jenuh, KC2H3O 2 jenuh, NH4,
Standard.
CMC, reagen biuret, silika gel dan albumin.
Adapun alat-alat yang digunakan dalam

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2016


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2016 87

penelitian ini terdiri dari micrometer sekrup, a. Air cucian surimi sebanyak 0%, 4%, 5%
penjepit, statif, jangka sorong, cawan petri, dan 6%
neraca analitik, toples, oven, desilator, cawan b. Penambahan aquadest dan NaOH 1M
porselen, magnetic strirer, inkubator, hingga pH 11 kemudian dilakukan
timbangan, pisau, baskom, kain kasa,alat ukur pengadukan dan pemanasan pada suhu
Rh, grinder, spektro, labu ukur, dan hot plate. 55 oC selama 30 menit
c. Penambahan gliserol sebanyak 3%
Metode Penelitian d. Pembuatan suspense dengan penambahan
Rancangan penelitian yang digunakan pati ganyong sebanyak 4 g dalam 100 mL
adalah rancangan acak kelompok non aquadest dan dipanaskan pada suhu 65 o C
factorial (RAK) dua kali ulangan. Untuk hingga terjadi gelatinisasi sempurna
mengetahui pengaruh setiap perlakuan, e. Pencampuran hasil kerja point c dan d
dilakukan analisa data dengan menggunakan selanjutnya dilakukan pengadukan hingga
analisa keragaman (ANSIRA). Bagi perlakuan homogen
yang berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut f. Penambahan emulsifier CMC sebanyak
pada taraf 5%. 1,5 gram
(A) Air cucian surimi belut sawah g. Penambahan minyak kelapa sawit 3%,
(Monopterus albus) : proses pengadukan tetap dilakukan
A0 = 0%( b\v) (kontrol) dengan menggunakan magnetic stirer
A1 = 4%(b\v) h. Suspense edible film di degassing selama
A2 = 5%(b\v) 1 jam
A3 = 6%(b\v ) i. Suspense dimasukan kedalam cawan petri
dengan diameter 11 cm sebanyak 40 ml
Tahapan Penelitian j. Suspense dikeringkan dengan oven pada
Pembuatan surimi belut suhu 70 oC selama 10 jam
Pembuatan surimi belut untuk bahan k. Film diangkat dan dimasukkan dalam
edible film (Rostini 2013): desilator selanjutnya siap untuk dianalisa
a. Penyiangan belut dengan membuang
kepala dan isi perut belut yang selanjutnya Tabel 1. Formulasi pembuatan edible film air
dilakukan pencucian dengan air bersih cucian surimi belut sawah
b. Pemotongan untuk memisahkan bagian (Monopterus albus) dengan persentasi
daging dengan tulang dan kulit (fillet), lalu 300 mL aquadest.
dilakukan pelumatan daging belut A0 A1 A2 A3
c. Pencucian daging lumat dengan air dingin Perlakuan Bahan
(0%) (4%) (5%) (6%)
pada suhu kisaran 1-5 oC dengan volume Air cucian surimi 0 12 15 18
air 3 kali volume daging lumat selama belut sawah (mL)
10 menit Gliserol (mL) 9 9 9 9
CMC (g) 1,5 1,5 1,5 1,5
d. Pengadukan daging lumat dalam air dingin Pati ganyong (g) 4 4 4 4
sampai homogen, pengadukan dihentikan Minyak kelapa 9 9 9 9
untuk mengendapkan daging lumat sawit (mL)
sedangkan kotoran dan lemak yang Aquadest (mL) 277,8 265,8 262,8 259,8
mengapung dipermukaan air dibuang
e. Pemisahan air dari daging lumat yang Parameter Pengamatan
sudah tercucian dengan alat press. Parameter yang diamati adalah aktivitas
air (a w), ketebalan (mm), persen pemanjangan
Pembuatan Edible film dan laju transmisi uap air.
Pembuatan edilble dengan komposit
(Marsega 2015). Formulasi dalam pembuatan Aktivitas Air (a w)
edible film ini dapat dilihat pada Tabel 1. Pengukuran aktivitas air (Sudarmadji
Adapun cara kerja pembuatan edible film air et al. 1997) dengan cara tidak langsung yaitu
cucian surimi belut sawah adalah sebagai dengan menghitung berat air yang berserap
berikut. dalam kertas saring yang telah diketahui

