Anda di halaman 1dari 30

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes)
Magelang memiliki klinik dan laboratorium yang terfokus melakukan
pelayanan untuk pasien dengan gangguan fungsi tiroid dengan kaidah riset
atau penelitian. Penegakkan diagnosis penyakit gangguan fungsi tiroid di
klinik Litbangkes Magelang berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
dengan indikator TSH dan FT4. Diagnosis pasien hipertiroid dikategorikan
menjadi empat, yaitu hipertiroid sub klinis, hipertiroid primer, hipertiroid
sekunder, dan hipertiroksinemia. Jumlah kunjungan pasien pada tahun
2019 sebanyak 2.743 kunjungan dengan rata-rata 229 kunjungan pasien
setiap bulan yang berasal dari wilayah Magelang, Temanggung,
Purworejo, Wonosobo, Yogyakarta, dan daerah lainnya di Jawa Tengah..
Pelayanan pemeriksaan laboratorium terdiri dari TSH, FT4, iodium dalam
urin, dan iodium dalam garam (Balai Litbangkes Magelang, 2019).

2. Karakteristik Subjek
Karakteristik subjek secara umum ditunjukkan pada tabel 4.1.
Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar subjek adalah perempuan
(82%). Subjek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok umur berdasarkan
kelompok usia pada Permenkes Nomor 28 tahun 2019 tentang Angka
Kecukupan Gizi Masyarakat Indonesia, yaitu 18-29 tahun, 30-49 tahun,
dan 50-59 tahun (Menkes RI, 2019). Sebesar 64% subjek memiliki rentang
usia antara 30-49 tahun, persentase subjek dengan rentang usia 18-29
tahun dan 50-59 tahun masing-masing sebesar 14% dan 22%. Pendidikan
terakhir subjek, yaitu 18% diploma atau sarjana, 34% tamat SMA, 14%
tamat SMP, 30% tamat SD, dan 4% tidak tamat SD. Sebagian besar subjek
penelitian memiliki pekerjaan wiraswasta dan ibu rumah tangga. Pekerjaan
subjek penelitian 26% wiraswasta, 26% ibu rumah tangga, 22% petani,

49
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

pekerjaan pegawai swasta, guru dan pelajar masing-masing sebesar 6%,


dan 8% pekerjaan lainnya.

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian


Jumlah Persentase
Karakteristik Kriteria
(n=50) (%)
Jenis kelamin Laki-laki 9 18
Perempuan 41 82

Usia 18-29 tahun 7 14


30-49 tahun 32 64
50-59 tahun 11 22

Pendidikan Tidak tamat SD 2 4


SD 15 30
SMP 7 14
SMA 17 34
Diploma/Sarjana 9 18

Pekerjaan Wiraswasta 13 26
Ibu rumah tangga 14 28
Petani 11 22
Pegawai swasta 3 6
Guru 3 6
Pelajar/mahasiswa 3 6
Pegawai negeri sipil 2 4
Honorer 2 4

Status gizi Kurus (<18,5 kg/m2) 3 6


Normal (18,5-22,9 kg/m2) 26 52
Overweight (23-24,9 kg/m2) 6 12
Obesitas 1 (25-29,9 kg/m2) 14 28
Obesitas 2 (≥30 kg/m2) 1 2

Riwayat Penyakit Hipertiroid 42 84


Hipertiroid dan hipertensi 4 8
Hipertiroid dan maag 4 8

Pengobatan Thyrozol 5 mg 1 tablet/hari 14 28


Thyrozol 5 mg ½ tablet/hari 9 18
Thyrozol 5 mg ½ tablet/2 hari 1 2
Thyrozol 5 mg 1 tablet/3 hari 1 2
Thyrozol 10 mg 1 tablet/hari 20 40
Thyrozol 10 mg 2 tablet/hari 1 2
Thyrozol 10 mg 1 tablet/hari dan 4 8
propanolol 10 mg 1 tablet/hari

Sumber: Data Primer (2020)

Setengah dari subjek penelitian memiliki status gizi normal (52%),


status gizi kurang atau kurus terdapat pada 6% subjek, subjek overweight
sekitar 12%, dan obesitas terjadi pada 30% subjek. Riwayat penyakit
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

subjek selain hipertiroid yaitu maag sebesar 4% dan hipertensi 4%.


Sejumlah 84% subjek hanya menderita hipertiroid. Obat utama yang
dikonsumsi subjek hipertiroid adalah thyrozol, sekitar 28% subjek
mengkonsumsi thyrozol 5 mg/hari dan 40% subjek mengkonsumsi
thyrozol 10 mg/hari. Obat yang dikonsumsi subjek selain thyrozol adalah
propanolol 10 mg/hari pada 8% subjek.

Tabel 4.2. Data asupan zat gizi dan kadar serum darah subjek penelitian
Total Primer Subklinik Eutiroid
Data Asupan
(n=50) (n=18) (n=24) (n=8)
Asupan Energi a
Kurang 22 (44%) 10 (55,6%) 8 (33,3%) 4 (50%)
Cukup 17 (34%) 4 (22,2%) 11 (45,8%) 2 (25%)
Lebih 11 (22%) 4 (22,2%) 5 (20,8%) 2 (25%)
Asupan Karbohidrat a
Kurang 30 (60%) 12 (66,7%) 14 (58,3%) 4 (50%)
Cukup 12 (24%) 3 (16,7%) 7 (29,2%) 2 (25%)
Lebih 8 (16%) 3 (16,7%) 3 (12,5%) 2 (25%)
Asupan Protein a
Kurang 17 (34%) 7 (38,9%) 7 (29,2%) 3 (37,5%)
Cukup 17 (34%) 6 (33,3%) 7 (29,2%) 4 (50%)
Lebih 16 (32%) 5 (27,8%) 10 (41,7%) 1 (12,5%)
Asupan Lemak a
Kurang 19 (38%) 11 (61,1%) 4 (16,7%) 4 (50%)
Cukup 16 (32%) 2 (11,1%) 11 (45,8%) 3 (37,5%)
Lebih 15 (30%) 5 (27,8%) 9 (37,5%) 1 (12,5%)
Asupan Zat Besi a
Kurang 20 (40%) 8 (44,4%) 9 (37,5%) 3 (37,5%)
Cukup 8 (16%) 3 (16,7%) 2 (8,3%) 3 (37,5%)
Lebih 22 (44%) 7 (38,9%) 13 (54,2%) 2 (25%)
Asupan Seng a
Kurang 35 (70%) 11 (61,1%) 20 (83,3%) 4 (50%)
Cukup 2 (4%) 2 (11,1%) 0 (0%) 0 (0%)
Lebih 13 (26%) 5 (27,8%) 4 (16,7%) 4 (50%)
Kadar Serum Zat Besi b
Rendah 10 (20%) 2 (11,1%) 8 (33,3%) 0 (0%)
Normal 40 (80%) 16 (88,9%) 16 (66,7%) 8 (100%)
Tinggi 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
Kadar Serum Seng c
Rendah 2 (4%) 0 (0%) 2 (8,3%) 0 (0%)
Normal 47 (94%) 18 (100%) 22 (91,7%) 7 (87,5%)
Tinggi 1 (2%) 0 (0%) 0 (0%) 1 (12,5%)
Sumber: Data Primer (2020)
a)
Asupan: Kurang jika <80% AKG; Cukup jika 80-110% AKG; Lebih jika >110% AKG.
b)
Kadar serum zat besi laki-laki: Rendah <70 µg/dL; Normal 70-200 µg/dL; Tinggi >200
µg/dL. Perempuan: Rendah <62 µg/dL; Normal 62-173 µg/dL; Tinggi >173 µg/dL.
c)
Kadar serum seng: Rendah <60 µg/dL; Normal 60-130 µg/dL; Tinggi >130 µg/dL.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

Tabel 4.2 menunjukkan kategori dan persentase asupan zat gizi,


kadar serum zat besi dan seng pada subjek dengan hipertiroid primer,
hipertiroid subklinik, dan eutiroid. Persentase subjek kekurangan asupan
energi, karbohidrat, protein, dan lemak masing-masing sebesar 44%, 60%,
34%, dan 38%. Subjek dengan kekurangan asupan zat gizi makro memiliki
persentase tertinggi dibandingkan subjek dengan asupan yang cukup dan
kelebihan asupan. Jumlah subjek yang kelebihan asupan zat besi lebih
besar dibandingkan subjek yang kekurangan asupan zat besi dengan
persentase sebesar 44% dan 40%,. Sebaliknya, persentase subjek yang
kekurangan asupan seng lebih besar dibandingkan subjek yang kelebihan
asupan seng, yaitu sebesar 70% dan 26%.
Sebagian besar subjek memiliki kadar serum zat besi dan seng yang
normal dengan persentase masing-masing sebesar 80% dan 94%. Tidak
terdapat subjek dengan kadar serum zat besi yang tinggi, sedangkan subjek
dengan kadar serum zat besi yang rendah sebesar 20%. Sebagian kecil
subjek memiliki kadar serum seng yang rendah dan tinggi dengan
persentase masing-masing sebesar 4% dan 2%.
Hipertiroid primer dinyatakan ketika subjek memiliki kadar serum
TSH rendah (<0,3 mIU/L) dan kadar FT4 tinggi (>2 ng/dL) (Balai
Litbangkes Magelang, 2019). Sejumlah 18 orang subjek mengalami
hipertiroid primer, dimana sebagian besar subjek kelompok ini mengalami
kekurangan asupan zat gizi makro (38,9% s/d 66,7%). Persentase subjek
dengan kekurangan asupan zat besi lebih besar dibandingkan subjek
dengan asupan zat besi yang cukup dan lebih (44,4% vs 16,7% vs 38,9%),
begitu pula pada variabel asupan seng (61,1% vs 11,1% vs 27,8%). Subjek
dengan kadar serum zat besi rendah sebanyak 2 orang (11,1%) dan sisanya
memiliki kadar serum zat besi normal (88,9%), sedangan kadar serum seng
normal pada semua subjek. Tidak terdapat subjek dengan kadar serum zat
besi dan seng yang tinggi.
Hipertiroid subklinik memiliki kriteria kadar TSH rendah dan kadar
FT4 normal (0,8-2 ng/dL) (Balai Litbangkes Magelang, 2019), sejumlah
24 subjek mengalami hipertiroid subklinik. Sebagian subjek pada
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

