Makalah Konsepsi Alama Semesta Dalam Perspektif Al Quran
Makalah Konsepsi Alama Semesta Dalam Perspektif Al Quran
Disusun oleh :
Nama : MIFTAHUDIN AL HARIS
Mata Kuliah : Islam dan Ilmu Pengetahuan
Prodi / Semester : PAI / 2
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Terminologi Alam Semesta....................................................... 3
B. Proses Penciptaan Alam Semesta............................................. 5
C. Tujuan Penciptaan Alam Semesta............................................ 7
D. Implikasi Terhadap Pendidikan Islami..................................... 9
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam al-Qur’an, terma alam hanya di temukan dalam bentuk plural yaitu
alamin. Kata ini terulang sebanyak 73 kali dan tersebar pada 30 surah.
Penggunaan bentuk plural mengindikasikan bahwa alam semesta ini banyak atau
beraneka ragam. Pemaknaan ini konsisten dengan konsepsi Islam bahwa hanya
Allah swt, yang Ahad Maha Tunggal dan tidak bisa dibagi-bagi. Hal ini juga
merupakan penegasan terhadap konsep Islam tentang alam semesta, yaitu segala
sesuatu selain Allah swt. dari sisi ini, penalaran kita mengharuskan eksisnya
pluralitas atau kejamakan pada alam semesta ini. Karenanya, dari satu sisi, alam
semsta bisa di definisakan sebagai kumpulan jauhar yang tersusun dari maddah
(materi) dan shurah (bentuk) yang bisa di klasifikasikan ke dalam wujud kongkret
(syahadah) dan wujud abstrak (ghaib). Kemudian, dari sisi lain, alam semsta bisa
pula di bagi-bagi kedalam beberapa jenis, seperti benda-benda padat (jamadat),
tumbuh-tumbuhan (nabatat), hewan (hayyawanat) dan manusia.
Dikalangan masyarakat muslim, terdapat pemahaman bahwa alam semesta
adalah segala sesuatu selain Allah swt, tetapi dengan mengkecualikan manusia.
Pengecualian itu disebabkan oleh pemikiran bahwa: (a) kepada manusia Allah
swt, mengaamanahkan alam semsta ini untuk dikelola dan di manfaatkan bagi
kemaslahatan seluruh makhluk, (b) bentuk berkemampuan mengelola dan
memanfaatkan alam semesta, kepada manusia, Allah swt, menganugerahkan aql
dan aql ini tidak di berikan-Nya, kecuali hanya kepada manusia. Karena itu,
manusia dikeluarkan dari definisi alam semesta. Dengan demikian, penggunaan
terma alam semesta hanya merujuk kepada pengertian alam semesta dalam
pengertian jagad raya
1
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Terminologi Alam Semesta?
2. Bagaimana Proses Penciptaan Alam Semesta?
3. Jelaskan Tujuan Penciptaan Alam Semesta?
4. Bagaimana Implikasi Terhadap Pendidikan Islami?
C. Tujuan
1. Mengetahui Terminologi Alam Semesta
2. Mengetahui Proses Penciptaan Alam Semesta
3. Mengetahui Tujuan Penciptaan Alam Semesta
4. Mengetahui Implikasi Terhadap Pendidikan Islami
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
kemaslahatan seluruh makhluk, (b) bentuk berkemampuan mengelola dan
memanfaatkan alam semesta, kepada manusia, Allah swt, menganugerahkan aql
dan aql ini tidak di berikan-Nya, kecuali hanya kepada manusia. Karena itu,
manusia dikeluarkan dari definisi alam semesta. Dengan demikian, penggunaan
terma alam semesta hanya merujuk kepada pengertian alam semesta dalam
pengertian jagad raya.
Dalam al-Qur’an, pengertian alam semesta dalam arti jagad raya bisa di
pahami dari terma al-samawat wa al-ard wa ma baynahuma. Ungkapan ini
berulang sebanyak 20 kali dan tersebar pada 15 surah. berkenaan dengan terma ini
Sirajuddin Zar menyatakan makna al-samawat wa al-ard wa ma baynahuma tidak
hanya menunjuk pada pengertian kumpulan alam fisik ataupun empirik saja, tetapi
juga mencakup seluruh alam fisik maupun non fisik. Namun, penggunaan terma
tersebut lebih memadai untuk di paralelkan dengan pengertian alam semesta atau
Universe.
Quraish Shihab menyatakan bahwa semua yang maujud selain Allah swt,
baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui manusia, disebut alam.
