Anda di halaman 1dari 11

Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Kode/Nama MK : ADPU4332/Hukum Administrasi Negara


Tugas :2

1. Contoh kasus:
Kemendikbud melaksanakan kegiatan pengadaan barang berupa penyediaan satu (1) unit
mobil pintar dengan nilai pekerjaan sebesar Rp197.000.000,00., yang akan digunakan
sebagai mobil penyuluhan. Barang milik negara menurut ketentuan PP Nomor 6 Tahun 2006
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah. Barang milik negara dapat diperoleh melalui Pengadaan barang
milik negara yang diatur dalam PP Nomor 54 Tahun 2010.
a. Berikan contoh gambaran dan alasan jenis metode pengadaan pada kegiatan
penyediaan barang/pekerjaan konstruksi /jasa lain berdasarkan contoh kasus diatas!
b. Pada pemanfaatannya dilakukan peminjaman barang milik negara pada kasus diatas
yaitu mobil pintar kepada suatu badan hukum. jelaskan proses yang harus dilakukan
pada penggunaan barang milik negara tersebut!

Jawaban :

a. Pengadaan barang/jasa pemerintah dilaksanakan dengan cara yang telah


ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan khusus tentang
pengadaan barang/jasa pemerintah adalah Peraturan Presiden nomor 54 tahun
2010 yang telah dirubah terakhir dengan Peraturan Presiden nomor 172 tahun 2014
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Petunjuk teknis pelaksanaan Peraturan
Presiden tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) nomor 14 Tahun 2012. Salah satu cara
pengadaan barang/jasa pemerintah adalah “Pengadaan Langsung”. Perpres
mengamanatkan pelaksanaan pengadaan langsung untuk barang dan jasa lainnya
tidak perlu dilakukan proses prakualifikasi. Dengan demikian dalam pengadaan
langsung persyaratan kualifikasi penyedia tidak harus terpenuhi. Dalam
kenyataannya masih banyak Pejabat Pengadaan yang lebih mementingkan
terpenuhinya persyaratan kualifikasi ketimbang efisiensi harga. Dengan
mempertimbangan pemenuhan persyaratan kualifikasi, mereka lebih suka
menunjuk penyedia berbentuk badan usaha dari pada penyedia perseorangan,
walaupun harga penawaran dari badan usaha lebih mahal dibandingkan penyedia
perseorangan.
a.1. Metode Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.
Pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) dengan cara
swakelola; dan 2) dengan cara melalui penyedia barang/jasa. Pengadaan dengan
cara swakelola adalah Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan,
dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah/Institusi (K/L/D/I) sebagai penanggung jawab anggaran, instansi
pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat. Pengadaan dengan cara melalui
penyedia barang/jasa adalah pengadaan barang/jasa yang dikerjakan oleh pihak
ketiga. Pada umumnya pihak ketiga sebagai penyedia barang/jasa pemerintah
adalah pemborong/rekanan berbentuk badan usaha seperti perseroan, PT, CV,
Firma, dan Koperasi.
Menurut pasal 1 Perpres nomor 70 tahun 2012 yang dimaksud penyedia barang/jasa
adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya. Ketentuan tersebut memasukkan semua
pihak, baik perorangan maupun badan usaha, yang pekerjaannya menyediakan
barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya sebagai penyedia
barang/jasa. Dengan demikian penyedia barang/jasa pemerintah tidak harus
berbentuk badan usaha seperti perseroan, PT, CV, Firma, Koperasi dan sebagainya,
tetapi juga dapat berbentuk penyedia perseorangan seperti konsultan
perseorangan, penasihat hukum, buruh, toko, warung, outlet, dsb. Pengadaan
barang/jasa melalui penyedia dilaksanakan dengan mengutamakan prinsip bersaing
yaitu dengan cara melakukan pemilihan penyedia melalui proses
pelelangan/seleksi. Penyedia yang ditunjuk untuk melaksanakan pengadaan adalah
penyedia yang bersedia menerima pembayaran harga paling murah di antara
penyedia yang menawarkan barang/jasa dengan kualitas yang telah ditentukan.
Dalam hal pemilihan penyedia dilakukan tidak dengan cara lelang, seperti
pembelian langsung di toko atau outlet, maka pihak yang melakukan pembelian
harus berupaya untuk mendapatkan toko atau outlet yang menjual dengan harga
paling murah. Sistem pemilihan penyedia barang/jasa dibedakan berdasarkan jenis
barang/jasa yang akan diadakan, sebagai berikut:
1). Pemilihan penyedia barang dilakukan dengan cara:
• Pelelangan Umum;
• Pelelangan Terbatas;
• Pelelangan Sederhana;
• Penunjukan Langsung;
• Pengadaan Langsung; atau
• Kontes.
2). Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi dilakukan dengan cara:
• Pelelangan Umum;
• Pelelangan Terbatas;
• Pemilihan Langsung;
• Penunjukan Langsung; atau
• Pengadaan Langsung.
3). Pemilihan Penyedia Jasa Lainnya dilakukan dengan:
• Pelelangan Umum;
• Pelelangan Sederhana;
• Penunjukan Langsung;
• Pengadaan Langsung; atau
• Sayembara.
4). Pemilihan penyedia jasa konsultansi dilakukan dengan cara:
• Seleksi umum.
• Seleksi sederhana.
• Penunjukan langsung;
• Pengadaan langsung; dan
• Sayembara.

