Anda di halaman 1dari 43

PROPOSAL TESIS

PENGATURAN, PENJAGAAN, PENGAWALAN DAN PATROLI


(TURJAWALI) OLEH KEPOLISIAN SEBAGAI UPAYA PREVENTIF
DALAM MENANGGULANGI KECELAKAAN LALU LINTAS DI
KABUPATEN BANYUASIN

Disusun Oleh:
FERI YUSAG JUMAIDI
NIM : 21240020

YAYASAN PENDIDIKAN DAN KESEHATAN KADER


BANGSA UNIVERSITAS KADER BANGSA PALEMBANG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
2023

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i


PENETAPAN JUDUL DAN PEMBIMBING ................................................................ii
PERSETUJUAN PROPOSAL UNTUK DISEMINARKAN ...................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iv
A. LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................. 9
C. TUJUAN PENELITIAN ........................................................................................... 10
1. Tujuan Deskriptif .................................................................................................... 10
2. Tujuan Kreatif ......................................................................................................... 10
3. Tujuan Inovatif ....................................................................................................... 10

D. KEGUNAAN / MANFAAT PENELITIAN ............................................................. 10


1. Kegunaan / manfaat Teoritis ................................................................................... 10
2. Kegunaan / Manfaat Praktis .................................................................................... 11
3. Kegunaan / Manfaat Inovatif................................................................................... 11

E. KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL .................................................... 11


1. Kerangka Teoritis ......................................................................................................... 11
2. Kerangka Konseptual ................................................................................................... 28

F. METODE PENELITIAN .......................................................................................... 31

G. SISTEMATIKA PENULISAN................................................................................. 37

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang merdeka dengan segala kebebasannya tapi

tetap diatur oleh peraturan, yang segala penyelenggaraan pemerintahannya

berdasarkan hukum yang berlaku. Negara Indonesia adalah negara hukum

(rechtsstaat), hal ini secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945

pasal 1 ayat 3. Adapun negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan

keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan

alat-alat perlengkapan negara atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang

demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. 1

Dengan demikian, negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) sudah

pasti bukan negara yang berdasarkan kekuasaan otoriter. Oleh karena itu,

kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segalanya. Setiap perbuatan harus

sesuai dengan aturan hukum tanpa kecuali.2 Hal ini merupakan salah satu cara

untuk mencapai pembangunan nasional Indonesia yang tepat dan terarah, yaitu

untuk melahirkan suatu keadaan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur

secara merata baik materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945. Salah satu prasarana yang diperlukan dalam rangka pembangunan

nasional adalah pengaturan tentang penggunaan jalan raya.

1
Abdul Aziz hakim, Negara Hukum dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2011, hal. 8
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 69

1
2

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam

mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya

memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus

dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam

rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah.

Perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut

penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta

akuntabilitas penyelenggaraan negara. Sebagai bagian dari sistem transportasi

nasional, lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan

perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas

dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta

akuntabilitas penyelenggaraan negara.3

Perkembangan Lalu lintas dan angkutan jalan merupakan hal yang

penting dalam meningkatkan mobilitas sosial masyarakat, sehingga Negara

merasa penting untuk mengaturnya sesuai dengan perkembangan zaman agar

terjaganya hak-hak warga negara dalam kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang sangat dekat

3
Suwarjoko P. Warpani, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ITB, Bandung,
2012, hlm. 3.
3

dengan masyarakat. Hal ini dapat digambarkan sebagai aliran darah dalam tubuh

manusia. Setiap waktu masyarakat terus berhubungan dengan Angkutan Jalan

untuk memenuhi berbagai macam kepentingan setiap harinya. 4

Pada sisi lain perkembangan transportasi yang pesat secara tidak

langsung akan memperbesar risiko timbulnya permasalahan lalu lintas.

Kecelakaan lalu lintas menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) adalah suatu

peristiwa dijalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan

kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban

manusia dan/ atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas dapat terjadi

karena pengemudi kendaraan yang melanggar rambu-rambu lalu lintas.

Pengemudi mengemudikan kendaraan dengan semaunya sendiri, ketidaktahuan

terhadap peraturan yang berlaku, tidak terampil dalam berkendara, dan

rendahnya tingkat kesadaran pengendara. Tidak sedikit kecelakaan lalu lintas

karena membawa kendaraan dalam keadaan mengantuk, mabuk dan mudah

terpancing oleh pengendara jalan lainnya.5

Setiap waktu masyarakat terus bergulat dengan angkutan jalan dengan

bermacam-macam kepentingannya, oleh karena itu hak warga, negara dalam

berlalu lintas dijamin dan dilindungi oleh negara. Pada Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan

Jalan maka penyelenggaraan kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara

keamanan lalu lintas dan angkutan jalan dapat terlaksana berkat kerjasama dari
4
Ibid, hal. 4
5
Widianto Putero, Management Keselamatan Lalu Lintas, Lemdiklat Polri Pusdik
Lantas, Jakarta, 2001, hal. 23
4

aparat pemerintah dan swasta, Polri sebagai pihak pemerintah dan PT. Jasa

Raharja sebagai pihak swasta.

