Anda di halaman 1dari 59

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan nila (Oreochomis nilotticus) merupakan ikan air tawar yang banyak

dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Ikan nila termasuk ikan air tawar yang

mempunyai nilai ekonomis tinggi, mudah dipelihara, perkembangbiakannya

cepat, ukuran badan relatif besar, tahan penyakit, dan sangat mudah beradaptasi

dengan lingkungan. Satu kelebihan ikan nila adalah kemampuan untuk

dibudidayakan dalam air tawar dan payau (Wardoyo, 2007). Berdasarkan data dari

Kementrian Perikanan dan Kelautan (2017) hasil dari produksi ikan nila pada

tahun 2013 sebanyak 914.780 ton dan meningkat pada tahun 2014 menjadi

999.690 ton sedangkan pada tahun 2015 produksi ikan nila sebesar 1.084.000 ton.

Dari data produksi ikan nila, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara

pengekspor ikan nila setelah Cina (Julianto dkk., 2011). Pada tahun 2005 ekspor

ikan nila ke Amerika dalam bentuk fillet sebesar 1.146.331 ton dari total ekspor

ikan nila sebesar 37.554.537 ton (Prayitno dan Nur, 2012). Hal ini

mengindikasikan banyaknya industri pengolahan hasil ikan nila yang ada di

Indonesia, sehingga limbah yang dihasilkan juga berlimpah (Julianto dkk., 2011).

Salah satu hasil samping limbah ikan nila yaitu tulangnya. Limbah tersebut

sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Pemanfaatan

limbah tulang ikan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Tulang ikan kaya

akan kandungan kolagen, yang dapat digunakan sebagai sumber alternatif

pengganti kolagen yang biasanya bersumber dari mamalia (Nagai & Suzuki,

1
2

2000). Kandungan kolagen yang cukup tinggi maka tulang ikan nila berpotensi

untuk dijadikan gelatin (Maryani dkk., 2010). Pemanfaatan limbah tulang ikan

nila yang dijadikan sebagai sumber pembuatan gelatin merupakan upaya untuk

meningkatkan nilai tambah dari tulang ikan nila, karena sampai saat ini

pemanfaatan tulang ikan nila masih terbatas, seperti pembuatan tepung tulang

yang dijadikan pakan ternak atau hanya dibuang. Menurut Astawan (2003),

tulangan kulit ikan sangat potensial sebagai sumber gelatin karena mencakup 10-

20% dari total berat tubuh ikan nila.

Gelatin yang sering digunakan berasal dari mamalia yaitu babi atau sapi

dimana kehalalannya diragukan, karena kebanyakan penduduk Indonesia

beragama Islam sehingga diharamkan untuk memakan bahan yang berasal dari

babi sedangkan bahan yang berasal dari sapi menjadi pantangan untuk pemeluk

agama Hindu. Sehingga gelatin dari tulang ikan nila dapat menjadi pemecahan

masalah tersebut (Agustin, 2013). Gelatin tidak hanya berfungsi dibidang pangan,

farmasi dan kosmetika, akan tetapi gelatin memiliki potensi sebagai bahan baku

edible film (Sinaga dkk., 2013). Rata-rata kemasan yang beredar dimasyarakat

biasanya terbuat dari bahan plastik atau disebut pengemas sintetis. Pengemas

sintetis tidak dapat didegradasi secara alami sehingga dapat menimbulkan limbah

dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan alternatif bahan

pengemas yang tidak merugikan, seperti edible film yang biodegradable untuk

mengurangi limbah agar ramah lingkungan (Fardhyanti dan Julianur, 2015).

Kelebihan dari edible film yang digunakan sebagai bahan pengemas pangan
3

diantaranya film lebih kuat, elastis, rapat, dan transmisi uap rendah (Santoso dkk.,

2013).

Maryani dkk. (2010) telah melakukan penelitian gelatin yang terbuat dari

tulang ikan nila merah (Oreochomis nilotticus) yang mampu menghasilkan mutu

permen jelly terbaik berdasarkan pada karakteristik kimia, fisika, nilai hedonik,

dan jumlah bakteri Escherichia coli. Produk terbaik yang didapatkan adalah

permen jelly yang menggunakan gelatin tulang ikan nila merah (Oreochomis

nilotticus) dengan konsentrasi 10% dengan karakteristik kadar air (17,06%), pH

(4,78), mutu kekenyalan (14,20 N), nilai hedonik (8,13), dan tidak mengandung

bakteri Escherichia coli.

Pranoto dan Doddy (2013) melakukan penelitian mengenai pembuatan

edible film dari gelatin kulit ikan nila hitam. Pada penelitian tersebut digunakan

ekstrak rumput laut sebagai cross linking agent. Formulasi terbaik adalah dengan

menggunakan 8% gelatin w/v, 10% gliserol (w/w), dan 2% ekstrak rumput laut.

Dari penelitian tersebut diperoleh edible film dengan karakteristik tensile strenght

sebesar 3,08 Mpa, elongasi sebesar 43,73 %, dan permeabilitas uap air sebesar

0,0039 x 10-10 g.H2O/m.s.Pa.

Dari beberapa penelitian tersebut edible film sering dibuat dari gelatin

limbah kulit ikan nila. Sehingga diperlukan inovasi baru yaitu pembuatan edible

film dari gelatin limbah tulang ikan nila dimana limbah tulang ikan nila dapat

dioptimalkan dan karakteristik edible film dari gelatin tulang ikan nila dapat

diketahui. Salah satu sifat edible film yang sangat penting agar dapat berfungsi
4

dengan baik sebagai pelapis makanan adalah sifatnya yang fleksibel, oleh karena

itu perlu adanya penambahan plasticizer (Wirawan dkk., 2012).

Fakhouri pada tahun 2015 telah melakukan penelitian untuk

membandingkan pengaruh dua plasticizer yang berbeda terhadap karakteristik

edible film yang dihasilkan. Plasticizer yang digunakan adalah gliserol dan

sorbitol, dari penelitian ini diketahui gliserol memiliki nilai permeabilitas uap air

yang lebih besar daripada sorbitol. Sependapat dengan hal itu, Wirawan dkk.

(2012) juga menyatakan bahwa gliserol merupakan plasticizer dengan

kemampuan memperlebar ruang kosong antar polimer yang terbesar dibandingkan

plasticizer lainnya.

Pembuatan edible film yang menggunakan bahan gelatin tulang ikan nila

masih terdapat kekurangan sifat fungsional dibanding gelatin yang menggunakan

bahan kulit sapi atau babi. Sehingga ditambahkan karagenan untuk memodifikasi

jaringan polimer dengan ikatan silang atau cross linking pada rantai-rantai

polimernya yang berfungsi meningkatkan sifat fisik dan cross linking (Pranoto

dkk., 2006). Menurut Hasdar dkk. (2011) cross linking bisa terjadi antara dua

protein yang berbeda sumber melalui proses pemanasan, kimia, atau enzimatis.

Bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada pembuatan

edible film dari gelatin ikan adalah karagenan (Pranoto dkk., 2006).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan dalam

pembuatan edible film dapat menggunakan dari bahan gelatin. Sehingga dalam

penelitian ini akan melakukan kajian penambahan karagenan dan gliserol pada

sintesis edible film dari gelatin tulang ikan nila (Oreochomis nilotticus) yang
5

berfungsi memperbaiki sifat mekanik serta memvariasikan konsentrasi gelatin

untuk mengetahui karakterisasi terbaik dari edible film dengan bahan tulang ikan

nila.

1.2 Identifikasi Masalah

1.2.1 Masih banyaknya limbah industri pengolahan ikan yang belum

dimanfaatkan secara optimal, salah satunya limbah tulang.

1.2.2 Bahan baku pembuatan gelatin yang berasal dari mamalia seringkali

menimbulkan masalah bagi beberapa agama.

1.2.3 Edible film yang dihasilkan dari gelatin ikan akan mempunyai sifat

fungsional yang lebih rendah daripada gelatin yang bersumber dari

mamalia, sehingga perlu adanya bahan tambahan untuk meningkatkan

sifat fungsional edible film dari gelatin tulang ikan nila.

1.3 Pembatasan Masalah

1.3.1 Gelatin yang digunakan berasal dari limbah tulang ikan nila.

1.3.2 Tulang ikan nila didapatkan dari tambak kecamatan Kayen Pati.

1.4 Perumusan Masalah

1.5.1 Bagaimana karakteristik edible film dengan konsentrasi gelatin dan

karagenan yang terbaik ?

1.5.2 Bagaimana pengaruh konsentrasi konsentrasi gelatin dan karagenan

terhadap sifat mekanik edible film ?

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Mengetahui karakteristik edible film dengan konsentrasi gelatin dan

karagenan yang terbaik.


6

1.5.2 Mengetahui pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap sifat

mekanik edible film.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan edible film dengan

karakteristik yang terbaik berdasarkan variasi konsentrasi gelatin dan

karagenan.

1.6.2 Edible film diharapkan dapat menjadi alternatif bahan pengemas makanan

yang biodegradable.

