Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha

penyayang, Saya penjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat

menyelesaikan tugas makalah tentang taksikologi ini.

Tugas ini telah saya susun dengan maksimal mungkin, untuk itu saya

menyampaikan banyak ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah ini atas

dorongan dan ilmu yang telah diberikan kepada saya sehingga tugas ini dapat saya

selesaikan tepat waktu.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat ataupun bahasanya. Oleh karena itu

dengan tangan terbuka saya menerima segala kritik dan saran dari pembaca untuk

makalah ini agar kedepannya bisa lebih baik lagi. Saya berharap semoga makalah

ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi kepada pembaca.

Bengkulu, 11 April 2023

(Penulis)
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan Penulisan................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian...........................................................................................3
B. Identifikasi Senyawa Toksik Secara In Vitro dan In Vivo.................5
C. Cara Isolasi Senyawa Toksik Secara In Vitro dan In Vivo................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................8
B. Saran...................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan biodiversitas tinggi.
Kekayaan biota laut Indonesia sudah lama dikenal dan digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan obat-obatan meskipun efektifitasnya belum
banyak teruji cara ilmiah (Purwaningsih 2006). Adanya keanekaragaman
yang tinggi dari spesies biota laut menyebabkan terjadinya kompetisi yang
tinggi dan keta antar spesies untuk bertahan hidup. Kondisi ini
menyebabkan spesies-spesies ini mensintesis metabolit sekunder berupa
senyawa-senyawa toksik untuk mempertahankan dirinya. Struktur kimia
dan aktivitas biologis senyawa dari biota laut sangat jarang ditemukan
padanannya dengan biota darat. Biota laut yang hidup di wilayah tropis
dan subtropis Indopasifik banyak diburu industri farmasi untuk penemuan
obat antikanker, antibiotik dan antinflamasi (Widihati 2004).
Salah satu organisme laut yang berpotensi menghasilkan metabolit
sekunder berupa racun adalah ikan buntal, Ikan buntal berasal dari famili
Diodontidae dan berasal dari ordo Tetraodontiformes. Nama
tetraodontiformes berasal dari morfologi gigi ikan ini. yaitu memiliki dua
gigi besar pada rahang atas dan wahnya yang cukup tajam. Gigi yang
menyatu bersama menjadi satu kesatuan, menciptakan mulut yang kuat
dan dapat meretakan kulit kerang siput, landak laut, dan kepiting yang
merupakan makanan utama ikan buntal. Ikan buntal memiliki yang
belakang yang lebih tipis, tersembunyi, dan dapat terlihat ketika ikan ini
enggembungkan diri (BPOM 2006).
Dalam biologi molekular in vivo sering digunakan untuk merujuk
pada eksperimen dilakukan di sel isolasi hidup bukan di seluruh
organisme, misalnya, berasal dari sel-sel kultur biopsi. Dalam situasi ini,
istilah yang lebih spesifik adalah ex vivo. Setelah sel terganggu dan bagian
individu yang diuji atau dianalisis, ini dikenal sebagai in vitro, dalam
percobaan vivo dalam hidup; dalam studi in vitro dalam tabung reaksi.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan in vitro dan in vivo?
2. Bagaimana cara identifikasi senyawa toksik?
3. Bagaimana cara isolasi senyawa toksik secara in vitro dan in vivo?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian identifikasi secara in vitro dan in vivo.
2. Untuk mengetahui cara identifikasi senyawa toksik secara in vitro dan
in vivo.
3. Untuk mengetahui cara isolasi senyawa toksik secara in vitro dan in
vivo.

2
BAB II
PEMBAHASA
N

A. Pengertian
1. In Vitro
Pemeriksaan in vitro adalah jenis pemeriksaan yang dilakukan
dalam tabung reaksi, piring kultur sel atau di luar tubuh mahluk hidup.
Penelitian in vitro mensyaratkan adanya kontak antara bahan atau
suatu komponen bahan dengan sel, enzim, atau isolasi dari suatu
sistem biologik. Proses kontak dapat terjadi secara langsung, dalam
arti bahan langsung berkontak dengan dengan sistem sel tanpa adanya
barier atau dengan menggunakan barier.
Pemeriksaan in vitro dapat digunakan untuk mengetahui
sitotoksisitas atau pertumbuhan sel, metabolisme set fungsi sel. Bisa
pula pemeriksaan in vitro untuk mengetahui pengaruh suatu bahan
terhadap genetik set. Beberapa keuntungan dari pemeriksaan in vitro
dibandingkan dengan jenis pemeriksaan biokompatibilitas lainnya,
adalah sebagai berikut:
a. Membutuhkan waktu yang relatif singkat
b. Membutuhkan biaya yang relatif sedikit
c. Dapat dilakukan standarisasi
d. Bisa dilakukan control

Kekurangan dari pemeriksaan in vitro ialah tidak adanya relevansinya


dengan kegunaannya secara in vivo di kemudian hari. Selain itu,
kerugian lainnya adalah tidak adanya mekanisme inflamasi dalam
kondisi in vitro. Hal yang penting diketahui adalah bahwa dari hasil
pemeriksaan in vitro saja jarang bisa untuk mengetahui
biokompatibilitas suatu bahan.
Pada pemeriksaan in vitro terdapat dua macam sel yang biasa
digunakan yaitu sel primer clan sel kontinyu. Kedua sel tersebut
mempunyai peran penting dalam melakukan pemeriksaan in vitro.