Adanya aturan khusus dalam berlalu lintas tersebut, merupakan

konsekuensi dari tujuan dikeluarkannya UU LLAJ yang tertera di dalam

konsiderans UU LLAJ, terutama huruf b, yang menyatakan bahwa lalu lintas dan

angkutan jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus

dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam

rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah.6

Secara realitanya kecelakaan yang sering terjadi berawal dari

pelanggaran lalu lintas. Hal inilah yang kurang disadari dalam masyarakat,

masih banyak masyarakat yang menganggap remeh untuk mematuhi aturan lalu

lintas. Kebanyakan masyarakat terkhusus para pengguna jalan hanya merasa

takut pada Polisi yang berjaga di jalan, bukan atas dasar keinginan dari diri

pribadi untuk mengikuti peraturan lalu lintas. Sehingga ketika tidak ada Polisi

yang berjaga, sebagian warga melakukan pelanggaran yang tak jarang

menyebabkan kecelakaan hingga menimbulkan korban.7

Polri mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat

terhindar dari bahaya-bahaya yang dapat merugikan diri sendiri maupun semua

pihak. Upaya polisi untuk mencegah adanya gangguan keamanan dan ketertiban

masyarakat sangatlah banyak dan sudah terbagi dalam setiap bidangnya.

6
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,
Prenadama Group, Jakarta, 2016, hal. 210-211
7
Hendri Ardana, Inventarisasi dan Analisa Terhadap Perundang-undangan Lalu
Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, CV.
Rajawali, Jakarta, 2014, hal. 32
5

Program Promoter Polri yang sekarang sedang dijalankan oleh KAPOLRI

diusahakan untuk membantu Polri dalam melaksanakan tugasnya.

Polisi Lalu lintas merupakan unsur pelaksana yang bertugas

menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan,

pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas,

registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan

kecelakaan lalu lintas dan penegakkan hukum dalam bidang lalu lintas.

Pihak satuan lalu lintas berfungsi untuk pemeliharaan keamanan

keselamatan ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan pencegahan kejahatan

secara terpadu. Kemacetan lalu lintas menjadi meningkat ketika ditemukan

berbagai kendaraan bermotor. Munculnya kemacetan di jalan raya merupakan

dampak dari kebutuhan pengguna jalan dan juga volume kendaraan yang makin

bertambah. Hal ini tampak dari arus lalu lintas yang kian memadat. Tidak hanya

kemacetan saja yang berdampak dari volume kendaraan yang makin bertambah,

namun kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat di Indonesia. Angka

kecelakaan di Indonesia sangatlah tinggi, dapat dilihat dari data korlantas yang

menunjukan ada 24.642 jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Dengan kata

lain, jumlah kecelakaan lalu lintas pada Januari sampai 13 September 2022

mengalami kenaikkan 34,6 persen dari 2021.8

Kecelakaan lalu lintas juga menjadi masalah pada wilayah hukum Polres

Banyuasin, dengan keadaan wilayah Banyuasin yang luas dan ramai, menjadi

jalur penghubung antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, yang

8
Aryo Putranto Saptohutomo, Korlantas Polri Catat 94.617 Kecelakaan pada
Januari-September 2022, https://nasional.kompas.com, diakses tanggal 13 Maret 2023
6

dikenal sebagai kota pelajar dan kota pariwisata. Banyuasin berbatasan langsung

dengan Provinsi Jambi yang merupakan pusat perdagangan.

Dengan demikian semakin rawanlah jalur lalu lintas Kabupaten

Banyuasin, dan banyak terjadi kecelakaan lalu lintas dan pelanggaran lalu lintas

yang melibatkan pelajar didalamnya. Korban kecelakaan lalu lintas merupakan

objek tugas dalam pelaksanaan tugas Polri di bidang lalu lintas untuk mencegah

hal tersebut.

Banyak upaya yang telah dilakukan oleh kesatuan lalulintas dari Polres

Banyuasin, diantaranya melakukan pengaturan lalulintas pada waktu-waktu

tertentu, penjagaan ditempat-tempat yang rawan kecelakaan lalulintas, serta

patroli pada saat-saat tertentu. kesemuanya dilakukan oleh polisi lalulintas demi

untuk menjaga keamanan masyarakat dalam berlalulintas serta melakukan upaya

pencegahan terjadinya kecelakaan lalulintas di wilayah hukum polres Banyuasin

Sumatera Selatan.

Namun demikian, upaya yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian

tersebut tidak semuanya berhasil, namun masih sering terjadi kecelakaan

lalulintas di wilayah hukum polres Banyuasin. Oleh karena hal tersebut, peneliti

merasa penting untuk mengamati dan meneliti mengenai peran satuan lalu lintas

unit pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli dalam penindakan

pelanggaran untuk mengurangi pelanggaran lalu lintas pada pelajar SMA di

Kabupaten Banyuasin. Perkembangan kepolisian pada fungsi lalu lintas Polres

Banyuasin.
7

Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang

Lalulintas dan Angkutan Jalan telah menetapkan beberapa pasal yang mengatur

tentang larangan saat berlalulintas. Hal ini dilakukan agar tercipta lalulintas yang

tertib dan terhindar dari berbagai macam kecelakaan. Apabila merujuk kepada

ketentuan dalam UU LLAJ terlihat demikian banyaknya ketentuan pidana bagi

pengendara yang menggunkana jalan raya tanpa disiplin, dengan harapan untuk

ketertiban bersama, namun demikian dengan aturan normatif saya belum cukup

bagi masarakat. Oleh sebab itu keberadaan aparat kepolisian dalam mengatur

lalulintas angkutan jalan masih sangat diperlukan.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 200 ayat (3) huruf h UU LLAJ, maka

undang-undang telah memberikan kewenangan terhadap pihak kepolisian dalam

rangka penegakan hukum dalam rangka mewujudkan dan memelihara

Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Salah satu cara yang dilakukan oleh

pihak kepolisian adalah dengan penerapan “tilang”. Tilang merupakan alat bukti

pelanggaran tertentu di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dengan format

tertentu yang ditetapkan.