1.6.3 Memaksimalkan pemanfaatan limbah tulang ikan nila yang belum optimal.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Tulang Ikan Nila

Ikan nila (Oreochomis nilotticus) merupakan jenis ikan air tawar yang

memiliki ciri khas berupa garis vertilkal berwarna gelap pada sirip ekor, sirip

punggung, dan sirip dubur dan panjang dapat mencapai 30 cm. Ikan nila tergolong

ikan yang mudah untuk dibudidayakan karena memiliki toleransi terhadap

lingkungan (dapat hidup di air tawar dan payau pada pH 5-11), pertumbuhan

cepat, mudah untuk dikembang biakan, tergolong hewan pemakan segala

(omnivora), serta tahan hidup dalam air yang memiliki kekurangan oksigen

(Khairuman dan Amri, 2008). Dengan segala kemudahan pembudidayaan ikan

nila maka produk yang didapatkan melimpah serta menjadikan Indonesia sebagai

pengekspor ikan nila terbesar setelah Cina (Julianto dkk., 2011). Produk ikan nila

diekspor ke berbagai negara antara lain Jepang, Singapura, Hongkong, Eropa,

bahkan Amerika Serikat memiliki permintaan per tahunnya berkitar 90 juta ton

(Julianto dkk., 2011). Hal ini mengindikasikan banyaknya industri pengolahan

hasil perikanan yang ada di Indonesia, sehingga limbah yang dihasilkan juga

berlimpah.

Menurut Kasim (2013) hampir 30% dari total tubuh ikan merupakan

tulang, sisik, dan kulit mengandung kolagen yang dapat digunakan untuk

memproduksi gelatin. Sependapat dengan hal tersebut Wijaya dkk. (2015)

menyatakan tulang ikan merupakan salah satu limbah industri pengolahan ikan

7
8

yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin, karena tulang

mengandung cukup banyak kolagen.

Choi dan Regenstein (2000), berpendapat bahwa sisik, tulang, kulit, dan

gelembung renang ikan adalah limbah hasil dari produk industri pengolahan ikan

yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku gelatin karena limbah yang

dihasilkan dalam jumlah banyak sehingga dapat memberikan keuntungan dan

tambahan penghasilan secara ekonomi.

Gambar ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat dilihat pada Gambar 2.1

Klasifikasi ikan nila menurut Armi dan Khairuman (2003) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Sub-kelas : Acantophterigii

Ordo : Percomorphi

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Gambar 2.1 Ikan nila (Oreochromis niloticus) (Armi dan Khairuman 2003)
9

2.2 Kolagen

Kolagen merupakan komponen struktur utama dari jaringan pengikat

meliputi 30% dari total protein pada jaringan organ tubuh vertebrata dan

invertebrata (Darmanto dkk., 2012). Pada ikan, kolagen terdapat pada kulit, tulang

dan kartilago. Kolagen merupakan protein yang terdiri dari serat yang disebut

fibril kolagen. Fibril ini terorganisasi dengan cara yang berbeda-beda, tergantung

pada fungsi biologis jaringan pengikat (Katili, 2009).

Kolagen dapat larut dalam pelarut alkali maupun asam (Rahayu dkk.,

2015). Akan tetapi pelarut yang baik digunakan adalah larutan asam karena

mampu mengubah serat kolagen triple-helix menjadi rantai tunggal (Rahayu dkk.,

2015). Perendaman dengan larutan asam bertujuan untuk proses demineralisasi

atau menghilangkan garam kalsium dan mineral lain yang terdapat dalam tulang

(Rahayu dkk., 2015). Larutan asam yang biasa digunakan dalam perendaman

adalah asam klorida (Wiyono, 2001). Reaksi yang terjadi saat proses

demineralisasi dengan larutan HCl adalah:

Ca3(PO4)2 + 6HCl 3CaCl2 + 2H3PO4 ........... (1)

Pada reaksi demineralisasi tulang ikan menghasilkan garam kalsium

terlarut. Akibat terlarutnya kalsium maka tekstur dari tulang ikan akan menjadi

lunak atau biasa disebut ossein (Rahayu dkk., 2015).

Konversi kolagen menjadi gelatin yang bersifat larut dalam air merupakan

transformasi dalam pembuatan gelatin (Poppe, 1992). Kolagen dikonversi menjadi

gelatin dengan proses Munda, 2013). Reaksi yang terjadi adalah :

C102H146N31O38 + H2O C102H151N31O39 ..........(2)


10

Kolagen memiliki struktur triple heliks yang terdiri dari glysin, proline dan

hidroksi proline, tetapi tidak mengandung sistein, sistin dan tripthopan (Darmanto,

2012).

2.3 Gelatin

Gelatin merupakan senyawa turunan protein yang didapatkan dari

hidrolisis kolagen pada tulang, kulit, maupun tulang rawan hewan. Gelatin berasal

dari bahas latin “gelatus” yang memiliki arti kuat/kokoh atau dibuat beku. Secara

fisik gelatin memiliki bentuk padat, tidak berasa, kering, dan transparan

(Purwitasari, 2008). Gelatin merupakan derivet protein dari serat kolagen yang

terdapat pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Gelatin larut dalam air, asam asetat,

dan pelarut alkohol seperti gliserol tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton,

benzen, dan petroleum eter (Rahayu dkk., 2015). Gelatin berasal dari kolagen

yang merupakan penyusun jaringan ikat dan tulang hewan vertebrata. Kolagen

mengandung asam amino yang tinggi yaitu prolin dan hidroksipirolin (GMIA,

2012).

Asam-asam amino saling terikat melalui ikatan peptida membentuk

gelatin. Susunan asam amino gelatin berupa Gly-X-Y dimana X umumnya asam

amino prolin dan Y umumnya asam amino hidroksiprolin (Poppe, 1992). Struktur

kimia gelatin dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Struktur kimia gelatin (Poppe, 1992)


11

Menurut Tazwir dkk. (2007) proses pembuatan gelatin dibagi menjadi dua

yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses tersebut berada pada

proses perendaman. untuk proses asam dapat mengubah serat kolagen triple heliks

menjadi rantai tunggal, sedangkan proses basa hanya mampu menghasilkan rantai

ganda. Gelatin yang bahan dasarnya dari tulang ikan lebih baik menggunakan

proses asam dibandingkan dengan proses basa karena proses asam mampu serat

kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal. Selain itu keuntungan dari proses

asam adalah persiapan bahan baku memerlukan waktu relatif singkat, dan biaya

lebih murah (Agustin, 2015). Akan tetapi perendaman dalam larutan asam yang

terlalu lama akan meyebabkan kolagen larut pada asam sehingga dibutuhkan

waktu yang optimal yaitu sekitar lima jam (Rahayu dkk., 2015). Menurut Wiyono

(2001) asam yang biasa digunakan dalam proses demineralisasi adalah asam

klorida dengan konsentrasi 4-7 %. Gelatin dapat mengalami denaturasi pada suhu

diatas 80oC, sehingga suhu pemanasan yang diperbolehkan untuk gelatin adalah

49-70oC (Montero dan Gomez, 2000). Pada proses degreassing suhu yang

diperbolehkan adalah suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin

tulang yaitu 32-80oC (Karlina dan Atmaja, 2009).

Gelatin tidak berasa, tidak berbau dan berwarna kuning pudar. Gelatin

mengandung 13% kelembaban dan memiliki kisaran kerapatan relatif 1,3-1,4.

Perilaku larutan gelatin dipengaruhi oleh suhu, pH, kadar abu, metode pembuatan

dan konsentrasi (GMIA, 2012). Oleh karena itu penggunaan gelatin sangat luas.

Pada bidang makanan, anatara lain sebagai agen pembentuk gel, pengental,

pengemulsi, pembentuk busa, dan edible film. Pada bidang farmasi antara lain
12

pembuatan kapsul lunak dan keras. Pada umumnya gelatin terbuat dari kulit

mamalia, seperti sapi dan babi. Akan tetapi agama islam dan hindu tidak dapat

mengkonsumsi bahan makanan yang memiliki kandungan babi dan sapi. Hal

tersebut menjadikan gelatin dari tulang ikan merupakan bahan alternatif untuk

menghasilkan gelatin yang dapat dimakan semua orang (Pranoto dkk., 2006).

Pranoto dan Doddy (2013) telah melakukan penelitian edible film dari

gelatin kulit ikan nila dengan variasi berat gelatin 3 g, 6 g, 9 g sehingga pada

penelitian ini diambil variasi berat gelatin 10 g, 13 g, 16 g

2.4 Edible Film

Edible film merupakan kemasan makanan berupa lapisan tipis yang dapat

dikonsumsi secara langsung bersama makanan. Edible film berfungsi sebabagi

penghalang (barrier) terhadap tranfer massa (kelembaban, oksigen, cahaya, gas

volatil, lipida, dan zat pelarut), pembawa aditif, vitamin, mineral, antioksidan,

antimikroba, pengawet, dan melindungi dari kerusakan fisik, kimia dan

mikrobiologi (Ningsih, 2015). Menurut Handayani dan Wijayanti (2015) Bahan

alam yang dapat digunakan untuk pembuatan edible film adalah pati, selulosa,

kolagen, kasein, protein, atau lipid yang terdapat pada hewan. Pengembangan

metode proses pembuatan edible film bertujuan untuk menghasilkan edible film

yang memiliki keunggulan yang lebih baik dan mudah diterapkan pada industri

pangan.

Komponen utama penyusun edible film terbagi menjadi tiga kelompok,

yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid dapat dibuat dari senyawa

protein, polisakarida, alginat, pekin, karagenan, pati, gelatin, jagung, kedelai,


13

wheat, kasein, kitosan, dan kolagen. Lipida dapat dibuat dari lilin (wax), asil

gliserol, asam lemak, serta emulsifier. Komposit dapat dibuat dari perpaduan

antara bahan hidrokoloid dan bahan lipida (Handito, 2011).

Aplikasi edible film sebagai bahan pengemas pangan yang sudah banyak

digunakan untuk kemasan produk buah-buahan segar, sosis, daging, ayam beku,

produk hasil laut, dan pangan semi basah. Keunggulan edible film yang digunakan

untuk bahan pengemas pangan yaitu dapat menurunkan aktivitas air permukaan

produk sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh mikroorganisme dapat

dihindari, memperbaiki struktur permukaan bahan menjadi mengkilat,

mengurangi kontak oksigen, mengurangi terjadinya dehidrasi, sifat asli flavor

tidak mengalami perubahan, serta memperbaiki penampilan produk (Santoso dkk.,

2013).

