Anda di halaman 1dari 3

Kekhalifahan Rasyidin

Kekhalifahan Rasyidin

Artikel utama: Kekhalifahan Rasyidin

Setelah Nabi Muhammad meninggal, empat khalifah bergantian memerintah negara Islam: Abu
Bakar (632-634), Umar bin Khattab (634-644), Utsman bin Affan (644-656), dan Ali bin Abi Thalib
(656-661). Para pemimpin ini digelari para Khalifah "Rasyidin" atau "yang terbimbing" dalam Islam
Sunni. Merekalah yang mengawal tahap awal penaklukan Islam, terus hingga ke Persia, Syam, Mesir,
dan Afrika Utara.

Sepeninggalnya Muhammad, Abu Bakar, seorang sahabat terdekatnya, terpilih sebagai khalifah
(bahasa Arab: ‫ خليفة‬, translit. khalīfah, har. 'penerus') pertama. Meskipun dalam kedudukan khalifah
tetap ada aura otoritas agama, khalifah sama sekali tidak mengakui kenabian.[16] Sejumlah kepala
suku menolak untuk melanjutkan perjanjian yang mereka buat dengan Muhammad kepada Abu
Bakar, sehingga mereka menahan pembayaran zakat dan beberapa justru mengaku sebagai nabi.[16]
Abu Bakar mempertahankan kekuasaannya melalui kampanye militer yang sukses, dikenal dengan
sebutan Perang Riddah, yang momentumnya diteruskan ke wilayah Kekaisaran Romawi Timur dan
Sasaniyah.[17] Di akhir masa khalifah kedua, Umar, pasukan-pasukan Arab, yang jumlah barisan
perangnya semakin membengkak karena tambahan pemberontak yang kalah[18] dan mantan
pasukan pembantu kerajaan,[19] mengalahkan Syam dan Mesir, dua provinsi Romawi Timur,
sedangkan Sasaniyah kehilangan teritori barat mereka, yang sisanya akan menyusul segera
setelahnya.[16]

Umar memperbaiki administrasi imperium yang masih muda ini, memerintahkan peningkatkan
saluran irigasi dan ikut serta berperan dalam pembentukan kota-kata seperti Basra. Dekat dengan
orang-orang miskin, dia tinggal di sebuah pondok tanah liat sederhana tanpa pintu dan berjalan
mengelilingi jalanan setiap malam. Setelah mencari keterangan dengan orang-orang miskin, Umar
mendirikan Baitulmal,[20][21][22] sebuah institusi kesejahteraan untuk kaum miskin, berkebutuhan,
lansia, yatim, janda, dan penyandang disabilitas yang Muslim dan non-Muslim. Baitulmal beroperasi
ratusan tahun di bawah Kekhalifahan Rasyidin di abad ke-7 hingga ke periode Umayyah dan juga ke
era Abbasiyah. Umar juga mengenalkan pensiun untuk lansia dan tunjangan untuk anak.[23][24][25]
[26] Ketika dia merasa bahwa seorang gubernur atau komandan menjadi terpikat pada kekayaan
atau tidak memenuhi standar administrasi yang dibutuhkan, dia memindahnya dari jabatannya.[27]
Ekspansi sebagian dihentikan antara 638 dan 639 selama tahun-tahun kelaparan di Semenanjung
Arab dan wabah berat di Syam, tetapi di akhir masa berkuasanya Umar, Suriah, Mesir, Mesopotamia,
dan sebagian besar Persia telah menjadi bagian dari negara Islam.
Bagian-bagian timur Kekaisaran Romawi Timur yang ditaklukkan oleh Arab

Populasi Yahudi lokal dan Kristen pribumi, yang tinggal sebagai minoritas agama dan dibebani pajak
(sementara Muslim membayar "Zakat") untuk membiayai Perang-perang Romawi Timur dan
Sasaniyah, sering membantu Muslim mengambil alih tanah mereka dari Bizantium dan Persia,
menghasilkan penaklukan-penaklukan yang luar biasa kilat.[28][29] Seiring ditaklukkannya area-area
baru, mereka juga memanfaatkan perdagangan bebas dengan wilayah lain di negara Islam yang
tengah tumbuh tersebut, sementara, untuk mendukung kegiatan komersial, pajak diterapkan pada
kekayaan alih-alih perdagangan.[30] Orang-orang muslim membayar zakat hartanya untuk diberikan
kepada orang-orang miskin. Sejak Piagam Madinah, naskah yang dibuat oleh Nabi Muhammad,
orang-orang Yahudi dan Kristen tetap menggunakan hukum dan hakim mereka sendiri.[31][32][33]
Untuk membantu perluasan negara yang cepat ini, sistem pengumpulan pajak Romawi Timur dan
Persia dipertahankan dan rakyat membayar pajak per kapita yang lebih rendah dari masa Romawi
Timur dan Persia.