Berdasarkan Bab III Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, diatur tentang tugas dan wewenang kepolisian. Dalam Pasal 16

mengatur tentang kewenangan aparat kepolisian diantaranya menyuruh berhenti

orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan

melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.


8

Sebagai data awal, berikut ditampilkan data yang dihimpun oleh peneliti

dari Polres Banyuasin Sumatera Selatan pada kurun waktu dari tahun 2018

sampai dengan tahun 2022. Data ini ditampilkan untuk menunjukkan bahwa

tinggkat kecelakaan masih cukup tinggi yang terjadi di wilayah hukum Polres

Banyuasin Sumatera Selatan, meskipun rangkaian upaya pencegahan telah

dilakukan oleh satuan dari Polres Banyuasin.

DATA AKIBAT KECELAKAAN LALULINTAS


WILAYAH HUKUM POLRES BANYUASIN
Jumlah Kecelakaan
Jenis
No Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
Kecelakaan
2022 2021 2020 2019 2018
1 Meninggal Dunia 93 69 47 86 72
2 Luka Berat 94 75 54 83 41
3 Luka Ringan 142 98 94 111 45
4 Jumlah Kasus 183 155 120 152 88
Sumber Data: Polres Banyuasin

Berdasarkan gambaran data tersebut di atas yang didapatkan peneliti dari

Polres Banyuasin, menunjukkan bahwa kecelakaan lalulintas masih sering

terjadi diwilayah hukum polres Banyuasin yang berakibat korban meninggal

dunia maupun luka berat dan luka ringan. Selain itu tergambar juga bahwa

terjadi peningkatan jumlah kecelakaan lalulintas dalam kurun waktu tiga tahun

terakhir. Hal ini menjadi tanggungjawab berat yang harus dituntaskan oleh pihak

kepolisian, sehingga diharapkan tidak akan terjadi lagi kecelakaan di wilayah

hukum Polres Banyuasin. Atas kerjasama semua pihak tingkat kecelakaan

lalulintas sudah semakin menurun apabila dilihat dari tahun ke tahun.

Undang-undang telah mengisyaratkan agar aparat penegak hukum

bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian lalu

lintas dan angkutan jalan yang optimal sehingga mampu menanggulangi


9

ancaman keamanan keselamatan ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Satuan

Lalu lintas harus bekerja sama dengan tenaga pendidik atau guru, untuk

mengurangi pelanggaran lalu lintas pada kalangan pelajar.

Namun, pada Polres Banyuasin ini kerja sama tidak hanya dikhususkan

kepada guru, orang tua siswa pun ikut ambil bagian dalam pentingnya taat lalu

lintas pada pelajar. Maka Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian,

karena itu peneliti mengangkat judul proposal penelitian ini adalah:

PENGATURAN, PENJAGAAN, PENGAWALAN DAN PATROLI

(TURJAWALI) OLEH KEPOLISIAN SEBAGAI UPAYA PREVENTIF

DALAM MENANGGULANGI KECELAKAAN LALU LINTAS DI

KABUPATEN BANYUASIN.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas, pokok-

pokok permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah Pelaksanaan turjawali oleh Kepolisian sebagai upaya

Preventif dalam menanggulangi kecelakaan lalu lintas di Kabupaten

Banyuasin ?

2. Bagaimanakah Hambatan dan Upaya yang dihadapi Kepolisian Banyuasin

terhadap turjawali sebagai pencegah kecelakaan lalu lintas ?

3. Bagaimanakah idealnya Pelaksanaan turjawali oleh Kepolisian sebagai

upaya Preventif dalam menanggulangi kecelakaan lalu lintas di Kabupaten

Banyuasin ?
10

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagi
berikut:
1. Tujuan Deskriptif

Tujuan deskriptif dimaksudkan untuk menganalisis proses TURJAWALI oleh

kepolisian terhadap upaya pencegahan kecelakaan lalu lintas di Kabupaten

Banyuasin.

2. Tujuan Kreatif

Tujuan Kreatif dimaksudkan untuk mengetahui Hambatan dan Upaya yang

dihadapi Kepolisian Banyuasin terhadap TURJAWALI sebagai pencegah

kecelakaan lalu lintas.

3. Tujuan Inovatif

Tujuan Inovatif dimaksudkan untuk memberikan informasi dan pembelajaran

bagi masyarakat dalam Kewajiban kepemilikan Surat Izin Mengemudi.

D. Kegunaan/ Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian dini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara

teoritis maupun praktis

1. Kegunaan/Manfaat Teoritis

Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran

untuk mengembangkan pengetahuan bagi penegakan hukum khususnya

dalam pelaksanaan turjawali oleh Kepolisian sebagai upaya preventif dalam

menanggulangi kecelakaan lalu lintas serta hambatan dan upaya yang

dihadapi Kepolisian Banyuasin terhadap turjawali sebagai pencegah


11

kecelakaan lalu lintas dan idealnya pelaksanaan turjawali oleh Kepolisian

sebagai upaya Preventif dalam menanggulangi kecelakaan lalu lintas di

Kabupaten Banyuasin.

2. Kegunaan/Manfaat Praktis

Secara praktis penulis berharap dapat menjadi bahan pemikiran dan

masukan bagi legislatif dan eksekutif dan pihak yang terkait dengan

Pelaksanaan turjawali oleh Kepolisian terhadap Upaya Preventif dalam

menanggulangi kecelakaan lalu lintas.