Shinta et al.: Pemanfaatan air cucian surimi belut sawah


88 Shinta et al.: Pemanfaatan air cucian surimi belut sawah

beratnya dalam wadah yang berisi zat yang b. Kondisi fisik bahan diukur berupa
akan diukur nilai aktivitas airnya. Prosedur panjang dengan menggunakan jangka
pengukurannya adalah sebagai berikut. sorong
a. Larutan NaOH jenuh, KC2H3O 2 jenuh c. Beban dipasang satu persatu pada tempat
dan (NH4). SO 4 jenuh disiapkan sebagai yang telah disediakan
larutan standar yang telah diketahui nilai d. Perpanjangan sampel dihitung setelah
a w nya. ditarik sampai batas putus
b. Kertas saring Whatman no. 42 dengan
ukuran seragam dikeringkan dalam oven % perpanjangan = (L1-L0)/L0 x 100%
dan ditimbang beratnya (w 0).
c. Tiga buah toples beserta penyangga Keterangan:
disiapkan, kemudian tiga larutan standar L0 = Panjang film sebelum ditarik (cm)
dimasukkan kedalam masing-masing L1 = Panjang film setelah ditarik (cm)
toples dan didiamkan selama 15 menit.
d. Kertas saring yang telah diketahui Laju transmisi uap air (g/m 2/jam)
beratnya dimasukkan masing-masing Laju transmisi uap air dilakukan dengan
toples yang berisi larutan standar, dan gravimetric dessicant method.
didiamkan selama 24 jam. a. Film yang akan diuji dipasang pada cawan
e. Kertas saring ditimbang kembali beratnya yang berisi 10 g silica gel.
(w1) b. Bagian tepi cawan dan film ditutup
f. Selisih berat sebelum dan sesudah dengan wax atau isolasi.
disimpan adalah berat air yang diserap (w 1) c. Cawan dan film ditimbang, dimasukkan
g. Hubungan banyaknya air yang diserap kedalam toples plastic berisi 100 mL
dengan aw larutan digambarkan berupa larutan NaCl 40%,
grafik standar, dan persamaan regresi d. Kemudian toples ditutup rapat. Setiap
y = a + bx dihitung jam cawan ditimbang dan pengamatan
h. Sampel dikerjakan dengan cara yang sama, dilakukan selama 4 jam.
yaitu menempatkan sampel dalam toples e. Data yang diperoleh dibuat persamaan
sebagai pengganti larutan standar. Toples regresi linier, sehingga diperoleh slope
disiapkan sebanyak sembilan buah (sesuai kenaikan berat cawan (g/jam) dibagi
perlakuan) kedalam variable x pada dengan luas area film yang diuji (m2).
persamaan regresi, sehingga diperoleh nilai
a w pada sampel
i. Nilai berat air yang diserap disubstitusikan HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Persen Pemanjangan Edible film
Ketebalan American Society for Testing
Proses pemanjangan merupakan
and Materials (ASTM) 1997 dalam perubahan panjang maksimum pada saat
Santoso (2011)
terjadi peregangan hingga sampel terputus.
Ketebalan film diukur dengan
Nilai rata-rata persen pemanjangan edible film
menggunakan micrometer skrup dengan
pada penelitian ini berkisar antara 106,22 %
ketelitian 0,01 mm pada lima tempat yang
hingga 174,55 %. Persen pemanjangan
berbeda. Nilai ketebalan diukur dari rata-rata
terendah terdapat pada perlakuan 0% (A 0)
lima pengukuran ketebelan edible film.
sedangkan persen pemanjangan tertinggi
pada perlakuan 6% (A 3). Perbandingan rata-
Persen pemanjangan (%)
rata persen pemanjangan edible film dapat
Persen pemanjangan diukur dengan
dilihat pada Gambar 1.
metode aplikasi Hukum Hooke. Prosedur
Berdasarkan hasil analisa keragaman
pengujian perpanjangan adalah sebagai
menunjukkan bahwa persen pemanjangan
berikut:
edible film pada perlakuan A0, A1, A2 dan A3
a. Peralatan disiapkan berupa statif lengkap
tidak berpengaruh nyata hal ini diduga karena
dengan penjepit bahan dan beban
perlakuan protein dari air cucian surimi belut

