PENDAHULUAN
Ikan nila (Oreochomis nilotticus) merupakan ikan air tawar yang banyak
dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Ikan nila termasuk ikan air tawar yang
cepat, ukuran badan relatif besar, tahan penyakit, dan sangat mudah beradaptasi
dibudidayakan dalam air tawar dan payau (Wardoyo, 2007). Berdasarkan data dari
Kementrian Perikanan dan Kelautan (2017) hasil dari produksi ikan nila pada
tahun 2013 sebanyak 914.780 ton dan meningkat pada tahun 2014 menjadi
999.690 ton sedangkan pada tahun 2015 produksi ikan nila sebesar 1.084.000 ton.
Dari data produksi ikan nila, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara
pengekspor ikan nila setelah Cina (Julianto dkk., 2011). Pada tahun 2005 ekspor
ikan nila ke Amerika dalam bentuk fillet sebesar 1.146.331 ton dari total ekspor
ikan nila sebesar 37.554.537 ton (Prayitno dan Nur, 2012). Hal ini
Indonesia, sehingga limbah yang dihasilkan juga berlimpah (Julianto dkk., 2011).
Salah satu hasil samping limbah ikan nila yaitu tulangnya. Limbah tersebut
limbah tulang ikan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Tulang ikan kaya
pengganti kolagen yang biasanya bersumber dari mamalia (Nagai & Suzuki,
1
2
2000). Kandungan kolagen yang cukup tinggi maka tulang ikan nila berpotensi
untuk dijadikan gelatin (Maryani dkk., 2010). Pemanfaatan limbah tulang ikan
nila yang dijadikan sebagai sumber pembuatan gelatin merupakan upaya untuk
meningkatkan nilai tambah dari tulang ikan nila, karena sampai saat ini
pemanfaatan tulang ikan nila masih terbatas, seperti pembuatan tepung tulang
yang dijadikan pakan ternak atau hanya dibuang. Menurut Astawan (2003),
tulangan kulit ikan sangat potensial sebagai sumber gelatin karena mencakup 10-
Gelatin yang sering digunakan berasal dari mamalia yaitu babi atau sapi
beragama Islam sehingga diharamkan untuk memakan bahan yang berasal dari
babi sedangkan bahan yang berasal dari sapi menjadi pantangan untuk pemeluk
agama Hindu. Sehingga gelatin dari tulang ikan nila dapat menjadi pemecahan
masalah tersebut (Agustin, 2013). Gelatin tidak hanya berfungsi dibidang pangan,
farmasi dan kosmetika, akan tetapi gelatin memiliki potensi sebagai bahan baku
edible film (Sinaga dkk., 2013). Rata-rata kemasan yang beredar dimasyarakat
biasanya terbuat dari bahan plastik atau disebut pengemas sintetis. Pengemas
sintetis tidak dapat didegradasi secara alami sehingga dapat menimbulkan limbah
dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan alternatif bahan
pengemas yang tidak merugikan, seperti edible film yang biodegradable untuk
Kelebihan dari edible film yang digunakan sebagai bahan pengemas pangan
3
diantaranya film lebih kuat, elastis, rapat, dan transmisi uap rendah (Santoso dkk.,
2013).
Maryani dkk. (2010) telah melakukan penelitian gelatin yang terbuat dari
tulang ikan nila merah (Oreochomis nilotticus) yang mampu menghasilkan mutu
permen jelly terbaik berdasarkan pada karakteristik kimia, fisika, nilai hedonik,
dan jumlah bakteri Escherichia coli. Produk terbaik yang didapatkan adalah
permen jelly yang menggunakan gelatin tulang ikan nila merah (Oreochomis
(4,78), mutu kekenyalan (14,20 N), nilai hedonik (8,13), dan tidak mengandung
edible film dari gelatin kulit ikan nila hitam. Pada penelitian tersebut digunakan
ekstrak rumput laut sebagai cross linking agent. Formulasi terbaik adalah dengan
menggunakan 8% gelatin w/v, 10% gliserol (w/w), dan 2% ekstrak rumput laut.
Dari penelitian tersebut diperoleh edible film dengan karakteristik tensile strenght
sebesar 3,08 Mpa, elongasi sebesar 43,73 %, dan permeabilitas uap air sebesar
Dari beberapa penelitian tersebut edible film sering dibuat dari gelatin
limbah kulit ikan nila. Sehingga diperlukan inovasi baru yaitu pembuatan edible
film dari gelatin limbah tulang ikan nila dimana limbah tulang ikan nila dapat
dioptimalkan dan karakteristik edible film dari gelatin tulang ikan nila dapat
diketahui. Salah satu sifat edible film yang sangat penting agar dapat berfungsi
4
dengan baik sebagai pelapis makanan adalah sifatnya yang fleksibel, oleh karena
edible film yang dihasilkan. Plasticizer yang digunakan adalah gliserol dan
sorbitol, dari penelitian ini diketahui gliserol memiliki nilai permeabilitas uap air
yang lebih besar daripada sorbitol. Sependapat dengan hal itu, Wirawan dkk.
plasticizer lainnya.
Pembuatan edible film yang menggunakan bahan gelatin tulang ikan nila
bahan kulit sapi atau babi. Sehingga ditambahkan karagenan untuk memodifikasi
jaringan polimer dengan ikatan silang atau cross linking pada rantai-rantai
polimernya yang berfungsi meningkatkan sifat fisik dan cross linking (Pranoto
dkk., 2006). Menurut Hasdar dkk. (2011) cross linking bisa terjadi antara dua
protein yang berbeda sumber melalui proses pemanasan, kimia, atau enzimatis.
Bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada pembuatan
edible film dari gelatin ikan adalah karagenan (Pranoto dkk., 2006).
pembuatan edible film dapat menggunakan dari bahan gelatin. Sehingga dalam
penelitian ini akan melakukan kajian penambahan karagenan dan gliserol pada
sintesis edible film dari gelatin tulang ikan nila (Oreochomis nilotticus) yang
5
untuk mengetahui karakterisasi terbaik dari edible film dengan bahan tulang ikan
nila.
1.2.2 Bahan baku pembuatan gelatin yang berasal dari mamalia seringkali
1.2.3 Edible film yang dihasilkan dari gelatin ikan akan mempunyai sifat
1.3.1 Gelatin yang digunakan berasal dari limbah tulang ikan nila.
1.3.2 Tulang ikan nila didapatkan dari tambak kecamatan Kayen Pati.
karagenan.
1.6.2 Edible film diharapkan dapat menjadi alternatif bahan pengemas makanan
yang biodegradable.
1.6.3 Memaksimalkan pemanfaatan limbah tulang ikan nila yang belum optimal.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan nila (Oreochomis nilotticus) merupakan jenis ikan air tawar yang
memiliki ciri khas berupa garis vertilkal berwarna gelap pada sirip ekor, sirip
punggung, dan sirip dubur dan panjang dapat mencapai 30 cm. Ikan nila tergolong
lingkungan (dapat hidup di air tawar dan payau pada pH 5-11), pertumbuhan
(omnivora), serta tahan hidup dalam air yang memiliki kekurangan oksigen
nila maka produk yang didapatkan melimpah serta menjadikan Indonesia sebagai
pengekspor ikan nila terbesar setelah Cina (Julianto dkk., 2011). Produk ikan nila
bahkan Amerika Serikat memiliki permintaan per tahunnya berkitar 90 juta ton
hasil perikanan yang ada di Indonesia, sehingga limbah yang dihasilkan juga
berlimpah.
Menurut Kasim (2013) hampir 30% dari total tubuh ikan merupakan
tulang, sisik, dan kulit mengandung kolagen yang dapat digunakan untuk
menyatakan tulang ikan merupakan salah satu limbah industri pengolahan ikan
7
8
yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin, karena tulang
Choi dan Regenstein (2000), berpendapat bahwa sisik, tulang, kulit, dan
gelembung renang ikan adalah limbah hasil dari produk industri pengolahan ikan
yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku gelatin karena limbah yang
Gambar ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat dilihat pada Gambar 2.1
Klasifikasi ikan nila menurut Armi dan Khairuman (2003) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Osteichtyes
Sub-kelas : Acantophterigii
Ordo : Percomorphi
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Gambar 2.1 Ikan nila (Oreochromis niloticus) (Armi dan Khairuman 2003)
9
2.2 Kolagen
meliputi 30% dari total protein pada jaringan organ tubuh vertebrata dan
invertebrata (Darmanto dkk., 2012). Pada ikan, kolagen terdapat pada kulit, tulang
dan kartilago. Kolagen merupakan protein yang terdiri dari serat yang disebut
fibril kolagen. Fibril ini terorganisasi dengan cara yang berbeda-beda, tergantung
Kolagen dapat larut dalam pelarut alkali maupun asam (Rahayu dkk.,
2015). Akan tetapi pelarut yang baik digunakan adalah larutan asam karena
mampu mengubah serat kolagen triple-helix menjadi rantai tunggal (Rahayu dkk.,
atau menghilangkan garam kalsium dan mineral lain yang terdapat dalam tulang
(Rahayu dkk., 2015). Larutan asam yang biasa digunakan dalam perendaman
adalah asam klorida (Wiyono, 2001). Reaksi yang terjadi saat proses
terlarut. Akibat terlarutnya kalsium maka tekstur dari tulang ikan akan menjadi
Konversi kolagen menjadi gelatin yang bersifat larut dalam air merupakan
Kolagen memiliki struktur triple heliks yang terdiri dari glysin, proline dan
hidroksi proline, tetapi tidak mengandung sistein, sistin dan tripthopan (Darmanto,
2012).
2.3 Gelatin
hidrolisis kolagen pada tulang, kulit, maupun tulang rawan hewan. Gelatin berasal
dari bahas latin “gelatus” yang memiliki arti kuat/kokoh atau dibuat beku. Secara
fisik gelatin memiliki bentuk padat, tidak berasa, kering, dan transparan
(Purwitasari, 2008). Gelatin merupakan derivet protein dari serat kolagen yang
terdapat pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Gelatin larut dalam air, asam asetat,
dan pelarut alkohol seperti gliserol tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton,
benzen, dan petroleum eter (Rahayu dkk., 2015). Gelatin berasal dari kolagen
yang merupakan penyusun jaringan ikat dan tulang hewan vertebrata. Kolagen
mengandung asam amino yang tinggi yaitu prolin dan hidroksipirolin (GMIA,
2012).