Kata alam terambil dari akar kata yang sama dengan ilm dan alamah, yaitu
sesuatu yang menjelaskan sesuatu selainnya. Karenanya, dalam konteks ini, alam
semesta adalah alamat, alat atau sarana yang sangat jelas untuk mengetahui wujud
tuhan, pencipta yang Maha Esa, Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui. Dari sisi ini
dapat di pahami bahwa keberadaan alam semesta merupakan tanda-tanda (Ayah)
yang menjadi alat atau sarana bagi manusia untuk mengetahui wujud dan
membuktikan keberadaan serta ke-Maha Kuasaan Allah swt.
Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa tujuan penciptaan alam semesta
ini adalah untuk memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda (Ayah) keberadaan
dan kekuasaan Allah swt, dalam al-Qur’an, secara eksplisit dinyatakan:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (keberadaan
dan kekuasaan) Kami disegenap ufuk (alam makro) dan pada diri mereka sendiri
(alam mikro), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Ia adalah Al-Haq.”
Dalam kehidupannya, manusia berinteraksi dengan alam semesta.
4
Untuk itu manusia harus mengenal alam semesta berikut karakter atau
waktunya.
Secara umum, alam itu bisa dibedakan kedalam dua jenis: (1) Alam
Syahadah dan (2) Alam Ghaib. Alam Syahadah adalah wujud yang kongkret dan
karenanya dapat di indera. Alam syahadah tunduk kepada hukum evolusi, dalam
arti berkembang dan berubah-ubah. Karenanya, Ia adalah fenomena. Sedangkan
Alam Ghaib adalah wujud yang tidak tampak pada indera dan karenanya ia adalah
noumena. Dari sisi ini, karakternya hampir sama dengan manusia, yaitu materi
dan non materi. Keduanya merupakan wilayah pengkajian atau penyelidikan
manusia. Karenanya, pengetahuan itu tidak hanya menyangkut hal-hal yang
empirik, tetapi juga supra empirik.
5
skunder) kemudian terbagi-bagi dalam bentuk bintang-bintang, planet-planet,
matahari, bulan, dan lain-lain.
Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, al-Qur’an menginformasikan
bahwa alam semesta ini diciptakan Tuhan tidak secara sekaligus atau ‘sekali jadi’,
tetapi melalui serangkaian tahapan, masa, atau proses. Dalam sejumlah surah al-
Qur’an selalu menggunakan istilah Fi Sittatti Ayyam yang bisa di terjemahkan
dalam arti enam hari, enam masa, atau mungkin enam periode. Selain itu, dalam
al-Qur’an, di temukan ayat yang menyatakan bahwa Allah Swt, menciptakan
bumi dalam dua hari atau dua masa (Yaumain) dan menentukan kadar makanan
penghuni nya dalam empat hari atau empat masa (Arba’ Ayyam), dan menjadikan
tujuh langit dalam dua hari (Yaumaini).
Ketika menjelaskan Iradah Allah Swt, dalam kaitannya dengan penciptaan
ُ )نَوْ ُكيَفَ ْنyang
sesuatu pun, Al-Qur’an menggunakan ungkapan: Kun Fa Yakun (ك
sering kali di terjemahkan dalam arti: “jadi maka jadilah”.
Dalam ungkapan ini, kata kerja yang digunakan adalah Fi’il Mudhari.
Dalam gramatika bahasa arab, bila suatu perbuatan di ungkapkan dalam bentuk
Mudhari, maka itu berarti bahwa suatu perbuatan yang di lakukan itu adalah
perbuatan yang sedang dan akan terus dilakukan di masa mendatang. Artinya, kata
kerja Fi’il Mudhari mengandung makna bahwa terjadi kontinuitas dalam
melakukan pekerjaan itu. Karenanya dari sisi ini, dapat di pahami penciptaan
sesuatu itu, termasuk alam semesta, terjadi melalui tahapan atau proses, dan
proses itu berlangsung secara kontinum atau sepanjang masa. Itu berarti bahwa,
sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, dalam tiap masa, tiap deti, bahkan tiap detik
nafas manusia, Allah Swt. senantiasa mencipta. Tidak ada kondisi dimana Allah
Swt. sedang dalam keaadaan mencipta, istirahat, atau berhenti mencipta, atau
memulia kembali perbuatan mencipta. Mustahil Allah Swt. seperti itu, sebab
kondisi seperti itu hanya mungkin terjadi pada makhluk atau ciptaan. Hal ini lah
yang di tegaskan Allah Swt. “Allah menambah dalam suatu ciptaan apa yang dia
kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dalam konteks proses penciptaan alam semesta Al-farabi adalah filosof
muslim pertama yang menyatakan bahwa proses penciptaan alam semesta terjadi
6
melalui proses emanasi atau pelimpahan. Menurut Al-farabi tuhan adalah ‘Aql
dan karenanya dia berfikir. Yang menjadi objek pemikirannya (ma’qul) adalah
dzat nya sendiri, sebab dia tidak memerlukan suatu benda untuk menjadi objek
pemikirannya. Karena ‘Aql itu Esa adanya maka Dia hanya berisi suatu pemikiran,
yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Dengan Ta’Aqqul inilah bermula
ciptaan Tuhan.