3
a. Sel Primer
Sel Primer adalah sel yang langsung diambil dari organisme hidup
untuk kemudian langsung dibiakkan dalam kultur. Sel jenis primer
akan tumbuh hanya untuk waktu yang terbatas, tetapi mempunyai
keuntungan bahwa masih tetap mempertahankan sifat sel pada
kondisi in vivo. Merupakan jenis sel yang sering digunakan untuk
melakukan pemeriksaan sitotoksisitas.
b. Sel kontinyu
Sel kontinyu adalah jenis sel primer yang ditransformasikan untuk
dapat ditumbuhkan dalam kultur. Karena dilakukan transformasi,
maka jenis sel ini tidak lagi mempertahankan semua sifat sel pada
kondisi in vivo.

2. In Vivo
Pemeriksaan in vivo untuk uji biokompatibilitas biasanya
menggunakan binatang mamalia seperti tikus, kelinci, marmot atau
kera. Pemeriksaan in vivo dengan menggunakan binatang cobs
menimbulkan banyak interaksi yang sifatnya kompleks dalam
menimbulkan terjadinya respon biologik. Sebagai contoh, suatu respon
imun akan terjadi pada sistem tubuh hewan, hal mana pasti akan sukar
terlihat pada sistem biakan sel. Oleh karena itu, respon biologik pada
pemeriksaan in vivo secara umum lebih relevan dibandingkan dengan
pemeriksaan in vitro. Beberapa pemeriksaan in vivo yang biasa
dilakukan, yaitu:
a. Pemeriksaan Iritasi
Untuk mengetahui apakah suatu material dapat menimbulkan
inflamasi pada mukosa atau pada kulit. Metode yang dilakukan
biasanya dengan menggunakan kelompok kontrol dan perlakuan,
b. Pemeriksaan Implan
Untuk mengevaluasi bahan yang dikontakkan dengan tulang atau
jaringan subkutan. Biasanya bahan dikontakkan antara satu sampai
sebelas minggu. Pada waktu yang telah ditentukan, respon jaringan

4
dapat dievaluasi dengan pemeriksaan histologik, biokimiawi atau
imunohistokimlawi.

B. Identifikasi Senyawa Toksik Secara In Vitro dan In Vivo


1. Identifikasi Senyawa Toksik Secara In Vitro
Cara Kerja
a) Penyiapan Sampel
Buah tanaman pare yang diperoleh dicuci dan dibersihkan,
kemudian dibelah untuk memisahkan daging buah dengan biji buah
pare. Daging buah Pare dipotong-potong kecil dan dikeringkan,
selanjutnya diglling menggunakan blender hingga menjadi serbuk.
b) Ekstraksi dan fraksionasi golongan senyawa toksik
Serbuk daging buah Pare sebanyak ± 600 gram diekstraksi dengan
cara maserasi dengan 4,5 L metanol dan didiamkan selama 24 jam.
Ekstrak kental metanol yang diperoleh, kemudian dilarutkan dalam
250 mL air, dan dipartisi dengan 1 L n-heksana. Cara yang sama
juga dilakukan dengan menggunakan kloroform. Sehingga akan
didapat tiga fraksi yaitu fraksi nheksana, fraksi kloroform, dan
fraksi air. Ketiga fraksi diuji toksisitas terhadap larva udang
Artemia salina Leach. Fraksi yang paling toksik kemudian
dilanjutkan pada proses pemisahan dan pemurnian dengan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi kolom. Uji
toksisitas terhadap larva udang. Artemia salina Leach. Pengujian
dilakukan dengan mengambil sebanyak 20 mg ekstrak kental
kemudian dilarutkan dengan pelarut dari ekstrak pekat, selanjutnya
diuji toksisitasnya dengan larva udano Artemia salina L
c) Pemisahan dan Pemurnian
Pemisahan ekstrak yang paling toksik dilakukan dengan
Kromatografi Kolom dan uji kemumian dilakukan dengan cara
KLT pada berbagai campuran eluen. Identifikasi isolat aktif pada
penelitian ini, identifikasi isolat dilakukan dengan uji fitokimia dan
analisis data fisikokimia. Uji fitokimia dilakukan dengan uji wama