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2016


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2016 89

sawah yang digunakan terlalu kecil yaitu tidak mudah putus karena mampu menahan
sebesar 0,6572 mg/ml sehingga kemampuan beban dan gaya tarik yang diberikan.
gugus polar pada protein untuk mengikat air Penggunaan hidrokoloid dapat meningkatkan
semakin kecil. Hal ini didukung oleh hasil nilai daya putus dan persen pemanjangan
penelitian Marsega (2015) yang menyatakan karena menghasilkan efek pelumasan yang
semakin tinggi protein yang diberikan maka membuat emulsi edible film lebih fleksibel,
akan semakin tinggi sifat hidrofilik dari edible elastis, dan kuat.
film. Jenis plastisizer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah gliserol yang diduga
Persen pemanjangan (%)
menyebabkan edible film lebih elastis yang
Pe rsen pemanjangan (%)

174.545
disebabkan gliserol dapat menurunkan ikatan
200
kohesi mekanik antara polimer sehingga
150 106.22 117.825 118.205 mobilitas antar rantai molekul polimer
100
meningkat. Hal ini didukung oleh penelitian
50
Harsunu (2009) yang menyatakan
0 penambahan gliserol akan mengurangi gaya
A0 A1 A2 A3
Pe rlakuan intermolekuler sehingga mobilitas antar rantai
molekul polimer meningkat dan edible film
Keterangan: menjadi elastis.
A0 = air cucian surimi (0%)
A2 = air cucian surimi (5%) Analisa Laju Transmisi Uap Air
A1 = air cucian surimi (4%)
A3 = air cucian surimi (6%)
Laju transmisi uap air merupakan
permeabilitas yang menyangkut proses
Gambar 1. Nilai rata-rata persen pemanjangan (%)
edible film. pemindahan larutan dan difusi, dimana
larutan tersebut berpindah dari satu sisi film
Gambar 1. menunjukkan bahwa dan selanjutnya berdifusi ke sisi lainnya
penambahan kitosan cangkang udang terjadi setelah menembus film tersebut (ASTM
peningkatan nilai kekeruhan sebesar 20,8% dalam Trilaksani et al. 2007). Nilai laju
untuk konsentrasi kitosan sebesar 0,5% dan transmisi uap air pada penelitian ini berkisar
42,36% untuk konsentrasi kitosan 1% atau antara 3,5414 g/m2/jam (A3) hingga 7,1334
semakin meningkat seiring dengan g/m2/jam (A0). Nilai rata-rata laju transmisi
penambahan konsentrasi kitosan, sedangkan uap air edible film dapat dilihat pada Gambar
pada serbuk cangkang keong mas terjadi 2. Gambar 2. menunjukkan bahwa semakin
penurunan nilai kekeruhan, yaitu sebesar tinggi perlakuan air cucian surimi belut sawah
78% pada konsentrasi 0,5% dan 73% maka akan rendah laju transmisi uap air.
untuk konsentrasi 1%. Hasil analisa keragaman menunjukkan
Meningkatnya nilai rata-rata persen bahwa laju transmisi uap air edible film pada
pemanjangan pada Gambar 1. terjadi karena perlakuan A0, A1, A2 dan A3 tidak
protein dan polisakarida yang memiliki matrik berpengaruh nyata hal ini diduga karena
polimer diduga dapat menghasilkan kekuatan protein dari air cucian surimi belut sawah
tarik intermolekul menjadi semakin kuat yang digunakan terlalu kecil sehingga
sehingga kemampuan meregang dari film juga kemampuan protein terhadap laju transmsi
meningkat. Trilaksani et al. (2007) uap air terlalu tinggi. Edible film berbahan
menyatakan bahwa semakin tinggi perlakuan protein umumnya memiliki ketahanan
air cucian surimi yang digunakan maka terhadap laju transmisi uap air yang
semakin besar protein yang berasal dari air dipengaruhi oleh sifat hidrofilik dari protein.
cucian surimi untuk menghasilkan persen Menurut Ariani (2008) semakin tinggi protein
pemanjangan yang tinggi. Isnawati dalam yang ditambahkan akan menyebabkan jumlah
Hawa et al. (2013) menambahkan bahwa nilai ikatan intermolekul yang menyebabkan
persen pemanjangan yang tinggi ketebalan semakin tinggi dan nilai laju
mengindikasikan edible film yang dihasilkan tansmisi uap air lebih rendah yang