Dalam pemikiran Al-Farabi alam semesta ini terjadi karena limpahan dari
‘Aql atau yang Esa. Wujud Tuhanlah (Al- Wujud Al- Awwal) yang melimpahkan
wujud alam semesta pelimpahan ini terjadi melalui Ta’Aqqul Tuhan tentang dzat-
Nya. Dalam prosesnya al-Wujud al-Awwal yang melimpah adalah satu yakni akal
pertama. Kemudian, ‘Aql pertama yang disebut juga dengan al-Wujud al-Tsani,
bertaaqqul memikirkan wujud pertama dan diri-Nya sendiri. Ta’Aqqul dalam
wujud pertama melimpahkan ‘Aql kedua dan Ta’Aqul terhadap diri-Nya sendiri
melipahkan langit pertama (Al-Falaq al-A’la). Akal kedua (al-Wujud at-Tsalist)
ber-ta’aqul tentang wujud pertama melimpahkan akal ke-tiga, dan ta’aqul
terhadap diri-Nya melimpahkan bintang-bintang. Demikian seterusnya, ta’aqul
melimpahkan akal ke-empat hingga sampai akal ke sepuluh.
7
mewajibkan pastilah sudah banyak langit dan bumi. Namun dari dahulu sampai
sekarang penyelidikan kita menemukan kenyataannya tidak demikian. Karena itu
akal mewajibkan penciptaan bahwa langit dan bumi ini pastilah sang Maha
Pencipta yang ciptaannya tidak bisa di duplikasi apalagi di tandangi oleh manusia.
Dalam konteks ini, keberadaan alam semesta berupa petunjuk yang sangat
jelas tentang keberadaan Allah Swt. sebagai tuhan Maha Pencipta. Karenanya,
dengan mempelajari alam semesta, manusia akan sampai pada pengetahuan
bahwa Allah Swt. adalah dzat penciptaan alam semesta. Al-Qur’an, dalam
beberapa tempat memotifisir manusia untuk melakukan eksplorasi, pengamatan,
dan perenungan terhadap fenomena yang terbentang di alam semesta ini,
mengenal Allah Swt. dalam konteks ini, Ghulsyani menyatakan bahwa terdapat
lebih dari 750 ayat yang menunujukkan pada fenomena alam dan meminta
manusia untuk memikirkan serta merenungkannya agar mengenal tuhan melalui
tanda-tanda kekuasaannya.
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan alam
semesta ini adalah untuk memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda (Ayah)
keberadaan dan kekuasaan Allah Swt. perhatikan redaksi ayat Al-Qur’an yang
terjemahaannya sebagai berikut:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (keberadaan
dan kekuasaan) Kami di segenap ufuk alam makro dan pada diri mereka
sendiri alam mikro sehingga jelas bagi mereka bahwa Ia adalah al-
Haqq.”
Di samping sebagai sarana untuk menghantarkan manusia akan
keberadaan dan ke Maha kuasaan Allah Swt. dalam perspektif Islam, alam
semesta beserta sesuatu yang ada di dalamnya di ciptakan untuk manusia. Alam
semesta beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya lebih dahulu ada sebelum
keberadaan manusia. Setelah alam sementara ini sempurna penciptaannya, baru
kemudian Allah Swt, menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di dalamnya.
Karenanya, selalu implikasi dari tugas kekhalifaan manusia di alam semesta ini
adalah sebagai pemakmur alam dan kehidupan di dalamnya bukan membuat
kerusakan dan melakukan pertumpahan darah di dalamnya.
8
Meskipun alam semesta ini diciptaan untuk manusia, namun bukan berarti
manusia dapat berbuat sekehendak hati di dalamnya. Hal ini bermakna bahwa
kekuasaan manusia pada alam semesta ini bersifat terbatas. Manusia hanya boleh
mengolah dan memanfaatkan alam semesta ini sesuai dengan Iradah atau
keinginan tuhan yang telah mengamanahkan alam semesta ini kepada manusia.
Memang, sebagai ‘khalifah’ Allah Swt, telah memberikan pendapat kepada
manusia untuk mengatur bumi dan segala isinya. Demikianpun, kekuasaan
seorang khalifah tidaklah bersifat mutlak, sebab kekuasaannya dibatasi oleh
pemberi amanah kekhalifahan itu, yakni Allah Swt.