Pada 639, Umar menunjuk Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam setelah gubernur
sebelumnya meninggal dalam sebuah wabah di antara 25.000 orang lebih.[34][35] Untuk
menghentikan usikan Romawi Timur dari arah laut selama Peperangan Romawi Timur-Arab, pada
649 Muawiyah menyusun satu angkatan laut, dengan personilnya adalah para pelaut Kristen
monofisit, Koptik, dan Kristen Suriah Yakubiyah serta pasukan Muslim, yang mengalahkan angkatan
laut Bizantium pada Pertempuran Foinikos pada 655, membuka Laut Tengah untuk kapal-kapal
Muslim.[36][37][38][39]

Pasukan-pasukan Muslim awal berkemah jauh dari kota karena Umar khawatir kalau mereka dapat
terpikat oleh harta dan kemewahan, menjauhi peribadahan kepada Allah, mengumpulkan kekayaan,
dan membentuk dinasti.[27][40][41][42] Dengan tetap berada di kemah-kemah ini jauh dari kota
juga memastikan tidak adanya tekanan bagi penduduk lokal sehingga tetap berjalan normal.
Beberapa pangkalan kemah ini kemudian tumbuh menjadi kota seperti Basrah dan Kufah di Iraq dan
Fustat di Mesir.[43]

Ketika Umar dibunuh pada 644, Utsman bin Affan, sepupu dari kakek dan dua kali menantu
Muhammad, menjadi khalifah berikutnya. Karena bahasa Arab ditulis tanpa vokal, beragam penutur
dialek bahasa Arab dan bahasa lain membaca Quran dengan variasi fonetis yang dapat mengubah
artinya. Ketika Utsman bin Affan menyadari hal ini, dia memerintahkan penyusunan satu salinan
standar Quran dan salinan-salinannya dikirim ke beberapa pusat wilayah kekuasaan Islam yang terus
meluas.[44]
Seiring Utsman menua, Marwan bin al-Hakam, seorang kerabat dari Muawiyah, menyelinap ke
dalam kekosongan, menjadi sekretarisnya dan perlahan mengambil kendali. Ketika Utsman dibunuh
pada 656, Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Muhammad, menaiki posisi khalifah dan
memindah ibukota ke Kufah di Iraq. Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Suriah, dan Marwan bin al-
Hakam menuntut penangkapan pelaku pembunuhan. Marwan menggerakkan setiap orang dan
membuat konflik, yang membuahkan Perang saudara Islam pertama ("Fitnah pertama"). Ali dibunuh
oleh Khawarij pada 661. Enam bulan kemudian pada 661, demi kepentingan perdamaian, putra Ali,
Hasan, membuat perjanjian damai dengan Muawiyah. Dalam Perjanjian Hasan–Mu'awiyah, Hasan
menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dengan syarat dia akan berbuat adil kepada rakyat dan
tidak membuat dinasti setelah dia meninggal.[45][46] Muawiyah pada akhirnya melanggar
persyaratan tersebut dan memulai Dinasti Umayyah, beribukota Damaskus.[47] Husain bin Ali, yang
saat itu adalah satu-satunya cucu Muhammad yang masih hidup, menolak untuk berbaiat ke
keluarga Umayyah. Dia terbunuh di Pertempuran Karbala di tahun yang sama, di peristiwa yang
masih diperingati sebagai hari berkabung oleh Syiah, Hari Asyura. Kerusuhan, yang dikenal dengan
Fitnah kedua, berlanjut, tetapi kekuasaan Muslim terus meluas di bawah Muawiyah ke Rodos, Kreta,
Kabul, Bukhara, dan Samarkand, dan juga meluas ke Afrika Utara. Pada 664, pasukan Arab
menaklukkan Kabul,[48] dan pada 665 mendesak sampai ke Magrib.[4

Anda mungkin juga menyukai