Shinta et al.: Pemanfaatan air cucian surimi belut sawah


90 Shinta et al.: Pemanfaatan air cucian surimi belut sawah

menghasilkan ketahanan edile film terhadap Analisa Ketebalan Edible film


uap air semakin baik Nilai rata-rata ketebalan edible film pada
penelitian ini berkisar antara 0,139 mm
Laju transmisi uap air (g/m²/jam)
sampai dengan 0,214 mm. Nilai ketebalan
7.1337
terendah diperoleh pada perlakuan air cucian
8 6.4713 surimi belut sawah 0% (A 1) dengan nilai
Laju transmisi uap air

5.5541
6
3.5414 ketebalan 0,139 mm dan yang tertinggi pada
(g/m 2 /jam)

4
perlakuan air cucian surimi belut sawah 6%
2 (A3) dengan nilai ketebalan 0,214 mm.
0 Perbandingan rata-rata ketebalan dari edible
A0 A1 A2 A3
film disajikan pada Gambar 3.
Perlakuan

Keterangan
0.25 Ketebalan (mm)
A0 = air cucian surimi 0% 0.214
0.194
A1 = air cucian surimi 4% 0.2 0.162
A2 = air cucian surimi 5% 0.139
0.15
A3 = air cucian surimi 6%
0.1
Gambar 2. Nilai rata-rata laju transmisi uap air
(g/m 2/hari) edible film. 0.05