2.5 Gliserol

Gliserol merupakan salah satu plasticizer yang ditambahkan ke dalam

bahan pembentuk edible film. Penggunaan gliserol dapat meningkatkan

fleksibilitas, menurunkan gaya intermolekuler sepanjang rantai polimernya,

sehingga edible film akan lentur dan plastis (Ningsih, 2015). Gliserol merupakan

senyawa yang mudah ditemukan pada lemak hewan atau lemak nabati sebagai

ester gliseril pada asam palmitat dan oleat. Gliserol adalah senyawa yang netral,

dengan rasa manis tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 20 oC dan

memiliki titik didih yang tinggi yaitu 290oC. Gliserol dapat larut sempurna dalam

air dan alkohol, tetapi tidak dalam minyak. (Yusmarlela, 2009).


14

Gliserol (1,2,3 propanetriol) merupakan cairan yang memiliki ciri tidak

berwarna, tidak berbau dan merupakan cairan kental yang memiliki rasa manis

(Pagliaro dan Rossi, 2008). Gliserol merupakan molekul hidrofilik dengan berat

molekul rendah, mudah masuk kedalam rantai protein dan dapat menyusun ikatan

hidrogen dengan gugus reaktif protein. Sifat-sifat tersebut yang membuat gliserol

dapat dijadikan sebagai plasticizer (Ningsih, 2015).

Gliserol efektif digunakan plasticizer pada film hidrofilik, seperti pektin,

pati, gel, dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis protein

(Gontard dkk., 1993). Penambahan gliserol dapat membuat karakteristik film

menjadi lebih fleksibel, halus dan meningkatkan kelarutan (Astuti dkk., 2014).

Penambahan gliserol sebagai plasticizer harus diminimalkan karena menurut

Wirawan dkk. (2012) beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa plasticizer

dapat meningkatkan permeabilitas uap air. Hal tersebut dapat terjadi karena

gliserol memiliki kemampuan untuk memperlebar ruang kosong antar molekul

yang berakibat pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antar rantai

protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati film gluten dilaporkan

meningkat seiring dengan peninggkatan kadar gliserol dalam film karena adanya

penurunan kerapatan antar molekul protein (Gontard dkk., 1993).

2.6 Karagenan

Karagenan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau

larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah).

Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium,

natrium, magnesium, dan kalium sulfat, dengan galaktosa dan 3,6-anhidro-


15

galaktosa (Romenda dkk., 2013). Karagenan memiliki sifat transparan, kuat,

bersih, dan fleksibel meskipun berada di kelembaban yang rendah. Antioksidan,

antimikroba, dan antibiotik juga dapat dikombinasikan dengan karagenan untuk

meningkatkan waktu kadaluarsa (Talens dkk., 2011).

Karagenan juga berfungsi sebagai cross linking agent. Ikatan silang (Cross

linking) diperlukan untuk mengurangi laju transmisi uap air. Tingginya laju

transmisi uap air disebabkan oleh lemahnya matrik pada edible film yang

menyebabkan molekul dapat bergerak bebas (Santoso dan Pranoto, 2013). Pranoto

dan Doddy (2013) juga menyatakan bahwa edible film yang dibuat dari gelatin

ikan lebih rendah sifat fungsionalnya dalam hal ini laju transmisi uap air sehingga

diperlukan penambahan karagenan sebagai cross lingking agent.

Athukorala dkk. (2003) menyatakan bahwa ekstrak rumput laut yaitu

karagenan mengandung senyawa fenol dan berpotensi menjadi cross linking

agent. Senyawa fenol dapat berikatan dengan rantai samping polipeptida pada

gelatin membentuk ikatan silang dengan cincin fenolik. Rantai – rantai

polipeptida yang terhubung melalui ikatan silang tersebut membentuk jaringan

yang berliku – liku bagi molekul air untuk melewatinya sehingga menyebabkan

nilai laju uap air turun (Pranoto dan Doddy, 2013). Selain itu, karagenan dipilih

karena karagenan juga merupakan salah satu bahan pembentuk film, karagenan

juga memiliki sifat gel yang baik serta aman dikonsumsi. Penambahan karagenan

diharapkan dapat meningkatkan kualitas edible film gelatin tulang ikan nila.

Struktur kimia karagenan dapat dilihat pada Gambar 2.3.


16

Gambar 2.3 Struktur Kimia Karagenan (Peranginangin dkk., 2013)

Aplikasi karagenan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya sebagai

pembentuk gel pada temperatur ruang, stabilisator pada eskrim, pembentuk gel

pada jeli dan puding serta pelapis produk daging, dan pelapis bahan pangan atau

bahan pembentuk edible film (Handito, 2011). Pranoto dan Doddy (2013) telah

melakukan penelitian edible film dari gelatin kulit ikan nila dengan variasi

konsentrasi karagenan 0%, 2%, 4% dari berat gelatin, sehingga pada penelitian ini

diambil variasi konsentrasi karagenan 0%, 3%, 6%.

2.7 Sifat Mekanik

Sifat mekanik edible film merupakan faktor utama dalam karakteristik

edible film dalam aplikasinya sebagai kemasan (Ulfah dan Nugraha, 2014). Sifat

mekanik edible film terdiri dari kuat tarik (Tensile strenght), perpanjangan

(Elongasi ), dan Elastisitas (Modulus young). Tabel 2.1 merupakan standar

minimal sifat mekanik edible film menurut Japanese Industrial Standart.

Tabel 2.1 Data Japanese Industrial Standart pada sifat mekanik edible film

Sifat Mekanik Nilai Standar Minimal


Kuat Tarik (Tensile Strenght) 3,92266 MPa
Perpanjangan (Elongasi) 10%
Elastisitas (Modulus Young) 0,35 Mpa
(Ariska dan Suyanto, 2015)
17

2.7.1 Kuat Tarik (Tensile Strength)

Kuat tarik (tensile strength) merupakan suatu pengukuran terhadap sifat

mekanik edible film. Kuat tarik (tensile strength) adalah tarikan maksimum yang

dapat dicapai sampai edible film dapat tetap bertahan sebelum edible film putus

atau robek. Pengukuran kuat tarik (tensile strength) berguna untuk mengetahui

besarnya gaya yang dapat dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap

satuan luas area edible film untuk merenggang atau memanjang (Anandito dkk.,

2012). Edible film yang memiliki kekuatan tarik (tensile strength) tinggi dapat

melindungi produk yang dikemas dari gangguan mekanis dengan baik (Fardhyanti

dan Julianur, 2015).

2.7.2 Perpanjangan (Elongasi)

Perpanjangan (elongasi) pada saat putus menunjukan perubahan panjang

film maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus dibandingkan

dengan panjang awal (Sinaga, 2013). Pemanjangan (elongasi) dikategorikan baik

apabila nilai perpanjangannya lebih dari 50% dan kategorikan buruk apabila nilai

perpanjanganya kurang dari 10% (Fardhyanti dan Julianur, 2015). Edible film

yang memiliki nilai perpanjangan (elongasi) tinggi menunjukan Edible film yang

lebih fleksibel (Ariska dan Suyanto, 2015).

2.7.3 Elastisitas (modulus young)

Nilai elastisitas (modulus young) merupakan ukuran dasar dari kekakuan

(stiffness) dalam sebuah film (Hikmah, 2015). Elastisitas dilakukan untuk

mengetahui ukuran kekakuan bahan yang dihasilkan. Elastisitas dapat diketahui

dengan cara membandingkan antara nilai kuat tarik yang didapatkan dengan nilai
18

perpanjangan (elongasi ) yang dihasilkan (Febianti dkk., 2015). Nilai elastisitas

berbanding lurus dengan kuat tarik (tensile strength) dan berbanding terbalik

dengan nilai perpanjangan (elongasi) (Ariska dan Suyatno 2015). Nilai elastisitas

(modulus young) yang tinggi dapat melindungi dan melapisi produk dengan baik

(Ariska dan Suyatno, 2015).

2.8 Ketebalan

Ketebalan adalah salah satu parameter penting yang berpengaruh terhadap

kualitas edible film. Ketebalan berkaitan dengan kemampuan edible film untuk

melindungi produk pangan. Secara umum ketebalan berpengaruh terhadap kuat

tarik, perpanjangan dan laju transmisi uap air (Ningsih, 2015). Batas maksimal

nilai ketebalan edible film menurut Japanese Industrial Standart adalah 0,25 mm

(Ariska dan Suyatno, 2015). Nilai ketebalan edible film yang mendekati batas

maksimal akan menghambat laju gas dan uap air sehingga daya simpan produk

semakin lama (Yulianti dan Erliana, 2012).


BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian tentang karakteristik edible film dari gelatin tulang ikan nila

(Oreochomis nilotticus) dengan pemambahan karagenan untuk memperbaiki sifat

mekanik serta variasi konsentrasi gelatin untuk mengetahui karaketristik terbaik

dari edible film dengan bahan gelatin tulang ikan nila dilakukan dalam rangka

penyusunan proposal skripsi.

3.1 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang dilakukan di

Laboratorium Teknik Kimia Universitas Negeri Semarang, dengan menggunakan

3 tahap :

3.1.1 Tahap 1 yaitu mempersiapkan gelatin yang berasal dari tulang ikan nila.

3.1.2 Tahap 2 yaitu sintesis edible film dari gelatin tulang ikan nila dengan

penambahan plasticizer berupa gliserol sebesar 30% v/w dan karagenan

sebesar 0%, 3%, 6% w/w.