3. Kegunaan/Manfaat Inovatif

Dengan adanya penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan

pemikiran bagi masyarakat, bangsa dan negara dalam penegakan hukum

khususnya dalam pelaksanaan turjawali oleh Kepolisian sebagai upaya

preventif dalam menanggulangi kecelakaan lalu lintas serta hambatan dan

upaya yang dihadapi Kepolisian Banyuasin terhadap turjawali sebagai

pencegah kecelakaan lalu lintas dan idealnya pelaksanaan turjawali oleh

Kepolisian sebagai upaya Preventif dalam menanggulangi kecelakaan lalu

lintas.

E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teoritis

a. Teori Penegakan Hukum

Dalam era globalisasi ini kepastian, keadilan, dan efisiensi

menjadi sangat penting.tiga hal itu hanya bisa dijamin dengan hukum
12

yang baik. Hukum yang baik dapat tercipta jika penegak hukumnnya juga

baik, penegakan hukum yang baik juga tergantung pada aparat

penegaknya. Dengan kata lain penegakan hukum adalah keseluruhan

kegiatan dari seluruh pelaksana penegak hukum, keadilan, dan

perlidungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketentraman dan

kepastian hukum, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945.9

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau

kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum

bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal

secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun

demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang

bertanggung jawab. Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:10

1. Total enforcement

Adapun yang dimaksudkan dengan penegakan hukum secara

total enforcement adalah ruang lingkup penegakan hukum pidana

sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif

(subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini

tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara

ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan

9
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditia Bakti, Bandung, 2015, hal. 8
10
Dellyana,Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakart, 2018, hal. 34
13

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan

pendahuluan.

Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri

memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih

dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht

delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no

enforcement.

2. Full enforcement

Penegakan hukum dengan cara full enforcemen dilakukan

setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total

tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini

para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.

3. Actual enforcement

Menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap not a

realistic expectation, sebab adanya keterbatasanketerbatasan dalam

bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang

kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan

sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan

hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana

(criminal law application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural


14

berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.11

Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:

1. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative

system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang

menggambarkan nilainilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana;

2. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif

(administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai

aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas;

dan

3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system),

dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula

diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan

masyarakat.

Selanjutnya upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan

penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal

memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan

penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan

hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social policy) dan

11
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2017, hal. 45
15

termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik

riminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan

sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.12

Muladi menyatakan kebijakan kriminal atau kebijakan

penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi

kompleksitasnya. Hal ini wajar karena karena pada hakikatnya kejahatan

merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang

memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial

ialah merupakan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan

gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, ia

merupakan socio-political problems.13

Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah

usahausaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan yang biasa disebut dengan politik kriminal (criminal politic).

Tujuan akhir dari politik kriminal adalah suatu perlindungan masyarakat.

Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian dari

perencanaan perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dari

keseluruhan kebijakan sosial.

Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap anak

sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan yang diterapkan

12
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 2
13
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997,
hal. 72
16

terhadap orang dewasa. Di dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu

ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:

1. Ada keterpaduan antara politik kriminil dan politik sosial; dan

2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal

maupun non penal.14

Barda Nawawi mengemukakan bahwa upaya penanggulangan

kejahatan dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yaitu sarana penal dan

sarana non-penal:15

1. Penanggulangan Kejahatan Dengan Penerapan Hukum Pidana


(Upaya Penal)

Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal ini bisa juga

disebut upaya yang dilakaukan melalui jalur hukum pidana. Upaya ini

merupakan penanggulangan yang menitik beratkan pada sifat represif,

yaitu tindakan yang dilakukan sesudah kejahatan terjadi dengan

penegakan hukum dan penjatuhan hukuman terhadap kejahatan yang

telah dilakukan. Selain itu, melalui upaya panel ini, tindakan yang

dilakaukan dalam rangka menanggulangai kejahatan sampai pada

tindakan pembinaan maupun rehabilitas.

Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga

mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan

penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan ada efek

pencegahan/penangkalnya (deterrent effect). Di samping itu,

14
Ibid, hal. 75
15
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Fajar Interpratama,
Semarang, 2011, hal. 45
17

kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan,

karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial

untuk menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau

pencelaan/kebencian sosial (social disapproval/social abhorrence)

yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial”

(social defence). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa “penal

policy” merupakan bagian integral dari “social defence policy”16

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief

tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan hukum pidana

dalam menanggulangi kejahatan masih sangat diperlukan pada saat

ini, mengingat bahwa hukum pidana selain memiliki sisi represif juga

memiliki sisi preventif untuk mencegah agar masyarakat yang taat

pada hukum tidak ikut melakukan atau akan berfikir dua kali jika

ingin melakukan kejahatan.

Efektifitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya

tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan. Suatu

pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan yang ingin dicapai

dengan adnya pemidanaan itu tercapai. Ditinjau dari segi

efektifitasnya maka pidana menjadi kurang efektif apabila ditinjau

dari segi penjeraannya terhadap terpidana. Hal ini disebabkan karena

pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain.

16
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal. 182
18

2. Penanggulangan Kejahatan Tanpa Hukum Pidana (Upaya Non


Penal)

Upaya penanggulangan lewat jalur non penal ini bisa juga

disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur di luar hukum

pidana.17 Upaya ini merupakan upaya penanggulangan yang lebih

menitikberatkan pada sifat preventif, yakni tindakan yang berupa

pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Melalui upaya non penal

ini sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif

penyebab terjadinya kejahatan, yakni meliputi masalah-masalah atau

kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat

menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Kebijakan non-penal (non-penal policy) merupakan kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum

pidana. Kebijakan melalui saran non-penal dapat dilakukan dalam

bentuk kegiatan seperti: penyantunan dan pendidikan sosial dalam

rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat;

penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral,

agama, dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak

dan remaja; serta kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara

berkelanjutan oleh polisi dan aparat keamanan lainnya.