Pada setiap jenis barang/jasa yang akan diadakan terdapat cara pemilihan penyedia dengan
cara pengadaan langsung. Pengadaan Langsung adalah Pengadaan Barang/Jasa langsung
kepada Penyedia Barang/Jasa, tanpa melalui Pelelangan, Seleksi, atau Penunjukan
Langsung. Menurut pasal 57 ayat (5) Perpres nomor 70 tahun 2012 Pemilihan Penyedia
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan metode Pengadaan Langsung dilakukan
sebagai berikut:
a. pembelian/pembayaran langsung kepada Penyedia untuk Pengadaan
Barang/Jasa Lainnya yang menggunakan bukti pembelian dan kuitansi, serta
Pengadaan Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan kuitansi;
b. permintaan penawaran yang disertai dengan klarifikasi serta negosiasi
teknis dan harga kepada Penyedia untuk Pengadaan Langsung yang
menggunakan SPK.
Pengadaan langsung yang menggunakan kuitansi, menurut pasal 55 Perpres nomor 70 tahun
2012, adalah pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dengan nilai sampai
dengan Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Sedangkan pengadaan yang menggunakan
SPK adalah pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dengan nilai sampai
dengan Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan pengadaan jasa konsultansi dengan nilai
sampai dengan Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Menurut pasal 58 ayat (5) Perpres
nomor 70 tahun 2012 Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi dengan metode Pengadaan
Langsung dilakukan dengan permintaan penawaran yang diikuti dengan klarifikasi serta
negosiasi teknis dan biaya kepada calon Penyedia Berdasarkan pasal 57 dan 58 Perpres
nomor 70 tahun 2012 tersebut maka untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa
lainnya dengan nilai sampai dengan Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan pengadaan
jasa konsultansi sampai dengan Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dilakukan oleh
pejabat pengadaan dengan cara pengadaan langsung.

A.2. Prinsip Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.