3.1.3 Tahap 3 yaitu menganalisis karakteristik edible film yang meliputi

ketebalan edible film dan sifat mekanik edible film.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Terpadu Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.

3.3 Bahan

Pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa tulang ikan nila yang

diperoleh dari tambak ikan nila yang berada di kecamatan Kayen Pati. Bahan yang

19
20

lainnya adalah gliserol teknis kemurnian 99,9% yang akan diperoleh dari

PT.Merck Tbk, karagenan yang akan diperoleh dari toko online pesona green

(buka lapak), aquades dari toko bahan kimia Indrasari, Asam klorida 5% yang

akan diperoleh dari Laboratorium Terpadu Teknik Kimia Universitas Negeri

Semarang.

3.4 Alat

Alat yang digunakan dalam pembuatan gelatin tulang ikan nila :

a. Ball filler n. Loyang alumunium

b. Baskom o. Oven

c. Blender p. Panci

d. Botol kaca q. Penggaris

e. Corong buchner r. Pipet ukur 25 ml

f. Corong kaca s. Pipet volume 50 ml

g. Gelas beaker 1000 ml t. Piring plastik

h. Gelas beaker 250 ml u. Termometer

i. Gunting v. Timbangan analitik

j. Hot plate w. Toples

k. Indikator pH x. Waterbath

l. Kertas saring

m. Labu takar 250 ml

Alat yang digunakan pembuatan Edible film :

a. Ball filler c. Gelas arloji

b. Corong kaca d. Gelas beaker 250 ml


21

e. Hot plate

f. Kondensor

g. Labu alas datar leher 2

h. Labu takar 250 ml

i. Loyang alumunium

j. Magnetic stirrer

k. Oven

l. Pengaduk kaca

m. Pipet ukur 25 ml

n. Plat kaca

o. Sendok

p. Spatula

q. Statif dan klem

r. Timbangan analiti
22

3.5 Prosedur Kerja

Aplikasi pembuatan edible film dari tulang ikan nila menggunakan metode

experimental laboratories. Bahan baku edible film pada penelitian ini berasal dari

gelatin tulang ikan nila (Oreochomis nilotticus). Tahapan penelitian ini terdiri dari

pembuatan gelatin dan pembuatan edible film.

3.5.1 Pembuatan gelatin

3.5.1.1 Pretreatment tulang ikan

a) Limbah tulang ikan dibersihkan menggunakan air bersih sampai

kotoran yang menempel hilang

b) Limbah tulang ikan yang telah bersih kemudian di degrassing

(perebusan) selama 10 menit dengan suhu 70oC

c) Limbah tulang ikan yang telah di degrassing (perebusan) dan

dibersihkan dari kotoran yang menempel kemudian dibiarkan dingin

selama beberapa menit.

d) Limbah tulang ikan yang telah dikeringkan kemudian potong dengan

ukuran 1,5-2 cm

3.5.1.2 Gelatenisasi tulang ikan

Cara kerja pembuatan gelatin mengikuti penelitian Rahayu dkk. (2015)

a) Limbah tulang ikan yang telah dipotong dengan ukuran 1,5-2 cm

kemudian direndam menggunakan asam klorida dimana banyaknya

tulang ikan dibandingkan dengan larutan perendaman asam klorida

adalah 1:5 dengan menggunakan konsentrasi asam klorida 5% dengan

lama perendaman 36 jam hingga terbentuk ossein.


23

b) Limbah tulang ikan yang telah direndam menggunakan asam klorida

kemudian dicuci hingga pH 4-5

c) Limbah tulang ikan yang telah menunjukan terbentuknya ossein dan

pH telah mencapai 4-5 kemudian diekstraksi dengan aquades 1:3

(w/v) pada suhu 55oC selama 5 jam

d) Limbah tulang ikan yang telah di ekstraksi kemudian disaring dan

diuapkan menggunakan Rotary evaporator dengan suhu maksimal

55oC.

e) Hasil dari Rotary evaporator kemudian di oven pada suhu 55oC

selama 24 jam sampai terjadi lembaran gelatin

f) Lembaran gelatin kemudian diblender hingga menjadi serbuk gelatin.

3.5.2 Pembuatan edible film tulang ikan

Cara kerja pembuatan edible film mengikuti penelitian Pranoto dan Doddy

(2013)

a) Limbah tulang ikan yang telah menjadi gelatin (sesuai konsentarsi

perlakuan) diambil kemudian ditambahkan karagenan (sesuai

konsentrasi perlakuan) dan larutkan dengan aquades

b) Ditambahkan gliserol 30% (w/w) dan diaduk hingga tercampur

c) Ditambahkan aquades hingga 150 ml

d) Diaduk sampai suhu mencapai 55oC selama 30 menit

e) Larutan edible film dituangkan dalam plat kaca yang berukuran 20X20

cm
24

f) Kemudian dioven pada suhu 55oC selama 24 jam hingga terbentuk

lembaran edible film

3.6 Uji Sifat Mekanik Film

3.6.1 Uji ketebalan

Ketebalan film yang dihasilkan diukur menggunakan alat mikrometer

digital dengan ketelitian 0,001 mm pada 5 tempat yang berbeda. Kemudian hasil

pengukuran dirata-rata sebagai hasil ketebalan film (Nofiandi dkk., 2016).

Menurut Japanese Industrial Standart maksimal ketebalan edible film yaitu 0,25

mm (Ariska dan Suyatno, 2015).

3.6.2 Uji tarik (tensile strength)

Uji Tarik (tensile strength) adalah ukuran kekuatan (tarikan) maksimum

yang bisa ditahan suatu benda ketika direnggangkan atau ditarik sebelum film

tersebut putus atau sobek (Fatma, dkk., 2016). Pengujian ini untuk mengetahui

besarnya gaya yang diperlukan untuk mencapai tarikan maksimum. Semakin

tinggi gaya yang diproduksi maka kekuatan tariknya akan semakin besar. Edible

film yang memiliki kekuatan tarik tinggi akan melindungi produk yang dikemas

dari gangguan mekanis dengan baik (Fardhyanti dan Julianur, 2015).

Proses pengujian kekuatan tarik dilakukan di Lab. Terpadu Undip

menggunakan alat Brookfield CT 03 4500. Pengujian dilakukan dengan cara

ujung sampel dijepit mesin penguji tensile.


𝐹
Kuat tarik (Mpa) = 𝐴

Keterangan: F = tegangan maksimum (N)

A = luas penampang melintang (mm2)


25

(Rusli dkk., 2017)

Japanese Industrial Standart dalam Ariska dan Suyatno (2015)

menyebutkan bahwa standart nilai minimal kuat tarik edible film 3,92266 Mpa.

3.6.3 Uji perpanjangan (Elongation)

Persentase perpanjangan (Elongation) merupakan persen pertambahan

panjang film maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus

dibandingkan dengan panjang awalnya. Persentase pemanjangan dikatakan baik

jika nilainya lebih dari 50% dan dikatakan buruk jika nilainya kurang dari 10%

(Fardhyanti dan Julianur, 2015)

Pengukuran perpanjangan putus dilakukan dengan cara yang sama dengan

pengujian kuat tarik. Perpanjangan dinyatakan dalam persentase, dihitung dengan

cara:

𝑏−𝑎
Elongasi (%) = × 100%
𝑎

Keterangan: a = Panjan awal edible film

b = Panjang akhir edible film

(Rusli dkk., 2017)

3.6.4 Uji elastisitas (modulus young)

Nilai pemanjangan menunjukkan elastisitas dari suatu bahan. Semakin tinggi nilai

pemanjangan bahan, maka bahan tersebut semakin elastis. Nilai pemanjangan

yang tinggi dapat melindungi dan melapisi edible film dengan baik. Standart nilai

minimal pemanjangan edible film yaitu 0,35 Mpa (Ariska dan Suyatno, 2015).

Besar elastisitas diperoleh dari perbandingan kuat tarik dengan pemanjangan

suatu bahan (Setiani dkk., 2013).


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi gelatin dan

karagenan terbaik untuk pembuatan edible film dari gelatin tulang ikan nila. Pada

penelitian ini digunakan gelatin yang berasal dari tulang ikan nila sebagai bahan

baku karena limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan hasil ikan nila

berlimpah. Berdasarkan penelitian sebelumnya, bahan baku edible film sering

dibuat dari gelatin limbah kulit ikan nila, sehingga inovasi baru yaitu pembuatan

edible film dari gelatin limbah tulang ikan nila dimana limbah dan karakteristik

edible film dari gelatin tulang ikan nila dapat dioptimalkan. Oleh karena itu, pada

penelitian ini menggunakan kombinasi perlakuan konsentrasi gelatin dan

karagenan dengan penambahan plasticizer berupa 30% gliserol v/w menghasilkan

9 perlakuan dengan pengkodean sebagai berikut :

G1K1 : 10 gram gelatin, dan 0% karagenan w/w

G1K2 : 10 gram gelatin, dan 3% karagenan w/w

G1K3 : 10 gram gelatin, dan 6% karagenan w/w

G2K1 : 13 gram gelatin, dan 0% karagenan w/w

G2K2 : 13 gram gelatin, dan 3% karagenan w/w

G2K3 : 13 gram gelatin, dan 6% karagenan w/w

G3K1 : 16 gram gelatin, dan 0% karagenan w/w

G3K2 : 16 gram gelatin, dan 3% karagenan w/w

G3K2 : 16 gram gelatin, dan 6% karagenan w/w

26
27

Penetapan variabel ini berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan

sebelumnya dengan bahan baku berbeda dan range yang berbeda.

4.2 Analisis Data

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan didapatkan hasil edible film

yang kemudian akan dianalisis karakteristik edible film. Analisis karakteristik

edible film dengan melakukan pengukuran ketebalan, tensile strength, elongasi,

dan elastisitas (modulus young) untuk diperoleh edible film dengan sifat

karaktristik yang sesuai dengan standard edible film.