Kebijakan non-penal ini dapat meliputi bidang yang sangat

luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial, dimana tujuan utamanya

memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak

17
Barda Nawawi, op cit, hal. 72
19

langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan

demikian, maka kegiatan preventif melalui sarana non-penal

sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang

posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan untuk

mewujudkan tujuan akhir dari politik kriminal.

Upaya non-penal dapat pula digali dari berbagai sumber

lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif, misalnya media

pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan

istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari

aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Sudarto pernah

mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan

secara kontinu termasuk upaya non-penal yang mempunyai pengaruh

preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan

dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian

di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada

pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan

masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya non penal yang perlu

diefektifkan.

Penjelasan di atas pada dasarnya ingin menekankan bahwa

upaya non-penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk

menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan

hidup yang sehat (secara materil dan immateril) dari faktor-faktor

kriminogen (sebab-sebab terjadinya kejahatan). Ini berarti, masyarakat


20

dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal

kejahatan atau faktor anti kriminogen yang merupakan bagian integral

dari keseluruhan politik kriminal.

Penanggulangan kejahatan melalui jalur kebijakan “non penal”

akan lebih mampu melakukan penangan terhadap faktor-faktor

penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah

atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung

dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan perdagangan

orang tersebut. Dari kebijakan tersebut upaya pencegahan dan

penanganan dengan melibatkan masyarakat serta kerjasama terfokus

baik pusat, daerah dan juga internasional tergambar jelas merupakan

bagian dan kunci penting guna memperkecil tingkat kejahatan, bila

efektif dan sinergis berjalan maka penanganan dan jumlah korban

akan dapat berkurang dan tertangani.

3. Upaya Penanggulangan Kejahatan dengan Tindakan Preventif,


Represif, dan Kuratif

Jika Barda Nawawi Arief mengemukakan konsep

penanggulangan kejahatan dengan dua model kebijakan, yaitu dengan

pidana (penal), dan tanpa pidana (non-penal), maka Soedarto,

mengemukakan konsep dalam upaya penanggulangan kejahatan

melalui tiga tindakan, yaitu tindakan preventif, represif, dan kuratif.18

18
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 113-116
21

a. Tindakan Preventif.

Tindakan preventif merupakan suatu usaha untuk mencegah

kejahatan yang merupakan bagian dari politik kriminil. Politik

kriminil dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam

arti sempit politik kriminil itu digambarkan sebagai keseluruhan

asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap

pelanggaran hukum yang berupa pidana.

Dalam arti lebih luas, politik kriminil merupakan

keseluruhan fungsi dari para penegak hukum, termasuk di

dalamnya cara kerja dari Pengadilan dan Polisi. Sedangkan dalam

arti yang paling luas, politik kriminil merupakan keseluruhan

kegiatan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-

badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma

sentral dari masyarakat. Penegakkan norma-norma sentral ini dapat

diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Usaha-usaha

penanggulangan secara preventif sebenarnya bukan hanya bidang

dari Kepolisian saja.

Penanggulangan kejahatan dalam arti yang umum secara

tidak langsung juga dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana

(hukum pidana). Misalnya, kegiatan bakti sosial dapat

menghindarkan para pemuda dari perbuatan jahat. Penggarapan

kejahatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama, pemberian


22

tempat atau rumah singgah bagi anak jalanan dan gelandangan

akan mempunyai pengaruh baik untuk pengendalian kejahatan.

b. Tindakan Represif.

Tindakan refresif yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum sesudah terjadinya kejahatan (tindak

pidana). Yang termasuk tindakan represif adalah penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, sampai dilaksanakannya pidana. Ini semua

merupakan bagian- bagian dari politik kriminil sehingga harus

dipandang sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

badanbadan yang bersangkutan dalam menanggulangi kejahatan.

c. Tindakan Kuratif

Tindakan kuratif pada hakikatnya merupakan usaha

preventif dalam arti yang seluasluasnya ialah dalam usaha

penanggulangan kejahatan, maka untuk mengadakan pembedaan

sebenarnya tindakan kuratif itu merupakan segi lain dari tindakan

represif dan lebih dititikberatkan kepada tindakan terhadap orang

yang melakukan kejahatan.

Tindakan kuratif dalam arti nyata hanya dilakukan oleh

aparatur eksekusi pidana, misalnya para pejabat lembaga

pemasyarakatan atau pejabat dari Bimbingan Kemasyarakatan dan

Pengentasan Anak (BISPA). Mereka ini secara nyata terlepas dari


23

berhasil atau tidaknya melakukan pembinaan terhadap para

terhukum pidana pencabutan kemerdekaan.

b. Teori Efektifitas Hukum

Achmad Ali bependapat bahwa, ketika ingin mengetahui sejauh

mana efektifitas dari hukum, maka pertama-tama harus dapat mengukur

sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati.19 Lebih lanjut

dikemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi

efektifitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal

pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik

di dalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka

maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.

Efektivitas Hukum menurut Hans Kelsen adalah apakah orang

pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk menghindari sanksi

yang diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi

tersebut benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak

terpenuhi.20

Teori efektivitas hukum adalah teori yang mengkaji dan

menganalisis tentang keberhasilan dan kegagalan dan faktor yang

mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum. Ada tiga kajian

teori efektivitas hukum yang meliputi:21

19
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta,
2010, hal. 375
20
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nusa Media,
Bandung, 2006, hal. 39
21
Ibid.,
24

a. Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum

b. Kegagalan dalam pelaksanaannya

c. Faktor yang mempengaruhinya

Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum

yang dibuat itu telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum

adalah mengatur kepentingan manusia. Apabila norma hukum itu ditaati

dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum maka

pelaksanaan hukum itu dikatakan efektif dalam implementasinya. Hal ini

dapat dilihat pada masyarakat dalam melaksanakan aturan hukum

tersebut.