Pengadaan barang/jasa pemerintah dilaksanakan berdasarkan prinsip efisien, efektif,
terbuka, transparan, bersaing, adil, dan akuntabel.
a. Efisien, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana
dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang
ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan
sasaran dengan kualitas yang maksimum.
b. Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang
telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.
c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa
bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barang/Jasa yang berminat
serta oleh masyarakat pada umumnya.
d. Terbuka, berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa
yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur
yang jelas.
e. Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat
diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa yang setara dan memenuhi
persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang ditawarkan secara kompetitif
dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam
Pengadaan Barang/Jasa.
f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon
Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak
tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan
Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Prinsip pengadaan tersebut menghendaki agar pengadaan dilakukan dengan cara yang
dapat dipertanggungjawabkan dengan tetap berupaya untuk memperoleh barang yang
berkualitas yang dapat memberi manfaat maksimal, dengan harga termurah di antara
barang dengan kualitas yang sudah ditentukan, mengikutsertakan sebanyak mungkin
penyedia, adil dan transparan serta tidak mengarah ke satu merek tertentu.
Dalam hal pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan cara pengadaan langsung (tanpa
melalui pelelangan/seleksi), sebagian prinsip pengadaan tersebut dapat diabaikan. Prinsip
adil/tidak diskriminatif dan prinsip bersaing diabaikan ketika Pejabat Pengadaan membeli
langsung kepada penyedia tanpa proses lelang/seleksi. Prinsip terbuka dan transparansi
diabaikan ketika Pejabat Pengadaan menunjuk salah satu penyedia untuk melaksanakan
pekerjaan dengan cara pengadaan langsung tanpa pengumuman dan tidak
mengikutsertakan banyak penyedia.
Dalam pelaksanaan pengadaan langsung PPK dan Pejabat Pengadaan memiliki keleluasaan
untuk malaksanakan pengadaan sepanjang tetap berpegang pada prinsipprinsip efisien,
efektif, dan akuntabel. PPK dapat menetapkan secara pasti serta menyebut atau menuliskan
jenis/merek/tipe barang yang akan dibeli. Bahkan khusus untuk pengadaan barang dan jasa
lainnya, menurut pasal 56 ayat (4a) Perpres nomor 70 tahun 2012, penilaian kualifikasi
penyedia tidak harus melalui proses prakualifikasi. Kalaupun persyaratan kualifikasi
penyedia mau dinilai, penilaiannya dilakukan setelah transaksi selesai. Karena transaksi
pengadaan langsung bersifat cash and carry. hasil penilaian tersebut tidak dapat dijadikan
alasan untuk membatalkan transaksi Contohnya pembelian ATK seharga Rp10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) pada sebuah toko pengecer tidak mungkin dibatalkan hanya karena
setelah selesai transaksi diketahui bahwa pengecer tersebut tidak memiliki NPWP dan/atau
SIUP. Perpres tentang pengadaan barang/jasa tidak melarang pengadaan langsung
barang/jasa lainnya kepada pada pengecer yang tidak memenuhi syarat kualifikasi
penyedia. Contoh lainnya pekerjaan jasa seperti perbaikan AC, kebersihan halamam gedung,
pemotongang rumput dengan nilai Rp2.500.000,- boleh saja dikerjakan oleh tukang yang
tidak memiliki NPWP.
Masalah dalam pengadaan langsung kepada pengecer yang tidak memiliki NPWP adalah
terkait kewajiban bendahara pengeluaran sebagai wajib pungut pajak. Hal tersebut menjadi
salah satu penyebab banyak Pejabat Pengadaan lebih suka menunjuk CV sebagai penyedia
barang/jasa ketimbang membeli langsung ke toko/pengecer. Padahal CV tersebut juga
membeli barang kepada toko/pengecer sehingga harga yang ditawarkan oleh CV tersebut
lebih mahal.

A.3. Proses Pengadaan Langsung.


Pengadaan langsung dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Pelaksana pengadaan langsung adalah Pejabat Pengadaan.
2. Jenis, model, dan spesifiksasi teknis barang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat
Komitmen.
3. Pengadaan dengan nilai lebih dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) menggunakan
Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
4. Bukti pembelian yang digunakan adalah:
a. untuk barang, pekerjaan konstruksi, dan jasa lainnya:
✓ sampai dengan Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) tidak harus kuitansi,
dapat menggunakan bukti pembelian seperti faktur, nota dsb.
✓ di atas Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) menggunakan kuitansi.
✓ di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) menggunakan Surat Perintah Kerja
(SPK).
b. untuk jasa konsultansi sampai dengan Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
menggunakan Surat Perintah Kerja (SPK).