4.3 Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap karakteristik

edible film

4.3.1.1 Pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap ketebalan edible

film

Ketebalan film merupakan karakteristik yang penting dalam menentukan

kelayakan edible film sebagai kemasan produk pangan karena ketebalan sangat

mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible film lainnya, misalnya kuat tarik,

pemanjangan (Ariska dan Suyatno 2015). Sampel diukur dengan menggunakan

mikrometer digital pada 5 tempat yang berbeda kemudian hasil pengukuran

dirata-rata sebagai hasil ketebalan film. Ketebalan dinyatakan dalam mm

sedangkan mikrometer digital yang digunakan memiliki ketelitian 0,001 mm

(Nofiandi dkk ,2016). Pengaruh penambahan konsentrasi gelatin dan karagenan

terhadap ketebalan edible film dapat dilihat pada Gambar 4.1.


28

0,5
Karagenan 0%
Karagenan 3%
Karagenan 6%
0,4

0,3
Ketebalan (mm)

0,2

0,1

0,0

10 gram 13 gram 16 gram


Berat Gelatin (gram)

Gambar 4.1. Pengaruh penambahan konsentrasi gelatin dan karagenan

terhadap ketebalan edible film

Gambar 4.1. terlihat bahwa edible film dari gelatin tulang ikan nila dengan

menambahkan plasticizer berupa gliserol dan memvariasikan penambahan

karagenan dengan konsentrasi yang berbeda–beda menunjukkan ketebalan

berkisar 0,208 – 0,409 mm. Gambar 4.1. menunjukan bahwa ada beberapa edible

film dari gelatin tulang ikan nila dengan penambahan karagenan dan gliserol

masih tergolong baik karena masih di bawah standart maksimal ketebalan edible

film. Menurut Japanese Industrial Standart maksimal ketebalan edible film yaitu

0,25 mm (Ariska dan Suyatno, 2015). Sampel yang memenuhi standart ketebalan

edible film adalah G1K1 dengan ketebalan 0,206 mm, G1K2 dengan ketebalan

0,212 mm, G1K3 dengan ketebalan 0,227 mm. Sedangkan edible film yang

memiliki ketebalan > 0,25 mm dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain

perbedaan konsentrasi bahan pembuat film, sedangkan volume larutan yang


29

dituangkan dalam masing-masing plat sama (Anandito dkk., 2012). Hal ini juga

dikarenakan proses pemerataan film sebelum pengeringan tidak merata

(Amaliyah, 2014). Edible film dapat diatur ketebalannya dari jumlah larutan yang

dituangkan pada cetakan dan luas area cetakan yang digunakan. Semakin banyak

volume larutan edible film yang dituangkan maka edible film yang didapatkan

akan semakin tebal, hal ini dikarenakan total padatan pada larutan edible film akan

semakin besar (Bourtoom, 2008). Hasil penelitian didapatkan nilai ketebalan

terbaik pada sampel G1K3 sebesar 0,227 mm. Hal ini dikarenakan semakin tebal

edible film yang dihasilkan maka akan menghambat laju gas dan uap air sehingga

daya simpan produk semakin lama (Yulianti dan Erliana, 2012).

Gambar 4.1. terlihat bahwa seiring dengan penambahan konsentrasi gelatin

dan karagenan meningkat pula hasil ketebalan yang dihasilkan. Hal ini sesuai

pada penelitian Handito (2011) bahwa semakin tinggi konsentrasi karagenan yang

digunakan,sehingga meningkatkan total bahan padatan terlarut yang ada dalam

larutan pembentuk film. Peningkatan ketebalan edible film juga terkait dengan

sifat senyawa koloid yang unik sebagai pengental dan pensuspensi, serta adanya

interaksi antar komponen penyusun edible film. Hasil tersebut juga sesuai dengan

penelitian Rusli dkk. (2017) bahwa peningkatan ketebalan yang dikarenakan

pengaruh konsentrasi gliserol juga disebabkan karena molekul gliserol akan

menempati rongga dalam matriks edible film dan berinteraksi dengan molekul

karagenan untuk membentuk polimer yang menyebabkan peningkatan jarak antar

polimer molekul karagenan sehingga meningkatkan ketebalan edible film.


30

4.3.2 Pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap sifat mekanik

edible film

Uji sifat mekanik edible film terdiri dari uji kuat tarik (Tensile strenght),

perpanjangan (Elongasi ), dan Elastisitas (Modulus young). Uji tersebut dilakukan

dengan menggunakan alat Brookfield CT03 4500.

4.3.2.1 Kuat tarik (tensile strength) edible film

Kuat tarik merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai edible

film dapat tetap bertahan sebelum edible film putus atau robek. Pengukuran kuat

tarik berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dapat dicapai untuk mencapai

tarikan maksimum pada setiap satuan luas area edible film untuk merenggang atau

memanjang (Anandito dkk., 2012). Kuat tarik merupakan salah satu

sifat mekanik edible film yang sangat penting, karena terkait dengan kemampuan

edible film untuk melindungi produk yang dilapisi. Pengaruh konsentrasi gelatin

dan karagenan terhadap sifat kuat tarik suatu edible film ditunjukkan pada

Gambar 4.2.
31

22
Karagenan 0%
Karagenan 3%
Karagenan 6%
20

18
Kuat tarik (MPa)

16

14

12

10

10 gram 13 gram 16 gram


Berat Gelatin (gram)

Gambar 4.2. Pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap sifat

kuat tarik edible film

Gambar 4.2. terlihat bahwa edible film dari gelatin tulang ikan nila dengan

menambahkan plasticizer berupa gliserol dan memvariasikan penambahan

karagenan yang berbeda-beda menunjukan nilai kuat tarik berkisar 10,675 – 21,5

MPa. Gambar 4.2. menunjukan bahwa secara umum nilai kuat tarik yang

dihasilkan telah memenuhi standar minimal nilai kuat tarik edible film

berdasarkan Japanese Industrial Standart yaitu 3,92266 Mpa (Ariska dan

Suyatno, 2015). Hasil penelitian didapatkan nilai kuat tarik terbaik pada sampel

G1K3 sebesar 21,5 MPa. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai kuat tarik

edible film maka akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari

gangguan mekanis (Rusli dkk., 2017)

Gambar 4.2. menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi karagenan

cenderung meningkatkan nilai kuat tarik edible film. Hal ini menunjukan bahwa
32

penambahan jumlah karagenan dalam pembuatan edible film menyebabkan ikatan

antar molekul penyusun edible film meningkat sehingga menghasilkan edible film

yang semakin kompak (Rusli dkk.,2017). Hasil tersebut juga didukung pada

penelitian Ariska dan Suyatno (2015) menyatakan bahwa semakin banyak

konsentrasi karagenan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film maka akan

membentuk matriks film yang semakin kuat, sehingga gaya yang dibutuhkan

untuk memutuskan edible film juga semakin besar.

Kuat tarik edible film yang mendapatkan tambahan gliserol memiliki

kecenderungan untuk turun, ini dikarenakan adanya penurunan interaksi antar

molekul bahan penyusun edible film. Penurunan ini disebabkan karena gliserol

dapat mengurangi ikatan hidrogen internal yang menyebabkan melemahnya gaya

tarik intermolekul rantai polimer yang berdekatan sehingga mengurangi daya

regang putus (Putra dkk., 2017). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Sinaga dkk.

(2013) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi gliserol akan

menyebabkan penurunan kuat tarik edible film. Hal ini disebabkan karena reduksi

interaksi intermolekuler rantai protein sehingga matriks film yang terbentuk akan

semakin sedikit.

4.3.2.2 Perpanjangan (elongation) Edible film

Perpanjangan (elongation) merupakan persen pertambahan panjang film

maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus dibandingkan dengan

panjang awalnya (Fardhyanti dan Julianur, 2015). Pengujian perpanjangan

dilakukan dengan membandingkan penambahan panjang yang terjadi dengan

panjang bahan sebelum dilakukan uji tarik (Arini dkk., 2017). Berikut merupakan
33

gambar pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap sifat perpanjangan

suatu edible film ditunjukkan pada Gambar 4.3.

40,5
Karagenan 0%
Karagenan 3%
Karagenan 6%

40,0
Perpanjangan (%)

39,5

39,0

38,5

10 gram 13 gram 16 gram


Berat Gelatin (gram)

Gambar 4.3. Pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap sifat

perpanjangan suatu edible film

Gambar 4.3., dapat dilihat hasil perpanjangan menunjukkan bahwa dengan

penambahan konsentrasi gelatin dan karagenan tidak menunjukan perbedaan yang

nyata. Nilai perpanjangan yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 39,3 – 39,9

%. Nilai perpanjangan edible film yang dihasilkan pada penelitian ini tergolong

baik karena berada diatas Japanese Industrial Standars yang menetapkan bahwa

persen pemanjangan dikategorikan jelek apabila kurang dari 10% dan

dikategorikan sangat baik apabila lebih dari 50% (Ariska dan Suyanto, 2015).