gelatin. Susunan asam amino gelatin berupa Gly-X-Y dimana X umumnya asam
amino prolin dan Y umumnya asam amino hidroksiprolin (Poppe, 1992). Struktur
Menurut Tazwir dkk. (2007) proses pembuatan gelatin dibagi menjadi dua
yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses tersebut berada pada
proses perendaman. untuk proses asam dapat mengubah serat kolagen triple heliks
menjadi rantai tunggal, sedangkan proses basa hanya mampu menghasilkan rantai
ganda. Gelatin yang bahan dasarnya dari tulang ikan lebih baik menggunakan
proses asam dibandingkan dengan proses basa karena proses asam mampu serat
kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal. Selain itu keuntungan dari proses
asam adalah persiapan bahan baku memerlukan waktu relatif singkat, dan biaya
lebih murah (Agustin, 2015). Akan tetapi perendaman dalam larutan asam yang
terlalu lama akan meyebabkan kolagen larut pada asam sehingga dibutuhkan
waktu yang optimal yaitu sekitar lima jam (Rahayu dkk., 2015). Menurut Wiyono
(2001) asam yang biasa digunakan dalam proses demineralisasi adalah asam
klorida dengan konsentrasi 4-7 %. Gelatin dapat mengalami denaturasi pada suhu
diatas 80oC, sehingga suhu pemanasan yang diperbolehkan untuk gelatin adalah
49-70oC (Montero dan Gomez, 2000). Pada proses degreassing suhu yang
diperbolehkan adalah suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin
Gelatin tidak berasa, tidak berbau dan berwarna kuning pudar. Gelatin
Perilaku larutan gelatin dipengaruhi oleh suhu, pH, kadar abu, metode pembuatan
dan konsentrasi (GMIA, 2012). Oleh karena itu penggunaan gelatin sangat luas.
Pada bidang makanan, anatara lain sebagai agen pembentuk gel, pengental,
pengemulsi, pembentuk busa, dan edible film. Pada bidang farmasi antara lain
12
pembuatan kapsul lunak dan keras. Pada umumnya gelatin terbuat dari kulit
mamalia, seperti sapi dan babi. Akan tetapi agama islam dan hindu tidak dapat
mengkonsumsi bahan makanan yang memiliki kandungan babi dan sapi. Hal
tersebut menjadikan gelatin dari tulang ikan merupakan bahan alternatif untuk
menghasilkan gelatin yang dapat dimakan semua orang (Pranoto dkk., 2006).
Pranoto dan Doddy (2013) telah melakukan penelitian edible film dari
gelatin kulit ikan nila dengan variasi berat gelatin 3 g, 6 g, 9 g sehingga pada
Edible film merupakan kemasan makanan berupa lapisan tipis yang dapat
volatil, lipida, dan zat pelarut), pembawa aditif, vitamin, mineral, antioksidan,
alam yang dapat digunakan untuk pembuatan edible film adalah pati, selulosa,
kolagen, kasein, protein, atau lipid yang terdapat pada hewan. Pengembangan
metode proses pembuatan edible film bertujuan untuk menghasilkan edible film
yang memiliki keunggulan yang lebih baik dan mudah diterapkan pada industri
pangan.
yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid dapat dibuat dari senyawa
wheat, kasein, kitosan, dan kolagen. Lipida dapat dibuat dari lilin (wax), asil
gliserol, asam lemak, serta emulsifier. Komposit dapat dibuat dari perpaduan
Aplikasi edible film sebagai bahan pengemas pangan yang sudah banyak
digunakan untuk kemasan produk buah-buahan segar, sosis, daging, ayam beku,
produk hasil laut, dan pangan semi basah. Keunggulan edible film yang digunakan
untuk bahan pengemas pangan yaitu dapat menurunkan aktivitas air permukaan
2013).
2.5 Gliserol
sehingga edible film akan lentur dan plastis (Ningsih, 2015). Gliserol merupakan
senyawa yang mudah ditemukan pada lemak hewan atau lemak nabati sebagai
ester gliseril pada asam palmitat dan oleat. Gliserol adalah senyawa yang netral,
dengan rasa manis tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 20 oC dan
memiliki titik didih yang tinggi yaitu 290oC. Gliserol dapat larut sempurna dalam
berwarna, tidak berbau dan merupakan cairan kental yang memiliki rasa manis
(Pagliaro dan Rossi, 2008). Gliserol merupakan molekul hidrofilik dengan berat
molekul rendah, mudah masuk kedalam rantai protein dan dapat menyusun ikatan
hidrogen dengan gugus reaktif protein. Sifat-sifat tersebut yang membuat gliserol
pati, gel, dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis protein
menjadi lebih fleksibel, halus dan meningkatkan kelarutan (Astuti dkk., 2014).
dapat meningkatkan permeabilitas uap air. Hal tersebut dapat terjadi karena
yang berakibat pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antar rantai
protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati film gluten dilaporkan
meningkat seiring dengan peninggkatan kadar gliserol dalam film karena adanya
2.6 Karagenan
Karagenan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau
larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah).
Karagenan juga berfungsi sebagai cross linking agent. Ikatan silang (Cross
linking) diperlukan untuk mengurangi laju transmisi uap air. Tingginya laju
transmisi uap air disebabkan oleh lemahnya matrik pada edible film yang
menyebabkan molekul dapat bergerak bebas (Santoso dan Pranoto, 2013). Pranoto
dan Doddy (2013) juga menyatakan bahwa edible film yang dibuat dari gelatin
ikan lebih rendah sifat fungsionalnya dalam hal ini laju transmisi uap air sehingga
agent. Senyawa fenol dapat berikatan dengan rantai samping polipeptida pada
yang berliku – liku bagi molekul air untuk melewatinya sehingga menyebabkan
nilai laju uap air turun (Pranoto dan Doddy, 2013). Selain itu, karagenan dipilih
karena karagenan juga merupakan salah satu bahan pembentuk film, karagenan
juga memiliki sifat gel yang baik serta aman dikonsumsi. Penambahan karagenan
diharapkan dapat meningkatkan kualitas edible film gelatin tulang ikan nila.