Proses pengadaan barang/jasa pemerintah dibedakan berdasarkan nilai paket


pengadaan, sebagai contoh :
b.1. Pengadaan dengan nilai sampai dengan Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
hanya untuk barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, dilakukan oleh Pejabat
Pengadaan dengan cara:
✓ membeli langsung kepada penyedia (umumnya penyedia perseorangan).
✓ tidak memerlukan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
✓ negosiasi secara lisan.
✓ bukti transaksi sekaligus bukti pembayaran tidak harus kuitansi, cukup
berupa bukti pembelian seperti faktur, nota, dsb.
✓ Persyaratan kualifikasi penyedia, untuk barang dan jasa lainnya tidak
diperlukan.

b.2. Pengadaan dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
untuk jasa konsultansi, di atas Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai dengan
Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk barang/pekerjaan konstruksi/jasa
lainnya dilakukan oleh Pejabat Pengadaan dengan cara:
✓ membeli langsung kepada penyedia.
✓ menggunakan Harga Perkiraan sendiri (HPS).
✓ negosiasi secara lisan, kesepakatan harga paling tinggi sama dengan harga
dalam rincian HPS.
✓ bukti transaksinya, untuk barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya menjadi
satu dengan bukti pembayaran menggunakan kuitansi, untuk jasa
konsultansi bukti transaksi menggunakan SPK dan bukti pembayarannya
menggunakan kuitansi.
✓ persyaratan kualifikasi penyedia, untuk barang dan jasa lainnya tidak harus
terpenuhi.

b.3. Pengadaan dengan nilai di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) hanya untuk barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya, dilakukan oleh Pejabat Pengadaan dengan cara:
✓ membeli langsung kepada penyedia.
✓ memerlukan penawaran tertulis, untuk itu Pejabat Pengadaan meminta
penyedia mengajukan surat penawaran.
✓ menggunakan Harga Perkiraan sendiri (HPS).
✓ negosiasi dituangkan dalam Berita Acara, kesepakatan harga paling tinggi
sama dengan harga dalam rincian HPS.
✓ bukti transaksi menggunakan SPK, bukti pembayarannya menggunakan
kuitansi.
✓ persyaratan kualifikasi penyedia, untuk barang dan jasa lainnya tidak harus
terpenuhi.

Sehubungan dengan diperlukannya surat penawaran tertulis, HPS, dan negosiasi dalam pengadaan
langsung dengan nilai di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), perlu dipahami bahwa total
nilai dalam surat penawaran dan total nilai HPS bukan merupakan satu kesatuan yang mengikat.
Oleh karena itu terbuka kemungkinan dilakukan hal-hal berikut:
1. Satu HPS dilaksanakan dengan lebih dari satu kali pengadaan dan/atau lebih dari satu
penyedia barang/jasa. Contohnya dalam HPS tercantum: 3 unit TV, 4 unit kipas angin, 2 unit
kulkas, 2 unit Laptop, 3 unit printer, dan 10 unit korsi. Pelaksanaan pengadaannya Pejabat
Pengadaan meminta ke satu penyedia untuk mengajukan surat penawaran 3 unit TV, 4 unit
kipas angin, dan 2 unit kulkas. Untuk laptop, printer, dan korsi pelaksanaan pengadaannya
dimintakan oleh Pejabat pengadaan kepada penyedia lain dan/atau pada waktu yang lain.
2. Tidak semua barang yang ada dalam surat permintaan penawaran harus dicantumkan dalam
surat penawaran. Contohnya dalam surat permintaan penawaran dari Pejabat Pengadaan,
penyedia diminta untuk mengajukan surat penawaran 3 unit TV, 4 unit kipas angin, dan 2
unit kulkas. Berhubung kulkas tidak tersedia, penyedia hanya mencantumkan dalam surat
penawarannya 3 unit TV dan 4 unit kipas angin.
3. Tidak semua barang yang dicantumkan dalam surat penawaran harus disepakati dalam
proses negosiasi dan dilakukan transaksi. Contohnya dalam surat penawarannya penyedia
menawarkan 3 unit TV dan 4 unit kipas angin. Jika dalam proses negosiasi tidak dicapai
kesepakatan harga kipas angin maka pada akhirnya transaksi antara Pejabat Pengadaan dan
Penyedia hanya pembelian 3 unit TV.
4. Dibolehkan pula penyedia menawarkan barang/jasa melebihi yang tercantum dalam surat
permintaan penawaran. Namun keputusan untuk membeli barang yang ditawarkan ada
pada Pejabat Pengadaan, Contohnya dalam surat permintaan penawaran penyedia diminta
untuk mengajukan penawaran 3 unit TV dan 4 unit kipas angin. Jika disamping 3 unit TV dan
4 unit kipas angin penyedia mancantumkan juga beberapa jenis barang lain dalam surat
penawarannya, maka surat penawaran tersebut tetap sah.