Hasil penelitian didapatkan nilai perpanjangan edible film terbaik berada pada

sampel G2K1 sebesar 39,9 %. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai

perpanjangan menunjukan film yang lebih fleksibel (Ariska dan Suyanto, 2015).
34

Gambar 4.3. menunjukan nilai perpanjangan tersebut cenderung naik

dikarenakan adanya penambahan gliserol dalam pembuatan edible film. Hal ini

dikarenakan gliserol dapat meningkatkan peregangan ruang intermolekul struktur

matriks edible film dan meningkatkan fleksibilitas, serta menurunkan jumlah

ikatan hidrogen sehingga dapat mengurangi kerapuhan dan tidak mudah pecah

(Ningsih, 2015). Hal ini sesuai dengan penelitian Huri dan Nisa (2014)

menyatakan bahwa gliserol dapat meningkatkan kemuluran edible film, selain itu

plasticizer sangat penting untuk mengatasi film yang rapuh dan meningkatkan

fleksibilitas. Plasticizer gliserol dapat berinteraksi dengan delatin, sehingga

membentuk ikatan gelatin-plasticizer, dimana ikatan ini dapat membentuk

peningkatan elastisitas. Poliol seperti gliserol berfungsi secara efektif sebagai

plasticizer berdasarkan kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen internal

dengan meningkatkan ruang kosong antar molekul, sehingga menurunkan

kekakuan dan meningkatkan fleksibilitas film (Gela, 2016).

Nilai perpanjangan edible film yang mendapatkan tambahan karagenan

memiliki kecenderungan menurun karena molekul karagenan akan membentuk

matriks film yang semakin bersifat tidak elastis atau mudah putus (getas), dan

akibatnya persentase perpanjangan edible film semakin menurun (Handito, 2011).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pranoto (2013) bahwa

nilai perpanjangan edible film selalu berbanding terbalik terhadap nilai kuat tarik,

karena semakin tinggi gaya yang diperlukan untuk menarik edible film maka akan

semakin rendah perpanjangan yang didapatkan.


35

4.3.2.3 Elastisitas (Modulus young ) Edible film

Nilai elastisitas (modulus young) merupakan ukuran dasar dari kekakuan

(stiffness) dalam sebuah film (Hikmah, 2015). Elastisitas (modulus young)

dilakukan untuk mengetahui ukuran kekakuan bahan yang dihasilkan. Modulus

young dapat diketahui dengan cara membandingkan antara nilai kuat tarik dengan

nilai perpanjangan (elongasi ) (Febianti dkk., 2015). Berikut merupakan gambar

pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap elastisitas (modulus young)

suatu edible film ditunjukkan pada Gambar 4.4.

0,6
Karagenan 0%
Karagenan 3%
Karagenan 6%
0,5

0,4
Elastisitas (MPa)

0,3

0,2

0,1

0,0

10 gram 13 gram 16 gram


Berat Gelatin (gram)

Gambar 4.4. Pengaruh konsentrasi gelatin dan karagenan terhadap elastisitas

(modulus young) suatu edible film

Gambar 4.4. terlihat bahwa edible film dari gelatin tulang ikan nila dengan

menambahkan plasticizer berupa gliserol dan memvariasikan penambahan

karagenan dengan konsentrasi yang berbeda–beda menunjukkan nilai elastisitas


36

(modulus young) yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 0,268 – 0,547

MPa. Gambar 4.4. menunjukan bahwa ada beberapa edible film dari gelatin tulang

ikan nila dengan penambahan karagenan dan gliserol masih tergolong baik

karena berada diatas standart minimal nilai elastisitas (modulus young) edible

film. Menurut Japanese Industrial Standart (1975) minimal nilai elastisitas

(modulus young) edible film yaitu 0,35 MPa (Ariska dan Suyatno, 2015). Sampel

yang memenuhi standart elastisitas (modulus young) edible film adalah G1K1

dengan nilai elastisitas (modulus young) 0,456 MPa, G1K2 dengan nilai elastisitas

(modulus young) 0,493 MPa, G1K3 dengan nilai elastisitas (modulus young)

0,547 MPa, G2K2 dengan nilai elastisitas (modulus young) 0,378 MPa, G2K3

dengan nilai elastisitas (modulus young) 0,406 MPa, G3K3 dengan nilai

elastisitas (modulus young) 0,358 MPa. Sedangkan edible film yang memiliki nilai

elastisitas (modulus young) < 0,35 MPa dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

antara lain dari proses pengadukan dilakukan secara manual yang hanya

menggunakan pengaduk kaca sehingga tidak meratanya campuran yang berada

dalam larutan (Arini dkk., 2017). Hasil penelitian didapatkan nilai elastisitas

(modulus young) terbaik pada sampel G1K3 sebesar 0,547 MPa. Hal ini

dikarenakan semakin tinggi nilai elastisitas (modulus young) maka dapat

melindungi dan melapisi produk dengan baik (Ariska dan Suyatno, 2015).

Gambar 4.4. menunjukan nilai elastisitas (modulus young) yang dihasilkan

menurun dengan bertambahnya konsentrasi gliserol. Semakin besarnya massa

karagenan maka nilai nilai elastisitas (modulus young) akan semakin besar.

Gliserol berfungsi untuk menurunkan gaya intermolekul dan meningkatkan


37

fleksibilitas film dengan memperlebar ruang kosong molekul dan melemahkan

ikatan hidrogen rantai polimer (Ariska dan Suyatno, 2015). Nilai elastisitas

(modulus young) berbanding lurus dengan kuat tarik (tensile strenght) dan

berbanding terbalik dengan nilai perpanjangan (elongasi) (Nahwi, 2016). Semakin

tinggi konsentrasi karagenan akan membentuk metriks film yang semakin kuat,

sehingga film semakin bersifat tidak elastis atau mudah putus (getas), dan

akibatnya nilai perpanjangan semakin menurun. Nilai elastisitas (modulus young)

merupakan kebalikan dari nilai perpanjangan, karena semakin menurun seiring

meningkatnya jumlah gliserol pada film. Nilai elastisitas (modulus young)

menurun berarti flesibilitas meningkat.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan kemajuan penelitian yang dilaksanakan maka dapat diperoleh

kesimpulan sebagai berikut :

1. Penambahan campuran plasticizer gliserol dan karagenan dalam gelatin

tulang ikan nila menghasilkan edible film dengan karakteristik ketebalan

(0,227 mm), kuat tarik (21,5 MPa), elongansi (39,9%) dan elastisitas

(0,547 MPa).

2. Campuran konsentrasi gelatin tulang ikan nila, plasticizer gliserol dan

karagenan berpengaruh terhadap sifat mekanik pada edible film. Semakin

besar konsentrasi gelatin dan karagenan maka ketebalan meningkat, kuat

tarik (tensile strenght) semakin menurun, nilai perpanjangan (elongasi)

cenderung meningkat, serta elastisitas (modulus young) yang cenderung

menurun.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan metode pencetakan yang lebih baik agar ketebalan edible

film disetiap sisi yang seragam.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap cara pengaplikasian edible

film sebagai pengemas makanan.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai edible film yang berbahan

dasar gelatin.

38
DAFTAR PUSTAKA

Agustin. 2013. “Gelatin Ikan: Sumber, Komposisi Kimia Dan Potensi


Pemanfaatannya”. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. Vol 1 (2).

Agustin. 2015. “Kajian Gelatin Kulit Ikan Tuna (Thunnus Albacares) Yang
Diproses Menggunakan Asam Asetat”. Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon. Vol 1 (5), 1186-1189

Amaliyah, D.M. 2014. Pemanfaatan Limbah Kulit Durian (Durio ziberthinus) dan
Kulit Cempedak (Artocarpus integer) sebagai Edible film. Jurnal Riset
Industri Hasil Hutan 6(1): 27-34

Anandito, R. Baskara Katri., Edhi Nurhadi., dan Akhmad Bukhori. 2012.


Pengaruh Gliserol Terhadap Karakteristik Edible Film Berbahan Dasar
Tepung Jali (Coix lacryma-jobi L.). Jurnal Teknoligi Hasil Pertanian,
5(2):17-23.

Armi, Khairul., dan Khairuman, 2003. Budidaya ikan nila secara intensif. Jakarta
Selatan: PT. Agromedia Pustaka. http:/books.google.co.id/books. [6
Februari 2018]

Arima. 2015. “Pengaruh Waktu Perendaman Dalam Asam Asetat Terhadap


Rendemen Gelatin Dari Tulang Ikan Nila Merah”. Jurnal Jurusan
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Arini, D., M. syahrul Ulum., Kasman. 2017. Manufacture and Testing of


Mechanical Properties on Durian Seed Flour Biodegradable Plastics.
Journal of Science and Technology, 6(3) : 276-283

Ariska, R.E., dan Suyatno. 2015. Pengaruh Konsentrasi Karagenan Terhadap Sifat
Fisik dan Mekanik Edible film dari Pati Bonggol Pisang dan Karagenan
dengan Plasticizer Gliserol. Prosiding Seminar Nasional Kimia.
Universitas Negeri Surabaya. Surabaya.

Astawan. 2003. “Pengaruh Jenis Larutan Perendam Serta Metode Pengeringan


Terhadap Sifat Fisik, Kimia, Dan Fungsional Gelatin Dari Kulit Cucut”.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.Vol 14 (1).

Astuti, Pudji., Erprihana, Asriningtyas.A. 2014. “Antimicrobacterial Edible Film


from Banana Peels as Food Packaging”. American Journal of Oil and
Chemichal Technologies, Vol. 2 (2): 2326-6570

Athukorala, Y., Lee, K.W., Song, C.B., Ahn, C.B., Shin, T.S., Cha, Y.J., Shahidi,
F. dan Jeon. 2003. “Potential Antioxidant Activity Of Marine Red Alga
Grateloupia Filicina Extracts”. Journal of Food Lipids 10: 251-265

39
40

Bourtoom, Thawein. 2008. Plasticizer effect on the properties of biodegradable


blend film from rice starch-chitosan. Journal of Science and
Technology 30(Suppl.1): 149-155

Choi, S. S. dan Regenstein, J. M. 2000. Physico-chemical and sensory


characteristic of fish gelatin. Journal of Food Science 65: 194-199

Coniwati, P., Linda L., Alfira M.R. 2014. Pembuatan Film Plastik Biodegredabel
dari Pati Jagung dengan Penambahan Kitosan dan Pemlastis Gliserol.
Jurnal Teknik Kimia, 20(4): 22-30

Dadang WI, Suhendra Y, Purbany E, Imam, Ike. 2007. Sudah saatnya nila
berjaya. http://www.agrina-online.com/show_article.php?aid=688
[diakses 28 januari 2018].