9
dengan seluruh fenomena dan noumenanya. Upaya itu pada akhirnya akan
mengantarkan manusia pada kesakisan akan keberadaan dan Kemahakuasaan
Allah Swt. karenannya, dalam konteks ini, melalui proses pendidikan islami,
manusia dihantarkan pada pengakuan (syahadah) akan keberadaan Allah Swt,
sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pendidik alam semesta.
Dalam perspektif Islam, manusia harus merelasiasikan tujuan
kemanuisaannya di alam semesta, baik sebagai syahid Allah, ‘abd Allah, maupun
khalifah Allah. Dalam konteks ini, Allah Swt, menjadikan alam semesta sebagai
wahana bagi manusia untuk ber- syahadah akan keberadaan dan Kemahakuasaan-
Nya. Wujud nyata yang menandai syahadah itu adalah penuaian fungsi sebagai
makhluk ‘ibadah dan pelaksanaan tugas-tugas sebagai khalifah. Dalam hal ini,
alam semesta merupakan institusi pendidikan, yakni tempat dimana manusia
dididik, dibina, dilatih, dan dibimbing agar berekemampuan merealisasikan atau
mewujudkan fungsi dan tugasnya sebagai ‘abd Allah dan khalifah (‘amal ‘ibadah
dan ‘amal shalih). Melalui proses pendidikan di alam semesta inilah, kelak Allah
Swt, akan menilai siapa diantara hamba-Nya yang mampu meraih ‘markah’ atau
prestasi terbaik (ahsan ‘amal).
Pendidikan Islami, dalam penyusunan dan pengembangan kurikulumnya,
harus mengacu kepada konsepsi Islam tentang alam semesta. Dalam konteks ini,
selain sebagai institusi pendidikan, alam semesta ini juga merupakan wilayah
studi yang menjadi objek telaah atau kajian pendidikan islami. Karena alam
semesta ini terdiri dari alam syahadah dan alam ghai, maka sebagai wilayah studi,
objek telaah pendidikan islami tidak hanya berkaitan dengan gejala-gejala yang
dapat diamati indera manusia (fenomena), tetapi juga mencakup segala sesuatu
yang tidak dapat diamati oleh indera (noumena). Karena menyangkut hal-hal yang
kongkrit, maka keberadaan alam syahadah sebagai objek kajian pendidikan islami
mengkehendaki aktivitas pengamatan inderawi, penalaran rasional, dan
eksperimentasi ilmiah. Sementara itu, untuk memahami dan meraih pengetahuan
tentang alam ghaib, maka dibutuhkan aktivitas supra inderawi dan supra rasional.
Karennya, dalam pendidikan islami, ilmu-ilmu pengetahuan yang akan
ditransformasikan ke dalam diri peserta didik tidak hanya terbatas pada
10
pengetahuan inderawi dan rasional, tetapi juga ilmu-ilmu laduny, isyraqi,
iluminasi, dan kewahyuan.
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam perspektif Islam, alam semesta adalah segala sesuatu selai Allah
SWT, karenanya alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi
segala sesuatu yang ada dan berada diantara keduanya. Dalam al qur’an terna
‘alam hnya ditemukan dalam bentuk plural, yaitu ‘alamin. Kata ini tersebar
sebanyak 73 kali dan tersebar pada 30 surah. Dari satu sisi alam semesta bisa
didefenisikan sebagai kumpulan jauhar yang tersusun dari maddah (materi) dan
shurah (bentuk), yang bisa diklasifikasikan dalam wujud konkrit (syahaddah) dan
wujud abstrak (ghaib). Kemudian dari sisi lain alam semesta bisa pula dibagi-bagi
kedalam beberapa jenis, seperti benda-benda padat (jamadat), tumbuh-tumbuhan
(nabatat), hewan (hayyawanat), dan manusia.
Dalam al qur’an pengertian alam semesta dalam arti jagat raya bisa
dipahami dari terma al-samawat wa al ardl wa ma baynahuma. Ungakapan ini
berulang sebanyak 30 kali dan tersebar pada 15 surah. Berkenaan dengan terma
ini, Sirajuddin Zar menyatakan bahwa makna al-samawat wa al ardl wa ma
baynahuma tidak hanya menunjuk pada kumpulan alam fisik ataupun empirik
saja, tetapi juga mencakup seluruh alam fisik maupun non fisik.
12
DAFTAR PUSTAKA
Alim, Sahirul et. Al., Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi
Jakarta: Departemen Agama RI, 1995.
Zar Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-
Qur’an , Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1999.
13