kelompok ini mengalami kekurangan asupan karbohidrat (58,3%) dan


masih terdapat subjek dengan kekurangan zat gizi makro lainnya. Sebagian
besar subjek mengalami kelebihan asupan zat besi (54,2%), tetapi
kekurangan asupan seng (83,3%). Kekurangan asupan zat besi terjadi pada
37,5% subjek dan subjek dengan kelebihan asupan seng sebesar 16,7%.
Sebagian besar subjek memiliki kadar serum zat besi dan seng yang
normal, yaitu 66,7% dan 91,7%. Sekitar 33,3% atau 8 subjek memiliki
kadar serum zat besi rendah dan 2 subjek (8,3%) memiliki kadar serum
seng rendah. Kelompok ini tidak memiliki subjek dengan kadar serum zat
besi dan seng yang tinggi.
Kriteria eutiroid adalah subjek dengan kadar TSH normal (0,3-4
mIU/L) dan FT4 normal (Balai Litbangkes Magelang, 2019), subjek
eutiroid pada penelitian ini berjumlah 8 orang, sekitar 3-4 subjek memiliki
asupan zat gizi makro yang rendah. Kekurangan dan kelebihan asupan zat
besi terdapat pada 37,5% dan 25% subjek, sedangkan subjek yang
kekurangan dan kelebihan asupan seng masing-masing sebesar 50%.
Kadar serum zat besi normal pada seluruh subjek eutiroid. Kadar serum
seng normal pada 7 subjek (87,5%) dan 1 subjek (12,5%) memiliki serum
seng dengan kadar tinggi. Tidak terdapat subjek dengan kadar serum seng
yang rendah.
Rerata dan standar deviasi pada setiap kriteria dan karakteristik
subjek ditunjukkan pada Tabel 4.3. Perbedaan mean signifikan antar
kelompok kategori hipertiroid pada karakteristik usia, konsumsi thyrozol,
kadar serum seng, TSH dan FT4 (p<0,05). Pada karakteristik subjek
lainnya tidak ada perbedaan antara kelompok hipertiroid primer,
hipertiroid subklinik, dan eutiroid (p>0,05). Rerata usia subjek adalah 40,4
tahun, sedangkan rerata usia pada setiap kelompok yaitu 35,67 tahun pada
subjek hipertiroid primer, 43,92 tahun pada hipertiroid subklinik, dan 40,5
tahun pada kelompok eutiroid. Rata-rata berat badan, tinggi badan, dan
IMT subjek yaitu 55,77 kg, 155,63 cm, dan 22,97 kg/cm2. Nilai mean pada
asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat subjek berturut-turut yaitu
1792,47 kkal, 60,35 gram, 53,68 gram, dan 261,24 gram.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

Tabel 4.3. Rerata berbagai variabel penelitian


Karakteristik Total (n=50) Primer (n=18) Subklinik (n=24) Eutiroid (n=8) p
Usia (tahun) 40,4±10,1 35,67±10,39 43,92±8,64 40,5±10,09 0,028*
Status gizi:
BB (kg) 55,77±9,85 54,47±9,3 56,72±10,41 55,86±10,29 0,771
TB (cm) 155,63±7,76 156,31±8,34 155,58±7,5 154,25±8,03 0,829
IMT (kg/cm2) 22,97±3,57 22,28±3,25 23,38±3,63 23,28±4,28 0,596
Asupan gizi makro:
Energi (kkal) 1792,47±530,83 1832,81±528,16 1879,36±516,6 1441,02±496,92 0,118
Protein (g) 60,35±24,46 57,79±30,65 65,13±20,72 51,79±17,8 0,358
Lemak (g) 53,68±20,16 51,29±19,87 58,41±20,13 44,85±19,33 0,214
Karbohidrat (g) 261,24±94,17 282,68±99,4 267,82±91,51 193,28±62,89 0,071
Asupan gizi mikro:
Zat besi (mg) 15,08±6,32 15,53±7,11 15,95±6,27 11,44±3,11 0,205
Zat besi hewani (mg) 2,93±3,44 2,76±3,03 3,27±4,08 2,27±2,20 0,758
Zat besi nabati (mg) 12,85±6,60 13,25±7,05 13,77±7,06 9,19±1,35 0,228
Seng (mg) 6,23±3,47 6,18±2,61 6,56±4,18 5,35±2,97 0,702
Kadar serum darah:
Zat besi (µg/dl) 83,74±24,93 87,33±24,83 79,04±28,17 89,75±9,85 0,438
Seng (µg/dl) 85,1±14,71 91,61±11,97 77,58±10,73 93±20,36 0,001*
TSH (mIU/mL) 0,14±0,24 0,04±0,02 0,05±0,04 0,62±0,29 <0,001*
FT4 (ng/dL) 2,49±2,05 4,65±2,02 1,17±0,34 1,61±0,63 <0.001*
Zat pengganggu:
Fitat (mg) 808,09±500,68 829,58±554,02 842,39±525,8 656,81±263,74 0,654
Tanin (mg) 685,84±754,97 774,1±726,2 665,12±876,58 549,43±376,29 0,776
Oksalat (mg) 230,26±399,08 357,2±633,42 171,13±130,3 122,06±133,66 0,234
Rasio molar:
Fitat:zat besi (mmol/hari) 4,67±2,13 4,74±2,69 4,51±1,82 4,98±1,75 0,852
Fitat:seng (mmol/hari) 13,84±6,23 14,07±6,93 13,64±5,85 13,92±6,51 0,975
Konsumsi obat:
Thyrozol (mg) 7,1±3,74 10±2,97 6,04±3,03 3,77±2,89 <0,001*
Sumber: Data Primer (2020)
*) Perbedaan mean antara kelompok signifikan (p<0,05). Uji One Way Anova.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

Subjek penelitian ini memiliki rata-rata asupan zat besi sebesar 15,08
mg, terdiri dari zat besi sumber hewani 2,93 mg dan zat besi nabati 12,85
mg, sedangkan rerata asupan seng sebesar 6,23 mg. Rata-rata kadar serum
zat besi dan seng subjek yaitu 83,74 dan 85,1 µg/dL. Perbedaan kadar
serum seng signifikan antara tiga kelompok, secara berurutan rata-rata
kadar serum seng pada kelompok eutiroid 93 µg/dL, hipertiroid primer
91,61 µg/dL dan hipertiroid subklinik 77,58 µg/dL.
Komponen makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi
dan seng terdiri dari fitat, tanin, dan oksalat. Rata-rata konsumsi harian
fitat sebesar 808,9 mg, konsumsi tanin 685,84 mg, dan rerata konsumsi
oksalat 230,26 mg. Thyrozol merupakan pengobatan utama subjek
hipertiroid pada penelitian ini dengan rata-rata konsumsi per hari sebesar
7,1 mg/hari, sedangkan pada kelompok hipertiroid primer 7,1 mg/hari,
subjek hipertiroid subklinik 6,04 mg , dan kelompok eutiroid 3,77 mg.
Rasio molar fitat:zat besi dan fitat:seng telah digunakan untuk
memperkirakan proporsi zat besi seng yang dapat diserap oleh saluran
cerna (Ma, 2007; Norhaizan et al., 2009). Fitat dapat menghambat
absorpsi zat besi apabila rasio molar fitat:zat besi >1 mmol/hari (Ma,
2007). Subjek memiliki rasio fitat:zat besi sebesar 4,67 mmol/hari, artinya
penyerapan zat besi yang dikonsumsi subjek terhambat oleh fitat. Kategori
laju absorpsi seng berdasarkan rasio molar fitat:seng adalah <5, 5-15, dan
>15 mmol/hari yang merupakan angka absorpsi seng tinggi, sedang, dan
rendah (Hotz et al., 2004). Rasio molar fitat:seng pada penelitian ini
adalah 13,84 mmol/hari, artinya absorpsi seng pada makanan yang
dikonsumsi subjek hipertiroid pada penelitian ini dikategorikan sedang.
Rerata kadar TSH subjek penelitian sebesar 0,14 mIU/mL yang
digolongkan pada kadar TSH rendah (<0,3 mIU/mL). Kadar TSH masing-
masing kelompok hipertiroid primer, hipertiroid subklinik, dan eutiroid
sebesar 0,04; 0,05; dan 0,62 mIU/mL. Subjek memiliki rata-rata kadar FT4
sebesar 2,49 ng/dL yang termasuk pada kadar FT4 tinggi (>2,0 ng/dL).
Subjek dengan hipertiroid primer, hipertiroid subklinik, dan eutiroid
memiliki kadar FT4 masing-masing sebesar 4,65; 1,17; dan 1,61 ng/dL.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