pembentuk gel pada temperatur ruang, stabilisator pada eskrim, pembentuk gel
pada jeli dan puding serta pelapis produk daging, dan pelapis bahan pangan atau
bahan pembentuk edible film (Handito, 2011). Pranoto dan Doddy (2013) telah
melakukan penelitian edible film dari gelatin kulit ikan nila dengan variasi
konsentrasi karagenan 0%, 2%, 4% dari berat gelatin, sehingga pada penelitian ini
edible film dalam aplikasinya sebagai kemasan (Ulfah dan Nugraha, 2014). Sifat
mekanik edible film terdiri dari kuat tarik (Tensile strenght), perpanjangan
Tabel 2.1 Data Japanese Industrial Standart pada sifat mekanik edible film
mekanik edible film. Kuat tarik (tensile strength) adalah tarikan maksimum yang
dapat dicapai sampai edible film dapat tetap bertahan sebelum edible film putus
atau robek. Pengukuran kuat tarik (tensile strength) berguna untuk mengetahui
besarnya gaya yang dapat dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap
satuan luas area edible film untuk merenggang atau memanjang (Anandito dkk.,
2012). Edible film yang memiliki kekuatan tarik (tensile strength) tinggi dapat
melindungi produk yang dikemas dari gangguan mekanis dengan baik (Fardhyanti
film maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus dibandingkan
apabila nilai perpanjangannya lebih dari 50% dan kategorikan buruk apabila nilai
perpanjanganya kurang dari 10% (Fardhyanti dan Julianur, 2015). Edible film
yang memiliki nilai perpanjangan (elongasi) tinggi menunjukan Edible film yang
dengan cara membandingkan antara nilai kuat tarik yang didapatkan dengan nilai
18
berbanding lurus dengan kuat tarik (tensile strength) dan berbanding terbalik
dengan nilai perpanjangan (elongasi) (Ariska dan Suyatno 2015). Nilai elastisitas
(modulus young) yang tinggi dapat melindungi dan melapisi produk dengan baik
2.8 Ketebalan
kualitas edible film. Ketebalan berkaitan dengan kemampuan edible film untuk
tarik, perpanjangan dan laju transmisi uap air (Ningsih, 2015). Batas maksimal
nilai ketebalan edible film menurut Japanese Industrial Standart adalah 0,25 mm
(Ariska dan Suyatno, 2015). Nilai ketebalan edible film yang mendekati batas
maksimal akan menghambat laju gas dan uap air sehingga daya simpan produk
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang karakteristik edible film dari gelatin tulang ikan nila
dari edible film dengan bahan gelatin tulang ikan nila dilakukan dalam rangka
3 tahap :
3.1.1 Tahap 1 yaitu mempersiapkan gelatin yang berasal dari tulang ikan nila.
3.1.2 Tahap 2 yaitu sintesis edible film dari gelatin tulang ikan nila dengan
3.3 Bahan
Pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa tulang ikan nila yang
diperoleh dari tambak ikan nila yang berada di kecamatan Kayen Pati. Bahan yang
19
20
lainnya adalah gliserol teknis kemurnian 99,9% yang akan diperoleh dari
PT.Merck Tbk, karagenan yang akan diperoleh dari toko online pesona green
(buka lapak), aquades dari toko bahan kimia Indrasari, Asam klorida 5% yang
Semarang.
3.4 Alat
b. Baskom o. Oven
c. Blender p. Panci
k. Indikator pH x. Waterbath
l. Kertas saring
e. Hot plate
f. Kondensor
i. Loyang alumunium
j. Magnetic stirrer
k. Oven
l. Pengaduk kaca
m. Pipet ukur 25 ml
n. Plat kaca
o. Sendok
p. Spatula
r. Timbangan analiti
22
Aplikasi pembuatan edible film dari tulang ikan nila menggunakan metode
experimental laboratories. Bahan baku edible film pada penelitian ini berasal dari
gelatin tulang ikan nila (Oreochomis nilotticus). Tahapan penelitian ini terdiri dari
ukuran 1,5-2 cm
55oC.
Cara kerja pembuatan edible film mengikuti penelitian Pranoto dan Doddy
(2013)
e) Larutan edible film dituangkan dalam plat kaca yang berukuran 20X20
cm
24
digital dengan ketelitian 0,001 mm pada 5 tempat yang berbeda. Kemudian hasil
Menurut Japanese Industrial Standart maksimal ketebalan edible film yaitu 0,25
yang bisa ditahan suatu benda ketika direnggangkan atau ditarik sebelum film
tersebut putus atau sobek (Fatma, dkk., 2016). Pengujian ini untuk mengetahui
tinggi gaya yang diproduksi maka kekuatan tariknya akan semakin besar. Edible
film yang memiliki kekuatan tarik tinggi akan melindungi produk yang dikemas
menyebutkan bahwa standart nilai minimal kuat tarik edible film 3,92266 Mpa.
panjang film maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus
jika nilainya lebih dari 50% dan dikatakan buruk jika nilainya kurang dari 10%
cara:
𝑏−𝑎
Elongasi (%) = × 100%
𝑎
Nilai pemanjangan menunjukkan elastisitas dari suatu bahan. Semakin tinggi nilai
yang tinggi dapat melindungi dan melapisi edible film dengan baik. Standart nilai
minimal pemanjangan edible film yaitu 0,35 Mpa (Ariska dan Suyatno, 2015).