Maka, berdasarkan penjelasan materi diatas, untuk menjawab pertanyaan contoh kasus
diatas :
1. Pengadaan barang yang dilakukan kemendikbud dengan nilai sampai dengan
Rp197.000.000,- (seratus Sembilan puluh tujuh juta rupiah) tidak harus dilakukan
pelelangan/seleksi, tetapi dilakukan dengan pengadaan langsung oleh pejabat
pengadaan kemendikbud.
2. Paket pengadaan kemendikbud yang nilainya tidak lebih dari Rp200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) boleh dipecah menjadi lebih dari satu kali pengadaan langsung.
3. Untuk pengadaan barang mobil pintar kemendikbud, dengan cara pengadaan langsung,
Pejabat Pengadaan boleh menunjuk penyedia yang tidak memenuhi persyaratan
kualifikasi atau membeli barang pada toko/outlet/pengecer milik perseorangan.
4. Pengadaan barang dengan cara Pengadaan Langsung dibolehkan menyebut merek.
Larangan penyebutan merek berlaku untuk dokumen pengadaan sedangkan proses
pengadaan langsung tidak memerlukan dokumen pengadaan karena tidak dilakukan
pelelangan.
5. Penunjukan badan hukum seperti CV, PT, dan Koperasi sebagai penyedia dalam
Pengadaan Langsung, yang didasari pertimbangan bahwa badan hukum tersebut
memenuhi persyaratan kualifikasi pada saat dimana Pejabat Pengadaan dibolehkan
melaksanakan pembelian langsung ke toko tanpa harus melakukan penilaian
persyaratan kualifikasi, menyebabkan harga barang menjadi lebih mahal sehingga
menimbulkan kerugian bagi negara.

2. Dari gambaran kasus diatas klasifikasikan jenis perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh pemerintah dan berikan analisis berdasar kasus diatas!
Jawaban :

Berdasarkan artikel yang diuraikan dalam soal nomor dua (2), klasifikasi jenis perbuatan
melawan hukum yang dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut,:
1. Pengertian Perlawanan Hukum
Perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sangat
berpengaruh didalam perkembangan di lndonesia karena kaidah hukum di sana berlaku
bagr negeri jajahannya berdasarkan azas konkordansi termasuk Indonesia. Dalam
perkembangannya pengertian perbuatan melawan hukum mengalami perubahan
dalam tiga periode sebagai berikut :
A. Periode sebelum tahun 1838 Pada periode ini di negeri Belanda belum terbentuk
kodifikasi Burgerlijk Wetboek (BW), sehingga pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap perbuatan melawan hukum belum jelas dan belum terarah.
B. Periode antara tahun 1838 -1919 Pada periode ini di negeri Belanda telah terbentuk
kodifikasi BW, sehingga berlakulah ketentuan pasal 1401 BW yang sama dengan
ketentuan 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai perbuatan
melawan hukum (Onrechtmatige Daad) yang ditafsirkan sebagai berbuat sesuatu
(aktif) maupunn tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain baik yang
disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan pasal 1366 KUH Perdata.
C. Periode setelah tahun 1919 Periode ini merupakan dasar dan permulaan pengertian
baru perbuatan melawan hukum dan sekaligus merupakan koreksi terhadap paham
kodifikasi yang sempit dan ajaran legisme yang hanya memandang aturan tertulis
atau kebiasaan yang diakui tertulis sebagai hukum.