0
Rendahnya laju transmisi uap air juga A0 A1 A2 A3
diduga karena perubahan struktur dari Keterangan:
protein yang terkandung dalam edible film. A0 = air cucian surimi (0%)
Proses pembuatan edible film ini menggunakan A1 = air cucian surimi (4%)
A2 = air cucian surimi (5%)
suhu 70 OC, sedangkan protein dapat A3 = air cucian surimi (6%)
denaturasi pada suhu 45 OC sehingga pada
saat pembuatan edible film protein mengalami Gambar 3. Nilai Rata-rata ketebalan (mm) edible film.
terdenaturasi yang dapat merubah struktur
dari protein tersebut. Kokoszka et al. dalam Hasil analisa keragaman menunjukkan
Marsega (2015) menambahkan bahwa bahwa perlakuan pemberian air cucian surimi
karakteristik edible film berbasis protein dapat belut sawah (A0, A1, A2 dan A3) tidak
dipengaruhi oleh denaturasi protein ataupun berpengaruh nyata terhadap ketebalan edible
penambahan zat kimia lain. film pada taraf uji 5%. Semakin tinggi
Menurut Santoso (2012) Pembentukan perlakuan air cucian surimi belut sawah yang
edible film berbahan baku pati dimulai dari ditambahkan ketebalan edible film yang
pecahnya granula dan diikuti keluarnya dihasilkan semakin besar, hal ini dapat dilihat
amilosa yang membentuk jaringan dan pada penambahan perlakuan air cucian surimi
mengelilingi granula tersebut sehingga terjadi belut sawah dengan perlakuan 6% (A 3).
intereaksi antara amilosa satu dengan amilosa Peningkatan ketebalan edible film diduga
lainya dan antara amilosa granula itu sendiri. karena semakin besar perlakuan air cucian
Pada saat terjadi interaksi antar amilosa surimi belut sawah yang ditambahkan akan
diduga struktur molekul amilosa satu dengan meningkatkan jumlah protein dalam larutan
yang lainnya dalam keadaan homogen yang edible film sehingga total padatan yang
dapat menyebabkan matrik film akan mengendap sebagai pembentuk edible film
terbentuk lebih rapat yang sulit untuk semakin banyak. Hasil penelitian ini didukung
ditembus oleh uap air. Poloengasih dan oleh penelitian Trilaksani et al (2007) yang
Djagal dalam Ariani (2008) menyatakan menyatakan penggunaan protein sarkoplasma
amilosa memiliki kerapatan yang lebih tinggi sebesar 5% pada larutan edible film akan
dibandingkan dengan amilopektin. Kerapatan menghasilkan ketebalan film yang lebih tinggi
akan mempengaruhi porositas edible film dibanding menggunakan protein sarkoplasma
sehingga akan mempengaruhi laju transmisi 4%, hal ini terjadi karena konsentrasi
uap air. konsentrat air limbah surimi yang semakin

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2016


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2016 91

besar akan meningkatkan nilai viskositas, proses-proses kerusakan bahan makanan.


ketebalan dan persen pemanjangan, namun Mikroba tidak dapat tumbuh tanpa adanya
menurunkan nilai kuat tarik dan laju transmisi air, kebutuhan mikroba akan air biasanya
uap air. dinyatakan didalam istilah aktivitas air (a w).
Adanya pengaruh penggunaan suhu Purnomo (1992), mengemukakan aktivitas air
pemanasan diduga dapat menyebabkan adalah sejumlah air bebas didalam bahan
denaturasi protein. Protein yang terdenaturasi pangan yang pada kondisi tertentu mikroba
akan membuka gugus reaktin yang ada pada dapat tumbuh dan memungkinkan bahan
rantai polipeptida. Apabila ikatan antar gugus pangan tersebut tidak layak lagi untuk
reaktin menahan cairan, akan terbentuklah gel dikonsumsi. Nilai rata-rata dari aktivitas air
dan selanjutnya jika cairan dihilangkan maka edible film dapat dilihat pada Gambar 4.
protein akan mengendap sehingga terbentuk
lembaran edible film, hal ini didukung oleh Aktivitas air
Dangaran dalam Riyanto (2014) yang
0.6 0.475
menyatakan bahwa ketebalan terbentuk

Aktivitas air
0.395
karena adanya pemekaran atau 0.4 0.295 0.255
pengembangan molekul protein yang 0.2
terdenaturasi sehingga membuka gugus 0
reaktif rantai polipeptida. Ikatan antara A0 A1 A2 A3
gugus-gugus reaktif protein tersebut akan Perlakuan

menahan seluruh cairan sehingga terbentuk Keterangan:


gel. Cairan yang terpisah dari protein yang A0 = air cucian surimi (0%)
terkoagulasi, maka protein akan mengendap A1 = air cucian surimi (4%)
dan menghasilkan lembaran film. Cuq et al A2 = air cucian surimi (5%)
(1996) menyampaikan bahwa pembentukan A3 = air cucian surimi (6%)
film dari protein terjadi melalui tiga tahap, Gambar 4. Nilai rata-rata aktivitas air edible film.
yaitu denaturasi protein (pemutusan rantai
intermolekular protein dengan pelarutan atau Hasil analisa keragaman menunjukkan
perlakuan panas), interaksi antar rantai nilai aktivitas air edible film pada perlakuan A 0 ,
protein membentuk struktur tiga dimensi A1, A2 dan A3 tidak berpengaruh nyata hal ini
baru dan stabilisasi lapisan yang membentuk menunjukkan bahwa penambahan protein
kohesif. dari perlakuan 0% sampai dengan 6% tidak
Pranata dalam Ariani (2008) menambah nilai aktivitas air secara signifikat.
mengemukakan bahwa yang paling berperan Aktivitas air edible film dengan perlakuan air
dalam edible film adalah amilosa, karena cucian surimi belut sawah yang dihasilkan
amilosa dapat menghasilkan edible film yang berkisar dari 0,255 hingga 0,475. Aktivitas air
lebih padat, kuat dan tebal. Diduga adanya terbesar dihasilkan dari perlakuan air cucian
campuran amilosa dan protein dapat surimi belut sawah 0% (A 0) dengan nilai
membentuk fase endapan yang mana, jika aktivitas air 0,475 aktivitas air terkecil
protein-polisakarida beritereaksi, dihasilkan dari perlakuan air cucian surimi
kemungkinan kedua polimer yang berikatan 6% (A3) nilai aktivitas air 0,255. Protein
akan membentuk fase endapan. Menurut merupakan senyawa yang mudah mengikat
Park et al. (2004), ketebalan film dipengaruhi air (hidrofilik) dengan demikian semakin
oleh luas cetakan, volume larutan dan banyak air yang terikat maka kadar air bebas
banyaknya total padatan dalam larutan maka dalam matriks film semakin menurun,
dengan luas cetakan dan volume larutan yang Santoso et al., (2012) menambahkan ikatan
sama. komplek pati-protein dapat mengikat air
bebas dalam jumlah yang lebih besar, karena
Analisa Aktivitas Air molekul pati memiliki gugus OH dan molekul
Analisa aktivitas air dapat digunakan protein memiliki gugus NH dan kedua gugus
untuk menentukan kemampuan air dalam ini mempunyai kemampuan dalam menikat

Shinta et al.: Pemanfaatan air cucian surimi belut sawah


92 Shinta et al.: Pemanfaatan air cucian surimi belut sawah

air. Hal ini akan berpengaruh pada Japanese Industrial Standard yaitu maksimal 10
penurunan nilai a w edible film yang berarti g/m2/jam. Hasil transmisi uap air pada
ketahanan edible film akan semakin baik karena penelitian ini telah memenuhi srandar mutu
semakin sedikitnya kandungan air bebas Japanese Industrial Standard (JIS). Laju transmisi
dalam edible film yang dapat digunakan sebagai uap air edible film berbahan air cucian surimi
media pertumbuhan mikroba. belut sawah lebih rendah dari pada edible film
Rendahnya nilai aktivitas air yang berbahan surimi belut sawah dan tapioca dan
berkisar antara 0,475 sampai dengan 0,255 konsentrat air cuci surimi ikan nila. Hal ini
juga disebabkan oleh kandungan amilosa diduga ketahanan edible film berbahan air cuci
yang lebih rendah dibanding amiloektin pada surimi belut akan lebih baik.
pati ganyong sehingga kemampuan menyerap
air yang lebih tinggi. Gugus hidrosil amilosa Tabel 2. Karakteristik Edible film Dari Air Cucian
membentuk ikatan hydrogen dengan molekul Surimi Belut Sawah Dengan Standar
Japanese industrial Standard.
air, dimana air dalam bahan yang terikat Karakteristik Film
melalui ikatan hydrogen lebih mudah Ketebalan Pemanjanga Transmisi uap air
Keterangan
diuapkan dalam proses. Purnomo dalam (mm) n (%) (g/m2/jam)