karagenan terbaik untuk pembuatan edible film dari gelatin tulang ikan nila. Pada
penelitian ini digunakan gelatin yang berasal dari tulang ikan nila sebagai bahan
baku karena limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan hasil ikan nila
dibuat dari gelatin limbah kulit ikan nila, sehingga inovasi baru yaitu pembuatan
edible film dari gelatin limbah tulang ikan nila dimana limbah dan karakteristik
edible film dari gelatin tulang ikan nila dapat dioptimalkan. Oleh karena itu, pada
26
27
dan elastisitas (modulus young) untuk diperoleh edible film dengan sifat
edible film
film
kelayakan edible film sebagai kemasan produk pangan karena ketebalan sangat
mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible film lainnya, misalnya kuat tarik,
0,5
Karagenan 0%
Karagenan 3%
Karagenan 6%
0,4
0,3
Ketebalan (mm)
0,2
0,1
0,0
Gambar 4.1. terlihat bahwa edible film dari gelatin tulang ikan nila dengan
berkisar 0,208 – 0,409 mm. Gambar 4.1. menunjukan bahwa ada beberapa edible
film dari gelatin tulang ikan nila dengan penambahan karagenan dan gliserol
masih tergolong baik karena masih di bawah standart maksimal ketebalan edible
film. Menurut Japanese Industrial Standart maksimal ketebalan edible film yaitu
0,25 mm (Ariska dan Suyatno, 2015). Sampel yang memenuhi standart ketebalan
edible film adalah G1K1 dengan ketebalan 0,206 mm, G1K2 dengan ketebalan
0,212 mm, G1K3 dengan ketebalan 0,227 mm. Sedangkan edible film yang
memiliki ketebalan > 0,25 mm dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
dituangkan dalam masing-masing plat sama (Anandito dkk., 2012). Hal ini juga
(Amaliyah, 2014). Edible film dapat diatur ketebalannya dari jumlah larutan yang
dituangkan pada cetakan dan luas area cetakan yang digunakan. Semakin banyak
volume larutan edible film yang dituangkan maka edible film yang didapatkan
akan semakin tebal, hal ini dikarenakan total padatan pada larutan edible film akan
terbaik pada sampel G1K3 sebesar 0,227 mm. Hal ini dikarenakan semakin tebal
edible film yang dihasilkan maka akan menghambat laju gas dan uap air sehingga
dan karagenan meningkat pula hasil ketebalan yang dihasilkan. Hal ini sesuai
pada penelitian Handito (2011) bahwa semakin tinggi konsentrasi karagenan yang
larutan pembentuk film. Peningkatan ketebalan edible film juga terkait dengan
sifat senyawa koloid yang unik sebagai pengental dan pensuspensi, serta adanya
interaksi antar komponen penyusun edible film. Hasil tersebut juga sesuai dengan
menempati rongga dalam matriks edible film dan berinteraksi dengan molekul
edible film
Uji sifat mekanik edible film terdiri dari uji kuat tarik (Tensile strenght),
Kuat tarik merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai edible
film dapat tetap bertahan sebelum edible film putus atau robek. Pengukuran kuat
tarik berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dapat dicapai untuk mencapai
tarikan maksimum pada setiap satuan luas area edible film untuk merenggang atau
sifat mekanik edible film yang sangat penting, karena terkait dengan kemampuan
edible film untuk melindungi produk yang dilapisi. Pengaruh konsentrasi gelatin
dan karagenan terhadap sifat kuat tarik suatu edible film ditunjukkan pada
Gambar 4.2.
31
22
Karagenan 0%
Karagenan 3%
Karagenan 6%
20
18
Kuat tarik (MPa)
16
14
12
10
Gambar 4.2. terlihat bahwa edible film dari gelatin tulang ikan nila dengan
karagenan yang berbeda-beda menunjukan nilai kuat tarik berkisar 10,675 – 21,5
MPa. Gambar 4.2. menunjukan bahwa secara umum nilai kuat tarik yang
dihasilkan telah memenuhi standar minimal nilai kuat tarik edible film
Suyatno, 2015). Hasil penelitian didapatkan nilai kuat tarik terbaik pada sampel
G1K3 sebesar 21,5 MPa. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai kuat tarik
edible film maka akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari
cenderung meningkatkan nilai kuat tarik edible film. Hal ini menunjukan bahwa
32
antar molekul penyusun edible film meningkat sehingga menghasilkan edible film
yang semakin kompak (Rusli dkk.,2017). Hasil tersebut juga didukung pada
konsentrasi karagenan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film maka akan
membentuk matriks film yang semakin kuat, sehingga gaya yang dibutuhkan
molekul bahan penyusun edible film. Penurunan ini disebabkan karena gliserol
regang putus (Putra dkk., 2017). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Sinaga dkk.
menyebabkan penurunan kuat tarik edible film. Hal ini disebabkan karena reduksi
interaksi intermolekuler rantai protein sehingga matriks film yang terbentuk akan
semakin sedikit.
maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus dibandingkan dengan
panjang bahan sebelum dilakukan uji tarik (Arini dkk., 2017). Berikut merupakan
33
40,5
Karagenan 0%
Karagenan 3%
Karagenan 6%
40,0
Perpanjangan (%)
39,5
39,0
38,5
nyata. Nilai perpanjangan yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 39,3 – 39,9
%. Nilai perpanjangan edible film yang dihasilkan pada penelitian ini tergolong
baik karena berada diatas Japanese Industrial Standars yang menetapkan bahwa
dikategorikan sangat baik apabila lebih dari 50% (Ariska dan Suyanto, 2015).
Hasil penelitian didapatkan nilai perpanjangan edible film terbaik berada pada
sampel G2K1 sebesar 39,9 %. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai
perpanjangan menunjukan film yang lebih fleksibel (Ariska dan Suyanto, 2015).