3. Analisis Bivariat
Analisis statistik bivariat menggunakan uji korelasi Rank Spearman
untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dengan
variabel terikat dan variabel perancu dengan variabel terikat. Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah asupan zat besi, asupan seng, kadar
serum zat besi, dan kadar serum seng. Variabel terikat pada penelitian ini,
yaitu kadar TSH dan kadar FT4. Variabel perancu dalam penelitian ini,
antara lain asupan energi, zat gizi makro, fitat, tanin, oksalat, konsumsi
thyrozol, dan usia. Hasil analisis bivariat dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Hasil uji korelasi antar variabel


Variabel Nilai TSH FT4
Variabel bebas:
Asupan Zat Besi r -0,294* -0,142
p 0,038* 0,326
Serum Zat Besi r 0,101 0,142
p 0,485 0,327
Asupan Seng r -0,162 0,114
p 0,261 0,429
Serum Seng r 0,150 0,327*
p 0,299 0,020*
Variabel perancu:
Asupan Fitat r -0,261** -0,137
p 0,067** 0,341
Asupan Tanin r 0,030 0,242**
p 0,834 0,090**
Asupan Oksalat r -0,071 0,051
p 0,624 0,726
Konsumsi Thyrozol r -0,431* 0,470*
p 0,002* 0,001*
Asupan Energi r -0,311* 0,007
p 0,028* 0,963
Asupan Protein r -0,296* -0,159
p 0,037* 0,270
Asupan Lemak r -0,288* -0,142
p 0,043* 0,325
Asupan Karbohidrat r -0,351* 0,068
p 0,012* 0,637
Usia r 0,022 -0,313*
p 0,878 0,027*
Sumber: Data Primer (2020)
*) Hubungan signifikan secara statistik (p<0,05). Uji Rank Spearman.
**) Variabel perancu yang dianalisis multivariat karena p<0,25 dan nilai r<0,5.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

Hubungan signifikan terdapat pada asupan zat besi dengan kadar


TSH (p<0,05) sedangkan tidak terdapat hubungan signifikan antara asupan
zat besi dan kadar FT4 (p>0,05). Variabel terkait zat besi lainnya, yaitu
kadar serum zat besi juga tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan
kadar TSH maupun FT4 (p>0,05). Asupan zat besi memiliki hubungan
dengan kadar TSH dengan p value sebesar 0,038 dan nilai r sebesar -0,294.
Tanda negatif (-) pada nilai r menyatakan bahwa asupan zat besi dan kadar
TSH pada subjek penelitian ini memiliki korelasi negatif, dimana semakin
tinggi asupan zat besi subjek maka kadar TSH semakin rendah. Tingkat
kekuatan hubungan asupan zat besi dan kadar TSH termasuk lemah,
karena nilai r antara 0,20-0,39.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar serum seng memiliki
hubungan signifikan dengan kadar FT4 (p<0,05) sedangkan tidak terdapat
hubungan signifikan antara kadar serum seng dan TSH pada subjek
penelitian (p>0,05). Variabel terkait seng lainnya, yaitu asupan seng juga
tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kadar TSH maupun FT4
(p>0,05). Kadar serum seng memiliki hubungan dengan kadar FT4 dengan
p value sebesar 0,020 dan nilai r sebesar 0,327. Nilai r yang positif
menyatakan bahwa kadar serum seng dan kadar FT4 pada subjek
penelitian ini memiliki korelasi positif, dimana semakin tinggi kadar serum
seng subjek maka kadar FT4 semakin tinggi. Tingkat kekuatan hubungan
kadar serum seng dan FT4 pada subjek penelitian ini termasuk lemah.
Asupan fitat, tanin, dan oksalat sebagai variabel perancu pada
penelitian ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel
terikat yaitu kadar TSH maupun kadar FT4 (p>0,05). Namun, variabel
asupan fitat dengan kadar TSH dan variabel asupan tanin dengan kadar
FT4 termasuk kedalam variabel yang dianalisis multivariat karena
memenuhi syarat antara lain nilai uji bivariat p<0,25 dan nilai r<0,5.
Konsumsi thyrozol berhubungan signifikan dengan kadar TSH dengan p
value sebesar 0,002 dan nilai r sebesar -0,431. Nilai r yang negatif
menyatakan bahwa konsumsi thyrozol berkorelasi negatif dengan kadar
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

TSH, dimana semakin tinggi konsumsi thyrozol subjek maka kadar TSH
semakin rendah. Tingkat kekuatan hubungan thyrozol dan TSH pada
subjek penelitian ini termasuk cukup. Thyrozol juga memiliki hubungan
yang signifikan dengan FT4 dengan p value sebesar 0,001 dan nilai r
sebesar 0,470. Nilai r yang positif menyatakan bahwa konsumsi thyrozol
berkorelasi positif dengan kadar FT4, dimana semakin tinggi konsumsi
thyrozol subjek maka kadar FT4 semakin tinggi. Tingkat kekuatan
hubungan thyrozol dan FT4 pada subjek penelitian ini termasuk cukup.
Asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat berhubungan secara
signifikan dengan kadar TSH pada pasien hipertiroid (p<0,05).
Berdasarkan tabel 4.4, nilai r berkisar antara -0,296 s.d. -0,351
menunjukkan tingkat kekuatan hubungan yang lemah dan nilai r yang
negatif menyatakan semakin tinggi asupan energi, protein, lemak, dan
karbohidrat maka kadar TSH subjek penelitian semakin rendah. Variabel
perancu lainnya yaitu usia memiliki hubungan signifikan dengan kadar
FT4 dengan nilai p sebesar 0,027 dan nilai r sebesar -0,313. Hubungan
antara usia subjek dan kadar FT4 termasuk lemah, semakin tua usia subjek
maka semakin rendah kadar FT4 subjek penelitian.

Tabel 4.5 Hasil uji regresi antara variabel bebas dan terikat
Unstandardized Standarized
R
Variabel Coefficients Coefficients p
Square
B Std. Error Beta
Asupan zat besi Kadar TSH -0,008 0,005 -0,207 0,043 0,148
Kadar serum besi 0,001 0,001 0,083 0,007 0,564
Asupan seng 0,005 0,010 -0,073 0,005 0,616
Kadar serum seng 0,002 0,002 0,115 0,013 0,428

Asupan zat besi Kadar FT4 -0,007 0,047 -0,023 0,001 0,876
Kadar serum besi 0,011 0,012 0,128 0,017 0,374
Asupan seng 0,099 0,084 0,168 0,028 0,244
Kadar serum seng 0,049 0,019 0,353 0,125 0,012*
Sumber: Data Primer (2020)
*) Pengaruh signifikan secara statistik (p<0,05). Uji regresi linier sederhana.

Hasil uji regresi linier sederhana pada tabel 4.3 menyatakan kadar
serum seng memengaruhi kadar FT4 pasien hipertiroid, dengan nilai p
0,012 dan nilai R square 0,125. Pengaruh kadar serum seng terhadap kadar
FT4 sebesar 12,5%. Jika kadar serum seng meningkat 1 µg/dl, maka
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

meningkatkan kadar FT4 sebesar 0,049 ng/dL pada subjek hipertiroid.


Variabel bebas lainnya tidak berpengaruh terhadap kadar TSH maupun
kadar FT4 (p >0,05) berdasarkan uji regresi linier sederhana.

4. Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui besar pengaruh
dari hubungan antara banyak variabel bebas dan perancu dengan satu
variabel terikat dan dapat melihat variabel yang paling berpengaruh
terhadap kadar TSH dan FT4 pada subjek hipertiroid. Asupan energi, zat
gizi makro, fitat, dan konsumsi thyrozol dimasukkan dalam analisis
multivariat terhadap kadar TSH karena nilai p < 0,25 dan nilai r < 0,5 pada
analisis bivariat. Hal ini juga berlaku pada asupan tanin, konsumsi thyrozol
dan usia subjek yang dilakukan analisis multivariat terhadap kadar FT4.
Uji regresi linier ganda dilakukan pada variabel asupan zat besi,
kadar serum zat besi, asupan seng, kadar serum seng, asupan energi, zat
gizi makro, fitat, dan konsumsi thyrozol dengan kadar TSH (Tabel 4.5).
Hasil uji menunjukkan bahwa asupan zat besi, kadar serum zat besi,
asupan seng, kadar serum seng, asupan energi, zat gizi makro, fitat, dan
konsumsi thyrozol tidak memengaruhi kadar TSH pada subjek hipertiroid,
berdasarkan nilai Sig. F. sebesar 0,277 (p>0,05).