Kegagalan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa ketentuan

hukum yang telah ditetapkan tidak mencapai maksudnya atau tidak

berhasil dalam implementasinya. Faktor yang mempengaruhi adalah hal

yang menyebabkan atau berpengaruh dalam pelaksanaan dan penerapan

hukum tersebut. Faktor yang mempengaruhi dapat dikaji dari :

a. Aspek keberhasilannya

b. Aspek kegagalannya

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan itu meliputi substansi

hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Norma hukum dikatakan

berhasil apabila norma tersebut ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat

maupun aparat penegak hukum itu sendiri. Faktor yang mempengaruhi

kegagalan dalam pelaksanaan adalah karena norma hukum yang kabur


25

atau tidak jelas, aparat penegak hukum yang korup, atau masyarakat yang

tidak sadar atau taat pada norma hukum tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa efektif atau tidaknya suatu

hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor yaitu:22

1. Faktor Hukum.

Hukum mengandung unsur keadilan, kepastian dan

kemanfaatan. Dalam praktik penerapannya tidak jarang terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan Kepastian Hukum

sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak

sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara

penerapan undang-undang saja, maka ada kalanya nilai keadilan itu

tidak tercapai.

Maka, ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum

setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidak

semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja.23

2. Faktor Penegakan Hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian

petugas penegak hukum memainkan peranan penting, jika

peraturannya sudah baik, tetapi kualitas petugas penegak hukumnya

kurang baik, maka akan menimbulkan permasalahan dalam

penegakkan hukumnya. Selama ini ada kecenderungan yang kuat

22
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 5
23
Ibid, hal. 8
26

dikalangan masyarakat unttuk mengartikan hukum sebagai petugas

atau penegak hukum.

Artinya hukum diidentikan dengan tingkah laku nyata petugas

atau penegak hukum. Namun, dalam melaksanakan wewenangnya

sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang

melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap

melunturkan citra danwibawa penegak hukum. Hal ini disebabkan

oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.24

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangat

lunak dan perangkat keras. Menurut Soerjono Soekanto bahwa para

penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik, apabila tidak

dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang

proporsional.

Oleh karena itu, sarana atau fasilitas pendukung mempunyai

peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. tanpa

adanya sarana atau fasiitas tersebut, tidak akan mungkin penegak

hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang

aktual.25

4. Faktor Masyarakat

24
Ibid, hal. 21
25
Ibid, hal. 37
27

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat

atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum.

persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan

hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan

masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator

berfungsinya hukum yang bersangkutan.26

5. Faktor Kebudayaan

Sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam hidup

bermasyarakat Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan

konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik

(sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari).27

Hukum mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak

langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Cara-cara

untuk memengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan

direncanakan terlebih dahulu dinamakan social engineering atau social

planning.28 Agar hukum benar-benar dapat memengaruhi perilaku

masyarakat, maka hukum harus disebarluaskan, sehingga melembaga

dalam masyarakat.
26
Ibid, hal. 40
27
Ibid.,
28
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 1982, hal. 115
28

Adanya alat-alat komunikasi tertentu merupakan salah satu syarat

bagi penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut

dapat dilakukan secara formal yaitu, melalui suatu tata cara yang

terorganisasi dengan resmi. Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa

suatu sikap tindak perilaku hukum dianggap efektif, apabila sikap

tindakan atau perilaku lain menuju pada tujuan yang dikehendaki, artinya

apabila pihak lain tersebut mematuhi hukum.29

Undang-undang dapat menjadi efektif jika peranan yang

dilakukan pejabat penegak hukum semakin mendekati apa yang

diharapkan oleh undang-undang dan sebaliknya menjadi tidak efektif jika

peranan yangdilakukan oleh penegak hukum jauh dari apa yang

diharapkan undang-undang.30

Efektivitas hukum merupakan suatu teori yang mengkaji

implementasi dari suatu ketentuan hukum yang berlaku dalam

masyarakat, apakah masyarakat sudah berbuat sesuai dengan hukum yang

berlaku tersebut dan apakah hukum yang dibuat dan diberlakukan tersebut

telah tercapai tujuan dan maksudnya.

2. Kerangka Konseptual

Pada penelitian ini, dalam menjelaskan permasalahan yang akan

dibahas, maka penulis akan memberikan pengertian–pengertian, istilah,

29
Ibid.,
30
Soerjono Soekanto, Faktor-fakto, op cit, hal. 9
29

singkatan yang terkait dengan masalah ini. Pengertian – pengertian dan Istilah

yang digunakan yaitu:

a. Pengaturan

Pengaturan adalah kegiatan kepolisian dalam rangka memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat guna

mewujudkan rasa aman, baik fisik maupun psikis, terciptanya keamanan

dan ketertiban masyarakat, terbebas dari rasa khawatir sehingga

masyarakat dapat melakukan segala aktifitasnya dengan tertib dan lancar.