Ariani (2007), mengemukakan aktivitas air Japanese industrial


Mak 0,25 Min 70 Mak 10 JIS
Standard a
adalah sejumlah air bebas didalam bahan Air cucian
106,22- Hasil
pangan yang pada kondisi tertentu mikroba surimi belut 0,139-0,214
174,54
3,5414-7,1334
penelitian
sawah b
dapat tumbuh dan memungkinkah bahan Surimi belut
pangan tersebut tidak layak lagi untuk sawah dan 0,08-0,28 15,6-86,1 4,44-8,56 Ariani, 2008
dikonsumsi. Nilai aktivitas air edible film tapioca c
Konsentrat air
dengan perlakuan surimi belut sawah cucian surimi ikan
0,035- 9,11%-
4,13-22,84
Trilaksani,
0,09647 17,07% 2007
(Monopterus albus) dan tepung taiopka pada nila d

penelitian Ariani (2008) adalah berkisar antara


0,34 sampai dengan 0,37. Persen pemanjangan yang dihasilkan
pada penelitian ini berkisar 106,22-174,54 %.
Perbandingan Karakteristik Edible film Persen pemanjangan pada Japanese Industrial
dari Air Cucian Surimi Belut Sawah Standard yaitu minimal 70 %. Hasil persen
dengan Standar Japanese industrial pemanjangan pada penelitian ini telah
Standard memenuhi srandar mutu Japanese Industrial
Karakteristik edible film yang dihasilkan Standard (JIS). Persen pemanjangan edible film
dari perlakuan air cucian surimi belut sawah berbahan air cucian surimi belut sawah lebih
jika dibandingkan dengan standard dari tinggi dari pada edible film berbahan surimi
Japanese industrial Standard sudah cukup belut sawah dan tapioka dengan penambahan
memenuhi standar, hal tersebut dapat dilihat gliserol 1% dan konsentrat air cuci surimi
pada Tabel 2. ikan nila. Hal ini diduga ketahanan edible film
Pada penelitian ini ketebalan edible film berbahan air cuci surimi belut lebih baik
yang dihasilkan berkisar antara 0,139-0,214 karena lebih elastis.
mm, ketebalan pada Japanese Industrial
Standard yaitu maksimal 0,25 mm. Hasil
ketebalan pada penelitian ini telah memenuhi KESIMPULAN
standar mutu edible film berdasarkan Japanese Kadar protein air cucian surimi belut
Industrial Standard (JIS). Ketebalan edible film sawah yaitu sebesar 0,6572 mg/mL.
berbahan air cucian surimi belut sawah lebih Perlakuan air cucian surimi belut sawah tidak
tinggi dari pada edible film berbahan surimi berpengaruh nyata terhadap persen
belut sawah dan tapioka dan konsentrat air pemanjangan edible film, ketebalan edible film,
cucian surimi ikan nila. aktivitas air edible film dan nilai laju transmisi
Transmisi uap air yang dihasilkan pada uap air edible film. Edible film yang dihasilkan
penelitian ini berkisar antara 3,5414- dari air cucian surimi belut sawah jika
7,1334 g/m2/jam. Transmisi uap air pada dibandingkan dengan standar dari Japanese