Tabel 4.6. Hasil analisis multivariat terhadap kadar TSH


Unstandardized Standarized
Variabel Coefficients Coefficients t p
B Std. Error Beta
(Constant) 0,186 0,275 0,676 0,503
Asupan zat besi -0,007 0,010 -0,182 -0,714 0,480
Kadar serum zat besi 0,001 0,001 0,059 0,388 0,700
Asupan seng 0,002 0,013 0,025 0,139 0,890
Kadar serum seng 0,003 0,003 0,173 1,124 0,268
Asupan energi 5,17 x 10-5 <0,001 0,114 0,202 0,841
Asupan protein <0,001 0,004 0,040 0,105 0,917
Asupan lemak -0,001 0,003 -0,046 -0,164 0,871
Asupan karbohidrat -0,001 0,001 -0,217 -0,582 0,564
Asupan fitat 1,04 x 10-5 <0,001 0,022 0,082 0,935
Konsumsi thyrozol -0,027 0,10 -0,415 -2,788 0,008*
R square 0,247
F 1,277
Sig. F 0,277
Sumber: Data Primer (2020)
*) Pengaruh signifikan secara statistik (p<0,05). Uji regresi linier ganda.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

Secara independen, konsumsi thyrozol berpengaruh terhadap kadar


TSH (p=0,008), sedangkan asupan seng, kadar serum seng, asupan zat
besi, kadar serum zat besi, asupan energi, zat gizi makro, dan fitat tidak
berpengaruh signifikan terhadap kadar TSH subjek hipertiroid (p>0,05).
Pengaruh konsumsi thyrozol terhadap kadar TSH paling besar
dibandingkan variabel lainnya yang berdasarkan nilai standardized
coefficient B sebesar -0,415. Apabila konsumsi thyrozol meningkat 1 mg,
maka kadar TSH akan menurun sebesar 0,027 mIU/mL pada subjek
hipertiroid.

Tabel 4.7. Hasil analisis multivariat terhadap kadar FT4


Unstandardized Standarized
Variabel Coefficients Coefficients t p
B Std. Error Beta
(Constant) -2,856 2,161 -1,322 0,193
Asupan zat besi -0,030 0,042 -0,092 -0,714 0,479
Kadar serum zat besi 0,006 0,010 0,074 0,624 0,536
Asupan seng 0,172 0,075 0,291 2,309 0,026*
Kadar serum seng 0,031 0,018 0,220 1,723 0,092
Asupan tanin <0,001 <0,001 0,153 1,280 0,208
Konsumsi thyrozol 0,264 0,068 0,482 3,909 <0,001*
Usia -0,014 0,025 -0,068 -0,551 0,584
R square 0,459
F 5,088
Sig. F <0,001*
Sumber: Data Primer (2020)
*) Pengaruh signifikan secara statistik (p<0,05). Uji regresi linier ganda.

Asupan zat besi, kadar serum zat besi, asupan seng, kadar serum
seng, asupan tanin, konsumsi thyrozol, dan usia dengan kadar FT4
dianalisis lebih lanjut menggunakan uji regresi linier ganda, dapat dilihat
pada Tabel 4.6. Berdasarkan nilai Sig.F asupan zat besi, kadar serum zat
besi, asupan seng, kadar serum seng, asupan tanin, konsumsi thyrozol, dan
usia secara bersamaan memengaruhi kadar FT4 subjek hipertiroid
(p<0,001). Secara independen, asupan seng memengaruhi kadar FT4
(p=0,026), begitupula konsumsi thyrozol berpengaruh terhadap kadar FT4
(p<0,001). Asupan zat besi, kadar serum zat besi, kadar serum seng,
asupan tanin, dan usia tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar FT4
subjek hipertiroid (p>0,05).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

Asupan seng memengaruhi kadar FT4 sebesar 0,291 dan setiap


peningkatan asupan seng sebesar 1 mg dapat meningkatkan kadar FT4
sebesar 0,172 ng/dL. Namun, pengaruh konsumsi thyrozol terhadap kadar
FT4 paling besar dibandingkan variabel lainnya berdasarkan nilai
standardized coefficient B sebesar 0,482. Setiap peningkatan 1 mg
konsumsi thyrozol, kadar FT4 meningkat sebesar 0,264 ng/dL. Secara
bersamaan peningkatan asupan zat besi, kadar serum zat besi, asupan seng,
kadar serum seng, asupan tanin, konsumsi thyrozol, dan usia dapat
meningkatkan kadar FT4 sebesar 45,9% dan faktor lainnya memengaruhi
sebesar 54,1% pada subjek hipertiroid penelitian ini.

B. Pembahasan
Subjek hipertiroid pada penelitian ini, lebih banyak berjenis kelamin
perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan prevalensi 18% vs
82% atau 1:5. Proporsi jenis kelamin penelitian ini sesuai dengan prevalensi
hipertiroid di Indonesia yang lebih banyak pada perempuan dibandingkan
laki-laki, yaitu 0,6% perempuan dan 0,2% laki-laki (Kemenkes, 2013).
Sebagian besar subjek memiliki usia lebih dari 30 tahun (86%) dengan rata-
rata usia 40,4 tahun. Studi pada subjek dengan penyakit tiroid autoimun
menunjukkan hubungan antara usia saat diagnosis dan tingkat keparahan
penyakit tiroid (Manji et al., 2006). Studi pada populasi di Cina menunjukkan
pengaruh jenis kelamin dan usia pada fungsi kelenjar tiroid (Meng et al.,
2015). Risiko hipertiroid meningkat seiring bertambahnya usia dan lebih
sering terjadi pada wanita (De Leo et al., 2016).
Sekitar 42% subjek mengalami kegemukan dan obesitas, serta status
gizi kurang sebesar 7%. TSH memiliki hubungan positif dengan derajat
obesitas, peningkatan kadar TSH dan leptin menghasilkan peningkatan massa
lemak tubuh pada individu obesitas (Iacobellis et al., 2005). Hubungan positif
ditemukan antara FT4 dengan lingkar pinggang dan IMT pada pasien
obesitas, konversi hormon T4 menjadi T3 meningkat sejalan dengan
peningkatan aktivitas enzim deiodinase sebagai akibat dari akumulasi lemak
untuk meningkatkan energy expenditure pada subjek obesitas sentral (De
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

pergola et al., 2007). Sebaliknya, penurunan berat badan secara signifikan


memengaruhi penurunan kadar TSH dan leptin, penurunan berat badan
memiliki hubungan timbal balik dengan fungsi kelenjar tiroid pada subjek
obesitas (Kok et al., 2005).
Asupan zat besi lebih ditemukan pada 44% subjek hipertiroid, tetapi
kadar serum zat besi normal pada 80% subjek hipertiroid. Hal ini dikarenakan
asupan zat besi dari sumber nabati jauh lebih tinggi dibandingkan asupan zat
besi sumber hewani, yaitu 12,85 vs 2,93 mg (lihat Tabel 4.3). Bahan makanan
berasal dari tumbuhan mengandung fitat dan tanin yang dapat menghambat
penyerapan zat besi (Milman, 2020), sehingga kadar serum zat besi normal
walaupun asupan zat besi sumber nabati tinggi pada mayoritas subjek
hipertiroid. Berdasarkan studi in vitro, zat besi didalam molekul ferritin yang
dilarutkan mudah dilepaskan selama pencernaan dan berinteraksi dengan fitat
dan tanin (Jin et al., 2009). Tanin membentuk kompleks dengan zat besi yang
tidak larut dalam usus sehingga menghambat penyerapan zat besi (Petry,
2014). Studi pada tumbuhan spirulina menyatakan asam tanat yang
merupakan tanin terhidrolisis dapat mengurangi ketersediaan zat besi (Peng et
al., 2005).
Asupan tanin berhubungan secara negatif dengan kadar Hb (r= - 0,555 ;
p <0,001), semakin tinggi asupan tanin maka semakin rendah kadar
hemoglobin (Setyaningsih et al., 2018). Studi sebelumnya mendukung hasil
tersebut, bahwa asupan tanin pada teh dan asupan fitat berhubungan dengan
kadar Hb dan status anemia pada remaja putri (Marina et al., 2015;
Masthalina et al., 2015). Hasil studi terbaru oleh Marlenywati et al. (2020)
menganjurkan untuk menghindari konsumsi kopi dan teh 1-2 jam sebelum
maupun sesudah makan karena terdapat kandungan fitat dan tanin yang dapat
menghambat penyerapan zat besi (Marlenywati et al., 2020).
Mayoritas subjek hipertiroid yaitu sebesar 70% memiliki asupan seng
yang kurang dari kebutuhan, namun 94% subjek hipertiroid memiliki kadar
serum seng yang normal. Hal ini disebabkan oleh pengaturan keseimbangan
seng oleh tubuh. Kadar serum seng hanya mewakili 0,1% dari total seng
tubuh, seng yang beredar di serum darah berubah sekitar 150 kali per hari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh. Sebagian besar seng terletak


dalam penyimpanan di jaringan otot yang bebas lemak atau otot rangka, yaitu
30 mg seng/kg jaringan otot, sekitar 63% dari total seng dalam tubuh. Selain
itu, sejumlah 25% seng tersimpan didalam rangka tubuh dan tulang (Kambe
et al., 2014).
Ketika asupan seng menurun, keseimbangan seng menjadi negatif yaitu
terjadi kehilangan seng yang disimpan pada jaringan-jaringan tubuh.
Kehilangan seng ini biasanya menyebabkan kekebalan tubuh menurun,
sedangkan penurunan pada kadar serum seng terjadi jika kadar seng dalam
jaringan penyimpanan sangat rendah (Maywald et al., 2015). Oleh karena itu,
sebagian besar subjek hipertiroid penelitian ini memiliki kadar serum seng
yang normal, walaupun rerata asupan seng subjek tergolong rendah atau
kurang dari kebutuhan. Hasil studi ini didukung oleh penelitian sebelumnya,
yaitu seng dari diet atau suplemen tidak memengaruhi kadar serum seng (p >
0,01) pada populasi di Amerika Serikat (Hennigar et al., 2018).