Darmanto, Y.S., T.W. Agustini, dan F. Swastawati. 2012. Efek kolagen dari
berbagai jenis tulang ikan terhadap kualitas miofibril protein ikan
selama proses dehidrasi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan,
23(1):36-40.

Fakhouri, F.M. 2005. “Edible Film And Coatings Based On Starch/Gelatin; Film
Properties and Effect Of Coatings On Quality Of Refrigerated Red
Crimson Grapes”. Elsevier B.V.

Fardhyanti, D.S., Julianur, S.S. 2015.”Karakterisasi Edible Film Berbahan Dasar


Ekstrak Karagenan Dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii)”. Jurnal
Bahan Alam Terbarukan, Vol. 4 (2): 68-73.

Fatma, dkk. 2016. Pengaruh Variasi Persentase Gliserol Sebagai Plasticizer


Terhadap Sifat Mekanik Edible Film Dari Kombinasi Whey
Dangke Dan Agar. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin:
Makassar.

Febianti, F., Heni Tri A., Fadilah. 2015. Studi Pembuatan dan Karakteristik Sifat
Mekanik Edible Film Berbahan dasar Umbi Suweg (Amporphophallus
campanulatus) dengan Pewarna dan Rasa Secang. Prosiding SENATEK
2015 Fakultas Teknik. ISBN 978-602-14355-0-2. Universitas
Muhammadiyah. Purwokerto. 87-97.

GMIA. 2012. Gelatin Handbook. Gelatin Manufactures Institute of America.

Gontard, N., Gulbert, S., Cuq, J.L. 1993.“Water and Glycerol as Plasticizers
Affect Mechanical and Water Vapor Barrier Properties of an Edible
Wheat Gluten Film”. Journal of Food Science, Vol. 58 (1): 206-211.
41

Handito, D. 2011. Pengaruh konsentrasi karagenan terhadap sifat fisik dan


mekanik edible film. Agroteksos, 21(2-3): 151-157

Handayani, P.A., Wijayanti, H. 2015. “Pembuatan Film Plastik Biodegradable


Dari Limbah Biji Durian (Durio Zibethinus Murr)”. Jurnal Bahan Alam
Terbarukan, Vol 4 (1): 21-26

Hasdar, Muhamad., Erwanto, Yuny., Triatmojo, Suharjono. 2011.”Karakteristik


Edible Film Yang Diproduksi Dari Kombinasi Gelatin Kulit Kaki
Ayam Dan Soy Protein Isolate”. Buletin Peternakan , Vol. 35 (3): 188-
196

Hikmah, Nurul. 2015. Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Ambon (Musa


paradisiacal) Dalam Pembuatan Plastik Biodegradable dengan
Plastisizer Dliserin. Tugas Akhir. Palembang : Politeknik Negeri
Sriwijaya

Huri, D., Nisa F.C. 2014. Pengaruh Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas Kulit
Apel Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Edible Film. Jurnal
Pangan dan Agroindustri, 2(4):29-40.

Gela, Dea T., 2016. Karakteristik Edible Film dari Gelatin Kulit Kuda (Equus
Caballus) Serta Aplikasinya Untuk Kemasan Makanan. Skripsi.
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin, Makasar

Januarsyah, Yodi I., Maman H. S. dan Eddy Afrianto. 2011. Pemanfaatan Gelatin
dari Limbah Kulit Ikan Nila Sebagai Edible Film Untuk Mengetahui
Karakteristik Pindang Tongkol. Jurnal Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjajaran. Bandung.

Julianto, G.E., Ustadi dan A. Husni. 2011. Karakterisasi Edible Film dari Gelatin
Kulit Ikan Nila Merah dengan Penambahan Plasticizer Sorbitol dan
Asam Palmitat, Jurnal Perikanan (Journal Fish Science), 13(1):27-34

Karlina, I.R., Atmaja, L. 2009. “Ekstrak Gelatin Dari Tulang Rawan Ikan Pari
(Himantura gerardi) pada Variasi Larutan Asam untuk Perendaman”.
Prosiding Kimia FMIPA-ITS

Kasim, S. 2013. Ekstraksi Kolagen Tulang Rawan Ikan Pari (Himantura gerrardi)
dan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) Menggunakan Variasi Jenis Larutan
Asam. Majalah Farmasi dan Farmakologi. Vol 17, No.2 – Juli 2013.
Fakultas Farmasi, Universitas Hasanudin. Makasar

Katili, Abubakar S., 2009. Struktur dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal Pelangi
Ilmu. Vol.2 (5) :19-29
42

Khairuman dan K. Amri. 2008. Buku Pintar Budidaya Ikan Konsumsi. PT


Agromedia Pustaka, Tangerang

Koli, jayappa M., Subrata, B., Binay B.N., dkk. 2012. Functional characteristics
of gelatin extracted from skin and bone of Tiger-toothed croaker
(Otolithes ruber) and Pink perch (Nemipterus japonicus). Journal food
and bioproducts processing 90: 555–562

Maryani. Titi Surti. dan Ratna Ibrahim. 2010. Aplikasi Gelatin Tulang Ikan Nila
Merah (Oreochromis Niloticus) Terhadap Mutu Permen Jelly. Jurnal
Saintek Perikanan 6(1): 62 - 70

Montero, P., Guilen-Gomez, C. 2000. “Extracting Conditions For Megrim


(Leopidorhombus boscii) Skin Collagen Affect Functional Properties
Of The Resulting Gelatin”. Journal of Food Science, Vol. 65(3): 434-
438

Munda, Mulyanti. 2013. “Pengaruh Konsentrasi Asam Asetat dan Lama


Demineralisasi Terhadap Kuantitas dan Kualitas Gelatin Tulang
Ayam”. Skripsi, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.

Nagai, T., Suzuki, N. 2000.“Isolation of Collagen from Fish Waste Material-Skin,


Bone, Fins”. Journal of Food Chemistry, Vol. 68:277-281.

Nahwi, Naufal F., 2016. Analisis Pengaruh Penambahan Plastisizer Gliserol pada
Karakteristik Edible Film dari Pati Kulit Pisang Raja, Tongkol Jagung
dan Bonggol Enceng Gondok. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang

Ningsih, Sri H., 2015. Pengaruh Plasticizer Gliserol Terhadap Karakteristik


Edible Film Campuran Whey Dan Agar. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanudin, Makasar

Nofiandi, Dedi, Widi Ningsih, dan Asa Sofie Liandana Putri. 2016. Pembuatan
dan Karakteristik Edible film dari Poliblend Pati Sukun-Polivinil
Alkohol dengan Propilenglikol sebagai Plasticizer. Jurnal Katalisator
1(2)

Nurhayati. 2009. “Prospek Pemanfaatan Limbah Perikanan Sebagai Sumber


Kolagen”. Squalen, Vol. 4 (3):83-92

Pagliaro, M., Rossi, M. 2008. “ The Future of Glycerol: New Uses of a Versatile
Raw Material”. RSC Green Chemistry Book Series.
43

Pavlath, A.E., and William Orts. 2009. Edible films and Coating: Why, What, and
How. Edible films and Coatings for Food Applications. M.E.
Embuscado and K.C. Huber (eds) P.1-23

Peranginangin, R., Tazwir., dan Ayudiarti, D.L. 2007. “Optimasi Pembuatan


Gelatin dari Tulang Ikan kaci-kaci (Plectorhynchus chaetodonoides
Lac.)Menggunakan Berbagai Konsentrasi Asam dan Waktu Ekstraksi”.
Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perkanan, Vol. 2
(1): 35-43.

Poppe, J. 1992. “Gelatin”.Di dalam: Imeson A. Thickening and Gelling Agents


for Food”.London: Blackie Academy and Professional.

Pranoto, Y., Chong, M.L, dan Hyun J.P. 2006. Characterizations of fish gelatin
films added with gellan and k-carrageenan. Jurnal of food science and
technology.(0023-634): 766-774

Pranoto, Y., Doddy S. 2013. “Ekstrak Rumput Laut (Kappaphycus Alvarezii)


Sebagai Cross Linking Agent Pada Pembentukan Edible Film Gelatin
Kulit Ikan Nila Hitam (Oreochromis Mossambicus)”. Jurnal Agritech,
Vol.33 (2) :168-175

Prayitno, Emiliana, dan Nur Wachid S. 2012. “Pemanfaatan Limbah Kulit Ikan
Nila Dari Industri Fillet Untuk Kulit Jaket”. Majalah Kulit, Karet dan
Plastik, Vol.28 (1): 51-59

Purwitasari, D.S. 2008. Hidrolisis Tulang Sapi menggunakan HCL untuk


Pembuatan Gelatin. Makalah disajikan pada Simposium Nasional
Soebardjo Brotohardjono. Surabaya. 18 Juni 2008

Puspitasari D. A. P., V. P. Bintoro., B. E. Setiani. 2013. Sifat- Sifat Gel Gelatin


Tulang Cakar Ayam. Jurnal Pangan dan Gizi 4(7) : 19-28

Putra, A.D., Vonny S.J., dan Efendi R. 2017. Penambahan Sorbitol Sebagai
Plasticizer Dalam Pembuatan Edible Film. Jurnal Teknologi Hasil
Pertanian, 4(2): 1-15

Rahayu, Fadjar., Fithriyah, Nurul.H. 2015. “Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap


Rendemen Gelatin Dari Tulang Ikan Nila Merah”. Seminar Nasional
Sains dan Teknologi 2015, Fakultas Teknik Universitas
Muhammadiyah Jakarta.