Dalam praktek di Pengadilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kewenangan


memeriksa dan menyelesaikan sengketa perbuatan melawan hukum oleh penguasa
(Onrechtmatige Overheids Daad), pengertian tersebut meliputi :
1. Badan/jabatan instansi resmi pemerintah Yaitu dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota sampai Pemerintahan
Kelurahan dan juga lnstansi-instansi resmi pemerinta yang berada di lingkungan
eksekutif.
2. Badan/jabatan semi pemerintah Yaitu Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMN)
dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti Telkom, PDAM, PLN dan lain-lain
termasuk juga Badan /jabatan yang merupakan kerjasama Pemerintah dengan
swasta.
3. Badan/jabatan Swasta yang melaksanakan urusan Pemerintahan Yaitu yayasan
yang bergerak dibidang yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah akan
tetapi dilaksanakan oleh swasta, seperti Perguruan Tinggi, Rumah Sakit,
Universitas dll.

2. Perlindungan Hukum dari Perbuatan Melawan Hukum.


Sarana-sarana perlindungan masyarakat terhadap perbuatan melawan hukum tersebut
antara lain:
1. Dilakuakan oleh Badar/pejabat Tata Usaha Negara melalui upaya administratif. -
Keberatan = kepada yang mengeluarkan keputusan - Banding administratif = kepada
instansi atasan/lain misalnya : BAPEG, KMIGAS dII.
2. Melahirkan melalui Peradilan Umum Yaitu terhadap perbuatan melawan hukum
yang didasarkan pada ketentuan pasal 1365 KUH Perdata.
3. Dilakukan melalui Peradilan TUN Yaitu terhadap perbuatan melawan hukum oleh
penguasa yang didasarkan pada ketentuan pasal 53 UU No. 5 tahun 1986 yang yang
sudah diubah dengan UU No. 9 Th. 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

ad.1 Melalui Upaya Administasi.


Upaya administrasi merupakan suatu prosedur yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau Badan
hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara.
Dasar hukumnya diatur dalam ketentuan pasal 48 ayat (1) dan (2) UUD No. 5 tahun
1986 yang sudah dirubah dengan UU No. 9 tahun 2004 tentang pengadilan Tata
Usaha Negara. Bentuk upaya administrasi terdiri dari dua macam, yaitu :
a. Keberatan : apabila penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut.
b. Banding administratif : apabila penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi
atasan atau instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut.

Adanya upaya administrasi tersebut dapat dilihat dari ketentuan peraturan


perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan TUN yang
bersangkutan dan apabila terhadap putusan banding administrasi tersebut
masih juga dirasakan belum memuaskan maka persoalannya dapat diajukan ke
pengadilan.

Ad.2.1. Melalui Peradilan Umum.