1. Pengaruh Asupan dan Kadar Serum Zat Besi terhadap Kadar TSH
Zat besi merupakan mineral penting yang berperan sentral dalam
banyak proses metabolisme. Metabolisme aerobik sangat bergantung pada
protein yang mengandung zat besi (WHO, 2007). Zat besi juga berperan
sebagai kofaktor penting dalam metabolisme tubuh, sekitar 10% (350 mg)
zat besi ditemukan dalam enzim dan sitokrom (Waldvogel-Abramowski et
al., 2014). Pasien hipertiroid mengalami gangguan metabolisme besi
akibat reaksi fase akut pada hipertiroid (Fischli et al., 2017).
Kelebihan asupan zat besi terjadi pada 22 subjek (44%), sedangkan
kurang asupan zat besi pada subjek hipertiroid di penelitian ini cukup
besar, yaitu 40%. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penduduk
dewasa di Indonesia memiliki rata-rata asupan zat besi sebesar 14,5 mg /
hari. Prevalensi kurang asupan zat besi pada pasien hipertiroid lebih tinggi
dibandingkan kurang asupan zat besi pada populasi orang dewasa
Indonesia, yaitu 40% vs 36,4% (Prasetyo et al., 2018). Asupan zat besi
berlebih yaitu asupan zat besi yang melebihi angka kecukupan gizi, yakni
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64

18 mg/hari pada perempuan dan 9 mg/hari pada laki-laki. Asupan zat besi
subjek pada penelitian ini sekitar 15,08 mg/hari.
Kadar serum zat besi yang rendah ditemukan pada 10 pasien
hipertiroid (20%), sedangan 40 subjek (80%) memiliki kadar serum zat
besi yang normal, dengan rata-rata kadar serum zat besi pada subjek
penelitian sebesar 83,74 µg/dl. Studi sebelumnya pada 49 pasien
hipertiroid menemukan rata-rata kadar serum zat besi subjek hipertiroid
adalah 13,32 µg/g (Hanif et al., 2014). Studi di Turki dan Arab
menunjukkan kadar serum zat besi pasien hipertiroid tidak jauh berbeda
dengan hasil penelitian ini, yaitu 89,03 dan 99,1 µg/dl. Pada kedua
penelitian tersebut kadar serum zat besi subjek hipertiroid lebih tinggi
dibandingkan pasien hipotiroid dan subjek sehat (Onat et al., 2003; Refaat,
2015).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan asupan zat besi
lebih dari kebutuhan dapat menurunkan kadar TSH pada pasien hipertiroid
(r= -0,294; p=0,038), sedangkan kadar serum zat besi tidak memengaruhi
kadar TSH pada pasien hipertiroid (r=0,101; p=0,485). Penelitian
Mulyantoro et al. (2015) menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada
kadar TSH setelah suplementasi zat besi sebesar 60 mg pada anak usia 9-
12 tahun. Hasil studi Refaat (2015) menunjukan sebaliknya, yaitu kadar
serum zat besi berhubungan secara signifikan dengan kadar TSH (r= -
0,151; p=0,001) pada subjek wanita sehat.
Hasil studi pada anak dengan gangguan tiroid di Nepal juga
menunjukkan terdapat hubungan antara kadar TSH dengan kadar
hemoglobin (r= -0,337; p<0,001) dan saturasi transferin (r= -0,024;
p=0,002) (Khatiwada et al., 2016). Penelitian pada anak dengan anemia
defisiensi besi menunjukkan kadar serum zat besi memiliki hubungan
negatif dengan kadar TSH (r= -0,635, p<0,001) dan terdapat hubungan
signifikan antara kadar TSH dan ferritin (r= -0,342; p<0,01) (El Masry et
al., 2018). Hasil studi Fu et al. (2017) mendukung pernyataan tersebut,
dimana nilai TSH pada kelompok dengan kadar serum ferritin >20 g/L
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

kadar serum ferritin 20-100 g/L dan kadar serum ferritin >100 g/L pada
subjek wanita.

2. Pengaruh Asupan dan Kadar Serum Zat Besi terhadap Kadar FT4
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 44% subjek kelebihan
asupan zat besi, 40% subjek kurang asupan zat besi, dan 20% subjek
hipertiroid mengalami defisiensi zat besi berdasarkan kadar serum zat besi
yang rendah. Kelebihan asupan zat besi dapat memperburuk kondisi
hipertiroid dimana sudah terjadi eritrositosis akibat peningkatan
eritropoiesis dan peningkatan kadar serum zat besi pada kondisi tersebut
(Lima et al., 2006). Defisiensi zat besi juga dapat mengganggu
metabolisme tiroid disebabkan zat besi dapat mengubah kontrol sistem
saraf pusat pada metabolisme kelenjar tiroid dan ikatan inti hormon tiroid.
Tiroid peroksidase (TPO) adalah enzim yang mengandung heme atau
protein zat besi yang berperan dalam sintesis hormon tiroid (Tienboon et
al., 2003). Konversi secara enzimatik hormon T4 menjadi T3 oleh enzim
tiroksin 5-deiodenase bergantung pada status zat besi tubuh (Holtorf,
2014). Defisiensi zat besi menurunkan proses konversi T4 menjadi T3 dan
menurunkan enzim hepatic T4-5’-deiodinase (Ashraf et al., 2017).
Berdasarkan uji statistik pada hasil studi ini, asupan zat besi tidak
berpengaruh terhadap kadar FT4 (r= -0,142; p=0,326) dan tidak terdapat
pengaruh yang signifikan antara kadar serum zat besi dengan kadar FT4
subjek hipertiroid (r=0,142; p=0,327). Hasil ini sesuai dengan studi oleh
El-Masry et al. (2018) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan
signifikan antara kadar serum iron dengan FT4 (r=0,06; p=0,647) pada
anak dengan anemia defisiensi besi. Hasil studi Refaat (2015) juga
menunjukan bahwa kadar serum zat besi tidak berhubungan secara
signifikan dengan kadar FT4 (r=0,075; p=0,09) pada subjek wanita sehat.
Penelitian oleh Bastian et al. (2010) memberikan hasil sebaliknya
yaitu, defisiensi zat besi secara signifikan menurunkan kadar serum T4
sebesar 52%. Studi lain menyatakan kekurangan zat besi secara signifikan
menurunkan mRNA gen hormon tiroid dan mengganggu transkripsi gen
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

hormon tiroid yang mengakibatkan perubahan hormon tiroid (Bastian et


al., 2012). Studi oleh Azizi et al. (2002) menunjukkan bahwa frekuensi
gondok atau gangguan kelenjar tiroid berhubungan dengan defisiensi zat
besi pada anak sekolah di Iran. Penelitian Fu et al. (2017) mendukung
hasil studi lainnya, dimana kadar FT4 lebih rendah pada subjek dengan
kadar serum ferritin <20 g/L dan 20-100 g/L, dibandingan dengan
kelompok subjek serum ferritin >100 g/L. Hasil studi Li et al. (2016) dan
Zhang et al. (2020) juga menyatakan, kelompok dengan subjek defisiensi
zat besi memiliki kadar FT4 yang lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol atau subjek sehat.
Penelitian eksperimental dengan memberikan suplementasi zat besi
60 mg pada anak usia 9-12 tahun di Indonesia menunjukkan hasil
peningkatan kadar FT4, walaupun secara statistik tidak bermakna
(Mulyantoro et al., 2015). Studi lainnya oleh Mulyantoro et al. (2018)
menunjukkan bahwa kadar hemoglobin memiliki hubungan positif dengan
kadar FT4 (r=0,24; p<0,05).