Rattaya, S., Benjakul, S., Prodpran, T. 2009. “Properties Of Fish Skin Gelatin
Film Incorporated With Seaweed Extract”. Journal Of Food
Engineering, Vol. 95: 151-157
44

Romenda, A.P., Pramesti, R., Susanto, A.B. 2013. “Pengaruh Perbedaan Jenis dan
Konsentrasi Larutan Alkali Terhadap Kekuatan Gel dan Viskositas
Karaginan (Kappaphycus alvarezii)”.Journal of Marine Research, Vol
2 (1): 127-133.

Rusli, Arham., Metusalach., Salengke., Tahir MM. 2017. Karakterisasi Edible


Film Karagenan dengan Pemlastis Gliserol. Journal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. 20(2):219-229.

Santoso, B., Hepandi., Vemi Ariani., dkk. 2013. Karakteristik Film Pelaspis
Pangan dari Surimi Belut Sawah dan Tapioka. Jurnal Teknologi dan
Industri PanganI 24(1) : 48 – 53 1979-7788 DOI:
10.6066/jtip.2013.24.1.48

Santoso, D., dan Y. Pranoto. 2013. Ekstrak rumput laut (Kappaphycus alvarezli)
sebagai cross linking agent pada pembuatan edible film kulit ikan nila
hitam (Oreochromis niloticus). Agritech, 33(2): 168-176
Setiani, Wini, Tety Sudiarti, dan Lena Rahmidar. 2013. Preparasi Dan
Karakteristik Edible film dari Poliblend Pati Sukun-Kitosan. Valensi
3(2): 100-109

Sinaga, L.L., Melisa S. R. S., dan Mersi S. S. 2013. Karakteristik Edible Film dari
Ekstrak Kacang Kedelai dengan Penambahan Tepung Tapioka dan
Gliserol Sebagai Bahan Pengemas Makanan. Jurnal Teknik Kimia USU
2(4) : 12-16

Talens, P., Fabra, M.J., dan Chiralt, A. 2011. Properties application and current,
development of edible polysaccharide film and coatings. Dalam : Jones,
C. E. Encyclopedia of polymer research (hal. 857-890). New York :
Nava Scieence Publishers, Inc.

Tazwir, D.L Ayudiarti., dan R. Peranginangin. 2007. Optimasi Pembuatan Gelatin


dari Ikan Kaci-kaci (Plectorhychus chaetodonies Lac) Menggunakan
Berbagai Konsentrasi Asam dan Waktu Ekstraksi. Jurnal Pasca panen
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 2(1): 35-44

Ulfah, Fajariyah. dan Irwan Nugraha. 2014. Sintesis dan Karakterisasi Edible
Film Komposit Karagenan-Montmorilonit. Seminar Nasional Kimia
dan Pendidikan Kimia VI. ISBN:979363174-0. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta. 411-423.

Wardoyo, Supriyono E., 2007. “Ternyata Ikan Nila (Oreochormis niloticus)


Mempunyai Potensi yang Besar untuk Dikembangkan” Jurnal Media
Akuakultur Vol.2 (1) :147-150
45

Wijaya, O.A., Surti, T., Sumardianto. 2015. “Pengaruh Lama Perendaman NaOH
pada Proses Penghilangan Lemak terhadap Kualitas Gelatin Tulang
Ikan Nila”. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, Vol.
4 (2): 25-32.

Wirawan, Sang Kompiang., Prasetya, Agus., Ernie. 2012. “Pengaruh Plasticizer


Pada Karakteristik Edible Film dari Pektin”. Reaktor, Vol. 14 (1): 61-
67.

Wiyono, V.S. 2001. Gelatin Halal Gelatin Haram. Jurnal Halal LPPOM-MUI

Yusmarlela. 2009. “Studi Pemanfaatan Plastisier Gliserol dalam Film Pati Ubi
dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu”. Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Lampiran 1

Skema Pembuatan Gelatin dari Limbah Tulang Ikan Nila

46
47

Lampiran 2
Skema Pembuatan Edible Film dari Gelatin Limbah Tulang Ikan Nila
48

Lampiran 3
Perhitungan Uji Ketebalan Edible Film
Uji ketebalan edible film diukur dengan menggunakan mikrometer digital pada 5
tempat yang berbeda kemudian hasil pengukuran dirata-rata
No Variabel Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Rata-rata
1 G1K1 0,204 0,202 0,206 0,212 0,206 0,206
2 G1K2 0,208 0,209 0,211 0,216 0,216 0,212
3 G1K3 0,215 0,222 0,242 0,228 0,23 0,2274
4 G2K1 0,292 0,305 0,323 0,334 0,322 0,3152
5 G2K2 0,335 0,342 0,326 0,342 0,334 0,3358
6 G2K3 0,358 0,363 0,371 0,364 0,365 0,3642
7 G3K1 0,36 0,353 0,367 0,341 0,351 0,3544
8 G3K2 0,382 0,371 0,384 0,385 0,376 0,3796
9 G3K3 0,395 0,403 0,402 0,392 0,406 0,3996
49

Lampiran 4
Perhitungan Pengujian sifat mekanik
1. Uji kuat tarik (tensile strenght)
1.1 Kuat tarik edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,165 N
Luas penampang (A) = 0,12 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

2,165
= = 18,041 MPa
0,12

1.2 Kuat tarik edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,43 N
Luas penampang (A) = 0,125 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

2,42
= 0,125 = 19,44 MPa

1.3 Kuat tarik edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,902 N
Luas penampang (A) = 0,135 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

2,902
= 0,135 = 21,5 MPa

1.4 Kuat tarik edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,212 N
Luas penampang (A) = 0,175 mm2
50

𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

2,212
= 0,175 = 12,642 MPa

1.5 Kuat tarik edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,695 N
Luas penampang (A) = 0,18 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

2,695
= = 14,972 MPa
0,18

1.6 Kuat tarik edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 3,05 N
Luas penampang (A) = 0,19 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

3,05
= 0,19 = 16,052 MPa

1.7 Kuat tarik edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 1,975 N
Luas penampang (A) = 0,19 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

1,975
= = 10,676 MPa
0,19

1.8 Kuat tarik edible film dengan 1 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,505 N
Luas penampang (A) = 0,195 mm2
51

𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

2,505
= 0,195 = 12,846 MPa

1.9 Kuat tarik edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Gaya maksimum edible film (F) = 2,985 N
Luas penampang (A) = 0,21 mm2
𝐹
Kuat tarik (Mpa) =𝐴

2,985
= = 14,214 Mpa
0,21

2. Uji perpanjangan (elongation)

Perpanjangan
No Variabel
%
1 10 g gelatin, 0% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,6
2 10 g gelatin, 3% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,45
3 10 g gelatin, 6% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,3
4 13 g gelatin, 0% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,8
5 13 g gelatin, 3% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,65
6 13 g gelatin, 6% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,55
7 16 g gelatin, 0% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,9
8 16 g gelatin, 3% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,75
9 16 g gelatin, 6% karagenan w/w, 30% gliserol v/w 39,65

3. Uji elastisitas (modulus young)


3.1 Elastisitas edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 18,042 MPa
Perpanjangan (%) = 39,6%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

18,042
= = 0,456 MPa
39,6
52

3.2 Elastisitas edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 19,440 MPa
Perpanjangan (%) = 39,45%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

19,440
= = 0,493 MPa
39,45

3.3 Elastisitas edible film dengan 10 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 21,5 MPa
Perpanjangan (%) = 39,3%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

21,5
= 39,3 = 0,547 MPa

3.4 Elastisitas edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 12,643 MPa
Perpanjangan (%) = 39,8%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

12,643
= = 0,318 MPa
39,8

3.5 Elastisitas edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 14,972 MPa
Perpanjangan (%) = 39,65%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

14,972
= = 0,378 MPa
39,65
53

3.6 Elastisitas edible film dengan 13 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 16,053 MPa
Perpanjangan (%) = 39,55%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

16,053
= = 0,406 MPa
39,55

3.7 Elastisitas edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 0% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 10,676 MPa
Perpanjangan (%) = 39,9%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

10,676
= = 0,268 MPa
39,9

3.8 Elastisitas edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 3% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 12,846 MPa
Perpanjangan (%) = 39,75%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

12,846
= = 0,323 MPa
39,75

3.9 Elastisitas edible film dengan 16 gram konsentrasi gelatin tulang ikan
nila, 6% karagenan w/w, dan 30% gliserol v/w
Kuat tarik edible film (MPa) = 14,214 MPa
Perpanjangan (%) = 39,65%
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Elastisitas (Mpa) = 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

14,214
= = 0,358 MPa
39,65
54

Lampiran 5

Gambar Hasil Analisis Tensile Strenght dan Elongasi


55
56
57

Lampiran 6

Gambar Proses Pembuatan Gelatin dari Tulang Ikan Nila

Limbah Tulang Ikan Nila Pencucian

Perebusan Perendaman dengan HCl 5%

Ossein Serbuk Gelatin Tulang Ikan Nila


58

Lampiran 7

Gambar Proses Pembuatan Edible Film dari Gelatin Tulang Ikan Nila

Larutan Gelatin, Karagenan, Pencampuran


Dan Gliserol

Larutan Edible Film Pencentakan

Lembaran Edible Film


59

Lampiran 8

Gambar Alat Uji Ketebalan

Mikrometer Digital

Gambar Alat Uji Mekanik

Brookfield CT 03 4500

Anda mungkin juga menyukai