5
dan uji busa. Analisis data fisikokimia dilakukan dengan
Spektrofotometri Ultravioletvisible(UV-VIS) dan Spektrofotometri
Inframerah (FTIR).
2. Identifikasi Senyawa Toksik Secara In Vivo
a) Uji toksisitas akut
Suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam
waktu singkat setelah pemberian zat uji dalam dosis tunggal, atau
dosis berulang yang diberikan dalam jangka waktu 24 jam.
b) Prinsip uji toksisitas
Zat uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan pada beberapa
kelompok hewan uji, satu dosis per kelompok. selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian.
c) Tujuan uji toksisitas akut
Mendeteksi toksisitas instrinsik suatu zat, menentukan organ
sasaran dan kepekaan species, memperoleh informasi bahaya
setelah pemaparan suatu senyawa secara akut, memperoleh
informasi awal untuk menetapkan tingkat dosis, menetapkan
LD50, dan merancang untuk uji toksisitas selanjutnya
d) Prosedur uji toksisitas akut
1) Hewan uji di aklimatisasi dalam ruangan percobaan kurang
lebih 7 hari, kelompokan
2) Bila diberikan zat uji diberikan secara oral, hewan uji
dipuasakan selama 16-18 jam
3) Dilakukan pengamatan pada T0 sebelum diberikan zat uji,
setelah diberikan zat uji diamati parameter uji perilaku pada
T30, T60, T120, T240
4) Amati selama 14 hari dan tiap hari di timbang
e) Evaluasi pengamatan toksisitas akut
1) Parameter uji perilaku
2) Pengamatan bobot badan
3) Indeks organ (% bobot organ = bobot organ / bobot badan x
100%)

6
4) Kematian Penemuan makroskopis dan mikroskopis

C. Cara Isolasi Senyawa Toksik Secara In Vitro dan In Vivo


Isosi adalah suatu usaha bagaimana caranya memisahlah senyawa
yang bercampur sehingga kita dapat monghasilkan senyawa tunggal yang
mumi. Tumbuhan mangandung ribuan senyawa sebagai metanolit primer
dan matabolit sekunder. Biasanya proses isolasi senyawa dan bahan alami
mangsolasi senyawa metabole sekunder karena dapat memberikan manfaat
bagi kehidupan manusia
Kandungan senyawa dari tumbuhan untuk isolasi dapat diarahkan
pada suatu senyawa yang lebih dominan dan salah satu usaha isolasi
senyawa tertentu maka dapat dimanfaatkan pemilihan pelarut organik yang
akan digunakan pada isolasi tersebut, dimana pelant polar akan lebih
mudah melarutkan senyawa polat dan sebaliknya sonyawaa non polar
lebih mudah larut dalam pelant non polar

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pemeriksaan in vitro adalah jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam


tabung reaksi, piring kultur sel atau di luar tubuh mahluk hidup komponen
bahan dengan sel, enzim, atau isolasi dari suatu sistem biologik.
Sedangkan Pemeriksaan in vivo untuk uji biokompatibilitas biasanya
menggunakan binatang mamalia seperti tikus, kelinci, marmot atau kera.
Dalam biologi molekular in vivo sering digunakan untuk merujuk pada
eksperimen dilakukan di sel isolasi hidup bukan di seluruh organisme.
Beberapa keuntungan dari pemeriksaan in vitro dibandingkan
dengan jenis pemeriksaan biokompatibilitas lainnya ialah waktu yang
relatif singkat, biaya yang relatif sedikit, dapat dilakukan standarisasi serta
bisa dilakukan control. Pemeriksaan in vivo untuk uji biokompatibilitas
biasanya menggunakan binatang mamalia seperti tikus. Sebagai contoh,
suatu respon imun akan terjadi pada sistem tubuh hewan, hal mana pasti
akan sukar terlihat pada sistem biakan sel. Oleh karena itu, respon biologik
pada pemeriksaan in vivo secara umum lebih relevan dibandingkan
dengan pemeriksaan in vitro.

B. Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini, pembaca dapat
memahami segala hal tentang pembahasan yang ada serta dapat mencari
referensi lebih banyak sehingga dapat memperluas pengetahuan pembaca.

8
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM Republik Indonesia, 2004, Pedoman Uji Blockivalensi. Jakarta

Kelompok Kerja Ilmiah, 1993. Penapisan Farmakologi Penguin Fitokia dan


Pengajian Klinik. Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alarm Phyto
Medica Jakarta

Pharmacokinetics, Biopharmaceutics Laboratory Department of Pharmaceutical


Sciences. School of Pharmacy, University of Maryland [Diakses tanggal
11 Februari 2011].

Stemis, Van, JG.G.C. 1997. Flom Penerbit Pradaya Paramitha Jakarta

Wayakusuma, H. 1992 Tanaman Berkhan Obat di Indonesia Pustaka Kartin


Jakarta

Anda mungkin juga menyukai