34
dikarenakan adanya penambahan gliserol dalam pembuatan edible film. Hal ini
ikatan hidrogen sehingga dapat mengurangi kerapuhan dan tidak mudah pecah
(Ningsih, 2015). Hal ini sesuai dengan penelitian Huri dan Nisa (2014)
menyatakan bahwa gliserol dapat meningkatkan kemuluran edible film, selain itu
plasticizer sangat penting untuk mengatasi film yang rapuh dan meningkatkan
matriks film yang semakin bersifat tidak elastis atau mudah putus (getas), dan
Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pranoto (2013) bahwa
nilai perpanjangan edible film selalu berbanding terbalik terhadap nilai kuat tarik,
karena semakin tinggi gaya yang diperlukan untuk menarik edible film maka akan
young dapat diketahui dengan cara membandingkan antara nilai kuat tarik dengan
0,6
Karagenan 0%
Karagenan 3%
Karagenan 6%
0,5
0,4
Elastisitas (MPa)
0,3
0,2
0,1
0,0
Gambar 4.4. terlihat bahwa edible film dari gelatin tulang ikan nila dengan
(modulus young) yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 0,268 – 0,547
MPa. Gambar 4.4. menunjukan bahwa ada beberapa edible film dari gelatin tulang
ikan nila dengan penambahan karagenan dan gliserol masih tergolong baik
karena berada diatas standart minimal nilai elastisitas (modulus young) edible
(modulus young) edible film yaitu 0,35 MPa (Ariska dan Suyatno, 2015). Sampel
yang memenuhi standart elastisitas (modulus young) edible film adalah G1K1
dengan nilai elastisitas (modulus young) 0,456 MPa, G1K2 dengan nilai elastisitas
(modulus young) 0,493 MPa, G1K3 dengan nilai elastisitas (modulus young)
0,547 MPa, G2K2 dengan nilai elastisitas (modulus young) 0,378 MPa, G2K3
dengan nilai elastisitas (modulus young) 0,406 MPa, G3K3 dengan nilai
elastisitas (modulus young) 0,358 MPa. Sedangkan edible film yang memiliki nilai
elastisitas (modulus young) < 0,35 MPa dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain dari proses pengadukan dilakukan secara manual yang hanya
dalam larutan (Arini dkk., 2017). Hasil penelitian didapatkan nilai elastisitas
(modulus young) terbaik pada sampel G1K3 sebesar 0,547 MPa. Hal ini
melindungi dan melapisi produk dengan baik (Ariska dan Suyatno, 2015).
karagenan maka nilai nilai elastisitas (modulus young) akan semakin besar.
ikatan hidrogen rantai polimer (Ariska dan Suyatno, 2015). Nilai elastisitas
(modulus young) berbanding lurus dengan kuat tarik (tensile strenght) dan
tinggi konsentrasi karagenan akan membentuk metriks film yang semakin kuat,
sehingga film semakin bersifat tidak elastis atau mudah putus (getas), dan
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
(0,227 mm), kuat tarik (21,5 MPa), elongansi (39,9%) dan elastisitas
(0,547 MPa).
menurun.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan metode pencetakan yang lebih baik agar ketebalan edible
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai edible film yang berbahan
dasar gelatin.
38
DAFTAR PUSTAKA
Agustin. 2015. “Kajian Gelatin Kulit Ikan Tuna (Thunnus Albacares) Yang
Diproses Menggunakan Asam Asetat”. Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon. Vol 1 (5), 1186-1189
Amaliyah, D.M. 2014. Pemanfaatan Limbah Kulit Durian (Durio ziberthinus) dan
Kulit Cempedak (Artocarpus integer) sebagai Edible film. Jurnal Riset
Industri Hasil Hutan 6(1): 27-34
Armi, Khairul., dan Khairuman, 2003. Budidaya ikan nila secara intensif. Jakarta
Selatan: PT. Agromedia Pustaka. http:/books.google.co.id/books. [6
Februari 2018]
Ariska, R.E., dan Suyatno. 2015. Pengaruh Konsentrasi Karagenan Terhadap Sifat
Fisik dan Mekanik Edible film dari Pati Bonggol Pisang dan Karagenan
dengan Plasticizer Gliserol. Prosiding Seminar Nasional Kimia.
Universitas Negeri Surabaya. Surabaya.
Athukorala, Y., Lee, K.W., Song, C.B., Ahn, C.B., Shin, T.S., Cha, Y.J., Shahidi,
F. dan Jeon. 2003. “Potential Antioxidant Activity Of Marine Red Alga
Grateloupia Filicina Extracts”. Journal of Food Lipids 10: 251-265
39
40
Coniwati, P., Linda L., Alfira M.R. 2014. Pembuatan Film Plastik Biodegredabel
dari Pati Jagung dengan Penambahan Kitosan dan Pemlastis Gliserol.
Jurnal Teknik Kimia, 20(4): 22-30
Dadang WI, Suhendra Y, Purbany E, Imam, Ike. 2007. Sudah saatnya nila
berjaya. http://www.agrina-online.com/show_article.php?aid=688
[diakses 28 januari 2018].
Darmanto, Y.S., T.W. Agustini, dan F. Swastawati. 2012. Efek kolagen dari
berbagai jenis tulang ikan terhadap kualitas miofibril protein ikan
selama proses dehidrasi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan,
23(1):36-40.
Fakhouri, F.M. 2005. “Edible Film And Coatings Based On Starch/Gelatin; Film
Properties and Effect Of Coatings On Quality Of Refrigerated Red
Crimson Grapes”. Elsevier B.V.
Febianti, F., Heni Tri A., Fadilah. 2015. Studi Pembuatan dan Karakteristik Sifat
Mekanik Edible Film Berbahan dasar Umbi Suweg (Amporphophallus
campanulatus) dengan Pewarna dan Rasa Secang. Prosiding SENATEK
2015 Fakultas Teknik. ISBN 978-602-14355-0-2. Universitas
Muhammadiyah. Purwokerto. 87-97.