3. Pengaruh Asupan dan Kadar Serum Seng terhadap Kadar TSH


Seng merupakan mineral esensial yang memengaruhi sekresi hormon
tiroid pada hipotalamus dan pituitari, seng berperan utama dalam sintesis
thyrotropin releasing hormone (TRH) dan TSH, serta dibutuhkan dalam
aktivitas enzim 5-deiodenase (Brandao-Neto et al., 2006). Hormon TSH
mendorong aktivitas hormon T3 dan T4 pada sel tirotropik kelenjar tiroid
dan menunjukkan status metabolisme seluruh kelenjar tiroid. Sedikit
peningkatan hormon tiroksin (T4) akan menurunkan sekresi TSH sekitar
10 kali lipat (Perkeni, 2017).
Sejumlah 26% subjek mengalami kelebihan asupan seng, sedangkan
subjek yang kekurangan asupan seng sebesar 70%. Asupan seng pada
subjek memiliki rata-rata sebesar 6,23 mg/hari. Angka kecukupan gizi
(AKG) seng adalah 11 mg/hari untuk pria dan 8 mg/hari untuk wanita
(usia 19-59 tahun) (Menkes RI, 2019), sehingga rata-rata asupan seng
subjek lebih rendah dibandingkan AKG. Hasil penelitian ini sesuai dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

studi oleh Prasetyo et al. (2018) yang menunjukkan bahwa asupan seng
pada penduduk usia dewasa Indonesia lebih rendah dibandingkan AKG
yaitu 4,9 mg/hari. Rata-rata asupan seng pada pasien hipertiroid penelitian
ini lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya (6,23 vs 4,9 mg/hari),
sedangkan persentase subjek dengan defisiensi asupan seng pada
penelitian ini mendekati hasil penelitian sebelumnya (70% vs 74,3%)
(Prasetyo et al., 2018).
Rata-rata kadar serum seng subjek sebesar 85,1 µg/dl dan terdapat
perbedaan kadar serum seng subjek antara kelompok subjek hipertiroid
primer, hipertiroid subklinik, dan eutiroid (p<0,001). Sebagian besar
subjek (94%) mempunyai kadar serum seng normal, tetapi 1 orang subjek
memiliki kadar serum seng tinggi dan 2 orang subjek dengan kadar serum
seng rendah. Nilai normal serum seng adalah 60-130 µg/dL. Hasil studi
sebelumnya pada subjek hipertiroid menunjukkan kadar serum seng
sebesar 4,54 µg/g (Hanif et al., 2018), sedangkan rata-rata kadar serum
seng pada subjek hipertiroid di India sebesar 48,93 µg/dl (Sinha et al.,
2015). Perbedaan kadar serum seng subjek hipertiroid dengan hasil
penelitian ini mungkin disebabkan perbedaan metode analisis serum seng
dan karakteristik subjek.
Studi ini menunjukkan hasil, yaitu asupan seng tidak berpengaruh
terhadap kadar TSH (r= -0,162; p=0,261), begitu pula kadar serum seng
terhadap kadar TSH (r=0,15; p=0,299). Penelitian Brandao-Neto et al.
(2006) mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan tidak adanya
hubungan antara kadar serum seng dan kadar TSH. Sanjari et al. (2012)
melakukan studi cross sectional pada anak usia 8-12 tahun di Iran dengan
hasil, yaitu tidak terdapat perbedaan kadar serum seng antara anak gondok
dengan anak tidak gondok dan defisiensi seng bukan merupakan faktor
risiko gondok endemik pada populasi tersebut. Namun, hasil penelitian ini
berbeda dengan studi sebelumnya yang menyatakan terdapat hubungan
positif antara kadar serum seng dengan TSH pada subjek hipertiroid
(r=0,314; p=0,046) (Sinha et al., 2015).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68

Fitat adalah chelator atau pengikat seng yang kuat. Fitat tidak dapat
dicerna atau diserap di saluran usus, sehingga seng yang terikat pada fitat
juga melewati usus, tidak terserap (Lonnerdal, 2000). Fitat pada biji dan
polong-polongan secara alami memiliki kandungan yang tinggi, sedangkan
kandungan fitat sedikit lebih rendah terdapat pada buah, daun, dan sayuran
(Hotz et al., 2004). Rata-rata fitat yang dikonsumsi subjek adalah 808,09
mg/hari. Kelompok dengan asupan fitat tertinggi adalah subjek dengan
hipertiroid subklinis yaitu 842,39 mg / hari.
Rasio molar fitat:seng telah digunakan untuk memperkirakan
proporsi seng yang dapat diserap oleh saluran cerna. Efek penghambatan
fitat pada penyerapan seng bergantung pada kuantitas atau jumlah fitat dan
seng yang dikonsumsi. Kategori laju absorpsi seng berdasarkan rasio
molar fitat:seng adalah <5, 5-15, dan >15 mmol / hari yang merupakan
angka absorpsi seng tinggi, sedang, dan rendah (Hotz et al., 2004; Gibson
et al., 2018). Rasio molar fitat:seng pada penelitian ini adalah 13,84
mmol/hari, berarti penyerapan seng pada subjek hipertiroid termasuk
kategori sedang. Nilai ini lebih rendah dibandingkan rasio molar fitat:seng
pada wanita dewasa di India, yaitu 26 mmol/hari. Penghambatan fitat
terhadap penyerapan seng merupakan salah satu variabel perancu dalam
hubungan asupan dan kadar serum seng terhadap kadar TSH pada subjek
hipertiroid (Herbst et al., 2014; Gibson et al., 2018).

4. Pengaruh Asupan dan Kadar Serum Seng terhadap Kadar FT4


Tiroksin (T4) adalah hormon utama yang diproduksi oleh kelenjar
tiroid, yaitu 93% dari total hormon tiroid. Hormon T4 dilepaskan dalam
bentuk terikat dengan thyroxine-binding globulin (TBG), thyroxine-
binding prealbumin (TBPA) dan albumin. FT4 adalah bentuk bebas dari
tiroksin yang beredar di aliran darah. Meskipun hanya 0,03-0,05% FT4
dalam sirkulasi darah, namun FT4 valid untuk menggambarkan keadaan
hipertiroid karena tidak terikat dengan protein (Barac-Latas, 2009;
Perkeni, 2017).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69

Asupan seng tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar FT4


(r=0,114; p=0,429) tetapi kadar serum seng berpengaruh terhadap kadar
FT4 (r=0,327; p=0,02). Kadar serum seng dan kadar FT4 memiliki arah
hubungan yang positif, artinya peningkatan kadar serum seng diatas nilai
normal dapat meningkatkan kadar FT4 pada pasien hipertiroid. Rerata
kadar serum seng subjek penelitian ini sebesar 85,1 µg/dL. Subjek
hipertiroid dalam studi Salih et al. (2019) memiliki rata-rata kadar serum
seng sebesar 80,5 µg/dL, tidak jauh berbeda dengan penelitian ini.
Kadar serum seng pada studi ini adalah 72,15 µg/dL pada laki-laki
dan 73,29 µg/dL pada perempuan. Defisiensi seng berdasarkan kadar
serum seng rendah maupun asupan seng yang rendah dapat memperburuk
kondisi hipertiroid, begitu pula kadar serum seng yang tinggi (Sinha et al.,
2015). Seng dapat meningkatkan produksi protein pengikat T4 yang dapat
mengubah kadar T4 dalam darah. Seng merupakan mineral esensial dan
dibutuhkan dalam fungsi enzim I-5'deiodinase yang mengubah hormon T4
menjadi T3 bentuk aktif. Enzim deiodinase bertindak untuk
menghilangkan molekul iodium dari T4 (Severo et al., 2019).
Hasil penelitian ini sejalan dengan studi oleh Maxwell et al. (2007)
yang menyatakan terdapat peningkatan kadar FT4 setelah 2 bulan
pemberian suplementasi zinc gluconate sejumlah 26,4 mg/hari. Selain itu,
penelitian pada populasi Amerika Serikat memberikan hasil bahwa kadar
serum seng berpengaruh terhadap kadar FT4 (Jain, 2014). Sebaliknya,
studi pada pasien gondok menemukan tidak ada perbedaan yang bermakna
antara subjek dengan kadar serum seng rendah dan kadar serum seng
normal terhadap prevalensi gondok (Sanjari et al., 2011).

5. Pengaruh Asupan dan Kadar Serum Zat Besi serta Seng terhadap
Kadar TSH dan FT4 pada Pasien Hipertiroid
a. Asupan dan kadar serum zat besi serta seng terhadap kadar
TSH
Hasil analisis multivariat penelitian ini menyatakan bahwa
asupan zat besi, kadar serum zat besi, asupan seng, kadar serum
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70

seng, asupan energi, zat gizi makro, fitat, dan konsumsi thyrozol
tidak memengaruhi kadar TSH (p=0,277; R square=0,247). Secara
independen, asupan zat besi juga tidak berpengaruh terhadap kadar
TSH (p=0,480; B= -0,007; β standardized= -0,182). Walaupun
sebelumnya pada uji bivariat menunjukkan bahwa asupan zat besi
yang meningkat lebih dari kebutuhan dapat menurunkan kadar TSH
pasien hipertiroid (p=0,038 ; r= -0,294).
Sebaliknya, analisis regresi linier yang dilakukan oleh He et al.
(2018) menunjukkan bahwa kadar serum ferritin dan usia secara
signifikan memengaruhi kadar TSH pada subjek wanita hamil (β
standardized= -0,007 dan -0,059; p<0,05). Hasil studi terbaru
menunjukkan kadar TSH yang lebih tinggi pada subjek defisiensi zat
besi dibandingkan subjek kontrol. Analisis regresi logistik
mengkonfirmasi bahwa defisiensi zat besi merupakan faktor risiko
untuk peningkatan antibodi tiroglobulin yang berperan mengaktifkan
hormon tiroid (Zhang et al., 2020). Penelitian oleh Wang et al.
(2014) menyatakan bahwa pasien dengan autoantibodi tiroid
memiliki frekuensi defisiensi zat besi dan hemoglobin yang
signifikan lebih tinggi dibandingkan subjek sehat.
Studi sebelumnya menyatakan subjek wanita defisiensi zat besi
ringan dan subjek dengan anemia defisiensi zat besi memiliki kadar
TSH yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kontrol
(p<0,001). Angka positif thyroid peroxidase antibodies (TPOAb)
juga lebih tinggi pada kedua kelompok defisiensi zat besi (p<0,005)
(Li et al., 2016). Tiroid peroksidase adalah enzim yang berperan
dalam produksi hormon tiroid, kehadiran TPOAb dalam darah
menunjukkan kelainan autoimun sebagai penyebab penyakit tiroid.
Status zat besi tubuh berhubungan dengan fungsi tiroid dan dapat
menyebabkan gangguan hormon tiroid terutama autoimunitas tiroid
apabila kekurangan maupun kelebihan zat besi (Li et al., 2016;
Okuroglu et al., 2020).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71