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2016


Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2016 93

industrial Standard sudah cukup memenuhi penambahan ekstrak protein belut


mutu. Semakin tinggi nilai ketebalan edible film sawah, ekstrak gambir dan sari jeruk
maka semakin rendah nilai aktivitas air edible nipis. [Skripsi]. Inderalaya: Fakultas
film. Semakin rendah nilai aktivitas air maka Pertanian Universitas Sriwijaya.
semakin sedikit air bebas untuk pertumbuhan Sabrina MR. 2011. Pengemasan edible. Jurnal
mikroba. Penambahan air cucian surimi belut Ilmu dan Teknologi Pangan.
sawah (Monopterus albus) berbanding lurus Santoso B, Pratama F, Hamzah B, Pembayun
dengan persen pemanjangan dan ketebalan R. 2011. Pengembangan edible film
edible film serta berbanding terbalik dengan dengan menggunakan pati ganyong
aktivitas air dan laju transmisi uap air edible termodifikasi ikatan silang. J. Teknologi
film. dan Industri Pangan 22:105-109.
Santoso B, Pratama F, Hamzah B, Pembayun
R. 2012. Perbaikan sifat mekanik dan
DAFTAR PUSTAKA
laju transmisi uap air edible film dari pati
Ariani V. 2008. Pembuatan edible film dari ganyong termodifikasi dengan
kombinasi surimi belut sawah dan menggunakan lilin lebah dan surfaktan.
tapioka. [Skripsi]. Inderalaya: Fakultas J. Teknologi dan Indutri Pangan 22:105-109.
Pertanian Universitas Sriwijaya. Santoso B, Oberlin HT, Vemi A, Pembayun
Cuq B, Gontard N, Guilbert S. 1996. R. 2014. Interaksi pH dan estrak
Functional properties of myofibrillar gambir pada pembuatan edible film
protein-based biopacking as affected by antibakteri. Agritech. 34(1):8-13.
film thickness. J. Food Science 3:580-583. Suminto. 2006. Edible film berbahan dasar
Gontard N, Duchez C, Cuq J, Guilbert S. protein gelembung renang ikan patin.
1994. Edible composite films of wheat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan
gluten and lipids, water vapour dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
permeability and other physical Bogor.
properties. Internasional Journal Food Susyiani LE, Riyanto B, Trilaksani W. 2014.
Science Technology 30:39-50. Nori imitasi lembaran dengan konsep
Hawa LT, Thohari I, Eka L. 2013. Pengaruh edible film berbasis protein myofibril
pemanfaatan jenis dan konsentrasi lipid ikan nila. [Skripsi]. Bogor: Fakultas
terhadap sifat fisik edible film komposit Perikanan dan Ilmu Kelautan Institusi
whey-porang. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Pertanian Bogor.
23(1):35-43. Trilaksani W, Bambang R, Siti NKA. 2007.
Harsunu.TH. 2009. Pengaruh konsentrasi Karakteristik edible film dari
plasticizer dalam pembuatan edible film. konsentrat protein air limbah surimi
[Skripsi]. Jakarta: Fakultas Teknik ikan nila. Buletin Teknologi Hasil
Universitas Indonesia. Perikanan 10(2).
Limpan N, Prodpran T, Benjakul S, Wahyu MK. 2009. Pemanfaatan Pati Singkong
Prasarpran S. 2010. Properties of sebagai Bahan Baku Edible Film. Karya
biodegradable blend films based on Tulis Ilmiah. Bogor.
fish myofibrillar protein and polyvinyl Wiranata N. 2015. Pengaruh rasio etanol dan
alcohol as influenced by blend air cucian surimi ikan gabus terhadap
composition and pH level. J Food Eng. recovery protein larut air. [Skripsi].
100:85-92. Inderalaya: Fakultas Pertanian
Manab A. 2008. Pengaruh penambahan Universitas Sriwijaya.
minyak kelapa sawit terhadap Yulianti R, Ginting E. 2012. Perbedaan
karakteristik edible film protein whey. Karakteristik Fisik Edible Film dari Umbi-
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak umbian yang Dibuat dengan Penambahan
3(2):8-16. Plasticizer. Malang: Balai Penelitian
Marsega A. 2015. Perbaikan sifat fisik dan Tanaman Kacang-Kacangan dan
anti bakteri edible film dengan Umbi-Umbian.

Shinta et al.: Pemanfaatan air cucian surimi belut sawah

Anda mungkin juga menyukai