Gontard, N., Gulbert, S., Cuq, J.L. 1993.“Water and Glycerol as Plasticizers
Affect Mechanical and Water Vapor Barrier Properties of an Edible
Wheat Gluten Film”. Journal of Food Science, Vol. 58 (1): 206-211.
41
Huri, D., Nisa F.C. 2014. Pengaruh Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas Kulit
Apel Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Edible Film. Jurnal
Pangan dan Agroindustri, 2(4):29-40.
Gela, Dea T., 2016. Karakteristik Edible Film dari Gelatin Kulit Kuda (Equus
Caballus) Serta Aplikasinya Untuk Kemasan Makanan. Skripsi.
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin, Makasar
Januarsyah, Yodi I., Maman H. S. dan Eddy Afrianto. 2011. Pemanfaatan Gelatin
dari Limbah Kulit Ikan Nila Sebagai Edible Film Untuk Mengetahui
Karakteristik Pindang Tongkol. Jurnal Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjajaran. Bandung.
Julianto, G.E., Ustadi dan A. Husni. 2011. Karakterisasi Edible Film dari Gelatin
Kulit Ikan Nila Merah dengan Penambahan Plasticizer Sorbitol dan
Asam Palmitat, Jurnal Perikanan (Journal Fish Science), 13(1):27-34
Karlina, I.R., Atmaja, L. 2009. “Ekstrak Gelatin Dari Tulang Rawan Ikan Pari
(Himantura gerardi) pada Variasi Larutan Asam untuk Perendaman”.
Prosiding Kimia FMIPA-ITS
Kasim, S. 2013. Ekstraksi Kolagen Tulang Rawan Ikan Pari (Himantura gerrardi)
dan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) Menggunakan Variasi Jenis Larutan
Asam. Majalah Farmasi dan Farmakologi. Vol 17, No.2 – Juli 2013.
Fakultas Farmasi, Universitas Hasanudin. Makasar
Katili, Abubakar S., 2009. Struktur dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal Pelangi
Ilmu. Vol.2 (5) :19-29
42
Koli, jayappa M., Subrata, B., Binay B.N., dkk. 2012. Functional characteristics
of gelatin extracted from skin and bone of Tiger-toothed croaker
(Otolithes ruber) and Pink perch (Nemipterus japonicus). Journal food
and bioproducts processing 90: 555–562
Maryani. Titi Surti. dan Ratna Ibrahim. 2010. Aplikasi Gelatin Tulang Ikan Nila
Merah (Oreochromis Niloticus) Terhadap Mutu Permen Jelly. Jurnal
Saintek Perikanan 6(1): 62 - 70
Nahwi, Naufal F., 2016. Analisis Pengaruh Penambahan Plastisizer Gliserol pada
Karakteristik Edible Film dari Pati Kulit Pisang Raja, Tongkol Jagung
dan Bonggol Enceng Gondok. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
Nofiandi, Dedi, Widi Ningsih, dan Asa Sofie Liandana Putri. 2016. Pembuatan
dan Karakteristik Edible film dari Poliblend Pati Sukun-Polivinil
Alkohol dengan Propilenglikol sebagai Plasticizer. Jurnal Katalisator
1(2)
Pagliaro, M., Rossi, M. 2008. “ The Future of Glycerol: New Uses of a Versatile
Raw Material”. RSC Green Chemistry Book Series.
43
Pavlath, A.E., and William Orts. 2009. Edible films and Coating: Why, What, and
How. Edible films and Coatings for Food Applications. M.E.
Embuscado and K.C. Huber (eds) P.1-23
Pranoto, Y., Chong, M.L, dan Hyun J.P. 2006. Characterizations of fish gelatin
films added with gellan and k-carrageenan. Jurnal of food science and
technology.(0023-634): 766-774
Prayitno, Emiliana, dan Nur Wachid S. 2012. “Pemanfaatan Limbah Kulit Ikan
Nila Dari Industri Fillet Untuk Kulit Jaket”. Majalah Kulit, Karet dan
Plastik, Vol.28 (1): 51-59
Putra, A.D., Vonny S.J., dan Efendi R. 2017. Penambahan Sorbitol Sebagai
Plasticizer Dalam Pembuatan Edible Film. Jurnal Teknologi Hasil
Pertanian, 4(2): 1-15
Rattaya, S., Benjakul, S., Prodpran, T. 2009. “Properties Of Fish Skin Gelatin
Film Incorporated With Seaweed Extract”. Journal Of Food
Engineering, Vol. 95: 151-157
44
Romenda, A.P., Pramesti, R., Susanto, A.B. 2013. “Pengaruh Perbedaan Jenis dan
Konsentrasi Larutan Alkali Terhadap Kekuatan Gel dan Viskositas
Karaginan (Kappaphycus alvarezii)”.Journal of Marine Research, Vol
2 (1): 127-133.
Santoso, B., Hepandi., Vemi Ariani., dkk. 2013. Karakteristik Film Pelaspis
Pangan dari Surimi Belut Sawah dan Tapioka. Jurnal Teknologi dan
Industri PanganI 24(1) : 48 – 53 1979-7788 DOI:
10.6066/jtip.2013.24.1.48
Santoso, D., dan Y. Pranoto. 2013. Ekstrak rumput laut (Kappaphycus alvarezli)
sebagai cross linking agent pada pembuatan edible film kulit ikan nila
hitam (Oreochromis niloticus). Agritech, 33(2): 168-176
Setiani, Wini, Tety Sudiarti, dan Lena Rahmidar. 2013. Preparasi Dan
Karakteristik Edible film dari Poliblend Pati Sukun-Kitosan. Valensi
3(2): 100-109
Sinaga, L.L., Melisa S. R. S., dan Mersi S. S. 2013. Karakteristik Edible Film dari
Ekstrak Kacang Kedelai dengan Penambahan Tepung Tapioka dan
Gliserol Sebagai Bahan Pengemas Makanan. Jurnal Teknik Kimia USU
2(4) : 12-16
Talens, P., Fabra, M.J., dan Chiralt, A. 2011. Properties application and current,
development of edible polysaccharide film and coatings. Dalam : Jones,
C. E. Encyclopedia of polymer research (hal. 857-890). New York :
Nava Scieence Publishers, Inc.