Walaupun asupan fitat tidak berpengaruh terhadap kadar TSH


pasien hipertiroid (p=0,067; r= -0,261), fitat memiliki efek
penghambatan pada ketersediaan zat besi dalam makanan. Asupan
fitat pada populasi di Cina sekitar 648-1433 mg/hari (Ma et al.,
2007). Pada penelitian ini rata-rata asupan fitat subjek hipertiroid
sebesar 808,9 mg/hari dengan rasio molar fitat:zat besi sebesar 4,67
mmol/hari. Fitat memberikan efek penghambatan pada zat besi
dengan membentuk kompleks fitat-zat besi yang tidak larut dan tidak
dapat dicerna (Umeta et al., 2005). Rasio molar fitat:zat besi
digunakan untuk memprediksi efek penghambatan fitat terhadap
ketersediaan zat besi dalam diet dan bahan makanan. Rasio molar
fitat:zat besi >1 mmol/hari merupakan indikasi biovailabilitas zat
besi yang buruk (Ma et al., 2005). Asupan fitat juga memengaruhi
penyerapan seng pada subjek hipertiroid, walaupun pada penelitian
ini penyerapan seng dikategorikan sedang. Fitat memengaruhi
penyerapan zat besi dan seng yang berdampak pula pada kadar
serum zat besi dan seng, serta hubungannya dengan kadar TSH.
Berdasarkan hasil analisis multivariat, secara independen
konsumsi thyrozol berpengaruh terhadap kadar TSH pada pasien
hipertiroid (p=0,008; B= -0,027; β standardized= -0,415).
Peningkatan konsumsi thyrozol sebesar 1 mg dapat menurunkan
kadar TSH sebesar 0,027 mIU/mL. Thyrozol merupakan salah satu
obat anti-tiroid yang dapat memulihkan homeostasis normal dari
kelenjar tiroid-hipotalamus-hipofisis. Terapi pengobatan thyrozol
menurunkan kadar hormon T4 terlebih dahulu, kemudian
memengaruhi peningkatan kadar TSH pada pasien hipertiroid (Leger
et al., 2018).
Tidak terdapat pengaruh antara asupan energi dan zat gizi
makro dengan kadar TSH (p>0,05). Namun, hasil analisis bivariat
penelitian ini menyatakan terdapat hubungan negatif antara asupan
energi, protein, lemak, dan karbohidrat dengan kadar TSH pasien
hipertiroid (p<0,05). Hasil studi Brdar et al. (2021) menyatakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72

pembatasan asupan energi atau kalori cenderung mengurangi fungsi


tiroid karena dianggap sebagai mekanisme penyimpanan energi
dengan efek mengurangi kadar hormon tiroid. Konsumsi makanan
dengan indeks glikemik tinggi dengan frekuensi sering menunjukkan
hubungan negatif dengan kadar TSH, sedangkan terhadap kadar FT4
menunjukkan hubungan positif. Konsumsi makanan tinggi
kandungan asam lemak jenuh dan makanan protein tinggi
menunjukkan hubungan negatif dengan kadar hormon tiroid FT4
(Brdar et al., 2021).
Keseimbangan energi dipengaruhi oleh hormon tiroid melalui
beberapa mekanisme. Hormon tiroid mempercepat jalur sintetik
anabolisme dan katabolisme dan merangsang metabolisme energi,
sehingga terjadi peningkatan proses pengambilan energi. Hormon
tiroid juga berperan dalam termogenesis fakultatif dan meningkatkan
asupan makanan (Kim, 2008; Yavuz et al., 2019) . Poros
hipotalamik pituitari tiroid berperan dalam pengaturan metabolisme
makanan, energy expenditure, dan termogenesis. Gangguan pada
poros hipotalamik pituitari tiroid dapat terjadi pada pasien
hipertiroid, hal tersebut berdampak pada terganggunya metabolisme,
termogenesis, dan berat badan (Yavuz et al., 2019).

b. Asupan dan kadar serum zat besi serta seng terhadap kadar
FT4
Peningkatan asupan zat besi, kadar serum zat besi, asupan
seng, kadar serum seng, asupan tanin, konsumsi thyrozol, dan usia
secara bersamaan dapat meningkatkan kadar FT4 subjek hipertiroid
(p<0,001; R square=0,459). Secara independen, asupan seng pasien
hipertiroid berpengaruh terhadap kadar FT4 (p=0,026; B=0,172;
β standardized=0,291). Hasil studi Jain (2014) menunjukkan kadar
serum seng berpengaruh terhadap kadar FT4 dan total T4 (p<0,01).
Penelitian sebelumnya pada subjek dengan penyakit autoimun tiroid
yang melakukan analisis regresi, menunjukkan kadar serum seng
berpengaruh signifikan terhadap volume kelenjar tiroid (p=0,043)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73

(Ertek et al., 2010). Namun, studi Sanjari et al. (2011) menunjukkan


hasil sebaliknya yaitu tidak ada perbedaan signifikan pada subjek
yang memiliki kadar serum seng yang rendah dan normal dalam
prevalensi gondok.
Seng sangat penting untuk fungsi normal dari homeostasis
sistem metabolik tubuh, stimulasi sel, aktivitas enzim, perlindungan
terhadap stres oksidatif, transmisi saraf, dan sistem kekebalan tubuh
(Rink et al, 2007). Seng sebagai ko-enzim untuk banyak enzim yang
terlibat dalam berbagai proses metabolisme dan seng berperan untuk
membuat jaringan menjadi peka terhadap hormon tiroid. Seng juga
terlibat dalam diferensiasi, proliferasi, perbaikan dan pembaruan sel
(Maret, 2013).
Seng memengaruhi konversi hormon T4 menjadi T3, dan
aktivitas metabolisme hormon tiroid (Freake et al., 2001). Asupan
seng dan status seng tubuh yang tinggi berkontribusi pada
peningkatan hormon tiroid karena seng merupakan stimulator pada
kelenjar tiroid (Khanam, 2018). Penelitian Maxwell et al. (2007)
pada subjek wanita defisiensi seng sejalan dengan penelitian ini,
dimana terdapat peningkatan kadar FT4 setelah 2 bulan
mengkonsumsi suplementasi seng berupa zinc gluconate sejumlah
26,4 mg/hari, sedangkan kadar hormon T3 naik setelah 4 bulan
suplementasi. Penelitian pada pasien gondok oleh Kandhro et al.
(2009) menunjukkan suplementasi seng sejumlah 30 mg/hari selama
6 bulan dapat meningkatkan kadar serum seng, menurunkan ekskresi
seng di urin, dan memperbaiki parameter TSH, FT3, dan FT4.
Penelitian diatas mendukung hasil studi ini yang menyatakan setiap
peningkatan 1 mg asupan seng, menyebabkan peningkatan kadar
FT4 sebesar 0,175 ng/dL.
Asupan tanin, konsumsi thyrozol, dan usia secara bersamaan
juga memengaruhi kadar FT4 pasien hipertiroid. Tanin merupakan
polifenol yang ditemukan meningkatkan penyerapan seng.
Berdasarkan studi Sreenivasulu et al. (2010), tanin memengaruhi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74

secara signifikan penyerapan seng dalam sel Caco-2. Kompleks


tannin-seng langsung diserap melalui enterosit dan tidak melibatkan
transporter spesifik. Tanin menyebabkan serapan seng menjadi tidak
jenuh, dimana studi sebelumnya oleh Sreenivasulu et. al. (2008)
penyerapan seng tanpa tanin ditemukan serapan menjadi jenuh
sekitar 2 jam.
Konsumsi thyrozol secara independen memengaruhi kadar FT4
pasien hipertiroid (p<0,001; B=0,264; β standardized=0,482).
Peningkatan konsumsi thyrozol 1 mg dapat meningkatkan kadar FT4
sebesar 0,264 ng/dL pada pasien hipertiroid penelitian ini. Thyrozol
mengandung thiamazole yang digunakan untuk mencegah produksi
hormon tiroid yang berlebihan. Thiamazole menghambat
pembentukan tiroid peroksidase dan penggabungan ioditirosin,
kemudian menghambat penggunaan dan oksidasi iodida sehingga
sintesis hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) menurun (De
Leo et al., 2016). Oleh karena itu, thyrozol digunakan sebagai obat
anti-tiroid karena efeknya yang menurunkan hormon tiroid.
Pengobatan thyrozol dengan dosis 0.2-0.8 mg/kg berat
badan/hari dan durasi waktu 2-4 minggu secara efektif dapat
menormalkan kadar hormon tiroid. Namun, evaluasi klinis dan
biologis harus dilakukan hingga 6 minggu selama terapi hipertiroid
dan kemudian setiap 3-4 bulan sekali. Terapi jangka panjang harus
dilakukan karena penyakit hipertiroid dapat muncul kembali pada
50-60% pasien (Leger et al., 2018).
Rerata usia subjek adalah 40,4 tahun dan sejumlah 64% subjek
hipertiroid berusia 30-49 tahun. Studi oleh Minasyan et al. (2020)
pada 114 subjek hipertiroid penyakit Grave’s dengan rata-rata usia
47 tahun menunjukkan terdapat hubungan negatif antara rasio
FT3:FT4 dan usia subjek. Studi lainnya pada populasi Iran
menyatakan kadar FT4 lebih tinggi pada kelompok usia 20-29 tahun
dibandingkan usia diatas 30 tahun (Abdi et al., 2021). Studi tersebut
mendukung hasil penelitian ini, yaitu usia subjek hipertiroid
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75

memiliki hubungan negatif dengan kadar FT4 (p=0,027; r= -0,313).