Tujuan: Agar giat kepolisian dalam rangka pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Fungsi:

Melancarkan segala kegiatan yang dilaksanakan agar dapat berjalan sesuai

rencana.

b. Penjagaan

Penjagaan merupakan suatu kegiatan anggota Kepolisian Republik

Indonesia bersifat preventif dengan memberi perlindungan, pelayanan,

pengayoman dan memelihara keselamatan jiwa dan harta benda untuk

kepentingan masyarakat dan negara. Tujuan: menjaga kemanan dan

timbulnya kriminalitas, cegah gangguan kamtibmas serta memberi

perlindungan, pengayoman, pelayanan dan rasa aman tenteram.

c. Pengawalan

Pengawalan adalah suatu kegiatan preventif yang dilakukan oleh

angota polri untuk menjaga keamanan, keselamatan atas jiwa dan harta

benda serta hak asasi manusia dari satu tempat ke tempat lain.
30

d. Patroli

Patroli adalah salah satu kegiatan kepolisian yang dilakukan oleh

dua orang anggota polri atau lebih sebagai usaha mencegah bertemunya

niat dan kesempatan, dengan jalan mendatangi, menjelajahi, mengamati

atau memperhatikan situasi dan kondisi yang diperkirakan akan

menimbulkan segala bentuk pelanggaran, kejahatan atau gangguan

kamtibmas dan atau tindak pidana/pelanggaran hukum yang menuntut atau

perlunya kehadiran anggota polri (Police Hazard) untuk melakukan

tindakan kepolisian guna terpeliharanya ketertiban dan menjamin

keamanan umum masyarakat.

e. Upaya Preventif

Upaya preventif dapat dipahami sebagai tindakan pencegahan atau

pengurangan probabilitas terhadap sesuatu yang tidak diinginkan di masa

depan. Oleh karena itu, istilah ini termasuk dalam tindakan pengendalian

sosial yang dalam prakteknya digunakan sebagai tindakan yang dilakukan

untuk mengendalikan setiap usaha yang dilakukan oleh kelompok sosial.

Tindakan pencegahan ini umumnya dilakukan secara pribadi

maupun berkelompok. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya,

tindakan pencegahan dilakukan untuk memproteksi sebelum suatu hal

terjadi. Maka dari itu, biaya yang dikeluarkan untuk mensukseskan

tindakan ini terbilang cukup murah dibandingkan biaya penanganan

setelah sesuatu terjadi.


31

f. Penanggulangan Kecelakaan Lalulintas

Penanggulangan kecelakaan lalulintas merupakan suatu tindakan

yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam rangka menghindari

kecelakaan lalu lintas melalui ada 3 upaya yaitu: upaya preemtif, preventif

dan represif. Upaya pre-emtif sebagai upaya penangkal di dalam

menanggulangi kecelakaan lalu lintas, pada dasarnya meliputi

perekayasaan berbagai bidang yang berkaitan dengan masalah transportasi,

yang dilaksanakan melalui koordinasi yang baik antar instansi terkait,

maka kita akan lebih mampu mengantisipasi dan meminimalisir secara

dini dampak-dampak negatif yang mungkin akan timbul. Upaya preventif

upaya yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas,

yang dalam bentuk konkretnya berupa kegiatan-kegiatan pengaturan lalu

lintas, penjagaan tempat-tempat rawan, patroli,pengawalan, dan lain-lain.

Upaya represif menanggulangi kecelakaan lalu lintas pada hakikatnya

merupakan upaya terakhir yang biasanya disertai dengan penerapan

upaya paksa.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis empiris. Metode

penelitian empiris adalah penelitian ilmu hukum yang memandang

hukumsebagai fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai dan

memiliki ciri-ciri yaitu; membedakan fakta dari norma gejala hukum murni
32

empiris, yaitu fakta sosial, metodologinya metode ilmu-ilmu empiris dan

bebas nilai.31

Dalam arti lain penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum

mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara

in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam

masyarakat.32 Atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan

terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi dimasyarakat

dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta fakta dan data yang

dibutuhkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju

kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian

masalah.33

2. Metode Pendekatan

Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengkaji semua Undang-Undang

dan Pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. 34

2. Pendekatan Studi Kasus (Case Study Approach) Pendekatan Studi Kasus

dilakukan dengan metode riset yang menggunakan berbagai macam

31
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitiaan Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, 2012. hal. 126
32
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004. hal. 134
33
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
hal.15
34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Univeritas Indonesia Press,
Jakarta, 2007. hal. 96
33

sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti,menguraikan, dan

menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok

suatu program, organisasi, atau peristiwa secara sistematis.35

3. Spesifikasi Penelitian

Penelitian bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk

memperoleh gambaran yang jelas dan cermat. Penelitian ini berusaha

memberikan data selengkap mungkin atas objek penelitian mengenai

pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli (TURJAWALI) oleh

kepolisian terhadap upaya preventif dalam menanggulangi kecelakaan lalu

lintas di Kabupaten Banyuasin.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian tentang pengaturan, penjagaan, pengawalan dan

patroli (TURJAWALI) oleh kepolisian terhadap upaya preventif dalam

menanggulangi kecelakaan lalu lintas ini dilakukan di wilayah hukum Polres

Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi ini dilakukan karena

berdasarkan hasil observasi awal dari peneliti didapatkan data bahwa di

wilayah hukum Polres Banyuasin masih tergolong tinggi untuk kasus

kecelakaan lalulintas.

5. Sumber Data

Data dalam penelitian hukum empiris terdiri dari data primer dan data

sekunder.

35
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2006, hal.
20
34

a. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek

penelitian di lapangan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi

yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini yang menjadi

sample penelitian adalah:

1. 5 orang dari Polres Banyuasin yang peneliti ambil dari satuan lalulintas,

karena satuan inilah yang secara langsung terjun kelapangan dalam

pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli (TURJAWALI).