Ulfah, Fajariyah. dan Irwan Nugraha. 2014. Sintesis dan Karakterisasi Edible
Film Komposit Karagenan-Montmorilonit. Seminar Nasional Kimia
dan Pendidikan Kimia VI. ISBN:979363174-0. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta. 411-423.
Wijaya, O.A., Surti, T., Sumardianto. 2015. “Pengaruh Lama Perendaman NaOH
pada Proses Penghilangan Lemak terhadap Kualitas Gelatin Tulang
Ikan Nila”. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, Vol.
4 (2): 25-32.
Wiyono, V.S. 2001. Gelatin Halal Gelatin Haram. Jurnal Halal LPPOM-MUI
Yusmarlela. 2009. “Studi Pemanfaatan Plastisier Gliserol dalam Film Pati Ubi
dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu”. Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Lampiran 1
46
47
Lampiran 2
Skema Pembuatan Edible Film dari Gelatin Limbah Tulang Ikan Nila
48
Lampiran 3
Perhitungan Uji Ketebalan Edible Film
Uji ketebalan edible film diukur dengan menggunakan mikrometer digital pada 5
tempat yang berbeda kemudian hasil pengukuran dirata-rata
No Variabel Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Rata-rata
1 G1K1 0,204 0,202 0,206 0,212 0,206 0,206
2 G1K2 0,208 0,209 0,211 0,216 0,216 0,212
3 G1K3 0,215 0,222 0,242 0,228 0,23 0,2274
4 G2K1 0,292 0,305 0,323 0,334 0,322 0,3152
5 G2K2 0,335 0,342 0,326 0,342 0,334 0,3358
6 G2K3 0,358 0,363 0,371 0,364 0,365 0,3642
7 G3K1 0,36 0,353 0,367 0,341 0,351 0,3544
8 G3K2 0,382 0,371 0,384 0,385 0,376 0,3796
9 G3K3 0,395 0,403 0,402 0,392 0,406 0,3996
49
Lampiran 4
Perhitungan Pengujian sifat mekanik
1. Uji kuat tarik (tensile strenght)
1.1 Kuat tarik edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,165 N
Luas penampang (A) = 0,12 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
2,165
= = 18,041 MPa
0,12
1.2 Kuat tarik edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,43 N
Luas penampang (A) = 0,125 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
2,42
= 0,125 = 19,44 MPa
1.3 Kuat tarik edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,902 N
Luas penampang (A) = 0,135 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
2,902
= 0,135 = 21,5 MPa
1.4 Kuat tarik edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,212 N
Luas penampang (A) = 0,175 mm2
50
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
2,212
= 0,175 = 12,642 MPa
1.5 Kuat tarik edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,695 N
Luas penampang (A) = 0,18 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
2,695
= = 14,972 MPa
0,18
1.6 Kuat tarik edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 3,05 N
Luas penampang (A) = 0,19 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
3,05
= 0,19 = 16,052 MPa
1.7 Kuat tarik edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 1,975 N
Luas penampang (A) = 0,19 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
1,975
= = 10,676 MPa
0,19
1.8 Kuat tarik edible film dengan 1 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,505 N
Luas penampang (A) = 0,195 mm2
51
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
2,505
= 0,195 = 12,846 MPa
1.9 Kuat tarik edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,985 N
Luas penampang (A) = 0,21 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴
2,985
= = 14,214 Mpa
0,21
Perpanjangan
No Variabel
%
1 10 g gelatin, 0% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,6
2 10 g gelatin, 3% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,45
3 10 g gelatin, 6% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,3
4 13 g gelatin, 0% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,8
5 13 g gelatin, 3% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,65
6 13 g gelatin, 6% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,55
7 16 g gelatin, 0% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,9
8 16 g gelatin, 3% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,75
9 16 g gelatin, 6% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,65
18,042
= = 0,456 MPa
39,6
52
3.2 Elastisitas edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 19,440 MPa
Perpanjangan (%) = 39,45%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
19,440
= = 0,493 MPa
39,45
3.3 Elastisitas edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 21,5 MPa
Perpanjangan (%) = 39,3%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
21,5
= 39,3 = 0,547 MPa
3.4 Elastisitas edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 12,643 MPa
Perpanjangan (%) = 39,8%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
12,643
= = 0,318 MPa
39,8
3.5 Elastisitas edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 14,972 MPa
Perpanjangan (%) = 39,65%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
14,972
= = 0,378 MPa
39,65
53
3.6 Elastisitas edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 16,053 MPa
Perpanjangan (%) = 39,55%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
16,053
= = 0,406 MPa
39,55
3.7 Elastisitas edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 10,676 MPa
Perpanjangan (%) = 39,9%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
10,676
= = 0,268 MPa
39,9
3.8 Elastisitas edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 12,846 MPa
Perpanjangan (%) = 39,75%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
12,846
= = 0,323 MPa
39,75
3.9 Elastisitas edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 14,214 MPa
Perpanjangan (%) = 39,65%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
14,214
= = 0,358 MPa
39,65
54
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Gambar Proses Pembuatan Edible Film dari Gelatin Tulang Ikan Nila
Lampiran 8
Mikrometer Digital
Brookfield CT 03 4500