Semakin meningkat usia subjek, maka semakin rendah kadar FT4
subjek hipertiroid.

c. Faktor lain yang mempengaruhi kadar TSH dan FT4


Peningkatan asupan zat besi, kadar serum zat besi, asupan
seng, kadar serum seng, asupan tanin, dan konsumsi thyrozol dapat
meningkatkan kadar FT4 sebesar 45,9% pada subjek hipertiroid
penelitian ini dan 54,1% dipengaruhi oleh faktor lain. Beberapa
faktor lain yang memengaruhi hormon tiroid antara lain peningkatan
usia, penggunaan zat kontras yang mengandung iodium, peningkatan
stress yang memengaruhi antibodi reseptor TSH, kebiasaan merokok
dan penggunaan obat selain thyrozol, seperti amiodaron, lithium
karbonat, dan aminogluthimide jangka panjang (Kemenkes RI,
2015).
Iodium merupakan mineral esensial yang dibutuhkan tubuh
untuk membentuk hormon tiroid. Iodium merupakan komponen dari
hormon tiroksin (T4) dan berperan dalam proses sintesis hormon
tiroid pada sel-sel folikel tiroid (Rayman, 2019). Hipertiroid yang
terjadi akibat kelebihan asupan iodium disebut efek Jod-Basedow
yang biasanya terjadi pada pasien gondok di lingkungan endemic
gondok. (Katagirl et al., 2017; Hernando et al., 2015). Studi oleh
Komorowulan et al. (2016) di kota Yogyakarta dan Bukit Tingi
memberikan hasil bahwa terdapat status iodium berpengaruh
terhadap fungsi tiroid wanita usia subur. Sari et al. (2015) juga
menyatakan terdapat hubungan signifikan antara tingkat konsumsi
makanan tinggi iodium dengan kejadian hipertiroid pada wanita usia
subur di daerah endemik dan non endemik gondok di Kabupaten
Magelang.
Peningkatan stress dapat meningkatkan kadar hormon tiroid
melalui pengaruh stress pada antibodi reseptor TSH. Hasil studi di
Magelang menunjukkan hubungan yang bermakna antara tingkat
stress dengan kejadian hipertiroid pada wanita di daerah endemik
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76

maupun non endemik gondok (Sari et al., 2015). Stress dapat


menjadi faktor risiko pemicu tingkat keparahan hipertiroid karena
memengaruhi tingkat keparahan klinis pasien hipertiroid (Vos et al.,
2009).
Studi yang dilakukan Sari et al. (2015) pada subjek di daerah
endemik gondok menemukan bahwa paparan asapan rokok
berhubungan dengan kejadian hipertiroid. Senyawa benzpyrene yang
dihasilkan asap rokok dapat menstimulasi sekresi hormon tiroid
dengan cara menstimulasi sistem saraf simpatis (Holm et al., 2005).
Namun, paparan asap rokok tidak berhubungan dengan kejadian
hipertiroid pada subjek daerah non endemik gondok yang didukung
hasil studi sebelumnya yaitu tidak terdapat perbedaan yang
bermakna pada kadar TSH antara subjek yang terpapar asap rokok
dan subjek kontrol (Sari et al., 2015).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, asupan zat besi memiliki
hubungan yang negatif dengan kadar TSH (p=0,038; r= -0,294).
Namun, hasil analisis multivariat menyatakan asupan dan kadar
serum zat besi tidak berpengaruh terhadap kadar TSH maupun FT4
(p>0,05). Hal ini dapat disebabkan oleh interaksi fitat, tanin, dan
vitamin C yang mempengaruhi biovailabilitas zat besi, sehingga zat
besi menjadi tidak berpengaruh terhadap hormon tiroid. Fitat dan
tanin merupakan zat inhibitor penyerapan zat besi, kedua zat tersebut
berikatan dengan zat besi dan membentuk kompleks yang tidak larut
dalam usus. Kompleks tersebut menghambat penyerapan zat besi,
sedangkan vitamin C terbukti melindungi besi terhadap
pembentukan kompleks dengan polifenol dan meningkatkan
penyerapannya. (Petry, 2014).
Zat besi dalam molekul feritin yang dilarutkan mudah
dilepaskan selama pencernaan in vitro dan berinteraksi dengan zat
enhancer maupun zat inhibitor (Jin et al., 2009). Hasil studi terbaru
menunjukkan kecukupan asupan zat besi, vitamin C dan jumlah
asupan tanin berhubungan dengan kadar hemoglobin (Setyaningsih
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77

et al., 2018), serta terdapat hubungan signifikan antara vitamin C,


konsumsi kopi, konsumsi teh dengan kadar hemoglobin (p<0,05)
pada remaja putri di Pontianak (Marlenywati et al., 2020). Beberapa
penelitian juga mendukung adanya hubungan positif antara asupan
vitamin C dan kadar hemoglobin (Pradanti et al., 2015 ; Sholicha et
al., 2019), serta terdapat peningkatan kadar hemoglobin yang lebih
signifikan pada subjek yang mengkonsumsi tablet zat besi
bersamaan dengan vitamin C (Rusmiatil, 2019 ; Utama et al., 2013).
Makanan sumber fitat yang sering dikonsumsi subjek
hipertiroid adalah produk olahan kedelai seperti tempe dan tahu,
sedangkan makanan tinggi tanin yang sering dikonsumsi subjek
yaitu teh dan kopi. Selain itu, subjek hipertiroid juga mengkonsumsi
makanan sumber vitamin C atau asam askorbat yang merupakan zat
enhancer penyerapan zat besi seperti sayuran hijau, tomat, pepaya,
dan jeruk.

C. Nilai-Nilai Kebaruan
Penelitian terkait hubungan antara seng, zat besi, TSH, FT4, dan
hipertiroid sudah banyak dilakukan sebelumnya. Nilai kebaruan dari hasil
penelitian ini adalah ditemukannya pengaruh asupan dan kadar serum seng
terhadap kadar FT4 pada pasien hipertiroid. Peningkatan kadar serum seng
sebesar 1 µg/dL dapat meningkatkan kadar FT4 sebesar 0,049 ng/dL,
sedangkan peningkatan asupan seng sebesar 1 mg dapat meningkatkan kadar
FT4 sebesar 0,172 ng/dL. Studi sebelumnya oleh Jain (2014) menyatakan
kadar serum seng berpengaruh terhadap kadar FT4 pada populasi Amerika
Serikat, namun tidak diketahui berapa besar pengaruh kadar serum seng
terhadap FT4. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menyatakan bahwa secara
bersamaan peningkatan asupan zat besi, kadar serum zat besi, asupan seng,
kadar serum seng, asupan tanin, dan thyrozol dapat meningkatkan kadar FT4
pasien hipertiroid sebesar 45,5%.
Penelitian terkait zat besi dan hormon tiroid sudah banyak dilakukan
sebelumnya. Penelitian ini menemukan peningkatan asupan zat besi dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78

meningkatkan kadar TSH pada pasien hipertiroid, sedangkan penelitian


sebelumnya dilakukan oleh Mulyantoro et al. (2015; 2018) pada anak sekolah
usia 9-12 tahun di Indonesia dengan hasil studi yaitu suplementasi zat besi 60
mg dapat meningkatkan kadar FT4 dan terdapat hubungan positif antara
kadar hemoglobin dan FT4.

D. Keterbatasan Penelitian
Peneliti tidak melakukan pengukuran kadar hepcidin, sedangkan
hepcidin merupakan protein utama yang mengatur kadar zat besi dalam darah
(WHO, 2007). Hepcidin meningkat pada keadaan hipertiroid dan
memengaruhi produksi hormon tiroid T3 dan T4 melalui ekspresi mRNA sel
HepG2, akibatnya terjadi peningkatan kadar hormon T4. Hepcidin
memengaruhi kadar serum zat besi maupun kadar FT4 (Fischli et al., 2017).
Keterbatasan lainnya, yaitu peneliti melakukan food recall 2x24 jam.
Sebaiknya food recall dilakukan 3x24 jam, sebab apabila terdapat perbedaan
yang signifikan antara wawancara asupan makanan hari pertama dan kedua,
data food recall hari ketiga dapat ditambahkan untuk menggambarkan rata-
rata asupan makanan subjek penelitian selama 24 jam (Castell et al., 2015).

Anda mungkin juga menyukai