Sesuai ketentuan pasal 1365 KUH Perdata maka suatu perbuatan melawan
hukum yang dapat digugat melalui pengadilan haruslah mengandung unsur-
unsur antara lain :
a. Adanya suatu perbuatan Perbuatan tersebut baik berbuat sesuatu (aktif
maupun tidak berbuat sesuatu (pasifl) padahal dia mempunyai kewajiban
untuk membuatnya, kewajiban tersebut tentunya lahir oleh hukum yang
berlaku bukan lahir oleh suatu kesepakatan atau kontrak.
b. Perbuatan tersebut melawan hukum Perbuatan melawan hukum disini
haruslah diartikan menurut pengertian setelah tahun 1919 yaitu dalam arti
yang seluas-luasnya yang meliputi :
➢ Perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
➢ Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum.
➢ Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku.
➢ Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
➢ Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
c. Adanya kesalahan Suatu perbuatan dapat dianggap oleh hukum
mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dikenakan tanggung jawab
secara hukum apabila menemui unsur-unsur :
➢ Ada unsur kesengajaan;
➢ Ada unsur kelalaian/kealpaan.
➢ Tidak ada alasan pembenar atau pemaaf
d. Adanya kerugian Unsur kerugian merupakan syarat agar gugatan
berdasarkan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata dapat dilakukan, kerugian
tersebut meliputi kerugian materiil maupun kerugian immateriil yang juga
akan dinilai dengan uang.
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Untuk dapat
dikabulkannya gugatan perbuatan melawan hukum maka antara perbuatan
yang dilakukan harus ada hubungan kausal (sebab akibat) dengan kerugian
yang timbul, baik hubungan sebab akibat yang faktual (Sine Qua Non)
maupun sebab akibat kira-kira (Proximate Cause).

Dengan demikian apabila terjadi perbuatan yang telah memenuhi unsur


unsur tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan
kepengadilan umum dengan tuntutan ganti rugi baik berupa uang, barang
maupun pemulihan keadaan semula, sedangkan pihak yang dapat
menggugat tersebut antara lain :
➢ Pihak yang dirugikan itu sendiri.
➢ Penerima nafkah seperti suami/istri, anak atau orang tua yang
ditinggalkan.
➢ Keluarga sedarah lurus dan istri/suami seperti orang tua, kakek
nenek, anak dan cucu.
➢ Ahli waris pada umumnya.

ad.2.2. Melalui Peradilan Tata Usaha Negara.


Sesuai dengan ketentuan pasal 53 UU No 5 tahun 1986 yang sudah dirubah dengan
UU No 9 tahun 2004 tentang pengadilan TUN, maka seorang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara, dapat
mengajukan 8 gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang agar keputusan TUN
tersebut dinyatakan batal/tidak syah dengan atau tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan adalah :
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Bertentangan dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB) Adapun yang dimaksud dengan AAUPB meliputi Azas-
azas yang tercantum dalam UU No 28 tahun 1999 tentang
penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN yaitu:
➢ Azas kepastian hukum.
➢ Azas tertib penyelenggaran negaftr.
➢ Azas keterbukaan.
➢ Azasproporsionalitas.
➢ Azas profesionalitas.
➢ Azas akuntabilitas.

Tuntutan utama gugatan di peradilan Tata Usaha Negara adalah pernyataan batal
atau tidak syah keputusan TUN yang digugat, meskipun dapat disertai tuntutan ganti rugi
akan tetapi menurut ketentuan pasal 3 PP No 43 tahun 1991 tentang ganti rugi dan tata cara
pelaksanaannya, maksimal hanya lima juta rupiah.