2. 5 orang dari anggota nasyarakat yang masih duduk dibangku sekolah

SMA. Sample ini dipilih oleh peneliti, karena anak-anak SMA

merupakan anggota masyarakat yang sering melakukan tindakan-

tindakan yang mengakibatkan kecelakaan lalulintas.

3. 2 orang anggota masyarakat yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil

Negara (ASN). Peneliti memilih sampel dari ASN karena sebagian

besar dari mereka adalah orang-oranmg yang senantiasa menggunakan

kendaraan di jalan raya menuju ketempat kerja.

4. 3 orang sample dari masyarakat umum. Peneliti memilih dari

masyarakat umum karena saat ini di wilayah hukum Polres Banyuasin

sudah cukup banyak masyarakat yang memiliki kendaraan, yang

notabenenya juga sebagai pengguna jalan raya.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data pelengkap atau penambah data

primer. Menurut menurt Ronny Hanitijo S data sekunder adalah data yang
35

diperoleh melalui bahan kepustakaan,36 seperti artikel, jurnal, hasil

penelitian, makalah, komentar-komentar atas putusan pengadilan dan

buku-buku yang merupakan bahan hukum sekunder yang utama buku

berisi mengenai tentang prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-

pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. Serta

bisa juga berupa tulisan-tulisan hukum.

Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki baghan hukum

sekunder ialah tulisan-tulisan hukum tersebut berisi tentang perkembangan

atau isu-isu yang aktual mengenai hukum bidang tertentu. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan data sekunder yang terbagi dalam

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

1) Bahan hukum primer terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar RI 1945

2. Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan

Angkutan Jalan.

3. Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

4. Peraturan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2017 tentang Patroli

5. Peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan objek

penelitian.

2. Bahan hukum sekunder.

36
Ibid, hal. 20
36

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi

penjelasan atas bahan hukum primer terdiri dari buku-buku, jurnal

ilmiah, dan hasil karya kalangan hukum lain yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti.

3. Badan hukum tersier,

Bahan hukum tersier yaitu badan hukum yang memberikan penjelasan

atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus

hukum dan ensikopedia.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Wawancara

Yaitu proses dialog yang dilakukan antara dua pihak yakni penulis

dengan responden agar mendapatkan informasi dan data yang dibutuhkan

dalam analisis dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung

terhadap responden yang telah peneliti tentukan.

b. Studi Kepustakaan

Yaitu dengan studi pustaka dilakukan melalui cara mempelajari,

dan mengutip teori-teori sejumlah literatur, baik dari buku dan karya

ilmiah yang relevan dengan masalah yang dibuat oleh penulis serta dengan

memperoleh dan mengkaji peraturan perundang-undangan dan laporan

yang berkaitan dengan penelitian, dan juga penelusuran melalui internet.


37

7. Analisis Data

Setelah semua data terkumpul penulis kemudian melakukan analisis

data untuk mendapat argumentasi yang berupa jawaban atas permasalah

penlitian. Metode analisis yang digunakan oleh penulis yakni menggunakan

metode kualitatif maksudnya adalah menguraikan sifat-sifat dari suatu

keadaan dan memaparkan uraian data dan informasi yang berdasarkan fakta

yang diperoleh di lapangan. Data dikumpulkan kemudian di olah dan

dianalisis untuk menggali dan menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan. Pendekatan kualitatif ini merupakan tata cara penelitian yang

menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan responden secara

tertulis.

Dalam penelitian ini penulis lebih mengutamakan analisis yang

bersifat deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal

yang dianggap penting bagi penelitian ini, khususnya mengenai efektivitas

undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan jalan

di wilalayah hukum Polres Banyuasin.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disusun untuk mempermudah pemahaman

mengenai penulisan secara keseluruhan yang dirinci sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang dari permasalahan yang diselidiki,

perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan

konseptual yang dipergunakan, serta sistematika penulisan.


38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab II ini penulis akan menguraikan mengenai kajian pustaka tentang

pengertian Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan dan Patroli oleh Kepolisian

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab III, penulis akan membahas hasil penilitian terhadap apa yang menjadi

pokok permasalahan dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan Pengaturan,

Penjagaan, Pengawalan dan Patroli oleh Kepolisian Banyuasin terhadap upaya

Preventif kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Banyuasin.

BAB IV PENUTUP

Pada bab IV penulis akan memberikan kesimpulan tentang jawaban

permasalahan dan memberikan saran-saran setelah menganalisa hasil

pembahasan.
39

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz hakim, Negara Hukum dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2011
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana,
Jakarta, 2010
Aryo Putranto Saptohutomo, Korlantas Polri Catat 94.617 Kecelakaan pada
Januari-September 2022, https://nasional.kompas.com
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditia Bakti, Bandung, 2015
________________,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Fajar Interpratama,
Semarang, 2011
_________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2008
__________________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2007
Dellyana,Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakart, 2018
40

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nusa Media,
Bandung, 2006
Hendri Ardana, Inventarisasi dan Analisa Terhadap Perundang-undangan Lalu
Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Fakultas Hukum
Universitas Tarumanegara, CV. Rajawali, Jakarta, 2014
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2006
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,
Prenadama Group, Jakarta, 2016
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
______________, Pengantar Penelitian Hukum, Univeritas Indonesia Press,
Jakarta, 2007
______________, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 1982
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2017
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitiaan Suatu Pendekatan Praktek, Rineka
Cipta, Jakarta, 2012
Suwarjoko P. Warpani, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ITB,
Bandung, 2012
Widianto Putero, Management Keselamatan Lalu Lintas, Lemdiklat Polri Pusdik
Lantas, Jakarta, 2001
41

Anda mungkin juga menyukai