4. Perbuatan Pemerintah
Rumusan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bertaku dalam pasal 1
angka 2 tersebut menunjukkan bahwa keabsahan perbuatan pemerintah dilahirkan
dari kewenangan yang diberikan oleh negara dan kewenangan tersebut dapat tedadi
dari beberapa hal yaitu :
1. Kewenangan dari Atribusi Yaitu pemberian wewenang pemerintah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh orginal Legislator
yaitu MPR sebagai pembentuk konstitusi dan presiden bersama-sama
pemerintah yang melahirkan Undang-undang serta DPRD bersama-sama
pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah seperti Gubernur yang
diberikan wewenang oleh uu tentang Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD untuk
meresmikan keanggotaan DPRD.
2. Kewenangan dari Delegasi Yaitu pemberian wewenang pemerintah berdasarkan
pendelegasian dari badan atau jabatan TUN yang telah memperoleh
kewenangan secara atribusi yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti
Presiden yang diberikan wewenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah
kemudian melimpahkan wewenangnya kepada Badan atau jabatan tertentu
dalarn hal ini Badan atau jabatan TIJN yang mendapat limpahan kewenangan
tersebut bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya, sehingga apabila
terjadi perbuatan melawan hukum baik karena sengaja maupun karena
kelalaian maka dialah yang dapat digugat untuk mempertanggungjawabkannya.
3. Kewenangan dari Mandat Yaitu pemberian wewenang pemerintah berdasarkan
hubungan intern seperti Menteri menugaskan Dirjen atau Irjennya untuk atas
nama Menteri melakukan tindakan hukum mengeluarkan keputusan TUN
tertentu. Dalam hal ini tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai kewenangan,
wewenang tetap ada pada pemberi mandat, sehingga apabila terjadi kesalahan
maka yang bertangung jawab adalah pemberi mandat (mandans) sedangkan
penerima mandat (mandataris) tidak dapat dikenai pertanggungan jawab
karena dia hanya melaksanakan tugas saja tanpa ada pelimpahan wewenang.

Dengan demikian dari sifat umum dan individualnya tindakan hukum publik
yang bersifat sepihak, maka keputusan TUN yang dapat diterbitkan
Badan/pejabat TUN adalah :
1. Bersifat umum abstrak. seperti Presiden mengeluarkan suatu Peraturan
Pemerintah dalam pelaksanaan suafu ketentuan undang-undang.
2. Bersifat umum kongkrit. seperti Gubernur mengeluarkan keputusan yang
menyatakan bahwa daerahnya terjangkit penyakit busung lapar.
3. Bersifat individual abstrak. seperti izin untuk mendirikan pabrik cat yang
disertai bermacam-macam syarat atau ketentuan-ketenfuan, umpama
tentang tata cara pembuangan air limbah pabrik yang bersangkutan.
4. Bersifat individual kongkrit. seperti penetapan pengangkatan sebagai PNS,
penetapan pajak dlf.

Berdasarkan klasifikasi jenis perbuatan hukum yang menurut artikel dalam


soal nomor 2 adalah sebagai berikut:
1. Jenis perbuatan hukum yang melanggar hukum yang dilakukan oleh
penguasa.
2. Pemerintah sebagai bagian dari organisasi negara mempunyai organ
yang disebut Badan/pejabat TUN yang dapat bertindak menurut hukum
publik maupun hukum perdata.

3. Tentukan dan simulasikan perhitungan pembagian jumlah pendapatan daerah berdasarkan


Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 33 Tahun 2004, jika nilai 10% pendapatan PBB yaitu sejumlah Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah)!

Jawab :

Pendapatan Asli Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih yang diperoleh dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Peengelolaan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan serta Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah, sebagaimana yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 285 ayat (1),
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 21
ayat (1) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah pda Pasal 26 ayat (1). Pengertian pendapatan asli daerah seharusnya tidak perlu
menjadi perdebatan lagi karena dalam peraturan peundang-undangan sudah diatur dengan jelas,
objek pendapatan asli daerah dalam pelaksanaannya harus memiliki dasar hukum yang jelas untuk
dipungut atau tidaknya. Untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan pelaksanaan di Daerah harus
diatur dengan Peraturan Daerah, dan Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan diluar yagn
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 286 ayat (2). Peraturan Daerah sebagai dasar
pelaksanaan merupakan persyaratan mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pungutan,
karena SKPD dilarang melakukan pungutan selain yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah sesuai
Pasal 58 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 hal ini juga diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pada
Pasal 128 ayat (2).

Maka berdasarkan rincian perundang undangan diatas, jika PBB suatu daerah Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah), maka itu adalah menjadi retribusi atau kutipan atau iuran wajib yang diberikan
oleh warga daerah tersebut milik daerah itu sepenuhnya.

Anda mungkin juga menyukai